• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMAHAMAN KONSEP UKHUWAH DALAM AL-QUR'AN MENURUT LEMBAGA KEMANUSIAAN ACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMAHAMAN KONSEP UKHUWAH DALAM AL-QUR'AN MENURUT LEMBAGA KEMANUSIAAN ACT"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

PEMAHAMAN KONSEP UKHUWAH DALAM AL-QUR'AN

MENURUT LEMBAGA KEMANUSIAAN ACT

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Program Studi Ilmu Hadis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh : WAHYU HARAHAP NIM. 11140340000247

JURUSAN ILMU HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H/2020 M

(2)

PEMAHAMAN KONSEP UKHUWAH DALAM AL QUR’AN MENURUT LEMBAGA KEMANUSIAAN ACT

Cilandak, ACT, Jakarta Selatan

Skripsi

Diajukan untuk Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh: Wahyu Harahap NIM: 1140340000247 Pembimbing Maulana, M.Ag NIP. 196502071999031001

PROGRAM STUDI Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1442 H / 2020 M

(3)

dc

PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH

Skripsi yang berjudul PEMAHAMAN KONSEP UKHUWWAH DALAM AL-QUR'AN MENURUT LEMBAGA KEMANUSIAAN ACT telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 14 Desember 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.

Jakarta, 2 Februari 2021 Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr Eva Nugraha, M.Ag Fahrizal Mahdi, Lc. MIRKH NIP. 19710217199803 1 002 NIP. 19820816201503 1 004

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Dr Abd. Moqsith, M.Ag Syahrullah, M.A NIP. 19710607200501 1 002 NIP. 19780818200901 1 016

Pembimbing,

Maulana, M.Ag NIP. 19650207199903 1 001

(4)
(5)

ABSTRAKSI

Wahyu Harahap, “Pemahaman Konsep Ukhuwah dalam Al Qur’an Menurut Lembaga Kemanusiaan ACT (Aksi Cepat Tanggap); Cilandak, Jakarta Selatan, Oktober 2020.

Skripsi ini membahas tentang pemahaman konsep ukhuwah dalam Al Qur’an Menurut Lembaga kemanusiaan ACT (Aksi Cepat Tanggap).

Pembahasan topik dalam penulisan skripsi ini, saya gunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan model organisatoris, yakni yang mekanisme operasional kerjanya berdasarkan ruang lingkup pengorganisasian pada umumnya. Misalnya, dengan konsep ukhuwah (persaudaraan) saat ACT berperan serta menolong warga yang terkena musibah banjir. Dengan perencanaan, penyusunan tim tugas, ketersediaan waktu, dan besaran biaya yang disediakan, lembaga tersebut bertindak menolong warga.

Bahwa konsep ukhuwah dalam ‘Al-Qur’an’ ternyata mampu menggugah kesadaran dan pemahaman secara individual dan/atau kelembagaan untuk aktif berpartisipasi dan berkontribusi dalam hal menolong sesama (sesuai dengan nilainilai kemanusiaan) seperti kehidupan bersaudara.

Kata Kunci: Ukhuwah dalam Al Qur’an (Living Qur’an), Lembaga ACT.

(6)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahiwabarakatuh.

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puja-puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang

dengan ‘ridlo’-Nya, penyusunan dan penulisan skripsi ini bisa selesai dengan baik sesuai waktu yang telah ditentukan. Skripsi ini saya buat sebagai kewajiban tugas akhir mahasiswa di Fakultas Ushuluddin, Jurusan IAT (Ilmu Al Qur’an dan Tafsir) Universitas UIN Syarif Hidayatullah, Semester XIII Tahun Akademik 2020.

1. Pertama-tama, saya mengucapkan terima kasih pada Bapak Maulana, M.Ag sebagai Dosen Pembimbing saya, yang selama ini telah banyak membantu mengarahkan dan membimbing penyusunan skripsi yang saya buat sampai selesai sesuai waktu yang telah ditentukan.

2. Terima kasih saya ucapkan juga pada Lembaga ACT (Aksi Cepat Tanggap) yang telah berkenan menyediakan tempat dan waktu bagi saya dalam penelitian skripsi dengan topik bahasan yang sesuai dengan judul skripsi yang saya buat ini: “Pemahaman Konsep Ukhuwah Dalam Al Qur’an (Living Qur’an) Terhadap Lembaga Kemanusiaan ACT (Aksi

Cepat Tanggap)”.

3. Saya juga mengucapkan terima kasih pada bapak Dr Eva Nugraha, M.Ag (Ketua Tim Penguji) dan bapak Fahrizal Mahdi, MIRKH (Sekretaris Tim Penguji) Bersama Tim Penguji yang lain (Dr Abdul Moqsith, M.Ag dan Syahrullah, MA) yang telah berkenan meluangkan waktu dan memfasilitasi terlaksananya pengujian skripsi ini.

4. Tak lupa, saya ucapakan terima kasih juga pada berbagai pihak lain yang tak bisa saya sebutkan satu per satu di sini, yang secara langsung dan tidak langsung telah ikut mendukung selesainya tugas akhir skripsi ini.

Wassalamu’alaikum Warrahmatullahiwabarakatuh.

(7)

Jakarta, 26 Oktober 2020.

PEDOMAN TRANSLITERASI 507 Tahun 2017.

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Nomor:

Huruf Arab

Huruf Latin Keterangan

ا Tidak dilambangkan

ب b Be

ت t Te

ث ts Te dan es

ج j Je

ح h h dengan garis bawah

خ kh ka dan ha د d De ذ dz de dan zet ر r Er ز z Zet س s Es ش sy es dan ya

ص s es dengan garis di bawah

ض ḏ de dengan garis di bawah

ط ṯ te dengan garis di bawah

ظ ẕ zet dengan garis di bawah

ع koma terbalik di atas hadap kanan

غ gh ge dan ha

ف f Ef

ق q Ki

(8)

ل l El م m Em ن n En و w We ه h Ha ء ˋ Apostrof ي y Ye 2. Vokal

Vokal adalah bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan َ a Fathah َ i Kasrah َ u Ḏammah

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي ا ai a dan i

و ا au a dan u

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

(9)

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ا â a dengan topi di atas

ي ا î i dengan topi di atas

و ا û u dengan topi di atas

4. Kata Sandang

yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, diikuti huruf syamsiah maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad- dâwân.

5. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda tasydîd ) ََ ََ ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (ةرورضلا) tidak ditulis ad-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah, demikian seterusnya.

6. Ta Marbûṯah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûṯah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

1 ةقيرط Ṯarîqah

2 ةيملاسلإا ةعماجلا al-Jâmi‘ah al-Islâmiyyah

3 دوجولا ةدحو Wahdat al-wujûd

(10)

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Mislanya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbani: Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

(11)

DAFTAR ISI COVER ... i ABSTRAK ... iv KATA PENGANTAR ... v PEDOMAN TRANSLITERASI ... vi DAFTAR ISI ... x BAB 1. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Batasan Masalah ... 7 1.3 Perumusan Masalah ... 7

1.4 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 9 1.3.2 Kegunaan Penelitian ... 12 1.4 Tinjauan Pustaka ... 12 1.5 Metode Penelitian ... 12 1.5.1 Jenis Penelitian ... 13 1.5.2 Pendekatan Penelitian ... 13 1.5.3 Sumber Data ... 14

1.5.4 Metode Pengumpulan Data ... 15

1.5.5 Metode Analisis Data ... 16

1.6 Sistematika Penelitian ... 16

BAB 2. STUDI LIVING QUR’AN... 20

2.1 Pengertian Studi Living Qur’an ... 20

2.1.1 Living Qur’an di Tengah Masyarakat ... 21

2.2 Perkembangan Studi Living Qur’an ... 21

2.3 Urgensitas Living Qur’an ... 22

BAB 3. KONSEP UKHUWAH DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN ... 24

3.1 Pengertian Ukhuwah ... 24

(12)

BAB 4. PEMAHAMAN KONSEP UKHUWAH DI LEMBAGA ACT ... 40

4.1 Sejarah Berdirinya ACT ... 40

4.1.1 Visi Misi ACT ... 41

4.2 Perspektif Ukhuwah bagi Lembaga ACT ... 42

4.3 Implementasi Konsep Ukhuwah bagi Lembaga ACT ... 45

BAB 5. PENUTUP ... 60

5.1 Kesimpulan ... 61

5.2 Saran ... 62 DAFTAR PUSTAKA

(13)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Al-Qur’an adalah representasi dari penjelmaan pesan-pesan universal Tuhan kepada hamba, hadir dalam bentuk teks verbal yang teraplikasikan dengan simbol-simbol bunyi yang mewakili firman Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan bahasa Arab. Sebagai wahyu dan petunjuk hidup bagi manusia, setiap muslim harus membaca, mehamami isinya serta mengaplikasikannya dalam kehidupan. Pembacaan yang dilakukan tentunya akan melahirkan pemahaman yang setiap muslim satu sama lainnya cenderung tidak sama. Hal ini menjadi niscaya karena terkait perbedaan kemampuan dan intensitas dalam membacanya. Dari pemahaman yang berbeda tadi, masing-masing juga akan melahirkan perilaku yang beragam pula sebagai bentuk tafsir Al-Qur’an dalam praksis kehidupan, baik pada wilayah teologis filosofis, psikologis maupun kultural.

