• Tidak ada hasil yang ditemukan

WANA KERTIH: KONSEP PENYUCIAN DAN PELESTARIAN HUTAN MASYARAKAT HINDU BALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "WANA KERTIH: KONSEP PENYUCIAN DAN PELESTARIAN HUTAN MASYARAKAT HINDU BALI"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

90

WANA KERTIH:

KONSEP PENYUCIAN DAN PELESTARIAN HUTAN MASYARAKAT

HINDU BALI

Oleh I Gede Sutana

Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja

sutanagde@gmail.com

Gede Yoga Satrya Wibawa

Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja

yogasatryawibawa@gmail.com2

Abstract

Forests are sources of life that provide oxygen and sources of food for the survival of species on earth. The existence of forests is now increasingly worrying with the existence of deforestation and forest and land fires which cause damage to the forest. Various efforts have been made by the government, particularly the Indonesian government, to undertake ecological disasters related to forests. In the life of the Balinese Hindu community, there is a concept of forest preservation and protection known as the concept of Wana Kertih which is part of Sad Kertih. In the context of the relationship between the Balinese Hindu community and the forest, the Balinese Hindu people respect and purify the mountains and forests as the highest respect for Lord Shiva. In Bali, the forest, apart from having a general function as is well known, also has social, religious and cultural functions because forests are highly correlated with the religious ritual life of Balinese Hindus under the auspices of the Traditional Village. In the concept of Wana Kertih, there are three functions of forests to develop sustainable forests (wana asri), including: (1) maha wana (forest as a source of life); (2) tapa wana (forest as a spiritual means); (3) sri wana (forest as a means / source of the community's economy). The concept of Wana Kertih is arguably entrenched in the life of the Balinese Hindu community. This is evidenced by the implementation of the Wana Kertih concept in life of the Balinese Hindu community. Some forms of implementation of the Wana Kertih concept in life of the Balinese Hindu community include: (1) the existence of Tumpek Wariga / Tumpek Uduh; (2) the existence of the Alas Angker Temple; (3) the existence of large trees using saput poleng; and (4) there are regulations or awig-awig related to forest preservation and protection.

Keywords: Wana Kertih, Preservation and Protection of Forest, Balinese Hindu Society Abstrak

Hutan merupakan sumber kehidupan yang menyediakan oksigen dan sumber makanan untuk keberlangsungan kehidupan makhluk hidup di bumi. Keberadaan hutan kini kian mengkhawatirkan dengan adanya deforetasi dan karhutla yang menyebabkan keruskan hutan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah khususnya pemerintah Indonesia guna menanggulangi bencana ekologi yang terkait dengan hutan. Dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali, terdapat sebuah konsep pelestarian dan perlindungan hutan yang dikenal dengan Wana Kertih yang merupakan bagian dari Sad Kertih. Dalam konteks hubungan masyarakat Hindu Bali dengan hutan, masyarakat Hindu Bali melakukan penghormatan dan penyucian gunung dan hutan sebagai penghormatan tertinggi kepada Dewa Siwa. Di Bali hutan selain memiliki fungsi umum seperti yang sudah diketahui bersama juga memiliki fungsi sosial, agama dan budaya karena hutan sangat berkorelasi dengan kehidupan ritual keagamaan Umat Hindu Bali di bawah naungan

(2)

91 Desa Adat. Dalam konsep Wana Kertih, terdapat tiga fungsi hutan untuk membangun hutan lestari (wana asri), diantaranya: (1) maha wana (hutan sebagai sumber kehidupan); (2) tapa wana (hutan sebagai sarana spiritual); (3) sri wana (hutan sebagai sarana / sumber ekonomi masyarakat). Konsep Wana Kertih ini bisa dibilang sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali. Hal ini dibuktikan dengan implementasi konsep Wana Kertih dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali. Beberapa bentuk implementasi konsep Wana Kertih dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali diantaranya: (1) Tumpek Wariga / Tumpek Uduh; (2) adanya Pura Alas Angker; (3) adanya pohon-pohon besar yang menggunakan saput poleng; serta (4) adanya peraturan atau awig-awig terkait pelestarian dan perlindungan hutan.

