• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN MODEL PREDIKSI MADDEN-JULIAN OSCILLATION (MJO) BERBASIS HASIL ANALISIS DATA WIND PROFILER RADAR (WPR) NAZIAH MADANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN MODEL PREDIKSI MADDEN-JULIAN OSCILLATION (MJO) BERBASIS HASIL ANALISIS DATA WIND PROFILER RADAR (WPR) NAZIAH MADANI"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

NAZIAH MADANI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

Dr.AKHMAD FAQIH and Dr. EDDY HERMAWAN.

Background of this research is to study the importance of MJO as one of the dominant oscillation in the equator area. This study aims to make prediction models of MJO based on the analysis of WPR. In this study, the MJO events were identified by using 850 mb zonal wind speed data observed in Pontianak, Manado, and Biak during 1 Januari 2007 to 31 Desember 2010 (4 year periods). The observed zonal wind speed data were compared by using the MJO index data, namely RMM1 and RMM2. RMM1 and RMM2 are a pair of index used to monitor real time MJO. The results of Power Spectral Density (PSD) and wavelet analyses on the zonal wind speed data show strong MJO signal by identifying oscillations of 45 day periods. The result of corrrelation and regression analyses also show significant relationship between both data. Therefore, it is suggested that the observed 850 mb zonal wind speed data can be used to analyze the MJO phenomenon. In this study, the MJO prediction models based on the zonal wind speed data were also developed by using Box-Jenkins method based on ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average). Through this method, the prediction model that close to time series data of 850 mb zonal wind speed over Pontianak is ARIMA(2,0,0), meaning that the forecasts of

zonal wind data for the future depending on two time previously with model equation Zt = 0.33396

+ 0.6792 Zt-1 + 0.0762Zt-2 + at,. Prediction model for Manado is ARIMA(2,1,2), meaning that the

forecasts of zonal wind data for the future depending on two time previously and error two time

previously with Zt = 1.4472 Zt-1 – 0.2842 Zt-2 – 0.5847 at-1 – 0.3883 at-2t, and prediction model for

Biak is ARIMA(0,1,3), meaning that the forecasts of zonal wind data for the future depending on

two time previously and error three time previously with Zt = Zt-1 - 0,00957 + 0,1385 at-1 + 0,2385

at-2+ 0,1874 at-3. Those models used to see MJO event from zonal wind data. It is characterized by

the strenghtening of the westerly wind that will affect the increased rainfall in study area. Keyword: MJO, RMM1 and RMM2, WPR, ARIMA

(3)

FAQIH dan Dr. EDDY HERMAWAN.

Latar belakang penelitian ini adalah pentingnya kajian mengenai MJO sebagai salah satu osilasi dominan di kawasan ekuator. Penelitian ini bertujuan untuk membuat model prediksi MJO berdasarkan analisis data WPR. Pada penelitian ini kejadian MJO diidentifikasi dari data kecepatan angin zonal pada lapisan 850 mb di kawasan Pontianak, Manado, dan Biak periode 1 Januari 2007–31 Desember 2010 (4 tahun). Sebelum data angin zonal ini dimanfaatkan untuk melihat perilaku MJO, maka data angin tersebut terlebih dahulu dibandingkan dengan data indeks MJO yaitu RMM1 dan RMM2. RMM1 dan RMM2 merupakan sepasang indeks untuk memonitor kejadian MJO secara realtime. Hasil dari analisis Power Spectral Density (PSD) dan wavelet data kecepatan angin zonal lapisan 850 mb menunjukkan adanya sinyal MJO kuat yang dicirikan dengan adanya osilasi sekitar 45 harian. Hasil korelasi dan regresi sederhana juga menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan yang signifikan antara kedua data tersebut. Hal tersebut mengindikasikan bahwa data kecepatan angin zonal lapisan 850 mb dapat digunakan untuk analisis MJO. Pada penelitian ini, prediksi MJO didasarkan pada data kecepatan angin zonal menggunakan metode ARIMA Box-Jenkins. Melalui metode ini, model yang mendekati data deret waktu kecepatan angin zonal pada lapisan 850 mb di Pontianak adalah ARIMA(2,0,0) dengan

persamaan Zt = 0.33396 + 0.6792 Zt-1 + 0.0762Zt-2 + at, artinya prakiraan data kecepatan angin

zonal pada waktu mendatang tergantung dari data dua waktu sebelumnya. Model prediksi untuk

Manado adalah ARIMA(2,1,2) dengan persamaan Zt = 1.4472 Zt-1 – 0.2842 Zt-2 – 0.5847 at-1 –

0.3883 at-2, artinya prakiraan data kecepatan angin zonal pada waktu mendatang tergantung dari

data dua waktu sebelumnya dan galat dua waktu sebelumnya, sedangkan untuk Biak adalah

ARIMA(0,1,3) dengan persamaan Zt = Zt-1 - 0,00957 + 0,1385 at-1 + 0,2385 at-2+ 0,1874 at-3,

artinya prakiraan data kecepatan angin zonal pada waktu mendatang tergantung dari data satu waktu sebelumnya dan galat tiga waktu sebelumnya. Model-model tersebut bermanfaat untuk melihat perilaku sinyal MJO pada data angin zonal. Hal ini ditandai dengan adanya penguatan angin baratan yang akan berpengaruh terhadap peningkatan curah hujan di wilayah kajian.

(4)

NAZIAH MADANI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada Mayor Meteorologi Terapan

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(5)

NIM : G24070013

Menyetujui

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Dr. Akhmad Faqih) (Dr. Eddy Hermawan)

NIP. 19800823 200701 1 001 NIP. 19620128 199003 1 003

Mengetahui:

Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi,

(Dr. Rini Hidayati) NIP. 19600305 1987 03 2002

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mencantumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(7)

penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “ Pengembangan Model Prediksi Madden- Julian Oscillation (MJO) Berbasis Hasil Analisis Data Wind Profiler Radar (WPR)”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Akhmad Faqih sebagai pembimbing I dan Bapak Dr. Eddy Hermawan sebagai

pembimbing II, yang telah banyak memberikan pengarahan, ilmu, masukan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Pihak Research Institute for Suistainable Humanosphere (RISH), Universitas Kyoto,

Jepang, yang sudah memberikan izin menggunakan data radar.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Handoko sebagai pembimbing akademik.

4. Kedua orang tua terimakasih atas doa, kasih sayang, dan segala dukungan moril serta

materil.

5. Teteh, Aa, Ema, Odek, dan seluruh keluarga terima kasih atas do’a, semangat serta

dukungannya.

6. Special Thanks untuk Tony Taryudi atas segala dukungan dan bantuan selama penulis

melakukan penelitian.

7. Seluruh Dosen dan Staff Departemen Geofisika dan Meteorologi.

8. Teman-teman di LAPAN, Riri, Winda, Rendra, Kak Rizky, dan Kak Robi.

9. Teman-teman di Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi.

10. Teman-teman GFM 44, kakak/ adik kelas GFM, Sri, Dayu atas persahabatannya, serta

teman-teman dari UPI.

11. Teman-teman di APD, teman-teman seangkatan yang telah berjuang bersama, kakak dan

adik-adik terimakasih atas semua pelajaran hidup.

12. Pihak Yayasan ‘Eka Tjipta Foundation’ yang telah memberikan beasiswa selama penulis

berkuliah.

13. Semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari tugas akhir ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis berbesar hati untuk menerima saran, kritik, dan masukan yang sifatnya membangun. Semoga tugas akhir ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2011

(8)

Solihin Jai dan Karmini. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di MIN 1 Dayeuhluhur pada tahun 2001, SMPN 1 Dayeuhluhur pada tahun 2004, dan SMAN 1 Dayeuhluhur pada tahun 2007. Setelah menyelesaikan pendidikan SMA, penulis melajutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) mengambil Mayor Meteorologi Terapan dan Minor Ekonomi Sumberdaya. Selama menjalani studinya penulis aktif di Himpunan Profesi Mahasiswa Agrometeorolgi (HIMAGRETO) tahun 2008/2009 sebagai Staff Bidang Kemasyarakatan dan Informasi, pernah menjabat sebagai Bendahara Umum Asrama Puteri Darmaga Tahun 2008/2009 dan Ketua Asrama Puteri Darmaga tahun 2010/2011. Pada Juli-Agustus 2011 penulis melakukan magang di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung. Penulis juga termasuk dalam penerima beasiswa Eka Tjipta Foundation (EFT) selama 8 semester.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 1

2.1 Madden-Julian Oscillation (MJO) ... 1

2.2 Pola Curah Hujan di Indonesia ... 3

2.3 Wind Profiler Radar (WPR) ... 4

2.4 Real Time Multivariate MJO seri 1 dan 2 (RMM1 dan RMM2) ... 5

2.4 Prakiraan dengan Time Series ... 5

III. METODOLOGI ... 5

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 5

3.2 Alat dan Bahan ... 5

3.3 Metode Penelitian ... 6

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 9

4.1 Analisis Spektral Data Kecepatan Angin Zonal pada Lapisan 850 mb ... 9

4.2 Analisis Statistik Data Kecepatan Angin Zonal pada Lapisan 850 mb dengan Data RMM1 dan RMM2 ... 11

4.3 Model Berbasis ARIMA ... 14

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 20

5.1 Kesimpulan ... 20

5.2 Saran ... 20

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Spesifikasi Teknis Wind Profiler Radar ... 4

