• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KARAKTER MORFOMETRIK - MERISTIK IKAN BETOK (Anabas testudineus Bloch) DI DAS MAHAKAM TENGAH PROPINSI KALIMANTAN TIMUR HELMY AKBAR C

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI KARAKTER MORFOMETRIK - MERISTIK IKAN BETOK (Anabas testudineus Bloch) DI DAS MAHAKAM TENGAH PROPINSI KALIMANTAN TIMUR HELMY AKBAR C"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KARAKTER MORFOMETRIK - MERISTIK IKAN BETOK

(Anabas testudineus Bloch) DI DAS MAHAKAM TENGAH

PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

HELMY AKBAR

C24103005

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

STUDI KARAKTER MORFOMETRIK - MERISTIK IKAN BETOK (Anabas testudineus Bloch) DI DAS MAHAKAM TENGAH PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

adalah benar merupakan karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

Bogor, 26 Agustus 2008

Helmy Akbar C 24103005

(3)

RINGKASAN

HELMY AKBAR. Studi Karakter Morfometrik – Meristik Ikan Betok (Anabas

testudineus Bloch) Di DAS Mahakam Tengah Propinsi Kalimantan Timur. (Dibawah bimbingan MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL dan NURLISA A. BUTET)

Salah satu spesies dari famili Anabantidae yaitu ikan betok (Anabas testudineus Bloch) merupakan ikan air tawar yang dikonsumsi masyarakat. Ikan ini memiliki toleransi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan yang tergolong ekstrim contohnya kondisi air yang bersifat asam. Ikan ini dapat ditemukan di danau-danau, Sungai-sungai dan rawa-rawa di Kalimantan yang diketahui memiliki tingkat keasaman yang tinggi, dicirikan oleh pH yang rendah. Dalam hal pengelolaan sumberdaya ikan betok diperlukan informasi mengenai karakter morfologi (morfometrik dan meristik) untuk mengidentifikasi unit populasi yang ada di dalam suatu perairan, apakah spesiesnya berbeda atau sama. Pada penelitian kali ini juga dihitung komposisi jumlah tangkapan tiga bulan pengambilan sampel untuk mengetahui pengaruh tinggi muka air pada musim hujan dan keragaman fenotip tiap karakter morfometrik ikan betok di seluruh stasiun.

Penelitian dilakukan di Laboratorium Ekobiologi Perairan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan IPB. Ikan contoh diambil untuk analisa karakter morfometrik-meristik dari Rawa banjiran (stasiun 1) sebanyak 88 ekor, Sungai Rebak Rinding (stasiun 2) sebanyak 35 ekor dan Danau Melintang (stasiun3) sebanyak 49 ekor, di DAS Mahakam Tengah Propinsi Kalimantan Timur. Penghitungan karakter morfometrik menggunakan Analisis Komponen Utama, Untuk memperoleh korelasi antar karakter serta pengelompokan individu berdasarkan karakter morfometrik. Penghitungan karakter meristik meliputi jumlah jari-jari sirip dan jumlah sisik, yaitu Jumlah jari-jari sirip dorsal, jari-jari sirip anal, jari-jari sirip ventral, jari-jari sirip pektoral, jari-jari sirip caudal, sisik pada garis rusuk (LL), sisik di atas garis rusuk (LL), sisik di bawah garis rusuk, sisik di muka sirip dorsal, sisik pada pipi, sisik sekeliling badan, sisik sekeliling batang ekor. Komposisi hasil tangkapan ikan betok menunjukkan jumlah terbanyak pada bulan desember dengan jumlah 161 ekor. Hasil tangkapan dengan jumlah paling sedikit diperoleh pada bulan januari. Dari sisi ukuran, rata-rata panjang tertinggi sebesar 14.67

juga pada bulan desember. Hasil Analisis Komponen Utama memperlihatkan bahwa informasi terbesar terdapat pada dua komponen utama pertama. Dengan ragam kumulatif sebesar 80%. Seluruh karakter morfometrik berperan pada komponen utama pertama. Karakter yang berperan pada komponen utama kedua yaitu Panjang kepala di depan mata, panjang rahang atas, panjang rahang bawah, tinggi pipi, panjang dasar jari-jari lemah sirip ventral, menunjukkan korelasi yang besar terhadap keragaman bentuk. Analisis Komponen Utama juga menunjukkan bahwa ikan betok pada ketiga stasiun baik rawa, sungai dan danau, tidak memperlihatkan pengelompokan. Hal ini menunjukkan ikan yang diamati adalah satu spesies (satu unit populasi). Pada perhitungan nilai keragaman fenotip tiap karakter ikan betok secara umum di DAS menunjukkan karakter morfometrik dengan nilai keragaman paling tinggi dan paling rendah diberikan oleh panjang total (PT) dan tinggi di bawah mata (TBM). Pada perhitungan karakter meristik diperoleh rumus jari-jari sirip yaitu DXVII.8-9; AXI.9-10; VI.5; P14–15. Hasil ini identik dengan rumus dari Bloch (1792), Kottelat,

et al., (1993) dan Talwar dan Jhingran (1991) dalam

(4)

STUDI KARAKTER MORFOMETRIK - MERISTIK IKAN BETOK

(Anabas testudineus Bloch) DI DAS MAHAKAM TENGAH

PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

HELMY AKBAR

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(5)

SKRIPSI

Judul : Studi Karakter Morfometrik - Meristik Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch) Di DAS Mahakam Tengah Propinsi Kalimantan Timur

Nama Mahasiswa : Helmy Akbar Nomor Pokok : C24103005

Program studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui, I. Komisi Pembimbing

II. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP: 131 578 799

Tanggal lulus: 26 Agustus 2008

Dr. Ir. Mohammad Mukhlis Kamal, M.Sc NIP: 132 084 932

Ir. Nurlisa A. Butet, M.Sc NIP: 131 925 898

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah SWT, Pencipta dan Penguasa Semesta Alam yang menurunkan Syariah dan hukum-hukum-Nya untuk mengatur kehidupan manusia, membedakan antara yang hak dan bathil. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah SAW., keluarga beliau, para sahabat dan pengikutnya yang istiqomah memperjuangkan ideologi, syariah islam hingga akhir zaman.

Atas izin-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada fakultas perikanan dan ilmu kelautan IPB. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

- Bapak Dr.Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc dan Ir. Nurlisa A. Butet, M.Sc yang telah membimbing penyusunan skripsi ini;

- Bapak Dr.Ir. Ridwan Affandi, DEA dan Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS. Selaku dosen penguji dan wakil program studi

- Bapak Ir. Moch. Mustakim, M.Si, Ir. Zahri Nasution, M.Si, Firdaus, S.Si dan Bapak Ruslan yang telah membantu selama berjalannya proses penelitian dan skripsi

- Bapak, Ibu, di Bima dan Bang Yudi serta adekku Imam di Malang yang terus memantau perkembangan studiku

- Friska, Ayu, dan Irene selaku tim peneliti ikan betok, Kawan-kawan dari MSP ‟40, Kost Markaz Jundullah, Humas IPB, MT Al - Marjan, GEMA Pembebasan, BKIM IPB, yang telah memberikan dukungan atas terselesaikannya skripsi ini.

(7)

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... ii DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi I. PENDAHULUAN ... 1 A. Latar belakang ... 1 B. Perumusan masalah ... 3

B. Tujuan dan manfaat ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. Klasifikasi dan tata nama ... 4

A.1. Ikan betok ... 4

A.2. Karakter morfologi ... 5

B. Ekobiologi ikan betok ... 7

B.1. Tingkah laku ... 7

B.2. Sistem pernafasan ... 7

B.3. Kebiasaan makan ... 8

B.4. Reproduksi ... 8

B.5. Distribusi ekologis dan geografis ... 9

C. Habitat dan pola ruaya ikan betok ... 9

D. Pengelolaan perikanan perairan umum ... 10

III. METODE PENELITIAN ... 12

A. Waktu dan lokasi ... 12

B. Alat dan bahan ... 13

C. Metode kerja ... 14

C.1. Pengambilan contoh ikan ... 14

C.2. Penentuan ciri morfometrik meristik ... 16

D. Analisis data ... 17

D.1. Analisis komponen utama (AKU) ... 19

D.2. Analisis perbandingan ... 21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

A. Dinamika habitat dan komposisi tangkapan ikan betok ... 22

B. Karakter morfometrik ... 24

C. Karakter meristik ... 29

D. Pengelolaan sumberdaya ikan betok ... 30

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 33

A. Kesimpulan ... 33

B. Saran ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Alat dan bahan... 13

2. Karakter morfometrik ... 17

3. Karakter meristik ... 18

4. Komposisi tangkapan ikan betok ... 23

5. Komponen utama pertama dan komponen utama kedua ... 25

6. keragaman fenotip tiap karakter di ketiga stasiun ... 26

(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Ikan betok (Anabas testudineus Bloch) ... 4

2. Lokasi penelitian ... 12

3. Tangkul (Portable Lift Net) ... 15

4. Keblat (Trap Net) ... 16

5. Gill Net ... 16

6. Grafik Analisis Komponen Utama, penyebaran individu dari data morfometrik ikan betok di DAS Mahakam Tengah. Rawa (n=88), Sungai (n=35),Danau (n=49) pada bulan November – Desember 2008 ... 28

7. Grafik Analisis Komponen Utama, korelasi antar karakter morfometrik dari data morfometrik ikan betok di DAS Mahakam Tengah Rawa (n=88),Sungai (n=35),Danau (n=49) pada bulan November - Desember 2008 ... 28

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Eigen Analisis dari matriks korelasi ... 36

2. Nilai 33 komponen yang dihitung ... 36

3. Skema karakter morfometrik pada lateral tubuh ... 42

4. Skema karakter morfometrik pada bagian kepala ... 42

5. Skema karakter meristik pada lateral tubuh ... 43

6. Skema karakter meristik sisik pada kepala ... 44

7. Skema karakter meristik sirip pada bagian dorsal ... 44

(11)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perairan tawar mempunyai keanekaragaman ikan yang cukup tinggi di paparan sunda terdapat 798 jenis ikan air tawar, paparan wallace terdapat 68 jenis ikan air tawar, dan paparan sahul terdapat 106 jenis ikan air tawar (Kottelat, et al., 1993).

