• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Quantum terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Peserta Didik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Quantum terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Peserta Didik"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

40 Copyright ©2018, Jurnal Didactical Mathematics http://jurnal.unma.ac.id/index.php/dm

Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran

Quantum terhadap Kemampuan Berpikir Kritis

Matematis Peserta Didik

Erik Santoso

Program Studi Pendidikan Matematika, Universitas Majalengka email: eriksantoso.math07@gmail.com

Abstrak—Selama ini dalam pelaksanaan pembelajaran matematika, guru-guru cenderung melaksanakan metode ceramah dan tanya jawab. Aktivitas belajar peserta didik hanya terbatas pada menerima materi, menghafal materi yang sudah diberikan. Hal ini mengakibatkan kurang melatih atau mengembangkan kemampuan berpikir kritis matematik secara optimal. Pengembangan kemampuan berpikir kritis peserta didik dapat berkembang bila peserta didik aktif dalam proses pembelajaran. Salah satunya dengan menempatkan peserta didik dalam konteks bermakna yang menghubungkan materi pelajaran dengan situasi nyata. Model pembelajaran quantum, peserta didik dituntut untuk dapat mengkonstruksi dan menemukan sendiri pengetahuan mereka secara aktif. Sehingga peserta didik mempunyai peluang lebih besar untuk menguasai konsep dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Rumusan masalah dalam penelitian ini, apakah terdapat pengaruh penggunaan model pembelajaran quantum terhadap kemampuan berpikir kritis matematik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan model pembelajaran quantum terhadap kemampuan berpikir kritis matematik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian eksperimen, dengan populasi penelitiannya adalah seluruh siswa kelas V SDN Gununglipung Tasikmalaya. Sampel diambil menggunakan teknik random dengan cara diundi menurut kelas sebanyak dua kelas, yaitu kelas V A sebagai kelas eksperimen dengan jumlah siswa sebanayak 28 orang dan kelas V B sebagai kelas kontrol dengan jumlah siswa sebanyak 27 orang. Instrumrn yang diguakan adalah tes kemampuan berpikir kritis matematik, tugas individu dan tugas kelompok. Dari hasil pengolahan, analisis data dan pengujian hipotesis diperoleh thitung = 2,91 dan t 0,99(53) = 2,40, ternyata thitung > t 0,99(53). Maka terdapat pengaruh positif penggunaan model pembelajaran quantum terhadap kemampuan berpikir kritis matematik.

(2)

41 Copyright ©2018, Jurnal Didactical Mathematics http://jurnal.unma.ac.id/index.php/dm 1. PENDAHULUAN

Kegiatan pembelajaran merupakan proses utama untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolah. Pada hakekatnya, kegiatan tersebut dilakukan untuk menciptakan suasana atau memberikan pengalaman agar peserta didik belajar. Begitupun dalam pembelajaran matematika, guru diharapkan dapat menciptakan suasana belajar yang membuat peserta didik belajar, memahami keterkaitan antar topik dalam matematika serta keterkaitan dan manfaat matematika bagi ilmu lain.

Menyajikan matematika sebagai kumpulan fakta tidak akan menumbuhkan makna. Matematika harus diperkenalkan dan disajikan dalam kehidupan sehari-hari siswa.”Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah quantum, siswa dibimbing untuk menguasai konsep matematika’’. (Depdiknas, 2006:1)

“Pembelajaran matematika disekolah dapat efektif dan bermakna bagi siswa jika proses pembelajaran menggunakan konteks siswa” (Masykur, Moch., dan Abdul Halim “Salah satu faktor yang berperan dalam pembelajaran matematika adalah budaya kelas. Budaya kelas tumbuh atau dibangun dari interaksi sosial didalam kelas dan guru memiliki peran yang paling dominan dalam membangun budaya kelas tersebut”. Jika guru cenderung mendominasi proses pembelajaran, secara tidak langsung guru sedang menunjukan bahwa ia memiliki kepercayaan yang

rendah terhadap peserta didiknya. Tentu hal ini akan menciptakan budaya kelas negatif. Peserta didik sungkan mengemukakan ide, guru kurang percaya peserta didik mampu menemukan sendiri konsep matematika maka yang terjadi adalah guru mentransfer pengetahuan kepada peserta didik sehingga pembelajaran menjadi tidak bermakna.