2 Lokasi WPR ... 4

3 Identifikasi p dan q melalui nila ACF dan PACF ... 8

4 Regresi linear antara kecepatan angin zonal di Pontianak dengan RMM1 dan RMM2... 12

5 Regresi linear antara kecepatan angin zonal di Manado dengan RMM1 dan RMM2 ... 12

6 Regresi linear antara kecepatan angin zonal di Biak dengan RMM1 dan RMM2 ... 13

7 Penaksir Parameter ARIMA(2,0,0)... 15

8 Perbandingan Nilai MS dan SS masing-masing model ... 17

9 Parameter Model ARIMA(2,1,2) ... 17

10 Perbandingan Nilai MS dan SS masing-masing model ... 19

11 Penaksir Parameter ARIMA(0,1,3)... 19

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Skema MJO di ekuatorial. ... 2

2 Siklus MJO ... 2

3 Pola Curah Hujan di Indonesia ... 3

4 Prinsip Kerja Wind Profiler Radar ... 4

5 Wind Profiler Radar yang dipasang di Pontianak dan Biak ... 4

6 Diagram phase MJO global hasil penurunan RMM1 dan RMM2 ... 5

7 Skema pendekatan Box-Jenkins ... 8

8 Power Spectral Density (PSD) kecepatan angin zonal periode 1 Januari 2007–31 Desember 2010 di Pontianak. ... 9

9 Wavelet Kecepatan Angin Zonal pada Ketinggian 1.455 km periode 1 Januari 2007– 31 Desember 2010 di Pontianak. ... 9

10 Power Spectral Density (PSD) kecepatan angin zonal periode 1 Januari 2007–31 Desember 2010 di Manado. ... 10

11 Wavelet Kecepatan Angin Zonal pada Ketinggian 1.455 km periode 1 Januari 2007– 31 Desember 2010 di Manado. ... 10

12 Power Spectral Density (PSD) kecepatan angin zonal periode 1 Januari 2007–31 Desember 2010 di Biak. ... 10

13 Wavelet Kecepatan Angin Zonal pada Ketinggian 1.455 km periode 1 Januari 2007– 31 Desember 2010 di Biak. ... 10

14 Power Spectral Density (PSD) RMM1 dan RMM2 periode 1 Januari 2007–31 Desember 2010. ... 11

15 Wavelet RMM1 periode 1 Januari 2007–31 Desember 2010. ... 11

16 Wavelet RMM2 periode 1 Januari 2007–31 Desember 2010. ... 11

17 Rata-rata time series kecepatan angin zonal, RMM1 dan RMM2 periode 1 Januari 2007–31 Desember 2010. ... 11

18 Curah Hujan Rata-rata Bulanan Pontianak Tahun 2007-2010 ... 12

19 Curah Hujan Rata-rata Bulanan Manado Tahun 2007-2010 ... 13

20 Curah Hujan Rata-rata Bulanan Biak Tahun 2007-2010 ... 13

21 Distribusi Curah Hujan Rata-rata Bulanan Pontianak, Manado, dan Biak Tahun 2007-2010 ... 13

22 Plot data (1), ACF (2), PACF (3) kecepatan angin zonal di Pontianak periode 1 Januari 2007 – 30 September 2010 ... 14

23 Plot data asli kecepatan angin zonal di Pontianak dengan hasil prediksi ARIMA(2,0,0) 1 Oktober 2010 -31 Desember 2010 ... 15

24 Plot data asli kecepatan angin zonal di Manado periode 1 Januari 2007 – 30 September 2010 ... 16

(12)

25 Plot data (1), ACF (2) PACF (3) differencing orde 1kecepatan angin zonal di Manado periode 1 Januari 2007 – 30 September 2010 ... 16 26 Plot data asli kecepatan angin zonal di Manado dengan hasil prediksi ARIMA (2,1,2)

periode 1 Oktober 2010 -31 Desember 2010 ... 17 27 Plot data kecepatan angin zonal di Biak periode 1 Januari 2007 – 30 September 2010. ... 18 28 Plot data (1), ACF (2), PACF (3) differencing orde 1 kecepatan angin zonal di Biak

periode 1 Januari 2007 – 30 September 2010. ... 18 29 Plot data asli kecepatan angin zonal di Biak dengan hasil prediksi ARIMA (0,1,3)

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Script Power Spectral Density (PSD) ... 23 2 Script wavelet ... 23

3 Curah hujan bulanan rata-rata di Pontianak, Manado dan Biak tahun 2007-2010 ... 25

4 Uji statistik untuk melihat korelasi dan signifikansi antara data kecepatan angin zonal

dan data RMM1 dan RMM2 ... 26

5 Uji statistik korelasi silang antara data kecepatan angin zonal dengan data RMM1 dan

RMM2 ... 26

6 Penaksir parameter untuk model ARIMA(1,0,0), ARIMA(2,0,0), ARIMA(3,0,0) dan

ARIMA(4,0,0) dari data kecepatan angin zonal lapisan 850 mb di Pontianak ... 29

7 Penaksir parameter untuk model ARIMA(2,1,2), ARIMA(2,1,3) dari data kecepatan

angin zonal lapisan 850 mb di Manado ... 31 8 Penaksir parameter untuk model ARIMA(0,1,1), ARIMA(0,1,2), ARIMA(0,1,3),

ARIMA(0,1,4) dari data kecepatan angin zonal lapisan 850 mb di Biak ... 32

9 Perbandingan data asli, nilai prakiraan menggunakan model ARIMA(2,0,0), dan nilai

galat periode 1 Januari 2007 – 30 September 2010 kecepatan angin zonal di Pontianak ... 33 10 Perbandingan data asli, nilai prakiraan menggunakan model ARIMA(2,1,2), dan nilai

galat periode 1 Januari 2007 – 30 September 2010 kecepatan angin zonal di Manado ... 34 11 Perbandingan data asli, nilai prakiraan menggunakan model ARIMA(0,1,3), dan nilai

galat periode 1 Januari 2007 – 30 September 2010 kecepatan angin zonal di Biak ... 34 12 Hasil Validasi Data Asli Kecepatan Angin Zonal dengan Hasil Prakiraan

(14)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kawasan Indonesia merupakan salah satu kawasan yang berperan penting dalam pembentukan cuaca dan iklim global. Hal itu disebabkan karena kondisi Indonesia sebagai Benua Maritim yang memiliki kawasan lautan lebih luas dari daratan. Kawasan ini diduga sebagai tempat penyimpanan bahang (panas) baik yang berupa sensible heat maupun latent heat bagi pembentukan awan-awan hujan seperti cumulonimbus (Hermawan, 2002).

Kondisi Indonesia yang berada di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Hindia dan Pasifik) juga menyebabkan Indonesia dipengaruhi oleh berbagai fenomena iklim, baik lokal, regional, maupun global. Salah satu fenomena global yang berpengaruh adalah fenomena Madden-Julian Oscillation (MJO). MJO pertama kali ditemukan oleh Madden-Julian (1971). MJO merupakan salah satu osilasi yang dominan di wilayah ekuator (Madden-Julian, 1994). Fenomena ini berosilasi antara 30-60 hari dan mengalami pergerakan proses konveksi dari arah barat ke timur. Selama penjalarannya ke timur, MJO berpengaruh pada curah hujan pada daerah-daerah yang dilewatinya.

Penelitian mengenai MJO khususnya di Indonesia masih jarang dilakukan. Disamping itu, penelitian sebelumnya mengenai MJO cenderung hanya menggunakan data OLR dan data radiosonde. Real Time Multivariate MJO Index (RMM1 dan RMM2) merupakan indeks MJO yang saat ini banyak digunakan yang diperkenalkan oleh Wheeler dan Hendon (2004). RMM1 dan RMM2 ini merupakan indeks yang didasarkan pada kombinasi analisis Empirical Orthogonal Function (EOF) menggunakan data rata-rata angin zonal pada lapisan 850 hPa dan 200 hPa serta data outgoing longwave radiation (OLR). Penelitian sebelumnya oleh Evana (2009) menyebutkan bahwa data RMM1 dan RMM2 dapat digunakan untuk memprediksi fenomena MJO di Indonesia dan berkaitan erat dengan kejadian curah hujan ekstrim di Jakarta pada tahun 2002.

Pengamatan MJO menggunakan data kecepatan angin zonal di Indonesia belum banyak dilakukan. Hal ini terjadi akibat keterbatasan data angin yang dimiliki, khususnya data angin yang memiliki resolusi waktu tinggi dengan pengamatan yang relatif singkat. Padahal, saat ini Indonesia telah memiliki radar yang disebut Wind Profier

Radar (WPR) yang berlokasi di sekitar ekuator yaitu di Pontianak, Manado, dan Biak.

WPR merupakan hasil kerjasama riset antara pihak Jepang, Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC), dan Badan Pengkajian Penerapan dan Pengembangan Teknologi (BPPT), Indonesia dibawah naungan proyek Hydrometeorological Array for ISV-Monsoon Automonitoring (HARIMAU).

Pada penelitian ini fenomena MJO diamati menggunakan data angin zonal dari WPR pada lapisan 850 mb. MJO dihubungkan dengan adanya pembentukan awan Super Cloud Cluster (SCC) yang bergerak dari barat ke timur. Sebelum data angin zonal ini dimanfaatkan untuk melihat perilaku MJO di Indonesia, maka data tersebut terlebih dahulu dibandingkan dengan data indeks MJO yaitu RMM1 dan RMM2 (Wheeler dan Hendon, 2004) yang telah digunakan luas untuk keperluan prediksi MJO.

Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah terciptanya model kecepatan angin zonal yang terjadi di atas Indonesia yang dapat berguna sebagai indikasi awal terjadinya MJO di Indonesia khususnya di ketiga wilayah penelitian, yaitu Pontianak, Manado, dan Biak.

1.2 Tujuan

1. Mengidentifikasi kemunculan sinyal MJO di Indonesia berbasis data angin zonal dari WPR khususnya di Pontianak, Manado, dan Biak.

2. Memodelkan data time series kecepatan angin zonal yang terjadi di atas wilayah Indonesia, khususnya Pontianak, Manado, dan Biak untuk 2-3 hari dari data.