Jenis ikan air tawar asli yang mendominasi perairan Sumatera dan Kalimantan adalah jenis-jenis dari Ordo-ordo Ostariophysi (Famili Cyprinidae dan Siluridae), Labyrinthici (Famili Anabantidae dan Channidae), Percomorphi (Famili Nandidae), Opistomi (Famili Mastacembelidae), dan Malacopterygii (Famili Notopteridae) (Ondara, 1993)

Salah satu Spesies dari Famili Anabantidae yaitu ikan betok (Anabas testudineus Bloch) merupakan ikan air tawar yang dikonsumsi. Ikan ini memiliki toleransi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan yang tergolong ekstrim dan dapat bertahan pada kondisi air yang bersifat asam maupun basa. Ikan ini juga dapat ditemukan pada perairan payau (www.aquaworld.com). Sungai-sungai dan rawa-rawa di Kalimantan diketahui memiliki tingkat keasaman yang tinggi, dicirikan oleh pH yang rendah.

Karakter morfologi telah lama digunakan dalam biologi perikanan untuk mengukur jarak dan hubungan kekerabatan dalam pengkategorian variasi dalam taksonomi. Hal ini juga banyak membantu dalam menyediakan informasi untuk pendugaan stok ikan. Meskipun demikian pembatas utama dari karakter morfologi dalam tingkat intra species (ras) adalah variasi fenotip yang tidak selalu tepat dibawah kontrol genetik tapi dipengaruhi oleh perubahan lingkungan. Pembentukan fenotip dari ikan memungkinkan ikan dalam merespon secara adaptif perubahan dari lingkungan melalui modifikasi fisiologi dan kebiasaan. Lingkungan mempengaruhi variasi fenotip, walau bagaimanapun karakter morfologi telah dapat memberikan manfaat dalam identifikasi stok khususnya dalam suatu populasi yang besar (Turan, 1998).

Karakter morfologi meliputi studi morfometrik dan meristik dari ikan. Morfometrik adalah ciri yang berkaitan dengan ukuran tubuh atau bagian tubuh ikan misalnya panjang total dan panjang baku. Ukuran ini merupakan salah satu hal yang dapat digunakan sebagai ciri taksonomik saat mengidentifikasi ikan. Hasil pengukuran dinyatakan dalam satuan milimeter atau centimeter, ukuran yang dihasilkan disebut ukuran mutlak. Adapun meristik adalah ciri yang

(12)

berkaitan dengan jumlah bagian tubuh dari ikan, misalnya jumlah sisik pada garis rusuk, jumlah jari-jari keras dan lemah pada sirip punggung (Affandi, et al.,1992). Data yang dihasilkan dari ciri morfometrik bersifat continuous data untuk selanjutnya diolah dan dianalisa melalui pendekatan statistik, sedangkan data yang dihasilkan dari ciri meristik bersifat discrete data (Turan,1998).

Ikan betok di wilayah Kalimantan menurut literatur dari Kottelat, et al., (1993) terdiri dari satu spesies, sedangkan untuk wilayah Sulawesi dimungkinkan ditemukan lebih dari satu spesies. Pengamatan terhadap kromosom spesimen dari India menunjukkan bahwa paling sedikit dua jenis Anabas terdapat disana, dan hal ini didukung oleh data morfologi (Dutt dan Ramaseshaiah, 1982; 1983;1988 dalam Kottelat, et al., 1993) seperti panjang total, panjang baku, tinggi badan, tinggi batang ekor, jumlah sirip dan lainnya. Pengamatan yang teliti terhadap spesimen dari Indonesia akan menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat lebih dari satu jenis (Kottelat, et al., 1993).

Penelitian kali ini dilakukan sebagai sebuah studi karakter morfometrik-meristik ikan betok pada tiga habitat yang berbeda di Daerah Aliran Sungai Mahakam Tengah Propinsi Kalimantan Timur. Ketiga habitat tersebut meliputi sungai Rebak Rinding, Danau Melintang, dan rawa banjiran sekitar Danau Melintang, yang juga menjadi tiga wilayah penangkapan oleh masyarakat lokal. Kelompok populasi ikan betok di ketiga habitat diduga adalah satu jenis. Disamping faktor genetik, tipe habitat yang berbeda diduga dapat mempengaruhi karakter morfologi (morfometrik dan meristik) sehingga karakter morfologi ikan betok di setiap stasiun perlu diteliti. Jika ditemukan kesamaan karakter morfologi pada ikan betok di ketiga wilayah perairan hal ini dapat menunjukkan adanya kesamaan karakter fenotip dan sebaliknya. Karakter fenotip dapat digunakan menentukan kekerabatan ikan.

Berdasarkan data statistik kelautan dan perikanan tahun 2005, produksi ikan betok (Anabas testudineus Bloch) di Indonesia mencapai 9.545 ton dengan rata-rata kenaikan produksi sebesar 54,57% (www.dkp.go.id). Keberadaaan ikan betok penting untuk dikembangkan sebagai alternatif bahan pangan bergizi pada periode dimana kondisi lingkungan perairan kurang mendukung terhadap pengembangan budidaya perikanan dikarenakan pencemaran maupun kondisi perairan alami yang bersifat ekstrim.

Ikan betok di lingkungan Danau Melintang (DAS Mahakam Tengah) ada kecenderungan terjadi penurunan populasi, hal ini diduga karena adanya

(13)

berbagai tekanan seperti tingginya usaha penangkapan ikan dan perubahan kondisi lingkungan (Mustakim, 2008). Untuk itu perlu upaya pengelolaan perikanan yang berdasarkan kajian terhadap stok ikan di perairan. Dalam kaitannya dengan manajemen perikanan, informasi ilmiah terkait identifikasi unit populasi diperlukan dalam pengelolaan perikanan agar tidak terjadi kesalahan introduksi spesies. Untuk selanjutnya dapat ditentukan model pengelolaan yang tepat untuk kawasan perairan tersebut.

B. Perumusan Masalah

Ikan betok di lingkungan Danau Melintang (DAS Mahakam Tengah) ada kecenderungan terjadi penurunan populasi, hal ini diduga karena adanya berbagai tekanan seperti tingginya usaha penangkapan ikan dan perubahan kondisi lingkungan. Untuk itu perlu upaya pengelolaan perikanan yang berdasarkan kajian terhadap unit populasi ikan di perairan. Upaya tersebut memerlukan informasi yang berkaitan dengan identifikasi unit populasi dalam perairan yang meliputi di Rawa banjiran, sungai maupun danau. Jika diketahui unit populasi Ikan betok di ketiga habitat berbeda maka diperlukan pola manajemen yang berbeda untuk setiap habitat. Akan tetapi jika diketahui ikan betok pada ketiga habitat adalah satu unit populasi maka diperlukan pola manajemen yang terintegrasi antara habitat rawa, sungai, dan danau. Hal ini dikarenakan apabila terjadi tangkap lebih terhadap ikan betok pada salah satu habitat akan menurunkan jumlah stok ikan betok pada habitat yang lain.

C. Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kekerabatan ikan betok (Anabas testudineus Bloch) pada tiga tipe habitat yang berbeda. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan informasi dan dasar bagi upaya pengelolaan perikanan di wilayah perairan darat (inland water) di Daerah Aliran Sungai (DAS) Mahakam Tengah, Propinsi Kalimantan Timur.

(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi dan tata nama A.1. Ikan betok

Ikan betok termasuk kedalam famili Anabantidae yang merupakan ikan asli perairan kalimantan dan sumatera. Untuk mengenal bentuk tampilan dua dimensi dari ikan betok berikut di tampilkan pada gambar di bawah ini

Gambar 1. Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch) (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Berikut adalah klasifikasi dari ikan betok menurut Bloch, 1792 dalam www.fishbase.com dan Kottelat et al (1993),

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Sub kelas : Actinopterygii Infra kelas : Teleostei Divisi : Euteleostei Super ordo : Acanthopterygii Series : Atherinoporho Order : Perciformes Family : Anabantidae

(15)

Genera : Anabas

Species : Anabas testudineus Bloch

Nama umum : Climbing perch, Climbing gouramies

Nama lokal : Betok (Jawa dan Sumatera), papuyu (Kalimantan).

Betok adalah nama sejenis ikan yang umumnya hidup liar di perairan tawar. Ikan ini juga dikenal dengan beberapa nama lain seperti bethok atau bethik (Jawa.), puyu (Malaysia.) atau pepuyuk (bahasa Banjar (Kalimantan)). Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai climbing gouramy atau climbing perch, merujuk pada kemampuannya memanjat ke daratan. Nama ilmiahnya adalah Anabas testudineus (Bloch, 1792 dalam www.fishbase.com dan Kottelat et al., 1993).

Nama sinonim dari Anabas testudineus adalah : Anabas scandens, Amphiprion scansor, Amphiprion testudineus, Anabas elongatus, Anabas macrocephalus, Anabas microcephalus, Anabas spinosus, Anabas trifoliatus, Anabas variegatus, Anthias testudineus, Cojus cobujius, Lutjanus scandens, Lutjanus testudo, Perca scandens, Sparus scandens, Sparus testudineus.