Pengalaman dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an umumnya menghasilan pemahaman dan penghayatan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an tertentu secara atomistic.1 Pemahaman dan penghayatan individual yang diungkapkan serta dikomunikasikan secara verbal maupun prilaku biasanya punya pengaruh kepada individu lain yang pada gilirannya dapat mengkosntruk kesadaran kolektif yang juga menciptakan tindakan dan perilaku dalam kehidupannya.2 Dalam bahasa lain, fenomena ini merupakan sikap dan variasi respon muslim terhadap Al-Qur’an.

1 Muhammad Chirzin, 2007. Mengungkap Pengalaman Muslim Berinteraksi dalam

AlQur’an; dalam Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis. Ed Sahiron Syamsuddin. Yogyakarta: Teras. Hal. 12

2 Dalam realitas sosial kehidupan muslim, tindakan yang dimaksud penulis dapat

disaksikan begitu dekat oleh kita. Pengalaman berinteraksi dengan Al-Qur’an terlihat begitu beragam dari sekedar membaca Al-Qur’an baik secara sendiri maupun berjamaah (baca: komunitas), kelompok penggiat kajian tafsir al-Qur‟an, penghafal Al-Qur’an, mengusir makhluk halus dengan Al-Qur’an, praktek ruqyah, hingga menjadikan ayat-ayat Al-Qur’an tertentu dan menjadikannya sebagai hiasan rumah, hiasan masjid dan sebagainya. Semua yang dicontohkan tersebut merupakan sebagian dari bentuk terapan interaksi muslim dengan Al-Qur‟an.

(14)

Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam yang mempunyai daya tarik untuk dibahas, banyak ruang yang menjadi lahan kajian dalam Al-Qur’an. Kajian tersebut tiap tahun terus berkembang, hasil tulisan tersebut yang bersifat ilmiah bisa berupa skripsi, tesis, ataupun tulisan lain yang membahasa tentang AlQur’an. Akan tetapi, secara general pembahasan tentang Al-Qur’an bisa didekati dengan tawaran yang dilakukan oleh Amin al-Khuli (w. 1976) yang dikutip oleh

Nur Kholis Setiawan, yaitu, dirasah ma hawl Al-Qur’an dan dirasah fi Al-

Qur’annafsih.

Penulis mencatat, tawaran yang diberikan oleh Amin al-Khuli terlalu tinggi. Dengan bahasa yang sederhana, pembahasan tentang hal itu mungkin sudah banyak yang membahas dan kurang relevan ketika disandingkan dengan realitas masyarakat sekarang, ketika menilai dan memandang ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an. Dengan tanpa menyingkirkan kajian tersebut yang juga mengandung nilai ilmiah, tetapi keadaan menyatakan bahwa ada perbedaan antara kondisi sosial waktu Al-Qur’an diturunkan dan keadaan masyarakat masa

kini.

Dengan demikian, untuk mengisi kekosongan kajian yang berhubungan dengan realitas masyarakat yang berinteraksi dengan Al-Qur’an dengan persepsi yang berbeda-beda, dibutuhkan arah baru atau tawaran metodis. Atas dasar tersebut, ditawarkan arah baru kajian Al-Qur’an yang disebut dengan Living

Qur’an.

Living Quran dapat dikategorikan sebagai kajian atau penelitian ilmiah

terhadap berbagai fenomena sosial yang terkait dengan keberadaan Al-Quran di tengah komunitas muslim tertentu atau lain yang berinteraksi dengannya. AlQuran adalah teks verbatim yang telah ada sejak belasan abad silam, dan telah mengalami kompleksitas interaksi antar umat, tidak hanya muslim namun juga non-muslim. Tetapi, meski dengan perjalananya yang relatif panjang namun studi Al-Quran yang berkembang hingga sekarang mayoritas masih berorientasi pada studi teks, dan belum banyak menyentuh aspek-aspek lain seperti yang terkait langsung dengan Implementasi pemahaman maupun sikap dan penerimaan umat pembaca terhadapnya. Maka wajar jika studi Al-Quran oleh beberapa kalangan dirasakan “membosankan”, belum lagi aspek materi yang sedikit sekali berorientasi langsung dengan kebutuhan dan belum banyak diarahkan pada

(15)

persoalan-persoalan kontemporer.3 Semisal yang berkaitan dengan realitas sosial masyarakat yang dihubungkan dengan Al-Qur’an. Salah satunya adalah pemahaman tentang konsep Ukhuwah di dalam Al-Qur’an. Berikut adalah kutipan ayat dari mendamaikan saudara yang bertikai :

أَف ا ُوَلَتتق ا َنيِنِمؤ ُمل ا َنِم ِنَاتَفِئاَط ِن إ َو … اَمُهَنَي ب اوُحِلَص

Yang artinya : “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya…” (QS. Al-Hujurot:

9)

Salah satu ajaran penting yang banyak disampaikan Al-Qur’an adalah tentang ukhuwah, dan dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah ajaran persaudaraan dan persatuan. Prinsip ukhuwah yang terdapat dalam Al-Qur’an telah dipraktekkan sejak Al-Qur’an itu diturunkan, dan tampak sekali hasilnya ketika Nabi Muhammad SAW membangun negara Madinah yang ditandai dengan ketetapan piagam Madinah.

Adapun pengertian ukhuwah menurut bahasa tercetak dari mashdarnya yakni "ukhuwatun" yang berasal dari kata "akhun" yang berarti berserikat dengan yang lain, karna kelahiran dari dua belah pihak atau salah satunya atau karna persusuan. Sedangkan di dalam istilah, M. Quraish Shihab berpendapat bahwa

ukhuwah diartikan sebagai "setiap persamaan dan keserasian dengan pihak yang lain, baik persamaan keturunan, dari ibu, bapak atau keduanya, maupun keturunan dari persusuan". Secara majazi kata ukhuwah (persaudaraan) mencakup persamaan

salah satu unsur seperti suku, agama, profesi, dan perasaan.4

Selama ini, masyarakat seringkali memaknai ukhuwah Islamiyah sebagai persaudaraan terhadap sesama orang Islam. Mestinya tidak demikian. Ukhuwah

Islamiyah (Islamic brotherhood) berbeda dengan ukhuwah baynal-muslimin atau al-Ikhwanul-Muslimun (moslem brotherhood).

3 Luqman Abdul Jabbar. 2006. Ruqyah Syar’iyyah; Fenomena Muslim Indonesia dalam

Memfungsikan Al-Qur’an; Studi Kasus Fenomena Ruqyah Syar’iyyah pada Umat Islam di Kota Yogyakarta. Yogyakarta; Thesis UIN Sunan Kalijaga.

4 M. Quraish Shihab. 2007. Wawasan Al-Qur'ān: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan

(16)

Makna persaudaraan antara sesama orang Islam itu bukan ukhuwah

Islamiyah, tetapi ukhuwah baynal-muslimin/ al-Ikhwanul-Muslimun (Moslem Brotherhood). Jika dikaji dari segi nahwu, ukhuwah Islamiyah adalah dua kata yang

berjenis mawshuf atau kata yang disifati (ukhuwah) dan shifat atau kata yang mensifati (Islamiyah). Sehingga, ukhuwah Islamiyah seharusnya dimaknai sebagai persaudaraan yang berdasarkan dengan nilai-nilai Islam. Sedangkan persaudaraan antar sesama umat Islam dinamakan dengan ukhuwah diniyyah.

Sedangkan proses terbentuknya ukhuwah Islamiyah,5 yaitu: Pertama, melaksanakan proses ta’aruf. Pengertian ta’aruf adalah saling mengenal sesame manusia. Ada tiga bentuk proses ta’aruf, yakni: a). Perkenalan penampilan fisik

(jasadiyyan), seperti tubuh, wajah, gaya pakaian, gaya bicara, tingkah laku,

pekerjaan, pendidikan, dan lain sebagainya; b). Pengenalan pemikiran (fikriyyan). Hal ini dilakukan dengan dialog, pandangan terhadap suatu masalah, kecenderungan berpikir, tokoh idola yang dikagumi dan diikuti, dan lain sebagainya; dan c). Pengenalan kejiwaan (nafsiyyan) yang ditekankan kepada upaya memahami kejiwaan, karakter, emosi, dan tingkah laku. Setiap manusia tentunya punya keunikan dan kekhasan sendiri yang memepengaruhi kejiwaannya. Proses ukhuwah Islamiyah akan terganggu apabila tidak mengenal karakter kejiwaan ini.