Demi menghindari hal ini, guru hendaknya mulai untuk tidak memposisikan diri sebagai seseorang yang serba tahu yang akan mentransfer pengetahuannnya kepada peserta didik yang dianggap sebagai gelas kosong yang harus diisi. Peserta didik harus diberi kesempatan untuk membangun dan menemukan sendiri pengetahuan, dengan bekal pengetahuan yang telah didapat sebelumnya.

Sebagaimana pendapat (Nasar 2006:32) bahwa aktivitas siswa menjadi penting karena belajar itu pada hakikatnya adalah proses yang aktif dimana siswa menggunakan pikirannya untuk membangun pemahaman (contructivism approach) dan dengan diaktifkan dalam belajar, siswa akan terlatih menggunakan kemampuan berpikirnya, semakin lama semakin tinggi, semakin mampu memikirkan hal-hal yang abstrak dan kompleks, sehingga dapat menemukan gagasan-gagasan baru. Lebih lanjut (Nasar, 2006:32) mengemukakan“Oleh sebab itu, esensi pembelajaran aktif tidak terletak pada heboh dan gaduhnya kegiatan fisik siswa, melainkan pada penggunaan tingkatan berpikir yang lebih tinggi.”

(3)

42 Copyright ©2018, Jurnal Didactical Mathematics http://jurnal.unma.ac.id/index.php/dm menerapkan apa yang mereka pelajari”.

Dalam mengkaji gagasan maupun memecahkan masalah, mutlak diperlukan proses berpikir kritis menjadi suatu kemampuan yang harus terus dikembangkan melalui proses pembelajaran.

Berpikir kritis adalah proses yang melibatkan operasi mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi, dan penalaran. Menurut Ennis serta Fogarty dan McTighe, (Muhfahroyin, 2010:1), “Berpikir kritis merupakan cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar untuk menentukan apa yang akan dikerjakan dan diyakini”. Disampaikan oleh Diestler (Muhfahroyin, 2010:1) bahwa dengan berpikir kritis, orang menjadi memahami argumentasi berdasarkan perbedaan nilai, memahami adanya inferensi dan mampu menginterpretasi, mampu mengenali kesalahan, mampu menggunakan bahasa dalam berargumen, menyadari dan mengendalikan egosentris dan emosi, dan responsif terhadap pandangan yang berbeda. Lebih lanjut Mc Murarry et al (Muhfahroyin, 2010 : 2) menyampaikan bahwa berpikir kritis merupakan kegiatan yang sangat penting untuk dikembangkan di sekolah, guru diharapkan mampu merealisasikan pembelajaran yang mengaktifkan dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis pada siswa.

Sampai saat ini, kemampuan berpikir kritis peserta didik belum mampu dikembangkan secara optimal. Hal tersebut terlihat dari kurang aktifnya peserta didik dalam proses pembelajaran. Selama ini dalam pelaksanaan pembelajaran matematika, guru-guru cenderung melaksanakan metode ceramah dan tanya jawab. Gabungan metode ceramah dan tanya jawab diasumsikan oleh peneliti sebagai model pembelajaran langsung. Aktivitas belajar peserta didik hanya terbatas pada menerima materi, menghafal

materi yang sudah diberikan, kemudian mengerjakan tugas sama seperti yang dilakukan guru. Taylor (Muhfahroyin, 2010:5) menjelaskan bahwa dalam pembelajaran yang berbasis hafalan menjadikan siswa jarang dituntut untuk bertanya dan berpikir, sehingga kemampuan berpikir kritis kurang terpacu.

Berdasarkan informasi dari guru kelas V SDN Gununlipung kota tasikmalaya. Berdasarkan hasil data dari kelas V SDN Gununglipung 1 Tasikmalaya didapat bahwa kemampuan berpikir kritis siswa rendah. Hal ini dibuktikan dengan guru memberikan soal kemampuan berpikir kritis masih banyak siswa yang kurang mampu menjawab soal tersebut.

Mengingat dari hal tersebut, guru perlu memperbaiki kinerjanya dengan mengubah strategi pembelajaran yang biasa dilakukan selama ini. Guru dituntut memiliki pengetahuan dan keterampilan mengenai berbagai metode dan pendekatan pembelajaran sehingga mampu memilih dan menggunakan metode pembelajaran yang tepat untuk materi tertentu, agar proses pembelajaran menjadi bervariasi, berjalan produktif dan lebih bermakna, yang selanjutnya diharapkan proses pembelajaran menjadi lebih menyenangkan dan banyak diminati peserta didik.