A.2. Karakter morfologi

Karakter morfologi (morfometrik dan meristik) telah lama digunakan dalam biologi perikanan untuk mengukur jarak dan hubungan kekerabatan dalam pengkategorian variasi dalam taksonomi. Hal ini juga banyak membantu dalam menyediakan informasi untuk pendugaan stok ikan. Meskipun demikian pembatas utama dari karakter morfologi dalam tingkat intra species (ras) adalah variasi fenotip yang tidak selalu tepat dibawah kontrol genetik tapi dipengaruhi oleh perubahan lingkungan. Pembentukan fenotip dari ikan memungkinkan ikan dalam merespon secara adaptif perubahan dari lingkungan melalui modifikasi fisiologi dan kebiasaan. Lingkungan mempengaruhi variasi fenotip, walau bagaimanapun karakter morfologi telah dapat memberikan manfaat dalam identifikasi stok khususnya dalam suatu populasi yang besar (Turan, 1998).

Morfometrik adalah ciri yang berkaitan dengan ukuran tubuh atau bagian tubuh ikan misalnya panjang total dan panjang baku. Ukuran ini merupakan salah satu hal yang dapat digunakan sebagai ciri taksonomik saat mengidentifikasi ikan. Hasil pengukuran biasanya dinyatakan dalam milimeter atau centimeter, ukuran ini disebut ukuran mutlak. Tiap spesies akan mempunyai ukuran mutlak yang berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan oleh umur, jenis kelamin dan

(16)

lingkungan hidupnya. Faktor lingkungan yang dimaksud misalnya makanan, suhu, pH dan salinitas merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan (Affandi, et al., 1992).

Menurut Affandi, et al., (1992) ada 26 karakter morfometrik yang biasa digunakan dalam mengidentifikasi ikan diantaranya panjang total, panjang ke pangkal cabang sirip ekor, panjang baku, panjang kepala, panjang bagian di depan sirip punggung, panjang dasar sirip punggung dan sirip dubur, panjang batang ekor, tinggi badan, tinggi batang ekor, tinggi kepala, lebar kepala, lebar badan, tinggi sirip punggung dan sirip dubur, panjang sirip dada dan sirip perut, panjang jari-jari sirip dada yang terpanjang, panjang jari-jari keras dan jari-jari lemah, panjang hidung, panjang ruang antar mata, lebar mata, panjang bagian kepala di belakang mata, tinggi di bawah mata, panjang antara mata dengan sudut preoperkulum, tinggi pipi, panjang rahang atas, panjang rahang bawah, dan lebar bukaan mulut. Dalam Priyanie (2006) dan Julita (2006) dirincikan menjadi 34 karakter morfometrik yang dihitung.

Meristik adalah ciri yang berkaitan dengan jumlah bagian tubuh ikan, misalnya jumlah sisik pada garis rusuk, jumlah jari-jari keras dan lemah pada sirip punggung (Affandi et al., 1992). Hitungan sirip ikan betok (Anabas testudineus Bloch), (Fin counts) mengikuti rumus: DXVI-XVIII. 8-10; AVIII-XI. 9-11, dan P14-15 (Talwar and Jhingran, 1991 in www.aquaworld.netfirms.com). Menurut Kottelat, et al., (1993) rumus siripnya DXV-XIX. 7-9 dan AIX-XI. 8-12. Ciri morfologi ikan betok umumnya berukuran kecil, panjang hingga sekitar 25 cm, namun kebanyakan lebih kecil. Berkepala besar dan bersisik keras kaku. Sisi atas tubuh (punggung) gelap kehitaman agak kecoklatan atau kehijauan. Sisi samping kekuningan, terutama di sebelah bawah, dengan garis-garis gelap melintang yang samar dan tak beraturan. Sebuah bintik hitam (terkadang tak jelas kelihatan) terdapat di ujung belakang tutup insang. Sisi belakang tutup insang bergerigi tajam seperti duri (www.dkp.go.id).

Ikan betok memiliki tipe warna abu-abu sampai kehijauan, dengan satu titik hitam pada bagian dasar ekor dan titik lainnya lagi hanya pada bagian belakang lempeng insang. Bagian ujung sisik dan sirip berwarna cerah. Pada bagian operkulum dan preoperkulum keduanya bergerigi. Pada bagian pertama/depan dorsal dan anal kedua-duanya panjang. Model tubuh cekung kedalam. Mulut berukuran lebih lebar dengan gigi berbentuk villiform

(17)

(www.aquaworld.netfirms.com). Memiliki elaborasi organ labirin pada bagian rongga/cekungan atas bagian pertama sampai bagian ketiga tulang tapis insang. Menurut Saanin, 1954 betok hanya memiliki satu sirip punggung atau dua sirip punggung yang bersambungan/berdekatan dengan sirip perut yang tidak bersatu. Ikan ini dapat mengambil udara di luar air (mempunyai alat labirin). Sirip punggung dan sirip dubur berjari-jari. Sirip perut jika ada dengan 6 jari-jari, sirip punggung dan sirip dubur dengan satu atau lebih dari satu jari-jari keras, sirip perut dengan 5 atau kurang dari 5 jari-jari lemah dan 1 jari-jari keras. Rongga di atas rongga insang beralat berbentuk labirin. Berbentuk gepeng, agak panjang, hidung pendek, mulut kecil, lobang insang sempit karena bagian gabungan daun insang lebar.

B. Ekobiologi ikan betok B.1. Tingkah laku

Ikan betok umumnya ditemukan di rawa-rawa, sawah, sungai kecil dan parit-parit, juga pada kolam-kolam yang mendapatkan air banjir atau berhubungan dengan saluran air terbuka. Betok jarang dipelihara orang, dan lebih sering ditangkap sebagai ikan liar. Ikan ini mampu merayap naik dan berjalan di daratan dengan menggunakan tutup insang yang dapat dimekarkan, dan berlaku sebagai semacam „kaki depan‟. Akan tetapi ikan ini tidak dapat terlalu lama bertahan di daratan, dan harus mendapatkan air dalam beberapa jam kalau tidak ikan ini akan mati (Jayaram, 1981; Talwar and Jhingran, 1991 dalam www.nis.gsmfc.org).

Ikan betok (Anabas testudineus Bloch) juga dapat berjalan untuk pindah antar habitat dengan menggunakan organ bagian ventralnya seperti sirip pektoral dan kaudal serta bagian dari tutup insang atau operkulum. Ikan ini hidup di dasar perairan yang berlumpur dan bersifat soliter (www.dkp.go.id)

B.2. Sistem pernafasan

Dalam keadaan normal, sebagaimana ikan umumnya, betok bernafas dalam air dengan insang. Akan tetapi seperti ikan gabus dan lele, betok juga memiliki kemampuan untuk mengambil oksigen langsung dari udara. Ikan ini memiliki organ labirin di kepalanya, yang memungkinkan hal itu. Alat ini sangat berguna ketika ikan mengalami kekeringan dan harus berpindah ke tempat lain yang masih berair (Affandi, 2002).

(18)

B.3. Kebiasaaan makan

Ikan betok bersifat omnivora, memangsa aneka serangga dan hewan-hewan air yang berukuran kecil disamping itu ikan ini memakan tumbuhan air seperti jenis javafern atau vallisneria serta beberapa tumbuhan air mengapung, ikan ini biasanya akan selalu memakan tumbuhan air yang lunak. Pencarian makanan dilakukan setiap saat dalam satu hari, dominan menggunakan visualisasi indra penglihatan. Pada habitat alami ikan ini ditemukan di rawa-rawa, danau, kanal (sungai kecil), lubang kecil berair, dan kubangan. Pada percobaan laboratorium yang menjadi pemicu ikan ini melakukan migrasi adalah faktor kepadatan populasi dan kekurangan makanan (Jayaram, 1981; Talwar and Jhingran, 1991 dalam www.nis.gsmfc.org).

Selain bersifat omnivora, berdasarkan literatur dari situs dinas kelautan dan perikanan RI diketahui bahwa dilihat dari kebiasaan pakannya betok merupakan jenis ikan herbivora dengan pakan utamanya adalah tanaman air dan plankton.

B.4. Reproduksi

Betok (Anabas testudineus Bloch) bersifat ovipar, dapat memijah sepanjang tahun dengan puncak pemijahannya pada musim hujan dengan puncaknya pada bulan oktober hingga desember, telur-telur mengapung bebas. Ikan dengan kisaran bobot tubuh 15 sampai 110 gram dan bobot gonad 2,42 sampai 15,96 gram mempunyai jumlah telur (fekunditas) antara 4.882 hingga 19.248 butir (www.dkp.go.id).

Ketika mencapai usia kematangan seksual ikan betok biasanya sering berkelahi. Dikhawatirkan ikan jantan ini, Menjadi berkurang untuk membuahi betina yang sudah siap bertelur. Proses pemijahan ikan betok tidak sulit ketika temperatur memadai. Betina biasanya akan menelan kembali telur yang telah dikeluarkan pada kondisi darurat. Setelah proses pemijahan selesai jantan akan meninggalkan betina disarangnya. Induk ini akan menjaga telur yang telah dibuahi. Telur akan menetas pada waktu 24 hingga 30 jam. Telur yang terlambat menetas dapat bertahan dalam waktu 2 sampai 3 hari (Sterba, 1969).

B.5 Distribusi ekologis dan geografis

Ikan ini menyebar luas, mulai dari India, Tiongkok hingga Asia Tenggara dan Kepulauan Nusantara di sebelah barat Garis Wallace. Menurut Hoedemann (1969) dalam http://aquaworld.netfirms.com, ikan ini terdapat di India, Srilangka,

(19)

asia timur-selatan termasuk wilayah Cina bagian selatan. Ikan ini dapat hidup pada perairan payau, tetapi habitat utamanya ketika dewasa yaitu perairan yang berarus kecil, persawahan, rawa atau kolam berlumpur. Ikan ini juga ditemukan di Sulawesi, Ambon dan Halmahera. Ikan ini tidak memiliki habitat yang jelas. Ikan ini dapat di introduksi oleh manusia yang berada disuatu tempat.

