• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROPOSAL PENELITIAN LABORATORIUM DANA ITS TAHUN 2020

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROPOSAL PENELITIAN LABORATORIUM DANA ITS TAHUN 2020"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

i

PROPOSAL

PENELITIAN LABORATORIUM

DANA ITS TAHUN 2020

DESAIN SLIDING MODE FAULT TOLERANT CONTROL PADA SISTEM

REGENERATIVE ANTI-LOCK BRAKING SYSTEM DENGAN KESALAHAN

PADA SENSOR DAN AKTUATOR

Tim Peneliti:

Bambang L. Widjiantoro (Departemen Teknik Fisika/FT-IRS/ITS) Katherin Indriawati (Departemen Teknik Fisika/FT-IRS/ITS) Unggul Wasiwitono (Departemen Teknik Mesin/FT-IRS/ITS)

DIREKTORAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

SURABAYA

(2)

ii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR GAMBAR ...iii

BAB I RINGKASAN ... 1

BAB II LATAR BELAKANG ... 3

2.1 Perumusan dan Pembatasan Masalah ... 4

2.2 Tujuan Khusus ... 7

2.3 Urgensi Penelitian ... 7

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ... 9

3.1 Teori Penunjang ... 9

3.2 Studi Hasil Penelitian Sebelumnya ... 22

BAB IV METODE ... 23

4.1 Rancang Bangun Regenerative ABS untuk Quarter Car ... 23

4.2 Rancang Bangun Sistem Kontrol Regenerative ABS ... 25

4.3 Perancangan Sistem AFTC ... 26

BAB V JADWAL DAN RANCANGAN ANGGARAN BIAYA ... 28

5.1 Jadwal ... 28

5.2 Anggaran Biaya ... 28

BAB VI DAFTAR PUSTAKA ... 30

(3)

iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Road Map Penelitian Laboratorium Fisika Rekayasa ... 8

Gambar 3.1 Grafik antara Koefisien Jalan (μ) dan Slip Rasio Roda (λ) [22] ... 9

Gambar 3.2 Penerapan braking point dengan menggunakan dan tanpa ABS [24] ... 11

Gambar 3.3 Komponen ABS dengan Rem Hidrolik [23]... 12

Gambar 3.4 Mode operasi pada motor BLDC [27] ... 14

Gambar 3.5 Gaya pada Satu Roda Kendaraan [3] ... 16

Gambar 3.6 Struktur umum FTC aktif [34] ... 19

Gambar 3.7 Interpretasi grafik SMC [42] ... 20

Gambar 4.3 Diagram Alir Penelitian ... 23

Gambar 4.4 Skema regeneratif motor BLDC ... 24

Gambar 4.5 Skema simulator sistem regenerative ABS ... 25

Gambar 4.6 Struktur sistem kontrol slip ratio ... 25

(4)

1

BAB I RINGKASAN

Sistem pengereman yang umum dipakai oleh kendaraan berpenumpang saat ini adalah

anti-lock braking system (ABS) karena sistem ini dapat mencegah roda pada mobil terkunci

ketika adanya pengereman darurat atau pengereman secara mendadak, sehingga jarak penghentian mobil akan berkurang dan manuverbilitas akan meningkat. Pada EV, beberapa sistem ABS selain menggunakan pengereman mekanik (friction), juga menggunakan pengereman regeneratif agar dapat melakukan penghematan energi listrik. Sistem ini dikenal dengan regenerative ABS. Mengingat keselamatan penumpang merupakan fitur wajib yang harus terpenuhi, maka tingkat kehandalan sistem regenerative ABS juga harus tinggi. Kesalahan yang terjadi, seperti pada sistem kontrol ABS, yaitu kesalahan pada aktuator dan sensor kecepatan harus dapat diakomodasi agar sistem tetap bekerja pada daerah yang aman.

Penelitian ini mengajukan skema perbaikan teknologi regenerative ABS yang sudah ada saat ini dengan menambahkan fitur akomodasi kesalahan pada sistem kontrolnya. Metode yang digunakan dikenal sebagai sistem active fault tolerant control (AFTC). Pada penelitian ini dilakukan perancangan sistem kontrol regenerative ABS untuk mobil listrik dengan pengereman secara elektrik dan mekanik (hidrolik) dimana kesalahan terjadi pada aktuator (inverter motor) dan sensor kecepatan. Selain itu pembuatan prototipe sistem regenerative ABS skala laboratorium juga telah dimulai, dengan menggunakan pendekatan kendaraan 1 roda.

Penelitian sebelumnya telah menghasilkan sistem sliding mode fault tolerant control (SMFTC) yang mengatasi kesalahan sensor kecepatan kendaraan dan aktuator hidrolik pada sistem ABS (bukan regeneratif). Pada penelitian tahun ini akan disimulasikan sistem SMFTC yang mampu menangani kesalahan pada sistem regenerative ABS. Selain itu, pembuatan prototipe sistem regenerative ABS skala laboratorium akan mulai dikerjakan, dengan menggunakan simulator kendaraan 1 roda.

Tahap awal penelitian ini adalah memodifikasi simulator sistem ABS dengan aktuator hidrolik yang sudah ada, dengan sensor kecepatan yang lebih cepat waktu penyuplikannya. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan unjuk kerja sistem kontrol yang terpasang. Selanjutnya mengganti motor induksi dengan motor BLDC agar proses regeneratif bisa terjadi. Simulator diperlukan untuk menguji metode SMFTC yang diajukan. Pengereman disimulasikan terjadi secara regeneratif dan jika diperlukan juga secara mekanik (hidrolik). Algoritma kontrol yang digunakan adalah sliding mode control agar ketidaklinieran sistem dapat ditangani dengan baik. Dalam hal ini, variabel yang dikontrol adalah slip ratio dengan memanipulasi torsi

(5)

2 pengereman. Karena pengereman dapat dilakukan secara elektrik dan mekanik, maka diperlukan skema distribusi torsi pengereman. Setelah unjuk kerja sistem kontrol mencapai kriteria yang ditetapkan, langkah selanjutnya adalah membuat observer. Struktur observer yang digunakan adalah proporsional-integral. Observer ini akan menghasilkan estimasi keadaan dan juga estimasi kesalahan yang terjadi pada sensor dan aktuator. Dalam hal ini, observer yang dihasilkan pada penelitian sebelumnya akan dimodifikasi agar mampu mengestimasi kesalahan sensor dan kesalahan inverter sekaligus. Hasil estimasi kesalahan selanjutnya digunakan dalam skema rekonfigurasi kontrol dengan cara mengkompensasi sinyal pengukuran dan sinyal kontrol.

Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan sistem kontrol yang toleran terhadap kesalahan terutama pada plant dimana isu keamanan dan biaya sangat kritis. Keuntungan yang ditawarkan dari teknologi SMFTC pada regenerative ABS adalah peningkatan kehandalan sistem dengan biaya yang ekonomis karena tidak menambahkan komponen hardware apapun selain perbaikan perangkat lunak.

(6)

3

BAB II LATAR BELAKANG

Umum diketahui bahwa sistem pengereman berperan penting pada kendaraan dalam hal keamanan (safety). Kegagalan pada sistem pengereman dapat menyebabkan kecelakaan yang berakibat fatal. Saat ini sistem pengereman telah dikembangkan teknologinya untuk menghasilkan kenyamanan selain keamanan. Teknologi sistem pengereman terkini yang umum dikenal saat ini dan telah menjadi perangkat standar kendaraan adalah sistem anti lock braking (ABS). ABS merupakan sistem pengereman yang berfungsi untuk mencegah roda pada mobil menjadi terkunci ketika adanya pengereman darurat atau pengereman secara mendadak. Pengereman mendadak dapat menyebabkan kendaraan mendapatkan gaya pengereman yang terlalu besar sehingga membuat kendaraan mengalami ketidakstabilan arah seperti understeer atau oversteer. Gaya pengereman ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: kondisi jalan, koefesien gesek, kondisi ban, dan lain sebagainya. Berbeda dengan sistem pengereman konvensional, pada sistem ABS roda kendaraan dijaga agar tidak terkunci dengan keadaan slip tertentu dimana koefisien adhesi antara jalan dan ban paling besar. Hal ini menjadikan jarak pengereman (braking distance) lebih pendek dan kendaraan masih tetap stabil atau mudah dikendalikan walau direm pada kondisi berbelok. Dengan demikian, mobil dengan ABS dapat mengurangi jarak penghentian mobil dan meningkatkan manuverbilitas dibandingkan dengan mobil yang tidak memiliki [1].

Saat ini ABS menjadi sistem yang paling penting pada kendaraan bermotor dari segi isu kritis keamanan. Akibat kegagalan yang terjadi secara tiba-tiba pada sistem, peluang terjadinya kecelakaan meningkat. Dalam hal ini, untuk mencegah kecelakaan, diperlukan teknologi yang menoleransi kesalahan dan meningkatkan performansi dan efisiensi sistem ABS. Sistem ini dapat sangat meningkatkan keamanan kendaraan dalam keadaan ekstrim karena ABS dapat memaksimalkan gesekan ban jalan dengan tetap mempertahankan gaya lateral (directional) yang besar yang menjamin keterkendaliannya kendaraan [2].

Pada kendaraan listrik (electric vehicle / EV), sistem ABS selain terdiri atas sistem pengereman gesekan (friction) dengan menggunakan komponen hidrolik, juga dapat dilengkapi dengan sistem pengereman regeneratif seperti yang dijelaskan pada [3]. Sistem pengereman regeneratif dapat mengubah energi kinetik menjadi energi listrik ketika terjadi perlambatan pada kendaraan. Energi listrik tersebut selanjutnya dapat disimpan dalam baterai untuk dapat digunakan kembali. Dengan demikian, pengereman regeneratif dapat meningkatkan efisiensi kendaraan. Oleh karena itu, teknologi ini telah diterapkan pada

(7)

4 berbagai jenis EV. Namun karena sistem pengereman regeneratif dibatasi oleh banyak faktor seperti kecepatan motor, state of charge (SOC) dan temperatur baterai [4], maka sistem pengereman konvensional masih tetap digunakan bersama sistem pengereman regeneratif. Hal ini mendorong penelitian tentang strategi pengereman dan metode pengereman regeneratif yang tepat dan handal.