(4)

43 Copyright ©2018, Jurnal Didactical Mathematics http://jurnal.unma.ac.id/index.php/dm Dengan demikian, agar pencapaian

tujuan penelitian maksimal, maka pada penelitian ini akan digunakan penggabungan quantum learning dan quantum teaching

Supaya permasalahan tidak meluas, penelitian ini dibatasi pada siswa kelas V SDN Gununglipung Tasikmalaya. Dengan itu, maka peneliti tertarik untuk melaksanakan penelitian dengan judul “Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Quantum Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematik Peserta Didik (Studi Eksperimen di Kelas V SDN Gununglipung Kota Tasikmalaya Tahun Pelajaran 2015/2016)”

B e r d a s a r k a n latar belakang masalah tersebut, penulis mengemukakan rumusan masalah yaitu apakah terdapat pengaruh penggunaan model pembelajaran quantum terhadap kemampuan berpikir kritis matematik?

Sesuai dengan masalah yang akan diteliti, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan model pembelajaran quantum terhadap kemampuan berpikir kritis matematik.

2. KAJIAN LITERATUR DAN PEGEMBANGAN HIPOTESIS Pembelajaran Quantum

Model pembelajaran Quantum berakar dari upaya Dr. Georgi Lozanov seorang pendidik berkebangsaan Bulgaria yang bereksperimen dengan apa yang disebutnya sebagai “suggestology” atau “suggestion” prinsipnya bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar dan setiap detil apapun memberikan sugesti positif atau negatif. Beberapa teknik yang digunakan untuk memberikan sugesti positif dalam pembelajaran adalah membuat suasana nyaman dan memutar musik latar didalam kelas

serta meningkatkan partisipasi individu. Selanjutnya konsep tersebut dikembangkan oleh Bobbi DePorter dan Mike Hernacky dalam Quantum Learning dan Quantum Teaching.

Pelaksanaan model pembelajaran quantum dengan penggabungan modalitas VAK dan kerangka rancangan belajar TANDUR memiliki langkah-langkah sebagai berikut: (1). Tumbuhkan

Melibatkan peserta didik ke dalam setiap kegiatan proses pembelajaran. Menjelaskan manfaat pembelajaran bagi mereka dan prosedur mengenai hasil yang akan dicapai setelah proses pembelajaran berakhir. Dengan menjelaskan cara pengerjaan tugas, menggunakan sarana dan tingkat interaksi dengan peserta didik lain. Sehingga memikat dan menumbuhkan motivasi mereka untuk mengikuti proses pembelajaran.

(2). Alami

Pembelajaran dimulai dengan mengajak peserta didik untuk mempelajari dari kehidupan nyata mereka yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari. Peserta didik mengumpulkan informasi mengenai konsep yang akan dipelajari melalui pengalaman tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan mereka tugas secara berkelompok. Saat peserta didik mengerjakan tugas dan

mengumpulkan informasi

(5)

44 Copyright ©2018, Jurnal Didactical Mathematics http://jurnal.unma.ac.id/index.php/dm

mereka dapat mengingat materi dengan baik, kemudian lanjutkan kembali pekerjaan mereka.

(3). Namai

Setelah peserta didik berinteraksi melakukan, mencoba, menyelidiki dan sebagainya. Jika terjadi penyimpangan terhadap prosedur yang telah diberikan maka ajak peserta didik untuk melakukan sesuai dengan prosedur yang telah dijelaskan sebelumnya. Selanjutnya, peserta didik

diarahkan untuk

dapatmenggeneralisasikan dengan memberikan nama (definisi atau identitas) dari informasi-informasi yang ia peroleh mengenai konsep tersebut.

(4). Demonstrasikan

Memberikan kesempatan kepada peserrta didik untuk menunjukkan atau mendemonstrasikan apa yang telah ia ketahui melalui presentasi kelas. Hal ini dapat menumbuhkan sikap berani, bertanggung jawab, dan terbuka untuk dikoreksi. Hal ini juga dapat menjadi pengalaman yang berarti bagi peserta didik.

(5). Ulangi

Setelah sampai kepada konsep atau generalisasi maka berikan kesempatan bagi peserta didik untuk mengulang dengan cara mengadakan Tanya jawab, membuat rangkuman, atau memberi kuis berupa tes. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana pemahaman peserta didik dan refleksi terhadap apa yang telah mereka pelajari.

