• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Model Hidrologi

Rauf (1994) menjelaskan bahwa model hidrologi adalah sebuah gambaran sederhana dari suatu sistem hidrologi yang aktual. Dooge dalam Harto (1993) menyatakan pengertian sistem sebagai suatu struktur, alat, skema atau prosedur, baik riil maupun abstrak, yang dikaitkan dalam satu referensi waktu tertentu sebuah masukan atau sebab, tenaga atau informasi dengan keluaran pengaruh atau tanggapan secara menyeluruh.

Tujuan penggunaan model dalam hidrologi diantaranya : (1) peramalan (forecasting), termasuk didalamnya untuk sistem peringatan dan manajemen. Peramalan memberikan maksud bahwa baik besaran ataupun waktu kejadian yang dianalisis berdasar cara probabilistik, (2) perkiraan (prediction), memberikan pengertian bahwa besaran kejadian dan waktu hipotetik (hypothetical future time), (3) sebagai alat deteksi dalam masalah pengendalian. Dengan sistem yang telah pasti dan keluaran yang diketahui maka masukan dapat dikontrol dan diatur, (4) sebagai alat pengenal (identification tool) dalam masalah perencanaan (planning), (5) eksplorasi data/informasi, (6) perkiraan lingkungan akibat perilaku manusia yang berubah/meningkat dan (7) penelitian dasar dalam proses hidrologi (Harto, 1993).

Pada siklus hidrologi terdapat beberapa proses yang saling terkait mencerminkan pergerakan air, meliputi proses presipitasi, evaporasi, transpirasi, intersepsi, infiltrasi, perkolasi, aliran limpasan, aliran air bawah tanah. Selanjutnya proses

(2)

Evapotranspirasi, intersepsi, infiltrasi, perkolasi, aliran disebut sebagai komponen ketersediaan air. Pergerakan air pada suatu DAS merupakan manifestasi dari siklus hidrologi untuk mencapai keseimbangan ketersediaan air di bumi. Konsep keseimbangan air adalah water balance atau persamaan air (Viessman et.al, 1977, Arsyad, 1989), yaitu:

AP = P - IN - ET – PE – ∆SA ...(2.1) Aliran permukaan (AP); curah hujan (P); intersepsi (IN); evapotranspirasi (ET); Perkolasi (PE); dan perubahan simpanan air (∆SA). Proses pergerakan air tersebut dapat ditiru dan diwujudkan dalam bentuk model.

Model tentang pengalihragaman hujan menjadi aliran yang paling sederhana dan sampai saat ini masih digunakan di Indonesia maupun negara lain yaitu Metode Rasional. Pengembangan model pengalihragaman hujan menjadi aliran telah banyak dilakukan.

(3)

2.2 DAS ( Daerah Aliran Sungai) 2.2.1. Pengertian DAS

Daerah Aliran Sungai disingkat DAS ialah air yang mengalir pada suatu kawasan yang dibatasi oleh titik-titik tinggi di mana air tersebut berasal dari air hujan yang jatuh dan terkumpul dalam sistem tersebut. Guna dari DAS adalah menerima, menyimpan, dan mengalirkan air hujan yang jatuh diatasnya melalui sungai. Air Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah air yang mengalir pada suatu kawasan yang dibatasi oleh titik-titik tinggi dimana air tersebut berasal dari air hujan yang jatuh dan terkumpul dalam sistem tersebut.

Air pada DAS merupakan aliran air yang mengalami siklus hidrologi secara alamiah. Selama berlangsungnya daur hidrologi, yaitu perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut yang tidak pernah berhenti tersebut, air tersebut akan tertahan (sementara) di sungai, danau/waduk, dan dalam tanah sehingga akan dimanfaatkan oleh manusia atau makhluk hidup.

Air hujan yang dapat mencapai permukaan tanah, sebagian akan masuk (terserap) ke dalam tanah (infiltrasi), sedangkan air yang tidak terserap ke dalam tanah akan tertampung sementara dalam cekungan-cekungan permukaan tanah (surface detention) untuk kemudian mengalir di atas permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah (runoff), untuk selanjutnya masuk ke sungai. Air infiltrasi akan tertahan di dalam tanah oleh gaya

(4)

kapiler yang selanjutnya akan membentuk kelembaban tanah. Apabila tingkat kelembaban air tanah telah cukup jenuh maka air hujan yang baru masuk ke dalam tanah akan bergerak secara lateral (horizontal) untuk selanjutnya pada tempat tertentu akan keluar lagi ke permukaan tanah (subsurface flow) yang kemudian akan mengalir ke sungai.

