• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada umumnya pajak merupakan pungutan wajib oleh negara kepada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada umumnya pajak merupakan pungutan wajib oleh negara kepada"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pajak Secara Umum 2.1.1 Pengertian Pajak

Pada umumnya pajak merupakan pungutan wajib oleh negara kepada masyarakat berdasarkan undang undang untuk mengisi kas negara guna membiayai pengeluaran negara rutin untuk pembangunan. Dalam bidang perpajakan banyak para ahli mengartikan dan mendefinisikan pajak secara berbeda, tetapi dari semua itu memiliki cirri dan tujuan yang sama. Berikut ini definisi pajak menurut beberapa ahli di bidang perpajakan. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH yang dikutip oleh Mardiasmo, (2003:1) :

“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat di tunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.

Menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja yang dikutip oleh waluyo (2005:3), menjelaskan :

“Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hokum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”.

Menurut Sommerfeld Ray M, Anderson Hersechel M, dan Brock Horace R yang dikutip oleh Diana Sari (2007:2) dalam buku Perpajakan :

(2)

“Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, Berdasarkan ketentuan yang ditetapkan terlebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan”.

Dari semua definisi tersebut dapat diketahui bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, yaitu :

a. Peralihan kekayaan dari masyarakat (orang pribadi/badan) ke pemerintah b. Negara adalah pemungut pajak, iuran tersebut berupa

c. Pemungutan berdasarkan undang-undang d. Bersifat memaksa

e. Imbalan yang didapat tidak secara langsung (kontra prestasi)

f. Digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dan untuk pembangunan

2.1.2 Dasar Hukum Pajak

Hukum pajak adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dengan rakyat sebagai pembayar pajak. Pajak diatur dalam Undang-Undang dasar 1945 pasal 23 ayat 2 yang berbunyi

“segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”.

Dalam buku Mardiasmo (2003:4) dikatakan hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.

(3)

2.1.3 Fungsi Pajak

Fungsi pajak dibagi manjadi dua, yaitu : 1. Fungsi Anggaran (Budgetair)

Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh yang dimasukannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri.

2. Fungsi Mengatur (Regulerend)

Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan dibidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh minuman keras dikenakan pajak yang lebih tinggi, untuk menekan konsumsi minuman keras. Demikian pula barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif.

2.1.4 Pengelompokan Pajak

Pajak dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu : 1. Menurut golongannya

• Pajak Langsung

Pajak yang harus di pikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

contoh :Pajak Penghasilan (PPh) • Pajak tidak langsung

Pajak yang pada akhirnya dapatdibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

(4)

2. Menurut Sifatnya • Pajak subjektif

Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.

Contoh : Pajak Penghasilan (PPh) • Pajak objektif

Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak.

Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)

3. Menurut lembaga pemungutnya • Pajak Pusat

Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.

Contoh : Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPn BM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Materai

• Pajak Daerah

Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas :

a. Pajak propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

(5)

b. Pajak Kabupaten atau Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame dan Pajak Penerangan Jalan.

2.1.5 Sistem Pemungutan Pajak

Sistem pemungutan pajak merupakan suatu sistem di mana pemerintah atau wajib pajak itu sendiri diberikan kewenangan untuk menentukan besarnya pajak terutang. Menurut Mardiasmo (2003:7), terdapat beberapa sistem pemungutan pajak, yaitu :

a. Official Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya :

ƒ Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus. ƒ Wajib pajak bersifat pasif.

ƒ Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus b. Self Assessment system

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya :

ƒ Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak itu sendiri.

ƒ Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.

(6)

ƒ Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi c. With Holding System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya : wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak.

2.2 Pajak Pertambahan Nilai

2.2.1 Pengertian Pajak Pertambahan Nilai

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah suatu produk baru dari pembaharuan Sistem Perpajakan Nasional yang dicanangkan dan diberlakukan seak tahun 1983. Pajak Pertambahan Nilai dianggap lebih mencerminkan keadilan dan pemerataan dibandingkan dengan produk sebelumnya, yaitu Pajak Penjualan (PPn).