3. Mengetahui karakteristik sinyal MJO pada data angin zonal berkaitan dengan pola hujan di wilayah kajian.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Madden-Julian Oscillation (MJO)

Madden-Julian Oscillation (MJO) merupakan mode osilasi yang dominan di ekuator (Madden and Julian, 1994).Osilasi ini dihasilkan dari sirkulasi sel skala besar di ekuatorial yang bergerak ke timur dari laut Hindia ke Pasifik Tengah dengan periode 30-60 hari. Pengamatan mengenai MJO dapat melibatkan berbagai variabel meteorologi seperti OLR, presipitasi, angin zonal pada lapisan atas dan bawah troposfer, tekanan muka laut (sea level pressure/ (SLP),

(15)

konvergensi kelembaban, suhu permukaan laut (SST), dan flux panas laten pada permukaan laut.

MJO sering diasosiasikan dengan terbentuknya awan-awan Super Cloud Cluster (SCC) sehingga dapat dengan mudah diamati dari observasi satelit karena puncak awan konvektif sangat dingin. Oleh karena itu memancarkan sangat sedikit radiasi gelombang panjang. Pengukuran varians OLR pada daerah konveksi akan membaca sinyal yang lebih besar daripada red noise sehingga dapat menunjukkan sinyal MJO (Geerts dan Wheeler, 1998).

Gambar 1 Skema MJO di ekuatorial

(Madden dan Julian, 1972). Fenomena MJO terkait langsung dengan pembentukan kolam panas di Samudra Hindia bagian timur dan Samudra Pasifik bagian barat sehingga pergerakan MJO ke arah timur bersama angin baratan (westerly wind) sepanjang ekuator selalu diikuti dengan konveksi awan kumulus tebal. Awan konvektif ini menyebabkan hujan dengan intensitas tinggi sepanjang penjalarannya yang menempuh jarak 100 kilometer dalam sehari di Samudra Hindia dan 500 kilometer per hari ketika berada di Indonesia. Pergerakan Super Cloud Cluster ini tentu saja berkaitan dengan pergerakan pusat tekanan rendah yang akan diikuti oleh perubahan pola angin (Seto, 2002).

Penelitian sebelumnya menggunakan data radar yakni EAR (Equatorial Atmosphere Radar) secara vertikal (zonal-vertikal) dapat menunjukkan terjadiya pergerakan angin baratan di lapisan permukaan dan di lapisan atasnya terjadi angin timuran (Nurhayati, 2007). Hal tersebut sesuai dengan teori skema pergerakan MJO di ekuator, seperti yang ditunjukkan Gambar 1.

Siklus MJO ditunjukkan berupa gugus-gugus awan tumbuh di Samudera Hindia lalu bergerak ke arah timur dan membentuk suatu siklus dengan rentang 30-60 hari dan dengan cakupan daerah 10N-10S (Matthews A.J., 2000), seperti yang ditunjukan pada Gambar 1.

Gambar 2 Siklus MJO (Matthews A.J.,

2000).

Gambar 2 menunjukan siklus MJO dengan interval selama 3 harian atau 22.5° fase. Gambar tersebut menggunakan OLR sebagai salah satu cara untuk menggambarkan perjalanan siklus MJO. Siklus MJO pada fase 0 atau t=0, konveksi tumbuh dan berkembang di Samudera Hindia dan terjadi supresi (mengalami kekeringan) di Samudera Pasifik. Kedua peristiwa ini bergerak ke timur sampai fase 180 dengan lokasi yang berkebalikan (konveksi di Samudera Pasifik dan supresi di Samudera Hindia). Kondisi ini terus bergerak ke timur dan kembali ke fase 0 (konveksi di Samudera Hindia dan supresi di Samudera Pasifik). Penjalaran ini memerlukan waktu

(16)

30-60 hari dengan efek basah dan kering pada daerah-daerah yang di lewatinya.

Distribusi spasial MJO adalah antara

10oLU dan 10oLS (Madden dan Julian, 1972).

Namun sekarang MJO dikenali dari 20oLU

dan 20oLS (Wheeler dan Hendon, 2004).

Sementara itu distribusi temporal MJO berkisar antara 40-50 hari (Madden dan Julian, 1971). Di wilayah tropis osilasi ini sedikit melebar yaitu sekitar 30-60 hari, tetapi fenomena ini dapat diperpanjang dari 22-79 hari, dengan rata-rata sekitar 45 hari (Madden dan Julian 1994).

Kubota et.al (2005) yang menyatakan bahwa data angin dapat menunjukkan terjadinya MJO yaitu selama fase aktif MJO tampak adanya penguatan angin baratan. Pada penelitian Nurhayati (2007) juga menyatakan bahwa fenomena MJO yang diamati dari angin zonal menunjukkan bahwa fenomena MJO pada lapisan troposfer bawah berasosiasi dengan adanya angin baratan. Hal tersebut juga sesuai dengan skema perpotongan MJO di ekuator menurut Matthews (2000), dimana terjadi dominasi angin baratan di lapisan bawah troposfer.

2.2 Pola Curah Hujan di Indonesia

Curah hujan (dalam mm) adalah tinggi air hujan yang diterima permukaan sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi, dan peresapan ke dalam tanah.

Pola curah hujan di Indonesia dibagi menjadi tiga yaitu pola equatorial, monsunal, dan lokal.

1. Equatorial; Ciri tipe curah hujan equatorial ditandai dengan sifat hujan memiliki dua puncak maksimum dalam setahun, biasa berlangsung pada bulan Maret dan Oktober.

2. Monsunal; Ciri tipe monsunal adalah hujan berlangsung selama enam bulan dan enam bulan berikutnya berlangsung musim kemarau.

3. Lokal; Tipe Lokal mempunyai ciri khusus yang berbalikan dengan tipe Monsunal. Indonesia merupakan daerah yang dilalui oleh garis Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ). ITCZ ini dikenal sebagai pertanda bahwa pada tempat yang dilaluinya akan mempunyai curah hujan yang tinggi, dengan kata lain ITCZ akan mempengaruhi distribusi curah hujan pada wilayah-wilayah yang dilaluinya. ITCZ berkaitan dengan pergeseran posisi matahari dimana Indonesia yang terletak di ekuator mengalami dua kali pemanasan maksimum, yaitu pada waktu matahari bergerak ke selatan melintasi ekuator

dan kembali ke utara melintasi ekuator. Keadaan ini menyebabkan puncak aktivitas konveksi yang menghasilkan hujan terjadi dua kali, yang pada umumnya dapat dilihat pada pola curah hujan bulanan yang memiliki dua puncak. Kajian oleh Donald (2006) menunjukkan adanya variasi distribusi kekuatan MJO juga dipengaruhi oleh posisi ITCZ.

Selama perjalannya ke arah timur, MJO dipengaruhi oleh posisi matahari. Ketika matahari berada di garis ekuator MJO bergerak lurus ke arah timur. Sedangkan ketika posisi matahari berada di sebelah selatan garis ekuator, maka perjalanan MJO agak bergeser ke arah selatan ekuator yang dikenal dengan sebagai penjalaran selatan-timur (south-eastern propagation). Ketika posisi matahari berada di sebelah utara ekuator, maka perjalanan MJO agak bergeser ke arah utara ekuator, yang dikenal sebagai penjalaran utara-timur (north-eastern propagation) (Rui dan Wang, 1990).

Gambar 3 Pola Curah Hujan di Indonesia (Sumber: Adrian, 2003).

Seto (2004) menyatakan bahwa MJO dalam fase aktif memiliki korelasi terjadinya intensitas curah hujan yang tinggi terhadap wilayah yang dilaluinya. Evana (2009) juga menyatakan bahwa pada saat indeks MJO menguat maka terdapat kecenderungan bahwa curah hujan hujan tinggi di daerah yang dilewatinya. Pada bulan-bulan kering (JJA), meskipun indeks MJO menguat akan tetapi tidak selalu diikuti dengan curah hujan yang tinggi. MJO aktif berpeluang menimbulkan curah hujan tinggi di Indonesia ketika terjadi pada bulan basah (DJF). Hal tersebut berkaitan dengan posisi ITCZ yang dipengaruhi oleh peredaran gerak semu matahari. ITCZ bergerak ke utara dan selatan mengikuti gerak semu matahari dengan lag sekitar 2 bulan (Donald, 2007).

(17)

2.3 Wind Profiler Radar (WPR)

Wind Profiler Radar (WPR) merupakan salah satu instrumen yang dapat mengamati gerakan udara pada berbagai lapisan atmosfer (khususnya troposfer) dengan ketelitian dan resolusi waktu yang tinggi. WPR dapat memberikan struktur tiga dimensi dari arah dan kecepatan angin dari tiap lapisan atmosfer secara realtime.

Tabel 1 Spesifikasi Teknis Wind Profiler Radar

Property Value

Center Frequncy 1357.5 MHz

Antenna Active Phased Array

Aperture 3.5 m2 (2.5 m in

diameter)

Beam Width 6 degrees

Beam Directions (Azimuth, Zenith) =

(0,0), (0,10), (90,10), (180,10), (270,10)

Polarization Linear

Transmitter Transistor Amplifier

(A-class)

Peak Power 2100 W

Average Power 700 W (Maximum)

Band Width 15 MHz

Pulse Length 2/3, 1, 4/3, 2, 4

micro sec (variable)

IPP 50, 80, 100, 120, 200 micro sec (variable) Observation Range 300-5000 m (typical) Sumber: HARIMAU (2011)

Gambar 4 Prinsip Kerja Wind Profiler Radar (Imai, 2007).

