• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. mengenai diri. Pendekatan yang banyak membahas mengenai diri adalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. mengenai diri. Pendekatan yang banyak membahas mengenai diri adalah"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Penerimaan Diri

Penerimaan diri merupakan konsep yang di dalamnya membahas mengenai diri. Pendekatan yang banyak membahas mengenai diri adalah Rogerian, meskipun demikian penelitian ini tidak mengacu pada rumusan Rogers mengenai penerimaan diri namun menggunakan rumusan Albert Ellis. Pertimbangan penulis adalah karena penerimaan diri erat kaitannya dengan pikiran irasional dan rasional individu mengenai diri dan dibahas secara mendalam dalam REBT. Ellis (dalam Bernard, 2013), mengungkapkan bahwa individu yang tidak mampu menerima diri karena memiliki kepercayaan-kepercayaan irasional mengenai diri yang digunakan individu untuk mendefinisikan dirinya secara global.

2.1.2 Sejarah Penerimaan Diri

Penerimaan diri adalah kekuatan karakter diri manusia yang tidak mendapat perhatian pada era sebelum humanistik. Bahkan tidak mendapat tempat dalam beberapa area bahasan psikologi positif yang mempelajari secara mendalam mengenai hubungan antara kekuatan karakter dengan kebahagiaan dan kesejahteraan psikologis (Bernard 2013).

Hoffman et al., (dalam Bernard, 2013), menuliskan bahwa konsep penerimaan diri muncul sebagai bentuk kritik aliran psikologi humanis terhadap aliran sebelumnya yang mengabaikan komponen potensial diri manusia. Aliran ini menyadari terdapat suatu elemen yang hilang dalam

(2)

7 kemanusiaan manusia karena peniadaan pengalaman dan emosi manusia. Kritik pertama kali datang dari Fromm (dalam Bernard, 2013), bahwa manusia bukanlah benda. Aliran humanis dan eksistensialis berangkat dari pandangan positif mengenai manusia bahwa pada dasarnya manusia itu baik.

2.1.2 Nilai Manusia yang Sesungguhnya

Untuk sampai pada penerimaan diri perlu diawali dengan pemahaman mengenai nilai manusia sesungguhnya. Ellis (dalam Bernard, 2013), mengemukakan tiga definisi diri manusia. Pertama diri adalah manusia, kedua diri rentan melakukan kesalahan dan cenderung eror, dan ketiga adalah diri itu unik. Selain itu diri halus tak kentara, abstrak, elemen yang tidak terlihat dari kognisi, emosi, perilaku, persepsi dan memori. Diri adalah sesuatu yang sangat kompleks mulai dari karakter, sifat, perasaan, pikiran, gambaran, sensasi dan aspek-aspek fisik lainnya.

Oleh karena itu Dryden (dalam Bernard, 2013), menegaskan bahwa diri secara keseluruhan tidak bisa divaliditas nilainya. Karena diri adalah sesuatu yang abstrak, maka menghitung kelayakan diri yang abstrak untuk dapat diterima merupakan tindakan sewenang-wenang dan problematik. Harga diri manusia adalah sesuatu yang konstan atau absolut tidak dapat diubah. Diri tidak dapat diberikan suatu generalisasi yang kemudian digunakan untuk mendefinisikan totalitas dan harga diri individu. Nilai diri manusia tidak dapat diukur dengan kondisi berubah-ubah.

(3)

8 Ellis (dalam Bernard, 2013), menekankan bahwa menilai harga diri individu dalam konteks perbuatan atau tindakan baiknya, hanya akan berdampak pada penghargaan diri yang sementara dan rapuh. Afirmasi nilai manusia semestinya melihat manusia lebih dari sekedar perilakunya. Menghargai diri dalam konteks kemanusiaan dan keberadaannya adalah solusi logis bagi esensi harga diri manusia.

2.1.3 Definisi Penerimaan Diri

Ellis (dalam Richard et al., 2011), mengemukakan konsep penerimaan diri dengan istilah Unconditional Self-Acceptance (USA). USA adalah solusi logis bagi disfungsi emosi yang timbul akibat penilaian individu terhadap dirinya. Ellis menjelaskan lebih lanjut fondasi dasar hidup rasional adalah individu berhenti menilai perilakunya, namun sepenuhnya menerima diri yaitu eksistensi diri dan kemanusiaannya.

