• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSPEKTIF HIDROLOGIS DAN STRUKTUR BAWAH TANAH DALAM MITIGASI BENCANA MATA AIR REKAHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERSPEKTIF HIDROLOGIS DAN STRUKTUR BAWAH TANAH DALAM MITIGASI BENCANA MATA AIR REKAHAN"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PERSPEKTIF HIDROLOGIS DAN STRUKTUR BAWAH TANAH

DALAM MITIGASI BENCANA MATA AIR REKAHAN

Arhananta, Faishal Arkhanuddin, dan Muhammad Dzulfikar Faruqi

UPN VETERAN YOGYAKARTA, Jalan SWK No. 104 (Lingkar Utara) Condongcatur, 55283, Daerah Istimewa Yogyakarta

Email : arhananta@gmail.com, faishalarkhanuddin@yahoo.co.id, dzulfikarfrq@gmail.com

Abstrak

Mata air rekahan merupakan salah satu tipe mata air yang dilihat dari permunculan air. Mata air rekahan banyak bermunculan di daerah karst. Mata air ini digolongkan sebagai akuifer rekahan/fissure dengan sistem saluran diffuse. Porositas sekunder dan tingkat karstifikasi yang dihasilkan akibat pelarutan menimbulkan semakin meningkatnya debit air di daerah karst. Kenaikan debit ini juga dibarengi respon dalam saluran yang sangat cepat. Struktur bawah tanah yang kompleks akan struktur sekunder geologi berupa lipatan atau patahan yang dilanjutkan dengan pelarutan merupakan pemicu utama pembentukan rekahan tempat terisinya air yang kemudian muncul kembali di permukaan sebagai mata air rekahan yang juga suatu pertanda besarnya potensi longsor, gempa bumi, arus air deras yang tiba-tiba, maupun gerakan tanah sebagai ancaman bencana di sekitar daerah ini. Terlenanya masyarakat terhadap kenikmatan air yang melimpah membuat mereka terpicu membuka lahan pertanian di sekitar daerah mata air yang justru memperbesar rekahan di permukaan dan mempercepat pelarutan pada bidang retakan. Mitigasi struktural daerah mata air rekahan berupa pembangunan tanggul penahan pergerakan tanah yang sesuai dengan kondisi bawah permukaan. Mitigasi non struktural berupa himbauan untuk tidak membuka kawasan pertanian di sekitar mata air rekahan, papan informasi tentang gerakan tanah dan arus deras serta pembuatan jalur evakuasi merupakan solusi paling tepat setelah kita mengetahui kajian hidrologi serta struktur bawah tanah daerah mata air rekahan.

(2)

Pendahuluan

Indonesia adalah negara yang memiliki keragaman dalam kajian geologi. Karst juga merupakan suatu warna tersendiri yang melengkapi keanekaragaman tersebut. Realisasi pengembangan kawasan karst pun juga telah tercapai dengan peresmian Geopark Gunungsewu. Daerah karst memiliki banyak potensi dalam pertambangan sampai pariwisata, untuk itu pentingnya kajian mengenai karst harus terus dikembangkan. Daerah karst dihasilkan akibat adanya proses Karstifikasi. Proses ini berperan penting di dalam pelarutan batugamping yang sifatnya karbonatan dengan CO2 yang dihasilkan dari

aktivitas tumbuhan yang berada diatasnya, sehingga lama kelamaan akan melarutkan batugamping di sekitarnya dan akan membentuk suatu morfologi berupa dolina, uvala, lokva, dsb.