(6). Rayakan

Memberikan penghargaan atau reward kepada peserta didik. Reward ini dapat berupa pujian, pemberian sesuatu, nilai atau penghargaan lainnya. Hal ini dilakukan agar peserta didik merasa dihargai atas pekerjaannya dan memotivasi mereka untuk belajar lebih baik lagi.

Dalam model pembelajaran quantum ini, harus diperhatikan juga kondisi peserta didik sebagai subjek yang sedang belajar, informasikan bagaimana kiat belajar peserta didik agar sukses. Hal ini diperlukan karena pada umumnya peserta didik memandang belajar dengan citra yang tidak baik. Belajar dikonotasikan sebagai aktivitas yang menjemukan, menakutkan, mencemaskan, dan menegangkan.

Prinsip belajar quantum adalah dimulai dengan menciptakan sugesti bahwa belajar itu tidak seperti yang disebut diatas. Citra belajar perlu diubah, karena citra itu akan menumbuhkan sugesti dan sugesti itu menentukan perilaku. Oleh karena itu, tugas guru untuk menciptakan sugesti positif dengan cara, menciptakan suasana yang menyenangkan, menempelkan hasil karya peserta didik dikelas agar menjadi kebanggaan

Kemampuan Berpikir Kritis

Matematik

(6)

45 Copyright ©2018, Jurnal Didactical Mathematics http://jurnal.unma.ac.id/index.php/dm ditumbuhkankembangkan melalui

kegiatan pembelajaran matematika, yang dititikberatkan pada sistem, struktur, konsep, prinsip, serta kaitan yang ketat antara suatu unsur dan unsur lainnya. Upaya ini membutuhkan pola pikir deduktif logika matematika yang dapat memperjelas dan menyederhanakan suatu situasi melalui abstraksi atau generalisasi.

Floyd l. Ruch (Rakhmat, Jalaludin, 2005:68), menyatakan ”Berpikir merupakan manipulasi atau organisasi unsur-unsur lingkungan dengan menggunakan lambang-lambang sehingga tidak perlu langsung melakukan kegiatan yang tampak”. Dari pendapat ini, bahwa berpikir adalah suatu kegiatan mental yang melibatkan penggunaan objek abstrak.

Berpikir kita lakukan untuk memahami realitas dalam rangka mengambil keputusan (decision making), memecahkan persoalan (problem solving), dan menghasilkan yang baru (creativity) (Rakhmat, Jalaludin, 2005:68). Jadi, berpikir dapat dianggap sebagai sebuah proses kognitif, suatu aktifitas mental untuk memperoleh pengetahuan.

Sumarno, Utari (2010:4) mengemukakan ”istilah berpikir matematik (mathematical thinking) diartikan sebagai cara berpikir berkenaan dengan proses matematika (doing math), atau cara berpikir dalam menyelesaikan tugas matematika (mathematical task) baik yang sederhana maupun yang kompleks. Lebih lanjut menurut Sumarno, Utari ”ditinjau dari kedalaman dan kekomplekan kegiatan matematik yang terlibat, berpikir matematik dapat digolongkan dalam dua jenis yaitu yang tingkat rendah (low order mathematical thinking) dan yang tingkat tinggi (high order mathematical thinking)”

Johnson, Elaine B. (2006:187) meyatakan ”Berpikir kritis adalah berpikir dengan baik, dan merenungkan tentang proses berpikir merupakan bagian dari berpikir

dengan baik”. Pengertian ini, mensyaratkan tinjauan ulang terhadap setiap proses berpikir yang kita lakukan. Sejalan dengan pendapat Johnson, Elaine B., menurut Rakhmat, Jalaludin (2005;69) ’’Berpikir evaluatif adalah berpikir kritits, menilai baik buruknya, tepat atau tidaknya suatu gagasan’’.

Menurut Ennis, R.H.

(Ratnaningsih, Nani, 2008:7) menyatakan ”Berpikir kritis adalah suatu proses berpikir dengan tujuan membuat keputusan yang masuk akal tentang apa yang diyakini atau dilakukan”.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis matematik adalah kemampuan untuk menganalisis suatu situasi atau masalah matematika melalui pemeriksaan yang ketat.