Selanjutnya Ellis (dalam Bernard et al., 2013), merumuskan penerimaan diri dengan lebih spesifik yaitu 1) individu sepenuhnya dan tak bersyarat menerima diri baik ketika individu mampu berperilaku cerdas, tepat, dan sempurna atau tidak; baik orang lain mengakui, menghargai dan mencintainya atau tidak, 2) Individu adalah manusia yang rentan berbuat salah, dan memiliki kekurangan, 3) Individu tidak memberi penilaian negatif atau positif terhadap harga diri secara menyeluruh, dan 4) Individu adalah pribadi yang berharga hanya karena individu ada di dunia meskipun individu melakukan kesalahan. Individu kehilangan harganya apabila individu tersebut mati.

(4)

9 Namun Ellis menggaris bawahi bahwa bukan berarti perilaku individu tidak boleh dievaluasi atau mengabaikan kekurangan dan kelemahan individu. USA membebaskan individu menilai sifat dan tindakannya, serta menjadikan penilaian itu sebagai pendorong perubahan diri, tapi penilaian tidak untuk ditujukan ke diri individu atau esensi diri individu. USA fokus pada satu tindakan dan menggunakannya untuk mencapai perilaku yang diharapkan di masa depan tanpa dibingungkan oleh pemikiran-pemikiran mengenai diri sebagai sebuah kesatuan global. Dengan demikian individu dapat menghindari tindakan melabel diri, generalisasi dan penyimpulan yang salah mengenai diri.

Bernard et al., (2013), mendeskripsikan penerimaan diri kaitannya dengan kekuatan karakter yaitu sebagai suatu kualitas khusus seseorang yang relatif tetap stabil dari waktu ke waktu dalam berbagai situasi di mana anak muda memiliki 1) kesadaran dan apresiasi diri terhadap karakteristik positif yang dimiliki dan mengembangkan potensi-potensi seperti kepribadian, bakat, keluarga, agama, karakteristik budaya, 2) ketika peristiwa negatif terjadi (kurang sukses, kritik, penolakan dari orang lain) atau ketika individu terlibat dalam perilaku negatif, individu mampu merasa bangga atas dirinya dan menerima diri secara tidak bersyarat, serta individu tidak menilai nilai diri dan harga dirinya secara negatif.

Menurut Bernard apabila anak-anak muda mengadopsi pemikiran ini, maka motivasi dalam mengatasi kelemahan dan tindakan yang buruk

(5)

10 bukan untuk membuktikan diri sebagai orang sukses dan baik, atau untuk mencari penerimaan dan cinta dari orang lain. Sebaliknya lebih dimotivasi oleh pemahaman bahwa pada dasarnya individu adalah pribadi yang baik.

Menurut Walters (2006), kesulitan yang ditemui orang dalam menerima diri sebagaimana adanya berakar pada kesadaran yang sempit mengenai realita bukan pada kekurangan-kekurangan yang dimiliki individu. Sehubungan dengan ini Wang (dalam Bernard, 2013), menjabarkan penerimaan diri yang autentik diperoleh dari kejujuran dari dalam diri individu mengenai keadaan atau realita yang sesungguhnya. Dengan demikian individu yang autentik dapat menerima diri berdasarkan pemahaman dan penerimaan realita kemanusiaannya terlepas dari perbuatan baik atau buruk individu.

2.1.4 Manfaat Penerimaan Diri

Menurut Fahmy (1982), penerimaan diri menolong individu membangun hubungan yang sehat dengan orang lain karena cara orang lain memandang individu mempengaruhi cara pandang individu terhadap dirinya. Individu yang merasa diterima oleh orang lain, akan dapat menerima keberadaan dirinya dan berimplikasi pada kepercayaan individu terhadap dirinya, kekuatannya dan kepada orang lain.

Menurut Bernard (2013), penerimaan diri dapat memunculkan emosi positif, hubungan sosial yang memuaskan, memampukan individu melakukan penyesuaian terhadap peristiwa negatif. Individu terbuka terhadap pengalaman hidup sehingga pemahaman diri individu semakin

(6)

11 meningkat. Hal ini menjadikan individu mampu berbicara mengenai pengalamannya dan membentuk individu menjadi pribadi yang autentik. Dengan demikian individu menjadi terbuka terhadap pengalaman orang lain, dan oleh karena itu individu tidak bersikap menghakimi orang lain.