Pada daerah karst memiliki ciri khas berupa mata air rekahan yang terbentuk akibat adanya bidang-bidang kekar yang terdapat pada akuifer. Pada daerah karst, mata air freatik sangat dominan. Kelimpahan air freatik pun seharusnya dapat dimanfaatkan secara optimal untuk penghidupan penduduk untuk kegiatan sehari hari dan bercocok tanam, namun kelimpahan tersebut juga menuai hambatan dalam pemanfaatannya dikarenakan sifat kelarutan daerah karst yang membuat air freatik langsung masuk kedalam sungai bawah tanah. Hal tersebut dapat dibuktikan pada munculnya mata air rekahan yang terdapat di Telaga Biru Ngreneng, Desa Ngeposari, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Semakin besar debit aliran mata air yang terdapat dalam suatu karst, semakin menunjukkan bahwa tingkat karstifikasi semakin tinggi. Hal tersebut membawa nilai positif dan negatif. Hal negatif yang biasanya

terjadi adalah adanya amblesan diakibatkan adanya penggerusan lapisan batugamping oleh air. Untuk itu, mitigasi kebencaan struktural maupun nonstruktural didaerah pemunculan air khususnya pada spring yang bertujuan masyarakat sekitar daerah karst tidak dirugikan dan optimalisasi air dapat tercapai sangatlah diperlukan.

Studi Pustaka dan Dasar Teori 1. Geologi Regional

Karst di wilayah Gunung Kidul pertama kali diperkenalkan oleh Danes (1910) dan Lehmann (1936) dan lebih terkenal dengan nama karst Gunungsewu. Daerah penelitian berada di Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunung Kidul, kurang lebih 7 kilometer dari pusat kota Wonosari. Daerah penelitian termasuk ke dalam lembar Peta Geologi Lembar Surakarta – Giritontro dan terletak di atas Formasi Wonosari yang secara umum tersusun atas batugamping terumbu, kalkarenit, dan kalkarenit tufaan, dengan hubungan stratigrafi yang menjemari dengan bagian atas dari Formasi Oyo (Surono dkk dalam Widyaningtyas, 2014) .

Gambar 1. Peta daerah penelitian di daerah Semanu, Gunung Kidul, Yogyakarta (Widyaningtyas, 2014).

Secara umum daerah penelitian yang masuk dalam pegunungan selatan ini dikontrol oleh empat pola arah kelurusan geologi yaitu arah NE-SW, N-S, NNW-SE dan E-W (Van Bemmelen, 1949).

(3)

2. Hidrogeologi Karst

2.1.Akuifer

Terminologi atau batasan yang terkait dengan perlapisan geologi dan mempunyai peranan penting bagi keterdapatan airtanah adalah akuifer (aquifer), akiklud (aquiclude), dan akitard (aquitard) (Sudarmadji, 2013). Akuifer merupakan suatu unit geologi yang dapat menyimpan dan mengalirkan air dalam jumlah yang cukup. Sementara itu, unit geologi yang tidak dapat melalukan air disebut aquiclude, sedangkan aquitard adalah unit geologi dengan permeabilitas rendah yang dapat menyimpan dan mengalirkan air secara lambat.

Aquifer karst berbeda dari aquifer non-karst karena adanya jaringan pembuluh atau saluran-saluran menyerupai pipa dengan bentuk tak beraturan yang saling berintegrasi. Aquifer karst biasanya unik karena di dalamnya sering terdapat tiga jenis porositas sekaligus, yakni porositas matriks atau intergranuler (pori-pori antarbutir), porositas retakan, dan porositas rongga (Kusumayudha, 2004).

Domenico dan Schwartz (1990) membagi sifat komponen aliran di karst menjadi dua, yaitu (1) komponen aliran rembesan (diffuse) dan (2) komponen aliran saluran/lorong (conduit). Komponen diffuse adalah komponen aliran yang masuk ke sungai bawah tanah melalui proses infiltrasi yang terjadi perlahan-lahan melewati zona permukaan bukit karst (epikarst) dan kemudian mengimbuh sungai bawah tanah berupa tetesan atau rembesan-rembesan, sedangkan komponen conduit adalah komponen aliran yang mengimbuh sungai bawah tanah melalui ponor yang ada di permukaan, dan melewati rongga-rongga yang besar dengan kecepatan aliran yang cepat (Adji, 20--)

3. Karstifikasi

Karstifikasi merupakan proses permbentukan bentuk lahan karst yang didominasi proses pelarutan. Karstifikasi diawali dengan larutnya CO2 di dalam air

membentuk senyawa H2CO3. Senyawa H2CO3

bersifat tidak stabil di dalam air, sehingga terurai menjadi ion H+ dan HCO

32-.