Menurut pendapat Ennis (Sulianto, Joko, 2010:6) yang secara singkatnya menyatakan bahwa terdapat enam unsur dasar dalam berpikir kritis, yaitu fokus (focus), alasan (reason), kesimpulan (inference), situasi (situation), kejelasan (clarity), dan tinjauan ulang (overview). Dari pendapat ini dapat dijelaskan bahwa tahap-tahap dalam berpikir kritis adalah sebagai berikut:

(1). Fokus (focus). Dalam memahami masalah adalah menentukan hal yang menjadi fokus (Focus) dalam masalah tersebut. Hal ini dilakukan agar pekerjaan menjadi lebih efektif, karena tanpa mengetahui fokus permasalahan, kita akan membuang banyak waktu. Menurut Monalisa (2010:2) keterampilan

memfokuskan masalah

(7)

46 Copyright ©2018, Jurnal Didactical Mathematics http://jurnal.unma.ac.id/index.php/dm

ketidakcocokan atau situasi membingungkan

(2). Alasan (reason). Apakah alasan-alasan yang diberikan logis atau tidak untuk disimpulkan seperti yang tercantum dalam fokus.

(3). Kesimpulan (inference). Jika alasannya tepat, apakah alasan itu cukup untuk sampai pada kesimpulan yang diberikan?

(4). Situasi (situation). Mencocokkan dengan situasi yang sebenarnya. (5). Kejelasan (clarity) yaitu

mengungkapkan sesuatu secara jelas. Clarity (kejelasan) dapat diimplemantasikan melalui pertanyaan-pertanyaan seperti: apa yang anda maksud, akankah sebuah kata atau kata-kata akan membingungkan jika digunakan dalam cara berbeda, dapatkah anda memberikan contoh, dan dapatkah anda memberikan kasus yang serupa, tetapi bukan contoh. (6). Tinjauan ulang (overview). Artinya

kita perlu mencek apa yang sudah ditemukan, diputuskan, diperhatikan, dipelajari dan disimpulkan.

Indikator yang digunakan atau diukur dalam penelitian ini adalah: reason (alasan) yang indikatornya memberikan alasan terhadap jawaban atau simpulan; Inference (simpulan) yang indikatornya memperkirakan simpulan yang akan didapat; Situation (situasi) indikatornya menerapkan konsep pengetahuan yang dimiliki sebelumnya untuk menyelesaikan masalah pada situasi lain; Clarity (kejelasan) yang indikatornya memberikan contoh masalah atau soal yang serupa dengan yang sudah ada; Overview (pemeriksaan atau tinjauan) dengan indikator memeriksa kebenaran jawaban.

Indikator Focus tidak diukur karena indikator focus terangkum dalam situation. Seperti yang diungkapkan oleh Ennis (Sulianto, joko 2010:7) fokus sebenarnya tergantung pada situasi, yaitu menegaskan fokus tergantung apa yang kita ketahui. Hipotesis

Ruseffendi, E.T. (2005:23) menyatakan, “Hipotesis adalah penjelasan atau jawaban tentative (sementara) tentang tingkah laku, fenomena (gejala), atau kejadian yang akan terjadi, bisa juga mengenai kejadian yang sedang berjalan”. Berdasarkan landasan teoritis dan anggapan dasar, maka peneliti merumuskan hipotesis “terdapat pengaruh positif penggunaan model pembelajaran quantum terhadap kemampuan berpikir kritis matematik

3. METODE PENELITIAN

Metode penelitian menjelaskan rancangan keMetode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian eksperimen karena penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan model pembelajaran quantum terhadap kemampuan berpikir kritis matematik.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah teknik pengukuran (tes) yang meliputi :

(1). Melaksanakan Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematik

(2). Pemberian Tugas Kelompok (3). Pemberian Tugas Individu

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

(8)

47 Copyright ©2018, Jurnal Didactical Mathematics http://jurnal.unma.ac.id/index.php/dm menggunakan model pembelajaran

langsung.

Pembelajaran yang dilaksanakan pada kelas eksperimen yaitu model pembelajaran quantum. Dapat diperoleh beberapa gambaran bahwa penggunaan model pembelajaran Quantum dengan persiapan yang matang dan pelaksanaan yang optimal, dapat memberikan hasil yang maksimal pada kemampuan penalaran matematik peserta didik.

