• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAFSIR KONTEKSTUAL ATAS MODERASI DALAM AL- QUR AN: SEBUAH KONSEP RELASI KEMANUSIAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TAFSIR KONTEKSTUAL ATAS MODERASI DALAM AL- QUR AN: SEBUAH KONSEP RELASI KEMANUSIAAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

DOI:10.23971/jsam.v17i1.2717 W : http://e-journal.iain-palangkaraya.ac.id/index.php/jsam E : Jsam.iainpky@gmail.com

TAFSIR KONTEKSTUAL ATAS MODERASI DALAM

AL-QUR’AN: SEBUAH KONSEP RELASI KEMANUSIAAN

Mahbub Ghozalia,1,*, Derry Ahmad Rizalb,2

ab UIN Sunan Kalijaga, Jl. Laksda Adisucipto, Yogyakarta, 55281, Indonesia 1 mahbub.ghozali@uin-suka.ac.id*; 2 derry.rizal@uin-suka.ac.id

087859577770

ARTICLE INFO ABSTRACT

Article history: Received : 2021-03-20 Revised : 2021-06-13 Accepted : 2021-06-22

This study focused on the meaning of the word moderate in the Qur'an contextually with reference to the QS. [2]: 143 and QS. [5]: 66. The idea of concept on religious moderation was still related to the meaning and urgency of moderate attitude by linking this attitude to the behavior of certain religious people. There were three problems in this study, (1) what was the form of the meaning of wasth and muqtashid? (2) what were the factors behind the meaning? (3) how the contextual meaning was generated. To respond the research problem, this study used a qualitative method using content analysis. This study revealed that the mention of moderate party in the Qur'an was not limited to Muslims, but also refers to other people. This was based on the similarity of meaning between the word wasth which was used to refer to Islam and muqtasid which was used to refer to Jews and Christians. Moderate was thus not identical to religion, but it was oriented to the attitude of humanity owned by everyone regardless of religion. Moderation thus did not always indicate the relationship between religion, but the relationship between human being.

ABSTRAK

Penelitian ini fokus pada pemaknaan kata moderat dalam al-Qur’an secara kontekstual dengan mengacu pada QS. [2]: 143 dan QS. [5]: 66. Gagasan tentang konsep moderasi yang masih berkaitan dengan pemaknaan dan urgensi sikap moderat dengan mengaitkan sikap ini pada perilaku umat agama tertentu. Terdapat tiga problem yang diangkat dalam penelitian ini, (1) bagaimana bentuk pemaknaan

wasth dan muqtashid? (2) bagaimana faktor-faktor yang melatarbelakangi pemaknaannya? (3) bagaimana makna kontekstual yang dihasilkan. Untuk menjawab problem penelitian tersebut, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian analisis isi (content analysis). Penelitian ini menyimpulkan bahwa penyebutan golongan moderat dalam al-Qur’an tidak dibatasi pada umat Islam saja, akan tetapi juga merujuk pada umat lainnya. Hal demikian didasarkan pada kesamaan makna antara kata wasth yang digunakan untuk menyebut Islam dan muqtasid yang digunakan untuk menyebut umat Yahudi dan Nasrani. Moderat dengan demikian tidak identik pada agama, akan tetapi berorientasi pada sikap kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap orang tanpa membedakan agama. Moderasi dengan demikian tidak selalu menunjukkan pada hubungan antara agama, akan tetapi hubungan antar manusia. Keywords: Moderation, Human Relations, Religion, Indonesia, Contextual Kata kunci: Moderasi, Hubungan Kemanusiaan, Agama, Indonesia, Kontekstual

(2)

I. Pendahuluan

Konsep moderasi yang selama ini hanya difokuskan pada konsep pemaknaannya dalam Islam dengan mengacu pada term yang disebutkan dalam al-Qur’an (Al-S{ala>bi>, 2001), telah kehilangan makna kontekstualnya. Sebutan moderat dalam al-Qur’an tidak hanya ditunjukkan kepada umat Islam saja, akan tetapi juga ditunjukkan juga ke umat lain yang memiliki tujuan yang lurus (Al-Sha’ra>wi>, 1991, hlm. 3284). Pembatasan makna berimplikasi pada ketidakadilan pemaknaan, sehingga menyebabkan makna moderasi kehilangan sifat kontekstualnya (Safi, 2003, hlm. 6). Pemaknaan atas dua bentuk objek yang berbeda yang disebutkan dalam al-Qur’an dalam memaknai konsep moderat dapat berimplikasi pada pemahaman yang lebih adil dan setara. Umat Islam dan umat agama lain dapat disebut dengan golongan moderat jika memenuhi kriteria yang ditetapkan. Pemenuhan unsur kriteria tersebut dapat dicapai oleh setiap kelompok tanpa harus terfokus pada salah satu kelompok agama.

Sejauh ini, penelitian yang berkaitan dengan makna moderat dalam al-Qur’an hanya difokuskan pada ayat-ayat yang secara spesifik menyebutkan umat Islam. Penyebutan umat lain sebagai golongan yang moderat diabaikan. Sejalan dengan ini, terdapat tiga pola yang dapat dipetakan dalam penelitian yang berkaitan dengan moderasi dalam al-Qur’an. Pertama, studi tentang konsep moderat dalam al-Qur’an beserta implikasinya terhadap umat Islam (Ali, 2015; Shami & Qudah, 2020; Al-sumaidaei, 2018; Hamdaan, 2018; Kaku, 2017; Kambooa, 2018). Konsep moderasi disimpulkan sebagai upaya preventif bagi umat Islam untuk mengatasi sikap intoleran dan ekstrimisme (Dodego & Witro, 2020a).

Kedua, studi yang mengungkapkan makna

moderat dalam al-Qur’an (Az Zafi, 2020; Faisal, 2020; Ramdhan, 2018). Ketiga, studi yang menjelaskan moderasi dalam berbagai konsep yang dikaitkan dengan pemaknaan dalam al-Qur’an (Akhmadi, 2019; M. K. Arif, 2020; Busyro, Ananda, & Adlan, 2019; Rozi, 2019). Dari ketiga kecenderungan tersebut, tidak ada studi yang menempatkan term moderat dalam dua sisi, yakni penyebutan

umat Islam sebagai ummatan wasathan dan umat lain sebagai ummatun muqtashidatun. Studi yang menempatkan kata moderat dalam dua sisi memungkinkan memahami kata moderat lebih kontekstual yang melahirkan pemahaman bahwa sikap moderat merupakan sikap alamiah seluruh manusia tanpa pembedaan agama.

Tulisan ini ditujukan untuk melengkapi kekurangan dalam studi terdahulu dengan menganalisis penggunaan kata moderat untuk umat Islam dan umat lainnya di al-Qur’an. Penelitian ini menggunakan dua ayat, yakni QS. [2]: 143 dan QS. [5]: 66. Sejalan dengan itu, tiga problem dapat dirumuskan dalam penelitian ini. Pertama, bentuk pemaknaan

wasth dan muqtashid yang diberikan oleh

para mufassir, baik dari kalangan klasik maupun kontemporer. Bentuk pemaknaan ini dapat menjadi rujukan dalam memberikan konsep moderat yang dimaksudkan oleh al-Qur’an kepada dua golongan tersebut. Kedua,

faktor-faktor yang melatarbelakangi pemaknaannya yang berkaitan dengan sudut pandang yang diberikan oleh mufassir dalam memahami makna kedua kata tersebut.

Ketiga, bentuk makna kontekstual yang

dihasilkan dari beragam makna yang diberikan oleh para penafsir. Problem-problem ini dijelaskan untuk memberikan distingsi yang signifikan dengan beragam studi yang dilakukan terdahulu.

