• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGENDALI HAMA UTAMA ULAT KROP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGENDALI HAMA UTAMA ULAT KROP"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIFITAS JAMUR ENTOMOPATOGEN Beauveria bassiana

SEBAGAI PENGENDALI HAMA UTAMA ULAT KROP (Crocidolomia

binotalis) TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN

SAWI (Brassica juncea)

Sucipto1, Lulu Rofiatul Adawiyah2

1

Jurusan Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

2Alumni Jurusan Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Abstract

Currently, mustard plant pest control is still used chemicals, specially synthetic chemicals that can make many problems, like pest resistance, rejurjention, enviromental damage and health human problems.

Crocidolomia binotalis or “ulat krop” is a major pest in mustard plant that can reduce the total harvest until

100 %. Because of this, we needed Beuaveria bassiana Bals as one of alternative pest control that friendly for human healthy and enviromental.

This research aimed to know the effect of Beauveria bassiana Bals on differents concentration to control ulat krop on mustard plant. The research was doing in “Kebun Percobaan Agroteknologi Program Study”. Rancangan Acak Kelompok with four replications used as experimental design. The treatment consists of Pestisida (P), control (B0), Beruveria bassiana (Bals.) dosis 100 g/liter (B1), Beruveria bassiana (Bals.) dosis 200 g/liter (B2), Beuaveria bassiana (Bals.) dosis 300 g/liter (B3). The parameters that observed included leaf area (cm2), number of leaves (pieces), intensity of attacks (5), mortality, total wet weight (g) and total dry weight (g). The Duncan test used when analysis of variance showed the real difference at 5 % level. Leaf area after 17 days planting was highest in B3 treatment (44,30 cm 2) and the lowest area in B0 (31,21 cm 2). Observation after 24 days planting, leaf area was higest found in P (63,82 cm 2) and lowest in B0 treatment (50,56 cm 2). After 24 days planting, the avearge number of leaves are 10 until 12 strands of planting. The intensity of worm attack in the treatment B0, B1, B2, B3 decreased after 17 days observation and increased at 24 days after planting. While in P application the intensity of attack decreased following the age of observation. Total wet weight highest in P treatment (68,33 g) and the lowest in B0 treatment (37,36 g). Total dry weight highest in P treatment (9,70 g) and the lowest in B0 treatment (5,97 g).

Pendahuluan Latar Belakang

Sawi hijau merupakan tanaman semusim. Sawi berdaun lonjong halus, tidak berbulu dan tidak berkrop. Tanaman sawi mempunyai batang pendek dan langsing. Pada umumnya pola pertumbuhan daunnya berserak (roset) hingga sukar membentuk krop. Tanaman ini mempunyai akar tunggang dengan akar samping yang banyak, tetapi dangkal (Sunarjo, 2003).

Sawi bermanfaat untuk menghilangkan rasa gatal di tenggorokan pada penderita batuk, penyembuh penyakit kepala, bahan pembersih darah, memperbaiki fungsi ginjal, serta memperbaiki dan memperlancar pencernaan. Sawi mengandung protein, lemak, karbohidrat, Ca, P, Fe, Vitamin A, Vitamin B, dan Vitamin C (Hartoyo, 2011).

Hama yang banyak menyerang tanaman sawi terutama ulat yang memakan daun yaitu

Crocidolomia pavonana (F) (Nazaruddin, 2000). Serangga hama ini di Indonesia dikenal dengan sebutan ulat krop (Yulia, 2010) atau ulat titik tumbuh. Ulat ini sangat rakus dan secara berkelompok dapat menghabiskan semua daun dan hanya meninggalkan tulang daun saja. Kerusakan yang ditimbulkannya dapat menurunkan hasil sampai 100% (Trizelia, 2005). Daun yang dimakan terutama daun yang masih muda, kemudian mereka menuju ke bagian titik tumbuh sehingga titik tumbuh habis, bila serangan begitu berat tanaman dapat mati, karena tanaman tidak mendapat kesempatan membentuk tunas baru (Pracaya, 1987).