2.2.2. Pemilihan STA Hujan

a. Memilih STA Hujan yang dekat dengan DAS tetapi letaknya tersebar merata, dan tidak berkumpul di satu arah, karna jika pos hujan berada di satu titik maka tidak bisa memperkirakan jumlah air yang akan masuk ke sungai melalui DAS

b. Memilih STA hujan yang ketersediaan datanya lengkap c. Data hujan diperoleh di PUSAIR/BMKG/PSDA

2.2.3. Curah Hujan Wilayah

a.

Metode kebalikan jarak (inverse distance weighting)

Metode kebalikan jarak (inverse distance weighting) berdasarkan konsep Hukum Pertama Tobler (Hukum Pertama tentang Geografi) yang berbunyi : "Segala hal berhubungan dengan segala hal yang lain, namun hal yang dekat lebih berkaitan daripada dengan hal yang jauh." (Chen dan Liu, 2012). Pembobotan dengan metode ini menggunakan persamaan sebagai berikut (Indarto, 2010) : wi = 1 di2 ∑ 1 di2 N i=1 ...(2.2)

(5)

dimana :

wi = bobot masing-masing stasiun hujan

di = jarak stasiun hujan ke lokasi (diambil titik berat DAS) (km2)

N = jumlah stasiun hujan

Ilustrasi untuk IDW dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2.1 Metode IDW

b. Cara rata-rata aljabar

Metode ini adalah yang paling sederhana yaitu dengan merata-ratakan tinggi curah hujan yang terukur dalam daerah yang ditinjau secara aritmatik. Keuntungan cara ini adalah lebih obyektif jika dibandingkan dengan cara lain.

Hasil yang diperoleh dengan cara ini tidak berbeda jauh dari hasil yang didapat dengan cara lain jika dipakai pada:

 daerah datar,

 stasiun-stasiun penakarnya banyak dan tersebar merata,

(6)

Gambar 2.2 Metode Aritmatik

Hujan rata-rata dapat dihitung dengan rumus pendekatan:

RH Hi i n = 1n

1 ...(2.3) dimana:

HI = hujan pada masing-masing stasiun i (1,2., n dalam areal yang

Ditinjau). n = jumlah stasiun, RH = rata-rata hujan

Perlu diketahui bahwa untuk menghitung hujan wilayah dengan menerapkan cara rata-rata aljabar, data hujan yang ditinjau dan diperhitungkan adalah data hujan yang berada didalam daerah aliran (cathment area) dalam hal ini H1, H2, H¬n. Yang berada di luar daerah aliran tidak dihitung.

(7)

c. Cara Polygon Theissen

Cara ini sering dipakai karena mengimbangi tidak meratanya distribusi alat ukur dengan menyediakan suatu faktor pembobot (weighting factor) bagi masing-masing stasiun. Cara Poligon Theiessen dapat dipakai pada daerah dataran atau daerah pegunungan (dataran tinggi) dan stasiun pengamat hujan minimal ada tiga, sehingga dapat membentuk segitiga.

Koordinat/lokasi stasiun diplot pada peta, kemudian hubungkan tiap titik yang berdekatan dengan sebuah garis lurus sehingga membentuk segitiga. Garis-garis bagi tegak lurus dari garis-garis penghubung ini membentuk poligon di sekitar masing-masing stasiun. Sisi-sisi setiap poligon merupakan batas luas efektif yang diasumsikan untuk stasiun tersebut. Luas masing-masing poligon ditentukan dengan planimetri atau cara lain. Ilustrasi untuk Poligon Thiessen dapat dilihat pada gambar berikut :

(8)

Hujan rata-rata dapat dihitung dengan rumus pendekatan : RH= ∑ni=1Hi.Ai ∑ni=1Ai ...(2.4) dimana :

Hi = hujan pada masing- masing stasiun 1, 2 … n (mm)

Ai = luas pengaruh masing- masing stasiun 1, 2 … n pada daerah

aliran (km2)

n = jumlah stasiun yang ditinjau RH = rata- rata curah hujan (mm)

Metode ini dapat dipakai untuk menghitung curah hujan wilayah di daerah pegunungan atau dataran, namun metode ini memiliki kelemahan, yaitu lokasi stasiun hujan yang sebisa mungkin berada di dalam DAS, lokasi stasiun yang harus tersebar merata di sekitar DAS, dan ketidakakuratan ketika menggunakan stasiun yang berbeda letak geografisnya (misalnya ada stasiun di pegunungan dan dataran untuk menghitung DAS tertentu).

d. Cara Ishoyet

Cara ini merupakan cara rasional yang terbaik dalam merata-ratakan hujan pada suatu daerah, jika garis-garis digambar dengan akurat. Cara ini dapat dipakai bila stasiun curah hujan cukup banyak dan tersebar merata pada daerah aliran sungai. Cara ini agak sulit mengingat proses penggambaran peta isohyet (serupa dengan garis kontur pada peta topografi) harus mempertimbangkan topografi, arah angin dan faktor di daerah yang bersangkutan. Lokasi stasiun dan besar datanya diplot dalam peta, kemudian