Tulisan ini didasarkan pada argumen bahwa sikap moderat merupakan sikap alamiah dan bersifat universal yang dimiliki oleh setiap orang tanpa melihat agama, status sosial, dan kewarganegaraan. Penyelewengan dari sikap moderat yang dilakukan oleh beberapa orang ataupun pihak pada dasarnya merupakan penyelewengan atas sisi kemanusiaannya (Duan, 2018), bukan penyelewengan atas nilai-nilai suatu agama. Hal demikian didasarkan pada kepemilikan konsep yang sama mengenai sikap moderat di masing-masing agama (Fahy, 2018). Hal yang sama juga digambarkan oleh al-Qur’an dengan menyebutkan umat lain sebagai golongan yang moderat, selain umat Islam. Dengan demikian, konsep moderat dalam al-Qur’an tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian umat Islam saja, akan tetapi juga dipahami dalam konteks umat-umat lain yang

(3)

secara tindakan dan ucapan mencerminkan makna moderat.

II. Tinjauan Pustaka: Sebuah Pemetaan atas

Literatur

a. Konsep Moderasi dalam Masyarakat yang Majemuk

Istilah moderasi dalam Islam ditemukan dalam berbagai bentuk dalam al-Qur’an. Beragam istilah merujuk pada makna adil, keterbukaan, kebijaksanaan dan keseimbangan (Az Zafi, 2020). Dalam konteks yang lebih luas, moderat dipahami sebagai sikap mengurangi kekerasan atau menghindari sikap ekstrim dalam praktik keagamaan (Faisal, 2020; Ramdhan, 2018). Dalam konteks ke-Indonesiaan, moderasi dapat diartikan sebagai sikap seimbang dan harmonis antara Islam dan kearifan lokal (Faiqah & Pransiska, 2018). Yusuf bahkan memberikan definisi moderat dalam berbagai bentuk yang dikorelasikan dengan dimensi akidah, syariah, dan tasawuf. Sikap adil, terbuka, bijaksana dan seimbang dalam makna moderat telah dikenal dalam Islam melalui petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Keberadaan moderasi dalam al-Qur’an dan hadis menunjukkan istilah moderat telah dikenal dalam Islam sejak abad ke-7 M. (M. K. Arif, 2020).

Moderasi dalam konteks Indonesia berfungsi sebagai upaya preventif yang dilakukan oleh pemerintah untuk membendung arus liberalisme dan mendukung pembangunan masyarakat (Khoiri, 2019). Sikap moderat bagi masyarakat Islam di Indonesia yang merupakan golongan mayoritas, dapat berdampak pada sikap pluralis dalam bentuk sikap kesetaraan, toleransi, dan musyawarah (Busyro dkk., 2019). Sikap memberikan dampak pada upaya preventif untuk mencegah segala bentuk tindakan radikalisme di Indonesia (Rozi, 2019). Moderasi dipandang tidak hanya terimplementasi dalam tindakan akan tetapi termanifestasi dalam konsep berpikir, sehingga seluruh sistem konsep didasarkan pada nilai-nilai moderasi yang dapat diaplikasikan dalam sistem yang lebih luas demi tercapainya

kehidupan yang berkeadilan sosial (S. Arif, 2020).

Moderasi beragama dapat juga terwujud dengan sikap mengakui eksistensi pihak lain, perilaku yang mencerminkan toleransi, saling menghormati, dan sikap tidak memaksakan pendapat pribadi kepada orang lain. Sikap semacam ini hanya dapat dicapai jika ada peran berbagai pihak untuk mensosialisasikan ke masyarakat agar terwujud keharmonisan dan sikap saling menghargai (Akhmadi, 2019). Wibowo berkesimpulan bahwa penanaman nilai moderasi harus mengacu pada orientasi yang dapat mengubah perilaku, sikap, dan pandangan umum dengan penjelasan secara informatif dan persuasif (Wibowo, 2019). Unsur-unsur ini menjadikan moderasi relevan dalam konteks masyarakat yang majemuk (Nurul, 2020). Atas dasar ini, penanaman atas moderasi beragama seharusnya ditanamkan secara dini dalam pendidikan siswa agar dapat terhindar dari sikap radikal, liberal, dan intoleransi (Yunus & Salim, 2019). Dengan penanaman moderasi dalam berbagai tingkat dapat mewujudkan perilaku masyarakat yang moderat.

Moderasi beragama merupakan jalan keluar dalam pengelolaan masyarakat yang multikultural. Keragaman ideologi, agama, dan aliran dalam masyarakat multikultural berpotensi lahirnya beragam tindakan inklusif, ekstrem dan fundamental. Untuk mengatasi kemungkinan beragama tindakan yang tidak mencerminkan nilai moderasi, maka diperlukan penanaman dan pemahaman konsep agama dan relasi antar agama yang seimbang (Harto & Tastin, 2019). Sutrisno berpandangan bahwa penguatan moderasi dalam masyarakat multikultural dilakukan dengan menjadikan lembaga pendidikan sebagai pusat moderasi beragama dan melakukan pendekatan sosio-religius dalam beragama dan bernegara (Sutrisno, 2019). Lembaga pendidikan sebagai pusat moderasi dapat dilakukan dengan memasukkan nilai-nilai moderasi dalam kurikulum, baik dalam pendidikan formal (Purwanto, Qowaid, Ma’rifataini, & Fauzi, 2019) maupun pesantren (Khotimah, 2020).

b. Harmonisasi hubungan Beragama Keragaman agama tidak menghilangkan keniscayaan dalam menjalin hubungan antar pemeluk agama. Keniscayaan ini dipengaruhi

(4)

oleh sifat dasar agama yang universal, yakni kemanusiaan (Albab, 2019). Setiap agama memiliki ajaran-ajaran yang sama dalam konteks implementasi nilai-nilai kemanusiaan. Pemahaman atas kandungan nilai yang sama memungkinkan setiap pemeluk agama memunculkan tindakan yang sama yang dihasilkan dari internalisasi ajaran-ajaran nilai kemanusiaan yang dihasilkan dari pemahaman atas ajaran masing-masing (Sianturi & Wentuk, 2018). Universalitas ajaran dalam setiap agama dapat membawa dampak tindakan toleran yang dapat mengatasi problem yang muncul dalam relasi antar agama (Duan, 2018). Keragaman tidak menjadi hambatan dalam setiap tindakan yang mengatasnamakan toleransi antar agama.

Keterbatasan pengetahuan atas nilai-nilai universal dalam setiap agama berdampak pada sikap intoleransi. Pengetahuan tersebut dapat berasal dari ajaran-ajaran yang telah diberikan dan terkandung dalam setiap kitab suci masing-masing agama. Dalam Islam, petunjuk atas tindakan-tindakan toleransi banyak ditemukan dalam al-Qur’an dan hadis yang bermuara pada tindakan yang terimplementasikan dalam konteks sosial

kemasyarakatan yang majemuk

(Kamarusdiana, 2018). Al-Qur’an mengindikasikan keterbatasan pengetahuan mengenai persamaan nilai hendaknya ditanggapi dengan pengakuan atas keberadaan pihak lain untuk tidak saling menyalahkan. Prinsip ini sesuai dengan term

kalimatun sawa (titik temu) yang terdapat

dalam al-Qur’an (Mukzizatin, 2019). Perintah untuk saling menghargai juga diajarkan dalam agama lain. Hal ini tampak dari kesimpulan Aritonang yang menyebutkan bahwa gereja memiliki peran signifikan dalam membentuk sikap toleransi beragama yang bersumber dari kitab suci (Aritonang, 2019).

Implementasi nilai-nilai keagamaan dalam perilaku umat beragama didorong oleh keaktifan para pemuka agama, institusi keagamaan dan penganut agama. Tokoh agama dipandang memiliki potensi dalam mendorong setiap pemeluk agama untuk mengimplementasikan kandungan ajaran agama yang berkaitan dengan toleransi (Salim & Andani, 2020). Dorongan lain dapat

dilakukan oleh beberapa pihak ataupun lembaga yang secara aktif melakukan kampanye dalam memberikan pendidikan ataupun tindakan secara langsung tentang sikap saling menghargai dan bersikap harmonis antar pemeluk agama (Fahmi Arrauf Nasution, 2017; Riza, 2019). Dorongan dari pihak luar berdampak signifikan terhadap penanaman sikap toleran dalam beragama.