Perumusan dan Pembatasan Masalah

Secara tipikal, ABS terdiri dari sensor, electronic control unit (ECU), dan modulator tekanan pengereman. ABS memodulasi garis tekanan independen rem dari gaya pedal, sehingga kecepatan roda kembali ke tingkatan slip yang telah ditentukan agar kinerja pengereman optimal. Dalam hal ini digunakan strategi kontrol umpan balik yang memodulasi gaya pengereman dalam menanggapi perlambatan roda dan kecepatan sudut roda. Untuk beragam kondisi jalan, terdapat nilai optimum slip ratio yang memaksimalkan koefisien gesek pada semua kondisi jalan [5]. Oleh karena itu, strategi kontrol yang cocok adalah menjaga nilai

slip ratio agar tetap berada pada range kerja sistem pengereman yang optimal dan aman. Secara

umum, tujuan dari kontrol pada ABS adalah mengatur agar nilai slip ratio roda berada pada rentang optimumnya [6] [7] [8].

Saat ini teknologi pengereman regeneratif banyak mendapat perhatian karena menawarkan pendekatan efektif untuk meningkatkan efisiensi kendaraan dan telah diterapkan pada berbagai jenis EV. Sistem pengereman ini menggunakan motor listrik, menghasilkan torsi negatif ke roda kendaraan dan mengubah energi kinetik ke energi listrik dalam rangka mengisi ulang baterai atau pemasok tegangan. Disipasi energi kinetik selama pengereman dapat dimanfaatkan kembali melalui pengaturan energi total kendaraan menggunakan komponen elektronika daya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyimpanan energi yang berhasil dicapai oleh sistem ini adalah berkisar 8% - 25% dari total energi yang digunakan kendaraan, bergantung pada siklus pengaturan dan strategi kontrolnya [9]. Meskipun pengereman motor pada sistem regeneratif lebih unggul dari pada pengereman hidrolik dalam hal akurasi, kecepatan respond dan kemudahan pengukuran, namun pengereman hidrolik masih diperlukan untuk mengatasi beberapa keterbatasan pengereman regeneratif seperti yang diutarakan dalam [4] dan juga kemungkinan terjadinya kegagalan sistem listrik pada pengereman regeneratif. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan strategi pengereman yang mengkoordinasikan torsi regeneratif dari motor dan torsi gesekan dari unit hidrolik. [10] dan [11] telah mengajukan strategi pengereman regeneratif dan metode kontrol selama kejadian pengereman normal maupun mendadak.

(8)

5 Namun keduanya belum membahas skema ABS dalam penelitiannya.

Penelitian yang menerapkan pengereman regeneratif untuk ABS pada EV telah dilakukan meskipun belum terlalu banyak, seperti [4], [3] dan [12]. Hasil simulasi dan eksperimen mereka menunjukkan bahwa kombinasi pengereman regeneratif dan antilock membuat keamanan dan efisiensi energi kendaraan meningkat. Selain itu, pada beberapa tahun terakhir, kemajuan teknologi aktuator telah mengarah ke sistem pengereman elektro-hidrolik dan elektro-mekanik yang mampu melakukan modulasi kontinu torsi pengereman [2]. Oleh karena itu, penelitian sistem kontrol ABS yang dilengkapi dengan pengereman regeneratif menjadi topik yang sangat relevan untuk terus dikembangkan.

Kontrol ABS adalah bahasan yang cukup rumit. Kendala utama yang muncul saat mendesain kontrol ABS adalah sifat ketidaklinieran dan ketidakpastian yang besar. Sejumlah pendekatan kontrol tingkat lanjut telah diajukan untuk ABS, seperti fuzzy logic control [13],

neural network [14], kontrol adaptif [15], sliding mode control [16] dan kontrol cerdas lainnya.

Seiring dengan berkembangnya teknologi ABS yang menggunakan komponen-komponen listrik, peluang terjadinya kesalahan juga membesar. Selain itu, untuk teknologi ABS yang masih menggunakan sistem pengereman gesekan (hidrolik) selain regeneratif, komponen mekanis seperti katup, pompa dan motor listrik faktanya memiliki intensitas kegagalan yang melebihi komponen elektronik [17]. Dalam hal ini, sebagus apapun sistem kontrol yang digunakan, sistem kontrol nominal tersebut tidak memiliki kemampuan menjamin keberlangsungan sistem keseluruhan selama terjadi kesalahan pada komponennya, seperti sensor dan aktuator. Padahal tuntutan kehandalan sistem sangat tinggi pada ABS terkait isu keamana dan keselamatan penumpang. Oleh karena itu perlu dibangun sebuah sistem kontrol yang mampu mengakomodasi terjadinya kesalahan (dengan tingkat kesalahan pada batas tertentu) yang dikenal sebagai active fault tolerant control (AFTC). Topik ini merupakan bidang penelitian yang dikembangkan oleh ketua tim peneliti.

Hasil penelitian AFTC untuk sistem pengereman secara khusus sangat sedikit ditemui. Salah satu yang berhasil ditemukan dari studi literatur adalah [18] yang mengemukakan bahwa dampak kegagalan sistem pengereman (sensor dan aktuator) pada kendaraan yang dikontrol secara elektrik adalah menghambat kemampuan kendaraan untuk melambat. Mereka menggunakan dua himpunan filter deteksi kegagalan (yang masing-masing untuk sensor dan aktuator) untuk mendeteksi adanya kegagalan, dan menggunakan observer dalam melakukan rekonfigurasi sinyal kontrol. Dampak ketidakakuratan model, kesalahan deteksi dan hadirnya noise belum dibahas. Selain itu penggunaan himpunan filter membuat beban komputasi menjadi besar padahal sistem tersebut harus direalisasikan secara real-time, sehingga selang

(9)

6 waktu antara sinyal input dan output struktur harus dikurangi semaksimal mungkin.

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana membangun dan mengembangkan sistem pengereman regeneratif ABS - kombinasi pengereman regeneratif dan pengereman mekanik - yang dilengkapi sistem AFTC agar menghasilkan respon pengereman yang tepat meskipun ada kesalahan pada komponen sensor dan aktuator. Dalam hal ini, sistem kontrol yang ditawarkan juga mampu menjawab problem ketidakakuratan model, kesalahan deteksi, hadirnya noise, dan beban komputasi. Pada tahun pertama penelitian, telah berhasil dibangun sistem kontrol untuk ABS berbasis algoritma

sliding mode control (SMC) yang diterapkan pada kendaraan konvensional satu roda.

Selanjutnya, penelitian tahun kedua telah menghasilkan prototipe sistem kontrol ABS yang mampu menoleransi kesalahan pada sensor kecepatan dan aktuator hidrolik. Sistem ini selanjutnya disebut sliding mode fault tolerant control (SMFTC). Namun SMFTC tersebut masih diterapkan pada sistem ABS konvensional yang menggunakan cara mekanik saja untuk pengereman, dan belum diperuntukkan untuk skema regeneratif pada kendaraan listrik. Secara spesifik, permasalahan penelitian di tahun kedua dirumuskan sebagai berikut:

• Bagaimana menerapkan algoritma sliding mode control dan skema distribusi torsi pengereman pada prototipe sistem regenerative ABS model kendaraan listrik satu roda secara real time.

• Bagaimana skema estimator kesalahan yang mampu memberikan informasi tentang kesalahan sensor kecepatan dan inverter yang terpasang pada sistem regenerative ABS. • Apakah sistem SMFTC terbukti efektif dan robust terhadap ketidakpastian model dan noise

tanpa memerlukan sistem deteksi guna menghindari terjadinya kesalahan deteksi.

Untuk menghindari luasnya permasalahan yang muncul, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian tahun pertama dibatasi sebagai berikut:

• Kendaraan yang ditinjau sebagai studi kasus adalah mobil listrik dengan menggunakan pendekatan quarter-car model.

• Analisa pengereman dilakukan pada variasi kecepatan 20, 40, dan 60 km/jam. • Kendaraan berjalan di kondisi jalan aspal, datar dan tidak bergelombang.

• Sistem kontrol diperuntukkan untuk mekanisme pengereman dan belum meninjau sisi baterai.

• Jenis kesalahan yang terjadi adalah kesalahan minor pada sensor dan aktuator sistem regenerative ABS.

(10)

7 Tujuan Khusus

Tujuan dari penelitian ini adalah merancang dan mengembangkan protipe sistem kontrol pengereman dengan regenerative ABS berbasis kontrol cerdas untuk diimplementasikan pada kendaraan listrik modern. Secara khusus, tujuan penelitian pada tahun ketiga ini adalah: • Membangun prototipe sistem kontrol sliding mode (SMC) yang dilengkapi dengan skema

distribusi torsi pengereman untuk regenerative ABS pada model kendaraan satu roda skala laboratorium.

• Merancang observer yang mampu mengestimasi kesalahan sensor dan inverter yang digunakan pada sistem regenerative ABS.

• Merancangan sistem SMFTC sebagai penyempurnaan sistem kontrol regenerative ABS agar dapat mengakomodasi kesalahan yang terjadi pada sensor maupun inverter dengan motode active fault tolerant control (AFTC).

Urgensi Penelitian

Dengan tujuan tersebut di atas, diharapkan penelitian ini dapat berguna dalam beberapa hal sebagai berikut:

• Berkontribusi pada studi pengembangan industri otomotif di bidang safety dalam upaya meminimalisir terjadinya kecelakaan yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

• Berkontribusi pada pengembangan teknologi yang hemat energi pada kendaraan listrik atau EV khususnya mobil listrik

Penelitian yang diajukan ini sesuai dengan road map penelitian Laboratorium Fisika Rekayasa Teknik Fisika ITS seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1. Penelitian pada laboratorium ini bertujuan mengembangkan sebuah embedded system di bidang kontrol (embedded control system) dengan menggunakan prinsip rekayasa pada variabel-variabel fisika sistem, dalam rangka untuk meningkatkan kinerja sistem yang ditinjau baik dari segi kualitas maupun ekonomi. Topik penelitian yang diajukan ini merupakan bagian dari road map penelitan laboratorium, yaitu tentang fault tolerant control untuk plant vehicle.