Model pembelajaran Quantum dikatakan lebih baik karena dalam pelaksanaan pembelajarannya peserta didik terlibat dalam pembelajaran dan aktif bekerja sama dalam memahami materi logika melalui bahan ajar serta dalam menyelesaikan setiap permasalahan. Hal tersebut terjadi karena mereka merasa nyaman dan senang untuk belajar matematika. Hal ini sesuai dengan tujuan pembelajaran Quantum menurut Porter, Bobbi De, dan Mike Hernacki (2010) yang berupaya menciptakan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan, juga sesuai dengan teori kecerdasan ganda yang menyatakan bahwa siswa belajar dengan didukung oleh dua kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional, berbeda dengan saat pembelajaran menggunakan model pembelajaran langsung peserta didik cenderung pasif karena kegiatan pembelajaran didominasi oleh guru dan peserta didik hanya memperhatikan. Selain itu melalui masalah yang disajikan dalam bahan ajar, peserta didik terlatih untuk

memecahkan masalah dan

membangun sendiri pengetahunnya. Hal ini sejalan dengan teori Piaget (Ruseffendi, E.T, 1991 :133) bahwa pembelajaran sebagai proses yang aktif artinya pengetahuan baru tidak diberikan kepada siswa dalam tataran psikologis dalam diri siswa

Berbeda dengan pembelajaran quantum, pembelajaran yang digunakan pada kelas kontrol menggunakan model pembelajaran langsung. Ada lima fase pada pembelajaran langsung, yaitu fase menyampaikan tujuan dan mempersiapkan peserta didik, fase mendemonstrasikan keterampilan dan pengetahuan, fase pelatihan terbimbing, fase umpan balik, serta fase latihan dan aplikasi.

Pada fase pertama, peneliti dalam hal ini sebagai guru memberikan apersepsi berupa menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dilaksanakan, dan mengingatkan kembali materi yang telah dipelajari peserta didik pada pertemuan sebelumnya berkaitan dengan materi trigonometri yang akan diberikan sebagai upaya untuk mempersiapkan peserta didik.

Fase demonstrasi, pada fase ini peneliti sebagai guru memberikan penjelasan tentang materi trigonometri secara langsung kepada peserta didik, kemudian guru memberikan penjelasan penyelesaian latihan soal materi yang diajarkan. Selanjutnya fase pelatihan terbimbing, Guru memberikan latihan melalui LKPD dan dikerjakan secara

kelompok (pengelompokan

berdasarkan tempat duduk terdekat) jika ada peserta didik atau kelompok yang mengalami kesulitan guru memberikan arahan atau bimbingan.

(9)

48 Copyright ©2018, Jurnal Didactical Mathematics http://jurnal.unma.ac.id/index.php/dm

Berdasarkan hasil analisis skor keseluruhan peserta didik yang merupakan rerata tugas kelompok, rerata tugas individu, dan tes kemampuan berpikir kritis. Diperoleh rata-rata skor akhir untuk kelas eksperimen yaitu 12,62. Berbeda dengan kelas control yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran langsung rata-rata yang diperoleh adalah 11,65. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut

Berdasarkan gambar tersebut terlihat perbedaan kemampuan berpikir kritis matematik bahwa kelas eksperimen yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran quantum lebih baik karena rata peserta didik yang diperoleh lebih besar daripada kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran langsung. Hal inidisebabkan karena peserta didik yang belajar melalui model pembelajaran quantum terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Melalui masalah yang disajikan pada bahan ajar, peserta didik terlatih menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-idenya. Ketika mereka mengidentifikasi masalah, menganalisis, menciptakan solusi dan sebagainya, mereka mempertajam keahlian berpikir seperti berpikir kritis.

Peserta didik mengembangkan pemikiran sendiri dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya, mereka tidak hanya mengingat seperangkat fakta yang diinformasikan oleh guru, sehingga peserta didik mampu mengingat

pengetahuan tersebut lebih lama karena peserta didik menemukannya sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Bruner (Dahar, Ratna W.,1996:103). bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik.

Di akhir pertemuan melakukan refleksi agar peserta didik merasa bahwa hari ini mereka belajar sesuatu. Maksud dari refleksi disini dilakukan oleh guru terhadap peserta didik. Adanya refleksi menyebabkan guru lebih mudah mengontrol apa-apa yang telah dan belum dipahami oleh peserta didik.

