• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Financial Distress

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Financial Distress"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Financial Distress

2.1.1.1 Pengertian Financial Distress

Definisi kesulitan keuangan menurut Peraturan Pencatatan Saham Shanghai Stock Exchange (SHSE) dan Shenzhen Stock Exchange (SZSE) tahun 2001 dalam Fachrudin (2008: 5) adalah situasi keuangan yang tidak normal. Suatu perusahaan berada dalam keadaan situasi yang tidak normal bila perusahaan tersebut menghadapi salah satu dari situasi-situasi ini, yaitu: laba bersih selama dua tahun terakhir negatif, nilai saham bersih kurang dari face value saham dalam dua tahun terakhir, auditor memberi opini adverse atau disclaimer pada laporan keuangan tahun terakhir, nilai kepemilikan ekuitas yang diakui auditor dan departemen terkait kurang dari nilai modal yang tercatat pada dua tahun terakhir, dan situasi tidak normal lainnya.

Elloumi dan Gueyie (2001) mengkategorikan perusahaan yang mengalami financial distress apabila memiliki Earning Per Share (EPS) yang negatif selama beberapa tahun berturut-turut. Menurut Plat dan Plat (2002) financial distress adalah tahap penurunan kondisi keuangan yang dialami oleh suatu perusahaan sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi. Menurut Luciana (2004) kondisi

(2)

financial distress sebagai suatu kondisi dimana perusahaan mengalami delisted akibat laba bersih dan nilai buku ekuitas negatif berturut-turut serta perusahaan tersebut telah di merger.

Menurut Brahmana (2007) kesulitan keuangan terjadi karena kurangnya kemampuan entitas dalam mengerjakan dan menjaga stabilitas kinerja keuangan sehingga mengakibatkan suatu entitas berada dalam kondisi kerugian operasional dan laba bersih negatif untuk periode bersangkutan. Sementara menurut Suciati (2008) perusahaan mulai mengalami financial distress ketika arus kas operasi perusahaan tidak mencukupi pemenuhan kewajiban jangka pendek, seperti pembayaran bunga kredit yang telah jatuh tempo.

Selanjutnya dalam penelitian ini, mengacu pada definisi financial distress menurut Elloumi dan Gueyie (2001) yaitu dimana perusahaan yang mengalami kondisi financial distress apabila perusahaan tersebut memiliki nilai Earning Per Share (EPS) yang negatif selama beberapa tahun.

2.1.1.2 Bentuk-Bentuk Financial Distress

Secara umum terdapat beberapa macam kondisi perusahaan yang mengalami financial distress (Brigham dan Gapenski, 1997), yaitu:

(3)

1. Economic Failure

Economic Failure atau kegagalan ekonomi adalah keadaan dimana pendapatan perusahaan tidak dapat menutupi total biaya, termasuk cost of capital. Bisnis ini dapat melanjutkan operasinya sepanjang kreditur mau menyediakan modal dan pemiliknya mau menerima tingkat pengembalian (rate of return) di bawah pasar. Meskipun tidak ada suntikan modal baru saat aset tua sudah harus diganti, perusahaan dapat juga menjadi sehat secara ekonomi.

2. Business Failure

Kegagalan bisnis didefinisikan sebagai bisnis yang menghentikan operasi dengan akibat kerugian kepada kreditur.

3. Technical Insolvency

Sebuah perusahaan dikatakan dalam keadaan technical insolvency jika tidak dapat memenuhi kewajiban lancer ketika jatuh tempo. Ketidakmampuan membayar hutang secara teknis menunjukkan kekurangan likuiditas yang sifatnya sementara, yang jika diberi waktu, perusahaan mungkin dapat membayar hutangnya atau survive. Di sisi lain, jika technical insolvency adalah gejala awal kegagalan ekonomi, ini mungkin menjadi perhentian pertama menuju bencana keuangan (financial disaster).

