• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian

Perairan Indonesia merupakan perairan di mana terjadi lintasan arus yang membawa massa air dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia yang biasanya disebut Arus Lintas Indonesia (Arlindo) atau Indonesian throughflow. Massa air Pasifik tersebut terdiri atas massa air Pasifik Utara dan Pasifik Selatan (Wyrtki 1961; Ilahude dan Gordon 1996; Molcard et al. 1996; Fieux et al. 1996; Tomascik et al. 1997; Susanto dan Gordon 2005).

Terjadinya Arlindo terutama disebabkan oleh bertiupnya angin musim tenggara di bagian selatan Pasifik dari wilayah Indonesia. Angin tersebut mengakibatkan permukaan bagian tropik Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi dari pada Samudera Hindia bagian timur, akibatnya terjadinya gradien tekanan yang mengakibatkan mengalirnya arus (Arlindo) dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Arlindo selama musim tenggara umumnya lebih kuat dari pada saat musim barat laut, dan Selat Makassar merupakan jalur utama Arlindo, sehingga tentu saja Arlindo tersebut sangat mempengaruhi kondisi oseanografis di Selat Makassar. Arlindo yang membawa massa air sangat besar dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia memiliki dua jalur, yang utama adalah melalui Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores kemudian ke Laut Banda Selatan dan keluar melalui Laut Timor menuju Samudera Hindia, sedangkan jalur sekunder adalah melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku, kemudian masuk ke perairan Laut Banda bagian utara dan keluar melalui Selat Ombai dan Selat Lombok (Gordon 1986; Gordon et al. 1994; Ilahude dan Gordon 1996).

Selat Makassar adalah perairan yang relatif subur, dimana proses penyuburan yang terjadi berlangsung sepanjang tahun, baik pada musim barat maupun pada musim timur. Pada musim barat penyuburan terjadi karena adanya run off dari daratan Kalimantan dan Sulawesi dalam jumlah besar akibat curah hujan yang cukup tinggi, sedangkan pada musim timur terjadi proses upwelling di beberapa lokasi akibat pertemuan massa air dari Samudera Pasifik dengan massa air Laut Jawa dan Laut Flores (Illahude 1978).

(2)

Gambar 1 memperlihatkan gugusan kepulauan Indonesia dengan sungai-sungai utama dan aliran massa air yang melewatinya. Garis panah warna hitam menginterpretasikan massa air thermocline dari Samudera Pasifik Utara melalui Selat Makasar yang merupakan jalur utama Arlindo, sedangkan garis panah putus-putus warna hitam merupakan massa air thermocline yang berasal dari Samudera Pasifik Selatan dan merupakan jalur sekunder Arlindo. Garis panah putus-putus warna biru dan hijau merupakan massa air permukaan utara Sumatra dan selatan Sumatra yang secara musiman bergerak menuju Nusa Tenggara akibat pengaruh monsoon (Susanto dan Gordon 2005).

Angin utama yang berhembus di Selat Makassar adalah monsoon (angin musim), monsoon mengalami pembalikan arah sebanyak dua kali dalam setahun, hal ini disebabkan perbedaan udara di atas Benua Asia dan Australia. Pada bulan Desember–Februari angin berhembus dari Asia ke Australia, sehingga di atas Selat Makassar angin bergerak dari arah utara menuju selatan (west monsoon). Pada bulan Juni–Agustus angin berhembus dari Australia ke Asia, sehingga angin bergerak dari arah tenggara menuju selatan (east monsoon). Selama angin musim barat berhembus, curah hujan meningkat dan menyebabkan salinitas di perairan Selat Makassar menjadi turun, dan sebaliknya pada saat musim timur terjadi peningkatan salinitas karena penguapan yang tinggi di Selat Makassar, ditambah Gambar 1 Massa Air Thermocline Pasifik Utara dan Pasifik Selatan serta Massa Air Permukaan

(3)

lagi dengan masuknya massa air bersalinitas cukup tinggi dari Samudera Pasifik melaui Laut Sulawesi (Wyrtki 1961).

