Bab II Studi Pustaka
II-1 BAB II
STUDI PUSTAKA
2.1 Pengertian Pelatihan
Menurut Gomes (1997), “Pelatihan adalah setiap usaha untuk memperbaiki prestasi kerja pada suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggung jawabnya. Idealnya, pelatihan harus dirancang untuk mewujudkan tujuan-tujuan organisasi, yang pada waktu bersamaan juga mewujudkan tujuan-tujuan para pekerja secara perorangan. Pelatihan sering dianggap sebagai aktivitas yang paling umum karena melalui pelatihan, para pekerja akan menjadi lebih terampil dan karenanya akan lebih produktif sekalipun manfaat-manfaat tersebut harus diperhitungkan dengan waktu yang tersita ketika pekerja sedang dilatih”. Sedangkan, Pelatihan menurut Gary Dessler (1997) adalah “Proses mengajarkan karyawan baru atau yang ada sekarang, keterampilan dasar yang mereka butuhkan untuk menjalankan pekerjaan mereka”. Pelatihan merupakan salah satu usaha dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia dalam dunia kerja. Tenaga Kerja, baik yang baru ataupun yang sudah bekerja perlu mengikuti pelatihan karena adanya tuntutan pekerjaan yang dapat berubah akibat perubahan lingkungan kerja, strategi dan lain sebagainya.
Bab II Studi Pustaka
II-2
2.2 Tujuan Pelatihan
Menurut Moekijat (1991) tujuan umum dari pada pelatihan adalah :
a. Untuk mengembangkan keahlian sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan
lebih cepat dan lebih efektif.
b. Untuk mengembangkan pengetahuan sehingga pekerjaan dapat diselesaikan
secara rasional.
c. Untuk mengembangkan sikap, sehingga menimbulkan kerja sama dengan
teman-teman pegawai dan pimpinan.
Pada umumnya disepakati paling tidak terdapat tiga bidang kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan proses manajemen Hersey dan Blanchart (1992) yaitu :
a. Kemampuan teknis (technical and skill), kemampuan menggunakan
pengetahuan, metode, teknik, dan peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas tertentu yang diperoleh dari pengalaman, pendidikan dan training.
b. Kemampuan sosial (human atau social skill), kemampuan dalam bekerja dengan
melalui orang lain, yang mencakup pemahaman tentang motivasi dan penerapan kepemimpinan yang efektif.
c. Kemampuan konseptual (conceptual skill) yaitu kemampuan untuk memahami
kompleksitas organisasi dan penyesuaian bidang gerak unit kerja masing-masing ke dalam bidang operasi secara menyeluruh. Kemampuan ini memungkinkan seseorang bertindak selaras dengan tujuan organisasi secara menyeluruh dari
Bab II Studi Pustaka
II-3
pada hanya atas dasar tujuan kebutuhan keluarga sendiri.
Tujuan-tujuan tersebut diatas tidak dapat dilaksanakan atau dicapai, kecuali apabila pimpinan menyadari akan pentingnya latihan yang sistematis dan karyawan-karyawan sendiri percaya bahwa mereka akan memperoleh keuntungan. Tujuan pengembangan pegawai jelas bermanfaat atau berfungsi baik bagi organisasi maupun karyawan sendiri.
2.3 Alasan Pentingnya diadakan Pelatihan
Menurut Hariandja (2002), ada beberapa alasan penting untuk mengadakan pelatihan, yaitu :
a. Karyawan yang baru direkrut sering kali belum memahami secara benar
bagaimana melakukan pekerjaan.
b. Perubahan-perubahan lingkungan kerja dan tenaga kerja. Perubahan-perubahan
disini meliputi perubahan-perubahan dalam teknologi proses seperti munculnya teknologi baru atau munculnya metode kerja baru.
c. Meningkatkan daya saing perusahaan dan memperbaiki produktivitas. Saat ini
daya saing perusahaan tidak bisa lagi hanya dengan mengandalkan aset berupa modal yang dimiliki, tetapi juga harus sumber daya manusia yang menjadi elemen paling penting untuk meningkatkan daya saing sebab sumber daya manusia merupakan aspek penentu utama daya saing yang langgeng.
Bab II Studi Pustaka
II-4
d. Menyesuaikan dengan peraturan-peraturan yang ada, misalnya standar
pelaksanaan pekerjaan yang dikeluarkan oleh asosiasi industri dan pemerintah, untuk menjamin kualitas produksi atau keselamatan dan kesehatan kerja.
2.4 Teknik – Teknik Pelatihan
Program latihan menurut Handoko (1995) dirancang untuk meningkatkan prestasi kerja, mengurangi absensi dan perputaran, serta memperbaiki kepuasan kerja. Ada dua kategori pokok program latihan manajemen :
2.4.1. Metode Praktis
Teknik-teknik “on the job trainning” merupakan metode latihan yang paling banyak digunakan. Karyawan dilatih tentang pekerjaan yang baru dengan supervisi langsung, seorang “pelatih” yang berpengalaman. Berbagai macam teknik ini yang biasa digunakan dalam praktek adalah sebagai berikut :
1. Rotasi jabatan merupakan latihan dengan memberikan kepada karyawan
pengetahuan tentang bagian-bagian organisasi yang berbeda dan praktek berbagai macam ketrampilan manajerial.
2. Latihan instruksi pekerjaan merupakan latihan dengan memberikan
petunjuk-petunjuk pekerjaan diberikan secara langsung pada pekerjaan dan digunakan terutama untuk melatih para karyawan tentang cara pelaksanaan pekerjaan sekarang.
Bab II Studi Pustaka
II-5
3. Magang merupakan latihan dengan memberikan proses belajar dari
seorang atau beberapa orang yang telah berpengalaman.
Pendekatan itu dapat dikombinasikan dengan latihan “off job trainning”. Hampir semua karyawan pengrajin (care off), seperti tukang kayu dan ahli pipa atau tukang ledeng, dilatih dengan program-program magang formal.
Aksestensi dan internship adalah bentuk lain program magang.
4. Pengarahan merupakan latihan dengan penyelia atau atasan memberikan
bimbingan dan pengarahan kepada karyawan dalam pelaksanaan kerja rutin mereka. Hubungan penyelia dan karyawan sehingga bawahan serupa dengan hubungan kotor mahasiswa.
5. Penugasan sementara merupakan latihan dengan memberikan penempatan
karyawan pada posisi manajerial atau sebagai anggota panitia tertentu untuk jangka waktu yang ditetapkan.
2.4.2. Metode Simulasi
Dengan metode ini karyawan peserta latihan representasi tiruan (artificial). Suatu aspek organisasi dan diminta untuk menanggapinya seperti dalam keadaan sebenarnya. Diantara metode-metode simulasi yang paling umum digunakan adalah sebagai berikut :
Bab II Studi Pustaka
II-6
1. Metode Studi Kasus.
Deskripsi tertulis suatu situasi pengambilan keputusan nyata disediakan. Aspek organisasi terpilih diuraikan pada lembar kasus. Karyawan yang terlibat dalam tipe latihan ini diminta untuk mengidentifikasikan masalah-masalah, menganalisa situasi dan merumuskan penyelesaian-penyelesaian alternatif. Dengan metode kasus, karyawan dapat mengembangkan ketrampilan pengambilan keputusan.