Penelitian yang diajukan ini juga inline dengan topik penelitian Pusat Unggulan IPTEK (PUI) Sistem Kontrol Otomotif, khususnya pada topik “Komponen Kendaraan Listrik”. Berdasarkan Road Map yang diajukan, PUI Sistem Kontrol Otomotif akan mengembangkan sistem regenerative break untuk aplikasi pada kendaraan listrik untuk empat tahun ke depan. Dengan demikian, topik yang diajukan dalam proposal penelitian ini mendukung rencana

(11)

8 tersebut dan dapat dijadikan pijakan untuk menghasilkan produk unggulan IPTEK bidang otomotif yang layak dipatenkan.

Gambar 2.1 Road Map Penelitian Laboratorium Fisika Rekayasa Embedded Control System Control System Supervisory Control Centralized Supervisory Control Decentralized Supervisory Control Renewable Energy Process Industry Fault Tolerant Control Passive FTC Active FTC Renewable Energy Process Industry Vehicle Reliability Prediction Data Based Model Based Fault Detection Observability Problem Stuck Faults TOPIK PENELITIAN

(12)

9

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

Teori Penunjang

3.1.1 Anti-Lock Braking System

Anti-Lock Braking System atau ABS digunakan pada mobil untuk mencegah terjadinya

slip dan penguncian pada roda saat pengereman. Unit ini adalah salah satu sistem keamanan (safety) pada mobil. ABS pertama kali diterapkan untuk kereta api ditahun 1943, kemudian diterapkan untuk kendaraan otomotif mobil pada tahun 1971 [19] dengan tujuan utama mencegah roda terkunci, mengurangi jarak henti (stopping distance), meningkatkan stabilitas dan meningkatkan steerabiility ketahanan selama pengereman [20], [21], [19]. ABS digunakan untuk membantu kendaraan mencapai tingkat akselerasi minimum dengan optimal tanpa mempengaruhi stabilitas dan kemampuan kendali kemudi kendaraan dengan tingkat keselamatan maksimum [22]. Ketika roda terkunci maka biasanya pengemudi kehilangan kendali dan ban menjadi tidak normal sehingga kecelakaan tidak dapat dihindari. Pada proses pengereman, terjadi yang dinamakan tractive force yang dihasilkan oleh ban, sebanding dengan gaya normal jalan yang bekerja pada ban. Perbandingan yang digunakan tergantung variasi atau koefisien jalan seperti kering, basah, bersalju, dan lain sebagainya, serta karakteristik lekukan jalan seperti jalanan yang berlubang, rata, dan lain sebagainya. Perbandingan variasi atau koefisien permukaan jalan diperlihatkan oleh grafik fungsi non-linear antara koefisien gesekan dengan jalan (𝜇𝜇) dan slip rasio roda (𝜆𝜆) untuk kondisi spesifik jalanan tertentu yang ada pada Gambar 3.1. Di Gambar 3.1 menjelaskan bahwa untuk kondisi jalanan yang licin atau bersalju menjadikan gesekan dengan jalan rendah, sedangkan resiko slip ban akan semakin tinggi. Dibandingkan kondisi jalanan yang kering atau normal menjadikan gesekan dengan jalan semakin tinggi, sedangkan resiko slip ban semakin rendah.

(13)

10 Pada kondisi ban yang akan slip dan terkunci ketika pengereman yang terlalu keras atau ketika di permukaan jalan yang licin dan kondisi tersebut mengharuskan ABS akan memanipulasi slip ban, sehingga dapat melakukan pergesekan maksimum dan mestabilkan kemudi. Apabila saat ban slip, maka yang dapat terjadi seperti, jarak pengereman meningkat, kemudi hilang kendali, dan keausan ban akan menjadi tidak normal. Pada saat terjadi pengereman yang parah, terdapat sebuah titik dimana kecepatan tangensial permukaan ban tidak sama dengan kecepatan pada permukaan jalan sehingga dapat diperoleh slip optimal yang sesuai dengan gesekan maksimum [23]. Oleh karena itu diperlukan seperangkat alat kontrol pada ABS untuk mengendalikan torsi dalam mempertahankan nilai slip rasio optimum pada dinamika rem dan dinamika roda dikeseluruhan sistem. Slip rasio (𝜆𝜆) dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan matematis yang merupakan fungsi dari kecepatan kendaraan dan putaran roda yang dapat dinyatakan pada persamaan (2.1) [23].

𝜆𝜆 = 𝑉𝑉−𝜔𝜔𝜔𝜔𝑉𝑉 (3.1)

Dengan ω merupakan kecepatan angular roda (rad/s), R merupakan jari – jari putaran roda (m), dan 𝑣𝑣 adalah kecepetan kendaraan (m/s). Ketika kondisi berkendara secara normal, 𝑣𝑣 = 𝜔𝜔𝜔𝜔, sedangkan 𝜆𝜆 = 0. Kemudian ketika melakukan pengereman yang sangat kuat, secara umum dapat terjadi 𝜔𝜔 = 0 ketika 𝜆𝜆 = 1, yang biasa disebut dengan ban terkunci (wheel

lockup). Pada saat ban terkunci (wheel lockup) adalah keadaan yang dapat memperpanjang

jarak pemberhentian dan menyebabkan hilangnya control terhadap arah [23].

Berdasarkan [24], terdapat tiga hal yang utama dari ABS yaitu jarak pemberhentian, kestabilan, dan ketahanan kendaraan. Jarak pemberhentian adalah salah satu faktor penting dari proses pengereman. Jarak pemberhentian merupakan hasil fungsi dari massa kendaraan, kecepatan awal kendaraan dan gaya pengereman. Jarak pemberhentian dapat diperkecil oleh peningkatan pada gaya pengereman, karena untuk setiap jenis permukaan jalan pasti mempunyai koeefisien puncak dari gaya pengereman tersebut. Sehingga dengan adanya sebuah antilock system dapat mencapai gaya gesek maksimum dan menghasilkan jarak pengereman minimum. Namun tujuan dari antilock system ini dipengaruhi oleh kebutuhan akan stabilitas dan ketahanan kendaraan.

Kestabilan adalah faktor penting untuk kondisi kemudi kendaraan saat proses pengereman terjadi. Pada Gambar 3.2, saat kendaraan melewati dipermukaan jalan yang licin dibutuhkan gaya gesekan maksimum untuk memperlambat dan menghentikan kendaraan. Namun pada kondisi permukaan jalan yang seperti itu tidak akan didapatkan gaya maksimum karena gaya pengereman lebih signifikan dapat diperoleh di satu sisi kendaraan saja daripada

(14)

11 di sisi lainnya. Sehingga saat menerapkan rem penuh pada kedua sisi akan menghasilkan momen mengayuh atau meluncur yang dapat menarik kendaraan ke sisi yang memiliki gaya gesekan tinggi dan mengakibatkan ketidakstabilan kendaraan. Inilah konsep antilock system yang menjaga slip kedua roda belakang pada tingkat yang sama dan meminimalkan dua koefisien gesekan puncak [24].

Gambar 3.2 Penerapan braking point dengan menggunakan dan tanpa ABS [24]

Kontrol terhadap titik puncak gaya gesek yang baik diperlukan untuk mencapai lateral

force yang baik, sehingga diperlukan ketahaanan kendaraan yang mencukupi. Ketahanan

kendaraan saat pengereman penting tidak hanya untuk koreksi ringan saja, tetapi untuk kemungkinan saat mengemudi menghadapi adanya rintangan. Untuk kendaraan yang dilengkapi ABS, kinerja ban sangat penting, karena semua gaya pengereman dan kemudi dihasilkan di dalam ban dari bagian kontak antara kendaran dan jalan. Tractive force pada ban dan juga lateral force hanya dapat dihasilkan ketika ada perbedaan antara kecepatan lingkar ban dan kecepatan relatif kendaraan terhadap permukaan jalan. Perbedaan tersebut dilambangkan sebagai slip. Hal ini biasa terjadi untuk menghubungkan gaya pengereman ban terhadap gaya slip ban. Setelah titik mencapai titik puncak, slip roda yang meningkat menyebabkan reduksi koefisien gesekan ban terhadap jalan. Sehingga ABS harus membatasi slip ke nilai di bawah nilai titik puncak untuk mencegah terjadinya lockup pada roda. Roda dengan titik puncak gesekan yang tinggi mencapai gesekan maksimum pada 0,2 atau dengan kata lain 20 % slip [25]. Nilai slip optimal menurun seiring dengan gesekan ban terhadap jalan juga menurun [24]. Pada ABS terdapat beberapa komponen utama seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3.3. Komponen – kompenen ABS akan dijelaskan berdasarkan [26] sebagai berikut:

(15)

12 Gambar 3.3 Komponen ABS dengan Rem Hidrolik [23]

 Sensor Kecepatan Roda

Merupakan elemen sensing kecepatan ban dari sistem ABS yang tersegel rapat dan biasanya terletak di ujung roda. Umumnya kendaraan ber-ABS memiliki empat sensor dan terletak pada pinggiran roda di tiap sisi as. Akan tetapi, peletakan sensor bergantung pada tipe suspensinya. Secara khusus, sensor pada kendaraan bersuspensi spring diletakkan pada as ganda bagian depan. Sedangkan pada kendaraan bersuspensi udara (air suspension), sensor diletakkan pada bagian belakang.

Keluran dari sensor ini kemudian diteruskan ke ECU untuk menentukan kapan ABS akan diaktifkan. Adapun dua tipe sensor yang dapat digunakan, antara lain: sensor sudut kanan dan sensor lurus. Tipe yang digunakan bergantung pada pembuatan dan model dari kendaraan.

 Electronic Control Unit (ECU)

ECU adalah bagian yang bertugas untuk memproses fungsi dari ABS. Secara umum ECU bertugas untuk menerima, menguatkan dan menyaring sinyal yang dikirim oleh sensor untuk menghitung kecepatan dan akselerasi roda, lalu secara logic memutuskan roda ketika hendak mengunci dan mengaktifkan valve ABS pada kondisi dan waktu tertentu. Pada saat

valve aktif, ECU dapat mengatur tekanan udara yang menuju ruangan rem. ECU terhubung

pada komponen ABS berikut antara lain: sensor kecepatan roda (wheel speed sensors), katup modulator ABS, catu daya, ground, lampu indikator ABS, blink code switch, konektor

diagnostic J-1587, retarder control (melalui relay atau J1922/J1939 datalink).