Pengertian tentang Pertambahan Nilai (Add Value) perlu diketahui secara khusus karena banyak orang yang mengira bahwa yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah atas barang atau jasanya. Pandangan tersebut keliru, karena Pajak Pertambahan Nilai dikenakan hanya terhadap pertambahan nilainya saja. Dapat disimpulkan dalam penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas barang Mewah, bahwa “Pertambahan Nilai adalah suatu proses penambahan nilai barang dan jasa dengan dipakainya faktor-faktor produksi

(7)

disetiap jalur perusahaan dalam menyiapkan barang atau pemberian jasa kepada para konsumen. Semua biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan laba termasuk bunga modal, sewa tanah, upah kerja, dan laba pengusaha adalah merupakan unsur pertambahan nilai yang menjadi dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai”.

2.2.2 Dasar hukum Pajak Pertambahan Nilai

Dasar hukum Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 yang lebih dikenal dengan nama UU PPN 1984, Undang-undang ini telah mengalami dua kali perubahan yang pertama Undang-undang Nomor 11 tahun 1994, sedangkan yang kedua Undang-undang Nomor 18 tahun 2000 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2001. Tujuan dari perubahan tersebut untuk lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan dan menciptakan system perpajakan yang sederhana dengan tanpa mengabaikan pengawasan dan pengamanan penerimaan negara.

2.3 Objek dan Subjek pajak Pertambahan Nilai 2.3.1 Objek Pajak Pertambahan Nilai

Objek Pajak Pertambahan Nilai merupakan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP). Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang berwujud yang merupakan sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak maupun barang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan

(8)

Undang-undang. Jasa Kena Pajak (JKP) adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan/atau petunjuk pemesanan yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang.

Objek Pajak Pertambahan Nilai menurut Mardiasmo (2003:233), Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :

1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. Syarat-syaratnya adalah :

• Barang Berwujud yang dserahkan berupa BKP.

• Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP tidak berwujud.

• Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean.

• Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya. 2. Impor BKP

3. penyerahan JKP yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak. Syarat-syaratnya adalah :

• Jasa yang diserahkan merupakan JKP.

• Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean.

• Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya. 4. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah

(9)

5. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 6. Ekspor BKP oleh Pengusaha Kena Pajak.

7. kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh oran pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain.

8. Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan (bukan inventory) oleh Pengusaha Kena Pajak, sepanjang Pajak Masukan yang dibayar pada saat perolehannya menurut ketentuan dapat dikreditkan.

2.3.2 Subjek Pajak Pertambahan Nilai

Disimpulkan dalam UU PPN 1984 bahwa Subjek Pajak Pertambahan Nilai terdiri dari :

1. Pengusaha Kena pajak (PKP), adalah Pengusaha yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak dan atau ekspor Barang Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan nilai, tidak termasuk Pengusaha Kecil, yang batasannya ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilh dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

2. Pengusaha Kecil yang Memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dengan demikian Undang-undang Pajak Pertambahan nilai berlaku bagi pengusaha Kecil Tersebut.

(10)

3. Orang pribadi atau Badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud dan atau yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah Pabean di dalam daerah Pabean.

2.4 Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai 2.4.1 Tarif Pajak

Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen). Tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah tarif tunggal, sehingga mudah dalam pelaksanaannya dan tidak memerlukan daftar penggolongan barang atau penggolongan jasa dengan tarif yang berbeda. Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor BKP adalah 0% (nol persen). Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi BKP di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, BKP yang diekspor atau dikonsumsi di luar Daerah Pabean, dikenakan PPN dengan tarif 0% (nol persen). Pengenaan tarif 0% (nol persen) bukan berarti pembebasan dari pengenaan PPN. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar dari barang yang diekspor tetap dapat dikreditkan. Tarif PPN diatur dalam Pasal 7 UU PPN 1984 sebagai berikut :

1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen)

2) Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Barang Kena Pajak adalah 0% (nol persen)

(11)

3) Dengan Peraturan Pemerintah, tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen)

2.4.2 Dasar Pengenaan Pajak

Untuk menghitung besarnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang terutang perlu adanya Dasar Pengenaan Pajak (DPP), yang menjadi DPP adalah :

1. Harga jual

Dalam Pasal 1 angka 18 UU PPN 1984 memberkan rumusan bahwa Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut dan potongan harga yang dicantum dalam Faktur pajak.

2. Nilai penggantian

Dalam Pasal 1 angka 19 UU PPN 1984 memberkan rumusan bahwa Nilai berupa uang, termasuk, semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan JKP, tidak termasuk pajak yang dipungut dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur pajak.

3. Nilai impor

Dalam Pasal 1 angka 20 UU PPN 1984 memberkan rumusan bahwa Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam perundang-undangan Pabean untuk impor BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut.