4. Insolvency in Bankruptcy

Sebuah perusahaan dikatakan dalam keadaan insolvency in bankruptcy jika nilai buku hutang melebihi nilai pasar aset. Kondisi ini lebih serius

(4)

daripada technical insolvency karena umumnya ini adalah tanda economic failure, dan bahkan mengarah kepada likuidasi bisnis. Perusahaan yang dalam keadaan insolvent in bankruptcy tidak perlu terlibat dalam tuntutan kebangkrutan secara hukum.

5. Legal Bankruptcy

Perusahaan dikatakan bangkrut secara hukum jika telah diajukan tuntutan secara resmi dengan undang-undang.

Dengan demikian ketidakmampuan dan kegagalan yang dihadapi oleh suatu perusahaan merupakan inkompetensi manajemen dalam mengelola perusahaan menghadapi lingkungan eksternal perusahaan.

2.1.1.3 Faktor-Faktor Penyebab Financial Distress

Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya financial distress pada suatu perusahaan, baik faktor yang berasal dari lingkungan internal maupun dari lingkungan eksternal perusahaan. Menurut Lizal (2002) dalam Fachrudin (2008) mengelompokkan penyebab-penyebab financial distress yang dinamai dengan Model Dasar Kebangkrutan atau Trinitas Penyebab Kesulitan Keuangan. Ada tiga alasan yang menyebabkan perusahaan mengalami financial distress, yaitu:

(5)

1. Neoclassical model

Financial distress terjadi ketika alokasi sumber daya tidak tepat. Mengestimasi kesulitan dilakukan dengan data neraca dan laporan laba rugi. Misalnya dengan rasio profit terhadap assets (untuk mengukur profitabilitas), dan liabilities terhadap assets

2. Financial model

Financial distress ditandai dengan adanya struktur keuangan yang salah dan menyebabkan batasan likuiditas (liquidity constraints). Hal ini berarti bahwa walaupun perusahaan dapat bertahan hidup dalam jangka panjang, namun demikian perusahaan tersebut harus bangkrut juga dalam jangka pendek. Hubungan dengan pasar modal yang tidak sempurna dan struktur modal yang inherited menjadi pemicu utama kasus ini. Tidak dapat secara terang ditentukan apakah dalam kasus ini kebangkrutan baik atau buruk untuk direstrukturisasi. Model ini mengestimasi financial distress dengan indikator keuangan atau indikator kinerja seperti rasio turnover terhadap total assets, revenues terhadap turnover, profit margin, stock turnover, receivables turnover, ROA, dan ROE.

3. Corporate governance model

Kondisi financial distress menurut corporate governance model adalah ketika perusahaan memiliki susunan aset yang tepat dan struktur keuangan yang baik namun dikelola dengan buruk. Ketidakefisienan ini mendorong perusahaan menjadi keluar dari pasar sebagai

(6)

konsekuensi dari masalah dalam tata kelola perusahaan yang tidak terpecahkan.

2.1.1.4 Akibat Financial Distress

Kerugian utama perusahaan yang mempunyai tingkat hutang yang lebih tinggi adalah peningkatan resiko kesulitan keuangan, dan akhirnya likuidasi. Hal ini mungkin mempunyai pengaruh merugikan bagi pihak pemilik ekuitas dan hutang (NetTel Africa, 2002 dalam Fachrudin, 2008), akibat financial distress adalah sebagai berikut:

1. Risiko biaya kesulitan keuangan mempunyai dampak negatif terhadap nilai perusahaan yang meng-offset nilai pembebasan pajak atas peningkatan level hutang.

2. Jika pun manajer perusahaan menghindarkan likuidasi ketika kesulitan, hubungannya dengan supplier, pelanggan, pekerja, dan kreditor menjadi rusak parah.

3. Supplier penyedia barang dan jasa secara kredit mungkin lebih berhati-hati, atau bahkan menghentikan pasokan sama sekali, jika mereka yakin tidak ada kesempatan peningkatan perusahaan dalam beberapa bulan.