(9)

digambar garis yang menghubungkan curah hujan yang sama (prosesnya sama dengan penggambaran garis kontur pada peta topografi) dengan perbedaan interval berkisar antara 10 sampai 20 mm. Luas bagian daerah antara dua garis isohyet berdekatan yang termasuk bagian-bagian daerah itu kemudian diukur dengan planimetri. Besarnya rerata curah hujan dapat dihitung dengan formulasi sbb.:

  n i i n i i i H A A H R 1 1 . = ...(2.5) dimana:

HI = Hujan pada masing-masing stasiun A1, A2,…., An

AI = Luas bagian-bagian antara garis-garis isohyet

n = Jumlah bagian-bagian antara garis-garis isohyet, RH = Rata-rata hujan.

Ilustrasi untuk garis Isohyet dapat dilihat pada gambar berikut :

(10)

Cara ini akan menjadi lebih sulit bila jumlah titik-titik pengamatan hujan lebih banyak dan variasi curah hujan di daerah tersebut cukup besar. Kemungkinan individual error akan terjadi dalam penggambaran isohyet.

2.3 Klimatologi

Pengertian klimatologi adalah cabang ilmu yang mempelajari iklim atau kondisi cuaca rata-rata selama periode waktu tertentu. Klimatologi merupakan cabang dari ilmu atmosfer karena mempelajari perubahan pola cuaca rata-rata dalam hubungannya dengan kondisi atmosfer. Berbeda dengan meteorologi, yang berfokus pada sistem cuaca jangka pendek yang berlangsung hingga beberapa minggu, klimatologi mempelajari frekuensi dan kecenderungan sistem tersebut selama bertahun-tahun, bahkan hingga ribuan tahun. Pengetahuan dasar iklim dapat digunakan dalam peramalan cuaca jangka pendek maupun untuk peramalan iklim pada masa mendatang.

2.4 Evapotranspirasi

Faktor penentu tersedianya air permukaan setelah hujan adalah evapotranspirasi, yaitu banyaknya air yang dilepaskan ke udara dalam bentuk uap air. Evapotranspirasi dihasilkan dari proses evaporasi dan transpirasi. Evaporasi/penguapan adalah suatu proses perubahan dari molekul air dalam wujud cair ke dalam wujud gas. Evaporasi terjadi apabila terdapat perbedaan tekanan uap air antara permukaan dan udara di atasnya. Evaporasi terjadi pada permukaan badan- badan air, misalnya danau, sungai dan genangan air.

(11)

Gambar 2.5 Proses Evaporasi dan Evapotranspirasi

Besarnya limpasan atau surface run off dapat diperkirakan dari selisih antara hujan dengan evapotranspirasi. Cara ini memberikan pendekatan yang lebih memuaskan dan pada pemakaian koefisien run off terutama untuk daerah tropis seperti Indonesia, dimana daerah tersebut mempunyai curah hujan dan kelembaban tanah sehingga air tidak membatasi evapotranspirasi sepanjang tahun kecuali untuk beberapa wilayah di Indonesia.

Pada kondisi atmosfir tertentu evapotranspirasi tergantung pada keberadaan air. Jika kandungan air dalam tanah selalu dapat memenuhi kelembaban yang dibutuhkan oleh tanaman, digunakan istilah evapotranspirasi potensial. Evapotranspirasi yang sebenarnya terjadi pada kondisi spesifik tertentu, dan disebut evapotranspirasi aktual.

(12)

Faktor-faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi antara lain adalah sebagai berikut:

1. Radiasi matahari (Solar Radiation).

Evaporasi merupakan konversi air ke dalam uap air. Proses ini terjadi hampir tanpa berhenti di siang hari dan sering kali juga di malam hari. Perubahan dari keadaan cair menjadi gas ini memerlukan input energi yang berupa panas latent atau evaporasi. Proses tersebut akan sangat aktif jika ada penyinaran langsung dari matahari. Awan merupakan penghalang radiasi matahari dan akan mengurangi input energi, jadi akan menghambat proses evaporasi. 2. Angin (Wind)

Jika air menguap ke atmosfer maka lapisan batas antara tanah dengan udara menjadi jenuh oleh uap air sehingga proses evaporasi terhenti. Agar proses tersebut berjalan terus, lapisan jenuh itu harus diganti dengan udara kering. Pergantian itu dapat dimungkinkan hanya kalau ada angin, jadi kecepatan angin memegang peranan dalam proses evaporasi.