Menurut Ellis (dalam Bernard, 2013), penerimaan diri dapat membebaskan individu dari kecemasan, depresi, dan menuntun individu kepada penjelajahan baru yang dapat membawa individu menikmati hidup dan kebahagiaan yang lebih besar

2.1.5 Membangun Penerimaan Diri

Menurut tokoh-tokoh psikologi humanis penerimaan diri dapat dicapai melalui aktualisasi diri yang bersumber dari penemuan dan pengembangan diri, membangun hubungan terapeutik, dan dengan membebaskan diri dari ketergantungan sosial serta mengijinkan diri untuk menjadi diri sebagaimana mestinya (Bernard, 2013).

Menurut Dryden dan Neenan (2006), di atas suatu kesalahan individu tetap menghormati diri sebagai pribadi yang dapat berbuat salah, tidak hanya memaafkan tindakan salah tersebut tapi mengambil tanggungjawab atasnya, memahami mengapa individu bertindak demikian, belajar dari pengalaman, membuat aturan yang sesuai dan melakukan hasil pembelajaran sehingga dalam kesempatan lain individu dapat bertindak sesuai kaidah moral.

Beberapa cara untuk mengembangkan penerimaan diri menurut Bernard et al., (2013), yaitu; (1) Accepting myself – Self-talk, (2) Menulis

(7)

12 makna menerima diri sendiri, (3) Membaca cerita, (4) Latihan menerima diri, dan (5) Self-help untuk penerimaan diri.

2.2. Sistem Pemasyarakatan di Indonesia 2.2.1 Sejarah Ringkas Pemasyarakatan

Di Indonesia istilah penjara merujuk pada tujuan pemenjaraan yaitu “penjeraan” namun seiring waktu istilah tersebut tidak digunakan lagi karena dianggap kurang sesuai. Istilah “penjara” diganti dengan “pemasyarakatan”, seperti yang terkandung dalam penjelasan singkat sejarah pemasyarakatan yang dikutip dari Surat Edaran Direktorat Jendral Pemasyarakatan tanggal 14 April 2014 tentang Pedoman Upacara Bhakti Pemasyarakatan ke-50 tahun 2014, yakni sebagai berikut:

Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah ditetapkan dengan suatu sistem perlakuan terhadap para pelanggar hukum di Indonesia yang dinamakan dengan Sistem Pemasyarakatan.

Istilah Pemasyarakatan untuk pertama kali disampaikan oleh Almarhum Bapak Saharjdjo, SH (menteri kehakiman pada saat itu) pada tanggal 5 Juli 1963 dalam pidato penganugrahan gelar Doctor Honoris Causa oleh Universitas Indonesia. Pemasyarakatan oleh beliau dinyatakan sebagai tujuan dari pidana LP.

Satu tahun kemudian, pada tanggal 27 April 1964 dalam Konferensi Jawatan KeLPan yang dilaksanakan di Lembang-Bandung, istilah Pemasyarakatan dalam konferensi ini dinyatakan sebagai satu sistem Inspekturan terhadap pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan di dalam Masyarakat.

Dalam perkembangan selanjutnya, pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan semakin mantap dengan diundangkannya Undang Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

(8)

13 Dengan adanya Undang Undang Pemasyarakatan ini maka makin kokoh usaha-usaha untuk mewujudkan visi Sistem Pemasyarakatan, sebagai tatanan mengenai arah dan batas serta cara Inspekturan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Inspektur, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggungjawab.

2.2.2 Keberadaan Narapidana di Rutan

Pemasyarakatan dibagi menjadi beberapa dan dua diantaranya adalah Rutan (Rumah Tahanan) dan LP (lembaga pemasyarakatan). Rutan adalah tempat penahanan sementara bagi individu yang belum mendapat putusan hukum di pengadilan dan LP adalah tempat pembinan bagi individu yang telah mendapat putusan pengadilan. Subyek penelitian ini berstatus narapidana di mana setelah mendapat putusan hukum sebagai narapidana dititipkan di Rutan yaitu Rutan Negara Kelas II B Salatiga.