Kedua, melaksanakan proses tafahum. Tafahum adalah saling memahami.

Saling memahami adalah kunci ukhuwah Islamiyah. Tanpa tafahum, maka

ukhuwah tidak akan berjalan. Dengan saling memahami maka setiap individu akan

mudah mengetahui kekuatan dan kelemahannya dan menerima perbedaan. Dari sini akan lahirlah ta’awun (saling tolong menolong) dalam persaudaraan.

Ketiga, melakukan at-ta’aawun. Bila saling memahami sudah lahir, maka

timbullah rasa ta’awun. Ta’awun dapat dilakukan dengan hati (saling mendo’akan), pemikiran (berdiskusi dan saling menasehati), dan aman (saling bantu membantu). Saling membantu dalan kebaikan adalah kebahagiaan tersendiri. Manusia adalah

5 Thoshisiko Isutzu. 1996. Ethic-Religius Concepts in the Koran, Montreal University Press. Hal. 17

(17)

makhluk sosial yang butuh berinteraksi dan butuh bantuan orang lain. Kebersamaan akan bernilai bila kita mengadakan saling bantu membantu.

Keempat, melaksanakan proses takaful. Yang muncul setelah proses ta’awun berjalan. Rasa sedih dan senang diselesaikan bersama. Takaful adalah

tingkatan ukhuwah yang tertinggi. Banyak kisah dan hadits Nabi Saw. dan para

sahabat yang menunjukkan pelaksanaan takaful ini. Seperti ketika seorang sahabat kehausan dan memberikan jatah airnya kepada sahabat lainnya yang merintih kehausan juga, namun setelah diberi, air itu diberikan lagi kepada sahabat yang lain, terus begitu hingga semua mati dalam kondisi kehausan. Mereka saling mengutamakan saudaranya sendiri dibandingkan dirinya (itsar). Inilah ciri utama dari ukhuwah Islamiyah. Kata akha sebagai dasar kata ukhuwwah dan derivasinya dengan segala bentuknya, disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 87 kali.

Dari pemaknaan tersebut, maka dapat dipahami bahwa ukhuwah diniyyah (persaudaraan terhadap sesama orang Islam), ukhuwah wathâniyyah (persaudaraan berdasarkan rasa kebangsaan), dan ukhuwah basyâriyyah (persaudaraan berdasarkan sesama makhluk Tuhan) memiliki peluang yang sama untuk menjadi Ukhuwah Islamiyah. Ukhuwah Islamiyah tidak sekedar persaudaraan dengan sesama orang Islam saja. Tetapi juga persaudaraan dengan setiap manusia meskipun berbeda keyakinan dan agama, asalkan dilandasi dengan nilai-nilai keislaman, seperti saling mengingatkan, saling menghormati, dan saling menghargai sebagaimana yang dilakukan oleh lembaga Kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap di Indonesia.

ACT (Aksi Cepat Tanggap) yang bermarkas di Menara 165, lantai 11, Jl. TB. Simatupang Kav. 1, Cilandak Timur Jakarta Selatan, 12560, Indonesia. Merupakan lembaga yang bergerak dalam bidang social kemanusiaan. Tanggal 21 April 2005, Aksi Cepat Tanggap (ACT) secara resmi diluncurkan secara hukum sebagai yayasan yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan. Untuk memperluas karya, ACT mengembangkan aktivitasnya, mulai dari kegiatan tanggap darurat, kemudian mengembangkan kegiatannya ke program pemulihan

(18)

pascabencana, pemberdayaan dan pengembangan masyarakat, serta program berbasis spiritual seperti Qurban, Zakat dan Wakaf.

Lembaga kemanusiaan ACT merupakan representasi dari pengamalan konsep Ukhuwah dalam Al-Qur’anyang menjadi pedoman utama lembaga mereka dalam menjalankan aktivitas kelembagaannya, hal tersebut dibuktikan dengan berbagai macam bantuan yang diberikan oleh ACT dalam membantu setiap daerah ataupun setiap saudara semuslim/sebangsa yang sedang mengalami musibah, baik dalam skala kecil ataupun besar.

Berdasarkan hasil observasi awal dapat diketahui bahwa Pemahaman konsep Ukhuwah dalam Al-Qur’anmenurut lembaga ACT adalah dengan saling menjaga kehormatan, hak dan kewajiban setiap manusia, khususnya sesama muslim, oleh karena itu, jika setiap manusia mau untuk menjaga kehormatan dan hak setiap manusia/muslim yang ada, insya allah akan tercipta sebuah kehidupan yang aman, damai dan sejahtera.

Konsep Ukhuwah menurut lembaga ACT sudah menjadi pedoman dalam menjalankan aktiftas kemanusiaan yang sudah dilakukan selama ini. Prinsip itulah yang menjadikan lembaga ACT sebagai salah satu lembaga social kemanusiaan yang ada di Indonesia yang paling sering sigap menjadi garda tedepan dalam menyalurkan dan memberikan bantuan, semisal terjadinya bencana banjir yang melanda beberapa daerah di Indonesia, seperti Jakarta, Banten, dan Bandung.

Konsep Ukhuwah seakan-akan sudah menjelma dalam pedoman perjuangan, bahkan dalam setiap jiwa relawan yang tergabung dalam lembaga ACT yang harus rela meninggalkan kampung halaman, keluarga, dan harta demi memberikan bantuan kepada saudara seagama dan sebangsa yang sedang dilanda musibah. Oleh karena itu, peneliti merasa tertarik untuk mengkaji lebih mendalam lagi mengenai “Pemahaman Konsep Ukhuwah dalam Al-Qur’an (Living

Qur’an) terhadap Lembaga Kemanusiaan ACT”, sejauh mana pemahaman

Ukhuwah yang diketahui oleh ACT, serta bagaimana bentuk pengamalan atau implementasi dari Konsep Ukhuwah yang sudah menjadi pedoman (Living) dalam setiap tindakan kemanusiaan mereka.

(19)

1.2 Batasan Masalah

Guna menghindari kesalah pahaman dan untuk mencapai kesamaan persepsi dalam masalah yang hendak penulis bahas pada skripsi ini, maka penulis merasa perlu untuk memberikan suatu batasan dan rumusan terhadap masalah yang akan dikaji, yaitu:

1. Bagaimakah konsep Ukhuwah dalam Al-Qur’an ? 2. Apa yang dimaksud dengan Studi Living Qur’an ? 3. Bagaimanakah perkembangan dari Studi Living Qur’an ?

4. Bagaimanakah pemahaman konsep Ukhuwah dalam Al-Quran menurut Lembaga Kemanusiaan ACT ?

5. Bagaimanakan bentuk implementasi dari konsep Ukhuwah yang dilakukan oleh Lembaga Kemanusiaan ACT ?

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah “bagaimanakah pemahaman serta implementasi konsep ukhuwah dalam al-Quran (living Qur’an) terhadap lembaga kemanusiaan ACT”

1.4 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran sebanyak mungkin tentang pemahaman konsep Ukhuwah dalam Al-Qur’an di Lembaga Kemanusiaan ACT (Studi Living Qur’an)

Penelitian ini diharapkan memiliki nilai manfaat akademis maupun praktisnya. Adapun tujuan dan kegunaan penelitian ini adalah:

1.4.1 Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui konsep Ukhuwah dalam Al-Qur’an; b. Untuk mengetahui maksud dan arti dari studi Living Qur’an; c. Untuk mengetahui perkembangan Studi Living Qur’an;

d. Untuk mengetahui dan menganalisis pemahaman konsep Ukhuwah dalam Al-Quran di Lembaga Kemanusiaan ACT;

(20)

di Lembaga Kemanusiaan ACT.

1.4.2 Kegunaan Penelitian a. Manfaat Teoritis

Diharapkan penelitian ini mampu memberikan khazanah ilmu pengetahuan baru, khususnya terkait Studi Living Qur’an tentang Konsep Ukhuwah dalam Al-Quran di Lembaga Kemanusiaan ACT..