Arlindo yang melalui Selat Makassar juga dipengaruhi oleh monsoon, kekuatan monsoon bahkan dapat menyebabkan pergerakan massa air hingga kedalaman 500 meter (Arief, 1998). Perpindahan massa air Arlindo diperkirakan mencapai puncaknya pada bulan Juli-September dan paling sedikit pada periode Februari-Mei. Hasil estimasi yang didapat berdasarkan model terbaru menunjukkan bahwa perpindahan massa air Arlindo mencapai 7 Sverdrup*

Suhu pada suatu perairan akan mengalami penurunan secara teratur sesuai dengan kedalaman, semakin dalam suhu akan semakin rendah atau dingin. Hal ini pada musim tenggara dan 0,7 Sverdrup pada musim barat laut (Gordon dan McClean 1999). Pada kurun waktu tahun 1997 massa air Arlindo dari Samudera Pasifik yang melewati Selat Makassar menuju Samudera Hindia diperkirakan mencapai 9,1 Sverdrup (Susanto dan Gordon 2005).

Tomascik et al. (1997) menyatakan bahwa salinitas permukaan perairan Indonesia umumnya berkisar antara 31,2 - 34,5 ppt. Naulita (1998) mendapatkan nilai salinitas permukaan di Selat Makassar sebesar 34,12 ppt pada musim timur (Juni, Juli dan Agustus), dan mendekati nilai 30 ppt pada musim barat (Desember, Januari dan Februari). Hasil pengukuran Abdilah (2002) pada bulan Mei 2001 di Selat Makassar mendapatkan kisaran salinitas antara 33,26 - 33,35 ppt pada lapisan dibawah permukaan (2,5 meter), sedangkan hasil pengukuran Wenno (2003) pada bulan Oktober 2003 mendapatkan nilai salinitas permukaan Selat Makassar sedikit berfluktuasi dengan kisaran 30,4 - 33,7 psu dan mengalami peningkatan hingga kedalaman 100 meter (34,7 psu), kemudian terjadi sedikit penurunan hingga kedalaman 300 meter. Hasil penelitian pada pelayaran program International nusantara stratification and transport (INSTANT) bulan Juli 2005 menunjukkan salinitas permukaan menurun dari utara ke selatan, bagian utara berkisar antara 33,441 - 35,314 psu dan bagian selatan antara 33,916 - 35,206 psu (Awaludin 2005). Nilai salinitas Selat Makassar memiliki nilai yang paling rendah bila dibandingkan dengan salinitas di Laut Sulawesi, Laut Banda dan Laut Flores. Hal ini disebabkan karena posisi Selat Makassar diapit oleh daratan Kalimantan dan Sulawesi yang memberikan suplai air tawar yang cukup besar (Naulita 1998).

*

1 Sverdrup = 1 x 106

(4)

diakibatkan karena kurangnya intensitas matahari yang masuk kedalam perairan. Pada kedalaman melebihi 1000 meter suhu air relatif konstan dan berkisar antara 2 - 4oC (Hutagalung 1988). Suhu permukaan laut tergantung pada beberapa faktor, seperti presipitasi, evaporasi, kecepatan angin, intensitas cahaya matahari, dan faktor-faktor fisika yang terjadi di dalam kolom perairan. Presipitasi terjadi di laut melalui curah hujan yang dapat menurunkan suhu permukaan laut, sedangkan evaporasi dapat meningkatkan suhu permukaan akibat adanya aliran bahang dari udara ke lapisan permukaan perairan. Menurut McPhaden dan Hayes (1991), evaporasi dapat meningkatkan suhu kira-kira sebesar 0,1o

Sebaran suhu permukaan perairan Selat Makassar dipengaruhi oleh keadaan cuaca, antara lain curah hujan, penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin dan C pada lapisan permukaan hingga kedalaman 10 meter.

Lukas dan Lindstrom (1991) mengatakan bahwa perubahan suhu permukaan laut sangat tergantung pada termodinamika di lapisan permukaan tercampur (lapisan homogen). Daya gerak berupa adveksi vertikal, turbulensi, aliran buoyancy, dan entrainment dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada lapisan tercampur serta kandungan bahangnya. Menurut McPhaden and Hayes (1991) adveksi vertikal dan entrainment dapat mengakibatkan perubahan terhadap kandungan bahang dan suhu pada lapisan permukaan. Kedua faktor tersebut bila dikombinasi dengan faktor angin yang bekerja pada suatu periode tertentu dapat mengakibatkan terjadinya upwelling.