2. Permainan Rotasi Jabatan.
Teknik ini merupakan suatu peralatan yang memungkinkan para karyawan (peserta latihan) untuk memainkan berbagai peranan yang berbeda. Peserta ditugaskan untuk individu tertentu yang digambarkan dalam suatu periode dan diminta untuk menanggapi para peserta lain yang berbeda perannya. Dalam hal ini tidak ada masalah yang mengatur pembicaraan dan perilaku. Efektifitas metode ini sangat bergantung pada kemampuan peserta untuk memainkan peranan (sedapat mungkin sesuai dengan realitas) yang ditugaskan kepadanya. Teknik role playing dapat mengubah sikap peserta seperti misal menjadi lebih toleransi terhadap perbedaan individual, dan mengembangkan ketrampilan, ketrampilan antar pribadi (interpersonal skill).
Bab II Studi Pustaka
II-7
3. Permainan Bisnis.
Bussiness (management) game adalah suatu simulasi pengambilan keputusan skala kecil yang dibuat sesuai dengan kehidupan bisnis nyata. Permainan bisnis yang komplek biasanya dilakukan dengan bantuan
komputer untuk mengerjakan perhitungan-perhitungan
yang diperlukan. Permaianan di sistem dengan aturan-aturan tentunya yang diperoleh dari teori ekonomi atau dari studi operasi-operasi bisnis atau industri secara terperinci. Para peserta memainkan “game” dengan memutuskan harga produk yang akan dipasarkan, berapa besar anggaran penjualan, siapa yang akan ditarik dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk melatih para karyawan (atau manajer) dalam pengambilan keputusan dan cara mengelola operasi-operasi perusahaan.
4. Ruang Pelatihan.
Agar program latihan tidak mengganggu operasi-operasi normal, organisasi menggunakan vestibule trainning. Bentuk latihan ini bukan dilaksanakan oleh atasan (penyelia), tetapi oleh pelatih-pelatih khusus. Area-area yang terpisah dibangun dengan berbagai jenis peralatan sama seperti yang akan digunakan pada pekerjaan sebenarnya.
5. Latihan Laboratorium.
Teknik ini adalah suatu bentuk latihan kelompok yang terutama digunakan untuk mengembangkan ketrampilan-ketrampilan antar pribadi. Salah satu
Bab II Studi Pustaka
II-8 bentuk latihan laboratorium yang terkenal adalah latihan sensitivitas
dimana peserta belajar menjadi lebih
sensitif (peka) terhadap perasaan orang lain dan lingkungan. Latihan ini berguna untuk mengembangkan berbagai perilaku bagi tanggung jawab pekerjaan diwaktu yang akan datang.
6. Program-program pengembangan eksekutif.
Program-program ini biasanya diselenggarakan di Universitas atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Organisasi bisa mengirimkan para karyawannya untuk mengikuti paket-paket khusus yang ditawarkan ; atau bekerjasama dengan suatu lembaga pendidikan untuk menyelenggarakan secara khusus suatu bentuk penataran, pendidikan atau latihan sesuai kebutuhan organisasi.
2.5 Manfaat Pelatihan
Manullang (1990) memberikan batasan tentang manfaat nyata yang dapat diperoleh dengan adanya program pelatihan yang dilaksanakan oleh organisasi/perusahaan terhadap karyawannya, yaitu sebagai berikut :
a. Meningkatkan rasa puas karyawan.
b. Pengurangan pemborosan.
c. Mengurangi ketidakhadiran dan turn over karyawan.
Bab II Studi Pustaka
II-9
e. Menaikkan tingkat penghasilan.
f. Mengurangi biaya-biaya lembur.
g. Mengurangi biaya pemeliharaan mesin-mesin.
h. Mengurangi keluhan-keluhan karyawan.
i. Mengurangi kecelakaan kerja.
j. Memperbaiki komunikasi.
k. Meningkatkan pengetahuan karyawan
l. Memperbaiki moral karyawan.
m. Menimbulkan kerja sama yang lebih baik.
Manfaat lain yang diperoleh dari latihan kerja yang dilaksanakan oleh setiap organisasi perusahaan menurut Soeprihanto (1997) antara lain :
a. Kenaikan produktivitas.
Kenaikan produktivitas baik kualitas maupun kuantitas. Tenaga kerja dengan program latihan diharapkan akan mempunyai tingkah laku yang baru, sedemikian rupa sehingga produktivitas baik dari segi jumlah maupun mutu dapat ditingkatkan.
b. Kenaikan moral kerja.
Apabila penyelenggara latihan sesuai dengan tingkat kebutuhan yang ada dalam organisasi perusahaan, maka akan tercipta suatu kerja yang harmonis dan semangat kerja yang meningkat.
Bab II Studi Pustaka
II-10
c. Menurunnya pengawasan.
Semakin percaya pada kemampuan dirinya, maka dengan disadarinya kemauan dan kemampuan kerja tersebut, para pengawas tidak terlalu dibebani untuk setiap harus mengadakan pengawasan.
d. Menurunnya angka kecelakaan.
Selain menurunnya angka pengawasan, kemauan dan kemampuan tersebut lebih banyak menghindarkan para pekerja dari kesalahan dan kecelakaan.
e. Kenaikan stabilitas dan fleksibilitas tenaga kerja.
Stabilitas disini diartikan dalam hubungan dengan pergantian sementara karyawan yang tidak hadir atau keluar.
f. Mengembangkan pertumbuhan pribadi.
Pada dasarnya tujuan perusahaan mengadakan latihan adalah untuk memenuhi kebutuhan organisasi perusahaan, sekaligus untuk perkembangan atau pertumbuhan pribadi karyawan.
2.6 Karakteristik Tenaga Kerja Konstruksi
Usaha jasa konstruksi berpeluang untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan. Struktur demografi Indonesia dengan lebih banyak penduduk berusia muda mengakibatkan pertumbuhan angkatan kerja (1,69%/ tahun), lebih besar dari pertumbuhan rata-rata penduduk (1,49%/ tahun). Pada tahun 2005 jumlah penduduk usia kerja (penduduk dengan usia lebih besar dari 15 tahun) mencapai 155,5 juta jiwa
Bab II Studi Pustaka
II-11 (BPS, 2006). Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) adalah 68,02% atau ekivalen 105,8 juta, di mana jumlah penduduk yang bekerja 94,9 juta dan jumlah penganggur terbuka 10,8 juta. Sementara itu jumlah setengah penganggur mencapai 49,7 juta jiwa. Sejalan dengan proses industrialisasi, penyerapan tenaga kerja sektor manufaktur cenderung meningkat sementara sektor pertanian cenderung menurun. Kecenderungan peningkatan penyerapan tenaga kerja juga terjadi pada sektor jasa konstruksi, dari 105,8 juta penduduk yang bekerja,data tahun 2005, 44,02% bekerja di sektor pertanian, 12,2% di sektor manufaktur dan 4,6% di sektor industri konstruksi.