3. Kelembaman Relatif (Relative Humidity)

Faktor lain yang mempengaruhi evaporasi adalah kelembaman relatif udara. Jika kelembaman relatif ini naik, kemampuannya untuk menyerap uap air akan berkurang sehingga laju evaporasinya munurun. Penggantian lapisan udara pada batas tanah dan udara denganudara yang sama kelembaman relatifnya tidak akan menolong untuk memperbesar laju evaporasi. Ini hanya dimungkinkan jika diganti dengan udara yang lebih kering.

(13)

4. Suhu (Temperature)

Seperti disebutkan di atas, suatu input energi sangat diperlikan agar evaporasi berjalan terus. Jika suhu udara dan tanah cukup tinggi, proses evaporasi akan berjalan lebih cepat jika dibandingkan dengan suhu udara dan tanah rendah, karena adanya energi panas yang tersedia. Karena kemampuan udara untuk menyerap uap air akan naik jika suhunya naik, maka suhu udara mempunyai efek ganda terhadap besarnya evaporasi, sadangkan suhu tanah dan air hanya mempunyai efek tunggal.

2.5 Metode Thronthwaite

Thornthwaite telah mengembangkan suatu metode untuk memperkirakan besarnya evapotranspirasi potensial dari data klimatologi. Evapotranspirasi potensial (PET) tersebut berdasarkan suhu udara rerata bulanan dengan standar 1 bulan 30 hari, dan lama penyinaran matahari 12 jam sehari. Metode ini memanfaatkan suhu udara sebagai indeks ketersediaan energi panas untuk berlangsungnya proses ET dengan asumsi suhu udara tersebut berkorelasi dengan efek radiasi matahari dan unsur lain yang mengendalikan proses ET.

Rumus dasar:

𝐸𝑇𝑃 = 1,6 (10𝑋 𝑇

𝐼 )

a ...(2.17)

keterangan:

ETP = evapotranspirasi potensial bulanan (cm/bulan) T = temperatur udara bulan ke-n (OC)

I = indeks panas tahunan

(14)

Harga a dapat ditetapkan dengan menggunakan rumus:

a = 675 ´ 10-9 ( I3 ) – 771 ´ 10-7 ( I2 ) + 1792 ´ 10-5 ( I ) + 0,49239 ...(2.18)

rumus ini baru berlaku untuk suhu udara rata-rata bulanan (t < 26,5 °C). sedangkan untuk data suhu (t > 26,5 °C) digunakan rumus:

ETP(t ≥26,5 °C) = -0,00433 t2 + 3,2244 t -41,545 ...(2.19)

Jika rumus tersebut diganti dengan harga yang diukur, maka:

ETP = evapotranspirasi potensial bulanan standar (belum disesuaikan dalam cm). Karena banyaknya hari dalam sebulan tidak sama, sedangkan jam penyinaran matahari yang diterima adalah berbeda menurut musim dan jaraknya dari katulistiwa, maka harus disesuaikan menjadi:

𝑃𝐸 = 𝐸𝑇𝑃 𝑠 . 𝑇 𝑧

30 𝑋 12 ...(2.20)

Keterangan:

s = jumlah hari dalam bulan

Tz = jumlah jam penyinaran rerata per hari

2.6 Metode NRECA

Salah satu model hujan aliran yang relative sederhana adalah model NRECA. National Rural Electric Cooperative Association di amerika mengembangkan suatu model hidrologi untuk “Hydrologic Estimates For Small Hydroelectric Projects”. Model tersebut dikembangkan oleh Norman H. Crawford dan Steven M. Thurin (1981). Model NRECA digunakan untuk memperkirakan debit bulanan yang berdasar pada hujan bulanan. Konsep dari metode NRECA memerlukan inputan utama berupa data hujan dan evapotranspirasi aktual.

(15)

Gambar 2.6 Diagram alir model NRECA

Secara umum persamaan dasar dari metode NRECA ini dirumuskan sebagai berikut:

Q = P – ΔE + ΔS ...(2.21) dengan:

P = Prespitasi/ Hujan rata-rata DAS (mm) ΔE = Evapotranspirasi Aktual (mm) ΔS = Perubahan Tampungan (mm) Q = Limpasan (mm)

Data masukan yang diperlukan dari model hujan-limpasan NRECA adalah sebagai berikut:

a. Hujan rata-rata suatu DAS (P)

b. Evapotranspirasi potensial dari DAS (ETP)

Jika data yang ada adalah evapotranspirasi standar maka harus diubah ke dalam bentuk evapotranspirasi aktual.