Webster et al. (1998) menyatakan bahwa aliran bahang Arlindo dapat dibandingkan terhadap aliran bersih permukaan di utara Samudera Hindia dan sejumlah fraksi substansial dari aliran bahangnya. Beberapa hasil model penelitian mengungkapkan ketergantungan suhu permukaan dan simpanan bahang permukaan Samudera Pasifik dan Hindia terhadap Arlindo ini. Kedua samudera tersebut akan sangat berbeda jika tanpa Arlindo (MacDonald 1993). Maes (1998) menemukan bahwa ketiadaan Arlindo akan meningkatkan permukaan laut di Pasifik dan menurunkannya di Hindia sebanyak 2-10 cm. Perubahan dalam bilangan sentimeter dalam skala samudra akan berpengaruh sangat besar pada sirkulasi lautan dan keadaannya secara keseluruhan yang berimplikasi pada perubahan anggaran bahang dan akhirnya perubahan yg drastis pada sistem iklim regional.

(5)

intensitas penyinaran matahari. Suhu permukaan laut perairan Indonesia umumnya berkisar antara 25 - 30oC dan mengalami penurunan satu atau dua derajat dengan bertambahnya kedalaman hingga 80 db (Tomascik et al. 1997). Hasil pengukuran yang dilakukan Abdilah (2002) pada bulan Mei 2001 di Selat Makassar mendapatkan kisaran suhu antara 29,89 - 30,0oC pada lapisan dibawah permukaan (2,5 meter), sedangkan hasil pengukuran Wenno (2003) pada bulan Oktober 2003 mendapatkan nilai rata-rata suhu lapisan permukaan Selat Makassar adalah 29,2oC dengan nilai kisaran antara 28,5 - 29,6oC dan mengalami penurunan hingga kedalaman 300 meter (11,29oC). Hasil penelitian pada pelayaran program International nusantara stratification and transport (INSTANT) bulan Juli 2005 menunjukkan suhu permukaan Selat Makassar sebelah utara lebih hangat berkisar antara 29,14 - 29,69oC dan sebelah selatan antara 27,44 - 29,10oC (Awaludin 2005).

2.2 Ikan Pelagis Kecil

Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang umumnya menyebar di perairan Selat Makassar antara lain adalah ikan kembung (Ratrelliger spp), layang (Decapterus russeli), tembang (Sardinella fimbriata), lemuru (Sardinella longiceps), selar bentong (Selar crumenophthalmus), japuh (Dussumieria acuta), tenggiri (Scomberomorus sp), tongkol (Scomberidae sp), petek (Leognatidae spp) dan ikan teri (Engraulidae) (Latumeten 1996). Penyebaran ikan pelagis kecil tersebut semakin meningkat dari bagian utara ke arah selatan Selat Makassar (Simbolon 1996).

Ikan pelagis kecil merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang paling melimpah di perairan Indonesia. Sumberdaya ini merupakan sumberdaya neritik, karena penyebaran utamanya adalah di perairan sekitar pantai, dan pada daerah-daerah dimana terjadi proses up welling, dan sumberdaya ini dapat membentuk biomassa yang sangat besar (Csirke 1988).

Menurut Ehrenberg (1984), ikan-ikan kecil cenderung bergerombol pada lapisan atas perairan, sedangkan ikan yang lebih besar menyebar di lapisan bawah. Burczynski et al. (1987) juga menyatakan bahwa penyebaran ikan-ikan kecil dapat dipengaruhi oleh profil temperatur dan thermocline.

Menurut Laevastu dan Hela (1970), hewan laut termasuk di dalamnya ikan pelagis dapat dibagi dalam beberapa kelompok melalui migrasi vertikal, antara lain:

(6)

(1) Spesies ikan pelagis yang pada siang hari berada sedikit di atas termoklin, akan bermigrasi ke lapisan permukaan pada sore hari, menyebar di antara permukaan thermocline pada malam hari, dan naik ke atas lapisan thermocline pada pagi hari.

(2) Spesies ikan pelagis yang pada siang hari berada di bawah lapisan thermocline, bermigrasi melalui thermocline ke lapisan permukaan selama pagi hari, menyebar antara permukaan dan dasar perairan selama malam hari dan melimpah di atas thermocline.

(3) Spesies ikan pelagis yang berada di bawah lapisan thermocline, bermigrasi ke lapisan thermocline selama sore hari, menyebar kelapisan yang lebih dalam selama pagi hari.

Pendugaan kelimpahan sumberdaya ikan sangat penting karena merupakan langkah awal dalam manajemen pengelolaan perikanan. Pendugaan kelimpahan dapat digunakan untuk menduga laju eksploitasi, mortalitas dan rekrutmen pada suatu sok ikan (Aziz 1989).