Selanjutnya ion H+ menguraikan CaCO3

menjadi ion Ca2+ dan HCO32- (Anshori, 2015).

Reaksi dalam proses pelarutan dirumuskan sebagai berikut.

𝐶𝑎𝐶𝑂3+ 𝐻2𝑂 + 𝐶𝑂2 → 𝐶𝑎2++ 2𝐻𝐶𝑂3−

Karstifikasi dipengaruhi oleh faktor pengontrol dan faktor pendorong. Faktor pengontrol menentukan dapat tidaknya proses karstifikasi berlangsung, sedangkan faktor pendorong menentukan kecepatan dan kesempurnaan proses karstifikasi (Adji,----). Faktor Pengontrol terjadinya karstifikasi terdiri dari (1) batuan mudah larut, kompak, tebal, dan mempunyai banyak rekahan, (2) curah hujan yang cukup (>250 mm/tahun), dan (3) batuan terekspos di ketinggian yang memungkinkan perkembangan sirkulasi air/drainase secara vertikal. Sedangkan faktor pendorong terjadinya karstifikasi yaitu: (1) temperatur dan (2) penutupan hutan.

Batuan yang mengandung CaCO3

tinggi akan mudah larut. Semakin tinggi kandungan CaCO3, semakin berkembang

bentuk lahan karst. Kekompakan batuan menentukan kestabilan morfologi karst setelah mengalami pelarutan. Apabila batuan lunak, maka setiap kenampakan karst yang terbentuk seperti karen dan bukit akan cepat hilang karena proses pelarutan itu sendiri maupun proses erosi dan gerak masa batuan, sehingga kenampakan karst tidak dapat berkembang baik.

(4)

Kecamatan Semanu memiliki banyak fenomena Karst. Selain bukit kerucut, sinkholes atau dolina sangat umum dijumpai pada batugamping segar maupun lapuk. Proses pembentukan sinkholes akan memicu terjadinya amblesan tanah. Amblesan tanah ini terjadi karena adanya proses pelarutan batuan bawah permukaan oleh air yang umum terjadi pada batuan karbonat (batugamping, dolomit), endapan garam dan gypsum (Allen dalam Widyaningtyas, 2014).

Poland dan Davis dalam Putra (2014) menyatakan bahwa amblesan pada batugamping diakibatkan karena proses pelarutan batugamping secara terus menerus sehingga celah berkembang menjadi rongga, yang mana apabila bagian atas dari rongga terlalu lemah, keruntuhan atau amblesan di permukaan dapat terjadi.

Kejadian amblesan di daerah karst berkaitan dengan proses pembentukan sinkholes. Proses pembentukan sinkholes dibagi menjadi enam genesa, yaitu: solution sinkhole, collapse sinkhole, dropout sinkhole, buried sinkhole, caprock sinkhole, dan suffusion sinkhole (Waltham dkk dalam Widyaningtyas, 2014).

Gambar 2. Proses-proses amblesan yang berkaitan dengan pembentukan sinkhole (Waltham, dkk dalam Widyaningtyas,

2014)

Waltham, dkk menjelaskan bahwa solution sinkhole dan collapse sinkhole tidak memiliki litologi atau endapan penutup di atas batu gamping. Apabila lapisan penutup di atas

batugamping berupa tanah yang kohesif seperti lempung, maka tipe amblesan yang terjadi adalah dropout sinkhole. Jika lapisan penutup tersusun atas endapan pasiran, maka amblesan yang terjadi bertipe suffusion sinkhole. Dan, apabila litologi yang mengalami amblesan merupakan lapisan batuan lain maka proses pembentukan sinkhole disebut caprock sinkhole. Sedangkan buried sinkhole terjadi karena adanya proses pembebanan dan kompaksi yang dialami oleh endapan penutup secara perlahan dan waktu yang lama.

Faktor pengontrol yang berpengaruh dalam proses pembentukan sinkhole/ amblesan yaitu litologi, kelurusan geologi dan morfologi (Widyaningtyas, 2014).