C. Habitat dan pola ruaya ikan betok

Daerah Aliran Sungai Mahakam Tengah sebagian terdiri dari danau Melintang yang juga meliputi daerah badan sungai Rebak Rinding dan rawa lebak sekitarnya. Daerah rawa banjiran merupakan daerah yang kompleks, terdiri atas beberapa tipe yang penting yaitu: sungai utama, rawa yang ditutupi hutan rawa, rawa yang banyak terdapat tumbuhan kumpe (rawa lebak), sungai mati (oxbow lake), dan Lebung (cekungan tanah di daerah rawa) (Utomo dan Samuel, 2005).

Biasanya vegetasi hutan rawa banyak terdapat di zona tengah dengan tipe perairan berarus sedang sampai lambat, mempunyai kemiringan 150-300C, di sekeliling sungai banyak terdapat rawa banjiran (flood lain) (Utomo dan Samuel, 2005). Daerah ini berperan sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground) dan tempat mencari pakan (feeding ground) bagi ikan. Hutan rawa banyak terdapat seranga air, periphyton, buah-buahan, dan serasah yang jatuh dalam air sebagai makanan ikan.

Bagian yang dalam dari suatu badan seperti lubuk, lebung, oxbow lake, merupakan bagian ekosistem yang penting karena merupakan tempat tinggal induk ikan saat musim kemarau. Jenis ikan pada ekosistem rawa banjiran (flood plain) terdiri atas 2 kelompok yaitu kelompok ikan hitam (black fish) dan kelompok ikan putih (white fish) contoh kelompok ikan hitam yaitu betok (Anabas testudineus). Ikan yang hidup diperairan rawa terutama dari kelompok black fish pada umumnya mempunyai alat pernapasan tambahan (labyrinth) sehingga dapat hidup di perairan yang oksigennya rendah dan asam (Utomo dan Samuel, 2005).

Ruaya merupakan aktivitas yang penting bagi ikan karena merupakan bagian dari siklus hidupnya. Ruaya mempunyai tujuan biologi reproduksi, penyesuaian diri dari lingkungan yang kurang baik dan ruaya untuk mencari makanan. Jenis ikan yang melakukan migrasi lokal antara lain ikan sepat (Trichogaster spp.), tembakang (Helostoma temminckii), betok (Anabas

(20)

testudineus), keli (Clarias spp.), dan gabus (Channa striatus) (Utomo dan Samuel, 2005).

Pada saat musim kemarau ikan cenderung tinggal di perairan yang dalam yaitu danau, lubuk, dan lebung. Saat musim penghujan ikan mengadakan ruaya lateral dari danau, sungai (lubuk), dan lebung menuju ke paparan banjiran mengikuti pola pergerakan air. Paparan banjiran berupa rawa (lebak, hutan dan rawa) yang merupakan daerah pemijahan bagi beberapa jenis ikan. Ikan sepat siam, betok, tembakang, mengadakan pemijahan di rawa lebak yang banyak vegetasi kumpe (graminae). Disamping tempat pemijahan vegetasi rawa juga berfungsi sebagai tempat mencari makan. Jenis pakan alami yang banyak ditemukan adalah perifiton (menempel pada daun, batang, dan ranting), molusca, dan serangga air yang banyak terdapat pada serasah daun (Utomo & Asyari 1999; Welcomme, 1979 dalam Utomo dan Samuel 2005).

Pada perairan rawa banjiran, fluktuasi tinggi air (volume air) dalam setahun sangat besar. Pada musim hujan, air meluap menutupi permukaan lahan yang luas sedangkan pada musim kemarau, volume air kecil, hanya sungai utama, cekungan tanah (lebung), dan sungai mati (oxbow lake) yang masih berair. Pada saat ini, terjadi penurunan pH perairan (air bersifat masam) sehingga ikan yang tinggal di perairan tersebut hanya jenis ikan tertentu yang tahan terhadap pH dan kadar oksigen terlarut yang rendah (Nizar, 2005).

Kelompok ikan hitam seperti betok, pada saat musim kemarau dapat tinggal di rawa yang airnya sedikit dan kualitas airnya kurang baik (lebung, kanal, dan cekungan tanah), karena ikan tersebut mempunyai alat pernapasan tambahan (labirin). Pada saat musim penghujan jenis-jenis ikan hitam tersebut beruaya secara lateral mengikuti gerakan air banjir.

D. Pengelolaan perikanan perairan umum

Pengelolaan perikanan perairan umum, menurut definisi FAO adalah proses terintegrasi dari kegiatan pengumpulan informasi, analisa, perencanaan, pengambilan keputusan, alokasi sumberdaya, perumusan dan penegakkan peraturan perikanan, yang dengan cara-cara itu otoritas pengelolaan perikanan perairan umum dapat mengendalikan tingkah laku saat ini dan saat nanti dari para stakeholders perikanan, untuk memastikan kesinambungan produktivitas dari sumberdaya hayati (Hartoto, 2004 dalam Nizar, 2005).

(21)

Faktor ancaman terhadap biodiversitas ikan meliputi tangkap lebih ikan, introduksi spesies baru, pencemaran, habitat yang hilang dan berubah, dan perubahan iklim (akibat pemanasan global) (Rahardjo, 2007)

Dalam Nizar (2005), Peraturan pengelolaan sumberdaya ikan di Indonesia tertuang dalam UU No. 31 tahun 2004 tentang perikanan. Undang-undang ini sudah sesuai dengan prinsip-prinsip CCRF (Code of Conduct of Responsible Fisheries). Untuk pengaturan pengelolaan perikanan, diatur dalam Bab IV pasal 6-24. Beberapa komponennya antara lain meliputi: Rencana pengelolaan perikanan, Jumlah tangkapan yang diperbolehkan, jenis, jumlah, dan ukuran alat tangkap, daerah, jalur dan waktu (musim) penangkapan ikan, pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya, upaya rehabilitasi, ukuran atau berat minimum ikan yang boleh ditangkap, jenis ikan yang dilindungi, suaka perikanan.

Salah satu upaya pengelolaan sumberdaya perikanan perairan umum adalah perluasan daerah perlindungan ikan yang disebut reservaat atau suaka perikanan. Suaka perikanan sebaiknya mempunyai empat bagian , yaitu daerah inti (zona suaka), daerah penyangga, daerah usaha, dan daerah bebas. Daerah suaka hanya dapat dilakukan penangkapan untuk keperluan yang sifatnya khusus sedangkan daerah bebas dapat dilakukan penangkapan oleh nelayan. Suaka perikanan di perairan umum bentuknya dapat berbeda-beda. Untuk perairan sungai dan rawa biasanya berbentuk sungai mati, anak sungai ataupun sebagian sungai yang ditutup, lebung, dan danau rawa. Beberapa kriteria suaka perikanan yang baik adalah: kedalaman perairan cukup, luas cukup, kualitas airnya banyak, banyak tersedia pakan alami, ada jalur migrasi ikan, disekitarnya masih terdapat vegetasi hutan rawa, dan fluktuasi airnya cukup (Lolitkanwar, 1999 dalam Nizar 2005)

(22)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan lokasi

Pengambilan sampel ikan dilaksanakan selama 3 bulan yaitu dari bulan November 2007 hingga Januari 2008 dilanjutkan dengan analisis sampel selama 2 bulan (Februari hingga Maret 2008). Pengambilan sampel ikan dilakukan pada 3 stasiun yaitu perairan rawa banjiran di dekat Danau Melintang (stasiun 1), Sungai Rebak Rinding (stasiun 2) dan Danau Melintang (stasiun 3) di wilayah DAS Mahakam Tengah, Kalimantan Timur. Pada Gambar 2 berikut ditampilkan lokasi penelitian.

Gambar 2. Lokasi penelitian

Pengambilan ikan contoh dilakukan dengan cara mengumpulkan ikan dari hasil tangkapan nelayan setempat pada ketiga titik stasiun. Analisis sampel ikan dilakukan di laboratorium Ekobiologi Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Berdasarkan pengamatan oleh Mustakim (2008), Kondisi lingkungan di Danau Melintang sangat dipengaruhi oleh perubahan musim “dinamika hidrologi”,

Sungai Mahakam Sungai Rebak Rinding

(23)

ketika musim kemarau panjang, air hanya dijumpai di badan sungai, rawa lebak, dan danau, saat itu kualitas dan kuantitas perairan di lingkungan Danau Melintang sangat ekstrim.

Pada musim penghujan air meluap menggenangi daerah paparan danau, genangan, rawa (rapak), dan alur-alur sungai, saat itu terjadi perubahan kuantitas dan kualitas air serta ketersediaan makanan dari ekstrim menjadi lebih baik bagi ikan-ikan di setiap habitat di lingkungan Danau Melintang termasuk ikan betok.

Lingkungan Danau Melintang dan sekitarnya (meliputi sungai Rebak Rinding dan rawa banjiran sekitar) merupakan salah satu tipe ekologi lahan basah (wet land) yang berada di Daerah Mahakam Tengah (DMT). Daerah ini dicirikan oleh fluktuasi air antara musim kemarau dan penghujan yang sangat bervariasi sepanjang tahun. Habitat di sekitar Danau Melintang terdiri dari daerah lotik, yaitu alur sungai (rivers channel) baik yang besar maupun yang kecil; daerah lentik yaitu daerah rawa, dan danau atau genangan yang semi permanen maupun permanen. Lingkungan Danau Melintang bertipe paparan banjir.