Ditinjau dari aspek pendidikan, kualitas tenaga kerja masih rendah, dari 4 juta lebih tenaga kerja jasa konstruksi, 58,6% berpendidikan SD ke bawah, 36,5% berpendidikan SLTP/SMU serta 4,9% berpendidikan Diploma/Universitas (BPS, 2004). Penelitian yang dilakukan terhadap perusahaan jasa konstruksi menunjukkan bahwa baru 10-20% dari pegawai tetap yang telah mempunyai sertifikat tenaga ahli dan tenaga terampil berdasarkan ketentuan UU No.18/ 1999 tentang Jasa Konstruksi (Guntara, A., 2005).
Data di atas menunjukkan bahwa meskipun sudah diatur pada UUJK No.18/ 1999 bahwa setiap tenaga kerja konstruksi harus memiliki sertifikat, namun di Iapangannya belum sepenuhnya diterapkan, hal itu bisa terjadi karena law enforcement yang kurang dari pemerintah sebagai regulator.
Bab II Studi Pustaka
II-12
a) Bidang keahlian dan keterampilan
1). Standar kemampuan badan usaha jasa konstruksi
Standar kemampuan badan usaha adalah perumusan tentang kemampuan yang harus dimiliki badan usaha untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi yang didasarkan atas sumber daya keuangan, personalia/SDM, pengalaman badan usaha, dan manajemen mutu. Pada umumnya dasar penilaian standar kemampuan badan usaha adalah meliputi hal-hal berikut :
o Sumber Daya Keuangan
Kemampuan keuangan badan usaha ditentukan berdasarkan penilaian terhadap kekayaan bersih yang dimiliki. Untuk badan usaha Kualifikasi Besar, penilaian kemampuan keuangan didasarkan pada Neraca Keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik.
o Personalia/ SDM
Keberadaan personalia debagai indikator kemampuan sumber daya manusia
badan usaha ditentukan berdasarkan penilaian terhadap Pimpinan
Perusahaan/Direksi sebagai Penanggung Jawab Badan Usaha (PJBU), serta terhadap Penanggung Jawab Bidang/Sub-bidang (PJB/PJSB) Pekerjaan yang dimiliki badan usaha. Penilaian terhadap personalia badan usaha didasarkan kepada jumlah minimal tenaga PJO, PJB, dan PJSB yang harus dimiliki badan usaha, dan didasarkan kepada pendidikan minimal serta pengalaman tenaga yang bersangkutan.
Bab II Studi Pustaka
II-13
o Pengalaman Badan Usaha
1. Nilai pekerjaan dari pengalaman badan usaha ditentukan dengan
memperhitungkan pengalaman masa lalu badan usaha dalam melaksanakan setiap sub-bidang pekerjaan selama kurun waktu 8 tahun atau 3 tahun terakhir.
2. Perhitungan nilai pekerjaan sekarang dapat dilakukan dengan
mempergunakan konversi nilai pekerjaan pengaiaman masa lalu badan usaha.
o Manajemen Mutu
Pemahaman manajemen mutu dibuktikan dengan sertifikat ISO 9001 - 2000 dan sertifikat kepesetaraan mengikuti pendidikan dan pelatihan ISO 9001 - 2000 dari penanggung jawab badan usaha/operasi/bidang/sub-bidang dalam pelatihan manajemen mutu.
2). Standar kemampuan badan usaha jasa konstruksi nasional yang diatur LPJK
dalam Peraturan LPJK No.11 Tahun 2006 tentang Registrasi Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi menjadi acuan bagi asosiasi badan usaha jasa konstruksi untuk mengatur penilaian standar kemampuan badan usaha jasa konstruksi, dengan penilaian sebagai berikut :
o Kemampuan Usaha, dengan faktor - faktor yang dinilai
o Kekayaan bersih/modal kerja
Bab II Studi Pustaka
II-14 Penilaian Pengalaman, dengan faktor - faktor yang dinilai :
o Kemampuan menangani paket pekerjaan/proyek
o Kemampuan dasar
o Nilai paket pekerjaan
Penilaian kemampuan teknis, dengan faktor-faktor yang dinilai :
o Sumber daya manusia
o Peralatan
o Teknolgi
b) Tingkat Pendidikan ; tingkat pendidikan merupakan salah satu indikator kualitas
tenaga kerja Indonesia. Pada tahun 2003 jumlah tenaga kerja tetap berpendidikan akademi dan universitas sebesar 124,8 ribu orang, pada 2007 naik menjadi sekitar 148,4 ribu orang. Ini berarti pekerja tetap berpendidikan perguruan tinggi tumbuh sekitar 4,4 % pertahun. Dilain pihak, jumlah tenaga tetap berpendidikan dasar dan menengah sebesar 253,1 ribu orang pada tahun 2003 turun menjadi 223,5 ribu orang pada tahun 2007 atau menurun sekitar 3,1% per tahun.
Bab II Studi Pustaka
II-15 2.7 Kondisi Industri Konstruksi
Dalam asas pengaturan jasa konstruksi di atas, terdapat dua asas yang sangat menentukan perwujudan daya saing industri konstruksi nasional, yaitu asas kemandirian dan asas kemitraan, sementara asas-asas yang lain merupakan nilai (values) universal yang harus diadopsi oleh masyarakat demokrasi global, seperti juga halnya dengan permasalahan kesederajatan dan kesetaraan gender dan pelestarian lingkungan. Asas kemandirian dikatakan dalam penjelasan UU tersebut mengandung pengertian tumbuh dan berkembangnya daya saing jasa konstruksi nasional, sementara asas kemitraan mengandung makna hubungan kerja yang harmonis, terbuka, bersifat timbal balik, dan sinergis antara berbagai pihak yang berkaitan.
Prinsip koperasi dan kompetisi yang dilandasi oleh nilai moral yang tinggi melengkapi asas pengaturan jasa konstruksi yang telah ditetapkan dalam UU No. 18 tahun 1999 merupakan mekanisme yang harus ditempuh untuk meningkatkan daya saing industri konstruksi nasional. Koperasi mengandung makna adanya keinginan bersama untuk merumuskan dan mematuhi peraturan yang akan digunakan dalam melakukan interaksi, sinergi dan kompetisi. Kompetisi harus berlangsung diatas medan datar sehingga memberikan kesempatan yang adil bagi semua kelompok untuk maju. Prinsip kooperasi dan kompetisi ini dapat terlaksana dengan adanya peran pemerintah yang kuat dalam kebijakan arah pengembangan, regulasi, perijinan, intervensi market mechanism, pemberdayaan dan keberpihakan kepada yang lemah
Bab II Studi Pustaka
II-16 serta demokratisasi dan partisipasi peran masyarakat yang diwujudkan dengan peningkatan peran masyarakat dan peningkatan peran organisasi sejawat seperti asosiasi perusahaan maupun asosiasi profesi.