(12)

4. Nilai ekspor

Dalam Pasal 1 angka 26 UU PPN 1984 memberikan rumusan bahwa Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.

2.4.3 Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak

Dalam UU PPN 1984 tidak memberikan rumusan otentik tentang pengertian Nilai lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak. Dalam buku yang ditulis oleh Untung Sukardji (2005;268) Pajak Pertambahan Nilai edisi revisi 2005, disimpulkan bahwa :

“Nilai lain adalah suatu nilai berupa uang yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak bagi penyerahan BKP dan JKP yang memenuhi kriteria tertentu”.

Nilai Lain yang dapat digunakan sebagai Dasar Pengenaan Pajak sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan Nomor 251/KMK.03/2002 sebagai penyempurnaan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 567/KMK.04/2000 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak.

2.4.4 Cara Menghitung Pajak Pertambahan Nilai

Cara menghitung PPN yang terutang pada suatu masa pajak dihitung dengan mengalikan tarif dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP).

(13)

Contoh :

a. Pengusaha Kena Pajak “A” menjual tunai BKP kepada Pengusaha Kena Pajak “B” dengan harga jual Rp25.000.000,00. PPN yang terutang :

10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00.

Bagi Pengusaha Kena Pajak “A” PPN sebesar Rp 2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak “A”. Sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak “B”, PPN tersebut merupakan Pajak Masukan.

b. Seseorang mengimpor BKP dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor Rp15.000.000,00. PPN yang dipungut melalui Direktorat Jendral Bea dan Cukai = 10% x Rp15.000.000,00.=Rp1.500.000,00.

2.5 Faktur Pajak

2.5.1 Pengertian dan Fungsi Faktur Pajak

Dalam Pasal 1 angka 23 merumuskan bahwa :

“Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai".

Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam Daerah Pabean atau ekspor Barang Kena Pajak dan untuk setiap penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam Daerah Pabean. Faktur

(14)

Pajak hanya boleh dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak. Oleh karena itu, bagi Orang Pribadi dan Badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak. Larangan membuat Faktur Pajak oleh bukan Pengusaha Kena Pajak dimaksudkan untuk melindungi pembeli dari pemungutan pajak yang tidak semestinya. Masalah Faktur Pajak sebagaimana telah dijelaskan diatas memiliki, fungsi sebagai berikut :

a. Bukti pungutan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) bagi Direktorat Jendral Bea dan Cukai

b. Bukti pembayaran pajak ditinjau dari sisi pembeli Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP), atau orang pribadi atau badan yang mengimpor Barang Kena Pajak (BKP).

c. Sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan

2.5.2 Jenis-jenis Faktur Pajak

Faktur pajak dapat berupa Faktur Pajak Standar, Faktur Pajak Sederhana, atau dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak Standar.

a. Faktur Pajak Standar adalah Faktur Pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang disesuaikan dengan Kepentingan Pengusaha Kena Pajak dimana didalamnya Tercantum Kode Faktur Pajak. Dalam Faktur Pajak Standar hrus dicantumkan keterangan tentang penyerahan BKP atau penyerahan JKP yang paling sedikit memuat

(15)

2) Nama, Alamat dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP

3) Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian dan potongan harga

4) PPN yang dipungut

5) Kode, nomor seri dan tanggalpembuatan Faktur Pajak

6) Nama, Jabatan dan tandatangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

Faktur Pajak Standar paling sedikit dibuat dalam rangkap dua, yaitu :

• Lembar ke-1 : Untuk pembeli Barang Kena pajak (BKP) atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP) sebagai bukti Pajak Masukan

• Lembar ke-2 : Untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menerbitkan Faktur Pajak Standar sebagai bukti Pajak Keluaran.

b. Faktur Pajak Sederhana adalah bukti pungutan pajak yang dapat dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam hal PKP yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP yang dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir, dan penyerahan BKP dan atau JKP kepada pembeli BKP atau penerima JKP yang tidak diketahui secara jelas identitasnya secara lengkap. Faktur Pajak Sederhana paling sedikit harus memuat :

• Nama, Alamat dan NPWP yang menyerahkan BKP dan atau JKP • Jenis dan kuantum BKP dan atau JKP yang

• Jumlah Harga Jual atau Penggantian yang sudah termasuk PPN atau besarnya PPN dicantumkan terpisah.