Dari hasil wawancara dengan Ka Sub Sie Pengelolaan Rutan Salatiga tanggal 24 April 2014, kebijakan mengenai penempatan narapidana di Rutan-Rutan di Indonesia merupakan kebijakan tak tertulis. Penempatan narapidana di Rutan bukan di LP dikarenakan beberapa hal, yaitu 1) tidak semua kabupaten mempunyai LP atau terbatasnya jumlah LP, 2) terbatasnya jumlah LP menyebabkan LP melebihi kapasitas daya tampung, 3) terjadi peningkatan kejahatan sehingga LP tidak lagi dapat menampung terpidana. Hal tersebut pula yang menjadi landasan penempatan subyek di Rutan Salatiga bukan di LP.

(9)

14 2.3. Narapidana Remaja

1.3.1 Definisi Narapidana Remaja

Diakui bahwa dalam istilah hukum tidak dikenal istilah remaja, yang ada istilah di bawah umur atau belum cukup umur (Hadisuprapto, 2008). Dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan terdapat rumusan mengenai individu usia remaja yang melakukan tindak pidana disebut dengan anak pidana. Rumusan ini terdapat dalam pasal 1 butir 8 huruf a yang menyatakan bahwa “Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LP Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun”. Menurut Gunarso (dalam Hadisuprapto, 2008), secara sederhana remaja dapat dinyatakan sebagai seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun. Dengan demikian dalam rumusan UU No. 12 Tahun 1995 pasal 1 butir 8 huruf a secara tidak langsung menunjuk pada isitilah remaja meskipun tidak menggunakannya secara tertulis dalam undang-undang.

Seorang anak yang melakukan tindakan pidana disebut anak nakal atau umumnya dikenal dengan istilah juvenile delinquency. Secara etimologis istilah ini memiliki arti kejahatan anak. Namun karena memiliki makna yang sangat tajam maka diganti dengan isitilah kenakalan anak. Fuad Hasan memasukkan remaja dalam pengertian anak sehingga muncul istilah kenakalan remaja. Pengertian ini digunakan oleh Bimo walgito dalam bukunya yang berjudul “Kenakalan Anak”. Dari sinilah kemudian istilah kenakalan remaja menjadi populer (Hadisuprapto, 2008).

(10)

15 UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak pasal 4 ayat (1) merumuskan pembedaan perlakuan atau sanksi pidana terhadap anak sesuai dengan umur anak, yaitu bagi anak masih berumur 8 sampai 12 tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan anak yang telah mencapai umur 12 sampai 18 tahun dijatuhkan pidana (Soetodjo, 2006).

1.3.2 Remaja dan Perilaku Menyimpang

Perilaku menyimpang pada remaja memiliki kaitan dengan tugas perkembangan remaja dalam aspek perkembangan individualitas, emosi dan sosial. Menurut Santrock (2007), dalam perkembangan individualitasnya remaja sedang dalam proses mencari identitas diri yang terbentuk melalui relasi sosialnya yang diwarnai oleh fluktuasi emosi. Selain itu menurut Rice dan Dolgin (2008), fase remaja adalah masa mencari status atau atribut yang dapat mengarah pada penerimaan dari suatu kelompok meskipun kelompok tersebut memiliki nilai yang bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat.

Proses transisi dalam fase remaja disertai tingkah laku anti sosial yang potensial, banyak pergolakan hati dan kekisruhan hati membuat anak remaja kehilangan kontrol, kendali emosi yang meletup lalu menjadi bumerang bagi diri remaja itu sendiri. Jika dibiarkan dan tidak mendapat pembinaan hal ini dapat mengarah pada perilaku kenakalan remaja dan berujung pada tindakan kriminal. Kenakalan remaja disebabkan oleh faktor intrinsik seperti faktor intelegensi, usia, jenis kelamin, dan kedudukan anak dalam keluarga. Faktor ekstrinsik seperti keluarga,

(11)

16 pendidikan dan sekolah, pergaulan anak dan pengaruh media masa (Soetodjo, 2006).