B. Alat dan bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian kali ini meliputi, Timbangan Digital, Tissue, Penggaris,Pinset, Gunting Bedah, Kertas Label, Alat Tulis, Plastik, dan Ikan betok (Anabas testudineus Bloch) sebagai sampel penelitian. Pada Tabel 1 berikut ditampilkan kegunaan alat dan bahan.

Tabel 1. Alat dan Bahan

No Alat dan Bahan Kegunaan

1. Timbangan digital Mengukur bobot ikan

2. Tissue Membersihkan sampel ikan

3. Penggaris dengan ketelitian 0,05 cm Mengukur panjang tubuh sampel ikan

4. Pinset dan gunting bedah Sebagai alat bantu dalam

menghitung karakter morfometrik-meristik serta menggunting insang

5. Kertas label dan alat tulis Menandai dan menomori ikan

6. Plastik Sebagai alas sampel ikan

(24)

C. Metode Kerja

C.1. Pengambilan contoh ikan

Penangkapan ikan menggunakan keblat dan gill net pada daerah Rawa (stasiun 1), daerah Sungai Rebak Rinding (stasiun 2) menggunakan tangkul, sedangkan daerah Danau Melintang (stasiun 3) digunakan alat tangkap gill net. Berikut dijelaskan deskripsi masing-masing alat tangkap:

1) Jaring Insang (Gill Net)

Jaring insang (gill net) adalah alat penangkapan ikan berbentuk lembaran jaring empat persegi panjang, yang mempunyai ukuran mata jaring merata. Lembaran jaring dilengkapi dengan sejumlah pelampung pada tali ris atas dan sejumlah pemberat pada tali ris bawah. Ada beberapa gill net yang mempunyai penguat bawah (srampat/selvedge) terbuat dari saran sebagai pengganti pemberat.

Pengoperasiannya dipasang tegak lurus di dalam perairan dan menghadang arah gerakan ikan. Ikan tertangkap dengan cara terjerat insangnya pada mata jaring atau dengan cara terpuntal pada tubuh jaring. Satuan jaring insang menggunakan satuan pis jaring (piece). Satu unit gill net terdiri dari beberapa pis jaring (Sistem Informasi Statistik Perikanan Tangkap (SISKA) Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2007 dalam www.dkp.go.id)

2) Tangkul (Portable Lift Net)

Alat ini biasa digunakan pada perairan Sungai/Danau dan Lebak (Rawa Banjiran). Bahan yang digunakan tangsi tapi ada juga Nylon dengan Mesh Size ½ “, 1”, 1½”, pinggiran dengan ris tali Nylon no. 500 dan bambu sebagai galah tempat mengaitnya Tangkul, sehingga Tangkul dapat dinaikkan atau diturunkan pada perairan (Husnah, et al., 2006).

Tangkul biasanya dioperasikan oleh perempuan. Tangkul hanya dioperasikan pada bagian pinggir perairan yang relatif tenang arusnya. Tangkul ditenggelamkan biasanya ±150 cm dari permukaan air, ditunggu beberapa saat sampai terlihat sudah ada ikan yang mengumpul pada areal tangkul, kemudian dengan galah bambu tangkul diangkat.

3) Keblat (Trap Net)

Alat menggunakan bahan kayu/bambu (tonggak) sebagai penguat dan waring net atau hampang sebagai arat (untuk memanen ikan) serta tumbuhan air dan ranting kayu sebagai rumpon. Ukurannya bervariasi, panjang antara 5 – 40

(25)

meter dan lebar antara 3 – 5 meter pemasangan memanjang sepanjang Sungai/Lebak (Rawa Banjiran) (Husnah, et al., 2006).

Keblat biasanya digunakan di sungai dan lebak. Kayu atau bambu (tonggak dan pembatas) terlebih dahulu dipasang sedangkan rumpon diapungkan pada areal penangkapan. Keblat dibiarkan selama minimal sebulan. Saat penangkapan waring atau ampang dibentang sehingga menutupi areal penangkapan. Waring digeser sedikit demi sedikit (diarat) ke arah pinggir untuk mempersempit areal agar dapat membersihkan rumpun, baru setelah itu penangkapan dilakukan. Pada Gambar 3, 4, dan 5 Berikut ditampilkan ketiga jenis alat tangkap yang digunakan.

Gambar 3. Tangkul (Portable Lift Net) (Sumber: www.multiply.com)

(26)

Gambar 4. Keblat (Trap Net) (Sumber: Husnah, et al., 2006)

Gambar 5. Gill Net (Sumber: www.ebay.com)

Sampel ikan yang ditangkap lalu diawetkan menggunakan formalin 10% dan dimasukkan ke dalam toples atau plastik pembungkus. Kemudian sampel ikan dianalisa di Laboratorium Ekobiologi Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

C.2. Penentuan ciri morfometrik - meristik

Karakter morfometrik yang diukur dan karakter meristik yang dihitung (Priyanie, 2006 dan Julita, 2006) masing-masing disajikan pada Tabel 2 dan 3. Tabel 2. Karakter morfometrik

(27)

No. Karakter morfometrik Penjelasan

1. Panjang total Jarak antara ujung bagian kepala terdepan dengan ujung sirip caudal yang paling belakang

2. Panjang baku Jarak antara ujung bagian kepala yang paling depan

dengan pelipatan pangkal sirip caudal

3. Panjang kepala Jarak antara ujung terdepan dari hidung hingga ujung terbelakang dari keping tutup insang

4. Panjang di depan sirip dorsal

Jarak antara ujung hidung (antara bibir) hingga ke pangkal jari-jari pertama sirip dorsal

5. Panjang batang ekor Jarak miring antara ujung dasar sirip dengan pangkal jari-jari tengah sirip caudal

6. Panjang hidung Jarak antara pinggiran terdepan hidung dengan sisi terdepan rongga mata

7. Panjang ruang antar mata

Jarak antara pinggiran dari kedua rongga mata

8. Panjang kepala di

belakang mata

Jarak antara pinggiran belakang dari ronga mata sampai pinggir belakang selaput keping tutup insang 9. Panjang kepala di depan

mata

Jarak antara pinggiran depan dari rongga mata sampai bagian terdepan dari kepala

10. Panjang antara mata dengan preoperculum

Jarak antara sisi rongga mata dengan sudut preoperculum

11. Panjang rahang atas Diukur dari ujung terdepan sampai ujung terbelakang tulang rahang atas

12. Panjang rahang bawah Diukur dari ujung terdepan sampai pinggiran terbelakang pelipatan rahang

13. Panjang dasar sirip dorsal

Jarak antara pangkal jari-jari pertama dengan tempat selaput sirip di belakang jari-jari terkhir

14. Panjang dasar jari-jari keras sirip dorsal

Jarak antara pangkal jari-jari keras pertama sampai jari-jari keras terakhir sirip dorsal yang diukur melalui dasar sirip

15. Panjang dasar jari-jari lemah sirip dorsal

Jarak antara pangkal jari-jari lemah pertama sampai jari-jari lemah terakhir sirip dorsal yang diukur melalui dasar sirip

16. Panjang dasar sirip anal Jarak antara pangkal jari-jari pertama dengan tempat selaput sirip di belakang jari-jari terkhir

17. Panjang jari-jari keras sirip anal

Jarak antara pangkal jari-jari keras pertama sampai jari-jari keras terakhir sirip anal yang diukur melalui dasar sirip

18. Panjang jari-jari lemah sirip anal

Jarak antara pangkal jari-jari lemah pertama sampai jari-jari lemah terakhir sirip anal yang diukur melalui dasar sirip

19. Panjang sirip pektoral Jarak antara pangkal sirip hingga ujung terpanjang dari sirip pektoral

20. Panjang sirip ventral Jarak antara pangkal sirip hingga ujung terpanjang dari sirip ventral

21. Tinggi di bawah mata Jarak kecil antara pinggiran bawah rongga mata dengan rahang atas

22. Tinggi badan Diukur pada bagian ventral tertinggi antara bagian dorsal dengan bagian ventral

23. Tinggi batang ekor Diukur pada bagian batang ekor pada tempat yang terendah

(28)

Tabel 2. Lanjutan

24. Tinggi kepala Panjang garis tegak antara pertengahan pangkal kepala dengan pertengahan kepala sebelah bawah

25. Tinggi pipi Jarak tegak antara rongga mata dan pinggiran

bagian depan pre operculum

26. Tinggi sirip dorsal Jarak tegak yang tertinggi antara pangkal sampai ujung sirip dorsal

27. Tinggi sirip anal Jarak tegak yang tertinggi antara pangkal sampai ujung sirip anal

28. Lebar badan Jarak lurus terbesar antara kedua sisi badan

29. Lebar kepala Jarak lurus terbesar antara kedua keping tutup insang pada kedua sisi kepala

30. Lebar mata Panjang garis tengah rongga mata (diameter)

31. Lebar bukaan mulut Jarak antara kedua sudut mulut jika mulut dibuka selebar-lebarnya

32. Panjang dasar jari-jari keras sirip ventral

Jarak antara pangkal jari-jari keras pertama sampai jari-jari keras terakhir sirip ventral yang diukur melalui dasar sirip

33. Panjang dasar jari-jari lemah sirip ventral

Jarak antara pangkal jari-jari lemah pertama sampai jari-jari lemah terakhir sirip ventral yang diukur melalui dasar sirip

Tabel 3. Karakter meristik

No. Karakter meristik Penjelasan 1. Jumlah jari-jari sirip

dorsal

Jumlah jari-jari keras dan lemah sirip dorsal 2. Jumlah jari-jari sirip

anal

Jumlah jari-jari keras dan lemah sirip anal 3. Jumlah jari-jari sirip

ventral

Jumlah jari-jari keras dan lemah sirip ventral 4. Jumlah jari-jari sirip

pektoral

Jumlah jari-jari sirip pektoral 5. Jumlah jari-jari sirip

caudal

Jumlah jari-jari sirip caudal 6. Jumlah sisik pada garis

rusuk (LL)