Secara umum diharapkan penelitan ini dapat menjadi rujukan penelitian di bidang study agama, khususnya Studi Living Qur’an di perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah yang masih sedikit akan literatur penelitian tentang Studi Living Qur’an.

b. Manfaat Praktis

Dari hasil penelitian karya ilmiah ini diharapkan dapat menambah wacana sekaligus pengetahuan bagi para pembaca, khususnya bagi peneliti dalam mengkaji dan memahami Studi Living Qur’an.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian ini penulis tetap merujuk kepada penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan studi Living Qur’an, walaupun topik yang dibahas tidak sama persis tentang Pemahaman Konsep Ukhuwah dan Studi Living Qur’an. Penelitian-penelitian itu di antaranya:

1) Skripsi yang berjudul “Konsep Ukhuwah dalam Al-Qur’an (Studi Komparatif antara Kitab Tafsir Al-Lubab dan The Messege of The Qur’an)”. Skripsi ini menyimpulkan bahwa (1) Penafsiran Quraish Shihab dalam kitab tafsir AlLubab sangat terlihat konteks ke-Indonesiaan. Seperti dalam menafsirkan beberapa ayat Ukhuwah, nampak sajian yang diberikan oleh Quraish Shihab merupakan solusi dari permasalahan umat Islam, terkhusus di Indonesia (2) Sedang penafsiran Muhammad Asad dalam kitab tafsir The Message of The Quran lebih menitik beratkan pada tindakan bercerai-berai yang merupakan oposisi dari konsep Ukhuwah, serta dijelaskan panjang lebar mengenai balasan dan peringatan bagi orang-orang yang berselisih (3) terdapat kesamaan konsep Ukhuwah antara 2 Penafsir, bahwa tindakan yang berlawanan dengan konsep Ukhuwah

(21)

(persaudaraan) seperti bercerai-berai dan berselisih dapat menimbulkan perpecahan bagi umat itu sendiri, di samping itu tindakan tersebut dibenci dan mengundang murka Allah, sehingga orang-orang yang bercerai-berai akan di jerumuskan dalam api neraka sebagai balasan atas tindakan mereka. Meskipun begitu, jika dilihat, terdapat perbedaan yang dalam konsep Ukhuwah yang ditawarkan oleh Muhammad Asad dan Quraish Shihab yaitu Muhammad Asad menjelaskan ayat-ayat Ukhuwah secara tidak langsung, jelasnya dalam kitab tafsirya Asad lebih banyak membahas mengenai tindakan yang merupakan oposisi dari tindakan Ukhuwah yaitu “bercerai-berai” dan konsekuensi yang akan manusia terima dari tindakan tersebut, termasuk di dalamnya larangan utuk mendekati tindakan tersebut, berbeda dengan Quraish Shihab yang menafsirkan ayat tersebut langsung menyangkut tema pentingnya Ukhuwah, persatuan dan kesatuan dalam umat, yang kemudian dihubungkan dengan bahaya tindakan bercerai-berai dengan berbagai konsekuensinya.

2) skripsi yang berjudul “Makna Kata Ukhuwah dalam Al-Qur’an (Kajian Komparatif antara Ahmad Musthafa Al-Maraghi dan M. Quraih Shihab)”. Skripsi ini memberikan simpulan dalam penelitiannya bahwa persaudaraan menurut al- Ahmad Musthofa al-Maraghi dan M. Quraish Shihab memiliki konsep yang sama dalam menafsirkan kata “Ukhuwah” dalam Al-Qur’an, dimana secara umum antara kedua mufassir tersebut menyepakati bahwa makna kata ukhuwah itu adalah persaudaraan, baik seiman, sekandung atau tidak, bahkan persaudaraan sesama muslim itu juga termasuk dalam ukhuwah. Saudara kandung atau saudara seketurunan seperti pada ayat yang menjelaskan tentang warisan atau mengharamkan mengawini orang-orang tertentu misalnya pada surat an-Nisa’ ayyat 23. Persaudaraan seagama, yang telah sudah dimaklumi terletak pada surat al- Hujurat ayat 10.

3) Jurnal yang berjudul “Al-Ukhuwah Al-Ijtima’iyah wa Al-Insaniyah; Kajian terhadap Pluralisme Agama dan Kerjasama Kemanusiaan”. Dalam jurnal ini dijelaskan mengenai Paradigma kebebasan dan toleransi beragama dalam lslam mengandung ajaran tentang persamaan manusia. Di atas persamaan ini dapat dibentuk persaudaraan dan persahabatan antar pemeluk agama dalam kehidupan sosial berdasarkan kemanusiaan demi terwujudnya ketertiban sosial bersama.

(22)

Dengan demikian dari sisi kemanusiaan, lslam tidak mengenal eksklusivisme, dan dari sisi akidah, Islam juga tidak mengenal intoleransi.

Berikut adalah kutipan ayat dari intoleransi

َني َ ََِذلااَه ََُّيأٰـَي ن ِم ءاَسِن َل َو م ُهن ِم ا ًري َخ اوُنوُكَي َن أ ىَسَع م و َق ن ِم م و َق ر َخس َي َل اوُنَماَء

َُ َّنكَي َن أ ىَسَع ءاَسِن : تارجحلا﴿ .. ِباَقَل ْل اِب او ُزَبا َََنت َل َو ُم كَسُفَن أ او ُزِمَل ت َل َو َّنُهن ِم ا ًري َخ

۱۱

Yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum merendahkan/meremehkan kaumz yang lain. Boleh jadi mereka (yang diremehkan) lebih baik daripada mereka (yang meremehkan). Jangan pula wanita merendahkan wanita yang lain. Boleh jadi wanita (yang diremehkan) lebih baik daripada wanita (yang meremehkan). Janganlah kalian saling mencela dan janganlah kalian saling memanggil dengan panggilan yang buruk”. (QS. Al Hujurot: 11)

Dalam pergaulan social lslam menggariskan kepada umatnya, yaitu tidak boleh berbantahan dengan penganut agama lain melainkan dengan cara yang sopan dan etis, dan mereka boleh berbuat baik dan berlaku adil terhadap komunitas agama lain.

4) Skripsi yang berjudul “Konsep Ukhuwah dalam Perspektif Al-Qur’an (Studi Tafsir Ruh Al-Ma’ani fi Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim Was-Sab’ul Matsani Karya Imam Al-Lusi)”. Skripsi ini memberikan kesimpulamn dalam penelitiannya bahwa:Ukhuwah adalah ikatan atau jalinan persaudaraan yang di kaitkan kepada sebuah suku, ras, serta keturunan. Di dalam al-Qur'ān banyak ayat yang menyebutkan kata ukhuwah, seperti dalam bentuk mufrad mudzakarnya kata

Akh itu di ulang sebanyak 52 kali dan satu kali dalam bentuk tasnihnya. Berikut

adalah contoh ayat tentang ukhuwah dengan Al-Qur’an أَف ة َو ِخ إ َن ُونِمؤ ُمل ا اَمَّنِا ََ َ َََللا ا ُوَّقتا َو ُم كي َو َََخأ َنَي ب اوُحِلَص

َنوُمَحُر ت ُم كَّلَعَل Yang artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Alloh, supaya kamu mendapat rahmat” (QS. Al Hujurot: 10). Sedangkan dalam bentuk mufrad muannasnya di ulang sebanyak 8 kali dan satu kali dalam bentuk tasniah. Dalam bentuk jamak mdzakarnya dari akar kata Akh

(23)

ini ada dua macam yaitu; Ikhwan dan Ikhwah. Kata Ikhwan di ulang sebanyak 22 kali, sedangkan kata Ikhwah di ulang sebanyak 7 kali. Sedangkan dalam bentuk jamak muannasnya di ulang sebanyak 5 kali. Ukhuwah merupakan sebuah jalan untuk tercapainya sebuah kedamaian, sebagaimana di jelaskan dalam surat al-Hujurāt ayat 13. Terdapat beberapa nilai yang terkandung dalam ukhuwah, agar tetap terjalinnya ukhuwah, antara lain: Jangan saling menghina, memanggil dengan gelar buruk, dan mencela, sebagaimana di dalam surat al-Hujurāt ayat 11. Serta tidak boleh berperasangka buruk, sebagaimana di dalam surat al-Hujurāt ayat 12.

Begitupula keberagaman syari'at adalah kehendak Tuhan sendiri, agar kiata saling mengenal satu sama lain sebagiaman surat al-Mā'idah ayat 48, dan surat al-Hujurāt ayat 13. Serta kita di tuntut untuk berbauat baik kepada semua golongan, sebagaimana surat al-Mumtahanah ayat 8. Ini semuah adalah nilainilai ukhuwah yang terdapat dalam al-Qur'ān, untuk menciptakan kedamaian dan keselamatan dunia akhirat.

5) Jurnal yang berjudul “Living Qur’an sebagai Metode Alternatif dalam Studi Al-Qur’an”. Dalam jurnal ini lebih dominan pada konsepsi Kajian Living Quran yang diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan bagi pengembangan studi Al-Quran lebih lanjut. Kajian semacam ini akan lebih banyak mengapresiasi respons dan perilaku masyarakat terhadap kehadiran AlQuran, sehingga tafsir tidak lagi hanya bersifat elitis, melainkan emansipatoris yang mengajak partisipasi masyarakat. Pendekatan fenomenologis, sosiologis, antropologis dan analisis ilmu-ilmu sosial-humaniora serta beberapa disiplin ilmu lainnya, tentu menjadi faktor yang sangat menunjang dalam kajian ini. Lebih lanjut, Living Quran dapat juga dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah dan pemberdayaan masyarakat, sehingga mereka lebih maksimal dalam mengapresiasikan Al-Quran.