(16)

c. Kapasitas tampungan kelengasan atau nominal

Diperkirakan nilai nominal seperti persamaan berikut :

NOM = 100 + C x hujan rata-rata tahunan (mm) ...(2.22) Dengan :

 C = 0,2 untuk daerah dengan hujan sepanjang tahun  C = 0,25 untuk daerah dengan hujan musiman

Hujan nominal dapat dukurangi hingga 25% untuk daerah dengan tumbuhan yang terbatas dan penutup tanah yang tipis.

d. Persentase limpasan yang keluar dari DAS di sub surface/infiltrasi (PSUB), dimana:

 PSUB = 0,5 untuk daerah tangkapan hujan yang normal/biasa  0,5 < PSUB = 0,9, untuk daerah dengan akuifer permeable yang

besar

0,2 = PSUB < 0,5, untuk daerah dengan akuifer terbatas dan lapisan tanah yang tipis

e. Persentase limpasan tampungan air tanah menuju ke sungai (GWF) Dimana :

 GWF = 0,5 , unuk daerah tangkapan hujan yang normal/biasa  0,5 < GWF = 0,9, untuk daerah yang memiliki tampungan air yang

kecil (base flow kecil) .

 0,2 = GWF < 0,5, untuk daerah yang memiliki tampungan air yang dapat diandalkan (base flow besar)

f. Simpangan kelengasan tanah (soil moisture storage) adalah cadangan air yang besarnya ditentukan dari selisih tampungan akhir dan awal. Besarnya

(17)

tampungan ini ditentukan oleh curah hujan, evapotranspirasi dan kelebihan kelengasan yang menjadi limpasan langsung imbuhan air tanah. Simpangan kelengasan tanah ini ditentukan dengan cara coba-coba. Nilai awal dari tampungan kelengasan (Soil Moisture Storage), nilai SMS tidak ada batasan, tapi perlu diperhatikan fluktuasinya agar seimbang.

g. Simpangan air tanah (Ground Water Flow) adalah : kelebihan kelengasan tanah yang masuk ke dalam tanah dan mengalami perkolasi dan akan masuk kedalam tampungan air tanah yang disebut akuifer Nilai awal tampungan awal (Ground Water Flow), nilai GWF tidak ada batasan, tapi perlu diperhatikan fluktuasinya agar seimbang.

h. Nilai Crop Factor (CROFT) berkisar antara 0,9 sampai 1,1.

Sedangkan langkah perhitungan Model NRECA :

Metode Nreca dapat digunakan untuk menghitung debit bulanan dari hujan berdasarkan keseimbangan air di DAS. Langkah perhitungan mencakup 18 tahap, dan dapat dilakukan kolom perkolom dari kolom (1) hingga (18) dalam satuan mm.

Kolom 1 : Nama bulan Januari sampai Desember Kolom 2 : Presipitasi (hujan) bulanan rata-rata (mm) Kolom 3 : Evapotranspirasi potensial (ETP) (mm)

Kolom 4 : Nilai tampungan awal (Wo). Nilai ini harus dicoba-coba, dan percobaan pertama diambil 600 (mm/bulan) di bulan januari. Sebagai kondisi awal dan digunakan untuk perhitungan selanjutnya.

(18)

Kolom 5 : Ratio tampungan tanah (soil storage ratio – Wi). Dihitung dengan rumus : Wi = 𝑊𝑜 𝑁𝑂𝑀𝐼𝑁𝐴𝐿 ...(2.24) Nominal = 100 + 0,2 Ra ...(2.25) Keterangan : Ra = hujan tahunan (mm)

Kolom 6 : Ratio Presipitasi (Rb) / Evapotranspirasi Potensial – Kolom (2) / kolom (3)

Kolom 7 : Ratio AET / ETP ...(2.27) Keterangan :

AET = Evapotranspirasi Aktual, Ratio ini didapat dengan bantuan grafik 1, tergantung nilai Rb / ETP.

Kolom 8 : AET (i) = [𝐴𝐸𝑇 (𝑖)𝐸𝑇𝑃 (𝑖)] x ETP(𝑖) x koefisien reduksi ...(2.28) = kolom (7) x kolom (3) x koefisien reduksi

Kolom 9 : Neraca Air (Water Balance) = Rb–AET ...(2.29)

(kolom (2) – kolom (8))

Kolom 10 : Rasio kelebihan kelengasan tanah (Excess Moisture Ratio) Diperoleh :

1. Bila neraca air pada kolom (9) positif, maka rasio tersebut dapat diperoleh bantuan grafik. Dengan memasukkan nilai tampungan kelengasan tanah (Wi) di kolom (5). 2. Jika harga kelebihan kesetimbangan air negatif, maka

(19)

Kolom 11 : Kelebihan kelengasan tanah (excess moisture) didapatkan dengan mengalikan harga kolom (10) dengan kolom (9)

Excess Moisture(i) = Excess Moisture Ratio(i)xWater Balance(i)..(2.30) Kolom 12 : Perubahan tampungan = kolom (9) – kolom (11)

Delta storage(i) = Water Balance (i) – excess Moisture (i)... (2.31) Kolom 13 : Pengisian air tanah (recharge to ground water). Harga

pengisian air tanah didapatkan dengan mangalikan PSUB dengan kolom (11).