Pengetahuan industri konstruksi (Teknik Sipil) sebenarnya telah dikenal bangsa Indonesia jauh sebelum kemerdekaan. Pemerintah kolonial Belanda telah banyak membangun infrastruktur di Indonesia untuk kepentingan perekonomiannya. Sejak Indonesia merdeka tahun 1945 sampai dengan tahun 1960, pembangunan infrastruktur dilakukan secara swakelola oleh pemerintah. Sejarah industri konstruksi nasional baru dimulai pada dekade 1960 dengan dinasionalisasikannya beberapa perusahaan Belanda menjadi Perusahaan Negara. Perusahaan-perusahaan tersebut mendapat pekerjaan dari pemerintah untuk melaksanakan proyek-proyek 'mandataris' seperti Monumen Nasional (MONAS), Hotel Indonesia, Wisma Nusantara, Jembatan Semanggi, Gelora Senayan, dll. Pekerjaan diberikan dengan penunjukkan dan sama sekali tidak terjadi proses kompetisi. Mulai tahun 1970, sejalan dengan mulai dilaksanakannya Pembangunan Lima Tahun (Pelita), Perusahaan Negara diubah statusnya menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Persaingan mulai diperkenalkan, proyek mulai ditenderkan, walaupun dalam suasana semu, sarat dengan aroma korupsi, kolusi dan nepotisme, memperebutkan kue pembangunan yang hampir seluruhnya merupakan dana pemerintah yang berasal dari pinjaman Iuar negeri dan dikelola secara sentralistik. Ketentuan pengadaan barang dan jasa diatur melalui Keputusan Presiden
Bab II Studi Pustaka
II-17 (Keppres), yang sudah membedakan kualifikasi usaha kecil, menengah dan besar. Peraturan tersebut selalu dipatuhi secara administratif, tetapi tidak secara makna dan substantif. BUMN yang jumlahnya cukup banyak mendominasi sebagian proyek-proyek besar, partisipasi masyarakat (swasta) dalam melaksanakan, mengawasi dan mendanai pembangunan masih sangat rendah. Perkembangan umum industri konstruksi nasional ini diilustrasikan pada Gambar 2.1. (Suraji, A : 2007)
Gambar 2.1
Perkembangan umum industri konstruksi nasional.
Pada tahun 1990, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 8 tahun 1990 tentang Jalan Tol, yang memberikan kewenangan khusus kepada PT Jasa Marga, suatu BUMN, untuk menyelenggarakan jalan tol di Indonesia. Kebijakan tersebut juga menandai dimulainya keterlibatan swasta dalam mendanai
1945-1960 SWAKELOLA Pemerintah Pembangunan Infrastruktur PENUNJUKAN >1960 BUMN Pemerintah Pembangunan Infrastruktur PENUNJUKAN Sekarang BUMN Procurement Pemerintah Pembangunan Infrastruktur
Bab II Studi Pustaka
II-18 pembangunan infrastruktur jalan di Indonesia. Sayangnya kesempatan kerjasama tidak diberikan secara terbuka dan kemudian malah berada dalam genggaman sekelompok konglomerat yang dekat dengan penguasa. Penyelenggaraan jalan tol, dengan penyatuan peran regulator dan operator, serta dominasi kelompok pengusaha tertentu tersebut menghambat pengembangan industri jalan tol Indonesia. Dewasa ini, kita jauh tertinggal dibanding Malaysia dan Cina yang memulai pembangunan jalan tolnya 10-15 tahun lebih lambat, tetapi jalan tolnya pada saat ini telah 2-5 kali lebih panjang.
Dalam era globalisasi yang terutama dicirikan dengan ketatnya persaingan, tuntutan tata kepemerintahan yang baik (good governance) dalam seluruh kegiatan pemerintah dan pembangunan tidak dapat dielakkan lagi, karena kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengatur dirinya sendiri dan bekerjasama secara kreatif dengan bangsa-bangsa lain. Namun demikian, penerapan good
governance tidak semata-mata karena adanya proses globalisasi tersebut. Ada tidak
adanya globalisasi, good governance tetap diperlukan, bahkan sejak suatu organisasi pemerintahan atau negara dibentuk. Tanpa tata kepemerintahan yang baik mustahil kondisi dunia usaha dapat menjadi sehat dan peningkatan kualitas serta daya saing nasional dapat terwujud. Governance terdiri dari tiga unsur yaitu pemerintah, sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil seperti digambarkan pada Gambar 2.2. Unsur pemerintah terutama sekali terdiri dari institusi-institusi sektor publik. Unsur sektor swasta mencakup perusahaan-perusahaan besar dan kecil, formal dan tidak formal
Bab II Studi Pustaka
II-19 yang bekerja melalui mekanisme pasar. Organisasi masyarakat sipil mencakup kelompok-kelompok yang dibentuk secara sukarela oleh warga masyarakat profesional termasuk serikat pekerja, asosiasi profesi, lembaga swadaya masyarakat.
Gambar 2.2
Tiga pilarlaktor dalam good governance.
Ketiganya unsur ini mempunyai peran masing-masing. Pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) memainkan peran menjalankan dan menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif bagi unsur-unsur lain dalam governance. Dunia usaha swasta berperan dalam penciptaan lapangan kerja dan pendapatan. Masyarakat berperan dalam penciptaan interaksi sosial, ekonomi dan politik. Tiga unsur ini berinteraksi satu dengan yang lain, dan kualitas governance sangat ditentukan oleh intensitas dan kualitas interaksi di antara ketiganya. Good governance tidak bisa terjadi apabila hanya satu atau dua unsur yang kuat. Good governance memerlukan tiga unsur yang kuat dan berinteraksi secara dinamis, saling mengimbangi, saling
Dunia Usaha Swasta
(Good Cooperate Governance) Masyarakat
Pemerintah (Good Public Governance)
Bab II Studi Pustaka
II-20 mendukung, saling mengendalikan, saling melengkapi. Ketiga unsur tersebut dalam memainkan perannya masing-masing harus sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam tata kepemerintahan yang baik.
Dari telusuran keberagaman wacana good governance, terdapat sekumpulan nilai yang perlu diterapkan di Indonesia. Sebagian dari nilai tersebut sebenarnya telah tumbuh dan berkembang dalam akar budaya masyarakat Indonesia. Walaupun demikian, nilai-nilai tersebut sangat relevan untuk kembali diterapkan dalam kehidupan kita, hanya saja istilah dan kemasannya yang berbeda.
Prinsip-prinsip good governance yang belum sepenuhnya terlaksana saat ini menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat. KKN terjadi dimana-mana, tidak terkecuali di sektor konstruksi, terutama dalam hal pelaksanaan tender-tender pekerjaan pemerintah. Pelaksanaan pembangunan harus diarahkan kepada terwujudnya sustainable construction yang pada akhirnya akan mendukung pembangunan yang berkelanjutan atau sustainable development. Terwujudnya
sustainable construction ditandai oleh tiga indikator yang berhubungan dengan
permasalahan ekonomi, lingkungan hidup dan sosial. Ketiga indikator ini disebut konsep triple bottom lines yaitu:
1. Economically efficient, dimana pembangunan yang dilaksanakan haruslah efisien
dalam kaitannya dengan sumber daya ekonomi yang terbatas, sehingga diperlukan adanya inovasi dalam hal pengetahuan, teknologi dan keterampilan.
Bab II Studi Pustaka
II-21 2. Environmentally sustainable, dimana pembangunan yang dilakukan tidak boleh
merusak lingkungan, sehingga diperlukan adanya kesadaran untuk menjaga Iingkungan dan sustainability-nya.
3. Socially equitable, untuk menghindari terjadinya disparitas sosial dengan cara
melindungi pengusaha kecil dan pengusaha menengah.
