• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati serta tingkat endemisme yang sangat tinggi (Abdulhadi 2001; Direktorat KKH 2005). Dari segi keanekaragaman jenis, Indonesia menduduki tempat pertama didunia dalam kekayaan jenis mamalia (515 jenis, 36% endemik), pertama dalam kekayaan jenis kupu-kupu swallowtail (121 jenis, 44% endemik), ketiga dalam kekayaan jenis reptil (lebih dari 600 jenis, 30% endemik), keempat dalam kekayaan jenis burung (1519 jenis, 28% endemik), kelima dalam kekayaan jenis amfibi (270 jenis, 40% endemik) (BAPPENAS 2003; KLH 2003). Namun demikian Indonesia merupakan negara dengan tingkat keterancaman terhadap kepunahan spesies dan genetik yang sangat tinggi (Direktorat KKH 2006). Penyebab utama keterancaman terhadap bahaya kepunahan spesies adalah kerusakan habitat dan pemanfaatan yang tidak terkendali (McNeely 1992; Noerdjito et al. 2005; Direktorat KKH 2006).

Keanekaragaman hayati merupakan sumber kehidupan, penghidupan dan kelangsungan hidup bagi umat manusia karena potensial sebagai sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan serta kebutuhan hidup yang lain (Haeruman 1995; Addy 2002; BPPT 2006). Keanekaragaman hayati tersebut nilainya mencapai triliunan rupiah dan merupakan potensi yang besar untuk dikembangkan (BPPT 2006). Sebagian dari kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia telah dimanfaatkan dan memberikan nilai secara ekonomis. Lebih dari 6000 jenis tumbuhan dan satwa dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhannya, baik secara langsung dari alam maupun melalui kegiatan budidaya (Shiva 1994; Abdulhadi & Kardono 2005; KLH 2003).

Krisis ekonomi yang berkepanjangan yang melanda Indonesia pada tahun 1997 memaksa semua orang untuk menengok kembali berbagai potensi yang dimilikinya (Subekti & Mardiastuti 2004). Harga obat cukup tinggi apabila diukur dari tingkat daya beli masyarakat yang masih rendah (Sirait 2001), hal tersebut menyebabkan harga obat-obatan tidak terjangkau oleh masyarakat (Subekti & Mardiastuti 2004). Pengobatan tradisional dengan memanfaatkan bahan-bahan

(2)

dari alam merupakan pilihan yang diambil oleh sebagian masyarakat untuk menjaga kesehatannya, dan adanya gerakan kembali ke alam (back to nature) semakin meningkatkan pemanfaatan bahan-bahan yang berasal dari alam.

Selain tumbuh-tumbuhan, masyarakat juga menggunakan beberapa jenis satwa sebagai obat. Beberapa contoh satwa liar yang digunakan sebagai obat adalah ular kobra, kukang dan badak. Darah, empedu dan sumsum ular kobra dipercaya masyarakat dapat menyembuhkan rematik dan liver (Hartono 1996). Daging kukang dipercaya sebagai obat yang bisa meningkatkan stamina laki-laki (Nursahid & Purnama 2007). Kulit dari cula badak dipergunakan dalam pengobatan tradisional dan dipercaya dapat mengurangi demam, menyusutkan tumor dan menyembuhkan patah atau retak tulang (BTNKS 1998).

Dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan oleh masyarakat kadang kurang mengindahkan asas konservasi. Sebagian masyarakat mengambil satwa tersebut langsung dari alam tanpa membudidayakannya terlebih dahulu. Bahkan pengambilan sumberdaya alam tersebut tidak sebatas untuk memenuhi kebutuhan pengobatan sehari-hari tetapi sebagai mata pencaharian. Pemanfaatan yang berlebihan menyebabkan turunnya populasi satwa di habitatnya dan beberapa jenis terancam kepunahan. Sebenarnya masih banyak sumberdaya hayati yang belum tergali potensinya secara optimal namun keberadaannya di alam sedang terancam punah (KLH 2003). Untuk itu perlu dilakukan penggalian potensi sumberdaya alam hayati yang ada dan pembenahan pemanfaatannya agar sumberdaya alam tersebut dapat tetap lestari.