Recharge to ground water (i) = PSUB x Excess moisture (i) ... (2.31) PSUB atau P1 yaitu parameter yang menggambarkan karakteristik tanah permukaan (kedalaman 0 – 2 m), nilainya 0,1 – 0,5 tergantung pada sifat lulus air lahan, nilai P1 = 0,1 bila bersifat kedap air dan nilai P1 = 0,5 bila bersifat lulus air.

Kolom 14 : Tampungan awal air tanah (begin storage GW), Harga tampungan air tanah awal yang harus dicoba-coba dengan nilai

awal = 2.

Kolom 15 : Tampungan akhir air tanah (end storage Ground Water), Harga tampungan akhir air tanah didapatkan dari penjumlahan antara kolom (13) dan kolom (14).

End Storage GW(i) = Recharge to GW(i) + Begin Storage GW (i) ... (2.32) Kolom 16 : Aliran air tanah (GW flow), Nilai ini didapat dari perkalian antara

GWF dengan kolom (15).

GWF atau P2 yaitu parameter yang menggambarkan karakteristik tanah permukaan (kedalaman 2-10 m), nilainya 0,1 – 0,5

(20)

tergantung pada sifat lulus air lahan, nilai P2 = 0,9 bila bersifat kedap air dan P2 = 0,5 bila bersifat lulus air.

Kolom 17 : Direct Flow, Nilai direct flow didapat dari pengurangan antara kolom (11) dengan kolom (13).

Kolom 18 : Debit Total = kolom (16) + kolom (17) Kolom 19 : Debit Observasi (debit pengukuran)

Perhitungan debit dengan Metode NRECA. Metode ini menggunakan prinsip inflow sungai yang dipengaruhi oleh sumbangan dari air tanah untuk mendapatkan debit bulanan untuk tiap-tiap tahun.

2.7 Kalibrasi Model NRECA 2.7.1 Parameter NRECA

Ada 4 parameter NRECA yang merupakan karakteristik DAS yaitu :

1. Nilai PSUB

Persentase limpasan yang keluar dari DAS di sub surface/infiltrasi (PSUB), dimana:

 PSUB = 0,5 untuk daerah tangkapan hujan yang normal/biasa  0,5 < PSUB = 0,9, untuk daerah dengan akuifer permeable yang

besar

 0,2 = PSUB < 0,5, untuk daerah dengan akuifer terbatas dan lapisan tanah yang tipis

(21)

2. GWF

Persentase limpasan tampungan air tanah menuju ke sungai (GWF) Dimana :

 GWF = 0,5 , unuk daerah tangkapan hujan yang normal/biasa  0,5 < GWF = 0,9, untuk daerah yang memiliki tampungan air yang

kecil (base flow kecil) . 0,2 = GWF < 0,5, untuk daerah yang memiliki tampungan air yang dapat diandalkan (base flow besar) 3. ISMS

Initial Soil Moisture Storage (ISMS), yaitu kelembapan tanah yang digunakan pada seluruh daerah penggalian.

4. IGWS

Initial Groundwater Water Storage (IGWS), yaitu tampungan air tanah pada kondisi awal.

2.7.2 Evaluasi Ketelitian

Evaluasi ketelitian model dilakukan dengan cara membandingkan debit hasil simulasi dengan debit terukur yang tersedia, dengan memperhitungkan koefisien korelasi, dan verifikasi dengan perhitungan statistik. Dibawah ini merupakan tabel perhitungan nilai korelasi dan keterangan rumusnya.

Tabel 2.1 Tabel Perhitungan Nilai Korelasi dan Verifikasi

Q (m3/s) |X-Y| (|X-Y|+|Y-Ybar|)^2 (Y - X)^2 (X-Xbar)^2 (X-Xbar)*(Y-Ybar) Ybar)^2

(Y-NRECA Observed (Y-NRECA NRECA NRECA NRECA NRECA Observed

(22)

Tabel 2.2 Keterangan Rumus Keterangan Rumus

X Nilai debit andalan

Y Nilai debit observasi

S(|X-Y|+|Y-Ybar|)^2 Nilai jumlah total dari (|X-Y|+|Y-Ybar|)^2 S|X-Y| Nilai jumlah total dari |X-Y|

S(Y - X)^2 Nilai jumlah total dari (Y - X)^2 Sxx Nilai jumlah total dari (X-Xbar)^2

Sxy Nilai jumlah total dari (X-Xbar)*(Y-Ybar) Syy Nilai jumlah total dari (Y-Ybar)^2