2.8 Kapasitas Industri Konstruksi
Lingkungan bisnis industri konstruksi baik di negara maju maupun di negara berkembang dikenal sebagai industri yang berbiaya tinggi dengan produktivitas rendah tingkat kecelakaan kerja yang tinggi. Di Indonesia, kondisi ini diperparah dengan maraknya praktik KKN di dalamnya.
Dari segi produktivitas pekerjaan konstruksi di Indonesi, terjadi penurunan produktivitas pada tahun 1998-2002 hampir di semua jenis bangunan konstruksi, namun mulai terlihat adanya peningkatan setelah tahun 2003. Dalam upaya meningkatkan produktivitas pekerjaan konstruksi, terdapat dua faktor penting yang harus diperhatikan, yaitu, peningkatan jumlah tenaga terampil (skilled labour) dan kontrol pengawasan (supervisor control). Peningkatan produktivitas secara langsung akan meningkatkan nilai tambah tenaga kerja konstruksi dan memberikan peningkatan konstribusi industri konstruksi dalam GDP.
Bab II Studi Pustaka
II-22 Keselamatan kerja merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam industri konstruksi, karena dalam pekerjaan-pekerjaan konstruksi sangat rawan terjadi kecelakaan kerja. Faktor keselamatan menjadi faktor perhatian utama oleh badan usaha jasa konstruksi asing saat ingin berpartisipasi dalam usaha jasa konstruksi di Indonesia. Sejauh ini belum ada data akurat tentang frekuensi terjadinya kecelakan kerja konstruksi di Indonesia.
2.9 Tenaga Kerja Industri Konstruksi
Usaha jasa konstruksi berpeluang untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan. Struktur demografi Indonesia dengan lebih banyak penduduk berusia muda mengakibatkan pertumbuhan angkatan kerja (1,69%/tahun), lebih besar dari pertumbuhan rata-rata penduduk (1,49%/tahun). Pada tahun 2005 jumlah penduduk usia kerja (penduduk dengan usia lebih besar dari 15 tahun) mencapai 155,5 juta jiwa (BPS, 2006). Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) adalah 68,02% atau ekivalen 105,8 juta, di mana jumlah penduduk yang bekerja 94,9 juta dan jumlah penganggur terbuka 10,8 juta. Sementara itu jumlah setengah penganggur mencapai 49,7 juta jiwa. Sejalan dengan proses industrialisasi, penyerapan tenaga kerja sektor manufaktur cenderung meningkat sementara sektor pertanian cenderung menurun. Kecenderungan peningkatan penyerapan tenaga kerja juga terjadi pada sektor jasa konstruksi seperti ditunjukkan oleh Tabel 2.1. Dari 105,8 juta penduduk yang bekerja,data tahun 2005, 44,02% bekerja di sektor pertanian, 12,2% di sektor manufaktur dan 4,6% di sektor industri konstruksi.
Bab II Studi Pustaka
II-23 Tabel 2.1
Perkembangan jumlah dan penyerapan tenaga kerja nasional berdasarkan sektor pertanian, manufaktur dan industri konstruksi
Tahun Jumlah angkatan kerja (juta)
Jumlah yang bekerja (juta)
Penyerapan sektor (%)
Pertanian Manufaktur Jasa Konstruksi
1960 53,3 35,7 55,4 10,6 2,3 1973 65,8 44,0 - 6,7 2,1 1983 74,2 71,2 54,7 10,4 3,7 1993 82,6 80,4 53,9 10,4 3,2 1997 91,3 86,4 40,7 12,9 4,9 1998 92,7 87,7 44,9 11,3 - 4,0 1999 94,9 88,8 43,2 12,9 3,8 2000 95,7 89,8 45,3 12,9 3,9 2001 98,8 90,8 43,8 13,0 4,2 2002 100,8 91,6 44,4 13,2 4,9 2003 102,6 92,8 46,3 - 12,0 4,5 2004 103,9 93,7 43,3 11,8 4,8 2005 105,8 94,9 44,0 12,2 4,6
Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta, 2006
Ditinjau dari aspek pendidikan, kualitas tenaga kerja masih rendah, dari 4 juta lebih tenaga kerja jasa konstruksi, 58,6% berpendidikan SD ke bawah, 36,5% berpendidikan SLTP/SMU serta 4,9% berpendidikan Diploma/Universitas (BPS, 2004). Penelitian yang dilakukan terhadap perusahaan jasa konstruksi menunjukkan bahwa baru 10-20% dari pegawai tetap yang telah mempunyai sertifikat tenaga ahli dan tenaga terampil berdasarkan ketentuan UU No.18/1999 tentang Jasa Konstruksi.
Bab II Studi Pustaka
II-24 2.10 Kebutuhan Akan Pelatihan
Suatu pelatihan perlu dilakukan atau mendesak untuk dilakukan bukanlah suatu keputusan yang ditetapkan dengan tiba-tiba atau karena program pelatihan telah dirancang sedemikian rupa sehingga perlu diterapkan kepada orang-orang yang berminat untuk mengikuti pelatihan. Praktek yang demikian adalah suatu langkah yang keliru yang pada akhirnya pelatihan tidak memberikan nilai yang berarti bagi peserta pelatihan, tempat kerja dan masyarakat.
Tidak semua masalah kinerja di tempat kerja atau di pasar kerja dapat diselesaikan dengan pelatihan, harus dapat dibedakan antara masalah yang membutuhkan pelatihan dan masalah yang tidak membutuhkan pelatihan, oleh sebab itu diperlukan suatu studi yang mendalam mengenai kebutuhan terhadap pelatihan. Melalui studi kebutuhan akan pelatihan akan diperoleh informasi apakah pelatihan merupakan salah satu metode yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah kinerja yang sedang terjadi atau tidak. Kebutuhan pelatihan ada bila seorang tenaga kerja memiliki pengetahuan, atau keterampilan, atau sikap kerja, atau pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang dimilikinya tidak memenuhi syarat untuk melaksanakan suatu tugas yang sedang ditanganinya secara memuaskan sesuai dengan standar kinerja yang telah ditetapkan.
Karena pelatihan pada hakekatnya adalah salah satu upaya untuk menyelesaikan suatu masalah kinerja yang sedang di hadapi di tingkat proyek, industri, dan makro terkait dengan sumber daya manusia. Program pelatihan bertujuan untuk
Bab II Studi Pustaka
II-25 mengupayakan bagaimana seorang tenaga kerja dapat memenuhi standar kinerja yang diberlakukan untuk suatu tugas di tempat kerja yang selanjutnya berdampak pada kinerja perusahaan. Oleh sebab itu pelatihan bertujuan agar setiap orang, baik yang berada dalam industri maupun yang sedang mencari pekerjaan di bidang tertentu, dapat memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang memenuhi standar kinerja yang telah ditetapkan untuk masing-masing bidang pekerjaan.
Di samping bermanfaat untuk membantu permasalahan kinerja di tempat kerja, analisis kebutuhan akan pelatihan juga sangat membantu untuk menentukan urutan prioritas pelatihan di antara jenis-jenis pelatihan yang ada, artinya analisis kebutuhan pelatihan juga menjadi dasar untuk menentukan pelatihan-pelatihan yang menjadi unggulan di antara pelatihan-pelatihan yang lain.