2.3 Landasan Teoritis Metode Hidroakustik

MacLennan dan Simmonds (1992) menyatakan beberapa keuntungan dan keunggulan yang didapat bila menggunakan metode hidroakustik dalam estimasi ikan antara lain:

(1)Menghasilkan informasi tentang densitas ikan secara cepat dan meliputi suatu kawasan yang luas;

(2)Pendugaan dapat dilakukan secara langsung tanpa tergantung dari data statistik perikanan;

(3)Memiliki ketelitian dan kecepatan tinggi dan dapat digunakan ketika metode lain tidak dapat digunakan.

Metode ini menggunakan pulsa suara atau bunyi yang dihasilkan oleh alat transduser dan akan menghasilkan echo (gema) dari target yang dituju. Transmisi pulsa suara dari transduser dalam media air akan mengalami pengurangan intensitas dalam rambatannya menuju suatu obyek atau target. Pengurangan intensitas selama berlangsungnya proses transmisi pulsa itu disebut transmission loss (TL). Ada dua faktor yang membentuk pengurangan intensitas tersebut, yaitu perambatan geometris

(7)

(geometrical spreading) dan peredaman (attenuation) suara oleh suatu massa air (Burczynski 1982; Urick 1983; Johannesson dan Mitson 1983).

Jika diasumsikan bahwa transmisi gelombang suara ada pada suatu titik dan merambat dalam medium yang ideal (tidak ada pengaruh peredaman), maka power (P) yang keluar dari seluruh permukaan sumber harus sama pada jarak berapapun dari sumber suara (misal; pada jarak R1, R2, ….Rn

2 2 2 2 2 1 14 4 ... n4 n R I R I R I R P = π ≈ π ≈ ≈ π

), yang dirumuskan oleh Burczynski (1982) sebagai berikut:

. . . (1) dimana: PR : power yang keluar/dipancarkan sumber suara

I = 1,2,3,…n : besarnya intensitas yang diukur pada jarak R = 1,2,3,..n.

Dari persamaan (1) dapat ditentukan intensitas suara dari sumber pada jarak Rn

2 2 0 04 R IR4 Rn I π ≈ π , yaitu: . . . (2) dimana: I0 : intensitas suara yang dipancarkan sumber suara

0

R : jarak standar, 1 meter dari sumber suara R

I : intensitas suara pada jarak R dari sumber suara

karena standar jarak (R) untuk referensi yang digunakan adalah 1 meter dari sumber suara atau (R0), maka dari persamaan (2) akan didapat:

2 2 0 2 0 04 R I 4 1 I 4 R I π → π ≈ R π sehingga: IR =I0 R2 . . . (3) Gambar 2 Perambatan Suara pada Medium yang Ideal (Burczynski 1982).

(8)

Penurunan intensitas yang diakibatkan oleh perambatan geometris (geometrical spreading) biasa juga disebut transmission loss (TLG

(

)

( )

2 0 G 10log I I 10log R TL = n ≈ ), persamaannya adalah: R log 20 ≈ . . . (4) Pengurangan intensitas juga disebabkan adanya peredaman, dimana gelombang suara yang merambat di medium air sebagian energinya diserap oleh massa air, dan menurut Urick (1983) untuk setiap meter energi yang diserap dapat dinyatakan dengan:

, dx I

dI =η

dimana:η : faktor peredaman

Pada jarak antara R1 dengan R0, maka intensitas I1 pada jarak R1 berhubungan

dengan I0 pada jarak R0, sehingga:

( 1 0) 0 1 R R I I = −η − . . . (5) Dalam skala logaritmik, penurunan intensitas akibat peredaman (attenuation) (TLA

(

0 1

)

10log log

(

1 0

)

log 10 I I R R TLA = ≈ η  − ), menjadi:

karena 10logηlog=α, dan R0 =1, maka: R

TLA =α . . . (6) Berdasarkan persamaan (4) dan (6), maka pengurangan intensitas suara pada medium air akibat perambatan geometris (geometrical spreading) dan peredaman (attenuation) ditentukan dengan persamaan:

R R

TL=20log +α . . . (7) Pengurangan intensitas pada persamaan (7) merupakan sekali perjalanan energi suara, yaitu dari transduser ke target, sedangkan sistem hidroakustik adalah menghitung gema (echo) yang dipantulkan kembali oleh target menuju sumber suara (transduser), sehingga akan terjadi dua kali perjalanan energi suara; dari transduser ke target, lalu kembali lagi (dipantulkan) ke transduser, yang berarti terjadi dua kali pengurangan intensitas. Maka untuk pengurangan intensitas ini, persamaannya adalah:

R R TL=40log +α

(9)

Sedangkan energi yang dipantulkan kembali oleh target dan diterima kembali oleh transduser disebut juga derajat gema (Echo Level, EL), dan dapat ditentukan dengan persamaan yang dikemukakan oleh Urick (1983) sebagai berikut:

TS TL SL

EL= −2 + . . . (9) Namun persamaan di atas hanya diterapkan pada target tunggal, maka untuk multiple target intensitas suara yang mencapai transduser biasa disebut reverberation level (RL). Johannesson dan Mitson (1983) mengemukakan konsep perhitungan intensitas suara yang mencapai transduser untuk multiple target, yang dijelaskan seperti pada Gambar 3.

Volume dVdihitung berdasarkan perkalian luas permukaan insonifikasi

(

R2 d

)

teradap ketebalan target

(

cτ 2

)

, sehingga diperoleh:

=R c d

dV 2 τ 2 . . . (10) Untuk mendapatkan intensitas volume acoustic backscattering, digunakan istilah coefficient volume backscattering (SV) yang analog dengan σ untuk target tunggal, yaitu:

1

I I

SV = b dan SV =10logsv

Sehingga intensitas dari dV (dΩ disubstitusi →ψ ) akan menjadi: svr2

(

cτ 2

)

ψ , dengan demikian maka RL dalam bentuk logaritmik adalah (Urick 1983):

Gambar 3 Volume Backscattering Strength pada Multiple Target (Johannesson dan Mitson 1983).

(10)

(

)

[

τ 2 ψ

]

log 10 I0 r4 svR2 c RL=

(

τ 2

)

10 logψ log 10 log 10 log 20 + + + − ≈SL R sv c . . . (11)

Gelombang tekanan yang memutuskan aksi RL pada transduser menghasilkan sebuah voltase VTR yang amplitudonya pada seketika waktu sama dengan RL + SRT (SRT = sensitivitas transduser), sehingga didapatkan:

VTR = SL + SRT + SV + 10 log cτ/2 + 10 log ψ . . . (12) SL + SRT adalah sebuah parameter kelompok yang dapat diukur dengan rata-rata dari prosedur kalibrasi pada standar target. Tegangan VRT diolah melalui echosounder, pada awalnya oleh gain amplifier tetap (G1) dan kemudian amplitudo TVG (G2). Semua tegangan dari echosounder dikuadratkan dalam echo integrator untuk dikonversi dari satuan tegangan ke intensitas (Johannesson dan Mitson 1983).

2.4 Target Strength

Target Strength merupakan kemampuan atau kekuatan suatu target untuk memantulkan kembali gelombang suara yang datang dan membenturnya (Ehrenberg 1984), sedangkan Coates (1990) mendefenisikan target strength sebagai ukuran desibel intensitas suara yang dikembalikan oleh target, diukur pada jarak standar satu meter dari pusat akustik target dan berbanding terhadap intensitas suara yang mengenai target.

Ketika suatu gelombang akustik dalam bentuk pulsa suara dipancarkan melalui sebuah alat transduser dan mengenai atau membentur target di dalam kolom air, maka akan terjadi pemantulan gema (echo) energi dari target itu, akan tetapi tidak semua energi yang membentur target tersebut dapat dipantulkan, karena ada juga yang diabsorb dan ada pula yang melewati target itu. Banyak faktor yang mempengaruhi nilai target strength dari ikan, antara lain ukuran dan bentuk ikan, sudut datang pulsa, orientasi ikan terhadap transduser, gelembung renang, acoustic impedance dan elemen ikan (daging, tulang, kekenyalan kulit, distribusi dari sirip dan ekor) walaupun pengaruh faktor terakhir ini kecil karena nilai kerapatannya tidak jauh berbeda dengan air (MacLennan 1989).

Target strength adalah kemampuan dari suatu target untuk memantulkan suara, yang dapat dinyatakan dalam bentuk intensity target strength dan energy target strength. Nilai dan karakteristik target strength ikan ini ditentukan oleh

(11)

beberapa faktor, yaitu ukuran ikan (panjang badan), bentuk tubuh, spesies ikan, gelembung renang, tingkah laku (orientasi), acoustic impedance, panjang gelombang suara, beam pattern, kecepatan renang dan multiple scattering/sadowing effect (Johannesson dan Mitson 1983; MacLennan 1989; MacLennan dan Simmonds 1992).