Secara rinci, komponen ini menggunakan kecepatan dua roda yang berlawanan secara diagonal untuk menghitung perkiraan kecepatan kendaraan. Slip pada masing-masing roda diturunkan dengan membandingkan kecepatan referensi dengan kecepatan roda.

(16)

13 Mikrokomputer mengirim sinyal kontrol untuk memicu tekanan selenoida pada katup dari modulator untuk memodulasi tekanan rem pada masing-masing silinder rem roda.

 Unit Modulator

Unit Modulator atau disebut juga dengan ABS Modulator Valve berfungsi untuk mengatur tekanan udara ke masing-masing rem yang dikontrol oleh ABS. Pada saat pengereman normal, ABS Modulator Valve tidak diaktifkan sehingga udara mengalir melalui katup ABS ke ruang rem. Selama ABS beroperasi, katup ABS bertugas untuk memodulasi tekanan udara di ruang rem yang berfungsi untuk mengendalikan pengereman dan mencegah ban lockup. Katup ABS adalah katup udara yang dikontrol solenoida, terdiri dari dua jenis solenoida yang dioperasikan secara elektrik dan dua katup diafragma. ECU bertugas mengendalikan solenoida agar bertindak sangat cepat, karena solenoida berfungsi untuk mengendalikan diafragma, yang akan membuka atau menutup agar memberikan dan mengurangi tekanan pada ruang rem.

3.1.2 Regenerative ABS

Regenerative braking system adalah suatu metode pengereman dimana energi mekanik

akibat putaran motor akan dikonversi menjadi energi listrik dan dikembalikan ke baterai. Pengereman regeneratif dapat diwujudkan ketika motor dalam keadaan deselerasi (pengurangan kecepatan). Pada saat torsi motor bernilai positif, maka motor akan mengambil daya dari baterai dan ketika torsi motor bernilai negatif, maka motor akan bekerja layaknya generator yaitu mengisi daya dari baterai. Pengisian baterai tersebut disebabkan oleh adanya tegangan balik pada motor atau dikenal dengan back EMF (electromagnetic force). Motor yang umum digunakan untuk sistem ini adalah brushless direct current (BLDC).

Secara umum motor BLDC terdiri dari dua bagian yakni, rotor, bagian yang bergerak, yang terbuat dari permanen magnet; dan stator, bagian yang tidak bergerak, yang terbuat dari kumparan 3 fasa. Walaupun merupakan motor listrik synchronous AC 3 fasa, motor ini tetap disebut dengan BLDC karena pada implementasinya BLDC menggunakan sumber DC sebagai sumber energi utama yang kemudian diubah menjadi tegangan AC dengan menggunakan

inverter 3 fasa. Tujuan dari pemberian tegangan 3 fasa pada stator BLDC adalah menciptakan

medan magnet yang berubah ubah pada stator untuk menarik magnet rotor.

Tidak adanya brush pada motor BLDC menyebabkan perlunya komutasi yang tepat untuk menjaga torsi dan kecepatan motor konstan. Komutasi pada motor BLDC dikendalikan oleh kontroler secara elektronik. Kontroler menentukan kumparan mana yang akan dialiri arus

(17)

14 dengan referensi dari sensor hall effect yang terdapat pada stator. Sensor hall effect ini membaca posisi rotor dengan cara mengirim sinyal high atau low yang menandakan lokasi dari kutub magnet yang dimiliki rotor tersebut. Aliran arus yang menuju ke motor diatur oleh inverter yang menerima perintah dari kontroler. Jenis inverter yang digunakan untuk mengatur BLDC adalah jenis six step inverter.

Motor BLDC memiliki empat mode operasi atau biasa disebut dengan four quadrant

operation seperti pada Gambar 3.4. Mode operasi pada motor BLDC ini berdasarkan

kecepatan dan torsi beban dari motor. Ketika motor beroperasi pada kuadran pertama dan ketigga, motor berada dalam mode motoring, yaitu motor melakukan akselerasi maju (kuadran 1) atau akselerasi mundur (kuadran 3). Proses motoring ini mengharuskan tegangan pada sumber memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan back emf dari motor. Sedangkan pada kuadran kedua dan keempat, motor terjadi pengereman. Pada kondisi ini back emf dari motor lebih besar daripada tegangan sumber.

Gambar 3.4 Mode operasi pada motor BLDC [27]

3.1.3 Model Dinamik Gerak Longitudinal Kendaraan

Persamaan gerak longitudinal kendaraan empat roda (dua roda depan dan dua roda belakang) berdarkan [28] dalam keadaan pengereman adalah sebagai berikut:

m ὐ = - (Fbf + Fbr + Fa + Ff) (3.2)

Jff = Fbf.R - Thf - Tmf – Tf f (3.3)

Jrf = Fbr.R - Thr - Tfr (3.4)

dengan

(18)

15 ὐ = kecepatan kendaraan

Fbf = gaya pengereman dari ban depan

Fbr = gaya pengereman dari ban belakang

𝐹𝐹𝑎𝑎 = resistansi aerodinamik = 𝐶𝐶𝑎𝑎𝑣𝑣2

𝐶𝐶𝑎𝑎 = konstanta bentuk kendaraan ketika kecepatan angin diabaikan

𝐹𝐹𝑓𝑓 = resistansi putaran untuk full car model

𝐽𝐽𝜔𝜔f = momen inersia pada roda depan

𝐽𝐽𝜔𝜔𝑟𝑟 = momen inersia pada roda belakang

R = radius dari roda

𝑇𝑇𝑓𝑓𝑓𝑓 = torsi pengereman hidrolik yang diaplikasikan pada roda depan

𝑇𝑇𝑓𝑓𝑟𝑟 = torsi pengereman hidrolik yang diaplikasikan pada roda belakang

𝑇𝑇𝑚𝑚𝑓𝑓 = torsi pengereman motor pada roda depan

Pada saat pengereman, beban normal pada roda depan (𝐹𝐹𝑧𝑧𝑓𝑓), dan roda belakang (𝐹𝐹𝑧𝑧r ), dinyatakan sebagai berikut:

�𝐹𝐹𝑧𝑧𝑓𝑓 = 1 𝐿𝐿 [W𝐿𝐿𝑟𝑟 – ℎ𝑔𝑔 (𝑚𝑚 ὐ + 𝐹𝐹𝑎𝑎 )] 𝐹𝐹𝑧𝑧𝑟𝑟 = 1𝐿𝐿 [W𝐿𝐿𝑟𝑟 – ℎ𝑔𝑔 (𝑚𝑚 ὐ + 𝐹𝐹𝑎𝑎 )] (3.5) dengan: W = berat kendaraan

ℎ𝑔𝑔 = tinggi pusat massa dari tanah

𝐿𝐿𝑓𝑓 = jarak antara roda depan ke pusat massa

𝐿𝐿𝑟𝑟 = jarak antara roda belakang ke pusat massa

Gaya pengereman pada roda depan (Fbf), dan roda belakang (Fbr) adalah sebagai berikut:

�𝐹𝐹𝑏𝑏𝑓𝑓 = 𝜇𝜇 𝐹𝐹𝑧𝑧𝑓𝑓 = 𝜇𝜇

1

𝐿𝐿 [W𝐿𝐿𝑟𝑟 – ℎ𝑔𝑔 (𝑚𝑚 ὐ + 𝐹𝐹𝑎𝑎 )]

𝐹𝐹𝑏𝑏𝑟𝑟 = 𝜇𝜇 𝐹𝐹𝑧𝑧𝑟𝑟 = 𝜇𝜇 1𝐿𝐿 [W𝐿𝐿𝑓𝑓 – ℎ𝑔𝑔 (𝑚𝑚 ὐ + 𝐹𝐹𝑎𝑎 )] (3.6) dengan µ adalah koefisien gaya pengereman antara roda dan jalan, yang dinyatakan sebagai berikut:

𝜇𝜇(λ, 𝑣𝑣) = �𝐶𝐶1�1 − 𝑒𝑒−𝐶𝐶2 λ� − 𝐶𝐶3λ�𝑒𝑒−𝐶𝐶4 λ𝑣𝑣 (3.7)

𝐶𝐶1 adalah nilai maksimum kurva gesekan, 𝐶𝐶2 adalah bentuk kurva gesekan, 𝐶𝐶3 adalah perbedaan

kurva gesekan antara nilai maksimumnya dan nilai kurva gesekan pada saat λ =1, 𝐶𝐶4 adalah nilai karakteristik kelembaban.

(19)

16

Slip ratio, λ , didefinisikan oleh persamaan berikut:

𝜆𝜆 = max (𝑣𝑣,𝑣𝑣− ⍵𝜔𝜔 ω) (3.8)

Untuk pemodelan quarter car atau satu roda, maka persamaan menjadi lebih sederhana. Gaya-gaya yang terjadi pada satu roda ditunjukkan pada Gambar 3.5. Persamaan gaya yang terjadi ditunjukkan dengan persamaan berikut:

= F a

m.. (3.9)

−(𝐹𝐹𝑤𝑤+ 𝐹𝐹𝑠𝑠+ 𝐹𝐹𝑎𝑎+ 𝐹𝐹𝑥𝑥) = 𝑚𝑚𝑑𝑑𝑣𝑣𝑑𝑑𝑑𝑑 (3.10)

Dengan nilai gaya yang bekerja padanya antara lain sebagai berikut:

𝐹𝐹𝑤𝑤 = 𝑐𝑐𝑑𝑑 𝑚𝑚 𝑔𝑔 cosα (3.11)

𝐹𝐹𝑠𝑠 = 𝑚𝑚 𝑔𝑔 𝑠𝑠inα (3.12)

𝐹𝐹𝑎𝑎 = 0,5 𝑐𝑐𝑟𝑟 𝛿𝛿 𝐴𝐴𝑓𝑓 𝑉𝑉2 (3.13)

𝐹𝐹𝑥𝑥= µ 𝑚𝑚 𝑔𝑔 (3.14)

dengan:

𝑐𝑐𝑑𝑑 = koefisien resistansi putaran roda

𝑐𝑐𝑟𝑟 = koefisien aerodinamik

δ = density udara 𝐴𝐴𝑓𝑓 = area frontal mobil v = kecepatan mobil

m = massa satu roda

Fw = resistansi putaran untuk quarter car model

Gambar 3.5 Gaya pada Satu Roda Kendaraan [3]

3.1.4 Model Roda

Roda berfungsi untuk menghubungkan torsi eksternal dengan gerakan longitudinal kendaraan. Pada saat proses pengereman secara mendadak, maka diperoleh kecepatan tangensial permukaan roda dan kecepatan pada permukaan jalan yang berbeda sehingga terjadi slip atau tergelincir. Pengontrol ABS harus mengontrol dinamika rem dan dinamika roda.