Penerapan sikap toleran dalam relasi hubungan antar agama dapat dilakukan dengan berbagai bentuk. Ghufron memberikan tiga model tindakan yang dapat mendorong terciptanya sikap toleran.

Pertama, keikutsertaan dalam

kegiatan-kegiatan sosial keagamaan yang melibatkan berbagai penganut agama. Kedua,

menciptakan budaya saling berkunjung dalam acara besar keagamaan. Ketiga, membiasakan dialog antar umat beragama (Ghufron, 2020). Model lain diperkenalkan oleh Rahmat dengan menghadirkan dua model relasi dalam beragama, yakni secara teologis-spiritual dengan mengacu pada nilai universal yang dimiliki oleh setiap agama dan antropologis dengan menonjolkan tujuan keberadaan agama untuk memberikan solusi dan meningkatkan gairah hidup para pemeluknya (Rahmat, 2017). Beragam model tersebut

merupakan upaya untuk

mengimplementasikan ajaran agama dalam tindakan yang toleran.

Segala upaya dalam menciptakan sikap toleran dalam beragama memiliki beragam hambatan. Dalam penelitian Waheeda, keberagaman dalam suatu komunitas masyarakat, dapat memberikan tantang tersendiri dalam implementasi toleransi dalam kehidupan beragama (Waheeda, 2019).

Keberagaman dengan segala

kompleksitasnya, memiliki potensi konflik yang dapat mengganggu keberadaan toleransi. Intensitas konflik yang berlangsung akan menjadi variabel yang mengindikasikan toleransi keberagamaan tidak terlaksana. Argumen ini di hadirkan oleh Kunu dalam penelitiannya yang menyebutkan bahwa toleransi beragama yang sering digalakkan di Indonesia masih belum teraplikasi sepenuhnya disebabkan karena masih terdapat beragam kasus intoleransi yang terjadi (Kunu, 2020). Pelaksanaan sikap

(5)

toleransi tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya dalam masyarakat yang beragam yang masih mengandung potensi-potensi konflik.

III. Metodologi Penelitian

Penelitian tentang pemaknaan moderat secara kontekstual dipilih didasarkan pada dominasi studi yang hanya mengacu pada domain umat Islam dalam mengkampanyekan sikap yang moderat. Sikap ini selalu dijadikan

counter narasi dari sikap ekstrem, intoleran,

dan terorisme yang identik dengan agama tertentu. Jika makna moderat dipahami dalam makna yang lebih kontekstual, maka sikap moderat tidak selalu identik dengan salah satu agama. Terdapat banyak studi yang menyimpulkan bahwa agama lain selain Islam melakukan kampanye yang sama (Aritonang, 2019). Hal ini menunjukkan bahwa setaip agama mengajarkan sikap moderat kepada para pemeluknya. Argumen ini berkesesuaian dengan narasi yang dijelaskan dalam al-Qur’an terutama dalam QS. [2]: 143 dan QS. [5]: 66. Islam mengakui bahwa agama lain juga bertindak moderat dalam menjalani hubungan dengan agama Islam melalui narasi-narasi yang dijelaskan dalam al-Qur’an. Konsep pemaknaan yang terbuka dan adil dalam memahami makna moderat menjadi penting untuk dijadikan objek penelitian terlebih objek kajiannya bersumber dari sumber utama Islam, yakni al-Qur’an.

Penelitian ini bersifat analisis teks

(content analysis) dengan metode penelitian

kualitatif. Penelitian ini bersumber dari dua sumber data utama, yakni data primer dan data sekunder. Data primer dari penelitian ini adalah data yang diperoleh dari berbagai tafsir klasik dan modern mengenai penafsiran mereka terhadap QS. [2]: 143 dan QS. [5]: 66. Sedangkan sumber data sekunder adalah data-data hasil penelitian lain yang relevan dengan tulisan ini. Dalam memilih sumber data primer, penelitian ini tidak membatasi pada produk tafsir tertentu, akan tetapi memilih beragam tafsir yang dihasilkan oleh para tokoh-tokoh penafsir baik dengan latar belakang keilmuan yang berbeda maupun masa yang berbeda. Hal demikian dilakukan untuk memperoleh makna yang komprehensif dari term wasth dan muqtashid yang menjadi pokok kajian dalam penelitian ini. Sumber

data dari penelitian ini diperoleh dari sumber data literatur tafsir dan hasil penelitian yang relevan.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik mapping literature. Peneliti melakukan grapping data

(pengumpulan data) dari berbagai kitab tafsir. Data yang dihasilkan distrukturkan dengan menyesuaikan pada klasifikasi tema yang ditentukan. Data-data yang tidak berkaitan dengan penelitian di reduksi, sehingga data yang diperoleh sesuai dengan tema yang diteliti. Batasan data yang dipilih hanya berkaitan dengan pemaknaan kata wasth dan

muqtashid yang terdapat dalam QS. [2]: 143

dan QS. [5]: 66, sehingga pemaknaan lain di luar kata dan ayat tersebut tidak dimasukkan dalam penelitian. Data yang sudah diklasifikasikan dan dipetakan, dilakukan penarikan kesimpulan. Dari hasil penarikan kesimpulan, data ditampilkan dalam sub-bagian, sehingga dapat dipahami dalam satu kesatuan sesuai dengan sub-bagian yang ditentukan. Tahap-tahapan dalam proses penelitian ini dilakukan untuk menjawab problem yang ditentukan.

IV. Hasil dan Diskusi

Pemaknaan atas makna moderat dalam al-Qur’an dengan merujuk pada dua term yang disebut untuk menunjukkan komunitas muslim dan non-muslim di tampilkan dalam bagian ini. Penjelasan atas kecenderungan penafsir dalam menjelaskan makna wasath

dan muqtashid dijelaskan dalam 2 model.

Model pertama penjelasan deskriptif yang mencakup penjelasan lengkap dari para mufassir klasik maupun kontemporer tentang term wasath dan muqtashid yang terkandung dalam QS. [2]: 143 dan QS. [5]: 66. Model kedua penjelasan kritis yang mencakup kecenderungan pemaknaan.

a. Bentuk Penafsiran al-wasth dan

al-muqtashid dalam QS. [2]: 143 dan QS.

[5]: 66

Al-Qur’an memberikan gambaran berbeda ketika menyebut umat Islam dan umat lainnya. Umat Islam disebut dalam QS. [2]: 143 dengan istilah ummatan wasathan. Sedangkan umat Kristiani dan Yahudi disebut dengan ummatun muqtashidatun.

(6)

Dalam QS. [2]: 143, Allah menggunakan istilah ummatan wasathan,

َﺪَﻬُﺷ ﺍﻮُﻧﻮُﻜَﺘِﻟ ﺎًﻄَﺳ َﻭ ًﺔﱠﻣُﺃ ْﻢُﻛﺎَﻨْﻠَﻌَﺟ َﻚِﻟَﺬَﻛ َﻭ

ﻰَﻠَﻋ َءﺍ

ﺍًﺪﻴِﻬَﺷ ْﻢُﻜْﻴَﻠَﻋ ُﻝﻮُﺳ ﱠﺮﻟﺍ َﻥﻮُﻜَﻳ َﻭ ِﺱﺎﱠﻨﻟﺍ

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.

Sedangkan dalam QS. [5]: 66, Allah

menggunakan istilah ummatun

muqtashidatun,

ْﻢِﻬْﻴَﻟِﺇ َﻝ ِﺰْﻧُﺃ ﺎَﻣ َﻭ َﻞﻴ ِﺠْﻧِ ْﻹﺍ َﻭ َﺓﺍ َﺭ ْﻮﱠﺘﻟﺍ ﺍﻮُﻣﺎَﻗَﺃ ْﻢُﻬﱠﻧَﺃ ْﻮَﻟ َﻭ

ْﻢِﻬِﻠُﺟ ْﺭَﺃ ِﺖْﺤَﺗ ْﻦِﻣ َﻭ ْﻢِﻬِﻗ ْﻮَﻓ ْﻦِﻣ ﺍﻮُﻠَﻛَ َﻷ ْﻢِﻬِّﺑ َﺭ ْﻦِﻣ

ْﻘُﻣ ٌﺔﱠﻣُﺃ ْﻢُﻬْﻨِﻣ

َﻥﻮُﻠَﻤْﻌَﻳ ﺎَﻣ َءﺎَﺳ ْﻢُﻬْﻨِﻣ ٌﺮﻴِﺜَﻛ َﻭ ٌﺓَﺪ ِﺼَﺘ

Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan al-Qur’an, yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.