6) Jurnal yang berjudul “Living Qur’an; Studi Kasus Pembacaan al-Ma’tsurat di Pesantren Khalid bin Walid Pasir Pengaraian Kabupaten Rokan Hulu”. Dalam jurnal ini disimpulkan bahwa Living Quran masih dinilai sebagai metode baru dalam pengkajian al-Quran. Sejumlah kajian akademis dari pemerhati al-Quran sangat membantu perkembangan teoritis dan terapan aplikatif metode ini.

(24)

Penelitian lapangan terhadap fenomena pembacaan al-Ma’tsurat di Pesantren Khalid Bin Walid Rokan Hulu satu upaya memperkaya memperkaya khazanah pengkajian Living Quran. Besar harapannya penelitian al-Quran menggunakan metode Living Quran berlanjut di kalangan pemerhati al-Quran dengan mengambil objek penelitian yang berbeda sesuai dengan keberagaman kebudayaan lokal.

Dari berbagai macam penelitian sebelumnya masih bahyak yang focus pada penelitian tentang pemaknaan dan pemahaman mengenai Ukhuwah dalam

Al-Qur’an, dan sebagian penelitian lagi masih focus pada kajian Studi Living

Qur’an. Disini peneliti berusaha mengkolaborasikan studi Living Qur’an tentang

pemahaman konsep Ukhuwah dalam Al-Qur’an terhadap lemabag Kemanusiaan ACT.

1.6 Metode Penelitian

Bondan dan Taylor mendefinisikan metode merupakan cara kerja sitematis untuk memudahkan pelaksanaan sebuah kegiatan untuk menemukan tujuan.6 Sehingga metode penelitian merupakan instrument paling penting dalam melakukan penelitian ilmiah untuk mendapatkan data-data tentang objek yang diteliti, sekaligus sebagai penunjang untuk memperoleh data-data yang konkrit sehingga sebuah penelitian dapat dipertanggung jawabkan keilmiahannya. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut:

1.6.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan penelitian pustaka (library research). Maksudnya adalah mengkaji literatur yang berkaitan dengan konsep Ukhuwah. yaitu sebuah penelitian yang bersumber pada data-data dokumentasi, informasi dari kitab-kitab tafsir tentang konsep Ukhuwah dalam AlQur’an dan sumber informasi tentang pemahaman Ukhuwah di lembaga kemanusiaan ACT seperti wawancara, dokumentasi dan literature yang relevan dengan obyek penelitian.7

6 Sulistiyo Basuki, 2010. Metode Penelitian, Jakarta: Penaku, Hal. 93.

7 Mustika Zed, 2008. Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

(25)

1.6.2 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini mengunakan Pendekatan Kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diamati dan perilaku yang diamati. Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan.

Dalam penelitian kualitatif, peneliti sebagai instrumen pokok. Oleh karena hal itu,

peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas agar dapat melakukan wawancara secara langsung terhadap responden, menganalisis, dan mengkontruksikan obyek yang diteliti agar lebih jelas. Penelitian ini lebih menekankan pada makna dan terikat nilai.

1.6.3 Sumber Data

Sumber data merupakan data yang diperoleh dari buku yang terkait dengan konsep emanasi dalam konteks Modern. Berhubung jenis penelitian ini adalah kajian pustaka (library research) dan data lapangan, maka sumber data utama (primary research) dalam penelitian ini adalah karya M Quraish Shihab Tafsir AlLubab, serta hasil wawancara dengan pimpinan/anggota lembaga kemanusiaan ACT.

Ada pun data sekunder yang akan digunakan dalam pembahasan ini diperoleh dari buku-buku yang ditulis oleh peneliti lain yang dipandang memiliki pembahasan yang berkaitan yaitu sebuah penelitian yang bersumber pada datadata dokumentasi, informasi dari berbagai materi dan literatur, baik berupa buku, surat kabar, majalah, ensiklopedi, catatan, serta karya- karya ilmiah yang berupa makalah atau artikel-artikel yang relevan dengan obyek penelitian

(26)

1.6.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data digunakan untuk menemukan arti penting dalam sebuah penelitian dalam bentuk fakta, realitas kejadian, gejala ataupun masalah dapat tercapai dengan baik.8 Adapun metode pengumpulan data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kata kunci "خا" atau "ةاوخا" dalam proses analisis untuk mengetahui dan mendapatkan sumber sebanyak munckin yang berhubungan dengan konsep Ukhuwah.

1.6.5 Metode Analisis Data

Setelah melakukan pengumpulan data tahap selanjutnya adalah menganalisis dan mengolah data. Hal ini dianggap penting karena data yang diperoleh melalui kitab tafsir klasik dan modern dan dokumen hasil waancara yang terkait dengan masalah yang di bahas merupakan data yang belum dikelola bersifat mentah dan belum layak untuk disajikan. Sehingga perlu adanya pengelolahan data. Pengolahan atau analisis terhadap data mentah membuat data memiliki makna dan dapat memecahkan masalah penelitian.9

Metode diskriptif merupakan metode yang sesuai untuk menganalisis penelitan ini. Metode diskriptif merupakan suatu analisis yang digunakan untuk memahami fokus kajian yang sangat kompleks dengan melakukan pemisahan melalui pengumpulan data. Pemisahan data bertujuan untuk memudahkan peneliti dalam menganalisis data.10 Berikut analisis data yang akan dilakukan: proses analisis data dimulai dengan menelaah data yang diperoleh dari berbagai sumber.11

8 J.R. Raco.2010. Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karekteristik dan Keunggulannya, Jakarta: Grasindo, Hal. 172

9 M. Junaidi Ghony dan Fuzan Almanshur, 2012. Metode Penelitian Kualitatif,

Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, Hal. 245

10 Moh, Soehada, 2008. Metode Penelitian Sosiologi Agama (Kualitatif), Yogyakarta: Bidang Akademik, Hal. 115

11 M. Junaidi Ghony dan Fuzan Almanshur, 2012 Metode Penelitian Kualitatif,

(27)

Selanjutnnya menyusun data dalam satuan kategori data sesuai dengan tipe data kemudian melakukan reduksi data secara keseluruhan dari data yang telah diperoleh. Setelah itu tahap analisis dengan menggunakan teori filsafat Islam sebagai pisau analisis dalam penelitian ini. Dalam penyajiannya penelitian menyajikan dalam bentuk tulisan dengan menerangkan dengan apa adanya seperti yang diperoleh dari penelitian dan mencoba disajikan dalam bentuk yang sistematis sehingga mudah untuk dipahami oleh pembaca.

1.7 Sistematika Penelitian

Sistematika pembahasan dilakukan guna untuk mengarahkan pembahasanpembahasan dalam penulisan penelitian ini serta untuk mempermudah dan memahami pembahasan isi hasil penelitian. Dalam penyusunan penelitian ini peneliti membagi pembahasan dalam lima bab dan beberapa sub bab untuk memperoleh gambaran yang sistematis. Adapun sistematika pembahasan dalam bentuk bab dan sub bab adalah sebagai berikut:

BAB I, dalam bab ini dimulai dengan pendahuluan secara keseluruhan, isi pendahuluan merupakan penjelasan-penjelasan yang erat hubungannya dengan masalah yang akan dibahas dalam penulisan karya tulis, latar belakang masalah. Sub bab kedua batasan masalah. sub bab selanjutnya tujuan penelitian. Tinjauan pustaka menempati sub bab ke empat. sub ke lima metode penelitian. Dan sistematika penulisan sebagai sub terakhir dalam bab I.

BAB II, bab ini berisi tentang tentang pengertian studi Living Qur’an dan perkembangannya di Indonesia.

BAB III, bab ini berisi tentang Konsep Ukhuwah dalam Perspektif Al- Qur’an yang berupa Pengertian Ukhuwah, dan macam-macam Ukhuwah serta ayat-ayat Ukhuwah dalam Al-Qur’an.

BAB IV, bab ini berisi tentang pemahaman konsep ukhuwah bagi lembaga kemanusiaan ACT, berupa sejarah berdirinya ACT, serta pembahasan mengenai Pemahaman terhadap Konsep Ukhuwah dalam Al-Qur’an (Living Qur’an) pada lembaga Kemanusiaan ACT, serta implikasinya ataupun aplikasi dari pemahaman konsep Ukhuwah dalam Al-Qur’an pada lembaga kemanusiaan ACT.