Kebutuhan akan pelatihan secara umum dapat diartikan sebagai upaya untuk mendapatkan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan untuk mengatasi terjadinya permasalahan dalam pencapaian tingkat kinerja oleh tenaga kerja di tempat kerjanya menurut klasifikasi pekerjaan yang sejenis. Untuk memperoleh indikasi apakah suatu pelatihan dibutuhkan untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan suatu kajian yang disebut dengan analisis kebutuhan akan pelatihan.
Pengertian kebutuhan akan pelatihan ini dapat dipisahkan antara pengertian kebutuhan akan pelatihan yang bersifat mikro dan kebutuhan akan pelatihan yang bersifat makro. Kebutuhan akan pelatihan yang bersifat mikro dimaksudkan kebutuhan pelatihan untuk orang per orang atau sekelompok kecil orang, sedangkan
Bab II Studi Pustaka
II-26 pengertian kebutuhan akan pelatihan bersifat makro adalah kebutuhan akan pelatihan untuk kelompok besar tenaga kerja atau seringkali dimaksudkan untuk seluruh populasi yang memiliki klasifikasi kerja yang sama.
Walaupun pengertian kebutuhan akan pelatihan yang digunakan adalah bersifat makro, asesmen terhadap kebutuhan akan pelatihan dilakukan secara individual. Tindakan ini dimaksudkan agar program pelatihan yang dirancang tidak berlaku umum, tetapi program pelatihan dirancang sesuai tingkat kebutuhan kompetensi yang harus dipenuhi oleh sekelompok tenaga kerja yang memiliki gap yang bersifat homogen. Sehingga rancangan program pelatihan yang disusun akan berbeda antara satu kelompok pekerja dengan kelompok pekerja lainnya dalam satu klasifikasi jabatan kerja. Program pelatihan yang demikian merupakan substansi dari metode pelatihan berbasis kompetensi.
Dengan menggunakan pendekatan pelatihan berbasis kompetensi, maka analisis kebutuhan akan pelatihan menjadi suatu hal yang sangat penting, karena dengan analisis tersebut akan diperoleh informasi awal mengenai tingkat kompetensi terkini yang dimiliki oleh seorang calon peserta pelatihan.
Bab II Studi Pustaka
II-27 2.11 Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) untuk Tenaga
Terampil dan Tenaga Ahli
Standar kompetensi tenaga kerja adalah perumusan tentang persyaratan kemampuan yang harus dimiliki tenaga kerja konstruksi untuk melaksanakan pekerjaan yang didasarkan atas pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja. Standar kompetensi tenaga kerja di Indonesia dibuat dan untuk dipakai sendiri oleh asosiasi profesi sebagai salah satu syarat akreditasi, sehingga tiap asosiasi memiliki bakuan kompetensi masing-masing. Hal tersebut di atas bisa terjadi karena peraturan yang ada, tidak melarang atau membatasi pihak-pihak manapun untuk memberikan ide, usulan, hingga membuat standar kompetensi sendiri, namun dibatasi dengan ketentuan bahwa standar kompetensi yang dibuat sendiri tersebut belumlah bersifat nasional, jika belum melalui proses konvensi yang diikuti oleh seluruh stakeholders yang berkepentingan.
Pembangunan Jasa Konstruksi pada umumnya melibatkan tenaga kerja yang sangat banyak dan bervariasi disiplin ilmu, keahlian dan keterampilannya serta pengalamannya mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.
Standar kompetensi diperlukan untuk setiap jabatan kerja dalam lingkup nasional, regional maupun internasional yang berbasis pada dasar tenaga kerja maupun sistem manajemen sumber daya manusia, termasuk kebutuhan perusahaan untuk mengisi semua level jabatan dalam proses pelaksanaan pekerjaan konstruksi.
Bab II Studi Pustaka
II-28 Hingga saat ini LPJKN telah berhasil mengembangkan beberapa standar kompetensi tenaga kerja yang bersifat nasional (berdasarkan lapangan pekerjaan dan tanggungjawab yang akan dipikul), yaitu 19 bakuan kompetensi untuk tenaga ahli, dengan uraian sebagai berikut :
Tabel 2.2 Bakuan Kompetensi
No Bakuan Kompetensi Sub bidang
1 Bidang Sipil
Teknik Sipil, Geoteknik,
Sumber Daya Air, Struktur, Transportasi dan Bendungan Besar.
2 Bidang Arsitektur Arsitektur, Lansekap, Arsitek,
Desain Interior dan Iluminasi.
3 Bidang Mekanikal
Sistem Tata Udara dan
Refrigerasi, Teknik Mesin,
Plambing dan Sistem
Transportasi dalam Gedung.
4 Bidang Elektrikal Tenaga Listrik
5 Bidang Tata Lingkungan Teknik Lingkungan dan
Wilayah dan Perkotaan.
6 Pekerjaan Lain-lain Manajemen dan Quantity
surveyor.
Meskipun LPJK baru saja mengembangkan 19 standar kompetensi untuk tenaga ahli, beberapa asosiasi profesi telah lebih dahulu melakukan sertifikasi tenaga ahli dan tenaga terampil, di antaranya Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Persatuan Insinyur Profesional Indonesia (PIPI), Asosiasi Tenaga Ahli Konstruksi Indonesia (ATAKI), Ikatan Ahli Manajemen Proyek Indonesia (IAMPI), Ikatan Arsitek Indonesia (IAI),
Bab II Studi Pustaka
II-29 Komite Nasional Indonesia untuk Bangunan Besar (KNIBB), dengan bakuan kompetensi masing-masing.
Dalam perkembangannya kemudian disahkan PP No. 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), yang menetapkan pembentukan BNSP dengan salah satu tugasnya adalah menetapkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) sebagai suatu spesifikasi teknis kemampuan kerja yang digunakan sebagai dasar penilaian dan peningkatan kompetensi kerja.
Dalam PP tersebut juga ditetapkan bahwa pelaksanaan sertifikasi kompetensi kerja yang telah dilakukan oleh lembaga sertifikasi profesi berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku tetap dilanjutkan dan hanya diwajibkan untuk melakukan koordinasi dengan BNSP. Adapun bentuk koordinasi antara BNSP dengan LPJK belum diatur, sehingga meskipun BNSP sudah ada, LPJK tetap berjalan sendiri dan memiliki kewenangan untuk mengembangkan standar kompetensi tenaga kerja di bidang konstruksi. Dalam waktu dekat LPJK akan menerbitkan SK/ Norma baru yang mengatur tentang standar kompetensi tenaga kerja konstruksi.