4. Pelanggan mungkin mengembangkan hubungan dengan suplier mereka, dengan merencanakan sendiri produksi mereka dengan andaian ada keberlanjutan dari hubungan tersebut.

(7)

5. Situasi financial distress mungkin akan membuat pekerja kurang termotivasi jika mereka merasa semakin gelisah dalam bekerja dan prospek untuk maju sangat sedikit.

6. Bank dan pemberi pinjaman lain akan cenderung melihat dengan prejudiced eye atas pinjaman lanjutan yang diajukan perusahaan yang mengalami financial distress.

2.1.1.5 Mengatasi Financial Distress

Plat dan Plat (2002) juga menyatakan kegunaan informasi jika suatu perusahaan mengalami financial distress adalah dapat mempercepat tindakan manajemen untuk mencegah masalah sebelum terjadinya kebangkrutan, pihak manajemen dapat mengambil tindakan merger atau takeover agar perusahaan lebih mampu untuk membayar hutang dan mengelola perusahaan agar lebih baik dan memberikan tanda peringatan awal adanya kebangkrutan pada masa yang akan datang.

Perusahaan yang menghadapi financial distress umumnya menanggapi atau merespon dengan tindakan-tindakan seperti: pengurangan dividen, pengurangan tenaga kerja, dan menutup pabrik atau divisi, ada juga kemungkinan bahwa direktur utama akan mengundurkan diri (Turetsky dan McEwen, 2001 dalam Fachrudin, 2008).

(8)

2.1.2 Teori Keagenan (Agency Theory)

Untuk memudahkan pemahaman mengenai corporate governance maka cara yang digunakan adalah dengan memahami teori keagenan (agency theory). Teori ini memberikan pemahaman analisis untuk dapat mengkaji pengaruh dari hubungan agent dengan principal atau principal dengan principal. Principal adalah pihak yang memercayakan sumber daya atau modal yang dimilikinya kepada pihak lain, seperti pemegang saham (shareholder), pemberi kredit, pemilik lahan dan masyarakat. Sedangkan agent adalah pihak yang menerima sumber daya untuk dikelola bagi kepentingan pemiliknya, seperti direksi dan manajemen.Teori keagenan muncul setelah adanya pemisahan kepemilikan dengan pengelolaan perusahaan. Teori Keagenan pertama kali dicetuskan oleh Jensen dan Meckling pada tahun 1976.

Jensen dan Meckling (1976) dalam Niarachma (2012) mendefinisikan agency theory sebagai hubungan kontraktual antara satu atau lebih pihak yaitu prinsipal dan agen, dimana pemilik perusahaan atau investor menunjuk agen sebagai manajemen yang mengelola perusahaan atas nama pemilik melibatkan juga pendelegasian wewenang untuk pengambilan keputusan kepada manajemen. Manajemen diharapkan dapat mengoptimalkan sumber daya yang ada secara maksimal untuk menyejahterakan pemilik baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Agency theory didasarkan pada keyakinan bahwa agen-agen individu akan memilih tindakan yang memaksimalkan keuntungan pribadi mereka. Hal ini meningkatkan

(9)

kemungkinan adanya konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham.

Dalam perekonomian modern, manajemen dan pengelolaan perusahaan semakin banyak dipisahkan dari kepemilikan perusahaan. Hal ini sejalan dengan konsep teori keagenan yang menekankan pentingnya pemilik perusahaan (pemegang saham) menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada tenaga-tenaga professional (agent) yang lebih mengerti menjalankan bisnis. Tujuan dari pemisahan antara pengelola dan pemilik perusahaan agar pemilik perusahaan memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin dengan biaya yang seefisien mungkin sehubungan dengan dikelolanya perusahaan oleh tenaga-tenaga professional. Dan pemilik perusahaan (pemegang saham) bertugas dalam memonitoring jalannya perusahaan yang dikelola oleh manajemen serta mengembangkan insentif bagi manajemen untuk memastikan mereka bekerja dengan baik.