Johannesson dan Mitson (1983) menyatakan bahwa target strength dapat diartikan sebagai 10 kali nilai logaritma dari intensitas suara yang di pantulkan (Ir) pada jarak satu meter dari target, dan dibagi dengan intensitas suara yang membentur target tersebut (Ii

TS = 10 log I

), seperti pada persamaan berikut ini:

r Ii . . . (13) dimana: Ir : intensitas suara yang dipantulkan target

Ii : intensitas suara yang membentur target

Menurut MacLennan dan Simmonds (1992), target strength merupakan backscattering cross section (σbs

TS = 10 log ( σ 4 π ) ≈ 10 log σ

) dari target yang mengembalikan sinyal, seperti persamaan di bawah ini:

bs . . . (14) dimana : (σ/4 π) ≈ σbs

TS = 10 log I

: acoustic backscattering cross section pada koordinat sudut (θ,φ)

Maka, target strength dapat dinyatakan dalam: r I ≈ 10 log ( σ 4 π ) ≈ 10 log σ i bs . . . (15)

Intensitas dari echo yang dipantulkan kembali oleh target tunggal dapat dinyatakan dalam persamaan ini:

I = k ( 10-2αR/R4 ) b2( θ,φ ) σbs . . . (16) dimana: k : faktor skala kalibrasi

(10-2αR/R4) : faktor peredaman b2(θ,φ) : faktor beam pattern σbs

Untuk mendapatkan target strength atau σ

: acoustic backscattering cross section pada koordinat sudut (θ,φ) bs, maka faktor skala, peredaman dan beam pattern harus terlebih dahulu dieliminir. Faktor skala dan peredaman dapat dieliminir dengan kalibrasi pada TVG/time varied gain (penambahan berdasarkan variasi waktu), sedangkan faktor beam pattern cukup sulit dieliminir. Pada sistem akustik dual beam, faktor beam pattern dieliminir dengan menggunakan narrow

(12)

beam dan wide beam, sedangkan pada sistem akustik split beam dilakukan pembagian transduser atas empat kuadran secara elektrik, seperti tampak pada Gambar 4.

Proses transmisi gelombang suara dilakukan dengan full beam dari keempat kuadran secara simultan, tapi pada saat menerima echo yang kembali dari target, keempat kuadran tersebut bekerja secara terpisah. Output dari masing-masing kuadran digabungkan kembali membentuk full beam dan dua set split beam untuk isolasi target tunggal serta posisi sudut target (Gambar 5).

Gambar 5 menjelaskan bahwa sinyal yang diterima oleh setiap kuadran diperbesar secara terpisah dalam empat saluran receiver yang memungkinkan arah datangnya echo dapat ditentukan. Sinyal echo sampai ke transduser pada waktu yang

Gambar 4 Ilustrasi Dual Beam dan Split Beam Acoustic System dalam Mendeteksi Keberadaaan Ikan Tunggal dan Kelompok Ikan (Simrad 1999).

(13)

berbeda di empat kuadran, sehingga dengan adanya phase detector maka phase angle dari tiap kuadran dapat dibedakan (Simrad 1977). Sudut lokasi dari suatu target tunggal dapat ditentukan dari perbedaan phase electric antara separuh transduser. Pada sisi alongship, beda phase dapat diperoleh dengan cara membandingkan sinyal di kuadran a + b dengan sinyal c + d, sehingga diperoleh beda phase θ1, kemudian pada sisi athwarship, sinyal a + c dibedakan dengan sinyal b + d, sehingga diperoleh beda phase θ2.

Dengan diketahuinya beda phase θ1 dan θ2, maka koordinat sudut (θ,φ) dari posisi target dapat dihitung dengan persamaan berikut (Ehrenberg, 1983):

θ = sin –1 γ ( sin2 θ1 + sin2 θ2 )

φ = tan –1 ( sin2 θ1 / sin2 θ2 ) . . . (17) Setelah diperoleh nilai sudut θ1 dan θ2, maka faktor beam pattern dapat dihitung, sehingga nilai σbs dapat diestimasi berdasarkan persamaan (17) di atas.