(28)

BAB V, bab ini merupakan bagian akhir yang berisi tentang kesimpulan dari rumusan masalah dan saran untuk para peneliti yang akan membahas tentang masalah yang berkaitan dengan penelitian ini..

(29)
(30)

BAB II

STUDI LIVING QUR’AN

2.1 Pengertian Studi Living Qur’an

Ditinjau dari segi bahasa, Living Qur’an adalah gabungan dari dua kata yang berbeda, yaitu living, yang berarti ‘hidup’ dan Qur’an, yaitu kitab suci umat Islam. Secara sederhana, istilah Living Qur’an bisa diartikan dengan “(Teks) Al- Qur’an yang hidup di masyarakat”.12

Living Qur’an bermula dari fenomena Qur’an in everyday life, yang berarti

makna dan fungsi yang riil, nyata dipahami, dialami dan dirasakan oleh masyarakat Muslim. Living Qur’an dapat juga diartikan sebagai studi tentang beragam fenomena atau fakta sosial yang berhubungan dengan kehadiran AlQur’an di dalam sebuah kelompok masyarakat tertentu yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.13

Muhammad Yusuf dalam hal ini mengatakan bahwa Living Qur’an dapat dikatakan sebagai respon sosial (realitas) terhadap Al-Qur‟an, baik itu Al-Qur‟an dilihat sebagai ilmu, dalam wilayah profane (tidak keramat) di satu sisi dan sebagai buku petunjuk dalam yang bernilai sakral di sisi yang lain.14

Heddy Shri Ahimsa-Putra mengklasifikasikan pemaknaan terhadap Living

Qur’an menjadi tiga kategori. Pertama, Living Qur’an adalah sosok Nabi

Muhammad SAW yang sesungguhnya. Hal ini didasarkan pada keterangan dari Siti Aisyah ketika ditanya tentang akhlak Nabi Muhammad SAW, maka beliau menjawab bahwa akhlaq Nabi SAW. adalah Al-Qur’an. Dengan demikian Nabi Muhammad SAW adalah “Al-Qur’an yang hidup,” atau Living Qur’an. Kedua, ungkapan Living Qur’an juga bisa mengacu kepada suatu masyarakat yang kehidupan sehari-harinya menggunakan Al-Qur’an sebagai kitab acuannya. Mereka hidup dengan mengikuti apa-apa yang diperintahkan Al-Qur’an dan

12 Sahiron Syamsuddin, “Ranah-ranah Penelitian dalam Studi Al-Qur’an dan

Hadis,” dalam Sahiron Syamsuddin (ed.), Metode Penelitian Living Qur’an dan Hadis (Yogyakarta:

Teras, 2007), Hal. xiv.

13 Muhammad Mansur, “Living Qur‟an dalam Lintasan sejarah studi Alquran”,

dalam Sahiron Syamsuddin (Ed.), Metode Penelitian Living Qur‟an dan Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2007), Hal. 8.

(31)

36.

menjauhi hal-hal yang dilarang di dalamnya, sehingga masyarakat tersebut seperti “Al-Qur’an yang hidup”, Al-Qur’an yang mewujud dalam kehidupan sehari-hari mereka. Ketiga, ungkapan tersebut juga dapat berarti bahwa Al-Qur’an bukanlah hanya sebuah kitab, tetapi sebuah “kitab yang hidup”, yaitu yang perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari begitu terasa dan nyata, serta beraneka ragam, tergantung pada bidang kehidupannya.12

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Living Qur’an adalah suatu kajian ilmiah dalam ranah studi Al-Qur’an yang meneliti dialektika antara Al-Qur’an dengan kondisi realitas sosial di masyarakat. Living Qur’an juga berarti praktek-praktek pelaksanaan ajaran Al-Qur’an di masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Seringkali praktek-praktek yang dilakukan masyarakat, berbeda dengan muatan tekstual dari ayat-ayat atau surat-surat Al-

Qur’an itu sendiri.

Berikut adalah contoh-contoh penelitian Living Qur’an yang sudah dilakukan oleh beberapa peneliti. Pertama, sebuah skripsi pada UIN Kalijaga Yogyakarta, yang ditulis oleh Uswatun Hasanah pada tahun 2008, dengan judul

Studi terhadap Tujuan Membaca Al-Qur’an Masyarakat Dusun Sukorejo, Desa Kenteng, Kec. Susukan, Kab. Semarang Jawa Tengah. Dalam skripsi tersebut

menjelaskan tentang berbagai tujuan membaca Al-Qur’an bagi masyarakat Dusun Sukorejo di antaranya sebagai ibadah, sebagai media pengobatan, sebagai wirid, sebagai jimat dan sebagai mahabbah.13

Kedua, Skripsi pada UIN Yogyakarta yang ditulis oleh Didik Andriawan

pada tahun 2013 dengan judul Penggunaan Ayat Al-Qur’an Sebagai Pengobatan:

Studi Living Qur’an pada Praktek Pengobatan Dr. KH. Komari Safullah, Pesantren Sunan Kalijaga, Desa Pakuncen, Kec. Patianrowo, Kab. Nganjuk.

12 Heddy-Shri-Ahimsa-Putra, “The Living Al-Qur’an: Beberapa Perspektif Antropologi,”

dalam Jurnal Walisongo 20, 1 (Mei 2012): 236-237.

13 Uswatun hasanah, “Studi terhadap Tujuan Membaca Alquran Masyarakat Dusun

(32)

Dalam skripsi tersebut Didik menjelaskan bahwa KH. Komari Safullah

menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai pengobatan dengan cara intuisi serta keyakinan terhadap ayat-ayat tersebut.14

Ketiga, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Didi Junaedi pada tahun

2014 yang berjudul Living Qur’an di Pesantren; Studi Tentang Tradisi

Pembacaan Surat Al-Wãqi’ah Setiap Hari Di Pondok Pesantren As-Siroj Al- Hasan Desa Kalimukti, Kec. Pabedilan, Kabupaten Cirebon. dalam penelitian tersebut

dijelaskan tentang tradisi pembacaan surat al-Wãqi’ah setiap hari di pesantren As-Siroj Al-Hasan.15

2.1.1 Living Qur’an di Tengah Masyarakat

Berinteraksi dengan Al-Qur‟an merupakan bagian dari Living Qur’an yang menjadi pengalaman tersendiri bagi umat Islam, pengalaman berinteraksi dengan Al-Qur’an banyak menghasilkan pemahaman dan penghayatan yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.16

Kegiatan yang dapat dihasilkan dari berinteraksi bersama Al-Qur’an meliputi berbagai macam bentuk kegiatan. Di antara bentuk kegiatan tersebut bisa berupa membaca Al-Qur’an, memahami dan menafsirkan Al-Qur’an, menghafal Al-Qur’an, berobat dengan Al-Qur’an, memohon berbagai hal dengan Al-Qur’an, mengusir makhluk halus dengan Al-Qur’an, menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an untuk hiasan maupun untuk menangkal gangguan, dan menerapkan ayat-ayat AlQur’an

14 Didik Andriawan, “Penggunaan Ayat Alquran Sebagai Pengobatan: Studi Living

Qur‟an pada Praktek Pengobatan Dr. KH. Komari Safullah, Pesantren Sunan Kalijaga, Desa Pakuncen, Kec. Patianrowo, Kab. Nganjuk”, (Yogyakarta: UIN Yogyakarta, 2013).

15 Didi Junaedi, “Living Qur‟an di Pesantren; Studi Tentang Tradisi Pembacaan Surat Al-

Waqi‟ah Setiap Hari di Pondok Pesantren As-Siroj Al-Hasan Desa Kalimukti, Kec.

Pabedilan, Kabupaten Cirebon”, (Cirebon: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada

Masyarakat, Pusat Penelitian dan Penerbitan IAIN Syekh Nurjati, 2014).