WPR terdiri dari pemancar (transmitter), antena (antenna), penerima (receiver), dan pengolah (processor). Prinsip kerjanya dapat dilihat pada Gambar 3. Pengukuran WPR dilakukan dengan prinsip efek Doppler pada arah tiap beam yang berupa pendeteksian

gerak turbulen udara sepanjang arah tersebut. Radar ini memiliki tiga beam, yaitu:

1) Arah antara utara-timur (beam 1) 2) Arah antara utara-barat (beam 2) 3) Arah vertikal (beam 3).

WPR bekerja tergantung dari penyebaran gelombang elektromagnetik yang dipancarkan dari antena ke arah udara atas yang kemudian dihamburkan. Penghamburan ini disebabkan oleh indeks pantulan dari turbulensi atmosfer. Pengukuran dalam selang waktu selama gelombang dipancarkan kembali ke bagian antenna, jarak dari antena dapat diperkirakan. Frekuensi gelombang yang dipancarkan digeser oleh efek doppler dikarenakan pergerakan turbulensi atmosfer sebagai pergerakan atmosfer atau angin.

Informasi kecepatan angin diperoleh dengan pengukuran kuantitas dari pergeseran frekuensi doppler. Sedangkan informasi arah angin diperoleh dengan menyalakan arah beam dengan arah beam disebar dalam lima arah, yaitu zenith dan utara, selatan, timur dan barat.

Gambar 5 Wind Profiler Radar yang

dipasang di Pontianak dan Biak (HARIMAU, 2011).

Sistem observasi WPR terletak di kota-kota strategis, umumnya berada di dekat khatulistiwa (ekuator), untuk mengamati karakteristik arah dan kecepatan angin pada berbagai lapisan atmosfer untuk daerah ekuator tropis. Kota-kota ini adalah Pontianak, Manado dan Biak. WPR ini dapat mengukur kecepatan angin sampai ketinggian 9.7 km di Pontianak dan Manado, sedangkan di Biak sampai ketinggian 7.8 km.

Tabel 2 Lokasi WPR

Lokasi Lintang Bujur Ketinggian Pontianak 109.37E 0.00S 1m

Manado 124.93E 1.55N 90m Biak 136.10E 1.18S 15m

(18)

2.4 Real Time Multivariate MJO seri 1 dan 2 (RMM1 dan RMM2)

Real Time Multivariate MJO seri 1 dan 2 (RMM1 dan RMM2) merupakan suatu indeks musiman untuk memonitor pergerakan MJO. Hal ini didasarkan pada sepasang fungsi ortogonal (EOFs) dari gabungan rata-rata angin zonal 850-hPa, 200-hPa, dan data observasi satelit Outgoing Longwave Radiation (OLR). Proyeksi data dilakukan dengan menghilangkan komponen siklus tahunan dan variabilitas komponen interannual (Wheller dan Hendon, 2004).

RMM1 dan RMM2 dapat digunakan dalam berbagai kepentingan misalnya untuk menentukan onset monsun dan peluang terjadinya curah hujan ekstrim.

Peramalan MJO dapat menggunakan indeks RMM1 dan RMM2. MJO dikatakan dalam fase aktif jika:

1 2 1

Gambar 6 Diagram phase MJO global hasil penurunan RMM1 dan RMM2 (Sumber: Wheller dan Hendon, 2004).

Lokasi keberadaan dapat dilihat dalam diagram dua dimensi fase pergerakan MJO yaitu dengan RMM1 dan RMM2. Terdapat 8 fase pergerakan MJO yaitu fase-8,1 di belahan bumi bagian barat dan Afrika, fase-2,3 di Samudra Hindia, fase-4,5 di Benua Maritim Indonesia, fase-6,7 di kawasan Pasifik barat. Data harian RMM1 dan RMM2 yang tersedia adalah dari tanggal 1 Juni 1974 berkelanjutan hingga saat ini.

2.4 Prakiraan dengan Time Series

ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) merupakan salah satu model peramalan yang berbasis time series yang dikembangkan oleh Box dan Jenkins

(1976). Metode ARIMA memiliki

keunggulan dibanding metode lainnya, yaitu metode Box-Jenkins disusun secara logis dan secara statistik akurat, metode ini memasukkan banyak informasi dari data historis, dan metode ini menghasilkan kenaikan akurasi peramalan dan pada waktu yang sama menjaga jumlah parameter seminimal mungkin (Jarret, 1991)

Metode ini menggunakan pendekatan iteratif yang mengindikasikan kemungkinan model yang bermanfaat. Model terpilih, kemudian dicek kembali dengan data historis apakah telah mendiskripsikan data tersebut dengan tepat. Model terbaik akan diperoleh apabila residual antara model peramalan dan data historis memiliki nilai yang kecil, distribusinya random, dan independen. Analisis deret waktu seperti pedekatan Box-Jenkins, mendasarkan analisis pada data deret waktu yang stasioner.

Penelitian sebelumnya yaitu Evana (2009) menggunakan metode ARIMA untuk memprediksi nilai RMM1 dan RMM2 menunjukkan bahwa model ARIMA dapat mengenali pola RMM1 dan RMM2 dengan baik.

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret hingga Agustus 2011 di Bagian Pemodelan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung dan Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan software MATLAB versi 2008a, Minitab versi 15, SPSS versi 16.0, Microsoft excel dan Microsoft word 2007. Sedangkan data yang digunakan adalah sebagai berikut:

a. Data Wind Profiler Radar (WPR) daerah

Pontianak, Manado, dan Biak berupa data kecepatan angin zonal harian periode 1 Januari 2007 – 31 Desember 2010 yang diperoleh dari website http://www.rish.kyoto-u.ac.jp/radar-group/blr/pontianak/data/

b. Data harian Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2) periode 1 Januari 2007 – 31 Desember 2010 yang diperoleh dari website http://cawcr.gov.au/staff/mwheeler/mapr

(19)

oom/RMM/RMM1RMM2.74toRealtime. txt.

c. Data curah hujan bulanan Pontianak

(0,00°LS; 109,37°BT), Manado (1,55°LU; 124,93°BT), dan Biak (1,18°LS; 136,10°BT) periode Januari 2007–Desember 2010 berbasis observasi satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) jenis 3B43.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri atas tiga tahap analisis yaitu:

3.3.1 Analisis Spektral

Analisis spektral yang digunakan yaitu teknik Fast Fourier Transform (FFT) dan transformasi wavelet. Analisis spektral pada penelitian ini digunakan untuk melihat periode osilasi dominan dari setiap gelombang yang tersembunyi dari sebuah data time series.

3.3.2 Metode Korelasi dan Regresi Linear

Metode korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu kecepatan angin zonal dengan RMM1 dan RMM2. Tahap ini dilakukan untuk melihat hubungan secara statistik antara dua variabel tersebut. Jika terdapat korelasi yang nyata dan signifikan maka data kecepatan angin zonal dapat digunakan untuk analisis selanjutnya, yaitu mengidentifikasi kejadian MJO di Indonesia.

3.3.3 Pemodelaan Berbasis ARIMA 3.3.3.1 Stasioneritas

Kestasioneran data merupakan kondisi yang diperlukan dalam analisis regresi deret waktu karena dapat memperkecil kekeliruan model. Jika data tidak stasioner maka harus dilakukan transformasi stasioneritas melalui proses diferensi. Ketidakstasioneran data diklasifikasikan atas tiga bentuk, yaitu:

1. Tidak stasioner dalam rata-rata hitung, jika trend tidak datar (tidak sejajar sumbu waktu), dan data tersebar

2. Tidak stasioner dalam varians, jika trend datar atau hampir datar tapi data tersebar membangun pola menyebar atau menyempit yang meliput secara seimbang trendnya (pola terompet).

3. Tidak stasioner dalam rata-rata hitung dan varians, jika trend tidak datar dan data membangun pola terompet.

Untuk menelaah ketidakstasioneran data secara visual, tahap pertama dapat dilihat pada plot data atas waktu. Jika belum mendapatkan kejelasan, maka tahap berikutnya dapat dilakukan dengan melihat gambar plot ACF.

Pada gambar ACF, jika datanya tidak stasioner maka gambarnya akan membangun pola:

a. Menurun, jika data tidak stasioner dalam rata-rata hitung (tren naik atau turun) b. Alternating, jika data tidak stasioner

dalam varians

c. Gelombang, jika data tidak stasioner dalam rata-rata hitung dan varians

(Mulyana, 2004).

3.3.3.2 Fungsi Autokorelasi (ACF) dan Fungsi Autokorelasi Parsial (PACF)

Koefisien autokorelasi menunjukkan keeratan hubungan nilai peubah yang sama dalam periode waktu yang berbeda (Makridakis, 1999). Fungsi autokorelasi contoh (r) untuk lag atau beda waktu k yaitu:

∑ Z Z Z Z

∑ Z – Z , k 0,1,2, …

Seperti halnya autokorelasi yang merupakan fungsi atas lagnya, yang hubungannya dinamakan fungsi autokorelasi (ACF), autokorelasi parsial juga merupakan fungsi atas lagnya, dan hubungannya dinamakan Fungsi Autokorelasi Parsial (partial autocorrelation function, PACF). Koefisien autokorelasi parsial mengukur

keeratan hubungan antara Zt dan Zt-k dengan

menghilangkan pengaruh dari Zt-1, Zt-2,..., Z

t-k+1. Gambar dari ACF dan PACF dinamakan

korelogram (correlogram) dan dapat digunakan untuk menelaah signifikansi autokorelasi dan kestasioneran data. Fungsi autokorelasi parsial pada lag ke-k dinotasikan oleh:

Økk = Corr (Z1, Zt-k | Zt-1, Zt-2,..., Zt-k+1) kk

φ

adalah koefisien korelasi dalam distribusi

bivariat

Z Z

t

,

t k− yang tergantung pada

1

,

2

,...,

1

t t t k

Z

Z

Z

− + . Dengan kata lain,

menentukan korelasi antara dua peubah

dan

t t k

Z

Z

dengan mengontrol peubah

lainnya (

Z

t1

,

Z

t2

,...,

Z

t k− +1). Secara umum

bentuk fungsi autokorelasi adalah

1 1 2 2

...