Kata Kunci: Wana Kertih, Pelestarian dan Perlidungan Hutan, Masyarakat Hindu Bali A. Pendahuluan

Hutan memiliki peranan penting dalam kehidupan di bumi ini. Hutan dalam bahasa Bali disebut dengan alas, dan dalam bahasa Jawa Kuno yang diserap dari bahasa Sansekerta hutan disebut dengan sebutan vana/wana. Ekosistem tumbuh-tumbuhan yang ada di dalam hutan berperan sebagai produsen pertama dan utama bagi keberlangsungan kehidupan di bumi ini. Selain itu, hutan juga berfungsi sebagai tempat yang suci, penyangga kehidupan, pengatur tata air, pencegah banjir, pengendali erosi, pemelihara kesuburan tanah, dan sebagai sumber air bagi kehidupan manusia. Hutan juga mengajarkan, mengajak manusia untuk berpikir dan melalui interaksi manusia dengan lingkungan hutan, kemudian memunculkan berbagai kepercayaan, pengetahuan, keanekaragaman sosial budaya, karya sastra, seni, berbagai macam jenis sandang pangan yang menyebabkan manusia menjadi sejahtera hidupnya (Dharmika, 2020).

Indonesia termasuk ke dalam 10 besar negara yang memiliki hutan terluas di dunia. Namun pada tahun 2015 pernah terjadi bencana ekologi terbesar di Indonesia yang menyebabkan sekitar 2.600.000 Hektar hutan terbakar. Pembukaan lahan perkebunan diidentifikasi sebagai salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya bencana ekologi tersebut. Selain itu, pada tahun 2019 juga terjadi krisis kabut di Indonesia. Hal ini menjadi pengingat bahwa pembukaan lahan perkebunan (deforetasi) dan karhutla tetap menjadi masalah di Indonesia, meskipun telah banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi permasalahan tersebut (Greenpeace, 2020).

Permasalahan deforetasi dan karhutla merupakan permaslahan klasik yang terjadi hampir setiap tahunnya di Indonesia. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) disebabkan oleh dua faktor utama yaitu faktor alami dan faktor kegiatan manusia yang tidak terkontrol. Faktor alami antara lain oleh pengaruh kemarau berkepanjangan sehingga tanaman menjadi kering. Tanaman

(3)

92 atau bagian dari tanaman yang sudah kering

dapat menjadi pemicu timbulnya kebakaran jika terkena percikan api yang berasal dari batubara yang muncul dipermukaan ataupun dari pembakaran lainnya baik disengaja maupun tidak disengaja. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kebakaran bawah (ground fire) dan kebakaran permukaan (surface fire). Sementara itu, faktor kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya karhutla antara lain adanya kegiatan yang dilakukan oleh manusia itu sendiri, baik yang disengaja maupun tidak disengaja sehingga menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan (Rasyid, 2014).

Kerusakan hutan yang parah juga menimbulkan dampak yang serius bagi kehidupan manusia. Seperti yang terjadi di Indonesia di awal tahun 2021 ini. Seperti data yang dikutip dari situs www.mongabay.co.id, di awal tahun ini terjadi banjir dan longsor di beberapa wilayah seperti Sumedang, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Manado, Sulawesi Utara, Jawa Tengah dan Jawa Timur serta Papua. Menurut Edo Rakhman, Koordinator Kampanye Walhi Nasional mengatakan bahwa curah hujan yang tinggi bukan satu-satunya factor penyebab terjadinya bencana longsor dan banjir ini. Akan tetapi, ada faktor lain yang mempengaruhi yang menyebabkan daya rusak luar biasa. Daya dukung ekosistem hutan menurun, kawasan penyangga makin berkurang, jadi menjadi

faktor yang menyebabkan banjir, longsor dan menimbulkan banyak korban jiwa. Lebih lanjut Edo mengatakan secara hidrologis hujan harus terserap ekosistem hutan agar tak semua mengalir ke laut. Seperti yang disampaikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luasan kawasan hutan makin menurun, maka tak mengeherankan jika tren banjir dan longsor meningkat dari tahun ke tahun karena rusaknya ekosistem hutan ini (Syahni, 2021).