SY Nilai jumlah total dari Y Xbar Nilai jumlah total dari X Ybar Nilai jumlah total dari Y

b1 Sxx / Sxy

b0 Ybar - b1 x Xbar

SSE Syy - (Sxy)^2/ Sxx

SSR (Sxy)^2/ Sxx

SST SSR + SSE

STDEV.P STDEV. P(X dan Y)

RMSE ( S(Y - X)^2) / n (n = Jumlah data debit andalan) r^2 CORREL(nilai x dan y)^2

d 1- S(Y - X)^2 / S(|X-Y|+|Y-Ybar|)^2 NS 1 - S(Y - X)^2 / Syy

RCEQM SQRT( S(Y - X)^2) / n^2)

APB S|X-Y| / SY

VE Nilai jumlah total dari Y/Nilai jumlah total dari Y, dikali 100% Sumber : Pengolahan Data

(23)

2.8 Flow Duration Curve (FDC)

Analisis Flow Duration Curve (FDC) adalah sebuah teknik plot yang menunjukkan hubungan antara hasil dari sebuah besaran dengan frekuensi terjadinya. Dalam hal ini data debit hasil kemudian dianalisa menggunakan Flow Duration Curve (FDC) untuk menentukan besar debit andalan. FDC pada umumnya mengelompokkan data seri hidrologi (data debit) selama satu tahun penuh tanpa memisahkan antara data bulan basah dan data bulan kering. Pengelompokan tersebut biasanya disebut sebagai FDC tunggal.

Teknik membuat kurva FDC dapat dijelaskan secara urut sebagai berikut:

1. Urutkan n data rata-rata debit air sungai selama periode waktu tertentu mulai dari nilai tertinggi hingga terendah.

2. Tetapkan m nomor rangking yang unik, dimulai dari angka 1 untuk debit terbesar hingga angka m dan data n.

3. Probabilitas dari debit air untuk setiap persentasi waktu dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

𝑃 = 100 𝑥 𝑀

(𝑛+1) ...(2.33)

Dimana:

P = probalitas dari debit air

M = posisi rangking dari data debit n = total data

(24)

2.9 Metode Mikrohidro

Mikrohidro atau yang dimaksud dengan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), adalah suatu pembangkit listrik kala kecil yang menggunakan tenaga air sebagai tenaga penggeraknya seperti, saluran irigasi, sungai atau air terjun alam dengan cara memanfaatkan tinggi terjunan (head) dan jumlah debit air. Mikrohidro merupakan sebuah istilah yang terdiri dari kata mikro yang berarti kecil dan hidro yang berarti air. Secara teknis, mikrohidro memiliki tiga komponen utama yaitu air (sebagai sumber energi), turbin dan generator. Mikrohidro mendapatkan energi dari aliran air yang memiliki perbedaan ketinggian tertentu. Pada dasarnya, mikrohidro memanfaatkan energi potensial jatuhan air (head). Semakin tinggi jatuhan air maka semakin besar energi potensial air yang dapat diubah menjadi energi listrik. Di samping faktor geografis (tata letak sungai), tinggi jatuhan air dapat pula diperoleh dengan membendung aliran air sehingga permukaan air menjadi tinggi. Air dialirkan melalui sebuah pipa pesat kedalam rumah pembangkit yang pada umumnya dibagun di bagian tepi sungai untuk menggerakkan turbin atau kincir air mikrohidro. Energi mekanik yang berasal dari putaran poros turbin akan diubah menjadi energi listrik oleh sebuah generator. Mikrohidro bisa memanfaatkan ketinggian air yang tidak terlalu besar, misalnya dengan ketinggian air 2.5 meter dapat dihasilkan listrik 400 watt. Relatif kecilnya energi yang dihasilkan mikrohidro dibandingkan dengan PLTA skala besar, berimplikasi pada relatif sederhananya peralatan serta kecilnya areal yang diperlukan guna instalasi dan pengoperasian mikrohidro. Hal tersebut merupakan salah satu keunggulan mikrohidro, yakni tidak menimbulkan kerusakan

(25)

mikrohidro terutama pada besarnya tenaga listrik yang dihasilkan, PLTA dibawah ukuran 200 KW digolongkan sebagai mikrohidro. Dengan demikian, sistem pembangkit mikrohidro cocok untuk menjangkau ketersediaan jaringan energi listrik di daerah-daerah terpencil dan pedesaan.

Beberapa keuntungan yang terdapat pada pembangkit listrik tenaga listrik mikrohidro adalah sebagai berikut :

1. Dibandingkan dengan pembangkit listrik jenis yang lain, PLTMH ini cukup murah karena menggunakan energi alam.

2. Memiliki konstruksi yang sederhana dan dapat dioperasikan di daerah terpencil dengan tenaga terampil penduduk daerah setempat dengan sedikit latihan.