, 1,2,...,

j k j k j kk j k

j

k

ρ φ ρ

=

=

+

φ ρ

=

+ +

φ ρ

=

atau dapat ditulis

1 1 1 1 1 2 2 2 1 2 1 ... 1 ... ... 1 k k k k k k kk k ρ ρ φ ρ ρ ρ φ ρ ρ ρ φ ρ − − − − ⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜= ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ M M M M M

(20)

Fungsi autokorelasi digunakan untuk menentukan apakah secara statistik nilainya berbeda signifikan dari nol apa tidak. Untuk itu perlu dihitung simpangan bakunya dengan rumus sebagai berikut:

1

Nilai ordo dari proses autoregressive dan moving average dapat diduga secara visual dari plot ACF dan PACF dari data. Plot tersebut menampilkan distribusi koefisien autokorelasi dan koefisien autokorelasi parsial (Cryer, 1986).

¾ Model Autoregressive (AR)

Proses Autoregresif seperti namanya, adalah regresi pada dirinya sendiri. Proses

autoregresif

{ }

Z

t orde p disingkat AR (p)

memenuhi persamaan,

1 1 2 2

...

t t t p t p t

Z

=

φ

Z

+

φ

Z

+ +

φ

Z

+

a

(2.5)

Dimana,

Zt = deret waktu stasioner

Ø1, ..., Øp = koefisien atau parameter dari

model autoregressive

Zt-1, ..., Zt-p = Nilai masa lalu yang

berhubungan

at = residual pada waktu t

Model Autoregressive Orde Pertama AR (1)

Model AR (1) memenuhi, 1

t t t

Z

=

φ

Z

+

a

(2.6)

(Cryer, 1986).

¾ Model Moving Average (MA)

Pada model moving average, nilai

Z

t

bergantung error orde q sebelumnya. Moving average orde q atau disingkat MA (q) memenuhi persamaan,

1 1 2 2

...

t t t t q t q

Z

= −

a

θ

a

θ

a

− −

θ

a

(2.7)

Dimana,

Zt = deret waktu stasioner

θ1, ..., θp = koefisien atau parameter dari

model moving average

at-q = residual lampau yang digunakan oleh

model

Model Moving Average Orde Pertama MA(1) Model MA (1) memenuhi, 1 1 t t t

Z

= −

a

θ

a

(2.8) (Cryer, 1986). ¾ 2.5.6 Model

Autoregressive-Moving Average (ARMA)

Jika diasumsikan deret waktu merupakan campuran dari autoregresif dan moving average maka modelnya menjadi,

1 1 2 2

...

1 1 2 2

...

t t t p t p t t t q t q

Z

=

φ

Z

+

φ

Z

+ +

φ

Z

+ −

a

θ

a

θ

a

− −

θ

a

(2.9)

(Cryer, 1986).

Dimana Zt dan at sama seperti sebelumnya, Zt

adalah konstanta, Ø dan θ adalah koefisien

model.

{ }

Z

t dikatakan proses campuran

autoregressive moving average orde p dan q, disingkat ARMA (p,q).

¾ Model

Autoregressive-Integrated-Moving Average (ARIMA)

Model ARIMA didapatkan apabila data yang dianalisis merupakan data yang tidak stasioner sehingga perlu dilakukan proses differensi (pembedaan).

Tinjau model AR(1): 1

t t t

Z

=

φ

Z

+

a

(2.10)

Terlihat dari persamaan (2.10) bahwa

a

t

tidak berkolerasi dengan

Z

t1

,

Z

t2

,...

. Agar

solusinya stasioner memenuhi persamaan

(2.10) haruslah

− < <1

1

φ

. Jika

φ

=1

,

maka persamaan (2.10) menjadi 1

t t t

Z

=

Z

+

a

(2.11)

atau

∇ =

Z

t

a

t (2.12)

dimana

∇ =

Z

t

Z

t

Z

t1 adalah pembedaan

pertama dari

Z

.

Proses stasioner dapat diperoleh dari hasil pembedaan data yang tidak stasioner. Variabel

acak

{ }

Z

t dikatakan model integrasi

autoregresif-moving average jika dibedakan sebanyak d kali dan merupakan proses ARMA yang stasioner. Disingkat ARIMA (p,d,q). Secara umum persamaan untuk model ARIMA (p,1,q), 1 1 2 2

...

1 1 2 2

...

t t t p t p t t t q t q

W

=

φ

W

+

φ

W

+ +

φ

W

+ −

a

θ

a

θ

a

− −

θ

a

(2.13) dimana

W

t

=

Z

t

Z

t1, sehingga

(

)

(

)

1 1 1 2 2 2 3

...

t t t t t t

Z Z

=

φ

Z

Z

+

φ

Z

Z

+

(

1

)

1 1 2 2 ... p Zt p Zt p at at at q t qa

φ

− −

θ

θ

θ

+ − + − − − −

Sehingga model ARIMA (1,1,1) memenuhi persamaan:

1 1

(2.14) (Cryer, 1986).

(21)

Nilai ordo dari proses autoregressive dan moving average diduga secara visual dari plot PACF dan ACF dari data. Plot tersebut menampilkan distribusi koefisien autokorelasi dan koefisien autokorelasi parsial.

Tahapan utama yang diperlukan dalam metode Box-Jenkins adalah:

Gambar 7 Skema pendekatan Box-Jenkins. • Tahap 1: Identifikasi Model

Tahap identifikasi model meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. Membuat plot data (time plot) yang bermanfaat untuk melihat secara kasat mata apakah data stasioner atau tidak. b. Memeriksa plot dari fungsi autokorelasi

(ACF) dan fungsi autokorelasi parsial (PACF) untuk melihat model dari data. Apabila ACF signifikan pada lag (lead time) q dan PACF menurun secara eksponensial, maka data dapat dimodelkan dengan model moving average derajat q (MA (q)) dan jika ACF turun secara eksponensial dan PACF signifikan pada lag p, maka data dapat dimodelkan dengan model autoregresif derajat p (AR (p)). Apabila kedua hal tersebut tidak diperoleh, ada kemungkinan model merupakan proses gabungan AR dan MA atau ARMA (p,q). Jadi untuk menentukan orde dari proses AR adalah dengan melihat PACF. Sementara proses MA untuk menentukan orde dari model ini digunakan ACF. Namun baik ACF maupun PACF dari masing-masing model harus tetap diperhatikan karena bisa saja model yang diperoleh adalah model

ARMA. Oleh karena itu untuk mengidentifikasi model deret waktu lebih baik digunakan kedua-duanya yaitu ACF dan PACF.

Tabel 3 Identifikasi p dan q melalui nila ACF dan PACF

ACF PACF Model Tentatif

Cut – off pada lag ke- q

Tails off MA(q)

Tails off Cut off

pada lag ke- p AR(p) Cut off pada lag ke- q Cut off pada lag ke- p

MA(q) atau AR(p), pilih model terbaik

Tails off Tails off ARMA(p, q)

Cek pada berbagai kombinasi p dan q. Misal ARMA(1, 1), ARMA(1, 2), dsb. Kemudian pilih model terbaik. Tails off (slowly) Model tidak stasioner.Perlu proses pembedaan (differencing) terlebih dahulu hingga data menjadi stasioner.

Sumber: Mulyono (2000)

• Tahap 2: Pendugaan Parameter Model Untuk membantu memilih model tentative (sementara), menggunakan hasil analisis autokorelasi dan autokorelasi parsial dengan panjang lag tertentu. Cara yang dapat dilakukan pada tahap ini yaitu:

1. Dengan cara mencoba-coba (trial and error) yaitu menguji beberapa nilai yang berbeda dan memilih satu nilai tersebut (atau sekumpulan nilai, apabila terdapat lebih dari satu parameter yang akan ditaksir) yang meminimumkan jumlah kuadrat nilai sisa/ nilai galat (sum of squared residuals).

2. Perbaikan secara iteratif yaitu memilih taksiran awal dan kemudian membiarkan program komputer memperhatikan penaksiran tersebut secara iteratif. (Makridakis, 1999)

• Tahap 3: Pengujian atau Validasi

Model

Setelah model ARIMA sementara ditentukan, tahap berikutnya adalah melakukan pemeriksaan diagnostik untuk

Ya Tidak Tahap 1: Identifikasi Tahap 2: Penaksiran dan Pengujian Tahap 3: Penerapan Rumuskan kelompok model-model yang umum

Pemeriksaan diagnostik Penaksir parameter pada

model sementara Penetapan model untuk

sementara

Gunakan model untuk peramalan

(22)

menguji kelayakan model sehingga model sementara tersebut cukup memadai. Salah satu caranya adalah dengan menganalisis galat (residual). Galat merupakan selisih antara data observasi dengan data hasil keluaran model. • Tahap 4: Prakiraan

Langkah ini merupakan langkah terakhir dimana kita bisa membuat prakiraan (forecasting) dari model yang telah kita buat.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Spektral Data Kecepatan Angin Zonal pada Lapisan 850 mb

Metode analisis spektral banyak digunakan untuk menganalisis fenomena osilasi atmosferik. Analisis ini digunakan untuk memunculkan periode dari setiap osilasi yang terjadi.