Namun, disisi lain ada juga dampak negatif yang ditimbulkan dari pemisahan pengelola dan pemilik perusahaan. Menurut Sutedi (2012:14) pemisahan pengelola dan pemilik perusahaan mengakibatkan keleluasaan pengelola manajemen perusahaan untuk memaksimalkan laba perusahaan bisa mengarah pada proses memaksimalkan kepentingan pengelolanya sendiri dengan beban dan biaya yang ditanggung oleh pemilik perusahaan. Disamping itu, pemisahan ini lebih lanjut akan menimbulkan kurangnya transparansi dalam penggunaan dana dan juga pengungkapan hasil kinerja yang dilakukan oleh manajemen kepada pemilik perusahaan. Jensen dan

(10)

Meckling (1976) dalam Niarachma (2012) mengungkapkan bahwa pemilik dapat membatasi perbedaan kepentingan dengan memberikan insentif yang sesuai kepada agent dalam hal ini manajemen dan dengan mengeluarkan biaya monitoring tersebut maka pemilik perusahaan berusaha untuk membatasi kemungkinan adanya kegiatan menyimpang yang dilakukan oleh agent.

Konflik yang muncul dari pemisahan antara pemilik dan pengelola perusahaan dapat mempengaruhi kondisi keuangan perusahaan tersebut. Dengan demikian diperlukan suatu mekanisme pengendalian yang dapat mensejajarkan perbedaan kepentingan antara kedua belah pihak. Mekanisme corporate governance bertujuan untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan sehingga dengan adanya mekanisme corporate governance yang baik diharapkan dapat mengurangi bahkan menghilangkan konfik yang terjadi antara pihak agent dan principal. Selain itu, corporate governance juga diharapkan dapat berfungsi sebagai alat untuk membantu shareholder dalam memantau perusahaan.

2.1.3 Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance)

Isu mengenai Corporate Governance telah muncul di Indonesia sejak tahun 1997, dikarenakan banyak ahli yang berpendapat bahwa kelemahan di dalam Corporate Governance adalah sumber utama penyebab krisis ekonomi pada saat itu. Kemudian pada tahun 1998, Indonesia mulai menerapkan prinsip Good Corporate Governance (GCG) sejak menandatangani Letter of

(11)

Intent (LOI) dengan International Monetary Fund (IMF), dimana salah satu bagian pentingnya adalah pencantuman jadwal perbaikan pengelolaan perusahaan-perusahaan di Indonesia (Sutedi, 2012:3).

2.1.3.1. Pengertian Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance)

Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-117/M-MBU/2002 mendefinisikan Corporate Governance sebagai suatu proses dan struktur yang digunakan oleh suatu organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika. IICG (The Indonesian Institute For Corporate Governance) mendefinisikan corporate governance adalah serangkaian mekanisme yang mengarahkan dan mengendalikan suatu perusahaan sesuai dengan harapan para pemangku kepentingan. Sementara FCGI (Forum Corporate for Indonesia) mendefinisikan corporate governance sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, manajemen, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern maupun ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka dimana tujuan dari corporate governance disini adalah untuk

(12)

menciptakan nilai tambah bagi seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholders) dari perusahaan.

Menurut Sutedi (2012:1) Corporate governance dapat didefinisikan sebagai suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ perusahaan (pemegang saham/pemilik modal, komisaris/dewan pengawas, dan direksi) untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika. Corporate Governance biasanya mengacu pada sekumpulan mekanisme yang mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh manajer ketika ada pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian beberapa dari pengendalian ini terletak pada fungsi dari dewan direksi, pemegang saham institusional, dan pengendalian dari mekanisme pasar (Larcker et al., 2005 dalam Wardhani, 2006).