16 Muhammad, “Mengungkap Pengalaman Muslim Berinteraksi dengan Al-Qu‟ran”

(33)

tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah beberapa penjelasan terkait bentuk kegiatan pengalaman berinteraksi dengan Al-Qur’an.17

1. Belajar Membaca Al-Qur’an

Belajar membaca Al-Qur’an biasanya merupakan langkah pertama yang dilakukan oleh seorang Muslim dalam interaksinya bersama Al-Qur’an. Jika pada masa lalu orang muslim membutuhkan waktu yang lama dalam mempelajari AlQur’an, maka untuk saat sekarang terdapat metode-metode yang dapat digunakan dalam belajar cepat membaca Al-Qur’an. Metode tersebut misalnya metode Qiraati, Iqra’, Yanbu Al-Qur’an dan al-Barqi yang masing-masing memiliki cara sendiri dalam memberikan kemudahan dan kecepatan tertentu dalam pembelajaran membaca Al-Qur’an.18

2. Membaca Al-Qur’an

Membaca Al-Qur’an di kalangan Muslim sudah menjadi hal biasa yang dilakukan sehari-hari. Hal tersebut baik dilakukan secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dan baik dibaca ayat demi ayat maupun surat demi surat. Membaca Al-Qur’an pun ada yang melakukannya disertai penandaan terhadap AlQur’an seperti menandai bagian-bagian ayat yang dipandang urgen dengan alat tulis pena baik dengan melingkari, menggarisbawahi atau memberikan catatan garis pinggir. Pembacaan Al-Qur’an pun terkadang ada individu yang menghususkan membaca Al-Qur’an pada waktu dan tempat tertentu. Misalnya membaca Al-Qur’an dilakukan ketika malam jumat, di dalam masjid, di tempat pengajian atau di makam tokoh seperti mkam Sunan Kalijaga, mengenai hal ini, patut digali informasi tentang latar belakang, motivasi, obsesi, harapan dan tujuan serta pencapaian yang mungkin dialami oleh yang bersangkutan.19

17 Muhammad, “Mengungkap Pengalaman Muslim Berinteraksi dengan Al-Qu‟ran”

dalam Sahiron Syamsuddin (Ed.), Metode Penelitian Living Qur‟an dan Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2007),. Hal. 14

18 Muhammad, “Mengungkap Pengalaman Muslim Berinteraksi dengan Al-Qu‟ran”

dalam Sahiron Syamsuddin (Ed.), Metode Penelitian Living Qur‟an dan Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2007),. Hal. 14

19 Muhammad, “Mengungkap Pengalaman Muslim Berinteraksi dengan Al-Qu‟ran”

(34)

2.2 Perkembangan Studi Living Qur’an

Jika ditelisik secara historis, praktek memperlakukan Al-Qur’an, suratsurat atau ayat-ayat tertentu di dalam Al-Qur’an untuk kehidupan praksis umat,

pada hakekatnya sudah terjadi sejak masa awal Islam, yakni pada masa Rasulullah SAW.

Sejarah mencatat, Nabi Muhammad SAW. dan para sahabat pernah melakukan praktek ruqyah, yaitu mengobati dirinya sendiri dan juga orang lain yang menderita sakit dengan membacakan ayat-ayat tertentu di dalam Al- Qur’an. Hal ini didasarkan atas sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam al- Bukhari dalam Sahih al-Bukhari. Dari ‘Aisyah r.a. berkata bahwa Nabi

Muhammad SAW. pernah membaca surat al-Mu‘awwidhatain, yaitu surat alFalaq dan al-Nas ketika beliau sedang sakit sebelum wafatnya.20 Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa sahabat Nabi pernah mengobati seseorang yang tersengat hewan berbisa dengan membaca al-Fatihah.

Dari beberapa keterangan riwayat hadis di atas, menunjukkan bahwa praktek interaksi umat Islam dengan Al-Qur’an, bahkan sejak masa awal Islam, dimana Nabi Muhammad SAW. masih hadir di tengah-tengah umat, tidak sebatas pada pemahaman teks semata, tetapi sudah menyentuh aspek yang sama sekali di luar teks. Jika kita cermati, praktek yang dilakukan Nabi Muhammad SAW Dengan membaca surat al-Mu‘awwidhatain untuk mengobati sakitnya, jelas sudah di luar teks. Sebab secara semantis tidak ada kaitan antara makna teks dengan penyakit yang diderita oleh Nabi Muhammad SAW, demikian juga halnya dengan praktek yang dilakukan oleh sahabat Nabi yang membacakan surat al- Fatihah untuk mengobati orang yang terkena sengatan kalajengking. Secara makna, rangkaian surat al-Fatihah sama sekali tidak ada kaitannya dengan sengatan kalajengking.

Dari beberapa praktek interaksi umat Islam masa awal, dapat dipahami jika kemudian berkembang pemahaman di masyarakat tentang fadilah atau khasiat serta keutamaan surat-surat tertentu atau ayat-ayat tertentu di dalam Al-Qur’an sebagai obat dalam arti yang sesungguhnya, yaitu untuk menyembuhkan penyakit fisik. Di 20 Imam al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Bab al-Raqa bi Al-Qur’an, CD Rom, Maktabah

(35)

samping beberapa fungsi tersebut, Al-Qur’an juga tidak jarang digunakan masyarakat untuk menjadi solusi atas persoalan ekonomi, yaitu sebagai alat untuk memudahkan datangnya rezeki.

2.3 Urgensitas Living Qur’an

Muhammad Yusuf21 yang mengutip John Middelton dalam The Religious

System menyatakan bahwa model penelitian Living Al-Qur’an dapat disebut

sebagai penelitian keagamaan (religious research) yang menempatkan agama sebagai sistem keagamaan, yakni sistem sosiologis, suatu aspek organisasi sosial dan hanya dapat dikaji secara tepat jika karakteristik itu diterima sebagai titik tolak. Jadi, bukan meletakkan agama sebagai doktrin, tapi agama sebagai gejala sosial.22 Dengan demikian, penelitian Living Qur’an tidaklah dimaksudkan untuk mencari kebenaran positivistik yang selalu melihat konteks, tetapi semata-mata melakukan “pembacaan” objektif terhadap fenomena keagamaan yang terkait langsung dengan Quran. Penelitian model ini juga tidak mencari kebenaran agama lewat Al-Qur’an atau menghakimi seseorang atau kelompok tertentu, tetapi lebih mengedepankan penelitian tentang tradisi yang menggejala (baca: fenomena) di masyarakat ditinjau dari persepsi kualitatif.

Living Al-Qur’an dimaksudkan bukan bagaimana individu atau sekelompok

orang memahami Al-Qur’an (Penafsiran), tetapi bagaimana AlQur’an itu disikapi dan direspon masyarakat muslim dalam realitas kehidupan sehari-hari menurut konteks budaya dan pergaulan sosial. Sebagaimana telah diungkap di atas, orientasi studi Al-Quran selama ini lebih banyak pada kajian teks, karena itu wajar jika kemudian Nasr Hamid Abu Zayd mengistilahkan peradaban Islam sebagai

hadharah an-Nash (peradaban teks). Kerana itu pula produk kitab tafsir lebih

banyak ketimbang ktab-kitab lainnya, meski jika dicermati lebih jauh produk tafsir abad pertengahan cendrung repetitive. Dan pada perkembangannya, penelitian Al-Quran yang berorientasi resepsi hermeneutik belaka lebih banyak ketimbang studi yang berkaitan dengan aspek resepsi kultural dan estetik.

21 Muhammad Yusuf, Pendekatan Sosiologi dalam Penelitian Living Al-Qur’an, dalam

Metodologi Penelitian Living Al-Qur’an, …h. 49.

(36)

Jika selama ini ada kesan tafsir dipahami harus berupa teks verbal, maka sebenarnya tafsir tersebut bisa diperluas untuk dapat mengimbanginya dengan

semua aspek non-verbal dari teks tersebut. Seperti respon atau praktik perlaku suatu mayarakat yang diinspirasi oleh kehadiran Quran. Hal ini dalam bahasa Al-Quran disebut dengan istilah tilawah (pembacaan yang berorientasi pada pengamalan) yang berbeda dengan qira’ah (pembacaan yang berorientasi pada pemahaman).23 Maka, melalui kajian Living Quran, diharapkan dapat memberikan

kontribusi yang signifikan bagi pengembangan studi Al-Quran lebih lanjut. Kajian tafsir akan lebih banyak mengapresiasi respon dan perilaku masyarakat terhadap kehadiran Al-Quran, tafsir tidak lagi hanya bersifat elitis, melainkan emansipatoris yang mengajak partisipasi masyarakat. Pendekatan fenomenologis, analisis ilmu-ilmu sosial-humaniora dan beberapa disiplin ilmu-ilmu lainnya, tentu menjadi faktor yang sangat menunjang dalam kajian ini.

Labih lanjut, Living Quran dapat juga dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah dan pemberdayaan masyarakat, sehingga mereka lebih maksimal dalam mengapresiasikan Al-Quran. Seperti fenomena menjadikan Al-Quran sebagai jimat, mantera dan berbagai fenomena lain sebagaimana telah diungkap di atas. Dari kajian ini pula nantinya dapat diketahui lebih komprehensif latarbelakang serta aspek-apek yang mempengaruhi “perilaku miring” masyarakat tersebut. Hingga kemudian, cara pikir klenik secara bertahap dapat ditarik kepada cara pikir akademik. Karena menjadikan Al-Quran hanya sebagai tamimah dapat dipandang merendahkan fungsi Al-Quran, meski sebagian ulama ada yang membolehkannya.24

Metode Living Quran tidaklah dimaksudkan untuk mencari kebenaran positivistik yang selalu melihat konteks, tetapi semata-mata melakukan “pembacaan” objektif terhadap fenomena keagamaan yang terkait langsung dengan Al-Quran. Sebagai upaya pembacaan teks Al-Quran yang lebih komprehensif dari berbagai dimensinya. Maka, wilayah studi teks Al-Quran tidak lagi merupakan hal

23 Ibn Faris, Mu’jam Maqayis al-Lugah,(Bairut: Dar al-Ihya, 2001). h. 154 dan lihat, ar- Ragib al-Isfahani, Mu’jam Mufradat al-Faz Al-Qur’an,(Bairut: Dar al-Fikr, tt). h. 71-72

(37)

yang bersifat elitis, tetapi bersifat emansipatoris yang akan mengajak dan melibatkan banyak orang dengan berbagai disiplin ilmu terkait.