Sebuah model geometrik sederhana untuk menduga energi backscatter berdasarkan ukuran ikan dikemukakan oleh MacLennan (1990) sebagai berikut:

σ = b0 L2 . . . (18) TS = 20 lo L + b0 . . . (19) Love (1971) dan (1977) merumuskan persamaan yang menghubungkan backscattering cross section (σ), panjang ikan (L) dan panjang gelombang (λ):

σ/λ2 = a ( L/λ )b

(dB ) . . . (20) dimana: a dan b adalah konstanta yang tergantung dari anatomi, ukuran ikan

dan panjang gelombang.

Persamaan (10) bila dirubah ke dalam bentuk logaritmik akan menjadi:

TS = a log ( L ) + b log ( f ) + c (dB) . . . (21) dimana: TS : Target strength

f : frekuensi suara a, b, c : konstanta

Namun dari hasil penelitian yang dilakukan Foote (1987), menunjukkan tidak ada perbedaan hasil yang didapatkan dari frekwensi yang berbeda, oleh sebab itu diformulasikanlah suatu hubungan antara target strength dengan panjang ikan sebagai berikut:

TS = 20 log ( L) – 68 (dB) . . . (22) dimana: 68 adalah normalisasi target strength yang bersangkutan

(14)

2.5 Estimasi Densitas Akustik Ikan

Burczynski (1982) menyatakan, suatu kelompok ikan tunggal yang berada pada suatu volume air tertentu yang diinsonifikasi secara sesaat oleh gelombang suara dapat disebut multiple target, selanjutnya dikatakan jika individu target menyebar normal, maka total power yang dipantulkan oleh multiple target akan merupakan jumlah dari power yang direfleksikan oleh masing-masing individu (Gambar 6), sehingga intensitasnya menjadi:

Ir total = Ir1 + Ir2 + . . . + Irn . . . (23)

dimana: n = jumlah individu ikan

Untuk suatu kelompok target sebanyak n target akan dapat diduga nilai rata-rata intensitasnya (Īr), sehingga:

Ir total = n Īr . . . (24) oleh karena σ = 4π (Ir / Ii), maka intensitas rata-rata per-target menjadi:

Īr = σ Ii / 4π . . . (25) sehingga: Ir total = ( n σ / 4π) Ii . . . (26) Persamaan (26) dapat dituliskan dalam bentuk yang sederhana menjadi:

Ir total = n σ Ii . . . (27)

Persamaan (27) merupakan dasar untuk mengestimasi stok ikan secara kuantitatif dengan hidroakustik dan apabila ditulis dalam bentuk logaritmik akan menjadi:

SV = 10 log n + TS

dimana: S

. . . (28)

V

Gambar 6 Pemantulan Echo dari Single dan Multiple Target (Burczynski 1982).

(15)

Menurut Johanesson dan Mitson (1983) bahwa untuk sebuah integrasi pada jarak kedalaman ΔR = R1 - R2, volume backscattering strength (SV) untuk

satu transmisi dari suatu ukuran intensitas akustik, direfleksikan dari tiap m3 air yang dijumlahkan dan dirata-ratakan pada ΔR, sehingga SV yang diperoleh

merupakan rata-rata SV (SV ) dapat dituliskan sebagai berikut:

TS SV =10logρν + . . . (29) ) ( ) ( 1 2 1 2 R R Ci n Vo S N n n V − =

= = . . . (30)

dimana: Ci : menggambarkan parameter SL, SRT, Ψ dan lain-lain N = ΔR/(Cτ/2) : jumlah panjang pulsa yang terjadi dalam ΔR

(Vo2

V S

)n : kuadrat dari keluaran voltase ke-n

Jika diketahui, maka rataan densitas ikan untuk suatu integrasi dapat diketahui

apabila TS juga diketahui.

Selanjutnya secara matematis persamaan (30) digabung dengan persamaan integrator, dimana output (M) yaitu:

= 2 1 . 2 R R dr Vo Ge M . . . (31)

dimana: Ge : faktor gain echo integrator

Vo : keluaran voltase yang diperoleh dari VR yang langsung masuk ke input terminal dari integrator

Penggabungan dari dua persamaan (30) dan (31) akan diperoleh:

V

S ΔR = M/Ci.Ge . . . (32) Dengan mensubstitusi persamaan (29) dan (32) akan diperoleh:

ρv / ΔR = M/Ci.Ge (σ/4π) . . . (33) ρv / ΔR = ρA . . . (34) Selanjutnya dalam sistem akustik bim terbagi (split beam), persamaan (34) diaplikasikan dengan:

ρA = SA / σbs . . . (35) dimana integrasi didasarkan pada persamaan berikut (Simrad 1997):