(16)

c. Dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak Standar adalah surat-surat atau dokumen yang paling sedikit memuat :

• Identitas yang berwenang menerbitkan dokumen • Nama dan alamat penerima dokumen

• Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam hal penerima dokumen adalah sebagai WP Dalam Negeri

• Jumlah satuan barang apabila ada • Dasar Pengenaan Pajak

• Jumlah pajak yang terutang kecuali dalam hal ekspor.

2.5.3 Saat Pembuatan Faktur Pajak

Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat :

1. Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau penyerahan keseluruhan Jasa Kena Pajak (JKP) dalam hal pembayaran diterijma setelah bulan penyerahan BKP dan atau penyerahan keseluruhan JKP, kecuali pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya maka Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat pada saat penerimaan pembayaran

2. Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan atau sebelum penyerahan JKP

3. Pada saat pembayaran terjamin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan

(17)

4. Pada saat Pengusaha Kena Pajak (PKP) rekanan menyampaikan tagihan kepada pemungut PPN. Faktur Pajak Gabungan yang merupakan Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan atau JKP.

Faktur Pajak Sederhana harus dibuat pada saat 1. Penyerahan BKP atau saat penyerahan JKP

2. Pada saat pembayaran apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau JKP

2.5.4 Tata Cara Penggantian dan Pembetulan Faktur Pajak Standar Faktur Pajak Standar yang hilang dapat diganti dengan cara :

• PKP Pembeli atau penerima JKP dapat mengajukan permohonan tertulis kepada PKP Penjual atau pemberi JKP dengan tindasan kepada KPP tempat PKP Pembeli atau penerima JKP dikukuhkan maupun kepada KPP di tempat PKP Penjual atau pemberi JKP dikukuhkan

• Berdasarkan permohonan dari PKP Pembeli atau penerima JKP, PKP Penjual atau pemberi JKP membuat fotokopi dari arsip Faktur Pajak Standar yang disimpan oleh PKP Penjual atau pemberi JKP untuk dilegalisir oleh KPP tempat PKP Penjual atau pemberi JKP dikukuhkan .

1. Lembar ke-1 : Diserahkan ke PKP Pembeli melalui PKP Penjual, sebagai pengganti Faktur pajak Standar yang hilang.

(18)

• Legalisir diberikan oleh KPP tempat PKP Penjual atau pemberi JKP dikukuhkan setelah Masa PPN (SPT Masa PPN) dari PKP Penjual atau pemberi JKP tersebut.

• KPP tempat PKP Pembeli atau penerima JKP dikukuhkan, wajib melakukan penelitian atas SPT Masa PPN dari PKP Pembeli atau penerima JKP Untuk meyakinkan bahwa, Faktur Pajak yang dilaporkan hilang tersebut telah dikreditkan sebagai Pajak Masukan.

Tata cara Pembetulan Faktur Pajak Standar yang rusak atau cacat atau Salah dalam penulisan :

• Atas permohonan PKP Pembeli atau penerima JKP atau atas kemauan sendiri terhadap Faktur Pajak yang rusak, cacat, salah dalam penulisan, PKP penjual atau pemberi JKP dapat membuat Faktur Pajak Standar pengganti.

• Pembetulan Faktur Pajak Standar tidak diperkenankan dengan cara menghapus, mencoret atau dengan cara lain selain dengan cara membuat Faktur Pajak Standar pengganti.

2.6 Tata Cara Dalam Pajak Pertambahan Nilai 2.6.1 Saat dan Tempat Pajak Terutang

Untuk menentukan saat pajak terutang sangat erat kaitannya dengan penentuan saat timbulnya utang pajak. Pajak Pertambahan Nilai menganut ajaran materiil, timbulnya utang pajak yaitu utang pajak timbul karena adanya Undang-undang. Dengan kata lain sejak adanya suatu keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak. Menurut Untung Sukardji (2005:191), dari

(19)

ketentuan Pasal 11 UU PPN 1984 dapat disimpulkan bahwa terutangnya pajak terjadi :

• Pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak • Pada saat impor Barang Kena Pajak

• Pada saat dimulai pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean

• Pada saat pembayaran dalam hal :

1. pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak

2. pembayaran dilakukan sebelum dimulai pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean

• Pada saat ekspor Barang Kena Pajak

• Pada saat lain yang ditetapkan oleh menteri keuangan.