Menurut Soemarwoto, perilaku manusia dalam memanfaatkan lingkungan sangat ditentukan oleh citra lingkungan yang mereka miliki. Citra lingkungan itu memberi petunjuk tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan demi kebaikan lingkungan itu. Citra lingkungan dapar bersumberkan pengetahuan yang mereka dapatkan dari hubungan mereka dengan lingkungan, dan atau bisa pula bersumberkan agama, kepercayaan, dan mistik (Dharmika, 2020). Sebagaimana kebudayaan timur, khususnya Hindu memandang antara manusia (Bhuana Alit) dan alam (Bhuana Agung) sebagai satu kesatuan. Budaya Bali cenderung melihat keseluruhan dan keutuhan sebagai sesuatu yang utama. Bhuana Agung dan Bhuana Alit memiliki unsur-unsur pembentuk yang sama yakni Panca Maha Bhuta. Apa yang ada di Bhuna Agung, itu pula yang ada pada Bhuna Alit. Menjaga dan melindungi Bhuana

(4)

93 Agung berarti pula menjaga dan melindungi

Bhuana Alit. Itulah sebab tubuh manusia memiliki kepekaan terhadap tanda-tanda alam. Bisa dikatakan, hubungan antara manusia dan alam tidak lagi sebatas etis, tetapi ontologis. Hilangnya hubungan yang harmonis antara manusia dan alam menyebabkan terjadinya disekuilibrium atau ketidakseimbangan (Paramita, 2018).

Dalam berbagai teks sosial, teks sastra maupun teks agama telah termuat berbagai pesan untuk senantiasa menjaga kelestarian alam, salah satunya kelestarian hutan. Hutan bagi masyarakat Hindu Bali adalah sesuatu yang sangat penting, tidak hanya sekedar sebagai paru-paru dunia yang mengahasilkan oksigen guna keberlangsungan hidup manusia dan hewan di bumi ini, tetapi juga menjaga kelestarian hutan (Bhuna Agung) berarti juga telah menjaga kelestarian manusia (Bhuana Alit). Selain itu, adanya konsep Tri Hita Karana dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali dalam hal ini Palemahan “hubungan antara manusia dengan alam” menjadikan masyarakat Hindu Bali tidak hanya menjaga alam, namun juga memujanya (Sanjaya, 2020).

Berbicara tentang pelestarian alam dalam hal ini hutan, masyarakat Hindu Bali telah memiliki konsep serta tradisi dalam menyucikan dan melestarikan alam (Bhuana Agung). Hal ini terbukti dari adanya ritual keagamaan di Bali yang dikenal dengan

istilah Tumpek Wariga atau Tumpek Uduh. Upacara atau rahinan Tumpek Wariga ini merupakan ritual keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Hindu Bali guna menghormati dan melestarikan alam dalam bentuk tumbuh-tumbuhan yang telah memberikan kehidupan bagi umat manusia.

Terkait dengan hutan, dalam teks-teks sastra Hindu ada berbagai macam sebutan popular tentang hutan seperti: Wana Kertih, Maha Wana, Tapa Wana, Sri Wana, Alas Angker, Alas Kekeran, Alas Harum, Alas Rasmini, Kalpataru, Banaspati, Hulu Kayu, Kutuhalas maupun Abian. Konsep – konsep tersebut merupakan penghormatan maupun kecintaan umat Hindu Bali terhadap hutan. Lontar Manawa Swarga menyebutkan bahwa pada zaman kerajaan sudah dikenal adanya sanksi bagi mereka yang menebang pohon secara sembarangan. Manusia diumpamakan sebagai manik (janin) sedangkan alam sebagai cecupu (rahim). Perumpamaan ini mengandung interpretasi bahwa manusia hidup ditengah-tengah alam dan alamlah yang memberikan kehidupan kepada manusia, seandainya manusia mengambil makanan tanpa batas maka yang terjadi alam ini akan hancur. Dalam konteks ini, lebih lanjut dikembangkan wawasan lingkungan yang lebih dekat dengan kehidupan manusia, hutan, gunung, danau, pantai, laut, sungai sangat mendapat perhatian karena diketahui dan dirasakan tidak saja memberikan kesejahteraan tetapi

(5)

94 juga memberikan kesucian pikiran. Di

tempat tersebutlah kemudian didirikan tempat suci dengan rangkaian aktifitas ritual (Sanjaya, 2020).