Sisik di belakang tutup insang sampai pada permulaan pangkal ekor

7. Jumlah sisik di atas garis rusuk (LL)

Sisik pada permulaan sirip punggung miring ke bawah sampai ke garis rusuk

8. Jumlah sisik di bawah garis rusuk

Sisik pada pada permulaan sirip dubur miring ke atas ke depan sampai ke garis rusuk

9. Jumlah sisik di muka sirip dorsal

Semua sisik yang dilalui oleh garis yang ditarik dari permulaan sirip dorsal sampai ke belakang kepala 10. Jumlah sisik pada pipi Jumlah baris sisik yang dilalui oleh garis yang ditarik

dari mata sampai ke sudut preoperculum 11. Jumlah sisik sekeliling

badan

Jumlah semua sisik yang dilalui oleh garis sekelilng badan, tepat didepan sirip dorsal

12. Jumlah sisik sekeliling batang ekor

Jumlah sisik yang dilalui oleh garis sekeliling batang ekor

(29)

D. Analisis data

D.1. Analisis komponen utama

Metode untuk menghitung perbedaan karakter morfometrik dari tiga populasi menggunakan analisis data yang dinamakan Analisis Komponen Utama (AKU). Ciri morfometrik yang diukur dari 3 buah populasi terdiri dari 33 karakter, dengan menggunakan AKU. Dimensi pengukurannya direduksi dengan mencari nilai komponen utama minimal 2 komponen. Teknik analisis multivarian ini digunakan untuk menganalisis data morfometrik yang telah ditransformasi. Pada prinsipnya Analisis Komponen Utama menggunakan pengukuran jarak Euclidean (jumlah kuadrat perbedaan antara individu untuk variabel yang berkoresponden pada data) (Lebart, et al., 1988 dalam Rachmawati 1995). Jarak Euclidean diperoleh berdasarkan rumus :

Keterangan : i,i‟ = 2 baris

j = indeks kolom (bervariasi dari 1 sampai P)

Tahapan dasar dalam AKU adalah mentransformasikan P karakter asal menjadi P karakter baru (komponen utama) yang berdimensi lebih kecil daripada dimensi karakter asal (Karson, 1982; Kerlinger, 1990 dalam Rachmawati 1995). Selanjutnya mencari indeks yang disebut komponen utama ke-1 atau sumbu utama ke-1 yang menunjukkan ragam individu maksimum. Kemudian dicari komponen utama atau sumbu ke-2 dengan syarat berkorelasi nihil dengan yang pertama dan memiliki ragam individu terbesar setelah komponen utama ke-1. proses ini berlanjut hingga memperoleh komponen utama ke-j.

Dalam notasi matriks model komponen utama dituliskan sebagai berikut :

dimana X adalah vektor karakter asal dan A adalah matriks transformasi terhada karakter asal, sehingga diperoleh komponen utama Y.

Matriks data berukuran P x N yang diperoleh dari pengukuran terhadap P karakter (X1, X2, ..., Xp) dari contoh berukuran N individu adalah sebagai berikut:

p

d2 (i, i’) =

(Xij-Xi’j)

j=i Y = A X

X11 X12 … X1p X21 X22 … X2p X = . . . . . . Xn1 Xn2 … Xnp

(30)

Matriks S yang merupakan penduga tak bias bagi ragam data tersebut adalah :

Dimana E adalah matriks berukuran N x N.

Matriks ragam peragam S mempunyai akar ciri – akar ciri 1

2

≥...≥

p dan mempunyai vektor ciri – vektor ciri a1, a2, ..., ap yang berbeda sesuai dengan

akar cirinya.

Komponen utama pertama merupakan kombinasi linier terbobot karakter asal yang menerangkan keragaman data terbesar :

Y1 = a11X1 + a21X2 + ...+ ap1Xp = a1’X

Vektor pembobot a1‟ adalah akar ciri orogonal yang dipilih, sehingga keragaman

komponen utama pertama menjadi maksimum.

Komponen utama kedua adalah kombinasi linear terbobot karakter asal yang berkorelasi nihil dengan komponen utama pertama dan memaksimumkan sisa keragaman data setelah diterangkan oleh komponen utama pertama, yaitu :

Y2 = a12X1 + a22X2 + ... + ap2Xp = a2’X

Vektor pembobot a2‟ adalah vektor ciri ortogonal yang dipilih, sehingga

keragaman komponen utama kedua maksimum dan bebas terhadap a1‟ dari

komponen utama pertama.

Demikian selanjutnya hingga komponen utama ke-j yang dapat ditulis sebagai berikut :

Yj = a1jX1 + a2jX2 + ... + apjXp

Vektor pembobot aj‟ dipilih sehingga : S2Yj = aj’Saj

Bernilai maksimum dengan syarat : aj’aj = 1 untuk j = 1, 2, ..., P

ai’aj = 0 untuk i ≠ j

sehingga Yi dan Yj berkorelasi nihil.

Sebelumnya untuk menghilangkan pengaruh satuan pengukuran, karakter-karakter morfometrik tersebut ditransformasi kedalam bentuk karakter baku Z. Selanjutnya komponen utama dapat diturunkan dari matriks korelasi R. Untuk melihat hasil analisis dapat menggunakan program Excel stat dan Minitab (Doherty dan McCarthy, 2004). Adapun Langkah penggunaan software ini kita memasukkan data 34 karakter morfometrik ikan pada kolom C pada worksheet

(31)

program minitab. Selanjutnya masukkan semua data ukuran morfometrik ikan yang diperoleh dari semua stasiun, masuk pada tool stat pilih (klik) multivariate, setelah itu pilih Principal Component. Blok semua data yang ada kemudian pilih select. Pada bagian graph, klik semua komponen grafik yang ingin di tampilkan. Lalu pilih kolom C tertentu untuk menyimpan hasil data eigenvalue dan PC apakah 2, 3 atau lebih, lalu klik OK.

Apabila ditemukan koefisien komponen memiliki tanda yang sama (positif semua atau negatif semua) hal ini mengindikasikan adanya variasi ukuran dan apabila ditemukan komponen memiliki kedua-duanya tanda positif dan negatif ini menunjukkan adanya indikasi variasi bentuk dari ikan (Doherty dan McCarthy, 2004).

D.2. Analisa karakter meristik

Untuk menganalisis karakter meristik digunakan analisa perbandingan dengan membandingkan karakter meristik yang sudah ada dalam literatur atau penelitian sebelumnya dengan karakter meristik yang dihitung. Teknik perbandingan yang digunakan adalah membandingkan jumlah dan kisaran jumlah karakter meristik ketiga unit populasi yang dihitung dengan kisaran meristik dari literatur. Dari hasil perbandingan akan terlihat jarak kisaran ukuran karakter meristik yang dihitung dengan literatur. Literatur yang digunakan adalah dari Talwar dan Jhingran (1991) dalam www.aquaworld.netfirms.com, Bloch (1792) dan Kottelat, et al., (1993).

(32)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Dinamika habitat dan komposisi tangkapan ikan betok

Hasil tangkapan ikan betok menunjukkan jumlah terbanyak pada bulan desember dengan jumlah 161 ekor dengan proporsi terbesar diberikan oleh stasiun 1 (rawa) sebanyak 78 ekor dan terkecil stasiun 2 (sungai). Dari sisi ukuran, rata-rata panjang tertinggi untuk ikan betok mencapai 14.67 cm juga diperoleh pada bulan desember dari stasiun 2 (sungai) (tabel 4). Diduga hal ini terjadi karena tinggi muka air yang maksimal pada musim penghujan terjadi pada bulan desember, hal ini juga didukung data tinggi muka air dari penelitian Mustakim (2008). Saat musim penghujan ikan mengadakan ruaya secara lateral dari danau, sungai (lubuk), dan lebung menuju ke paparan banjiran mengikuti pola pergerakan air (Utomo & Asyari 1999; Welcomme, 1979 dalam Utomo dan Samuel, 2005). Berdasarkan penelitian dari Mustakim (2008) pada bulan desember ikan betok banyak yang matang gonad. Hal ini dikarenakan paparan banjiran berupa rawa (lebak, hutan dan rawa) merupakan daerah pemijahan bagi beberapa jenis ikan. Ikan sepat siam, betok, tembakang, mengadakan pemijahan di rawa lebak yang banyak vegetasi kumpe (graminae). Vegetasi rawa berfungsi sebagai tempat mencari makan. Pakan alami yang tersedia adalah perifiton (yang menempel pada daun, batang, dan ranting), molusca, dan serangga air yang banyak terdapat pada serasah daun.

Menurut Hoedemann, 1969 dalam http://aquaworld.netfirms.com, habitat utama ikan betok ketika dewasa yaitu perairan yang berarus kecil, persawahan, dan rawa (kolam berlumpur-muddy pools). Sampel ikan yang tertangkap di perairan rawa memiliki jumlah yang lebih banyak dan ukuran yang cenderung lebih besar dan variatif dibanding dua stasiun lainnya ketika bulan November (tinggi muka air belum maksimal), akan tetapi ketika bulan desember (tinggi muka air maksimal) jumlah ikan yang tertangkap di ketiga stasiun hampir sebanding jumlah dan ukurannya. Dari komposisi hasil tangkapan selama penelitian diketahui perairan rawa merupakan habitat utama ikan betok.