3. Tidak menimbulkan pencemaran Dapat dipadukan dengan program lainnya seperti irigasi dan perikanan.

4. Dapat mendorong masyarakat agar dapat menjaga kelestarian hutan sehingga ketersediaan air terjamin

Prinsip kerja pembangkit listrik tenaga Mikrohidro

Prinsip dasar mikrohidro adalah memanfaatkan energi potensial yang dimiliki oleh aliran air pada jarak ketinggian tertentu dari tempat instalasi pembangkit listrik. Sebuah skema mikrohidro memerlukan dua hal yaitu, debit air dan ketinggian jatuh (head) untuk menghasilkan tenaga yang dapat dimanfaatkan. Hal ini adalah sebuah sistem konversi energi dari bentuk ketinggian dan aliran (energi potensial) ke dalam bentuk energi mekanik dan energi listrik. Daya yang masuk

(26)

(Pgross) merupakan penjumlahan dari daya yang dihasilkan (Pnet) ditambah dengan faktor kehilangan energi (loss) dalam bentuk suara atau panas. Daya yang dihasilkan merupakan perkalian dari daya yang masuk dikalikan dengan efisiensi konversi (Eo).

Pnet = Pgross ×Eo kW ...(2.34)

Daya kotor adalah head kotor (Hgross) yang dikalikan dengan debit air (Q) dan juga dikalikan dengan Berat Jenis Air (9,81), sehingga persamaan dasar dari pembangkit listrik adalah :

Pnet = 𝛾 ×Hgross × Q ×Eo kW ...(2.35)

Dimana head dalam meter (m), dan debit air dalam meter kubik per detik (m/s3).

2.10 Metode Minihidro

PLTM adalah pembangkit listrik dengan kapasitas daya output sekitar 1000 kW. Pada beberapa PLTM bak pengendap yang berfungsi untuk mengendapkan dan memisahkan partikel-partikel pasir dari air, tidak digunakan. Tujuannya adalah untuk menghemat biaya konstruksi dan alasan fungsi pengendap dan pemisah partikel pasir dari air dapat dilakukan oleh bak penenang (headtank). Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM) adalah salah satu pembangkit listrik tenaga air yang menjadi pilihan dimana PLTM memanfaatkan energi air yang memiliki kapasitas aliran yang tidak terlalu besar. Secara umum potensi listrik yang bersumber dari energi terbarukan di luar Jawa cukup besar dan belum dimanfaatkan secara optimal, salah satunya adalah sumber energi tenaga air.

(27)

Rumus untuk menghitung daya output PLTM adalah:

𝑃 = 𝛾 . 𝑄. ℎ ...(2.36) dimana:

P = daya output (kW)

𝛾 = Berat jenis air (N/m3) = 9810 (N/m3) Q = debit air (m3/detik)

h = head turbin (m)

Gambar

Ilustrasi untuk IDW dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 2.2 Metode Aritmatik  Hujan rata-rata dapat dihitung dengan rumus pendekatan:
Ilustrasi untuk Poligon Thiessen dapat dilihat pada gambar berikut :
Ilustrasi untuk garis Isohyet dapat dilihat pada gambar berikut :
+5

Referensi

Dokumen terkait

Debit aliran rata-rata (Qav) dari suatu sungai merupakan besaran hidrologi yang penting sebagai indikator potensi DAS dalam menyimpan air hujan yang jatuh ke dalam

Infiltrasi adalah proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan) masuk ke dalam tanah. Perkolasi merupakan proses kelanjutan aliran air yang berasal dari

Waktu konsentrasi adalah waktu yang dibutuhkan air untuk mengalir dari titik terjauh daerah tangkapan hujan ke saluran keluar (outlet) atau waktu yang dibutuhkan oleh air dari

Hujan yang jatuh ke bumi baik langsung menjadi aliran maupun tidak langsung yaitu melalui vegetasi atau media lainnnya akan membentuk siklus aliran air mulai

Sungai hujan yang airnya secara tidak langsung berasal dari air hujan, apabila curah hujan yang jatuh terlebih dahulu mengalami peresapan ke dalam tanah (infilitrasi), dan

sungai hujan, sungai gletser dan sungai campuran. 1) Sungai Hujan, adalah sungai yang airnya berasal dari air hujan atau.. sumber mata air. 2) Sungai Gletser, adalah

Penutupan vegetasi dalam skala luas sangat berpengaruh terhadap kelangsungan sumberdaya air dari suatu kawasan penyimpanan air atau daerah aliran sungai (DAS), dimana

Hujan yang jatuh ke bumi baik langsung menjadi aliran maupun tidak langsung yaitu melalui vegetasi atau media lainnnya akan membentuk siklus aliran air mulai dari tempat yang