Jawa Tengah yang luasnya sekitar 3.254.412 ha mempunyai beberapa tipe hutan yang terdiri dari hutan hujan tropis dataran rendah sampai hutan hujan tropis pegunungan. Tipe hutan yang ada merupakan habitat beranekaragam sumberdaya alam hayati baik tumbuhan maupun satwa. Penduduk Propinsi Jawa Tengah sebagian besar berasal dari suku Jawa, terkenal dalam pemakaian obat-obat tradisional berupa jamu yang menggunakan bahan-bahan alami baik berupa tumbuhan maupun satwa.

Suporahardjo dan Hargono (1994) menyatakan pada awal perkembangan industri obat tradisional khususnya jamu hanya berpusat di Jawa Tengah. Berdasarkan data BPS ( 2001) dari 59 industri jamu yang ada di Indonesia, 28

(3)

diantaranya terdapat di Jawa Tengah (47,46%). Menurut Suporahardjo dan Hargono (1994) dari 350 industri obat tradisional yang tercatat di Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM) tersebar di 20 propinsi di Indonesia, 53 industri diantaranya terdapat di Jawa Tengah. Keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta pengetahuan yang dimiliki masyarakat Jawa Tengah tentang penggunaannya sebagai obat merupakan potensi yang perlu digali dan dikembangkan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang lestari.

Penelitian-penelitian keanekaragaman hayati yang ada saat ini sebagian besar tertuju pada penggunaan tumbuhan sebagai bahan obat sedangkan penelitian tentang penggunaan satwa liar sebagai bahan obat masih sangat sedikit. Oleh karena itu penelitian tentang keanekaragaman jenis dan nilai ekonomi satwa yang digunakan sebagai obat oleh masyarakat Jawa Tengah menjadi penting.

Perumusan Masalah

Akhir-akhir ini pemanfaatan satwa liar sebagai obat semakin bertambah besar, hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya penjual atau pengobat yang menggunakan bahan yang berasal dari satwa. Banyak kedai, rumah makan dan restoran yang juga menyajikan menu-menu masakan yang berasal dari satwa liar yang dipercaya dapat menyembuhkan suatu penyakit atau penambah stamina. Beberapa satwa yang digunakan sebagai obat oleh masyarakat adalah satwa yang masuk dalam daftar satwa yang terancam punah dan satwa-satwa yang statusnya dilindungi undang-undang seperti rusa, kijang, penyu dan landak.

Masyarakat biasanya mengambil satwa liar langsung dari alam dan masih jarang yang membudidayakan. Di lain pihak kondisi satwa liar yang masih tersisa di alam pun sudah menurun karena rusaknya habitat mereka. Kehidupan satwaliar semakin terdesak oleh kehidupan manusia yang jumlahnya semakin meningkat (Alikodra 1983). Dari tahun ke tahun semakin banyak daftar satwa yang kita punyai masuk ke dalam daftar satwa-satwa yang langka dan terancam punah padahal kadang belum banyak informasi yang kita dapatkan dari satwa-satwa tersebut baik bio-ekologi maupun manfaatnya. Menurut Grifo et al. (1997) dengan hilangnya keanekaragaman hayati berarti kita sudah kehilangan materi dan senjata baru untuk menyembuhkan penyakit dan mencegah kematian.

(4)

Pustaka mengenai jenis-jenis satwa yang digunakan sebagai obat di Indonesia masih sangat terbatas. Informasi tentang satwa-satwa yang digunakan untuk pengobatan sebagian besar terdapat dalam berita media massa dan jarang terdokumentasi dalam laporan atau tulisan ilmiah. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap penggunaan satwa sebagai obat, hukum mengkonsumsi beberapa jenis satwa liar yang masih menjadi perdebatan dalam agama tertentu dan kurangnya dana penelitian merupakan beberapa hal yang menyebabkan kurangnya penelitian penggunaan satwa sebagai obat (Darusman LK 30 Maret 2007, komunikasi pribadi)1.