Ikan betok tergolong omnivora yang cenderung karnivor (sehingga keberadaan serangga air mendukung proses makan sehingga ikan beruaya. Hal ini sesuai dengan pengamatan Jayaram (1981), Talwar dan Jhingran (1991) dalam www.nis.gsmfc.org dan Mustakim (2008) terhadap kebiasaan makan ikan

(33)

betok. Pada tabel 4 berikut ditampilkan komposisi tangkapan ikan betok pada bulan november sampai januari.

Tabel 4. Komposisi tangkapan ikan betok

Waktu Stasiun Rata-rata panjang ± Standar deviasi panjang (cm) Jumlah Ikan (ekor) November Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 11.1253 ± 1.6598 13.4154 ± 2.5588 11.8512 ± 1.8968 75 26 40 Desember Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 12.6859 ± 1.8320 14.6758 ± 1.9557 13.3228 ± 1.7764 78 31 50 Januari Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 12.2183 ± 1.1023 12.7500 ± 1.5926 11.7190 ± 1.3789 60 20 42

Pada perairan rawa banjiran, di DAS Mahakam Tengah termasuk Danau Melintang dan Sungai Rebak Rinding, tinggi air (volume air) meningkat pada bulan desember dan diketahui berfluktuatif pada bulan-bulan selanjutnya. Menurut Nizar (2005) pada perairan rawa banjiran, fluktuasi tinggi air (volume air) dalam setahun sangat besar. Pada musim hujan, air meluap menutupi permukaan lahan yang luas sedangkan pada musim kemarau, volume air kecil, hanya sungai utama, cekungan tanah (lebung), dan sungai mati (oxbow lake) yang masih berair. Pada saat ini, terjadi penurunan pH perairan (air bersifat masam) sehingga ikan yang tinggal di perairan tersebut hanya jenis ikan tertentu yang tahan terhadap pH dan kadar oksigen terlarut yang rendah.

Menurut LIPI (2004) dalam Mustakim (2008) Lingkungan Danau Melintang merupakan salah satu tipe ekologi lahan basah (wet land) yang berada di Daerah Mahakam Tengah (DMT). Daerah tersebut mempunyai ekosistem yang sangat beragam, baik secara spasial maupun temporal. Sebagai bagian dari ekosistem sungai, daerah ini dicirikan oleh fluktuasi air antara musim kemarau dan penghujan yang sangat bervariasi sepanjang tahun. Habitat yang ada di sekitar Danau Melintang terdiri dari daerah lotik, yaitu alur sungai (rivers channel) baik yang besar maupun yang kecil; daerah lentik yaitu daerah rawa, dan danau atau genangan yang semi permanen maupun permanen. Lingkungan Danau Melintang bertipe paparan banjir. Pada saat musim penghujan luas paparan banjir tersebut mencapai 165.800 ha dengan kedalaman maksimum

(34)

sekitar 6,5 m serta fluktuasi permukaan tahunan mencapai 4,5 m (UNMUL, 2006 dalam Mustakim, 2008).

B. Karakter morfometrik ikan betok

Berdasarkan hasil Analisis Komponen Utama. Melalui transformasi terhadap 33 karakter asal diperoleh 33 komponen utama. Dari 33 komponen diambil dua komponen utama yang dapat mewakili informasi kekerabatan ikan betok di ketiga stasiun hal ini dilihat dari ragam kumulatif yang besar pada kedua komponen utama. Dari dua Komponen Utama yang digunakan diperoleh ragam kumulatif karakter morfometrik ikan betok di perairan Mahakam Tengah sebesar 80% diberikan oleh komponen utama ke-1: 73,8% dan komponen utama ke-2: 6,2% (tabel 5). Hasil ini merupakan ekstraksi dari 33 komponen karakter morfometrik yang diukur.

Ikan betok yang diteliti pada penelitian kali ini terdiri dari 88 ekor dari rawa (Stasiun 1), 35 ekor dari sungai (Stasiun 2), dan danau (Stasiun 3) 49 ekor yang diambil pada bulan november dan desember.

Menurut Doherty and McCarthy 2004, apabila ditemukan komponen koefisiennya memiliki tanda yang sama (positif semua atau negatif semua) hal ini mengindikasikan adanya variasi ukuran dan apabila ditemukan komponen memiliki kedua-duanya tanda positif dan negatif ini menunjukkan adanya indikasi variasi bentuk dari ikan.

Merujuk pada teori ini, pada komponen utama pertama diperoleh koefisien yang bertanda negatif secara keseluruhan hal ini menunjukkan adanya variasi ukuran dari ikan yang diukur pada ketiga stasiun. Hal ini dibuktikan oleh variasi ukuran ikan yang diukur, untuk stasiun 1 (rawa) pada bulan November (maksimal 14,5 cm, minimal 9,2 cm) dan Desember (maksimal 17.4 cm, minimal 8.6 cm), untuk stasiun 2 (sungai) bulan November (maksimal 15,4 cm, minimal 10,7 cm ) dan Desember (maksimal 14.5 cm, minimal 10,5 cm), untuk stasiun 3 (danau) bulan November (maksimal 14.3 cm, minimal 9.6 cm) dan bulan Desember (maksimal 15.4 cm, minimal 10.6 cm).

Pada komponen utama pertama juga diperoleh hasil bahwa ikan betok yang terdapat pada perairan sungai, danau, dan rawa ini tidak memiliki variasi bentuk melihat dari semua koefisiennya bertanda negatif. Hasil penelitian oleh Doherty dan McCarthy tahun 2004, menunjukkan metode yang sama dan hasil sesuai untuk jenis ikan yang berbeda. Persentase ragam pada komponen utama

(35)

pertama hanya menunjukkan adanya variasi ukuran bukan perbedaan bentuk dari ikan betok

Tabel 5. Komponen utama pertama dan komponen utama kedua

Karakter Morfometrik PC1 PC2 PT -0.200 -0.069 PB -0.200 -0.064 PK -0.197 -0.102 PDPNSD -0.198 -0.024 PBE -0.188 -0.079 PH -0.147 -0.109 PRAM -0.153 0.165 PKBM -0.182 -0.085 PKDM -0.147 0.303)* PAMP -0.186 -0.066 PRA -0.168 0.289)* PRB -0.167 0.289)* PDSD -0.199 -0.059 PDJKSD -0.195 -0.046 PDJLSD -0.156 -0.091 PDSA -0.193 -0.049 PJKSA -0.180 0.046 PJLSA -0.148 -0.196 PSP -0.190 -0.075 PSV -0.193 -0.077 TBM -0.150 0.121 TB -0.185 -0.047 TBE -0.194 -0.027 TK -0.172 0.231 TP -0.073 0.587)* TSD -0.188 -0.124 TSA -0.172 0.060 LB -0.190 0.055 LK -0.196 -0.024 LM -0.148 0.212 LBM -0.172 -0.113 PDJKSV -0.076 -0.069 PDJLSV -0.159 -0.307)* Eigenvalue 24.345 2.058 Cumulative 0.738 0.800 Proportion 0.738 0.062

Ket: )* = yang memberikan pengaruh keragaman morfometrik.

Pada komponen utama kedua diperoleh ragam kumulatif sebesar 6,2% disini terlihat ada sebagian kecil variabel dari komponen utamanya yang bertanda positif dengan dominasi variabel bertanda negatif. Hal ini menunjukkan adanya

(36)

kemungkinan ikan di ketiga jenis perairan juga memiliki keragaman bentuk, akan tetapi karena jumlah persentase kecil, sehingga tidak memberikan pengaruh yang signifikan untuk membuktikan bahwa ikan yang diteliti memiliki perbedaan bentuk. Panjang kepala di depan mata, panjang rahang atas, panjang rahang bawah, tinggi pipi, panjang dasar jari-jari lemah sirip ventral menunjukkan korelasi yang besar terhadap keragaman bentuk (Tabel 5 dan Gambar 7). Diduga hal ini terjadi karena faktor ketelitian alat ukur berupa penggaris, nilai pengukuran akan lebih teliti jika menggunakan Jangka Sorong.

Tabel 6. keragaman fenotip tiap karakter di ketiga stasiun

Karakter Morfometrik Rata - Rata

Simpangan

Baku Keragaman Fenotip

PT 12.1326 1.5768 2.4864 )# PB 9.5041 1.2701 1.6131 PK 3.1680 0.3726 0.1389 PDepanSD 3.5823 0.4527 0.2050 PBE 1.2026 0.1883 0.0340 PH 0.3669 0.0640 0.0041 PRAM 0.7401 0.0571 0.0033 PKBM 2.0953 0.3213 0.1032 PKDM 0.5028 0.0655 0.0043 PAMP 1.3113 0.1859 0.0346 PRA 0.7863 0.1003 0.0101 PRB 0.6875 0.1010 0.0102 PDSD 5.6177 0.8143 0.6631 PDJKSD 4.4948 0.6888 0.4690 PDJLSD 1.1230 0.1801 0.0324 PDSA 3.7971 0.5115 0.2616 PJKSA 2.4637 0.3730 0.1391 PJLSA 1.3334 0.2161 0.0467 PSP 2.4026 0.2775 0.0770 PSV 1.8596 0.2390 0.0571 TBM 0.2823 0.0480 0.0023 )* TB 3.1157 0.4816 0.2319 TBE 1.4055 0.1966 0.0386 TK 2.1730 0.2555 0.0653 TP 0.5424 0.0875 0.0077 TSD 1.1927 0.1899 0.0361 TSA 0.8872 0.1623 0.0264 LB 1.6076 0.2349 0.0552 LK 1.9108 0.2400 0.0576 LM 0.6462 0.0595 0.0035 LBM 0.7529 0.1052 0.0111 PDJKSV 0.1465 0.1486 0.0221 PDJLSV 0.7535 0.1273 0.0162

Ket =)#  menunjukkan keragaman fenotipe yang tinggi )*  menunjukkan keragaman fenotipe yang rendah

(37)

Disamping itu pada gambar 6, tidak terlihat adanya pengelompokan pada ikan betok di stasiun 1, 2, dan 3. semua titik menyebar secara acak pada sumbu koordinat hal ini menunjukkan ikan pada ketiga stasiun identik (sama)/seragam dan tidak menunjukkan adanya perbedaan bentuk.