Berdasarkan evaluasi peta topografi, satuan morfologi daerah penelitian dapat dibagi menjadi tiga satuan kelerengan, yaitu: (1) satuan datar-landai (kelerengan < 20°), satuan agak curam (kelerengan 20°-40°), dan satuan curam (kelerengan > 40°).

Penelitian Widyaningtyas, dkk, 2014, menunjukkan bahwa faktor pengontrol keberadaan amblesan (sinkhole) di daerah penelitian dipengaruhi secara berurutan oleh litologi (65%), jarak dari kelurusan geologi (23%), dan kelerengan (12%).

Secara umum, litologi penyusun di daerah semanu adalah perselingan batugamping terumbu dengan batugamping berlapis. Di satuan lereng datar-landai, umumnya kondisi batuan sudah mengalami pelapukan membentuk tanah/endapan berukuran lempung hingga pasir dengan fragmen-fragmen batugamping berukuran 10 cm. Di bagian yang lain, pada satuan lereng curam umum dijumpai batugamping segar (Widyaningtyas, 2014).

(5)

4. Pengelolaan Daerah Karst

Menurut Suryatmojo (2006), pengelolaan daerah karst dibagi menjadi tiga aspek, yaitu: abiotic, biotik,dan sosial.

Pengelolaan daerah karst dalam aspek abiotik meliputi: (1) Penataan kawasan berdasarkan karakteristik ekosistemnya dan penetapan zonasi-zonasinya, baik untuk kawasan budidaya, kawasan lindung, kawasan industri, kawasan pertambangan, dan fungsi-fungsi yang lain terutama untuk menjamin berjalannya fungsi hidrologis kawasan karst yang spesifik. (2) Memanfaatkan potensi air bawah tanah untuk kegiatan produksi pertanian, perkebunan, dan sarana air bersih dengan mengeksploitasi secara tepat dan mempertahankan kelestarian kualitas dan kuantitas airnya. (3) Mengembangkan potensi landscape karst yang unik sebagai potensi wisata minat khusus (ecotourism).

Sedangkan, pengelolaan dalam aspek biotik meliputi: (1) menerapkan kegiatan budidaya pertanian ramah lingkungan dengan mengurangi pemakaian pupuk dan pestisida kimiawi yang bertujuan untuk memelihara kualitas air bawah permukaan, (2) meningkatkan intensifikasi dan diversifikasi budidaya pertanian, dan (3) mengembangkan unit-unit lahan percontohan kegiatan pertanian yang optimal.

Dan yang terakhir, pengelolaan dalam aspek sosial yang meliputi: (1) meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui penyuluhan dan pelatihan tentang cara konservasi daerah karst, (2) peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat, dan (3) menyediakan pelayan fasilitas-fasilitas public, seperti listrik, air bersih dll.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode studi kajian pustaka dan data sekunder dari penelitian sebelumnya tentang karst daerah Semanu yang kemudian dianalisis lebih lanjut

lalu dititikberatkan pada mitigasi kebencanaan daerah mataair rekahan.

Hasil dan Pembahasan Hidrologi

Berdasarkan data sekunder, debit air merupakan faktor penting dalam pelarutan dalam karst. Semakin besar debit air yang mengalir pada sungai bawah permukaan karst, maka semakin besar tingkat pelarutan atau karstifikasi yang terjadi, sehingga akan menyebabkan rongga-rongga tempat mengalirnya sungai membesar dan sistem diffuse berubah menjadi sistem conduit. Daerah penelitian didominasi oleh aliran sungai bawah permukaan dengan debit yang cukup besar. Dapat dianalisis bahwa sistem yang berkembang di daerah penelitian adalah sistem conduit. Dengan berkembangnya sistem conduit, maka akan membawa dampak negatif di daerah karst tersebut, antara lain: (1) terjadinya banjir bawah permukaan pada musim hujan, (2) menurunnya kualitas airtanah karena tidak adanya penyaring, dan (3) menyebabkan terbentuknya sinkhole/amblesan karena intensifnya pelarutan yang terjadi. Semakin keruh air maka dapat diartikan semakin banyak suspensi partikel terlarut yang terangkut dalam debit air.