Salah satu cara untuk mengamati perilaku MJO adalah dengan mengamati data indeks MJO yang saat ini telah dikenal luas yaitu Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2) yang digunakan oleh pihak Badan Meteorologi Australia (BoM, Australia). RMM1 dan RMM2 adalah sepasang indeks untuk memonitoring MJO yang didasarkan pada sepasang fungsi ortogonal empiris gabungan dari data kecepatan angin pada lapisan 850 mb dan 200 mb, serta data Outgoing Longwave Radiation (OLR) (Wheeler dan Hendon, 2004). Namun, pada penelitian ini fenomena MJO hanya diamati dengan menggunakan data kecepatan angin zonal pada lapisan 850 mb atau sekitar ketinggian 1.455 km. Hal tersebut didasarkan pada asumsi bahwa pada lapisan tersebut merupakan pusat konveksi, dimana akan terbentuk dasar awan-awan hujan sebagai ciri kejadian MJO. Menurut Aldrian (2000) kecepatan angin juga akan mempengaruhi pembentukan awan konvektif. Jika kecepatannya terlalu tinggi maka akan menghalangi pembentukan awan konvektif, sedangkan jika terlalu lemah maka akan menyebabkan terjadinya gangguan lokal. Selain itu angin berperan dalam memindahkan awan dari tempat pembentukannya.

Gambar 8 Power Spectral Density (PSD) kecepatan angin zonal periode 1 Januari 2007–31 Desember 2010 di Pontianak.

Berdasarkan analisis PSD, osilasi kecepatan angin zonal harian pada lapisan 850 mb atau ketinggian sekitar 1.455 km di Pontianak menunjukkan 50 harian. Artinya jika osilasi ini berjalan sempurna maka dalam waktu 50 harian akan terjadi peningkatan kecepatan angin di kawasan tersebut. Hal ini menunjukkan fenomena MJO terasa di kawasan Pontianak. Hasil yang sama juga ditunjukkan dengan teknik wavelet. Global wavelet spektrum menunjukkan periodesitas 50 harian.

Gambar 9 Wavelet Kecepatan Angin Zonal pada Ketinggian 1.455 km periode 1 Januari 2007–31 Desember 2010 di Pontianak.

(23)

Gambar 10 Power Spectral Density (PSD) kecepatan angin zonal periode 1 Januari 2007–31 Desember 2010 di Manado.

Gambar 11 Wavelet Kecepatan Angin Zonal pada Ketinggian 1.455 km periode 1 Januari 2007–31 Desember 2010 di Manado.

Analisis yang sama menggunakan teknik FFT dan wavelet mennjukkan bahwa osilasi kecepatan angin zonal harian pada lapisan 850 mb atau ketinggian sekitar 1.455 km di daerah Manado adalah 45 harian. Artinya jika osilasi ini berjalan sempurna maka dalam waktu 45 harian akan terjadi peningkatan kecepatan angin di kawasan tersebut. Hal ini menunjukkan fenomena MJO terasa di kawasan Manado.

Begitu pula dengan daerah Biak. Hasil analisis kecepatan angin zonal harian pada lapisan 850 mb atau ketinggian sekitar 1.455 km di daerah Biak menghasilkan osilasi 45 harian. Artinya jika osilasi ini berjalan sempurna maka dalam waktu 45 harian akan terjadi peningkatan kecepatan angin di

kawasan tersebut. Hal ini menunjukkan fenomena MJO terasa di kawasan Biak.

Gambar 12 Power Spectral Density (PSD) kecepatan angin zonal periode 1 Januari 2007–31 Desember 2010 di Biak.

Gambar 13 Wavelet Kecepatan Angin Zonal pada Ketinggian 1.455 km periode 1 Januari 2007–31 Desember 2010 di Biak.

Disamping itu, dilakukan pula analisis spektral pada data indeks MJO yaitu RMM1 dan RMM2. Hasil PSD menunjukkan bahwa data RMM1 dan RMM2 menghasilkan osilasi 45 harian.

Dari hasil analisis spektral diketahui bahwa data kecepatan angin zonal pada lapisan 850 mb memiliki osilasi yang sama dengan data indeks MJO global (RMM1 dan RMM2), yakni keduanya berosilasi sekitar 45 harian. Osilasi yang kuat pada 45 harian ini diidentifikasi sebagai suatu sinyal MJO di wilayah Pontianak, Manado, dan Biak.

45 harian

(24)

Gambar 14 Power Spectral Density (PSD) RMM1 dan RMM2 periode 1 Januari 2007–31 Desember 2010.

Gambar 15 Wavelet RMM1 periode 1 Januari 2007–31 Desember 2010.

Gambar 16 Wavelet RMM2 periode 1 Januari 2007–31 Desember 2010.

Plot data angin di ketiga wilayah penelitian menunjukkan bahwa kecepatan angin berkisar 5 m/s. Kecepatan angin ini tidak terlalu tinggi maupun terlalu rendah

sehingga dapat mendukung terjadinya pembentukan awan dan pergerakan awan dari barat ke timur sebagai ciri terjadinya MJO. Hal tersebut juga sesuai dengan karakteristik pergerakan SCC yang bergerak ke timur dengan kecepatan rata-rata sekitar 5 m/s (Zhang, 2005).

4.2 Analisis Statistik Data Kecepatan Angin Zonal pada Lapisan 850 mb dengan Data RMM1 dan RMM2

Analisis statistik ini dilakukan untuk membuktikan apakah data kecepatan angin zonal pada lapisan 850 mb dapat digunakan untuk memprediksi kejadian MJO di Indonesia, khususnya kawasan Pontianak, Manado, dan Biak. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa sebelum data kecepatan angin ini digunakan untuk prediksi MJO maka akan dibandingkan terlebih dahulu dengan data indeks MJO yang telah dikenal luas, yaitu RMM1 dan RMM2.

Dengan teknik wavelet, diketahui terdapat puncak-puncak varians kecepatan angin zonal maupun RMM1 dan RMM2 yang dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 17 Rata-rata time series kecepatan angin zonal, RMM1 dan RMM2 periode 1 Januari 2007–31 Desember 2010.

Secara sepintas terlihat bahwa kecepatan angin zonal memiliki pola yang sama dengan data RMM1 dan RMM2 meskipun amplitudonya berbeda. Analisis statistik menunjukkan bahwa data kecepatan angin zonal lapisan 850 mb dengan data RMM1 dan RMM2 memiliki hubungan yang signifikan pada selang kepercayaan 95 %.

Gambar 17 menunjukkan terjadinya puncak-puncak kecepatan angin zonal maupun data RMM1 dan RMM2 khususnya

45 harian 45 harian

(25)

pada sekitar bulan Juni 2007, Desember 2007, Juni 2008, April 2009, November 2009, dan Oktober 2010. Sehingga analisis statistik dari variabel angin dengan RMM1 dan RMM2 difokuskan pada saat keduanya menguat. Pada bulan-bulan tersebut terlihat pula bahwa angin yang mendominasi adalah angin baratan.

Tabel 4 menunjukkan persamaan menggunakan analisis regresi linear sederhana antara kecepatan angin zonal dengan RMM1 dan RMM2, dimana; Y = kecepatan angin

zonal, X1 = RMM1, X2 = RMM2.

Tabel 4 Regresi linear antara kecepatan

angin zonal di Pontianak dengan RMM1 dan RMM2 Bulan R2 Persamaan Jun-07 0.32 Y= 0.226 + 1.258 X1 + 0.054 X2 Des-07 0.86 Y= 4.481 + 2.705 X1 + 1.765 X2 Jun-08 0.47 Y= 1.515 + 1.204 X1 + 1.387 X2 Apr-09 0.27 Y= 0.668 + 0.591 X1 + 0.567 X2 Nov-09 0.87 Y= 3.291 + 1.984 X1 + 2.852 X2 Okt-10 0.33 Y= 1.547 + 1.413 X1 + 1.829 X2 0.52

Tabel 4 menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan yang erat antara data angin zonal dengan data RMM1 dan RMM2 dengan nilai

rata-rata R2 sebesar 0.52. Nilai R2 tinggi pada

bulan Desember dan November.

Pada masing-masing bulan di atas, fase MJO dimulai di belahan bumi bagian barat/ Afrika lalu bergerak ke timur melalui Samudera Hindia, Indonesia, dan Samudera Fasifik Bagian Barat. MJO aktif pada saat melewati Indonesia tidak sama setiap bulan, namun umumnya pada pertengahan hingga akhir bulan (sekitar 8-10 hari). Pada saat melewati Indonesia inilah yang menyebabkan curah hujan yang tinggi.

Bulan Oktober-Desember memiliki curah hujan yang tinggi. Hal tersebut karena angin yang mendominasi adalah angin baratan yang membawa banyak uap air dari Samudera Hindia yang memungkinkan terjadinya banyak hujan di kawasan Pontianak. Pola curah hujan di Pontianak dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18 Curah Hujan Rata-rata Bulanan Pontianak Tahun 2007-2010. Berdasarkan data rata-rata curah hujan bulanan tahun 2007-2010 di Pontianak memiliki pola curah hujan equatorial, dengan puncak curah hujan terjadi pada bulan Oktober dan April. Meskipun begitu, curah hujan pada bulan Oktober, November, dan Desember nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan curah hujan pada bulan April.

Tabel 5 Regresi linear antara kecepatan

angin zonal di Manado dengan RMM1 dan RMM2 Bulan R2 Persamaan Jun-07 0.07 Y= 1.193 + 0.380 X1 -0.346 X2 Des-07 0.10 Y= 1.584 + 0.110 X1 - 0.489 X2 Jun-08 0.06 Y= - 0.940 + 0.411 X1 - 0.300 X2 Apr-09 0.82 Y= 1.358 + 1.602 X1 + 1.687 X2 Nov-09 0.86 Y= 3.015 + 1.248 X1 + 2.750 X2 Okt-10 0.54 Y= - 1.483 + 0.225 X1 + 3.553 X2 0.41

Tabel 5 menunjukkan bahwa di Manado

rata-rata R2 sebesar 0.41. Nilai R2 tertinggi

terjadi pada bulan November. Pada bulan tersebut curah hujan di Manado mengalami puncak.