(20)

17 Model gerak rotasi roda diberikan oleh persamaan:

𝐹𝐹𝑥𝑥 𝑟𝑟 − 𝑇𝑇𝑏𝑏 = 𝐽𝐽𝑑𝑑𝜔𝜔𝑑𝑑𝑑𝑑 (3.15)

dengan:

r =jari-jari roda 𝑇𝑇𝑏𝑏 = torsi pengereman J = momen inersia

ω = kecepatan angular roda

3.1.5 Model Motor

Mesin yang umum digunakan pada mobil listrik adalah berjenis permanent magnet

synchronous machine (PMSM). Pada saat berkendara, motor akan digunakan sebagai

penggerak kendaraan. Sedangkan pada saat pengereman regeneratif, motor akan digunakan sebagai generator yang akan menghasilkan listrik.

Beberapa faktor dapat mempengaruhi torsi pada sistem pengereman regeneratif yang dihasilkan oleh motor. Beberapa faktor diantaranya adalah SOC (Satate of Charge) dari baterai, kecepatan sudut motor, dan temperatur motor. Tujuan dari SOC adalah untuk menjaga agar baterai dapat terhindar dari overcharging yang dapat mempengaruhi umur baterai. Faktor bobot

kSOC pada SOC dapat dinyatakan sebagai berikut:

ksoc = � 1 10 (0.9 − SOC) 0 SOC ≤ 0.8 0.8 < SOC ≤ 0.9 0.9 < SOC ≤ 1 (3.16) Sedangkan faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan sudut motor berasal dari rendahnya gaya electrik (voltase) yang dihasilkan pada saat kecepatan rotasi rendah. Faktor bobot kωmpada kecepatan sudut motor dapat dinyatakan sebagai:

𝑘𝑘𝑚𝑚 = � 0

(⍵

𝑚𝑚

− 50)/50

0

⍵𝑚𝑚

≤ 50 rad/s 50 <

⍵𝑚𝑚

≤ 100 rad/s 0.9 > 100 rad/s (3.17)

Setelah SOC baterai dan kecepatan sudut motor diketahui, torsi pengereman motor yang tersedia, Tmavail , dapat dihitung sebagai berikut:

𝑇𝑇𝑚𝑚𝑎𝑎𝑣𝑣𝑎𝑎𝑚𝑚𝑚𝑚 = 𝑇𝑇𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐼𝐼 𝑘𝑘⍵𝑚𝑚 𝑘𝑘𝜂𝜂𝑡𝑡 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 (3.18)

dengan:

Tmmax = torsi motor maksimum

(21)

18

ηt = efisiensi transmisi

Ketika motor berfungsi sebagai penggerak kendaraan, persamaan dinamik torsi motor,

Tm , dapat dimodelkan sebagai sebuah sistem order satu sebagai berikut:

𝑇𝑇𝑚𝑚

𝑇𝑇𝑚𝑚_𝑑𝑑𝑑𝑑𝑚𝑚𝑚𝑚𝑑𝑑𝑑𝑑= 𝑒𝑒

−𝜏𝜏𝐷𝐷𝑠𝑠 1

1+𝑚𝑚𝑠𝑠 (3.19)

dengan:

Tm_demand = torsi motor yang diperlukan

τD = konstanta delay torsi motor

τm = konstanta waktu torsi motor

3.1.6 Fault Tolerant Control

Sistem fault tolerant control (FTC) memiliki kemampuan mengakomodasi kesalahan komponen secara otomatis dengan tetap mempertahankan kestabilan sistem dan performansi yang ditetapkan. Dalam tiga dekade terakhir, sistem FTC telah diteliti dan sudah banyak metode yang ditawarkan dalam literatur, baik dalam bentuk buku seperti [29], [30], [31] dan makalah tinjauan seperti [32] dan [33]. Tinjauan menyeluruh tentang FTC secara ringkas dijelaskan pada [34] dengan beberapa sudut pandang: teori, praktek industri, dan tantangan potensial. Penjelasan rinci berupa tutorial tentang FTC dapat dibaca pada [35], sedangkan tinjauan literatur secara komprehensif telah dilakukan oleh [36].

Sistem FTC dapat dibangun dengan dua pendekatan: pasif dan aktif. FTC pasif bekerja dengan kontroler yang ditetapkan dan dirancang menggunakan teknik kontrol robust untuk menjamin bahwa sistem lup tertutup tetap tidak sensitif terhadap kesalahan tertentu. Pendekatan ini tidak membutuhkan informasi kesalahan secara on-line maupun rekonfigurasi kontroler, namun memiliki kekurangan dalam hal kemampuan menoleransi kesalahan yang terbatas jumlahnya [30], [36]. Di sisi lain, pada FTC aktif, sebuah sistem kontrol baru dirancang ulang dengan menggunakan informasi kesalahan secara on-line dalam rangka mempertahankan kestabilan dan performansi yang ditetapkan, atau pada kondisi terparah, mencapai performansi terdegradasi yang diijinkan. Oleh karena itu, perancangan sistem FTC aktif memerlukan teknik FDI yang cepat dan efektif sebagai pengambil keputusan akan terjadinya kesalahan atau tidak pada sistem.

(22)

19 Secara umum, sebuah sistem FTC aktif terdiri atas beberapa bagian sub-sistem seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.6, yaitu: teknik deteksi/diagnosis kesalahan; mekanisme rekonfigurasi kontroler; dan kontroler (reconfigureable controller). Ketiga bagian tersebut harus bekerja secara berkesinambungan. Ketika sebuah kesalahan terdeteksi, unit FDI menentukan dimana letak kesalahan tersebut, yaitu isolasi kesalahan, kemudian algoritma estimasi kesalahan yang bekerja secara on-line diaktifkan. Berdasarkan pada estimasi ini, kontroler dirancang ulang untuk mengkompensasi pengaruh kesalahan. Kontroler ini disebut sebagai reconfigurable controller yang biasanya berupa kontroler digital dengan parameter dan/atau struktur dapat diubah secara mudah seperti yang diperintahkan oleh mekanisme rekonfigurasi kontroler.

Gambar 3.6 Struktur umum FTC aktif [34]

Klasifikasi metode penalaan kontrol (control adjustment) pada sistem FTC aktif masih belum dibakukan. Semua metode yang digunakan dalam desain kontrol nominal dapat menjadi alternatif pendekatan desain reconfigurable control. Berdasarkan literatur, teknik penalaan kontrol pada sistem FTC aktif dapat dikelompokkan menjadi dua metode, yaitu metode proyeksi dan metode automatic redesign. Pada metode proyeksi, kesalahan dikompensasi dengan memilih hukum kontrol yang dihitung terlebih dahulu pada saat desain (pre-computed

control law). Sedangkan pada metode automatic redesign, kesalahan dikompensasi dengan

menyintesa strategi kontrol baru secara on-line.

Sintesa sinyal kontrol pada metode automatic redesign dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: merancang ulang kontroler (controller redesign) dengan memodifikasi kontroler nominal, dan mengkompensasi kesalahan dengan tanpa mengubah kontroler nominal. Metode kompensasi kesalahan merupakan bidang penelitian yang relatif baru dan banyak diminati. Hal ini disebabkan karena metode ini tidak memerlukan beban komputasi yang besar sebagai akibat

(23)

20 skema FDI dan reconfigurable control didesain secara terintegrasi. Penelitian tentang desain terintegrasi FDI dan reconfigurable control untuk sistem linear dapat dilihat dalam [37], [38], [39].

3.1.7 Sliding Mode Control

Sliding mode control (SMC) merupakan sebuah teori kontrol yang menggunakan

pendekatan state space untuk menganalisa sebuah sistem [40]. Pengguanan state space ini baik digunakan karena dapat merepresentasikan model yang komplek dan multi input multi output (MIMO). Metode SMC ini dikembangkan untuk membangun sistem kontrol pada model yang kompleks dengan sistem dinamik nonlinear derajat tinggi yang bekerja dalam keadaan tidak tentu[41]. Cara kerja SMC dalam mengendalikan sebuah sistem adalah dengan menjalankan sistem pada sebuah permukaan yang kemudian nilainya dijaga pada permukaan ini. Gambar 3.7 merepresentasikan cara kerja SMC dengan menggunakan fase bidang yang terdiri dari eror dan turunan pertama dari eror tersebut. Dapat dilihat bahwa pada saat dimulai dari berbagai kondisi, keadaan trayektori akan menuju permukaan sliding (reaching mode), dan kemudian akan meluncur sepanjang permukaan menuju target (sliding mode).

Gambar 3.7 Interpretasi grafik SMC [42]

Langkah pertama dalam membangun SMC adalah dengan menentukaan persamaan permukaan (sliding surface). Persamaan sliding surface akan mengikuti persamaan (2.20), dimana hanya dipengaruhi oleh 1 (satu) parameter skalar yaitu λ yang ditentukan oleh desainer dan bernilai positif konstan [43], 𝑛𝑛 merupakan besarnya order dari suatu sistem.

(24)

21 Teorema kestabilan Lyapunov digunakan untuk mestabilan suatu sistem nonlinier yang berubah terhadap waktu. Fungsi Lyapunov digunakan dan dapat dilihat pada permaan (3.21). Persamaan tersebut dikatakan sebuah fungsi definit positif apabila memenuhi syarat 𝑉𝑉(0) = 0, 𝑉𝑉 > 0.