Struktur

Dalam penelitian ini struktur memiliki dua peran yaitu sebagai agen porositas sekunder lewat rekahan dan retakan serta peran pengontrol terbentuknya amblesan sinkhole yang memanjang menurut kelurusan geologinya.

Kebencanaan

Dari data sekunder yang telah diperoleh, dapat dianalisis bahwa kejadian amblesan/sinkhole di zona batugamping segar akan berkaitan dengan solution dan collapse sinkhole, sedangkan pada batugamping lapuk yang membentuk lapisan penutup, kejadian

(6)

amblesan/sinkhole berkaitan dengan genesa yang lain.

Mitigasi

Mitigasi di daerah penelitian menitik- beratkan pada bencana amblesan dan kekeringan di sekitar mataair rekahan agar terjadi optimalisasi potensi air pada wilayah karst. Mitigasi di daerah penelitian dibagi menjadi dua, yaitu mitigasi struktural dan mitigasi non-struktural.

Mitigasi struktural sendiri juga dibagi menjadi 2, yaitu cara alami dan non-alami, dengan tujuan membuat tanggul horizontal berupa lapisan kedap air di atas batugamping untuk menghambat air meteorik yang tersimpan dalam porositas retakan dan porositas rongga tidak langsung lolos ke dalam sirkulasi vertikal yang akan melarutkan dan meneruskan aliran air ke dalam sungai bawah tanah. Mitigasi Struktural alami yaitu dengan penanaman pohon-pohon berkayu berakar kuat seperti Tectona grandis (pohon jati) yang dapat hidup dengan baik pada musim kemarau agar batugamping yang masih keras segera lapuk dan menjadi material lempung maupun pasir penyusun tanah terrarosa yang kedap air. Penanaman pohon jati diletakkan pada daerah morfologi karst positif yang akhirnya menghasilkan tanah terrarosa penutup lapisan morfologi negatif seperti uvala ataupun sinkhole yang secara tidak langsung membuat lokva sebagai danau penampung air yang baik pada daerah karst. Sifat akar jati yang selalu mencari kemana arah air berada akan menutup retakan dan rongga pada batugamping yang menjadi recharge sistem aliran air bawah tanah yang secara tidak langsung akan mengurangi potensi amblesan serta pengontrol debit air untuk menimimalisir banjir pada daerah mata air pada saat musim penghujan. Sedangkan mitigasi struktural non-alami dengan penimbunan permukaan morfologi karst negatif dengan alat berat .

Mitigasi non-struktural di daerah mata air rekahan adalah kelanjutan dari mitigasi struktural yaitu himbauan kepada masyarakat untuk tidak bercocok tanam di daerah yang kondisi batugampingnya lapuk bukan karena akar tanaman dan menganjurkan pertanian yang bersistem tumpang sari antara tanaman pohon berkayu seperti Tectona grandis dengan tanaman berupa jagung atau tanaman palawija lain. Selain itu juga dibuat jalur evakuasi menurut kelandaian lereng (<20°) yang landai karena relatif lebih aman dari potensi amblesan dan bencana lain.

Kesimpulan

Tingkat Karstifikasi berperan penting di dalam pembentukan struktur bawah tanah dari daerah karst. Hal tersebut diakibatkan adanya pelarutan batugamping oleh kandungan CO2 yang dihasilkan oleh air yang berada pada sungai bawah tanah. Struktur bawah tanah yang terdapat pada Karst di daerah Semanu mampu membentuk tipe mata air rekahan. Selain itu, faktor-faktor seperti kekompakan batuan & debit air yang mengalir. Semakin besar debit air yang mengalir pada sungai bawah permukaan karst, maka semakin besar tingkat pelarutan atau karstifikasi yang terjadi, sehingga akan menyebabkan rongga-rongga tempat mengalirnya sungai membesar dan sistem diffuse berubah menjadi sistem conduit.