Pada saat MJO menguat pada bulan Juni, posisi matahari berada di utara, namun pemanasan intensif belum terjadi di wilayah utara ekuator. Akibatnya curah hujan yang terjadi tidak terlalu tinggi.

Sedangkan pada bulan Desember posisi matahari berada di selatan ekuator sehingga pengaruh pemanasan tidak intensif untuk kawasan di utara ekuator seperti Manado. Hal

0 100 200 300 400 500 J F M A M J J A S O N D Curah Hujan (mm) Bulan

(26)

tersebut mengakibatkan pengaruh MJO di Manado pada bulan Desember melemah.

Gambar 19 Curah Hujan Rata-rata Bulanan Manado Tahun 2007-2010. Berdasarkan data rata-rata curah hujan bulanan di Manado tahun 2007-2010 cenderung berpola curah hujan monsunal, dengan puncak curah hujan terjadi pada bulan November. Puncak curah hujan terjadi pada bulan November-Januari. Sementara itu curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus– Oktober.

Di kawasan Manado ini sepertinya faktor monsun lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh MJO dan karena pengaruh faktor lokal. Hubungan curah hujan Manado dengan ITCZ juga tidak konsisten, karena secara teori pengaruh ITCZ untuk kawasan di utara ekuator akan dirasakan pada bulan Agustus, namun pada kenyataannya pada bulan Agustus curah hujan di wilayah ini justru paling rendah. Hal tersebut menguatkan pendapat bahwa kawasan Manado lebih dipengaruhi oleh faktor lokal.

Tabel 6 Regresi linear antara kecepatan

angin zonal di Biak dengan RMM1 dan RMM2 Bulan R2 Persamaan Jun-07 0.63 Y= -2.682 - 0.503 X1 + 4.391 X2 Des-07 0.76 Y= 2.368 + 0.886 X1 + 3.384 X2 Jun-08 0.52 Y= - 0.976+ 0.883 X1 + 5.469 X2 Apr-09 0.66 Y= 1.702 - 0.264 X1 + 2.070 X2 Nov-09 0.74 Y= 3.20 -0.198 X1 + 3.700 X2 Okt-10 0.77 Y= - 5.199 -0.363 X1 + 4.356 X2 0.68

Hasil regresi di Biak menunjukkan bahwa

di setiap bulan R2 cenderung tinggi. Hal

tersebut mengindikasikan bahwa MJO berpengaruh pada kondisi iklim di Biak.

Gambar 20 Curah Hujan Rata-rata Bulanan Biak Tahun 2007-2010.

Berdasarkan data rata-rata curah hujan bulanan tahun 2007-2010, Biak memiliki pola curah hujan yang tidak begitu jelas. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Junaeni (2006) yang menyebutkan bahwa pola curah hujan di Biak sulit ditentukan karena tidak jelas apakah mengikuti pola equatorial atau lokal. Namun, Sunarsih (2007) menyebutkan bahwa curah hujan di Biak memiliki pola equatorial. Pada periode ini, curah hujan paling tinggi pada bulan Juni-Agustus serta bulan Oktober-Desember juga terlihat curah hujan cukup tinggi.

Gambar 21 Distribusi Curah Hujan Rata-rata Bulanan Pontianak, Manado, dan Biak Tahun 2007-2010.

Berdasarkan distribusi curah hujan bulanan periode Januari 2007-Desmber 2010 yang ditunjukkan pada Gambar 21 terlihat adanya perbedaan yang signifikan antara curah hujan Pontianak, Manado dan Biak. Curah hujan rata-rata maksimum dimiliki oleh Pontianak sebesar 320 mm. Curah hujan rata-rata Manado sebesar 203 mm sedangkan Biak sebesar 222 mm. Dari distribusi curah hujan ini terlihat bahwa semakin ke timur curah 0 50 100 150 200 250 300 350 J F M A M J J A S O N D Curah Hujan (mm) Bulan -50 50 150 250 350 J F M A M J J A S O N D Curah Hujan (mm) Bulan 0 100 200 300 400 500 J F M A M J J A S O N D Curah Hujan (mm) Bulan

(27)

hujan semakin kecil, yang berarti kekuatan MJO semakin berkurang, kecuali untuk Biak yang curah hujannya lebih tinggi dari Manado.

Dengan menggunakan analisis statistik diperoleh adanya keterkaitan antara data kecepatan angin zonal dengan data indeks MJO global khususnya pada saat keduanya menguat yaitu sekitar bulan Januari 2007, Desember 2007, Juni 2008, April 2009,

November 2009, dan Oktober 2010. Nilai R2

rata-rata melebihi 0.5 sehingga menunjukkan bahwa data kecepatan angin zonal signifikan dan valid untuk analisis lebih lanjut, yaitu untuk analisis MJO di kawasan Indonesia.

Kecuali unutk daerah Manado, rata-rata R2

kurang dari 0.5 kemungkinan disebabkan faktor lokal.

Hasil analisis regresi menunjukkan kecenderungan bahwa pada saat bulan-bulan basah yaitu Oktober, November, dan

Desember nilai R2 lebih tinggi daripada pada

saat bulan-bulan kering seperti April dan Juni. Hal tersebut berarti bahwa prediksi indeks MJO menunjukkan hasil yang baik pada saat musim basah karena MJO berkaitan dengan perjalanan ITCZ saat bergerak ke utara dan selatan.

4.3 Model Berbasis ARIMA

Dari hasil analisis spektral dan statistik diketahui bahwa kecepatan angin zonal pada lapisan 850 mb (ketinggian 1.455 km) dapat menunjukkan terjadinya osilasi MJO di kawasan Indonesia khususnya Pontianak, Manado, dan Biak. Pemodelan ini menggunakan data harian kecepatan angin zonal selama 4 tahun (1461 data) yang terbagi menjadi 1369 data untuk menduga model sementara dan sisanya 92 data untuk validasi model.

Pemodelan ini bertujuan untuk memperoleh model prediksi data time series kecepatan angin zonal yang nantinya dapat digunakan dalam mengembangkan model MJO.

4.3.1 Pontianak

Tahapan awal dalam pemodelan ini yaitu melakukan uji stasioneritas data. Kestasioneran data merupakan kondisi yang diperlukan dalam analisis regresi deret waktu karena dapat memperkecil kekeliruan model. Kestasioneran data dapat dilihat secara visual pada plot data terhadap waktu dan melalui telaah plot ACF dan PACF.

I n d e x Zo na l_ P o nt ia na k 1 2 3 3 1 0 9 6 9 5 9 8 2 2 6 8 5 5 4 8 4 1 1 2 7 4 1 3 7 1 1 5 1 0 5 0 - 5 - 1 0 - 1 5 T i m e S e r i e s P l o t o f Z o n a l _ P o n t i a n a k (1) Lag Au to co rr e la ti o n 80 70 60 50 40 30 20 10 1 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0

Autocorrelation Function for Zonal_Pontianak

(with 5% significance limits for the autocorrelations)

Lag P a rt ia l A u to co rr e la ti o n 80 70 60 50 40 30 20 10 1 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0

Partial Autocorrelation Function for Zonal_Pontianak

(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

(2) (3) Gambar 22 Plot data (1), ACF (2), PACF (3) kecepatan angin zonal di Pontianak periode 1

(28)

Gambar 22 (1) menunjukkan bahwa data deret waktu sudah stasioner dalam rataan dan ragam, sehingga tidak perlu dilakukan proses differencing. Proses differencing ini merupakan proses transformasi data agar data menjadi stasioner dengan cara mencari selisih nilai saat ini dengan nilai kemarin. Dari Gambar 22 (2) dan 22 (3) terlihat bahwa pada plot ACF tail off (menurun secara eksponensial) tapi pada PACF nya cut off (menuju 0 setelah lag q). Plot PACF nyata pada lag 1, 2, 3 dan 4. Dengan demikian, model sementara dari plot data kecepatan angin zonal di Pontianak adalah model autoregressif (AR). Kemungkinan model adalah ARIMA(1,0,0), ARIMA(2,0,0), ARIMA(3,0,0), dan untuk lebih meyakinkan akan dicoba model ARIMA (4,0,0).

Tahap selajutnya adalah melakukan penaksiran parameter terhadap model sementara. Hal ini diperlukan untuk menelaah besarnya kekeliruan jika model tersebut digunakan sebagai model ramalan. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Minitab 15. Penaksir parameter untuk masing-masing model sementara dapat dilihat pada Lampiran 6.

Hasil penaksiran model menunjukkan bahwa ARIMA (3,0,0) tidak nyata pada penduga pada koefisien AR(2). Sementara itu untuk ARIMA(2,0,0) nyata untuk semua penduga parameternya, maka ARIMA (2,0,0) ditetapkan sebagai model tentatif nya.

Model AR(2), Zt = Z + Z + atφ1 t-1 φ2 t-2

Zt = 0.33396 + 0.6792 Zt-1 + 0.0762 Zt-2+ at

Setelah diperoleh model ARIMA selanjutnya dilakukan validasi untuk data tanggal 1 Oktober 2010-31 Desember 2010. Hasil validasi dapat dilihat pada Gambar 23. Dari Gambar tersebut terlihat bahwa nilai galat yang diperoleh relatif kecil sehingga model ini cukup dapat mengenali pola kecepatan angin zonal di Pontianak.

Berdasarkan Gambar 23 dapat dilihat bahwa plot data prediksi mendekati data asli dengan nilai r sebesar 0.783. Hasil prediksi ini cukup baik karena menghasilkan galat rata-rata yang kecil yaitu sebesar 0.819 dan RMSE (Root Mean Square Error) sebesar 0.083. RMSE ini digunakan untuk menduga perbedaan antara nilai observasi dengan nilai prediksi.