Penetapan standar kompetensi ke depannya harus mengacu atau mempunyai referensi internasional dan ditetapkan secara nasional agar bisa mempunyai ekivalensi dengan standar negara lain yang sangat diperlukan dalam pembahasan kerja sama internasional. Untuk bisa ditetapkan secara nasional, sebaiknya standar kompetensi diberbagai bidang disahkan atau dikeiuarkan dari satu badan, dalam hal ini
Bab II Studi Pustaka
II-30 berdasarkan PP No.23/ 2004 telah ditetapkan bahwa BNSP yang diberi mandat untuk melakukan hal tersebut.
a) Umur
b) Kantong-kantong tenaga terampil.
c) Sertifikasi, tingkat kualifikasi tenaga kerja konstruksi, berdasarkan statistik
profesi Lembaga Jasa Konstuksi Tahun 2009, kualifikasi tenaga ahli sebagian besar;
1) berkualifikasi Muda (69%), dan berturut-turut semakin kecil adalah
2) kualifikasi madya (24%),
3) Pemula (5%) dan
4) Utama (2%). Hal ini menunjukan bahwa komposisi tenaga ahli, kurang
proporsional berdasarkan hierarki kualifikasi tenaga ahli.
Pembangunan Jasa Konstruksi pada umumnya melibatkan tenaga kerja yang sangat banyak dan bervariasi disiplin ilmu, keahlian dan keterampilannya serta pengalamannya mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.
Standar kompetensi diperlukan untuk setiap jabatan kerja dalam lingkup nasional, regional maupun internasional yang berbasis pada dasar tenaga kerja maupun sistem manajemen sumber daya manusia, termasuk kebutuhan perusahaan untuk mengisi semua level jabatan dalam proses pelaksanaan pekerjaan konstruksi.
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap
Bab II Studi Pustaka
II-31 kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.11.1 SKKNI untuk Tenaga Terampil Tukang (Tukang Batu)
1. Menerima, memahami dan melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan
pekerjaan batu sesuai dengan instruksi serta tanggung jawab.
a. Membaca gambar kerja.
b. Mengenal teori / tanda-tanda dan ukuran.
2. Menyiapkan bahan-bahan pekerjaan batu sesuai dengan daftar kebutuhan
bahan.
a. Pengetahuan bahan dan cara memberi tanda pada bahan.
b. Mutu dan standar bahan.
3. Menyiapakan alat dan perlengkapan pekerjaan batu sesuai dengan daftar
kebutuhan alat dan perlengkapan.
a. Pengetahuan alat pekerjaan.
b. Cara menyiapkan dan merawat alat pekerjaan dan cara menggunakannya.
4. Membuat acuan profil pekerjaan batu.
a. Teknik-teknik pembuatan profil.
5. Memotong, membelah dan menumpuk batu (batu kali/gunung/karang/bata,
bataco, batu cetak) menurut ketentuan.
a. Cara-cara penyusunan batu.
Bab II Studi Pustaka
II-32
6. Membuat adukan untuk perekat (spesi), plester dan beton, sesuai dengan
spesifikasi.
a. Teknik-teknik mengaduk campuran semen dan agregat.
b. Membaca daftar perbandingan campuran.
7. Mengecor beton tumbuk dan beton praktis.
a. Teknik-teknik mengecor dan penggunaan alat pekerjaan.
8. Memasang batu kosong dan membuat pasangan/konstruksi batu yang tidak
sulit menurut gambar kerja.
a. Teknik-teknik memasang pasanga batu.
9. Memasang lantai ubin, lantai dari interblok daan membuat rambat-rambat.
a. Teknik-teknik memasang ubin
b. Teknik-teknik memasang interblok dan membaca gambar.
10.Merawat alat dan perlengkapan pekerjaan batu serta memelihara kebersihan
tempat kerja.
a. Perawatan dan Penyiapan alat pekerjaan.
Bab II Studi Pustaka
II-33 2.11.2 SKKNI untuk Tenaga Terampil Pelaksana (Pelaksana Pekerjaan
Jalan)
1. Menerapkan pelaksanaan pekerjaan jalan, sistem manajemen keselamaatan
dan kesehatan kerja (K3) dan ketentuan pengendalian lingkungan kerja sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
a. Menerapkan pelaksanaan pekerjaan jalan sesuai dengan Undang-undang
No. 18 tahun 1999 tentang jasa konstruksi (UUJK) sesuai fungsi dan perannya.
b. Menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
(SMK-3) sesuai Undang-undang No. 13 tahun 2003, tentang Ketenaga-kerjaan.
c. Menerapkan pengendalian lingkungan kerja.
2. Melakukan persiapan pelaksanaan perkerasan jalan.
a. Mengidentifikasi dan memberikan penjelasan tentang gambar kerja serta
Metode Kerja.
b. Menerapkan koordinasi dan kebutuhan sumber daya dilapangan.
c. Menerapkan persiapan pelaksnaan pekerjaan jalan.
3. Melaksanakan pekerjaan jalan.
a. Melakukan optimalisasi peggunaan bahan, tenaga kerja dan peralatan.
b. Melakukan pemeriksaan pelaksanaan pekerjaan jalan.
Bab II Studi Pustaka
II-34
4. Membuat laporan pelaksanaan pekerjaan jalan.
a. Menghitung volume hasil pekerjaan.
b. Menyusun laporaan hasil jumlah pemakaian peralatan, bahan dan tenaga
kerja harian.
c. Mencatat keadaaan cuaca.
d. Mencatat hambatan non teknis dilapangan.
e. Membuat laporan hasil pelaksanaan pekerjaan.
5. Studi lapangan.
2.11.3 SKKNI untuk Tenaga Terampil Mandor (Mandor Pekerjaan Perkerasan Aspal)
1. Menerapkan ketentuan undang-undang jasa konstruksi (UUJK),
keselamatan kerja dan kesehatan kerja (K3) dan pengendalian lingkungan kerja.
a. Menerapkan ketentuan Undang-undang Jasa Konstruksi (UUJK)
ditempat kerja.
b. Menerapkan ketentuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) ditempat
kerja.
c. Menerapkan ketentuan pengendalian lingkungan kerja ditempat
Bab II Studi Pustaka
II-35
2. Melakukan penguasaan rencana pelaksanaan pekerjaan perkerasan aspal
sesuai spesifikasi, gambar kerja, instruksi kerja (IK) dan jadwal kerja (schedule) proyek.
a. Melakukan penguasaan spesifikasi dan gambar kerja pada pelaksanaan
pekerjaan aspal.
b. Melakukan penguasaan instruksi kerja pada pelaksanaan pekerjaan aspal.
c. Melakukan penugasan jadwal pelaksanaan pekerjaan aspal.
3. Membuat jadwal pelaksanaan pekerjaan perkerasan aspal.
a. Membuat jadwal kerja harian dan mingguan.
b. Mengumpulkan data material perkerasan aspal yang dibutuhkan sesuai
jadwal kerja.
c. Menghitung kebutuhan tenaga kerja penghamparan sesuai jadwal kerja.
d. Menghitung kebutuhan peralatan dan alat bantu penghamparan sesuai
jadwal kerja.
4. Mengkoordinir dan mengawasi pelaksanaaan pekerjaaan perkerasan aspal.
a. Mengidentifikasi lokasi pelaksanaan pekerjaan.
b. Menyiapkan tenga kerja, peralatan dan alat bantu kerja yang diperlukan.
c. Mengkoordinir dan mengawasi pelaksanaan pekerjaan perbaikan.
d. Mengkoordinir dan mengawasi pelaksanaan pekerjaan penghamparan
Bab II Studi Pustaka
II-36
5. Melaporkan hasil pelaksanaan pekerjaan perkerasan aspal.
a. Memeriksa hasil pelaksanaan pekerjaan penghamparan perkerasan aspal.
b. Melaporkan volume hasil pelaksanaan pekerjaan penghamparaan kepada
pemberi kerja.
c. Membuat evaluasi internal hasil pelaksanaan pekerjaan penghamparan.