Dengan berkembangnya sistem conduit, maka akan membawa dampak negatif di daerah karst tersebut, antara lain: (1) terjadinya banjir bawah permukaan pada musim hujan, (2) menurunnya kualitas airtanah karena tidak adanya penyaring, dan (3) menyebabkan terbentuknya sinkhole/amblesan. Semua dampak itu dapat diatasi dengan mitigasi bencana. Mitigasi Struktural alam yaitu dengan penanaman pohon pohon berkayu berakar kuat seperti Tectona grandis (pohon jati) yang diletakkan pada daerah morfologi karst positif dan

(7)

akhirnya menghasilkan tanah terrarosa penutup lapisan morfologi negatif seperti uvala ataupun sinkhole yang secara tidak langsung membuat lokva sebagai danau penampung air yang baik pada daerah karst, sedangkan mitigasi struktural nonalami dengan penimbunan permukaan morfologi karst negatif dengan alat berat. Mitigasi non-struktural lewat himbauan untuk pertanian yang bersistem tumpang sari antara tanaman pohon berkayu seperti Tectona grandis dengan tanaman berupa jagung atau tanaman palawija lain serta pembuatan jalur evakuasi yang berdasar kelandaian lereng.

Pustaka

Anshori, Arif. 2015. Erosi Nol untuk Keberlanjutan Bukit Karst di Gunung Kidul. Hasil-hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Gillieson, D. 1996. Caves: Processes, Development and management, Blackwell, Oxford.

Haryono, E. Dan T. N. Adji. ---. Geomorfologi dan hidrologi karst : Buku Ajar. Kelompok Studi Karst. Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Kusumayudha, Sari B. 2004. Mengenal Hidrogeologi Karst. Yogyakarta: Pusat Studi Karst Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, UPN “Veteran” Yogyakarta.

Suryatmojo, Hatma. 2006. Strategi Pengelolaan Ekosistem Karst di Kabupaten Gunung Kidul. Dipublikasikan pada Seminar Nasional Strategi Rehabilitasi Kawasan Konservasi di Daerah Padat Penduduk. Fakultas Kehutanan UGM 2006.

Van Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia. Government Printing Office, The Hauge, Amsterdam.

Widyaningtyas C.P., Doni Perkasa Eka Putra. 2014. Pemetaan Bahaya Amblesan Daerah Karst Kecamatan Semanu, Kabupaten

Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-7, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014.

Gambar

Gambar 1. Peta daerah penelitian di daerah Semanu,  Gunung Kidul, Yogyakarta (Widyaningtyas, 2014)
Gambar 2. Proses-proses amblesan yang berkaitan dengan  pembentukan sinkhole (Waltham, dkk dalam Widyaningtyas,

Referensi

Dokumen terkait

Pengetahuan ibu primipara pada faktor perawatan payudara 88,33% baik, sedangkan 3,33% kurang baik.Perawatan payudara yang dilakukan dengan benar dan teratur

Tabel 7 merupakan hasil pengamatan terhadap jumlah akar pada setek sambung kina yang dilakukan pada saat tanaman ber- umur tiga bulan sesudah tanam. Bahan organik

Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental.Gejala-gejala yang timbul

Hindi na natuloy ni Padre Damaso ang kanyang sasabihin dahil sinunggaban siya ni Ibarra na hawak-hawak ang isang patalim.. IBARRA: Hahayaan ko kayong insultuhin ako ngunit 'wag na

Berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan Pemeriksaan Pajak, Penagihan Pajak, Norma Moral dan Kebijakan Sunset Policy terhadap Peningkatan

Kadal yang ditangkap di Cibatok pada pukul 09.00-11.00 WIB memiliki lambung yang berisi material semi utuh yang terdiri dari serangga (Ordo Hymenoptera dan Orthoptera) dan

Bahwa benar karena ada bus berhenti kemudian Terdakwa menyalip dari sebelah kanan bus sambil menyalakan klakson, bersamaan dengan itu tiba-tiba Saksi-1

Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data lunak (soft data) yang berwujud kata, kalimat serta ungkapan yang menunjukkan wujud dari diksi, rima, pemajasan, pencitraan