Sebagai metode yang relatif baru dalam ranah studi Al-Quran, secara teoritik metode ini tidak menjadi persoalan, namun secara metodik-konseptual metode ini boleh dibilang masih mencari bentuk yang dapat dijadikan semacam acuan. Sebagai kajian yang berangkat dari fenomena sosial, tentu bentuk penelitian fenomenologis adalah bentuk penelitian yang dapat ditawarkan dalam metode

Living Qur’an ini. Meskipun demikian, tidaklah berarti semata-mata pendekatan

kualitatif-fenomenologis menjadi satu-satuya metode penelitian ini. Karena itu pula berbagai pendekatan dan metode penelitian dapat dipakai, dengan mempertimbangkan aspek fokus dan analisis penelitian.

(38)

BAB III

KONSEP UKHUWAH DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

3.1 Pengertian Ukhuwah

Secara bahasa, dalam kamus Lisan Al-‘Arab kata َخأ yang memiliki asal kata

akhwun (وخا ) bermakna; pertama, saudara senasab atau saudara sekandung. Kedua,

َخأ juga bermakna teman dekat/sahabat. Dalam kitab Tahdzibut Tahdzib yang dikutip dalam kamus Lisan Al-‘Arab, Al-akhwu (وخلاا ) adalah tunggal (dalam arti saudara 1), sedang yang 2 saudara disebut akhowaani (ناوخا ) dan jamaknya adalah

ikhwan (ناوخا ) atau ikhwah )ةوخا(.25

Secara istilah, Ukhuwah (ةوخأ ) dapat diartikan sebagai persaudaraan, terambil dari akar kata yang awalnya berarti “memperhatikan”. Sehingga dari makna asal ini, Ukhuwah memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara. Menurut Quraish Shihab, kemunginan perhatian itu pada mulanya lahir karena adanya persamaan antara sesama pihak yang bersaudara, sehingga kemudian makna tersembut berkembang, sampai akhirnya Ukhuwah dipahami sebagai “setiap persamaan dan keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari segi ibu, bapak, atau keduanya, maupun dari segi persusuan”.26

Secara mujazi kata Ukhuwah (persaudaraan) mencakup persamaan dalam kamus-kamus bahasa arab ditemukan bahwa kata َخأ yang membentuk kata Ukhuwah digunakan juga dengan arti teman akrab atau sahabat, sedang kata َخأ dalam bentuk tunggal ditemukan sebanyak 52 kali, beberapa diantaranya bermakna saudara kandung- seperti pada ayat ayat yang berbicara tentang kewarisan dan sebagian lainnya. Selain bentuk tunggal, ada pula bentuk jamak dari kata َخأ yang dikenal dalam dua bentuk, pertama, ikhwaanun ناوخا , yang biasanya bermakna persaudaraan dalam arti tidak sekandung. Kata ikhwaanun ( ناوخا ) dalam

Al-25 Ibnu Manzur, Lisan Al-Arab, Jilid 1, (Bairut: Daru Sadir), Hal. 40. 26

(39)

Qur’an dikenal sebanyak 22 kali, yang sebagiannya di sandingkan dengan kata

ad-Diin )نيدلا(,27 seperti dalam surat At-Taubah ayat 11:

فُن َو ۗ ِني ِدلٱ ِىف َُْمكُن َٰو َِْخإَف َة ٰوَك َّزلٱ ۟ا ََُوتاَء َو َة ٰوَلَّصلٱ ۟اوُما َََقأ َو ۟اوُبَات ِنإَف ٍم ْوَقِل ََِتٰياَءْلٱ ُل ََ ِص

َنوُمَلْعَي 11. Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka

(mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. dan kami menjelaskan ayatayat itu bagi kaum yang Mengetahui.

Kedua, selain kata Ikhwan ( ناوخا ) adalah kata ikhwah ( ةوخا ) yang terdapat dalam Al-Qur’an sebanyak tujuh kali. Keseluruhannya digunakan untuk makna persaudaraan seketurunan (kecuali satu ayat: Innamaa Al-Mu’minunna Ikhwat (Al-Hujuraat: 10).28

Dari dasar diatas, menarik dicari jawaban mengapa Al-Qur’an ketika berbicara tentang Ukhuwah Imaniyah/Islamiyah itu menggunakan kata jamak dari َخأ yang berbentuk ikhwah ( ةوخا ), yang biasanya selalu digunakan untuk arti persaudaraan seketurunan. Atau, lebih ringkas mengapa Al-Qur’an ketika berbicara tentang Ukhuwah Islamiyah tidak menggunakan kata نوخا , sedang kata ini selalu digunakan untuk makna persaudaraan yang tidak seketurunan. Jika kita analisa, bukankah jika kita melihat kondisi saudara-saudara seIslam dan seiman, terdiri dari banyak bangsa, suku, yang tentunya tidak seketurunan.29

Dalam masalah ini, Quraish Shihab menganggap bahwa hal ini bertujuan untuk mempertegas dan mempererat jalinan hubungan antara sesama muslim. Seakan hubungan tersebut dijalin bukan saja karena keimanan mereka yang mengikat mereka satu sama lain yang ditunjukkan dengan kata Al-Mu’minun, akan tetapi juga seakan diikat oleh persaudaraan seketurunan yang ditunjukkan dengan kata ikhwah ( ةوخا ), sehingga tidak ada satu alasan pun untuk merusak hubungan antara mereka.30

27 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam

Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994) Hal. 357

28 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam

Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994). Hal. 357

29 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam

Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994). Hal. 357

(40)

Kata mufrad akhun ( َخأ ) yang bermakna saudara laki-laki dan memiliki jamak ikhwan (ناوخا ) atau ikhwah (ةوخا ), adapula kata mufrad ukhtun (تَخأ ) yang bermakna saudara perempuan. Sedang jamak kata تَخأ yaitu akhwaatun ( تاوَخأ ), yang dalam penelitian ini, kata تاوَخأ tidak masuk dalam pembahasan tema besar ukhuwah.

Ketika berbicara mengenai Ukhuwah, masyarakat muslim secara umum sangat akrab dengan istilah Ukhuwah Islamiyah. Hal ini yang pelu didudukkan maknanya, sehingga bahasan yang dilakukan tentang Ukhuwah tidak mengalami kerancuan. Untuk itu terlebih dahulu perlu dilakukan tinjauan kebahasaan untuk menetapkan kedudukan kata Islamiyah dalam istilah di atas. Kesan yang ditimbulkan dari istilah Ukhuwah Islamiyah bermakna “persaudaraan yang dijalin oleh sesama muslim”, atau dengan kata lain, “persaudaraan antara sesama muslim”, sehingga dengan demikian kata “Islamiyah” dijadikan pelaku Ukhuwah itu.31

Pemahaman ini dirasa kurang tepat, karena sebenarnya kata Islamiyah yang dirangkaikan dengan kata Ukhuwah lebih tepat dipahami sebagai adjektifa. Sehingga kesimpulan dari makna Ukhuwah Islamiyah berarti “persaudaraan yang bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam”. Dalam menetapkan pendapat ini, Quraish Shihab berdasar kepada 2 pendapat. Pertama, Al-Qur’an dan hadis memperkenalkan bermacam-macam persaudaraan, seperti yang akan diuraikan selanjutnya. Kedua, karena alasan kebahasaan. Di dalam bahasa arab, kata sifat selalu harus disesuaikan dengan yang disifatinya. Jika yang disifati berbentuk indentitif maupun feminin, kata sifatnya pun harus demikian. Ini terlihat jelas, pada saat kita berkata Ukhuwah Islamiyah dan Al-Ukhhuwwah Al-Islamiyah.32

3.2 Macam-Macam Ukhuwah

Menurut Quraish Shihab, kalau kita mengartikan ukhuwah dalam arti “persamaan” sebagaimana arti asalnya dan penggunaananya dalam beberapa ayat dan hadits, kemudian merujuk kepada Al-Qur‟an dan sunnah, maka paling tidak kita dapat menemukan ukhuwah tersebut tercermin dalam empat hal berikut:33

31 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam

Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), Hal. 358

32 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan

Referensi

Dokumen terkait