Geldard dan Geldard (2011), masa remaja menghadirkan banyak tantangan karena kompleksnya perubahan yang harus dihadapi dalam pencapaian tugas perkembangan, salah satunya adalah pencarian identitas diri. Erikson (dalam Hurlock, 1999), pencarian identitas mempengaruhi perilaku remaja. Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat.

Hurlock (1991), dalam proses mencari jati diri, remaja berhadapan dengan berbagai kondisi baru dan tekanan-tekanan sosial. Di samping itu remaja masa sekarang diperhadapkan dengan berbagai macam pilihan lebih banyak dari peradaban sebelumnya. Izzaty dkk, (2008), menuliskan remaja diharapkan dapat mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab. Sebab menurut Piaget (dalam Hurlock, 1991), masa remaja adalah usia individu dalam usaha berintegrasi dengan masyarakat dewasa di mana individu harus menunjukkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada untuk dapat diterima dalam masyarakat.

Hadisuprapto (2008), penyebab penyimpangan perilaku pada anak salah satunya karena anak jaman sekarang tumbuh di belantara sistem nilai. Masyarakat sedang mengalami proses perubahan sosial yang cepat dari masyarakat agraris menuju industrial yang berdampak pada perubahan norma di masyarakat, di satu sisi remaja sedang mengalami konflik kejiwaan lalu diganggu oleh situasi yang berubah dan tidak jelas.

(12)

17 1.3.3 Research Hubungan Perilaku Menyimpang dengan Penerimaan Diri

Dari hasil penelitian terhadap siswa Menengah Atas oleh Kaplan, et al., (1986), tentang hubungan penolakan diri dengan perilaku menyimpang ditemukan bahwa perilaku menyimpang dapat dimotivasi oleh kebutuhan individu untuk mencapai penerimaan diri sebagai respon terhadap nilai dirinya yang kurang dihargai. Individu melakukan tindakan menyimpang karena bagian tertentu diri individu mendapat penolakan dari orang lain, lalu melalui tindakan menyimpang sekalipun berbentuk tindakan merusak diri akan individu lakukan agar mendapat penerimaan.

Menurut Winstone and Janice (2005), adolescent who are referred to crisis intervention services are often admitted after an impulsive, self-destructive act that is precipitated by a major loss, disappointment, or narcissistic injuri to their self-concept. Sementara itu menurut Rogers dan May (dalam Bernard et al., 2013), kurangnya penerimaan, sistem yang tidak adil, pengaruh negatif dari dunia sekeliling individu yang menjadikan individu terlibat dalam perilaku negatif.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku menyimpang pada remaja dapat dipicu oleh kurangnya penerimaan. Remaja perlu mendapat pendampingan melewati masa transisi dari anak-anak menuju dewasa, dari ketergantungan ke kemandirian dan dari idealisme ke dalam konsep-konsep konkret kehidupan orang dewasa. Melalui pendampingan dan penerimaan diharapkan remaja mampu mencapai perkembangan potensi diri yang maksimal.

Referensi

Dokumen terkait

Merupakan jenis kemiskinan dimana seorang individu atau masyarakat memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan, sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok

Adapun tujuan khususnya adalah: mengetahui proses pembuatan RPO dari bahan dasar CPO dan isolat; mengetahui intake ransum tikus per hari diberikan diet mengandung vitamin A

1. Peraturan Bupati Kepulauan Sangihe Nomor 4 Tahun 2012tentang Pemberian Tunjangan Perumahan bagi Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Sejalan dengan apa yang dikatakan Wulansari, Pangaribuan (2017, hlm. 23) berpendapat bahwa keluarga tidak hanya memandang anak sebagai wadah dari semua harapannya, tetapi

Dalam interaksi antara penjual dan pembeli, salah satu faktor yang memengaruhi terjadinya alih kode yaitu hadirnya orang ketiga yang dapat memengaruhi mitra tutur

Penelitian ini menggunakan beberapa tahapan seperti digambarkan dalam Gambar 1 dimana metode AHP-Indeks Model diterapkan untuk menentukan prioritas dan mengembangkan

Untuk adonan dengan penambahan -amilase dan glukoamilase 25 U/g tepung masih dihasilkan adonan yang agak kasar sama dengan roti yang terbuat dari pasta ubi jalar ungu

(3) Standar satuan biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar oleh PTN untuk menetapkan biaya yang. ditanggung