Serangan hama merupakan salah satu faktor pembatas untuk peningkatkan produksi pertanian. Pengendalian hama seringkali menggunakan pestisida kimia dengan dosis yang berlebih. Penggunaan pestisida dapat menyebabkan tanaman tercemar residu pestisida sehingga membahayakan kesehatan

(2)

konsumen (Farihul dan Octriana, 2009). Salah satu upaya untuk mengurangi efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida kimia adalah dengan menggunakan biopestisida berbahan aktif mikroorganisme yang Universitas Trunojoyo Madura

Metode Penelitian Tempat Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2011 sampai bulan Juli 2011.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat Beauveria bassiana (Bals.), benih sawi (varietas tosakan), pupuk kandang, pupuk urea, pestisida, jagung giling, dan air, gula, tepung kanji. Adapun alat yang digunakan adalah cangkul, gembor, handsprayer, ember, kamera, alat tugal, pisau, tali rafia, papan nama dan alat tulis.

Rancangan Penelitian

Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) non faktorial dengan 5 perlakukan sebagai berikut: P : Pestisida (Insektisida Sistrin 75 EC, 3 ml/liter)

B0 : Kontrol (tanpa aplikasi jamur)

B1 : Beauveria bassiana (Bals.) dengan konsentrasi 100 gr/liter

B2 : Beauveria bassiana (Bals.) dengan konsentrasi 200 gr/liter

B3 : Beauveria bassiana (Bals.) dengan konsentrasi 300 gr/liter

Parameter Pengamatan

Intensitas Serangan Ulat Krop (Crocidolomia pavonana F.)

Mengambil data intensitas serangan Crocidolomia pavonana (F.) yaitu dengan mengamati gejala serangan hama pada daun. Pengamatan dilakukan sebanyak 3 kali pada umur 10, 17, dan 24 hari setelah tanam dengan rumus sebagai berikut :

IS = Intensitas serangan hama ( %)

= Jumlah daun rusak tiap kategori serangan

= Nilai skala tiap kategori terserang N = Jumlah daun yang diamati

Z = Nilai skala tertinggi kategori serangan Nilai skala dapat dikategorikan sebagai berikut :

0 = daun bersih tidak ada serangan

1 > 1-10% yang terserang dari jumlah daun yang diamati

2 > 11-20 % yang terserang dari jumlah daun yang diamati

3 > 21%-30% yang terserang dari jumlah daun yang diamati

4 > 31%-40% yang terserang dari jumlah daun yang diamati

5 > 41-50% yang terserang dari jumlah daun yang diamati

6 > 51-60 % yang terserang dari jumlah daun yang diamati

7 > 61%-70% yang terserang dari jumlah daun yang diamati

8 > 71%-80% yang terserang dari jumlah daun yang diamati

9 > 81%-90% yang terserang dari jumlah daun yang diamati

10 > 91%-100% yang terserang dari jumlah daun yang diamati

Luas Daun (cm2)

Pengukuran luas daun dilakukan pada 3 daun (besar, sedang, kecil) dari tanaman sampel dan dilaksanakan saat tanaman berumur 10, 17, dan 24 hari setelah tanam. Pengukuran luas daun dilakukan dengan metode pengukuran Panjang x Lebar x Faktor Koreksi. Faktor koreksi untuk tanaman sawi adalah 0,6 (Sutrisman, 2003).

Jumlah daun (helai)

Jumlah daun dihitung dengan menghitung jumlah daun tanaman. Daun yang dihitung yaitu daun yang sudah berbentuk sempurna. Penghitungan dilakukan saat tanaman berumur 10, 17, dan 24 hari setelah tanam.

Berat Segar Tanaman (g)

Penimbangan bobot segar tanaman dilakukan dengan menggunakan timbangan elektrik. Sebelum ditimbang tanaman dibersihkan dengan air dan dikeringanginkan. Pekerjaan ini dilakukan setelah panen.

(3)

Sawi segar yang sudah ditimbang dimasukkan ke dalam amplop dan diberi label sesuai perlakukan, lalu dikeringovenkan pada suhu 600C selama 72 jam. Pekerjaan ini dilakukan setelah panen

Analisis data

Pengaruh pemberian jamur entomopatogen Beauvaria bassiana (Bals.) sebagai musuh alami ulat krop (Crocidolomia pavonana F.) terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sawi dapat diketahui dengan meanalisis data pengamatan. Data pengamatan dianalisis dengan analisis sidik ragam. Bila terjadi beda nyata dilakukan analisis lebih

lanjut dengan Uji Jaeak Duncan (UJD) pada taraf 5%.