𝑉𝑉 =12𝑠𝑠2 (3.21)

Teorema 3.1 [41] Ditinjau sistem yang didefinisikan sebagai 𝑥𝑥̇ = 𝑓𝑓(𝑥𝑥, 𝑑𝑑) dengan 𝑓𝑓(0, 𝑑𝑑) = 0 untuk semua 𝑑𝑑. Jika fungsi skalar yang terdapat pada 𝑉𝑉(𝑥𝑥, 𝑑𝑑) bersifat kontinu, maka turunan parsial pertama fungsi tersebut memenuhi kondisi definit negatif. Dalam kondisi ini, sistem mengalami uniformly asymptotic stable.

Berdasarkan Teorema 3.1 yang diterapkan pada persamaan (3.21), persamaan (3.22) memenuhi syarat kestabilan sistem yang bersifat definit negatif. Nilai 𝜀𝜀 adalah suatu konstanta positif .

𝑉𝑉̇ = 𝑠𝑠𝑠𝑠̇ ≤ −𝜀𝜀 |𝑠𝑠| < 0

(3.22)

Dengan fungsi signum (sgn) dapat didefinisikan sebagai berikut: 𝑠𝑠𝑔𝑔𝑛𝑛(𝑥𝑥) = �−1

1

x < 1 𝑥𝑥 ≥ 1

(3.23) Persamaan sliding surface merupakan fungsi dari eror. Dengan nilai orde n = 2, persamaan (3.23) dapat disederhanakan sebagai berikut:

s (𝑑𝑑) = 𝑒𝑒̇(𝑑𝑑) + λe(t) (3.24)

dengan r adalah referensi dan fungsi eror adalah:

𝑒𝑒(𝑑𝑑) = 𝑟𝑟(𝑑𝑑) – x (𝑑𝑑) (3.25)

dimana variabel state x(t) memenuhi persamaan state space berikut:

𝑥𝑥̇(𝑑𝑑) = 𝐴𝐴𝑥𝑥(𝑑𝑑) + 𝐵𝐵𝐵𝐵(𝑑𝑑) (3.26)

dengan A dan B adalah matrik state dan matrik input, serta u(t) adalah sinyal input (kontrol). Substitusi persamaan (3.25) dan turunannya ke persamaan (3.24) maka didapatkan persamaan berikut

𝑠𝑠̇ = 𝑟𝑟̈(𝑑𝑑) − 𝐴𝐴𝑥𝑥(𝑑𝑑) − 𝐵𝐵𝐵𝐵(𝑑𝑑) + λ(𝑟𝑟̇(𝑑𝑑) − 𝑥𝑥̇(𝑑𝑑)) (3.27) Dengan memberlakukan constant rate reaching law [44], yaitu:

𝑠𝑠̇ = −𝜀𝜀 𝑠𝑠𝑔𝑔𝑛𝑛(𝑠𝑠) , 𝜀𝜀 > 0 (3.28)

maka dari (3.28) dapat diperoleh persamaan sinyal kontrol sebagai berikut:

(25)

22 Studi Hasil Penelitian Sebelumnya

Sistem kontrol ABS merupakan sistem yang cukup kompleks. Hambatan utama yang muncul dalam merancang sistem kontrol ABS adalah sifat ketidaklinieran dan ketidakpastian model yang besar. Sejumlah pendekatan kontrol modern telah digunakan untuk masalah ini, seperti fuzzy logic control [13] [25], neural network [14], sliding mode control (SMC) [22] dan pendekatan kontrol cerdas lainnya. SMC yang memang dibuat untuk sistem sistem nonlinear menjadi daya pikat tersendiri untuk terus dikembangkan dalam penerapannya di sistem ABS, termasuk sistem regenerative ABS seperti yang didiskusikan dalam [12] [28]. Hasil simulasi menunjukkan bahwa stabilitas pengereman dan kenyamanan penumpang lebih meningkat dengan menggunakan SMC. Namun demikian, pendekatan kontrol modern tersebut di atas belum mengakomodasi kesalahan yang mungkin terjadi pada sensor dan aktuator.

Pada tahun 2011 terdapat hasil penelitian yang bertujuan untuk mendeteksi kesalahan sensor yang efektif dan mengembangkan skema identifikasi kesalahan ABS [45]. Untuk mendeteksi kesalahan pada sensor maka digunakan metode sliding mode observer (SMO). Pada simulasi menunjukkan bahwa fault detection and isolation (FDI) pada sensor ABS tidak hanya mampu mendeteksi dan mengisolasi kesalahan sensor tapi juga mampu memperkirakan kesalahan sensor dengan akurat. Informasi tentang kesalahan sensor kecepatan roda dan kecepatan kendaraan didapat secara efisien. Namun demikian, penelitian ini belum mendeteksi kesalahan aktuator.

Pada tahun 2012, terdapat studi penelitian mengenai desain AFTCS pada kesalahan aktuator berdasarkan variasi waktu (time - varying) [46]. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan ketegaran (robustness), sensitivitas dan kecepatan diagnosa kesalahan, serta prosedur kompensasi menggunakan teknik high-gain observer. Kemudian pengendali rekonfigurasi akan dibangun langsung berdasarkan informasi diagnosis kesalahan pada sistem. Hasil akhir teori diilustrasikan dengan contoh simulasi pada motor sinkron magnet permanen, bukan pada sistem ABS. Selain itu, keberadaan kesalahan sensor masih belum ditinjau.

Skema SMC yang mengakomodasi kesalahan sensor dan aktuator telah diajukan dalam penelitian [47] pada tahun 2019. Skema ini diterapkan pada plant unmanned aerial vehicle. Pendekatan yang digunakan adalah memanfaatkan sifat robust dari SMC, sehingga tergolong sebagai pendekatan passive FTC (PFTC). Perbandingan pendekatan PFTC dan AFTC pada skema SMC di unmanned aerial vehicle sebenarnya telah dikemukan dalam [48], namun kesalahan yang ditinjau baru kesalahan aktuator saja.

(26)

23

BAB IV METODE

Tahap awal penelitian dimulai dari merancang dan mengembangkan prototipe pengereman dengan sistem regenerative ABS berbasis sliding mode control (SMC) untuk kendaraan satu roda. Setelah sistem kontrol terbukti bekerja sesuai dengan performansi yang ditetapkan, langkah penelitian selanjutnya adalah merancang sebuah sistem kontrol SMC secara simulasi yang mampu mengakomodasi terjadinya kesalahan dengan menerapkan metode AFTC, selanjutnya disebut SMFTC.

Diagram alir penelitian ditunjukkan pada Gambar 4.1. Uraian lebih detil dari tiap tahap dijelaskan dalam beberapa sub bab di bawah ini.

Gambar 4.1 Diagram Alir Penelitian

Rancang Bangun Regenerative ABS untuk Quarter Car

Pada penelitian sebelumnya telah dihasilkan simulator sistem ABS pada model kendaraan satu roda dalam skala laboratoium. Simulator ini telah dilengkapi dengan sistem kontrol SMC untuk mengatur proses pengereman secara hidrolik (mekanik). Mesin penggerak yang digunakan dalam hal ini adalah motor induksi. Pada penelitian selanjutnya ini, akan

Mulai Rancang bangun regenerative ABS Perancangan reconfigurable controller Rancang bangun sistem kontrol Perancangan algoritma observer

Uji Performansi sistem AFTC

Memenuhi kriteria slip ratio

= 0,2? Selesai Tidak Kriteria terpenuhi? Analisis Ya Ya Tidak

(27)

24 dibangun simulator regenerative ABS yang tersusun atas tiga komponen utama yaitu motor brushless DC atau BLDC yang dapat berfungsi sebagai motor sekaligus generator DC, Electronic Control Unit, dan rangkain rem hidrolik. BLDC menggantikan motor induksi yang telah terpasang sebelumnya sebagai penggerak dan akan aktif menjadi generator hanya pada saat pengemudi menginjak pedal rem. Pada saat proses pengereman, sebagian energi kinetik digunakan untuk memutar generator, dikonversikan menjadi energi listrik, dan disimpan di baterai. Komponen ECU berfungsi untuk mengontrol nilai slip ratio saat terjadi pengereman penuh (hingga berhenti).

Motor BLDC digunakan sebagai penggerak dari kendaraan yang disimulasikan pada penelitian ini. Skema motor yang digunakan sesuai dengan [27] yang diilustrasikan pada Gambar 4.2. Sumber daya utama pada motor ini yaitu baterai. Baterai digunakan untuk melakukan suplai daya kepada inverter. Inverter menerima masukan gate PWM dan akan mengalirkan sumber 3 fasa kepada motor pada saat mode motoring atau motor akan mengalirkan sumber kepada rectifier pada mode generator sehingga dapat melakukan pengecasan pada baterai saat pengereman.

Gambar 4.2 Skema regeneratif motor BLDC

Gambar 4.3 menunjukkan skema simulator sistem regenerative ABS yang dibangun dalam penelitian ini. Terdapat dua roda yang saling bersentuhan: roda besar mempresentasikan roda kendaraan sedangkan roda kecil mewakili jalan yang dilalui kendaraan. Roda kecil digerakkan oleh motor yang dapat diatur kecepatannya, sehingga dapat mensimulasikan kondisi jalan (gaya gesek yang diberikan ke kendaraan). Roda besar digerakkan oleh BLDC yang tersambung dengan baterai. Kerja mesin BLDC ini selaras dengan kerja motor roda kecil, artinya keduanya bersama-sama hidup dan bersama-sama mati.

Baterai Rectifier

Inverter Motor

BLDC

(28)

25 Gambar 4.3 Skema simulator sistem regenerative ABS

Rancang Bangun Sistem Kontrol Regenerative ABS

Sebuah sistem kontrol terdiri atas plant, sensor, aktuator dan kontroler, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.4. Di setiap roda pada Gambar 4.3 akan dipasang sensor kecepatan, yaitu sensor kecepatan kendaraan pada roda kecil dan sensor kecepatan roda pada roda besar. Kedua hasil pengukuran diumpankan ke ECU untuk digunakan dalam menghitung nilai slip ratio dan sinyal kontrol untuk aktuator hidrolik dan elektrik (inverter). ECU menampilkan hasil pembacaan dan perhitungan ke layar display. ECU juga menerima perintah dari pedal rem dan kondisi mesin BLDC sebagai informasi untuk jenis pengereman apa yang diberlakukan. Dalam penelitian tahun ini, simulator diuji-cobakan untuk jenis pengereman hidrolik dan pengereman regeneratif. Oleh karena itu, dalam controller juga diterapkan skema distribusi torsi pengereman yang efisien.