Kaen (2003) dalam Bodroastuti (2009) menyatakan bahwa corporate governance pada dasarnya menyangkut masalah siapa (who) yang seharusnya mengendalikan jalannya kegiatan korporasi dan mengapa (why) harus dilakukan pengendalian terhadap jalannya korporasi. Yang dimaksud dengan “siapa” adalah para pemegang saham, sedangkan ”mengapa” adalah karena adanya hubungan antara pemegang saham dengan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan. Sistem corporate governance yang baik diharapkan dapat

(13)

memberikan perlindungan yang efektif kepada pemegang saham dan pihak kreditor lainnya sehingga mereka yakin akan memperoleh kembali investasinya dengan wajar dan bernilai tinggi.

2.1.3.2. Prinsip-Prinsip Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance)

Berdasarkan Pedoman Umum Corporate Governance yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG, 2006), bahwa pelaksanaan praktik corporate governance di Indonesia menganut lima prinsip, yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, serta kewajaran dan kesetaraan.

1. Transparansi (Transparency)

Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.

2. Akuntabilitas (Accountability)

Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan

(14)

dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.

3. Responsibilitas (Responsibility)

Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen. 4. Independensi (Independency)

Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. 5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)

Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.

2.1.3.3. Manfaat dan Tujuan Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance)

Ada lima manfaat yang dapat diperoleh perusahaan yang menerapkan Good Corporate Governance (GCG)menurut Hery (2010) dalam Sastriana (2013), yaitu:

(15)

1. GCG secara tidak langsung akan dapat mendorong pemanfaatan sumber daya perusahaan ke arah yang lebih efektif dan efisien, yang pada gilirannya akan turut membantu terciptanya pertumbuhan atau perkembangan ekonomi nasional.

2. GCG dapat membantu perusahaan dan perekonomian nasional, dalam hal ini menarik modal investor dengan biaya yang lebih rendah melalui perbaikan kepercayaan investor dan kreditur domestik maupun internasional.

3. Membantu pengelolaan perusahaan dalam memastikan atau menjamin bahwa perusahaan telah taat pada ketentuan, hukum, dan peraturan.

4. Membangun manajemen dan Corporate Board dalam pemantauan penggunaan asset perusahaan.

5. Mengurangi korupsi.

Menurut Siswanto dan Aldridge (2005) dalam Sastriana (2013) good corporate governance mempunyai tujuan utama antara lain:

1. Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham.

2. Melindungi hak dan kepentingan para anggota (stakeholder) non pemegang saham.

(16)

4. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja Dewan Pengurus (Board of Directors) dan manajemen perusahaan.

5. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja Dewan Pengurus (Board of Directors) dan manajemen senior perusahaan.

2.1.3.4 Mekanisme Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance)

Mekanisme Corporate Governance adalah suatu sistem yang digunakan untuk mengendalikan dan melakukan pengawasan kegiatan yang ada dalam perusahaan. Mekanisme corporate governance pada dasarnya terbagi menjadi dua bagian yaitu: mekanisme internal dan mekanisme eksternal. Mekanisme corporate governance terdiri dari: pemegang saham, komisaris, direksi, komite audit, sekretaris perusahaan, manajer dan karyawan, auditor eksternal, auditor internal, dan stakeholder lainnya, seperti: pemerintah, kreditor, dll (Tunggal, 2013:320). Penerapan mekanisme corporate governance yang baik di dalam suatu perusahaan diharapkan dapat mengurangi risiko yang merugikan bagi perusahaan itu sendiri.

(17)

2.1.4 Hubungan Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance) dengan Financial Distress

Jumlah Dewan Direksi

Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (2006) bahwa direksi sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggungjawab secara kolegial dalam mengelola perusahaan agar dapat menghasilkan keuntungan dan memastikan kesinambungan usaha perusahaan. Masing-masing anggota Direksi dapat melaksanakan tugas dan mengambil keputusan sesuai dengan pembagian tugas dan wewenangnya. Namun, pelaksanaan tugas oleh masing-masing anggota Direksi tetap merupakan tanggung jawab bersama. Dewan direksi juga harus menyampaikan laporan tahunan yang memuat laporan pertanggungjawaban pengelolaan perusahaan berupa laporan keuangan, laporan kegiatan perusahaan, dan laporan pelaksanaan GCG.