Pemahaman atas istilah tersebut dalam al-Qur’an memiliki implikasi penafsiran berbeda. Data menunjukkan terdapat tiga kecenderungan makna yang dihadirkan oleh para penafsir dalam memahami makna

wasatha. Pertama, wasatha dimaknai sebagai

yang adil (Al-As}faha>ni>, 1999; Al-Fayru>za>ba>di>, t.t.; Al-Jawhari>, 1997; al-Ma>wardi>, t.t.; Makhzu>mi>, 1989; Al-Qurt}u>bi>, 1964; Al-Ra>zi>, 1420; Al-Sha’ra>wi>, 1991; Suyu>t}i>, t.t.; Tha’labi>, 2002; Al-Tustari>, 1423; H{a>tim, 1419). Kedua,wasatha

bermakna pilihan (al-khiyar). Pemaknaan semacam ini diberikan oleh al-Qushayri (Al-Qushayri>, t.t., hlm. 132), Abu Hayyan Andalusi (Al-Andalu>si>, 1420, hlm. 6), Jaza’iri (Al-Jazayri>, 2003, hlm. 124), Shabuni (Al-S{a>bu>ni>, 1997, hlm. 89), al-Zamakhsari (Al-Zamakhshari>, 1407, hlm. 198), al-Nasafi (Al-Nasafi>, 1998, hlm. 137), dan Ibn Katsir (Kathi>r, 1999, hlm. 454).

Ketiga, wasatha dimaknai sebagai adil dan

pilihan (al-‘adl wa al-khiyar) (Al-Baghawi>, 1420; Al-Kha>zin, 1415; Al-Mara>ghi>, 1946; Qa>simi>, 1418; Shinqit}i>, 1995;

Al-Tha’labi>, 2002; Al-Zuhayli>, 1418; Muh}ammad ’Izzat Darwazah, 1383; Rid}a>, 1990). Beragam makna yang disebutkan dalam beberapa kitab tafsir menunjukkan ketidaksepakatan para mufassir dalam memaknai kata wasath.

Sedangkan dalam QS. [5]: 66, Allah

menggunakan istilah ummatun

muqtashidatun. Kecenderungan mufassir

dalam memahami term muqtashid dalam QS. [5]: 66, dapat dipetakan menjadi tiga.

Pertama, mufassir yang memakaninya dengan

moderat dalam tindakan, yakni al-Baghawi (Al-Baghawi>, 1420, hlm. 68), al-Qurthubi (Al-Qurt}u>bi>, 1964, hlm. 242), Abu Hayyan (Al-Andalu>si>, 1420, hlm. 320), al-Maraghi (Al-Mara>ghi>, 1946, hlm. 157), al-Shinqithi (Al-Shinqit}i>, 1995, hlm. 417), Izzahdarwazah (Muh}ammad ’Izzah Darwazah, 1964, hlm. 178), al-Jazayri (Al-Jazayri>, 2003, hlm. 651– 652), al-Khazin (Al-Kha>zin, 1415, hlm. 62), al-Baydhawi (Al-Bayd}awi>, 1418, hlm. 136), al-Shabuni (Al-S{a>bu>ni>, 1997, hlm. 322), Fakhr al-Din al-Razi (Al-Ra>zi>, 1420, hlm. 399), Ibn Abbas (Al-Fayru>za>ba>di>, t.t., hlm. 97), Al-Tha’alabi (Al-Tha’a>labi>, 1418, hlm. 402), al-Qasimi (Al-Qa>simi>, 1418, hlm. 191), al-Sha’rawi (Al-Sha’ra>wi>, 1991, hlm. 3284), al-Mawardi (al-Ma>wardi>, t.t., hlm. 53), Ibn Katsir (Kathi>r, 1999, hlm. 149), Muhammad Abduh (Rid}a>, 1990, hlm. 381), Thanthawi (Jawhari>, 1249, hlm. 222), dan Wahbah al-Zuhayli (Al-al-Zuhayli>, 1418, hlm. 256). Sedangkan dalam pandangan al-Thabari, yang dimaksudkan dengan muqtashid adalah bersikap adil dalam perkataan (Al-T}abari>, 2000, hlm. 465). Kedua, memiliki tujuan yang lurus (Al-Sha’ra>wi>, 1991, hlm. 3284), sehingga tidak melampaui batas (Al-Qushayri>, t.t., hlm. 438). Ketiga, muqtashid

adalah kalangan ahli kitab yang telah mu’min (Al-Nasafi>, 1998, hlm. 461; Al-Suyu>t}i>, t.t., hlm. 115; Al-Tha’labi>, 2002; Al-Zamakhshari>, 1407, hlm. 658) ataupun orang Yahudi dan Nasrani yang tidak melawan dan menyakiti muslim (Al-Qurtubi, 1964, hlm. 242). Ummatun muqtashidatun dalam QS. [5]: 66 merujuk pada kalangan Nasrani dan Yahudi yang hidup di masa pewahyuan.

b. Faktor Perbedaan Pemaknaan Term

Wasatha dan Muqtashid

Perbedaan pandangan dalam memahami term wasatha dipengaruhi oleh perbedaan

(7)

memahami keseluruhan makna ayat. Para mufassir yang memaknai al-wasth dengan adil (al-‘adl) mendasarkan pendapatnya dengan hadis yang diriwayatkan oleh Sa’i>d al-Khudhri> (Al-Qurtubi, 1964, hlm. 153), keterkaitan kata al-wasth dengan posisi Ka’bah yang berada di tengah bumi dan menjadi kiblat umat Islam (Al-Sha’ra>wi>, 1991, hlm. 626), dan tugas umat Islam yang menjadi saksi bagi umat lain di hari Kiamat (Al-Tustari>, 1423, hlm. 32) sehingga tidak berpotensi untuk condong ke salah satu arah (Al-As}faha>ni>, 1999, hlm. 329; Al-Khat}i>b, 2010, hlm. 84; Qa>simi>, 1418, hlm. 414; Al-Sha’ra>wi>, 1991, hlm. 626). Beragama pandangan ini berimplikasi pada pemaknaan yang sama meskipun dengan alasan yang berbeda.

Para mufassir yang memahami term

al-wasth dengan pilihan (al-khiyar) berlandasan

pada posisi umat Islam sebagai saksi, sehingga dibebankan tanggung jawab dan menjadi umat yang terkemuka (Al-Qushayri>, t.t., hlm. 132). Abu Hayyan dan al-Zamakhshari memberikan penjelasan mengenai makna al-wasth dengan khiyar

dengan beralasan bahwa al-wasth adalah istilah yang menunjukkan sesuatu yang berada di antara dua kutub. Ketidakseimbangan pada ujung menjadikan perkara tersebut terbuka atas pilihan untuk memosisikan diri dalam dua kutub (Al-Andalu>si>, 1420, hlm. 6; Al-Zamakhshari>, 1407, hlm. 198). Makna pilihan dalam pandangan al-Jaza’iri berkaitan dengan sifat adil yang dimiliki oleh umat Islam, sehingga mereka dipilih untuk menjadi saksi di hari akhir (Al-Jazayri>, 2003, hlm. 124). Atas dasar keterkaitan dua makna ini, para mufassir lainnya memaknai al-wasth dengan pilihan (al-khiyar) dan adil (al-‘adl) (Al-Shinqit}i>, 1995, hlm. 45).