Gambar 4.4 Struktur sistem kontrol slip ratio

Setpoint Hydr & Elec

(29)

26 Algoritma kontrol yang digunakan adalah sliding mode control (SMC). Hal ini disebabkan karena plant ABS merupakan sistem yang nonlinear dan mengandung ketidakpastian model. Unuk menurunkan sinyal kontrol SMC, maka dilakukan terlebih dahulu proses identifikasi sistem guna menghasilkan model dinamik plant. Selanjutnya, akan dilakukan proses uji coba untuk menghasilkan performansi respon yang terbaik. Dalam hal ini kriteria yang ditetapkan adalah integral absolute error (IAE) dengan nilai setpoint 0,2, overshoot dan waktu pemberhentian.

Perancangan Sistem AFTC

Setelah sistem kontrol terbukti bekerja sesuai dengan perfomansi yang ditetapkan, langkah penelitian selanjutnya adalah membangun sebuah sistem kontrol yang mampu mengakomodasi kesalahan, yaitu AFTC. Perancangan sistem AFTC dilakukan dengan menggunakan extended state observer (ESO) untuk kompensasi kesalahan sensor dan inverter. Masukan untuk observer adalah hasil pengukuran dan sinyal kontrol. Variabel pengukuran adalah kecepatan putaran roda ω yang diukur menggunakan sensor wheel speed dan kecepatan linier mobil V. Struktur SMFTC ditunjukkan pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5 Struktur SMFTC pada plant regenerative ABS

Pada penelitian tahun ini, kesalahan juga ditinjau terjadi pada inverter. Dengan demikian, perlu dilakukan modifikasi rancangan observer yang dihasilkan pada penelitian tahun sebelumnya. Dalam perancangan ESO, model state space diturunkan dari fungsi torsi

Mekanisme kompensasi Extended State Observer

SMC & skema

distribusi kontrol Actuators

plant regenerative ABS Sensors + − Faults Faults

(30)

27 pengereman dan pemodelan dinamik BLDC dan gerak longitudinal kendaraan untuk pengereman sehingga diperoleh model linier. Penentuan gain observer dilakukan menggunakan teknik peletakan pole.

Pada tahap akhir penelitian, dilakukan beberapa pengujian untuk menentukan perfomansi SMFTC yang dirancang melalui simulator regenerative ABS. Kriteria perfomansi yang digunakan adalah kriteria dari slip ratio yang optimal yaitu sebesar 0,2 dan juga respon dinamik yang dinyatakan maximum overshoot, settling time, dan error steady state. Jika perfomansi tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, maka desain observer perlu ditinjau ulang, sampai ditemui kriteria perfomansi yang ditetapkan.

(31)

28

BAB V JADWAL DAN RANCANGAN ANGGARAN BIAYA

Jadwal

No. Deskripsi Kegiatan Bulan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 Persiapan penelitian

2 Rancang bangun plant

regenerative ABS

3 Rancang bangun sliding mode

controller dan skema distribusi

kontrol

4 Perancangan observer 5 Penerapan kompensasi 6 Pengujian dan analisis

7 Penulisan laporan dan aktikel

Anggaran Biaya Upah/Honor

No Tim Peneliti Jumlah Orang Mingg u / Bulan Bulan Kerja Jam / Mngg Tarif Jam/Mgg (Rp) Jumlah (Rp) 1 Pembantu peneliti 1 4 10 12 10.000 4.800.000 2 Pengolah data 2 4 10 10 10.000 8.000.000 3 Teknisi 2 4 6 30 2.500 3.600.000 Total 16.400.000 Komponen Peralatan

No Nama Peralatan Vol Satuan Harga

Satuan (Rp) Jumlah (Rp)

1 Motor BLDC 1 buah 5.000.000 5.000.000

2 Driver 1 buah 3.000.000 3.000.000

3 Calliper 4 buah 600.000 2.400.000

4 Tank master 1 buah 900.000 900.000

5 Steel Tube 1 paket 3.000.000 3.000.000

6 Komponen pengukuran

kecepatan 2 paket 2.000.000 4.000.000

7 Komponen pengukuran arus 3 paket 1.000.000 3.000.000

8 Baterai 3 buah 500.000 1.500.000

9 Software Support 1 paket 3.000.000 3.000.000

(32)

29 Perjalanan

No Kegiatan Frek. Jumlah Harga Satuan (Rp) Jumlah (Rp)

Total

Lain-Lain

No Kegiatan Vol. Satuan Harga Satuan

(Rp) Jumlah (Rp) 1 Penggandaan laporan 10 eks 100.000 1.000.000 2 Biaya makalah jurnal

internasional 1 kali 5.800.000 5.800.000

Total 6.800.000

Rekapitulasi Anggaran

No Jenis Pengeluaran Jumlah (Rp)

1 Gaji 16.400.000

2 Komponen Peralatan 30.800.000

3 Perjalanan -

4 Lain-Lain 6.800.000

(33)

30

BAB VI DAFTAR PUSTAKA

[1] Y. Lee and S. H. Zak, “Designing a Genetic Neural Fuzzy Antilock-Brake-System Controller,” in Transaction on Evolutionary Computation, 2002. [2] M. S. Sergio and T. Mara, Active Braking Control Systems Design for Vehicles,

London, UK: Springer, 2010, p. 3–17.

[3] O. Tur, O. Ustun and R. N. Tuncay, “An Introduction to Regenerative Braking of Electric Vehicles as Anti-lock Braking System,” in Intelligent Vehicles

Symposium, Istanbul, Turkey, 2007.

[4] D. Peng, Y. Zhang, C. L. Yin and J. W. Zhang, “Combined Control of a Regenerative Braking and Antilock Braking System for Hybrid Electric Vehicles,” International Journal Automotive Technology, pp. 749-757, 2008. [5] J. Kim and J. Lee, “Real-Time Estimation of Maximum Friction and Optimal

Slip Ratio Based on Material Identification for a Mobile Robot on Rough Terrain,” in 13th International Conference on Control, Automation and Systems

(ICCAS), Gwangju, Korea, 2013.

[6] W. Y. Wang, I. H. Li, C. P. Tsai, S. F. Su and S. B. Hsu, “Dynamic Slip-ratio Estimation and Control of Antilock Braking System Using an Observer-Based Direct Adaptive Fuzzy–Neural Controller,” Transaction on Industrial

Electronics, p. 1746–1756, 2009.

[7] C. B. Patil, R. G. Longoria and J. Limroth, “Control Prototyping for Anti-lock Braking Control System on a Scaled Vehicle,” in In Proceedings of the IEEE

Conference on Decision and Control, Hawaii, USA, 2003.

[8] M. Oudghiri, M. Chadli and A. E. Hajjaji, “Robust Fuzzy Sliding Mode Control for Antilock-Braking-System,” International Journal Science Technology

Automotive Control, pp. 13-28, 2007.

[9] J. Yao, Z. M. Zhong and C. Z. Sun, “A Fuzzy Logic based Regenerative Braking Regulation for a Fuel Cell Bus,” in In Proceedings of the IEEE International

Conference on Vehicular Electronics and Safety, Beijing, China, 2006.

[10] G. Q. Xu, W. M. Li, K. Xu and Z. B. Song, “An Intelligent Regenerative Braking Strategy for Electric Vehicles,” Energies, p. 1461–1477, 2011.

(34)

31 Control of Electric Vehicles Using Three-Phase Brushless Direct-Current Motor,” Energies, vol. 7, p. 99–114, 2014.

[12] T. K. Bera, K. Bhattacharyya and A. K. Samantaray, “Bond Graph Model Based Evaluation of a Sliding Mode Controller for Combined Regenerative and Antilock Braking System,” Part I Journal System Control Engineering, vol. 225, p. 918–934., 2011.

[13] A. Mirzaei, M. Moallem and B. Dehkordi, “Design of an Optimal Fuzzy Controller for Antilock-Braking-Systems,” in Vehicle Power and Propulsion,

2005 IEEE Conference, Chicago, IL, USA, 2005.

[14] C. M. Lin and C. F. Hsu, “Neural-Network Hybrid Control for Antilock Braking Systems,” IEEE Transactions on Neural Networks, pp. IEEE Trans. Neural Netw. Learn. Syst. 2003, 14, 351–359., 2003.

[15] J. S. Yu, “A Robust Adaptive Wheel-Slip Controller for Antilock-Brake-System,” in In Proceedings of the 36th IEEE Conference on Decision and

Control, San Diego, CA, USA, 1997.

[16] Z. Zhou, C. Mi and G. Zhang, “Integrated Control of Electromechanical Braking and Regenerative Braking in Plug-in Hybrid Electric Vehicles,” International

Journal of Vehicle Design, vol. 58, p. 223–239, 2012.

[17] A. Manzone, A. Pincetti and D. De Costantini, “Fault Tolerant Automotive Systems: an Overview,” in On-Line Testing Workshop, 2001. Proceedings.

Seventh International, Taormina, Italy, 2001.

[18] D. Swaroop, J. C. Gerdes and J. K. Hedrick, “Fault Tolerant Control of Automatically Controlled Vehicles in Response to Brake System Failures,” in

Proceedings of the 1997 IEEE International Conference on Control Applications, Hartford, CT, USA, 1997.

[19] S. Solyom, Synthesis of a Model-Based Tire Slip Controller, Lund, Sweden: Department of Automatic Control, Lund Institute of Technology, 2002.

[20] T. A. Johansen, J. Petersen, J. Kalkkuhl and J. Ludermann, “Gain-scheduled wheel,” IEEE Transactions on Control Systems Technology, pp. 799-811, 2003. [21] I. Petersen, T. A. Johansen, J. Kalkkuhl and J. Luudemann, “Wheel Slip Control Using Gain-Scheduled LQ-LPV/LMI Analysis and Experimental Results,” in

(35)

32 [22] A. Harifi, A. Aghagolzadeh and H. Sadeghi, “Designing a Sliding Mode Controller for Antilock Brake System,” in EUROCON, Belgrade, Serbia & Montenegro, 2005.