Dalam lontar Manawa Swarga disebutkan pula bahwa ketika jaman kerajaan di Bali sudah ada Menteri Juru Kayu. Selain itu ketika jaman kerajaan di Bali sudah dikenal adanya sanksi hukum bagi seseorang yang dengan berani menebang pohon secara sembarangan. Bagi barang siapa yang dengan berani menebang pohon sembarangan tanpa seijin Raja, akan dihukum denda uang sebanyak lima ribu kepeng. Bahkan ada Desa Pakraman dalam awig-awignya berupa sanksi spiritual jika ada seseorang yang berani menebang pohon secara sembarangan tanpa seijin Kelihan Desa. Selain sanksi secara sekala, juga terdapat sanksi secara niskala berupa kutukan atau di Bali dikenal dengan istilah pastu (Wiana, 2018).

Dalam mendukung upaya pelestarian dan perlindungan hutan, Pemerintah Provinsi Bali telah menetapkan visi pembangunan Bali tahun 2018-2023 yakni Nangun Sat Kerthi Loka Bali. Visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali ini mengandung makna “menjaga kesucian dan keharmonisan alam Bali beserta isinya untuk mewujudkan kehidupan krama Bali yang sejahtera dan bahagia secara sekala dan niskala”. Dalam visi tersebut juga telah berisikan konsep Wana Kertih yang mengindikasikan bahwa

Pemerintah Provinsi Bali memiliki keseriusan dalam upaya menjaga kesucian dan kelestarian hutan sebagai sumber kehidupan manusia (Pena Bali, 2019).

Ketika jaman di mana Bali masih sedikit masyarakatnya, upaya menjaga hutan demikian seriusnya. Tentunya hal ini akan menjadi sebuah ironi ketika dewasa ini masyarakat tidak serius melindungi dan melestarikan hutan dari berbagai ancaman yang menyebabkan kerusakan hutan apalagi sudah didukung dengan adanya visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali yang ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Oleh karena itu, adanya konsep Wana Kertih ini diharapkan menjadi sebuah pedoman bagi masyarakat khususnya masyarakat Hindu Bali dalam upaya melestarikan dan melindungi hutan sebagai sumber kehidupan guna keberlangsungan kehidupan seluruh makhluk hidup di bumi ini.

B. Hasil Dan Pembahasan

1. Hutan Dalam Kehidupan Masyarakat Hindu Bali

Hutan memiliki peran yang sangat strategis bagi kehidupan manusia dan lingkungan. Penting, karena hutan memiliki beberapa fungsi untuk menyangga keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan makhluk hidup yang ada di dalamnya. Di Bali hutan selain memiliki fungsi umum seperti yang sudah diketahui bersama juga memiliki fungsi sosial, agama dan budaya karena hutan sangat berkorelasi

(6)

95 dengan kehidupan ritual keagamaan Umat

Hindu Bali di bawah naungan Desa Adat. Dengan fungsinya yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Hindu Bali secara khusus sudah sepatutnyalah hutan di jaga kelestariannya dan dilindungi dengan instrumen hukum baik hukum negara maupun hukum yang dibuat oleh Desa Adat. (Sanjaya, 2020)

Pengetahuan masyarakat Hindu Bali tentang alam semesta sesungguhnya sangatlah sistemasis, holistik, dan dan cenderung mengarah kepada ekosentrisme. Pelestarian alam lingkungan (hutan) yang tertuang dalam berbagai teks sastra agama, ritual-ritual yang secara spesifik berkorelasi dengan pelestarian alam pun dilakukan seperti ritual Bhuta Yadnya yang dimaksudkan untuk mengharmoniskan dan menyucikan alam semesta untuk mencapai Bhutahita atau Jagadhita (kesejahteraan).

Dalam konteks hubungan masyarakat Bali (Hindu) dengan hutan, masyarakat Hindu di Bali mengajak umatnya untuk menghormati gunung dan hutan sebagai penghormatan tertinggi kepada Dewa Siwa. Kepala Dewa Siwa dengan rambutnya yang tebal dimaknai oleh umat Hindu sebagai hutan lebat di gunung atau pegunungan. Oleh sebab itu, gunung dan hutan sebagai hulunya bumi sangat dihormati, yang diwujudkan dengan mendirikan tempat-tempat suci di gunung dan di hutan karena

dimaknai akan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia (Wiana, 2018).