Sedangkan, perbedaan pemaknaan dalam memahami term muqtashid disebabkan oleh dua pandangan secara umum, yakni posisi beberapa kalangan umat Nasrani dan Yahudi setelah Islam hadir dan konsistensi atas ajaran yang ada dalam kitab suci umat Nasrani dan Yahudi. al-Khazin menunjukkan bahwa yang dimaksud golongan muqtasid adalah para ahl al-kitab yang telah memeluk Islam (Al-Bayd}awi>, 1418, hlm. 136; Al-Fayru>za>ba>di>, t.t., hlm. 97; Kha>zin, 1415, hlm. 62;

Al-Tha’labi>, 2002, hlm. 90). Sedangkan pandangan kedua mendasarkan pada perilaku golongan Yahudi dan Nasrani dalam beragama. Mereka dipandang moderat karena dapat berlaku adil (muqtashid) dalam beragama dengan tidak bertindak berlebihan, sehingga menjalankan perintah agama mereka secara benar (Al-Mara>ghi>, 1946, hlm. 157; Al-Sha’ra>wi>, 1991, hlm. 3284; Muh}ammad ’Izzat Darwazah, 1383, hlm. 178). Bahkan, umat Yahudi dan Nasrani dapat disebut dengan kalangan moderat meskipun mereka tidak mengimani Islam dengan syarat tidak menyakiti dan tidak mengolok-olok umat Islam (Al-Qurtubi, 1964, hlm. 242). Dua pandangan ini menyebabkan adanya perbedaan dalam memahami sikap moderat yang ditunjukkan kalangan Yahudi dan Nasrani.

c. Progresivitas Pemahaman atas Sikap Moderat Beragama

Penelitian ini menunjukkan bahwa sikap moderat tidak hanya muncul dalam tindakan dan perilaku keagamaan umat Islam saja, akan tetapi perilaku moderat juga ditunjukkan oleh kalangan Yahudi dan Nasrani semenjak keberadaan Islam pertama di tanah Arab. Umat Yahudi dan Nasrani juga disebut dalam al-Qur’an sebagai ummatun

muqtashidatun yang memiliki makna yang

sama dengan ummatan wasathan. Meskipun, dalam beberapa aspek kata muqtashid

memiliki perbedaan signifikan dengan kata

al-wasth. Penyebutan muqtashid

mengarahkan pemahaman pada perilaku dan perkataan kalangan Yahudi dan Nasrani yang moderat, sehingga tindakan dan perkataannya mengarah pada tindakan dan perkataan yang sesuai dengan keyakinannya. Hal yang sama juga dijelaskan dalam penelitian Aritonang bahwa agama Kristen melakukan kampanye yang sama kepada para penganutnya untuk bersikap moderat (Aritonang, 2019). Sikap ini moderat yang ditunjukkan dalam al-Qur’an terhadap kalangan Yahudi dan Nasrani mengarah pada ajaran yang sesuai dengan keyakinan dalam agamanya.

Sikap moderat dalam Islam ditunjukkan dengan dua sikap, berlaku adil dan pembebanan atas tanggung jawab yang dimiliki sehingga menjadikannya sebagai umat pilihan. Posisi sebagai umat pilihan tidak dimaksudkan dalam konteks

(8)

pengunggulan umat Islam di antara umat yang lainnya, akan tetapi pada pembebanan tugas dan tanggung jawab untuk menjadi saksi bagi umat yang lain di hari akhir. Pemilihan umat Islam untuk menjadi saksi, disebabkan karena sifat dasar yang dimiliki oleh umat Islam yang dipandang dapat berlaku adil dengan mengimplementasikan ajaran-ajaran al-Qur’an dan petunjuk dari Nabi Muhammad. Umat Islam dipandang sebagai umat yang tidak berlebihan dalam bertindak dan mengamalkan perintah agamanya. Pandangan ini sesuai dengan pendapat Akhter yang menjelaskan bahwa secara mendasar Islam merupakan agama mengajarkan kesabaran dan kedamaian, sehingga segala tindakannya mencerminkan pada sikap yang tidak berlebihan (Akhter, Rafiq, & Ahmad, 2020). Keadilan dan tanggung jawab yang dibebankan menjadikan umat Islam selalu bertindak dan bersikap moderat.

Penyebutan ummatun muqtashidatun dan

ummatan wasathan dalam al-Qur’an

menunjukkan relasi yang setara antara Islam dan Non-Islam dalam bersikap moderat. Pemahaman pada satu sisi, akan menyebabkan adanya identifikasi atas satu kelompok yang bersikap berlebihan dalam beragama sehingga diklaim sebagai kelompok yang intoleran, anarkis ataupun teroris (Husein, 2005). Begitu juga, persoalan pemahaman atas ummatan muqtashidatan

dalam makna kalangan Yahudi dan Nasrani yang telah masuk Islam, mempengaruhi jalinan relasi antara Islam dan umat lainnya dalam wilayah yang lebih politis (Mujiburrahman, 2006). Menempatkan pemahaman atas keberadaan umat lain di luar Islam sebagai umat yang juga moderat berimplikasi pada perlakukan dan tindakan yang saling menghormati tanpa memunculkan tindakan yang berlebihan dan berpotensi memunculkan konflik antara kalangan yang pada dasarnya saling bersikap moderat sebagaimana ditunjukkan dalam al-Qur’an.

Pemahaman terhadap makna moderat dalam dua arah berimplikasi pada pemahaman atas terhadap relasi umat antar agama bukan persoalan satu sisi agama, akan tetapi merupakan persoalan seluruh agama. Agenda moderasi dalam konteks Indonesia,

selalu diarahkan pada konteks agama Islam. Selama ini, persoalan moderasi di pandangan dalam perspektif Islam dengan dua indikasi.

Pertama, Islam di pandangan sebagai agama

yang moderat dengan argumen pada petunjuk dalam berbagai ayat yang mengindikasikan pada hal tersebut, seperti wasth, qist,

al-tawazun, al-i’tidal QS. [2]: 143 (Hilmi, 2016,

hlm. 63). Kedua, problem intoleransi, radikalisme dan terorisme yang diarahkan kepada Islam menjadikan para pengkaji mulai mencari gagasan sikap toleransi dalam al-Qur’an (Dodego & Witro, 2020b). Persoalan moderasi seakan hanya merupakan persoalan agama tertentu saja.

Moderasi dalam al-Qur’an tidak hanya disebutkan untuk menunjukkan umat Islam, akan tetapi juga disebutkan untuk menunjukkan umat lain, yakni Yahudi dan Nasrani. Umat Yahudi dan Nasrani dalam al-Qur’an disebut juga sebagai umat yang moderat selama mereka tidak melampaui batas dan tidak menyakiti umat yang lain (Al-Qurtubi, 1964, hlm. 242). Argumen ini sesuai dengan pandangan Chaves (Chaves, 2001, hlm. 53) yang menyebutkan bahwa sikap moderat Yahudi dan Nasrani berimplikasi pada sikap kepedulian sosial kepada yang lain. Keyakinan bahwa umat Nasrani dan Yahudi sebagai umat yang moderat akan mempengaruhi pandangan dan sikap umat Islam terhadap mereka, begitu pula sebaliknya. Keyakinan umat Nasrani dan Yahudi terhadap sikap moderatisme Islam memberikan mereka kenyamanan dalam berinteraksi dan menjalin relasi yang baik antar umat beragama. Atas dasar ini, moderasi agama tidak hanya menjadi tugas dari salah satu agama, akan tetapi merupakan tugas dari seluruh agama terlebih dalam konteks Indonesia yang multikultural.