[23] A. A. Aly, E. S. Zeidan, A. Hamed and F. Salem, “An Antilock-Braking System (ABS) Control: A Technical Review,” Intelligent Control and Automation, pp. 186-195, 2011.

[24] S. Maliye, Regenerative and Anti-Lock Braking System in Electric Vehicle, Odisha, India: National Institute of Technology, Rourkela, 2014.

[25] S. K. Kumar, L. Verghese and K. K. Mahapatra, “Fuzzy Logic based Integrated Control of Anti-lock Brake System and Collision Avoidance System using CAN for Electric Vehicles,” in Industrial Technology IEEE Conference, Gippsland, VIC, Australia, 2009.

[26] M. Wabco, Anti-Lock Braking Systmen Training Program: Student Manual, Troy, MI USA: Meritor WABCO Vehicle Control System, 1999.

[27] T. Murali, “Four Quadrant Operation and Control of Three Phase BLDC Motor,”

International Conference on Circuits Power and Computing Technology, 2017.

[28] J. Guo, X. Jian and G. Lin, “Performance Evaluation of an Anti-Lock Braking System foe Electric Vehicle with a Fuzzy Sliding Mode Controller,” Energies, pp. 6459-6476, 2014.

[29] M. Blanke, M. Kinnaert, J. Lunze and M. Staroswiecki, Diagnosis and fault-tolerant control, 2nd ed., New York, USA: Springer Verlag, 2006.

[30] M. M. Mahmoud, J. Jiang and Y. Zhang, Active Fault Tolerant Control Systems: Stochastic Analysis and Synthesis, New York: Springer-Verlag Berlin Heidelberg, 2003.

[31] H. Noura, D. Theilliol, J. C. Ponsart and A. Chamseddine, Fault-tolerant Control Systems: Design and Practical Applications, London: Springer-Verlag, 2009. [32] R. J. Patton, “Fault tolerant control: the 1997 situation,” in IFAC Safeprocess '97,

Hull, United Kingdom, 1997.

[33] M. Staroswiecki and A. Gehin, “From control to supervision,” Annual Reviews

in Control, vol. 25, no. 1, pp. 1-11, 2001.

(36)

33

Automatica Sinica, vol. 31, no. 1, pp. 161-174, 2005.

[35] J. Lunze and R. J. H, “Reconfigurable Fault-tolerant Control: A Tutorial Introduction,” European Journal of Control, vol. 5, pp. 359-386, 2008.

[36] Y. Zhang and J. Jiang, “Bibliographical review on reconfigurable fault-tolerant control systems,” Annual Reviews in Control, vol. 32, p. 229–252, 2008. [37] B. Jiang and F. N. Chowdhury, “Fault estimation and accommodation for linear

MIMO discrete-time systems,” IEEE Transactions on Control Systems

Technology, vol. 13, no. 3, pp. 493-499, 2005.

[38] B. Boussaid, H. Chouiref and M. N. Abdelkrim, “Integrated of Active Fault Tolerant Control Approach Based LMI,” International Journal of Sciences and

Techniques of Automatic Control and Computer Engineering, vol. 7, no. 1, pp.

1834-1843, 2013.

[39] K. Indriawati, T. Agustinah and A. Jazidie, “Reconfigurable fault tolerant control of linear system with actuator and sensor faults,” in IEEE International

Conference on Control System, Computing and Engineering (ICCSCE), Penang,

Malaysia, 2013.

[40] A. N. K. Nasir, R. M. T. R. Ismail and M. A. Ahmad, “Performance Comparison between Sliding Mode Control (SMC) and PD-PID Controllers for a Nonlinear Inverted Pendulum System,” International Journal of Computer, Electricalm

Automation, Control and Information Engineering, pp. 1-6, 2010.

[41] M. Rahmani, A. Ghanbari and M. Ettafagh, “Robust Adaptive Control of a Bioinspired Robot Manipulator Using Bat Algorithm,” Expert Systems with

Applications 56, pp. 164-176, 2016.

[42] K. S. Holkar, “Sliding Mode Control with Predictive PID Sliding Surface for Improved Performance,” International Journal of Computer Application, pp. 1-5, 2013.

[43] J. E. Slotine and W. Li, Applied Nonlinear Control, New Jersey: Prentice Hall, 1991.

[44] J. Liu and X. Wang, Advanced Sliding Mode Control for Mechanical Systems, Tsinghua University Press, Beijing and Springer-Verlag Berlin Heidelberg: Springer, 2012.

(37)

34 Braking System Sensor,” in 2nd International Conference on Control,

Instrumentation And Automation (ICCIA), Shiraz, Iran, 2011.

[46] H. Kang, H. Ma and G. Yang, “Adaptive Fault Tolerant Control for Actuators Bias on Nonlinear Systems,” in 24th Chinese Control and Decision Conference

(CCDC), TBD Taiyuan, China, 2012.

[47] J. Tan, Y. Fan, P. Yan, C. Wang and H. Feng, “Sliding mode fault tolerant control for unmanned aerial vehicle with sensor and actuator faults,” Sensors, vol. 19, no. 3, p. 643, 2019.

[48] T. Li, Y. Zhang and B. W. Gordon, “Passive and active nonlinear fault-tolerant control of a quadrotor unmanned aerial vehicle based on the sliding mode control technique,” Journal of Systems and Control Engineering, vol. 227, no. 1, pp. 12-23, 2013.

[49] J. Stoustrup and H. H. Niemann, “Fault estimation—a standard problem approach,” International Journal of Robust and Nonlinear Control, vol. 12, no. 8, pp. 649-673, 2002.

[50] M. Kinnaert, “Fault diagnosis based on analytical models for linear and nonlinear systems – a tutorial,” in IFAC Symposium on Fault Detection, Supervision and

Safety of Technical Processes, Washington, USA, 2003.

[51] D. M. Frank, S. X. Ding and B. Koppen-Seliger, “Current developments in the theory of FDI,” in the IFAC Symposium on Fault Detection, Supervision & Safety

for Technical Processes, Budapest, Hungary, 2000.

[52] J. Smart, “Idaho National Laboratory,” 3 March 2016. [Online]. Available: https://at.inl.gov. [Accessed 15 January 2018].

[53] P. B. Bhivate, Modelling and Development of Anti-Lock Braking System, Rourkela, India: National Institute of Technology Rourkela, 2010.

[54] L. Chu, Y. Hou, M. Liu and J. Li, “Study on The Dynamic Characteristic of Pneumatic ABS Solenoid Valve for Commercial Vehichle,” IEEE, pp. 641-644, 2007.

[55] K. Indriawati, T. Agustinah and A. Jazidie, “Robust Fuzzy Observer-Based Fault Tolerant Tracking Control for Nonlinear Systems with Stimultaneous Actuator and Sensor Faults: Application to a DC Series Motor Speed Drive,” Praise

(38)

35 [56] I. A. Hameed, E. I. Elmadbouly and M. I. Abdo, “Sensor and Actuator

Fault-Hiding Reconfigurable Control Design for a Four-Tank System Benchmark,”

International journal of innovative computing, information & control: IJICIC,

pp. 679-690, 2015.

[57] Y. M. Zhang and J. Jiang, “Active Fault-Tolerant Control System Against Partial Actuator Failures,” in IEE Proceedings - Control Theory and Applications, London, 2002.

[58] K. Indriawati, T. Agustinah and A. Jazidie, “Robust Observer-based Fault Tolerant Tracking Control for Linear Systems with Simultaneous Actuator and Sensor Faults: Application to a DC Motor System,” International Review on

Modelling and Simulation, vol. 8, no. 4, pp. 410-417, 2015.

[59] D. U. Campos-Delgado and S. Z. K. Martinez Martinez, “Integrated fault-tolerant scheme for a DC speed drive,” IEEE/ASME Transactions on

Mechatronics, vol. 10, no. 4, pp. 419-427, 2005.

[60] “How the braking system works,” How a Car Works, 2019. [Online]. Available: https://www.howacarworks.com/basics/how-the-braking-system-works.

[Accessed 18 February 2019].

[61] M. Ichikawa, N. Sebe, Suyama and K. Indriawati, “A Bias Fault Estimation of Actuators and Sensors by Optimization with ℓ0 norm Constraint,” in 11th Asian

Gambar

Gambar 2.1 Road Map Penelitian Laboratorium Fisika Rekayasa
Gambar 3.1 Grafik antara Koefisien Jalan ( μ) dan Slip Rasio Roda (λ) [22]
Gambar 3.2 Penerapan braking point dengan menggunakan dan tanpa ABS [24]
Gambar 3.3 Komponen ABS dengan Rem Hidrolik [23]
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil diskusi dengan beberapa tim mengenai desain alternatif maskot “Rovid” yang sudah didigitalisasi mendapatkan evaluasi dan revisi pada karakter yang kedua yang berupa

Setelah mendapat penjelasan dari peneliti tentang kebaikan dan keburukan prosedur penelitian ini, saya menyatakan bersedia ikut serta dalam penelitian tentang “Perbandingan

Apakah yang harus Anda laporkan untuk durasi survei jika dua tim rekan dengan dua penyelam di Tim A menyingkirkan sampah laut selama 42 menit dan tiga penyelam di Tim B

Mengetahui metode, media dan alat peraga, serta dan prasarana yang tepat sehingga dapat menunjang program Pusat Promosi kesehatan Kementerian Kesehatan

Dalam menyambut masa raya Paskah Tahun 2021 ini, Panitia Paskah mengajak seluruh jemaat dan simpatisan untuk mengikuti gerakan rededikasi dengan melakukan 1 komitmen

menyatakan bahwa skripsi ini dengan judul: “Analisis Mekanisme Corporate Governance Dalam Tingkat Kepatuhan Mandatory Disclosure Konfergensi IFRS” tidak terdapat karya yang

Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui mengenai gambaran kepuasan mahasiswa akan layanan tutorial tatap muka, maka data yang diperoleh diolah dan dianalisis

Adapun dengan jenis kegagalan volume non-standar pada produk, maka akan mengakibatkan terhambatnya proses produksi di bagian selektor botol isi, karena dengan timbulnya