Dalam teks sastra yang dimiliki oleh masyarakat Hindu Bali yang berisikan tentang hubungan manusia dengan hutan, terdapat berbagai sebutan untuk hutan. Hal ini jelas menunjukkan sebuah penghormatan dan kecintaan masyarakat Hindu Bali terhadap hutan. Salah satu teks sastra yang menyebutkan hubungan masyarakat Hindu Bali dengan hutan tertuang dalam lontar Manawa Swarga yang menyebutkan bahwa sejak jaman kerajaan di Bali sudah ada sanksi bagi masyarakat yang berani menebang pohon secara sembarangan. Selain itu, manusia juga diumpamakan sebagai sebuah janin (manik) dan alam semesta atau hutan diumpamakan sebagai rahim (cecupu). Perumpaan ini mengandung makna bahwa manusia hidup ditengah-tengah alam dan alamlah yang memberikan kehidupan kepada manusia (Dharmika, 2020).

2. Konsep Wana Kertih

Wana Kertih merupakan salah satu bagian dari Sad Kertih yang merupakan ajaran Hindu di Bali yang dapat ditelusuri sumbernya dalam lontar Purana Bali. Secara harafiah, Wana Kertih memiliki arti upaya untuk menjaga kesucian dan kelestarian hutan. Hutan dalam lontar Bhuwana Kosa VIII. 2-3 dikatakan sebagai sumber penyucian alam dimana patra (tumbuh-tumbuhan) dan pertiwi (tanah) merupakan

(7)

96 pelebur dari segala hal yang kotor di dunia

ini.

Dalam kitab Pancawati dijelaskan tiga fungsi hutan untuk membangun hutan lestari (wana asri) yakni:

1) Maha wana adalah hutan belantara sebagai sumber kehidupan manusia dan pelindung berbagai sumber hayati didalamnya. Maha wana juga sebagai waduk alami yang akan menyimpan dan mengalirkan air sepanjang tahun.

2) Tapa wana merupakan fungsi hutan sebagai sarana spiritual. Dalah hal ini, hutan difungsikan oleh para petapa atau penekun spiritual untuk beryoga, bersemadi, serta mendirikan asram dan memanjat doa serta mengajarkan ajaran-ajaran suci ke dalam setiap hati umat manusia. Disini tersirat ajaran bahwa manusia harus menjaga tingkat kesucian dari hutan hingga orang tidak dengan seenaknya menebang pohon yang terdapat di hutan.

3) Sri wana adalah hutan sebagai sarana ekonomi masyarakat. Dalam hal ini, hutan memiliki peranan sebagai penghasil hasil bumi yang dapat digunakan sebagai sumber ekonomi masyarakat. Segala hasil bumi yang dihasilkan oleh hutan dipergunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya. Oleh

karena itu, dengan merusak hutan berarti merusak salah satu penunjang ekonomi masyarakat.

Ketiga konsep ini sama dengan pola pikir modern dimana orang modern juga memiliki pemikiran bahwa hutan merupakan paru-paru dunia yang menjaga keseimbangan alam dan tempat menyimpan air yang menjadi sumber air tanah, hutan juga dapat menjadi tempat rekreasi untuk menenangkan diri setelah jenuh menjalani rutinitas yang hanya menghasilkan stress dan ketegangan jiwa dan hutan pula yang menjadi tempat penghasil komoditi yang bisa meningkatkan taraf ekonomi masyarakat (Wiana, 2018).