Hasil Dan Pembahasan

Luas daun meningkat dengan bertambahnya umur pengamatan pada semua perlakuan seperti terlihat pada gambar 14. Hal ini menunjukkan pada masa umur 10 hari setelah tanam (HST) sampai 24 hari setelah tanam (HST) tanaman sawi masih dalam fase pertumbuhan vegetatif. Pengamatan 10 hari setelah tanam (HST) luas daun pada semua perlakuan cenderung sama.

Gambar 4.1 Gafik rata-rata Luas Daun pada Berbagai Umur Pengamatan (cm2) Gardner et al. (1991) dalam Kastono

(2005) menyatakan bahwa salah satu faktor lingkungan tumbuh yang penting bagi pertumbuhan tanaman adalah ketersediaan unsur hara. Semua tanaman sawi pada penelitian ini mendapatkan konsentrasi pemupukan yang sama. Menurut sumarmi dan sartono (2008) dengan adanya perlakuan yang sama dalam pemupukan memberikan pengaruh yang sama pula pada semua pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pada umur pengamatan 10 hari setelah tanam (HST) diduga intensitas serangan belum memberikan pengaruh terhadap luas daun pada awal pertumbuhan tanaman. Pengamatan 17 hari setelah tanam (HST) luas daun tertinggi pada aplikasi Beauveria bassiana (Bals.) konsentrasi 300 g/liter (B3) sebesar 44,30 cm2 dan terendah pada kontrol (B0) sebesar 31,21 cm2

diikuti aplikasi Beauveria bassiana (Bals.) konsentrasi 200 g/liter (B2) 34,06 cm2, aplikasi Beauveria bassiana (Bals.) konsentrasi 100 g/liter (B2) 36,19 cm2, dan aplikasi Pestisida (P) sebesar 39,61 cm2 namun semuanya tidak menunjukkan beda yang nyata. Pada umur pengamatan 17 hari setelah tanam (HST) peningkatan luas daun diikuti oleh penurunan intensitas serangan hama (Tabel 1.), semakin tinggi luas daun maka semakin rendah intensitas serangan hama. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Muhammad (2006) bahwa besar kecilnya luas daun dipengaruhi oleh intensitas serangan hama. Pengamatan 24 hari setelah tanam (HST) luas daun tanaman sawi tidak menunjukkan beda yang nyata namun cenderung memberikan luas daun yang berbeda. Hal ini terlihat dari luas daun tertinggi pada aplikasi Pestisida (P) sebesar 63,82 cm2

(4)

dan terendah pada kontrol (B0) sebesar 50,56 cm2 diikuti aplikasi Beauveria bassiana (Bals.) konsentrasi 200 g/liter (B2) sebesar 50,89 cm2, dan aplikasi Beauveria bassiana (Bals.) konsentrasi 100 g/liter sebesar 5,87 cm2 dan aplikasi Beauveria bassiana (Bals.) konsentrasi 300 g/liter (B3) sebesar 63,73 cm2. Pada umur pengamatan ini peningkatan luas daun tidak diikuti oleh turunnya intensitas serangan. Aplikasi Beauveria bassiana (Bals.) 300 g/liter (B3) memiliki besar luas daun yang hampir sama dengan aplikasi Pestisida (P). Hal ini karena pada dua pengamatan sebelumnya intensitas serangan ulat krop pada aplikasi Beauveria bassiana (Bals.) konsentrasi 300

g/liter (B3) sebesar 0%. Serangan 0%, artinya tidak ada serangan yang menyebabkan tidak adanya gangguan bagi tanaman dalam memaksimalkan pertumbuhannya.

Jumlah Daun

Jumlah daun di setiap perlakuan pada semua umur pengamatan. Jumlah daun semakin meningkat dengan bertambahnya umur pengamatan seperti terlihat pada gambar 15. Hal ini selaras dengan pertambahan luas daun yang semakin bertambah dengan meningkatnya umur pengamatan akibat pertumbuhan tanaman sawi yang masih dalam fase pertumbuhan vegetatif.