Karakter morfologi ikan dapat digunakan untuk identifikasi jenis ikan akan tetapi pembatas utama dari karakter morfologi dalam tingkat intra species adalah variasi fenotip yang tidak selalu tepat dibawah kontrol genetik tapi dipengaruhi oleh perubahan lingkungan. Lingkungan mempengaruhi variasi fenotip ikan (Turan, 1998). Pada tabel Keragaman fenotip tiap karakter menunjukkan nilai tertinggi pada variabel panjang total (PT) dengan nilai 2,4864 dan tinggi dibawah mata (TBM) dengan keragaman terendah (0,0023). Dari nilai keragaman fenotip yang diperoleh diketahui bahwa perbedaan habitat tidak mempengaruhi karakter morfologi ikan betok secara umum, hal ini ditunjukkan nilai keragaman fenotip yang tergolong rendah.

Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa perbedaan habitat tidak mempengaruhi karakter fenotip ikan betok. Diduga karena lokasi stasiun yang berdekatan sehingga ketika musim hujan yang juga merupakan musim puncak pemijahan, dimana tinggi muka air di ketiga stasiun meningkat maksimal sehingga terjadi percampuran (mix) antara ikan yang ada di sungai, danau, dan rawa. Pada perairan rawa banjiran pengaruh fluktuasi air mempengaruhi habitat betok. Pergerakan ikan mengikuti paparan banjiran menyebabkan percampuran ikan di ketiga habitat (rawa, sungai, dan danau). Kesamaan karakter morfometrik menunjukkan ikan betok di DAS mahakam tengah adalah unit populasi yang sama. Bentang alam yang memisahkan ikan di tiga stasiun bersifat musiman sehingga tidak memberikan pengaruh nyata terhadap bentuk morfologi ikan betok.

Pada rawa banjiran fluktuasi tinggi air (volume air) dalam setahun sangat besar. Pada musim hujan, air meluap menutupi permukaan lahan yang luas sedangkan pada musim kemarau, volume air kecil, hanya sungai utama, cekungan tanah (lebung), dan sungai mati (oxbow lake) yang masih berair (Nizar, 2005).

Pada Gambar 6 dan 7 dibawah ini ditampilkan hasil analisis penyebaran individu dan korelasi karakter morfometrik di ketiga stasiun.

(38)

komponen pertama ko m p o n e n k e d u a 0.00 -0.05 -0.10 -0.15 -0.20 0.50 0.25 0.00 -0.25 -0.50 PDJLSV PDJKSV LBM LM LKLB TSA TSD TP TK TBE TB TBM PSVPSP PJLSA PJKSA PDSA PDJLSD PDJKSD PDSD PRB PRA PAMP PKDM PKBM PRAM PH PBE PDPNSD PK PB PT

korelasi antar karakter morfometrik

Gambar 6. Grafik Analisis Komponen Utama, penyebaran individu dari data morfometrik ikan betok di DAS Mahakam Tengah. Rawa (n=88),Sungai

(n=35),Danau (n=49) pada bulan November - Desember 2008

Gambar 7. Grafik Analisis Komponen Utama, korelasi antar karakter morfometrik dari data morfometrik ikan betok di DAS Mahakam Tengah Rawa (n=88),Sungai

(39)

C. Karakter meristik

Kisaran karakter meristik yang dihitung pada ketiga stasiun menunjukkan nilai yang sama. Pada tabel 6 berikut di tampilkan karakter meristik yang dihitung.

Tabel 7. kisaran karakter meristik yang dihitung.

No. Karakter meristik Kisaran Stasiun 1 (Rawa) Kisaran Stasiun 2 (Sungai) Kisaran Stasiun 3 (Danau) Kottelat (1995) & Bloch (1792) Talwar & Jhingran 1991 1. Jumlah jari-jari sirip dorsal

DXVII.8-9 DXVII.8-9 DXVII.8-9

DXV-XIX. 7-9

DXVI-XVIII. 8-10 2. Jumlah

jari-jari sirip anal AXI.9-10 AXI.9-10 AXI,9-10

AIX-XI. 8-12 AVIII-XI. 9-11 3. Jumlah jari-jari sirip ventral

VI.5 VI.5 VI.5 VI.5 -

4. Jumlah jari-jari sirip pektoral P14–15 P14–15 P14–15 P14-16 P14-15 5. Jumlah jari-jari sirip caudal 16 16 16 - - 6. Jumlah sisik pada garis rusuk (LL) 30 30 30 26 - 31 - 7. Jumlah sisik di atas garis rusuk (LL) 4 4 4 - - 8. Jumlah sisik di bawah garis rusuk 10 10 10 - - 9. Jumlah sisik di muka sirip dorsal 5 – 6 5 – 6 5 – 6 - - 10. Jumlah sisik pada pipi 77 – 88 77 – 88 77 – 88 - - 11. Jumlah sisik sekeliling badan 32 32 32 - - 12. Jumlah sisik sekeliling batang ekor 34 34 34 - -

(40)

Penghitungan karakter meristik berupa jumlah jari – jari sirip dorsal (D) pada Ikan di ketiga stasiun menunjukkan kisaran hasil yang sama yaitu 26 sampai 27 buah dengan 18 jari – jari keras dan 8 – 9 jari-jari lemah hal ini mendekati rumus umum sirip dorsal menurut kottelat 1995, DXV-XIX. 7-9 dan Talwar and Jhingran, 1991, DXVI-XVIII. 8-10.

Untuk jumlah jari – jari sirip anal memiliki jumlah yang sama untuk ikan di ketiga stasiun yaitu berkisar antara 20 – 21 buah dengan jumlah jari – jari sirip keras 11 buah untuk jari – jari lemah berkisar antara 9 -10 buah. Berdasarkan literatur dari Kottelat, 1995, AIX-XI. 8-12 dan Talwar and Jhingran, 1991, AVIII-XI. 9-11.

Untuk jumlah sirip pektoral terhitung jumlahnya berkisar antara 14 sampai 15 buah untuk ketiga stasiun yang ada, hal ini juga identik dengan literatur dari Talwar and Jhingran, 1991 yang menyatakan bahwa jumlah sirip pektoral sebesar 14 – 15 buah.

Untuk karakter meristik yang lain, Jumlah jari-jari sirip ventral 6 buah, jumlah jari – jari sirip caudal 16 – 17 buah, jumlah sisik pada garis rusuk (LL) 30 buah, jumlah sisik di atas garis rusuk 4 buah, jumlah sisik dibawah garis rusuk 10 buah, jumlah sisik di muka sirip dorsal 5 – 6 buah, Jumlah sisik pada pipi 77 – 88 buah, Jumlah sisik sekeliling badan 32 buah, dan Jumlah sisik sekeliling batang ekor 34 buah. Hasil yang didapat dari ketiga stasiun menunjukkan kesamaan jumlah karakter meristik pada ikan betok.

Adapun meristik adalah ciri yang berkaitan dengan jumlah bagian tubuh dari ikan, misalnya jumlah sisik pada garis rusuk, jumlah jari-jari keras dan lemah pada sirip punggung (Affandi et al., 1992). data yang dihasilkan dari ciri meristik bersifat discrete data (Turan, 1998). Hasil analisis perbandingan karakter meristik menunjukkan jumlah dan kisaran jumlah karakter meristik menunjukkan nilai yang sama pada ketiga stasiun hal ini juga diperkuat dengan perbandingan dengan literatur dari Kottelat, 1995 dan Talwar and Jhingran, 1991. Identifikasi karakter meristik ini menguatkan dugaan bahwa ikan betok pada ketiga stasiun adalah unit populasi yang sama.

D. Pengelolaan sumberdaya ikan betok

Hasil penelitian menunjukkan ikan betok pada ketiga habitat adalah satu unit populasi maka diperlukan pola manajemen yang terintegrasi antara habitat rawa, sungai, dan danau. Hal ini dikarenakan apabila terjadi tangkap lebih

Gambar

Gambar 1. Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch)  (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Gambar 2. Lokasi penelitian
Tabel 1. Alat dan Bahan
Gambar 3. Tangkul (Portable Lift Net)  (Sumber: www.multiply.com)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “PENGARUH TINGKAT BAGI HASIL DAN SUKU BUNGA (BI RATE) TERHADAP JUMLAH DANA SIMPANAN BERJANGKA PADA KJKS PRIMA ARTHA DI SLEMAN (PERIODE

Berdasarkan hasil pengujian dan penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan fasilitas ZKEM control dan simple object access protocol (SOAP) pada mesin fingerprint

identifikasi masalah. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kimia kelas X SMA N 1 Karanganyar pada tanggal 2 desember 2014, diketahui bahwa salah satu materi

[r]

Demi memenuhi kebutuhan akan tempat pelayanan terhadap pasien rumah sakit, pembangunan gedung pelayanan komprehensif adalah salah satu solusinya untuk memenuhi

- Warna Warna kuning kuning adalah pengetahuan kritis yang berpotensi untuk hilang adalah pengetahuan kritis yang berpotensi untuk hilang - Akan dilakukan pelatihan internal

Pernahkah Anda membeli suatu produk (produk yang dapat berupa apa saja) yang sangat penting bagi Anda, dimana produk tersebut Anda gunakan sendiri, dan pada

Oleh sebab itu, perlu pengaturan mengenai Kelautan yang bertujuan menegaskan Indonesia sebagai negara kepulauan berciri nusantara dan maritim; mendayagunakan Sumber