3. Implementasi Konsep Wana Kertih Dalam Kehidupan Masyarakat Hindu Bali

Masyarakat Hindu Bali memiliki banyak konsep khususnya dalam menyucikan dan melestarikan alam. Selain mengenal konsep Tri Hita Karana, masyarakat Hindu Bali juga mengenal konsep Wana Kertih yang merupakan bagian dari Sad Kertih. Implementasi Wana Kertih sering kita jumpai dalam fenomena maupun aktifitas kehidupan masyarakat Hindu Bali, diantaranya:

1) Tumpek Wariga / Tumpek Uduh Umat Hindu di Bali sangat menghormati keberadaan tumbuh-tumbuhan dan kelestarian lingkungan. Penghormatan terhadap tumbuh-tumbuhan merupakan salah satu bentuk pemujaan terhadap Dewa

(8)

97 Wisnu dan Dewi Wasundari. Dalam

mitologi Linggod Bhawa disebutkan bahwa Dewa Wisnu sebagai Dewa Air menjelma menjadi babi hutan yang mencari ujung bawah dari lingga yoni. Dalam pencarian tersebut Dewa Wisnu bertemu dan kawin dengan Dewi Wasundari (Ibu Pertiwi). Dari perkawinan ini lahirlah Bhoma (bahasa Sanskerta dari pohon). Hal ini melukiskan peristiwa alam dimana air yang bertemu dengan bumi (pertiwi) melahirkan pohon (Hutan Itu Indonesia & Humanitarian Forum Indonesia, 2019).

Pewarisan tradisi atau ritual oleh leluhur masyarat Hindu Bali yang dalam hal ini kaitannya dengan pelestarian alam ternyata telah dilakukan sejak jaman dahulu. Hal ini dibuktikan dengan adanya upacara khusus yang dikenal dengan nama Tumpek Wariga / Tumpek Uduh. Tumpek Uduh dimaknai sebagai hari turunnya Sanghyang Sangkara yang menjaga keselamatan hidup segala tumbuh-tumbuhan agar tumbuh subur, terhindar dari hama penyakit dan memberikan hasil yang lebih baik dan berlimpah. Ciri ini memiliki makna filosofis yang tinggi dimana para leluhur mengajarkan untuk “memanusiakan lingkungan”, sehingga tumbuh-tumbuhan tersebut akan diperlakukan layaknya memperlakukan manusia. Manusia diharapkan menghindari penebangan pohon namun apabila hal tersebut terpaksa dilakukan maka diharapkan setiap

penebangan pohon selalu diikuti dengan penanaman pohon lain di sebelah pohon yang ditebang itu. Tradisi ini pun hingga kini tetap dipertahankan (Sanjaya, 2020).

2) Pura Alas Angker

Bali memiliki banyak nama yang populer, salah satunya adalah Pulau Seribu Pura. Keberadaan Pura tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat terlepas dari kepercayaan masyarakat Bali yang menganut agama Hindu. Pura merupakan tempat suci yang digunakan oleh pemeluk agama Hindu khususnya di Bali untuk melakukan aktivitas persembahyangan. Umat Hindu memiliki keyakinan akan sifat kemahakuasaan Tuhan yang tidak terbatas, sedangkan disatu sisi manusia memiliki keterbatasan sehingga tidak mungkin mampu menjangkau kemahakuasaan-Nya yang tidak terbatas itu. Menyadari keterbatasan manusia, maka untuk dapat mendekatkan diri kepada Tuhan umat Hindu mendirikan atau membangun tempat suci yang disebut Pura.

Para leluhur kita di Bali sejak dahulu banyak yang membangun Pura di tengah hutan yang umumnya disebut dengan nama Pura Alas Angker. Alas berarti hutan atau wana, sementara Angker sama dengan angker bahasa Indonesia dimaksudkan sebagai tenget dalam bahasa Bali. Dengan adanya Pura Alas Angker ini, masyarakat pun diharapkan mengangkerkan hutan

(9)

98 sehingga tidak terjadi perusakan (Wiana,

2018).

3) Penggunaan Saput Poleng Pada Pohon Besar

Sering dijumpai adanya penggunaan “saput poleng” pada pohon-pohon besar yang ada di hutan di daerah Bali. Penggunaan saput poleng (kain hitam - putih) dalam budaya masyarakat Hindu di Bali merupakan simbol atau ekspresi dari penghayatan Rwa Bhineda, suatu konsep keseimbangan baik dan buruk yang apabila berjalan harmonis akan menyebabkan alam ini menjadi seimbang (Akriko, 2016).