Gambar 4.2 Gafik Rata-rata Jumlah Daun (Helai) pada Berbagai Umur Pengamatan

Intensitas serangan yang berbeda pada semua perlakuan tidak memiliki pengaruh terhadap jumlah daun. Serangan tertinggi pada umur pengamatan 10 hari setelah tanam (HST) sebesar 16,72%, pada umur pengamatan 17 hari setelah tanam (HST) sebesar 14,105%, dan pada umur pengamatan 24 hari setelah tanam (HST) sebesar 38,7475%. Intensitas serangan yang kecil ini tidak sampai merusak daun sehingga tidak ada daun yang mati akibat adanya serangan ulat krop (Crocidolomia pavonana F.). Kecenderungan pertambahan jumlah daun pada tanaman sawi pada masing-masing perlakuan dan pada semua umur pengamatan tidak berbeda nyata. Hal ini diduga karena faktor genetik tanaman yang berkaitan

dengan potensi penambahan jumlah daun yang lebih dominan. Gardner et al.,(1991) menyatakan jumlah bakal daun yang terdapat pada embrio biji merupakan karakteristik spesies (Anonim h., 2011). Potensi daun sawi varitas tosakan adalah 14 helai (lampiran 7). Rata-rata jumlah daun pada umur pengamatan 24 hari setelah tanam (HST) 10 sampai 12 helai pertanaman. Hal ini dikarenakan tanaman sawi belum mencapai umur maksimumnya.

Intensitas Serangan Ulat Krop (Crocidolomia pavonana F.)

Efektifitas jamur entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) dan pestisida terhadap intensitas serangan Ulat Krop

(5)

(Crocidolomia pavonana F.) pada umur 10 hari setelah tanam (HST), 17 hari setelah tanam (HST) tidak menunjukkan beda yang nyata dan

pada umur 24 hari setelah tanam (HST) menunjukkan beda yang nyata.

Tabel 4.1 Rata-rata Intensitas Serangan pada Berbagai Umur Pengamatan (%)

Perlakuan Intensitas Serangan Pada berbagai

Umur Pengamatan (%) 10 HST 17 HST 24 HST P 5,07 4,61 1,44 b B0 16,72 14,11 28,75 a B1 3,23 3,23 22,88 a B2 8,07 4,19 20,54 a B3 0 0 18,40 a UJD ns ns *

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata.

Tabel 4.2 Kisaran Kondisi Iklim Penelitian

Pukul 06.00 WIB Pukul 12.00 WIB Pukul 16.30 WIB

Suhu 32,5 0C 39,6 0C 30 0C

Kelembaban 63% 56% 70%

Sumber : Pengamatan mandiri Universitas Trunojoyo Madura 29 Pada Tabel 1. terlihat pada umur

pengamatan 24 hari setelah tanam (HST) menunjukkan bahwa intensitas serangan ulat krop (Crocidolomia pavonana F.) pada kontrol atau tanpa aplikasi (B0) berbeda nyata dengan intensitas serangan pada aplikasi Pestisida namun tidak berbeda nyata pada aplikasi Beauveria bassiana dengan berbagai tingkat konsentrasi yang berbeda. Hal ini di duga karena gagalnya perkecambahan konidia Beauveria bassiana (Bals.) pada kondisi iklim penelitian yang tidak cocok. Kisaran kondisi iklim pada saat pelaksanaan penelitian terlihat pada tabel 2.

Menurut Junianto dan sukamto (1995) dalam Trizelia (2005) perkecambahan konidia membutuhkan kelembaban relatif diatas 90% dan suhu optimum berkisar antara 200C sampai 300C. Gardneret et all (1997) dalam Trizelia (2005) menambahkan bahwa konidia

Beauveria bassiana (Bals.) pada daun yang terkena sinar matahari langsung akan kehilangan viabilitas dan virulensinya terhadap inang sebesar 50% sampai 100% dalam waktu 24 jam sampai beberapa hari. Intensitas serangan ulat krop (Crocidolomia pavonana F.) cenderung menurun pada umur pengamatan 17 hari setelah tanam (HST) pada semua perlakuan dan meningkat pada umur pengamatan 24 hari setelah tanam (HST) kecuali pada aplikasi pestisida (P). Intensitas serangan ulat krop (Crocidolomia pavonana F.) pada aplikasi pestisida (P) semakin menurun dengan bertambahnya umur pengamatan. Intensitas serangan pada umur pengamatan 10 hari setelah tanam (HST) sebesar 5,07%, 17 hari setelah tanam sebesar 4,61%, dan 24 hari setelah tanam (HST) sebesar 1,44% seperti terlihat pada gambar 15.