6. Melaksanakan perjanjian kerja dengan pemberi kerja.
a. Melakukan penjajakan dan negosiasi untuk mendapaatkan pekerjaan.
b. Menguasai dan menyutujui isi perjanjian kerja.
c. Melaksanakan kewajiban dan menggunakan hak sesuai ketentuan dalam
kerja secara benar.
2.11.4 SKKNI untuk Tenaga Ahli Supervisi/Pengawas.
1. Memahami dan menerapkan dokumen kontrak dan ketentuan yang berlaku
berkaitan dengan pelaksanaan kerja.
a. Mempelajari isi dokumen kontrak.
b. Memeriksa/mengevaluasi spesifikasi teknik.
c. Memeriksa ketepatan gambar rencana.
d. Meneliti volume dan harga satuan setiap jenis pekerjaan.
e. Meneliti dan mengevaluasi metode kerja (yang diatur dalam spesifikasi)
Bab II Studi Pustaka
II-37
2. Melakukan penyiapan bahan dan mengikuti rapat pra-pelaksanaan
(PCM/pre construction meeting), rapat berkala dan khusus, seperti rapat
pembuktian (SCM/show cause meeting).
a. Menyiapkan materi rapat secara rinci dan lengkap.
b. Menyiapkan daftar masalah yang timbul dilapangan.
c. Menyiapkan informasi kemajuan pekerjaan.
d. Mendokumentasikan semua hasil rapat.
e. Menindaklanjuti keputusan rapat (jika ada).
3. Melakukan pengawasan metode kerja pada setiap jenis pekerjaan.
a. Melakukan pengawasan penerapan metode kerja dan rencana mutu kerja
pelaksanaan pekerjaan jalan.
b. Melakukan pengawasan penerapan bketentuan K3 (Keselamatan dan
Kesehatan Kerja).
c. Melakukan pengawasan pengendalian pencemaran lingkungan dan
keamanan.
d. Melakukan pengawasan pengaturan lalu lintas dilingkungan kerja.
4. Melakukan pengawasan kwalitas, dimensi, biaya dan waktu.
a. Melakukan pengawasan mutu.
b. Melakukan pengawasan dimensi.
c. Melakukan pengendalian biaya.
Bab II Studi Pustaka
II-38
e. Mendokumentasikan hasil pengawasan mutu, dimensi, biaya dan waktu.
5. Melakukan perhitungan atas hasil pengukuran pekerjaan dalam rangka
penyiapan sertifikat pembayaran.
a. Menerapkan tata cara perhitungan hasil pengukuran volume pekerjaan.
b. Melakukan pemeriksaan atas usulan sertifikat pembayaran dari
kontraktor.
c. Melakukan pemeriksaan atas usulan perhitungan penyesuaian harga.
6. Melakukan proses penyerahan pekerjaan pertama (PHO), penyerahan
pekerjaan akhir (FHO), pemekrisaan gambar terlaksana (as built drawing) dan mengawasi pelaksanaan pemeliharaan.
a. Melakukan pemeriksaan usulan PHO/FHO.
b. Membantu panitia PHO/FHO untuk melakukan proses penyerahan
pekerjaan.
c. Melakukan pemeriksaan atas gambar terlaksana yang diajukan
kontraktor.
d. Melakukan pengawasan pelaksanaan pemeliharaan.
7. Memeriksa laporan kontraktor dan membuat laporan kegiatan pengawasan.
a. Memeriksa laporan kontraktor.
Bab II Studi Pustaka
II-39
2.11.5 SKKNI untuk Tenaga Ahli Manajemen Konstruksi.
1. Menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan Kesehatan Kerja/SMK3
(Safety & Health Management).
a. Memberikan kontribusi dalam perencanaan K-3.
b. Melaksanakan dan mengendalikan K-3.
c. Berperan dalam pencapaian hasil pelaksanaan K-3.
2. Menerapkam Sistem Manajemen Lingkungan (Enviromental Management).
a. Mengidentifikasi dampak pelaksanaan proyek terhadap lingkungan
proyek.
b. Upaya pengelolaan lingkungan proyek.
c. Upaya pemantauan lingkungan proyek.
d. Melakukan audit lingkungan proyek.
3. Menerapkan Sistem Manajemen Keuangan (FinancingMamnagement).
a. Memberikan kontribusi dalam perencanaan keuangan proyek.
b. Memberikan kontribusi dalam proses pengendalian keuangan proyek.
c. Memberikan kontribusi dalam mencatat administrasi keuangan proyek.
4. Menerapkan Sistem Manajemen Ruang Lingkup (Scole Management).
a. Memberikan kontribusi dalam perencanaan dan defenisi lingkup proyek.
b. Menerapkan ruang lingkup proyek.
c. Mengendalikan ruang lingkup proyek.
Bab II Studi Pustaka
II-40
a. Memberikan kontribusi terhadap penetapan jadwal waktu pelaksanaan
proyek.
b. Menerapkan dan mengendalikan jadwal waktu pelaksanaan proyek.
c. Menilai hasil/progress jadwal waktu pelaksanaan proyek.
6. Menerapkan Sistem Manajemen Biaya (Cost Management).
a. Memberikan kontribusi dalam perencanaan anggaran proyek.
b. Memonitor dan mengendalikan biaya proyek.
c. Memberikan konstribusi pada proses finalisasi biaya proyek.
7. Menerapkan Sistem Manajemen Mutu (Quality Management).
a. Memberikan kontribusi pada perencanaan mutu.
b. Memberikan konstribusi pelaksanaan jaminan mutu proyek.
c. Kontribusi pada proses peningkatan mutu secara terus menerus.
8. Menerapkan Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resources
Management).
a. Bekerja dalam lingkungan kelompok.
b. Melakukan pengembangan tim proyek.
c. Pengembangan kebutuhan pelatihan.
9. Menerapkan Sistem Manajemen Komunikasi (Communication
Management).
a. Menyiapkan perencanaan komunikasi.
Bab II Studi Pustaka
II-41
c. Menyiapkan pencapaian hasil-hasil pengelolaan komunikasi.
10.Menerapkan Sistem Manajemen Pengadaan (Procurement Management).
a. Menyiapkan perencanaan pengadaan barang dan jasa.
b. Menyiapkan proses pemilihan penyedia jasa/kontraktor.
c. Memberikan kontribusi dalam pengelolaan kontrak/administrasi kontrak.
11.Menerapkan Sistem Integrasi (Intergration Management).
12.Menerapkan Sistem Manajemen Risiko (Risk Management).
a. Ikut aktif mengidentifikasi resiko proyek.
b. Melakukan kegiatan pengawasan resiko.
c. Menyiapkan pencapaaian haasil-hasil pengelolaan resiko.
13.Menerapkan Sistem Manajemen Klaim (Claim Management).
a. Membantu mengidentifikasi klaim.
b. Membantu mencegah klaim/sengketa.
c. Membantu proses perhitungan klaim.