Selain itu, pada pembelajaran langsung guru ataupun peserta didik kurang dapat mengkontrol apa-apa yang telah dan belum dipahami oleh peserta didik karena dalam pembelajaran langsung tidak ada refleksi. Berdasarkan uraian tersebut serta hasil pengujian hipotesis peneliti menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif penggunaan model pembelajaran quantum terhadap kemampuan berpikir kritis matematik.

5. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, pengolahan dan analisis data serta pengujian hipotesis, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif penggunaan model pembelajaran quantum terhadap kemampuan berpikir kritis matematik

6. REFERENSI

Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta

(10)

49 Copyright ©2018, Jurnal Didactical Mathematics http://jurnal.unma.ac.id/index.php/dm Kaifa. DePorter, Bobbi, et, al. (2010).

Quantum Teaching: Mempraktikan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. Penerjemah Ari Nilandri. Bandung: Kaifa.

Johnson, Elaine.B. (2006). Contextual Teaching and Learning. (Menjadikan Kegiatan Belajar Mengasyikan dan Bermakna). Terjemahan Ibnu Setiawan. Bandung: Mizan Learning Center. Lita. (2008). Manfaat Intelegence Cara Cerdas Melatih Otak dan Menanggulangi Kesulitan Belajar. Yogyakarta:

Ar-Muhfahroyin. (2010). Memberdayakan Kemampuan Berpikir Kritis. Quantum Berdasarkan “SISIKO”. Jakarta: Grasindo. Rakhmat, Jalaludin. (2005). Psikologi

Komunikasi. Bandung: Rosda. Ratnaningsih, Nani. (2008). Berbagai

Keterampilan Berpikir Matematik. Makalah pada seminar Pendidikan Matematika HIMPATIKA UNSIL. Tasikmalaya. Russeffendi, E.T. (2005).

Dasar-dasar Penelitian Pendidikan

dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung : Tarsito. Sagala, Syaiful. (2010). Konsep dan

Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta

Silberman, Melvin l. (2006). Active Learning: 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Terjemahan

Raisul Muttaqien. Bandung: Nusamedia. Sudjana. (2005) Metoda Statistika . Bandung: Tarsito.

Sugiyanto. (2010). Model-model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Yuma Pustaka

Suherman, Erman. (2006). Implementasi Model Pembelajaran Quantum dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah. Makalah disajikan dalam acara Seminar Pendidikan Matematik. Tasikmalaya : Universitas Siliwangi.

Sulianto, Joko. (2010). Pendekatan Quantum dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan berpikir Kritis pada siswa

Sumarmo, Utari. (2006). Berfikir Matematik Tingkat Tinggi: Apa, Mengapa, dan Bagaimana dikembangkan pada Siswa Sekolah Menengah dan Mahasiswa Calon Guru. Makalah pada Seminar Pendidikan Matematika. FMIPA Universitas Padjajaran. Bandung.

Widaningsih, Dedeh. (2009). Perencanaan Pembelajaran Matematika. Diktat Kuliah. Tasikmalaya : PSPM FKIP UNSIL . (2009).

(11)

50 Copyright ©2018, Jurnal Didactical Mathematics http://jurnal.unma.ac.id/index.php/dm

Gambar

gambar tersebut

Referensi

Dokumen terkait

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, tes performansi (unjuk kerja), observasi, dan studi pustaka. 1) Wawancara dilakukan untuk

- Pada pertemuan berikutnya siswa diminta menyiapkan diri, menguasai dialog, dan mampu mengembangkan keterampilan berbicara sesuai dengan topik diskusi yang akan disampaikan

Pada uji coba media pop up book, selain melihat nilai angket respon siswa dalam menggunakan media pop up book berbasis literasi digital, juga melihat hasil kemampuan

Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Dan Pola Asuh Dengan Kejadian Stunting Pada Anak Usia 6-24 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo Kota Padang Tahun 2015..

dibidang dagang. Pembiayaan tersebut termasuk pembiayaan yang paling banyak dijalankan oleh pihak KJKS-BMT Ummat Sejahtera Abadi, karena banyak dari mereka adalah para

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa cukup banyak waktu yang dihabiskan oleh para siswa ini untuk bermain video game yang dapat membawa beberapa dampak tertentu pada

Berdasarkan tabel di atas t hitung diperoleh hasil -0,970, dengan nilai signifikansi sebesar 0,335 yang lebih besar dari 0,05 maka H0 diterima yang artinya bahwa