(6)

Gambar 4.3 Gafik Rata-rata Intensitas Serangan pada Berbagai Umur Pengamatan (%) Ulat krop (Crocidolomia pavonana F.)

di duga telah mencapai instar III dengan ciri-ciri tubuh ulat berwarna hijau dengan panjang 1,1 cm – 1,3 cm juga di duga telah ada yang mencapai instar IV dan telah berkepupa. Larva yang yang telah mencapai instar IV akan berhenti makan dan mulai memasuki tanah sehingga intensitas serangan menurun pada pengamatan 17 hari setelah tanam (HST). Larva yang menjadi pupa terlebih dahulu telah menjadi serangga dewasa dan bertelur dengan sebaran yang rata pada setiap tanaman sehingga serangan pada pengamatan 24 hari setelah tanam meningkat tajam dibandingan pengamatan 10 hari setelah tanam (HST) dan 17 hari setelah tanam (HST). Pestisida yang digunkan dalam penelitian ini adalah Sistrin 75 EC dengan bahan aktif sipermetrin 75 g/liter. Menurut Djojosumarto (2008) simetrin ditemukan pada tahun 1975 dan bekerja sebagai racun kontak dan racun perut. Sistrin 75 EC diduga bekerja sebagai racun perut karena pada umur pengamatan 17 hari setelah tanam penurunan intensitas serangan sedikit yakni sebesar 0,46%. Racun perut adalah insektisida yang membunuh serangga sasaran jika termakan serta masuk ke dalam organ pencernaannya. Selanjutnya insektisida tersebut diserap dinding saluran pencernaan makanan dan dibawa oleh cairan tubuh ke tempat insektisida itu aktif. Oleh karena itu, hama serangga harus memakan tanaman yang sudah disemprot dengan insektisida dalam jumlah yang cukup untuk membunuhnya. Pada umur

pengamatan 17 hari setelah tanam (HST) diduga jumlah daun yang dimakan belum mampu membunuh ulat krop (Crocidolomia pavonana F.). Intensitas serangan ulat krop (Crocidolomia pavonana F.) setiap perlakuan pada berbagai umur pengamatan cenderung tidak merata, hal ini di duga karena serangan dari ulat krop (Crocidolomia pavonana F.) juga tidak merata. Intensitas serangan sangat tergantung salah satunya pada populasi, semakin banyak jumlah populasi semakin banyak pula intensitas serangan.

Berat Basah Total (g) Dan Berat Kering Total (g)

Berat basah total tertinggi terdapat pada perlakuan aplikasi pestisida (P) sebesar 68,33 g dan terendah pada kontrol (B0) sebesar 37,36 (Gambar 17). Besar kecilnya dipengaruhi oleh intensitas serangan ulat krop (Crocidolomia pavonana F.) umur pengamatan 24 hari setelah tanam (HST). Semakin tinggi berat basah total maka intensitas serangan semakin rendah. Intensitas serangan ulat krop (Crocidolomia pavonana F.) umur pengamatan 24 hari setelah tanam (HST) tertinggi pada aplikasi pestisida (P) sebesar 1,44% dan terendah pada kontrol (B0) sebesar 38,75%. Menurut Sumarmi dan Sartono (2008) Tinggi rendahnya berat segar tanaman juga dipengaruhi oleh ada tidaknya serangan hama. Ulat krop (Crocidolomia pavonana F.) menyerang pada fase larva. Larva ini akan