∂σ / ∂v = 4πr2

Sv . . . (36) ∂σ / ∂A

(16)

Kemudian persamaan (38) mengubah volume backscattering strength (SV)

menjadi coefficient backscattering area (SA) per unit volume. Jumlah SA

(m2/nmi2) dihubungkan dengan σbs menjadi:

SA = (1852 m/nmi)2 σbs . . . (39) Selanjutnya perhitungan yang diimplimentasikan echosounder diperoleh dengan mengkombinasikan persamaan (36) dan (39) menjadi:

) / 1852 ( . 4 2 2 2 1 nmi m dr Sv R S R R A         = π

. . . (40) Coefficient backscattering area (SA) dari persamaan (40) dikalkulasi untuk setiap

area terpilih yang dideteksi secara hidroakustik, dan dari nilai tersebut diperoleh nilai backscattering cross section (Sv):

) ( ) / 1852 ( . 4 R2 m nmi 2 R2 R1 S S A − = π ν . . . (41)

Selanjutnya integrasi secara vertikal dilakukan dengan menghitung densitas ikan dalam suatu volume perairan berdasarkan persamaan (33) menjadi:

ρv = ρA ( R2 - R1 ) . . . (41) dimana: ρv : densitas ikan yang diperoleh untuk tiap satuan jarak integrasi

dalam bentuk nilai jumlah ikan persatuan volume (1000 m3) ρA : densitas ikan per luas area (ekor/m3)

R : jarak target dari transduser

Densitas akustik ikan ρv dapat juga dilihat dari nilai NASC (m2

/nmi2), karena NASC merupakan besarnya nilai acoustic backscattering strength di dalam setiap milnya. Nilai NASC dapat diturunkan dari ABC (area backscattering coefficient) dalam satuan m2/m2 T ABC S 10 10 ν = . (m2/m2) . . . (42) dimana: Sv : volume backscattering strength (m2/m2

T NASC S 10 2 10 1852 4 ν π = )

T : ketebalan setiap layer yang akan diambil datanya (m) Sehingga nilai NASC dapat diketahui seperti persamaan berikut ini:

. . . (43) ABC 2 1852 4π = (m2/nmi2

Nilai ABC dan NASC diukur berdasarkan area scattering, dihitung setelah terlebih dahulu mengintegrasikan area-area yang ingin dihitung, hal ini dilakukan ) . . . (44)

(17)

pada saat proses penghitungan dengan menggunakan software sonardata echoview versi 4.10. NASC (nautical area scattering coefficient) identik dengan SA (coefficient backscattering area) yang biasa digunakan pada Simrad.

Gambar

Gambar 1 memperlihatkan gugusan kepulauan Indonesia dengan sungai- sungai-sungai utama dan aliran massa air yang melewatinya
Gambar 3 Volume Backscattering Strength pada Multiple Target (Johannesson dan Mitson  1983)
Gambar 4 Ilustrasi Dual Beam dan Split Beam Acoustic System dalam Mendeteksi  Keberadaaan Ikan Tunggal dan Kelompok Ikan (Simrad 1999)
Gambar 6 Pemantulan Echo dari Single dan Multiple Target (Burczynski 1982).

Referensi

Dokumen terkait

Perkembangan Jumlah Lembaga dan Profesi Penunjang Pasar Modal

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem kendali FLC-PI lebih baik dari pada sistem kendali PI linear dengan mampu menghasilkan tanggapan transisi

Untuk bahan tanaman yang bertendensi mengendap menjadi massa yang teraglomerasi atau teraglutinasi menjadi massa yang tidak dapat dipenetrasi saat uap dilewatkan

No.KK NIK NAMA TEMPAT LAHIR TANGGAL LAHIR UMUR ALAMAT DISABILITAS. KABUPATEN/KOTA DESA/KELURAHAN

Werdha Marga Rahayu Program peningkatan dan pengembangan pengelolaan keuangan daerah. 32 Peningkatan Manajemen Pengelolaan Keuangan

Awangku Abdul Rasheed bin Pengiran Haji Muhammad Noor 103. Cheong

Berdasarkan hukum Hardy-Weinberg populasi itik Tegal yang digunakan untuk penelitian merupakan populasi yang seimbang dan pewarisan karakteristik polimorfisme protein

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ganguli dan Bhaduri (1980) menyatakan bahwa terjadi pengurangan cabang produktif akibat adanya irradiasi