Tempat terutang Pajak merupakan tempat terjadinya suatu keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak. Tempat terutang pajak ,meliputi :

• Tempat penyerahan BKP atau JKP, 1. Tempat tinggal

2. Tempat kedudukan 3. Tempat kegiatan usaha

(20)

Jika mempunyai lebih dari satu tempat usaha, atas permohonan Pengusaha Kena Pajak dapat ditetapkan salah satu tempat usaha sebagai tempat pajak terutang. Yang menentukan adalah, tempat administrasi penjualan.

• Untuk impor, ditempat BKP dimasukan ke dalam Daerah Pabean

• Untuk pemanfaatan BKP tidak berwujud dan atau JKP dari luar Daerah Pabean, di tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar sebagai wajib pajak

• Untuk kegiatan membangun sendiri oleh PKP yang dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya atau oleh bukan PKP, di tempat bangunan tersebut didirikan

• Tempat lain yang ditetapkan dengan keputusan Direktorat Jendral Pajak.

2.6.2 Saat dan Tempat Penyetoran Pajak Saat penyetoran PPN

ƒ PPn yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah bulan Masa Pajak

Contoh : Masa Pajak Januari 1996, penyetoran paling lambat tanggal 15 Pebruari 1996.

ƒ PPN yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dan Surat Tagihan Pajak (STP) harus dibayar atau disetor sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB,SKPKBT dan STP tersebut

(21)

ƒ PPN atas impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, harus diselesaikan pada saat penyelesaian dokumen impor

ƒ PPN yang pemungutannya dilakukan oleh :

1. Bendaharawan pemerintah, harus disetor paling lambat tanggal 7 bulan takwim berikutnya setelah masa pajak berakhir

2. Direktorat Jendral Bea dan cukai yang memungut PPN atas impor, harus menyetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan Tempat-tempat yang bisa digunakan sebagai tempat penyetoran pajak, yaitu :

1. Kantor Pos dan Giro

2. Bank pemerintah, kecuali BTN 3. Bank Pembangunan daerah 4. Bank Devisa

5. Bank-bank lain penerima setoran pajak

6. Kantor Direktorat Jendral Bea dan Cukai, khusus untuk impor tanpa LKP

2.6.3 Saat dan Tempat Pelaporan

Saat dan tempat pelaporan Pajak Pertambahan Nilai :

1. PPN yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat paling lambat setelah masa pajak berakhir

(22)

2. PPN yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT dan STP yang telah dilunasi segera dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang menerbitkan.

3. PPN yang pemungutannya dilakukan oleh

ƒ Bendaharawan pemerintah harus dilaporkan paling lambat 20 hari setelah bulan dilakukannya pembayaran atas tagihan

ƒ Direktorat Jendral Bea dan Cukai atas impor harus dilaporkan secara mingguan selambat-lambatnya 7 hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir

2.7 Pemusatan Tempat Pajak Terutang

Berdasarkan KEP.DJP Nomor SE-31/PJ/2001 kemudian diubah menjadi KEP.DJP Nomor 128/PJ/2003 mulai berlaku tanggal 1 mei 2003 seperti berikut : 1. PKP yang menyampaikan SPT Masa PPN melalui media elektronik (e-filling)

yang memiliki lebih dari satu tempat untuk melakukan kegiatan penyerahan BKP dan atau JKP dapat mengajukan pemberitahuan untuk penetapan satu tempat atau lebih sebagai tempat pemusatan PPN terutang dengan mengajukan permohonan tertulis.

2. Dalam pemberitahuan penetapan satu tempat atau lebih sebagai tempat pemusatan PPN, harus dirinci dengan nama, alamat, dan NPWP tempat pemusatan terutang:

• Rincian nama, alamat, dan NPWP tempat PPN terutang yang dipusatkan • Tanggal dimulainya pemusatan

(23)

• Lampiran fotokopi dan memperlihatkan aslinya serta berita acara penyampaian SPT Masa PPN melalui media elektronik untuk masa pajak dari tempat akan dilakukan pemusatan PPN terutang

3. Permohonan diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah paling lambat tiga bulan sebelum saat dimulainya pemusatan, memuat

• Nama, alamat, dan NPWP tempat pemusatan terutang

• Rincian nama, alamat, dan NPWP tempat PPN terutang yang dipusatkan • Tanggal dimulainya pemusatan

• Pernyataan PKP bahwa sistem adminstrasi telah sesuai dengan persyaratan pemusatan tempat PPN terutang

4. Permohonan untuk penetapan salah satu tempat usaha sebagai tempat pajak terutang, selain pedagang eceran dan PKP menyampaikan SPT Masa PPN dengan (e-filling) dapat dikabulkan jika memenuhi syarat seperti berikut :