(7)

memakan daun (Kasholven, 1981 dalam Trizelia, 2005) sehingga menyebabkan daun berlubang. Semakin tinggi intensitas serangan maka semakin sedikit pula kerusakan fisik (daun berlubang) pada daun sawi oleh Ulat krop (Crocidolomia pavonana F.) dan sebaliknya. Semakin besar kerusakan fisik daun pada daun sawi akan menyebabkan semakin rendahnya berat basah total tanaman sawi. Berat kering merupakan berat organ yang terdapat dalam bentuk biomassa. Biomassa ini mencerminkan penangkapan energi oleh tanaman pada proses fotosintesis. Semakin tinggi berat kering brangkasan menunjukkan bahwa proses fotosintesis berjalan baik. Penggunaan berat kering sebagai variabel.

pengamatan pertumbuhan disebabkan karena berat basah selalu mengalami fluktuasi tergantung dari kelembaban (Harjadi, 1991 dalam Anonim h, 2011). Berat kering tanaman terbesar pada perlakuan aplikasi Pestisida (P) sebesar 9,70 g diikuti aplikasi beauveria bassiana konsentrasi 100 g/liter (B1) sebesar 7,93 g, aplikasi Beauveria bassiana konsentrasi 200 g/liter (B2) sebesar 7,59 g , aplikasi Bauveria bassiana konsentrasi 300 g/liter (B3) sebesar 7,36 g, dan kontrol (B0) sebesar 5,97 g. Produksi bahan kering yang semakin besar, berarti terjadi peningkatan organ penghasil (source), yang memungkinkan organ pemakai (sink) juga meningkat (Kastono, 2005).

Gambar 4.4 Gafik Rata-rata Berat Basah Total (g) dan Berat Kering Total (g)

Kesimpulan Dan Saran Kesimpulan

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi pestisida (P), kontrol (B0), dan aplikasi beberapa kosentrasi Beauveria bassiana (Bals.) tidak berbeda nyata pada luas daun dan jumlah daun. Luas daun dan jumlah daun semakin meningkat dengan bertambahnya umur pengamatan.

2. Aplikasi pestisida (P), kontrol, dan aplikasi beberapa konsentrasi Beauveria bassiana

(Bals.) berbeda nyata terhadap intensitas serangan ulat krop (Crocidolomia pavonana F.). Hasil uji jarak duncan menunjukkan bahwa kontrol berbeda nyata dengan perlakuan aplikasi pestisida namun tidak berbeda nyata dengan pelakuan aplikasi beberapa konsetrasi Beauveria bassiana (Bals.) (100 gr/liter, 200 gr/liter, 300 gr/liter). Hal ini diduga karena gagalnya perkecambahan Beauveria bassiana (Bals.) pada kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Perlakuan yang paling efektif dalam menurunkan intensitas serangan ulat krop

(8)

(Crocidolomia pavonana F.) yaitu pada apalikasi Pestisida (P).

3. Aplikasi pestisida (P), kontrol, dan aplikasi beberapa konsentrasi Beauveria bassiana (Bals.) tidak berbeda nyata terhadap berat basah total dan berat kering total tanaman. Besar kecilnya berat basah dipengaruhi oleh intensitas serangan ulat krop (Crocidolomia pavonana F.). Semakin tinggi berat basah total maka intensitas serangan semakin rendah.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang aplikasi Beauveria bassiana (Bals.) pada ulat krop (Crocidolomia pavonana F.) dengan asal isolat dari beberapa tempat yang berbeda.

2. Isolat murni dari Madura sangat direkomendasikan , karena dimungkinkan isolat murni Beauveria bassiana (Bals.) dari Madura akan lebih mampu hidup dalam kondisi lingkungan Madura yang ekstrim. 3. Interval waktu aplikasi Beauveria bassiana

(Bals.) hendaknya lebih pendek dan tidak berpatokan pada umur tanaman, karena serangan ulat krop (Crocidolomia pavonana F.) dapat terjadi selama pertumbuhan tanaman mulai dari pembibitan. Penyemprotan sebaiknya juga dilakukan pada malam hari.

Daftar Pustaka

Anonim a., 2011. Beauveria bassiana. Online: http:/ id.wikipedia. org/ wiki/ Beauveria_bassiana. Diakses pada tanggal 2 Februari 2011.