Beragam studi yang dilakukan telah menggambarkan pemaknaan moderasi beragam tujuan dan manfaat dari sikap moderat. Dalam studi yang lain, moderasi dijadikan sarana untuk melawan wacana dan tindakan intoleransi, ekstimisme, dan tororisme. Namun demikian, studi yang ada kurang menganalisis konsep moderasi sebagai salah satu sifat yang universal yang menekankan pada sisi kemanusiaannya

(humanity). Penyebutan al-Qur’an terhadap

(9)

moderat, paling tidak menjadi bukti bahwa term ini tidak sempit pemaknaannya yang selalu diidentikkan pada relasi keagamaan. Penyebutan umat lain sebagai umat moderat mengindikasikan bahwa sikap ini merupakan sikap alamiah yang dimiliki oleh setiap manusia, sehingga dalam melakukan pembahasan terhadap sikap moderat tidak diperlukan untuk mengkontra narasikan sikap ini dengan sikap lainnya. Cara penejelasan semacam ini justru akan menghasilkan pemahaman bahwa salah satu golongan yang dikampanyekan moderasi merupakan golongan yang sebelumnya telah melakukan tindakan intoleransi, ekstrim, bahkan terorisme. Pembahasan moderasi dilakukan dalam rangka penyelewengan terhadap sifat dasar dan alamiah manusia yang mengganggu hak-hak dasar kemanusiaan.

Problem moderasi beragama tidak lagi berangkat dari isu radikalisme, intoleransi, ataupun radikalisme. Moderasi beragama seharusnya difokuskan pada eksistensi perilaku moderat yang ditunjukkan oleh setiap umat beragama. Kebijakan moderasi beragama yang selama ini masih terkesan untuk mengatasi persoalan intoleransi dan radikalisme dalam agama, memulai narasinya dari tindakan-tindakan salah satu agama yang tidak sesuai dengan prinsip moderat. Islam, Yahudi dan Kristen meyakini atas sikap keagamaan yang moderat. Sikap yang menggambarkan pada tindakan intoleransi, tidak bersumber pada agama, akan tetapi pada masing-masing orang dari agama manapun. Hal ini juga dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa ketiga agama samawi tersebut disebut sebagai golongan yang moderat. Kebijakan moderasi akan lebih dapat diterima oleh semua kalangan dengan memberikan deskripsi sikap moderat yang dipraktikkan oleh umat beragama sesuai dengan ajaran dan keyakinan mereka masing-masing.

V. Kesimpulan

Ternyata apa yang selama ini dipahami dalam konsep moderasi yang dikaitkan dengan persoalan relasi agama, tidak beralasan. Tulisan ini sebaliknya menunjukkan bahwa term moderasi merujuk pada tindakan yang bersumber dari sifat kemanusiaan. Seluruh agama, tradisi, maupun budaya di setiap tempat mengajarkan konsep

moderat dalam bertindak. Al-Qur’an mengafirmasi argumen ini dengan menyebutkan umat lain selain Islam sebagai golongan yang moderat. Tindakan yang tidak spesifik dimiliki satu golongan dapat berarti tindakan tersebut merupakan tindakan yang alamiah yang dimiliki setiap orang sebagai bagian dari sikap-sikap dasar sebagai manusia. Segala tindakan yang berlawanan dengan sikap moderat merupakan tindakan yang melanggar sisi kemanusiaan, bukan tindakan yang melanggar ajaran agama tertentu. Kesesuaian tindakan tersebut dengan nilai ajaran agama merupakan bagian dari sifat agama yang mengajarkan nilai-nilai yang relevan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Identifikasi atas makna moderat dalam al-Qur’an yang lebih kontekstual dihasilkan melalui identifikasi setiap penafsiran dengan menggunakan teknik mapping literature. Konsep penelitian dengan menggunakan taknik mapping dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai keterkaitan satu tema dengan tema yang lainnya, sehingga menentukan tema sentral dalam satu konsep dapat lebih mudah. Dengan metode ini, keterkaitan antara penafsiran satu ayat dengan ayat yang lainnya dapat ditarik dalam tema sentral yang menghasilkan pemaknaan moderat yang lebih kontekstual.

Meskipun demikian, penelitian ini hanya membatasi pemaknaan moderat didasarkan pada dua makna ayat yang menyebutkan objek yang berbeda. Kemungkinan makna lain dapat ditemukan dengan memperluas objek kajian dengan menggunakan sumber data yang juga lebih luas. Oleh sebab itu, penelitian yang semacam ini dapat dilakukan selanjutnya untuk dapat memberikan penguatan atas hasil penelitian ini atau memberikan kritik terhadap hasil dari kesimpulan dalam penelitian ini.

Daftar Pustaka

Akhmadi, A. (2019). Moderasi Beragama dalam Keragaman Indonesia.

Inovasi-Jurnal Diklat Keagamaan,

13(2), 45–55.

Akhter, N., Rafiq, S., & Ahmad, A. Q. F. (2020). Prevailing Situation of

(10)

Tolerance in Contemporary Society (From Islamic Perspective).

Al-Aijāz Research Journal of Islamic

Studies & Humanities , 4(2), 10– 15.

Al-Andalu>si>, A. H. M. bin Y. (1420). Al-Bah}r al-Muh}i>t}. Bairut: Da>r al-Fikr. Al-As}faha>ni>, A.-R. (1999). Tafsi>r al-Ra>ghib

al-As}faha>ni> (Vol. 1). Makkah: Ja>mi’ah Umm al-Qura>.

Albab, A. U. (2019). Interpretasi Dialog Antar Agama Dalam Berbagai Prespektif. Al-Mada: Jurnal Agama,

Sosial, dan Budaya, 2(1), 22–34.

https://doi.org/10.31538/almada.v2i1 .223

Al-Baghawi>, al-H. bin M. (1420). Ma’a>lim al-Tanzi>l fi> Tafsi>r al-Qur’a>n (Vol. 1). Bayru>t: Da>r Ih}ya>’ Tura>th al-’Ara>bi>.

Al-Bayd}awi>, A. A. bin U. (1418). Anwa>r al-Tanzi>l wa Asra>r al-Ta’wi>l (Vol. 1). Bayru>t: Da>r Ih}ya>’ Tura>th al-’Ara>bi>.

Al-Fayru>za>ba>di>, M. bin Y. (t.t.). Tanwi>r al-Miqba>s min Tafsi>r Ibn Abba>s. Libana>n: Da>r al-Kutb al-’Ilmiyah. Ali, S. bin. (2015). Moderation in the Quran

and Sunnah. al-Zahra’: Journal for

Islamic and Arabic Studies, 12(1).

Al-Jawhari>, T. (1997). Tafsi>r al-Wasi>d (Vol. 1). Kairo: Da>r Nahd}ah Misr.

Al-Jazayri>, A. B. (2003). Aysar al-Tafa>sir li Kala>m al-’Ali> al-Kabi>r (Vol. 1). Madinah: Maktabah ’Ulu>m wa al-H{ukm.

Al-Kha>zin, ’Ali bin Muh}ammad. (1415).

Luba>b al-Ta’wi>l fi> Ma’a>ni> al-Tanzi>l

(Vol. 1). Bayru>t: Da>r Kutb al-Ilmiyah.

Al-Khat}i>b, A. S. (2010). Mafa>tih} al-Tafsi>r

(Vol. 2). Riya>d}: Da>r al-Tadmiriyah.

al-Ma>wardi>, ’Ali> bin Muh}ammad. (t.t.).

Al-Nakt wa al-’Uyu>n (Vol. 2). Beirut:

Da>r al-Kutb al-Ilmiyah. Al-Makhzu>mi>, M. bin J. (1989). Tafsi>r

Muja>hid. Mesir: Da>r Fikr al-Isla>mi>.

Al-Mara>ghi>, A. M. (1946). Tafsi>r al-Mara>ghi>

(Vol. 2). Mesir: Mus}t}afa> Ba>b al-H}alabi>.

Al-Nasafi>, ’Abd Allah bin Ah}mad. (1998).

Mada>rik Tanzi>l wa H{aqa>’iq al-Ta’wi>l (Vol. 1). Bayru>t: Da>r al-Kalm al-T{ayyib.

Al-Qa>simi>, M. J. al-D. bin M. S. (1418).

Mah}a>sin al-Ta’wi>l. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah.

Al-Qurt}u>bi>, M. bin A. (1964). Al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n (Vol. 1). Kairo: Da>r al-Kutub al-Mis}riyah. Al-Qurtubi, M. bin A. (1964). Al-Ja>mi’ li

Ah}ka>m al-Qur’an. Kairo: Da>r al-Kutb al-Ilmiyah.