Penggunaan saput poleng ini tidak hanya digunakan di pohon-pohon besar yang ada di hutan, akan tetapi sering juga dijumpai penggunaannya pada setiap pohon besar yang ada di wilayah Bali, baik itu di Pura, di jalan raya, maupun di tempat-tempat angker yang ada di Bali. Penggunaan saput poleng pada pepohonan ini bertujuan untuk mengkeramatkan atau menyucikan pohon-pohon besar tersebut agar tidak dilakukan penebangan secara sembarangan. Selain itu, penggunaan saput poleng pada pepohonan besar ini juga merupakan bentuk keyakinan umat Hindu Bali yang mempercayai bahwa pada pepohonan tersebut terdapat aura magis yang dihormati dan melindungi, serta patut dijaga kelestariannya. Apabila masyarakat berani dengan sengaja menebang pohon yang bersaput poleng tersebut tanpa meminta ijin secara niskala (ritual dengan

menggunakan sarana banten) maka dipercayai akan mendatangkan sanksi secara niskala yang menyebabkan seseorang yang menebangnya mendapatkan musibah bahkan hingga kematian.

Gambar: Penggunaan saput poleng pada pohon besar di Bali

Sumber Gambar: (Akriko, 2016).

4) Peraturan atau Awig-Awig Terkait Pelestarian dan Perlindungan Hutan Secara hukum nasional, prinsip perlindungan terhadap hutan terkandung dalam berbagai instrumen hukum nasional, khususnya pada Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan sesungguhnya berakar pula dari hukum adat. Sejak masa kerajaan, di Bali telah dikenal profesi Mantri Juru Kayu atau kini dikenal dengan sebutan Menteri Kehutanan. Dalam Lontar Manawa Swarga dinyatakan bahwa barang siapa yang menebang pohon tanpa izin Raja akan didenda sebesar lima ribu kepeng. Sanksi tersebut diikuti dengan sanksi spiritual berupa pengenaan kutukan

(10)

99 agar kepalanya botak bagi orang yang

menebang pohon sembarangan.

Sanksi terhadap pengerusakan hutan juga terkandung dalam awig-awig desa pakraman, antara lain Desa Adat Buahan, Kintamani - Bangli yang mengimplementasikan pesan leluhur mereka dalam menjaga kawasan hutan. Pesan leluhur tersebut dimuat dalam 23 lembar prasasti yang disebut “Prasasti Bhatara Ratu Pingit” dan disimpan di sebuah batu berlubang di Hutan Alas Kekeran yang disakralkan sebagai tempat roh para leluhur. Pengaturan mengenai larangan pengerusakan hutan juga dapat dilihat dari awig-awig Desa Tenganan Pegringsingan yang mengatur mengenai sistem pengelolaan tata hutan. Adapun isi awig-awig tersebut antara lain, larangan memetik buah-buahan seperti buah durian, buah kemiri, buah pangi serta larangan menebang pohon di dalam hutan. Aturan ini sangat ketat dan konsisten dengan penerapan sanksi baik yang bersifat material maupun sanksi yang bersifat immaterial (Anonym, 2021).

C. Simpulan

Hubungan yang terjalin antara masyarakat Hindu Bali dengan hutan terjalin begitu eratnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya teks-teks sosial, sastra, maupun agama yang menyebutkan nama lain dari hutan. Bukti ini merangkan bahwa kehidupan masyarakat Hindu Bali tidak terlepas dari yang namanya hutan.

Pemberian saksi kepada masyarakat yang menebang pohon secara sembarangan juga telah diterapkan sejak jaman kerajaan di Bali. Selain itu, pelaksanaan upacara-upacara yang secara spesifik berkorelasi dengan pelestarian alam pun dilakukan untuk mengharmoniskan dan menyucikan alam semesta guna mencapai Bhutahita atau Jagadhita (kesejahteraan).

Bebicara mengenai hubungan masyarakat Hindu Bali dengan hutan, terdapat sebuah konsep penyucian dan pelestarian hutan yang dikenal dengan konsep Wana Kertih yang merupakan bagian dari Sad Kertih. Dalam konsep Wana Kertih, terdapat tiga fungsi hutan untuk membangun hutan lestari (wana asri), diantaranya: (1) maha wana (hutan sebagai sumber kehidupan); (2) tapa wana (hutan sebagai sarana spiritual; (3) sri wana (hutan sebagai sarana / sumber ekonomi masyarakat). Konsep Wana Kertih ini bisa dibilang sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali. Hal ini dibuktikan dengan implementasi konsep Wana Kertih dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali. Beberapa bentuk implementasi konsep Wana Kertih dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali diantaranya: (1) adanya Tumpek Wariga / Tumpek Uduh; (2) adanya Pura Alas Angker; (3) adanya pohon-pohon besar yang menggunakan saput poleng; serta (4) adanya peraturan atau awig-awig terkait pelestarian dan perlindungan hutan.