Anonim g. Crocidolomia pavonana. Online:

http://en.wikipedia.org wiki /Crocidolomia_ pavonana. Diakses

pada tanggal 2 Februari 2011.

Farihul, Ihsan dan Liza Octriana. 2009. Teknik Pengujian Efektivitas Jamur Entomopatogen Beauveria Bassiana Pada Media Pembawa Substrat Beras dan Jagung untuk Pengendalikan Lalat Buah Semilapang. Online: http://www. pustaka.litbang.

deptan.go.id/publikasi/bt142095.pdf. Diakses pada tanggal 2 Februari 2011. Kastono, Dody. 2005. Tanggapan Pertumbuhan

dan Hasil Kedelai Hitam Terhadap Penggunaan Pupuk Organik dan Biopestisida Gulma Siam (Chromolaena odorata). Ilmu Pertanian Vol. 12 No.2, 2005 : 103 - 116 .

Muhammad. 2006. Respon Tembakau Madura Variets Prancak Akibat Serangan Spodoptera litura Empat Minggu Setelah Tanam yang Dikendalikan oleh

Nematoda Entomopatogen (Heterorhabditis). [Skripsi]. Bangkalan: Universitas Trunojoyo

Madura.

Nazaruddin. 2000. Budidaya dan Pengaturan Panen: Sayuran Dataran Rendah. Jakarta: Penebar Swadaya.

Pracaya. 1987. Kol Alias Kubis. Jakarta: Penebar Swadaya.

Sumarmi JS. Dan Sartono. 2008. Pengendalian Plutella xylostella dan Crocidolomia Binotales pada Tanaman Kubis dengan Insektisida Nabati. Eksplorasi Vol XX No 1.

Sunarjo, Hendro. 2003. Bertanam Jenis Sayur. Jakarta: Penebar Swadaya.

Trizelia. 2005. Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana Bals. Vuill. (Deuteromycotina: Hyphomycetes): Keragaman Genetik, Karakteristik Fisiologis, dan Virulensinya Terhadap Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae). Online: http://repository.ipb.ac.id. Diakses pada tanggal 2 Februari 2011.

Yulia, Esti. 2010. Hama Penting Tanaman

Kubis. Online: http://blog.ub.ac.id/estiyulia/2010/05/2

6/hama-penting-tanaman-kubis/. Diakses pada tanggal 2 Februari 2011.

Gambar

Gambar 4.2  Gafik Rata-rata Jumlah Daun (Helai) pada Berbagai Umur Pengamatan
Gambar 4.3 Gafik Rata-rata Intensitas Serangan pada Berbagai Umur Pengamatan (%)   Ulat krop (Crocidolomia pavonana F.)
Gambar 4.4 Gafik Rata-rata Berat Basah Total (g) dan Berat Kering Total (g)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan membaca pemahaman siswa kelas VIII SMP Negeri 25 Padang dikategorikan sangat baik, dengan rata-rata 92.38, karena

Dalam bahasa Jepang sering sekali kita menemukan pola kalimat yang berarti sama tetapi mempunyai arti atau kandungan yang berbeda, seperti pada penggunaan Keishiki Meishi Koto

Ukuran secara kualitatif dan kuantitatif yang menunjukkan tingkatan pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan adalah merupakan sesuatu yang dapat dihitung serta

Perancangan media pembelajaran ini bertjuan untuk Memberikan strategi pembelajaran bahasa arab yang baik dan menyenangkan untuk siswa-siswi baru kelas VII di MTs

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: bahwa kepala sekolah menjalankan peranya sebagai supervisor dengan teknik kunjungan ke kelas, maka hal itu berdampak pada kinerja guru

Justeru itu, kajian ini mencadangkan sokongan daripada ADUN, Ahli Parlimen, pemimpin masyarakat dan agensi kerajaan tempatan dalam pelaksanaan program pembasmian

Dalam penelitian ini akan didapatkan beberapa kelebihan dan kemudahan dari sistem, yaitu mampu memberikan fasilitas kemudahan yang diantaranya warga masyarakat dapat

Berdasarkan tingkat kepercayaan 95%, disimpulkan bahwa secara simultan variabel DCMR, ICMR, ECRI, Acquiring Cost , dan Overhead Cost dengan NPF sebagai variabel moderasi