Tabel 7 Penaksir Parameter ARIMA(2,0,0)

Type Coef SE Coef T P AR 1 0,6792 0,0270 25,18 0,000 AR 2 0,0762 0,0270 2,83 0,005 Constant 0,33396 0,05409 6,17 0.000 Mean 1,3651 0,2211   9 0 8 1 7 2 6 3 5 4 4 5 3 6 2 7 1 8 9 1 1 0 5 0 -5 In d e x Da ta D ata_A sli N ilai_P r ed ik si V ar iab le T i m e S e r i e s P l o t o f D a ta _ A s l i ; N i l a i _ P r e d i k s i

Gambar 23 Plot data asli kecepatan angin zonal di Pontianak dengan hasil prediksi ARIMA(2,0,0) 1 Oktober 2010-31 Desember 2010.

(29)

Model ARIMA(2,0,0) untuk data kecepatan angin zonal di Pontianak artinya peramalan data angin zonal periode mendatang tergantung pada data dua waktu sebelumnya. Model tersebut dapat digunakan untuk menduga kecepatan angin tiga hari ke depan.

Hasil prediksi menunjukkan bahwa kecepatan angin pada tanggal 1-3 Januari

2011 masih didominasi oleh angin baratan. Artinya kemungkinan curah hujan masih tetap tinggi.

4.3.2 Manado

Uji stasioneritas dilakukan terhadap data kecepatan angin zonal di Manado.

In d e x Zo na l_ M a na d o 1 2 3 3 1 0 9 6 9 5 9 8 2 2 6 8 5 5 4 8 4 1 1 2 7 4 1 3 7 1 1 0 5 0 - 5 - 1 0 - 1 5 T i m e S e r i e s P l o t o f Z o n a l _ M a n a d o   Gambar 24 Plot data asli kecepatan angin zonal di Manado periode 1 Januari 2007–30 September

2010.   1 2 3 3 1 0 9 6 9 5 9 8 2 2 6 8 5 5 4 8 4 1 1 2 7 4 1 3 7 1 1 0 5 0 - 5 - 1 0 - 1 5 In d e x d iff_ 1 T i m e S e r i e s P l o t o f d i f f _ 1 (1) 80 70 60 50 40 30 20 10 1 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 Lag A u to co rr e la ti o n

Autocorrelation Function for diff_1 (with 5% significance limits for the autocorrelations)

80 70 60 50 40 30 20 10 1 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0 Lag P a rt ia l A u to co rr e la tio n

Partial Autocorrelation Function for diff_1 (with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

(2) (3) Gambar 25 Plot data (1), ACF (2) PACF (3) differencing orde 1 kecepatan angin zonal di Manado

(30)

Dari plot data pada Gambar 24 terlihat bahwa data tidak stasioner dalam rataan, maka dilakukan proses differencing satu kali. Setelah dilakukan proses pembedaan 1 maka terlihat bahwa data sudah stasioner. Dengan dilakukannya pembedaan 1 maka ditentukan model sementara (d=1).

Plot ACF nya nyata pada lag 2 dan 3, sedangkan PACF nya nyata pada lag 2, 3, dan 4 maka kemungkinan model adalah ARIMA(2,1,2), ARIMA(2,1,3), ARIMA (2,1,4), ARIMA (3,1,2) ARIMA (3,1,3) ARIMA (3,1,4).

Pada proses pendugaan parameter diperoleh bahwa ARIMA(2,1,2), ARIMA(2,1,3) nyata untuk semua parameternya. Penduga parameter dari masing-masing model dapat dilihat pada Lampiran 7. Namun, untuk kemungkinan model yang lain tidak bisa diperoleh penaksir parameternya disebabkan tidak muncul iterasi di Minitab. Sehingga model yang mungkin

untuk data kecepatan angin zonal di Manado adalah ARIMA(2,1,2), ARIMA(2,1,3).

Model yang memiliki nilai MS dan SS paling kecil adalah ARIMA(2,1,2). Berdasarkan hal tersebut maka model terbaik adalah ARIMA(2,1,2). Bentuk persamaan

modelnya adalah: Zt = (1+Ø1)Zt-1 +

(-Ø1+Ø2)Zt-2 – θ1at-1 – θ2 at-2. Berdasarkan Tabel 9 maka diperoleh persamaan ARIMA(2,1,2)

adalahZt = 1.4472 Zt-1 – 0.2842 Zt-2 – 0.5847

at-1 – 0.3883 at-2.

Model ARIMA(2,1,2) untuk kecepatan angin zonal di Manado artinya peramalan data angin zonal periode mendatang tergantung pada data tiga waktu sebelumnya dan galat dua waktu sebelumnya. Model tersebut dapat digunakan untuk menduga kecepatan angin tiga hari ke depan. Hasil prediksi menunjukkan bahwa kecepatan angin pada tanggal 1-3 Januari 2011 menunjukkan kecenderungan untuk membentuk angin timuran. Artinya kemungkinan curah hujan tidak akan tinggi.

 

Tabel 8 Perbandingan Nilai MS dan SS masing-masing model Model ARIMA kecepatan

angin zonal MS SS

(2,1,2) 3,73 5078,84

(2,1,3) 3,74 5090,12

Tabel 9 Parameter Model ARIMA(2,1,2)

Type Coef SE Coef T P AR 1 0,4472 0,0274 16,35 0,000 AR 2 0,1630 0,0289 5,65 0,000 MA 1 0,5847 0,0075 78,14 0,007 MA 2 0,3883 0,0091 42,56 0,040 Constant -0,001281 0,001453 -0,88 0,378   9 0 8 1 7 2 6 3 5 4 4 5 3 6 2 7 1 8 9 1 1 0 5 0 - 5 - 1 0 In d e x Da ta D a ta _ A sli N ila i_ P r e d ik si V a r ia b le T i m e S e r i e s P l o t o f D a ta _ A s l i ; N i l a i _ P r e d i k s i   Gambar 26 Plot data asli kecepatan angin zonal di Manado dengan hasil prediksi ARIMA (2,1,2)

(31)

Gambar 26 menunjukkan perbandingan antara data asli dengan nilai prediksi. Dari Gambar tersebut dapat dilihat bahwa plot data prediksi mendekati plot data asli dengan nilai r sebesar 0,785. Hasil prediksi ini cukup baik karena menghasilkan galat rata-rata yang kecil yaitu sebesar 0.042 dan RMSE sebesar 0.084.

4.3.3 Biak

Analisis yang sama dilakukan untuk data kecepatan angin zonal di Biak. Dari plot data pada Gambar 27, terlihat bahwa data tidak stasioner dalam rataan, maka dilakukan proses differencing orde 1. Setelah dilakukan proses pembedaan 1 maka terlihat bahwa data sudah stasioner. In d e x Zo n a l_ B ia k 1 2 3 3 1 0 9 6 9 5 9 8 2 2 6 8 5 5 4 8 4 1 1 2 7 4 1 3 7 1 1 0 5 0 - 5 - 1 0 - 1 5 T i m e S e r i e s P l o t o f Z o n a l _ B i a k

Gambar 27 Plot data kecepatan angin zonal di Biak periode 1 Januari 2007 – 30 September 2010.

In d e x Bia k_ d if 1 1 2 3 3 1 0 9 6 9 5 9 8 2 2 6 8 5 5 4 8 4 1 1 2 7 4 1 3 7 1 1 5 1 0 5 0 - 5 - 1 0 T i m e S e r i e s P l o t o f B i a k _ d i f 1 (1) Lag A u to co rr e la ti o n 80 70 60 50 40 30 20 10 1 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0

Autocorrelation Function for Biak_dif1 (with 5% significance limits for the autocorrelations)

Lag P a rt ia l A u to co rr e la ti o n 80 70 60 50 40 30 20 10 1 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1,0

Partial Autocorrelation Function for Biak_dif1 (with 5% significance limits for the partial autocorrelations)

(2) (3) Gambar 28 Plot data (1), ACF (2), PACF (3) differencing orde 1 kecepatan angin zonal di Biak

Gambar

Gambar  2 Siklus MJO (Matthews A.J.,  2000).
Gambar 3  Pola Curah Hujan di Indonesia  (Sumber: Adrian, 2003).
Gambar 4  Prinsip Kerja Wind Profiler Radar  (Imai, 2007).
Gambar 7  Skema pendekatan Box-Jenkins.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Dewan Ketahanan Pangan; ketahanan pangan adalah suatu kondisi terpenuhinya pangan di tingkat'rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik

Kelemahan usaha pembibitan kelapa sawit dengan varietas Topaz yakni harga yang relatif3. tinggi, pembibitan yang terpusat, menyulitkan petani untuk memperoleh bibit

Badan Usaha dapat mengajukan prakarsa Proyek Kerjasama Penyediaan Infrastruktur yang tidak termasuk dalam daftar prioritas proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, kepada

Ada 11(sebelas) butir prakarsa yang lain, yaitu: Perlu terciptanya iklim investasi yang kondusif, good mining practice, intensifikasi cadangan batubara, insentif untuk Low Rank

Pada Metode penelitian hanya digunakan untuk mahasiswa yang mengambil tugas akhir membuat sistem informasi atau membuat alat, jika Skripsi yang dibuat hanya

Penempatan TKI ke luar negeri hanya dapat dilakukan ke Negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik Indonesia atau ke Negara

Model Jaringan Kompetisi Berbobot Tetap adalah salah satu model pada Jaringan Syaraf Tiruan yang dapat digunakan untuk kasus clustering dan tidak dapat

Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Medan memperkirakan bahwa kebutuhan energi listrik di Kota Medan terus meningkat selama periode lima tahun mendatang (2004–2009) dan