• Tempat PPN terutang yang dipusatkan tidak menyelenggarakan administrasi penjualan dan pembelian. Semua administrasi dilakukan ditempat pemusatan PPN terutang

• Fungsi tempat kegiatan usaha yang dipusatkan hanya melakukan penyerahan BKP dan atau JKP kepada pembeli atau penerima jasa atas perintah tempat pemusatan PPN terutang

• Semua Faktur Pajak atau Faktur Penjualan diterbitkan oleh tempat pemusatan PPN terutang

• Tempat kegiatan usaha yang dipusatkan tidak membuat Faktur Pajak atau Faktur Penjualan kecuali Faktur Pajak atau Faktur Penjualan yang dicetak

(24)

berdasarkan data yang diinput secara on-line dari kantor pusat atau tempat pemusatan PPN terutang

• Kantor cabang unit yang dipusatkan hanya mengadministrasikan persediaan dan administrasi kegiatan perolehan BKP atau JKP untuk keperluan operasional kantor atau unit yang bersangkutan yang dananya berasal dari kas kecil

• Permohonan tempat pemusatan PPN bagi pedagang eceran dapat dikabulkan apabila kegiatan dan administrasi pembelian untuk jaringan penjualan yang tersebar di berbagai tempat, dipusatkan ditempat pemusatan PPN terutang dimohonkan.

• Kepala Kantor Wilayah harus menerbitkan keputusan paling lama tiga bulan sejak permohonan diterima secara lengkap

• Jika tidak ada keputusan dalam jangka waktu tiga bulan maka permohonan PKP diterima dan SK DJP atas persetujuan pemusatan PPN terutang diterbitkan paling lambat satu bulan

• PKP tidak dapat mengajukan permohonan pemusatan PPN terutang untuk kegiatan usaha dimana pabrik terletak, kecuali PKP tersebut menyampaikan SPT melalui e-filling

• Jika telah ada persetujuan pemusatan tempat PPN terutang di tempat pabrikan, keputusan tetap berlaku selama 5 tahun sejak tanggal pemusatan • Permohonan perpanjangan diajukan ke Kantor Wilayah paling lambat tiga

(25)

2.8 Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) Pajak Pertambahan Nilai Menurut Waluyo (2005:22), Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan. Sedangkan yang dimaksud dengan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu Masa Pajak atau pada suatu saat. SPT Masa PPN merupakan laporan bulanan yang harus disampaikan oleh Wajib Pajak meskipun Nihil. SPT Masa PPN harus disampaikan selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak. Bentuk danisi SPT Masa serta keterangan dan dokumen yang harus dilampirkan ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak. Apabila SPT Masa tidak atau tidak sepenuhnya dilampiri dengan keterangan dan dokumen yang telah ditetapkan, maka SPT Masa tersebut dianggap tidak disampaikan.

Referensi

Dokumen terkait

Alasan menggunakan metode Naïve Bayes Classifier adalah karena metode Naïve Bayes Classifier merupakan penyederhanaan dari teorema Bayes.Variabel yang dibutuhkan dalam penelitian ini

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada para informan penulis, yakni Juanico Soares, Yustina Soares, Aniceto Benigno Soares, dan Constantino Soares yang telah dengan

khususnya pada pola komunikasi mereka dalam mengasuh anak. Meskipun dalam keluarga berbeda agama yang selama ini kita jumpai jarang mengalami permasalahan, namun

Jaringan syaraf tiruan berfungsi untuk menentukan apakah asap yang terdeteksi adalah asap kebakaran hutan atau bukan melalui karakteristik tegangan setiap asap

Bila dilihat dari sumber pertumbuhan ekonomi NTB hingga triwulan III-2016, Pembentukan Modal Tetap Bruto menjadi sumber pertumbuhan tertinggi sebesar 2,38 poin, diikuti

Pada masa perang angka kematian dipulau jawa diperkirakan lebih tinggi dari pulau-pulau lainya karena masalah kurang pangan dan kondisi kesehatan yang kurang baik

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi morfometri dari Rajungan yang meliputi panjang karapas, lebar karapas, dan berat tubuh serta mengetahui aspek

Parfum Laundry Aceh Tengah Beli di Toko, Agen, Distributor Surga Pewangi Laundry Terdekat/ Dikirim dari Pabrik BERIKUT INI PANGSA PASAR PRODUK NYA:.. Kimia Untuk Keperluan