Al-Qushayri>, ’Abd al-Kari>m bin Hawa>zin. (t.t.). Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Vol. 1). Mesir: Hay’ah Mis}riyah al-’Ammah li al-Kita>b.

Al-Ra>zi>, F. al-D. (1420). Mafa>tih} al-Ghayb

(Vol. 4). Bayru>t: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-’Ara>bi>.

Al-S{a>bu>ni>, M. ’Ali>. (1997). S{afwah al-Tafa>si>r (Vol. 1). Kairo: Da>r al-S{abu>ni> li T{aba>’ah wa al-Nashr wa al-Tawzi>’.

Al-S{ala>bi>, A. M. (2001). Al-Wasat}iyah fi> al-Qur’an al-Kari>m. Imara>t: Maktabah al-S{ah}a>bah.

Al-Shami, S. T. I., & Al-Qudah, M. A. (2020). Teaching Against Extremist Ideologies Through Evidence Obtained from the Holy Quran.

Journal of Education and Practice,

11(13).

(11)

Al-Sha’ra>wi>, M. M. (1991). Tafsi>r al-Sha’ra>wi> (Vol. 1). Mesir: Mat}abi’ Akhba>r al-Yawm.

Al-Shinqit}i>, M. al-A. (1995). Ad}wa>’ al-Baya>n fi> Id}a>h} al-Qur’an bi al-Qur’an

(Vol. 1). Bayru>t: Da>r al-Fikr. Al-sumaidaei, W. H. K. (2018). The

fundamentals of peaceful

coexistence in the Quran and Sunnah and its impact on achieving

moderation, moderation and civil peace. Journal of University of

Anbar For Islamic Sciences, 9(37).

Al-Suyu>t}i>, ’Abd al-Rah}ma>n bin Abi> Bakr. (t.t.). Al-Dur al-Mathu>r fi> al-Tafsi>r bi al-Ma’thu>r (Vol. 1). Bayru>t: Da>r al-Fikr.

Al-T}abari>, M. bin J. (2000). Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’an (Vol. 3). Bayru>t: Muassasah al-Risa>lah.

Al-Tha’a>labi>, ’Abd al-Rah}ma>n bin

Muh}ammad. (1418). Al-Jawa>hir al-H{isa>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n (Vol. 1). Bayru>t: Da>r Ih}ya>’ Tura>th al-’Ara>bi>.

Al-Tha’labi>, A. A. I. (2002). Al-Kashf wa al-Baya>n (Vol. 2). Bayru>t: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-’Ara>bi>.

Al-Tustari>, S. bin ’Abd A. (1423). Tafsi>r al-Tustari>. Beyrut: Da>r Kutb al-’Ilmiyah.

Al-Zamakhshari>, M. bin ’Umar. (1407). Al-Kashsha>f ’an H{aqa>iq Ghawa>mid} al-Tanzi>l (Vol. 1). Bayru>t: Da>r al-Kita>b al-Arabi.

Al-Zuhayli>, W. (1418). Al-Tafsi>r al-Muni>r fi> ’Aqi>dah wa Shari>’ah wa

al-Manhaj (Vol. 2). Damaskus: Da>r

al-Fikr.

Arif, M. K. (2020). Moderasi Islam (Wasathiyah Islam) Perspektif Al-Qur’an, As-Sunnah serta Pandangan Para Ulama dan Fuqaha. Al-Risalah,

11(1), 22–43.

https://doi.org/10.34005/alrisalah.v1 1i1.592

Arif, S. (2020). Moderasi Beragama dalam Diskursus Negara Islam: Pemikiran KH Abdurrahman Wahid. Jurnal

Bimas Islam, 13(1), 73–104.

https://doi.org/10.37302/jbi.v13i1.18 9

Aritonang, A. (2019). Peran Sosiologis Gereja Dalam Relasi Kehidupan Antar Umat Beragama Indonesia.

TE DEUM (Jurnal Teologi dan

Pengembangan Pelayanan), 9(1), 69–

102.

https://doi.org/10.51828/td.v9i1.9 Az Zafi, A. (2020). Penerapan Nilai-nilai

Moderasi Al-Qur’an dalam

Pendidikan Islam. Jurnal Studi

Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis, 21(1), 23.

https://doi.org/10.14421/qh.2020.21 01-02

Busyro, B., Ananda, A. H., & Adlan, T. S. (2019). Moderasi Islam

(Wasathiyyah) di Tengah Pluralisme Agama Indonesia. FUADUNA : Jurnal Kajian Keagamaan dan

Kemasyarakatan, 3(1), 1.

https://doi.org/10.30983/fuaduna.v3i 1.1152

Chaves, M. (2001). Congregations in

America. Cambridge: Harvard

University Press.

Darwazah, Muh}ammad ’Izzah. (1964). al-Tafsi>r al-H{adi>th: Tarti>b al-Suwar H{asab al-Nuzu>l (Vol. 7). Kairo: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-’Ara>bi>.

Darwazah, Muh}ammad ’Izzat. (1383). Al-Tafsi>r al-H{adi>th (Vol. 6). Kairo: Da>r Ih}ya>’ al-Kutub al-’Arabiyah.

Dodego, S. Hi. A., & Witro, D. (2020a). The Islamic Moderation And The

Prevention Of Radicalism And Religious Extremism In Indonesia. Dalam Dialog (Vol. 43).

https://doi.org/10.47655/DIALOG.V 43I2.375

(12)

Dodego, S. Hi. A., & Witro, D. (2020b). The Islamic Moderation And The

Prevention Of Radicalism And Religious Extremism In Indonesia.

Dialog, 43(2), 199–208.

https://doi.org/10.47655/DIALOG.V 43I2.375

Duan, J. E. (2018). Relasi Kristen – Islam di Halmahera dalam Kerangka

Pembangunan Jemaat. Hibualamo : Seri Ilmu-Ilmu Sosial dan

Kependidikan, 2(2), 71–75.

Fahmi Arrauf Nasution, I. (2017). Minoritas dan Politik Perukunan (FKUB, Ideologi Toleransi dan Relasi Muslim-Kristen Aceh Tamiang).

Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu

Ushuluddin, 19(1), 53–74.

https://doi.org/10.22373/SUBSTAN TIA.V19I1.2913

Fahy, J. (2018). The international politics of tolerance in the Persian Gulf.

Religion, State and Society, 46(4),

311–327.

https://doi.org/10.1080/09637494.20 18.1506963

Faiqah, N., & Pransiska, T. (2018). Radikalisme Islam VS Moderasi Islam: Upaya Membangun Wajah Islam Indonesia yang Damai.

Al-Fikra : Jurnal Ilmiah Keislaman,

17(1), 33.

https://doi.org/10.24014/af.v17i1.52 12

Faisal, M. (2020). Manajemen Pendidikan Moderasi Beragama di Era Disrupsi.

ICRHD: Journal of Internantional Conference on Religion, Humanity

and Development, 1(1), 195–202.

https://doi.org/10.24260/ICRHD.V1I 1.17

Ghufron, G. (2020). Relasi Islam-Kristen: Studi Kasus di Desa Tegalombo, Pati, Jawa Tengah. Progresiva : Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam, 9(1), 1.

https://doi.org/10.22219/progresiva.v 9i1.12516

H{a>tim, I. A. (1419). Tafsi>r Qur’a>n al-’Az}i>m (Vol. 1). Saudi Arabia: Maktabah Niza>r Mus}t}afa> al-Ba>z. Hamdaan, K. R. (2018). Rules of moderation

in the discourse and its controls in the Holy Quran. Journal of University of Anbar For Islamic Sciences, 9(37).

Harto, K., & Tastin, T. (2019). PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN PAI BERWAWASAN ISLAM WASATIYAH : UPAYA MEMBANGUN SIKAP MODERASI BERAGAMA PESERTA DIDIK. At-Ta’lim :

Media Informasi Pendidikan Islam,

18(1), 89.

https://doi.org/10.29300/attalim.v18i 1.1280

Hilmi, D. (2016). Mengurai Islam Moderat sebagai Agen Rahmatan lil ’Alamin. Dalam M. Zainuddin & M. I. Esha (Ed.), Islam Moderat: Konsepsi,

Interpretasi, dan Aksi. Malang:

UIN-Maliki Press.