Di negara-negara maju satwa obat sudah banyak diteliti dan menghasilkan produk-produk berupa obat tradisional maupun sudah berbentuk obat modern. Sebagai contoh, dari publikasi Grifo et al. (1997) dari 150 merek dagang obat-obatan dalam daftar IMS Amerika, 27 jenis diantaranya berasal dari mamalia maupun reptilia. Produksi obat yang menghasilkan pendapatan bagi pabrik obat ternama di negara maju ini tentunya didahului oleh serangkaian riset yang mendalam. Hal ini yang sayangnya kurang dimiliki oleh negara-negara berkembang semisal Indonesia. Padahal, keanekaragaman hayati yang tinggi berpotensi menghasilkan devisa lebih tinggi daripada sumberdaya habis terpakai seperti minyak yang suatu saat akan lenyap, sementara satwa liar akan terus bereproduksi selama dilakukan pengelolaan yang baik.

Potensi untuk menemukan senyawa obat-obatan pada organisme liar sangat besar dan memberikan salah satu alasan untuk konservasi keanekaragaman hayati. Untuk dapat melakukan pengelolaan dan pemanfaatan satwa liar secara lestari maka pemanfaatan jenis satwa yang digunakan oleh masyarakat sebagai obat dan nilai ekonominya perlu diketahui untuk menentukan strategi konservasi yang harus diambil oleh pengelola.

Dari uraian di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1 Jenis-jenis satwa obat apa saja yang selama ini digunakan oleh masyarakat di

Propinsi Jawa Tengah dan bagaimana cara penggunaannya ?

2 Bagaimana prospek penggunaan satwa obat di masa mendatang ditinjau dari aspek ekonomi dan konservasi ?

(5)

3 Permasalahan apa yang kemungkinan timbul berkaitan dengan penggunaan satwa obat tersebut ?

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk :

1 Mengetahui keanekaragaman jenis satwa liar, bagian tubuh satwa liar yang digunakan dan cara penggunaannya sebagai obat.

2 Menghitung nilai ekonomi satwa liar yang digunakan sebagai obat dan mengetahui jalur pemasarannya.

3 Mengidentifikasi permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan satwa sebagai obat.

Manfaat

Hasil penelitian merupakan data dasar keanekaragaman jenis dan nilai ekonomi satwa liar yang digunakan sebagai obat serta sebagai masukan bagi instansi terkait dalam upaya pelestarian, pengelolaan dan pemanfaatan satwa liar di Propinsi Jawa Tengah.

Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini maka ruang lingkup penelitian ini sebagai berikut :

1 Keanekaragaman jenis satwa liar terdiri dari : (a) jenis satwa liar, yang meliputi : nama daerah, nama ilmiah dan status (dilindungi/tidak dilindungi), (b) bagian satwa yang digunakan sebagai obat, (c) manfaat dan (d) cara penggunaannya,

2 Kajian nilai ekonomi dalam penelitian ini menyangkut harga pasar tiap-tiap jenis satwa liar yang digunakan sebagai obat dan kontribusi terhadap pendapatan masyarakat dari usaha pemanfaatan satwa liar sebagai obat.

Referensi

Dokumen terkait

mempertimbangkan kondisi ketidakpastian (seperti intensitas kompetisi pasar) untuk mendesain dan mengimplementasikan suatu sistem akuntansi managemen yang menyediakan informasi

menghapus layanan ke dalam atau dari registry, Find adalah operasi Service requestor untuk mencari dan menemukan layanan yang dibutuhkan, dan Bind adalah proses binding ke

Berdasarkan uji t statistik yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa dari kedua faktor pemberian pelayanan nasabahyang dilihat dari kepuasan kerja berpengaruh

Untuk ARL0 (ARL untuk peta kendali X dalam keadaan terkendali) maka p = α = probabilitas kesalahan/error tipe I (menyatakan keadaan tidak terkendali padahal keadaan

Konsep Dasar Sistem Menurut Fat pengertian sistem adalah sebagai berikut “Sistem adalah suatu himpunan suatu “benda” nyata atau abstrak (a set of thing) yang

Saat ini selalu diadakan evaluasi tentang tatanan zonasi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi sebab dikhawatirkan kegiatan perumputan yang dilakukan masyarakat

BBCA memiliki indikator Stoc osc, Macd, dan Rsi mengindikasikan pola Uptrend, BBCA berhasil menembus Resistance di level harga 17950 sehingga terbuka peluang untuk menguji

Tujuan penelitian ini adalah untuk merancang sebuah sistem pelaporan pelaksanaan kegiatan Sensus Penduduk 2020 (SP2020) pada unit wilayah terkecil oleh setiap pegawai di Badan