(11)

100 Daftar Pustaka

Akriko. (2016, Desember). Ini Alasan Kenapa Pohon Besar di Bali Diikatkan Kain Poleng. Retrieved

from Akriko.com:

https://www.akriko.com/2016/12/ini -alasan-kenapa-pohon-besar-di-bali.html

Anonym. (2021). Sad Kertih. Retrieved from

Satyaning Dharma:

https://pendidikanagamahindu.word press.com/sad-kertih/

Dharmika, I. (2020). Paradoks Bali: Agama, Budaya, dan Kekerasan Hutan. Denpasar: Sarwa Tattwa Pustaka. Greenpeace. (2020). Karhutla Dalam Lima Tahun Terakhir. Jakarta: Greenpeace Indonesia.

Hutan Itu Indonesia, & Humanitarian Forum Indonesia. (2019). Buku Saku ”Hutan Itu Beragam": Perspektif Lintas Agama Tentang Perlindungan dan Pelestarian Hutan. Jakarta: Hutan Itu Indonesia.

Paramita, I. G. A. (2018). Disequilibrium Bhuana Agung Dan Bhuana Alit. Vidya Wertta :Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia, 1(2), 72-77.

https://doi.org/10.32795/vw.v1i2.19 0

Pena Bali. (2019, Januari 8). Gubernur Koster: Visi Pembangunan Nangun Sat Kerthi Loka Bali Menuju Bali Era Baru. Retrieved from Pena Bali: https://penabali.com/bali/gubernur- koster-visi-pembangunan-nangun- sat-kerthi-loka-bali-menuju-bali-era-baru/

Rasyid, F. (2014). Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan. Jurnal Lingkar Widyaiswara, 47-59.

Sanjaya, P. (2020). Hutan Lestari : Aspek Sosial Ekonomi Yang Mempengaruhinya. Denpasar: UNHI Press.

Syahni, D. (2021, Januari 26). Ratusan Bencana di Awal Tahun Penanda Krisis Lingkungan Hidup. Retrieved from MONGABAY: Situs Berita Lingkungan:

https://www.mongabay.co.id/2021/0 1/26/ratusan-bencana-di-awal-tahun-penanda-krisis-lingkungan-hidup/ Wiana, I. K. (2018). “Sad Kertih”: Sastra

Agama, Filosofi, dan Aktualisasinya. Jurnal Bali Membangun Bali, 1(3), 169-180.

https://doi.org/10.51172/jbmb.v1i3.2 9

Referensi

Dokumen terkait

dalam pelaksanaannya. Berdasarkan kendala yang dihadapi dan berbagai permasalahan yang muncul dalam pembahasan di sidang- sidang UNCOPUOS, dianalisis bentuk upaya perubahan

Gambar atau grafik merupakan bagian yang penting sistem multimedia, pada dasarnya sebuah format gambar dapat direpresentasikan kedalam tipe bitmap atau vektor, perbedaan dari

Pilihan yang sempurna para desainer, untuk pembuatan bangunan virtual akan sangat membantu dalam menelusuri wilayah atau denah gedung, khususnya gedung bertingkat yang cukup

Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan pemahaman masyarakat di RT 007 RW 004 Desa Bieto Desa Niukbaun Kecamatan Amarasi Barat memiliki pengetahuan tentang

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Pada pasal 5 (ayat 1) dikatakan bahwa pendidikan dan pelatihan merupakan bentuk pengembangan pegawai yang mendorong terhadap peningkatan kerja. Selanjutnya pada ayat

Hasil uji coba program komputer yang dibuat menunjukkan bahwa kontur dapat dimodelkan dengan baik menggunakan grafik interpolasi 2D dan 3D, parameter yang dapat diubah

Jurnal Umum-Metode Persentase Penyelesaian (Biaya Aktual) Kontrak A-202 Ref Post No... PT