Husein, F. (2005). Muslim-Christian Relations in the New Order Indonesia: The Exclusivist and

Inclusivist Muslims’ Perspectiver.

Bandung: Mizan.

Jawhari>, T. (1249). Al-Jawa>hir fi> Tafsi>r

al-Qur’an al-Kari>m (Vol. 19). Mesir:

Mus}t}afa> al-Ba>b al-H}alabi>.

Kaku, K. M. (2017). Moderation- Concept, Objective and Impact on Muslims’ life. Zanco Journal of Humanity

Sciences, 21(2), 32–54.

Kamarusdiana, K. (2018). Al-Qur’an dan Relasi Antar Umat Beragama; Diskursus Tentang Pendidikan Pluralisme Agama di Indonesia.

SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya

Syar-i, 5(3), 241–254.

https://doi.org/10.15408/sjsbs.v5i3.9 811

(13)

Kambooa, F. M. (2018). The approach of the Quran in the education of

generations to moderation. Journal of University of Anbar For Islamic Sciences, 9(37).

Kathi>r, I. bin U. bin. (1999). Tafsi>r al-Qur’an al-’Az}i>m (Vol. 1). Bayru>t: Da>r al-T}ayyibah.

Khoiri, A. (2019). Moderasi Islam dan Akulturasi Budaya; Revitalisasi Kemajuan Peradaban Islam Nusantara. Islamadina: Jurnal

Pemikiran Islam, 0(0), 1–17.

https://doi.org/10.30595/ISLAMADI NA.V0I0.4372

Khotimah, H. (2020). Internalisasi Moderasi Beragama dalam Kurikulum

Pesantren. Rabbani: Jurnal

Pendidikan Agama Islam, 1(1), 62.

https://doi.org/10.19105/rjpai.v1i1.3 008

Kunu, H. K. (2020). Interaksi Simbolik Islam-Kristen Tantangan Toleransi (Studi Kasus Simbol Salib

Terpotong di Kotagede Yogyakarta).

Nuansa : Jurnal Studi Islam dan

Kemasyarakatan, 13(1), 76–90.

https://doi.org/10.29300/NUANSA. V13I1.2942

Mujiburrahman. (2006). Feeling threatened: Muslim-Christian Relations in

Indonesia’s New Order. Amsterdam:

Amsterdam University Press. Mukzizatin, S. (2019). Relasi Harmonis

Antar Umat Beragama dalam Al-Qur’an. Andragogi: Jurnal Diklat

Teknis Pendidikan dan Keagamaan,

7(1), 161–180.

https://doi.org/10.36052/andragogi.v 7i1.75

Nurul, K. (2020). Moderasi Beragama di Tengah Pluralitas Bangsa: Tinjauan Revolusi Mental Perspektif Al-Qur’an. KURIOSITAS: Media

Komunikasi Sosial dan Keagamaan,

13(1).

https://doi.org/10.35905/KUR.V13I1 .1379

Purwanto, Y., Qowaid, Q., Ma’rifataini, L., & Fauzi, R. (2019). Internalisasi Nilai Moderasi Melalui Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. EDUKASI: Jurnal Penelitian

Pendidikan Agama dan Keagamaan,

17(2), 110–124.

https://doi.org/10.32729/edukasi.v17 i2.605

Rahmat, S. T. (2017). Dialog Antropologis Antaragama dengan Spiritualitas Passing Over. Wawasan: Jurnal

Ilmiah Agama dan Sosial Budaya,

2(2), 181–198.

https://doi.org/10.15575/jw.v2i2.170 4

Ramdhan, T. W. (2018). Dimensi Moderasi Islam. Al-Insyiroh: Jurnal Studi

Keislaman, 2(2), 29–48.

https://doi.org/10.35309/alinsyiroh.v 2i2.3320

Rid}a>, M. R. (1990). Tafsi>r al-Manna>r (Vol. 2). Mesir: Hay’ah Mis}riyah al-’Ammah li al-Kita>b.

Riza, M. (2019). Relasi Antar Iman di Negeri Syari’at Islam (Studi Peran dan Fungsi FKUB dalam Menjaga Kerukunan antar Umat Beragama di Aceh Tengah). Jurnal As-Salam,

3(1), 48–60.

https://doi.org/10.37249/as-salam.v3i1.119

Rozi, S. (2019). Pendidikan Moderasi Islam KH. Asep Saifuddin Chalim; Mencegah Radikalisme Agama dan Mewujudkan Masyarakat Madani Indonesia. TARBIYA ISLAMIA :

Jurnal Pendidikan dan Keislaman,

8(1), 26.

https://doi.org/10.36815/tarbiya.v8i1 .343

Safi, O. (2003). Intoduction: The Times They are Changin’—A Muslim Quest for Justice, Gender Equality, and Pluralism. Dalam O. Safi (Ed.),

(14)

Progresive Muslims on Justice,

Gender, and Pluralism. London:

Oneworld Publication.

Salim, A., & Andani, A. (2020). Kerukunan Umat Beragama; Relasi Kuasa Tokoh Agama dengan Masyarakat dalam Internalisasi Sikap Toleransi di Bantul, Yogyakarta. Arfannur,

1(1), 1–14.

https://doi.org/10.24260/ARFANNU R.V1I1.139

Sianturi, N. P., & Wentuk, D. N. (2018). Toleransi Antar Umat Beragama di SMA N 9 Manado. Tumou Tou ,

5(1), 17–29.

Sutrisno, E. (2019). Aktualisasi Moderasi Beragama di Lembaga Pendidikan.

Jurnal Bimas Islam, 12(2), 323–348.

https://doi.org/10.37302/jbi.v12i2.11 3

Waheeda, U. (2019). Al-Qur’an Dan Relasi Harmonis Antar Umat Beragama.

alashriyyah, 5(2), 23–23.

Wibowo, A. (2019). Kampanye Moderasi Beragama di Facebook: Bentuk dan Strategi Pesan. Edugama: Jurnal Kependidikan dan Sosial

Keagamaan, 5(2), 85–103.

https://doi.org/10.32923/edugama.v5 i2.971

Yunus, Y., & Salim, A. (2019). Eksistensi Moderasi Islam dalam Kurikulum Pembelajaran PAI di SMA. Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 9(2), 181.

https://doi.org/10.24042/atjpi.v9i2.3 622

Referensi

Dokumen terkait

Dari situ kita dapat menarik pelajaran bahwa Adam dan Hawa, yaitu dua manusia yang menjadi ayah dan ibu umat manusia, karena melanggar larangan Tuhan, menerima hukuman diusir

Adapun pertanyaan yang diajukan mulai dari pendapat kepala sekolah, guru dan murid tentang bahayanya narkoba, kebijakan kepala sekolah dalam membuat aturan hingga

Negara Exportir utama komoditas krustasea adalah Negara Ekuador dengan total transaksi yang mencapai 255.928.000 juta USD pada tahun 2014 yang meningkat 10,9%

Al-Qur‟an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan oleh Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. sebagai salah satu mukjizat kerasulannya. Al- Qur‟an merupakan

 Tutor dan WB menyimpulkan hasil pembelajaran tentang langkah-langkah yang akan dilakukan untuk menghadapi resiko yang mungkin akan timbul pada usaha yang dikembangkan sesuai

Al-Qur‟an merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi SAWmelalui jibril sebagai hudan li al-nas (petunjuk bagi umat manusia). Secara harfiahal-Qur‟an merupakan bacaan

Daripada mene- lantarkan perempuan yatim tersebut, maka Allah melalui ayat tersebut mem- persilakan laki-laki untuk menikahi pe- rempuan lain yang tidak yatim dan

Untuk mengetahui peningkatan kemampuan menghafal terjemah hadits pada mata pelajaran Al-Qur’an Hadits setelah menggunakan model SAVI bagi peserta didik kelas III MI Darun