Jumlah dewan direksi memiliki pengaruh terhadap kondisi financial distress yang terjadi di suatu perusahaan. Fachrudin (2008:93) mengatakan bahwa semakin banyak direktur, semakin besar kemungkinan perusahaan untuk tidak kesulitan keuangan. Teori resources dependen mengatakan bahwa perusahaan tergantung pada dewannya untuk mengelola sumber daya secara lebih baik. Jensen (1993) dalam Bodroastuti (2009) mencatat bahwa ukuran dewan

(18)

dengan lebih efektif dibandingkan ukuran dewan direksi yang sedikit. Lebih lanjut Jensen (1993) dalam Bodroastuti (2009) menyatakan bahwa dari rata-rata ukuran dewan direksi untuk perusahaan yang tetap sehat, memang lebih besar dibandingkan ukuran dewan direksi dari perusahaan yang mengalami financial distress.

Jumlah Dewan Komisaris

Dewan komisaris sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggungjawab secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan GCG. (Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), 2006). Dimana jumlah dewan komisaris harus disesuaikan dengan kompleksitas perusahaan dengan tetap memperhatikan efektivitas dalam pengambilan keputusan. Dewan komisaris juga harus menyampaikan laporan tahunan yang memuat laporan pertanggungjawaban pengawasan atas pengelolaan perusahaan oleh direksi.

Jumlah dewan komisaris memiliki pengaruh terhadap kondisi financial distress yang terjadi di suatu perusahaan (Fachrudin, 2008: 89). Bodroastuti (2009) yang menyatakan semakin besar jumlah dewan komisaris maka kemungkinan perusahaan dalam kondisi financial distress akan semakin tinggi.

(19)

Jumlah Komite Audit

Komite audit dibentuk oleh Dewan Komisaris dalam rangka membantu dewan komisaris untuk memastikan bahwa:

1. Laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.

2. Struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik.

3. Pelaksanaan audit internal maupun eksternal dilaksanakan sesuai dengan standar audit yang berlaku.

4. Tindak lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manajemen. Di Indonesia, pedoman pembentukan komite audit yang efektif menjelaskan bahwa anggota komite audit yang dimiliki oleh perusahaan sedikitnya terdiri dari 3 (tiga) orang, diketuai oleh komisaris independen perusahaan dengan dua orang eksternal yang independen terhadap perusahaan serta menguasai dan memiliki latar belakang akuntansi dan keuangan (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2002). Jumlah komite audit yang harus lebih dari satu orang dimaksudkan agar dapat bertukar pikiran satu dengan yang lainnya di dalam rapat atau pertemuan mengenai tata kelola perusahaan dan pengetahuan keuangan.

Komite audit merupakan mekanisme corporate governance yang diharapkan mampu mengurangi masalah keagenan yang timbul

(20)

pada suatu perusahaan apabila terjadi secara terus-menerus yang dapat menimbulkan financial distress pada perusahaan. Sastriana dan Fuad (2013) menyatakan efektivitas komite audit akan meningkat jika ukuran komite audit meningkat, sehingga fungsi pengawasan akan semakin efektif dan peluang perusahaan terkena financial distress akan semakin kecil.

2. Turn Over dari Direksi

Pengertian turn over dari direksi adalah suatu peristiwa ketika anggota direksi dari suatu organisasi digantikan dengan individu lain. (Bruton et al (2003) dalam Lutfiana (2012)). Hal ini lebih kepada pergantian dari direksi yang dilakukan baik dengan menambah jumlah direksi maupun mengurangi jumlah direksi (dalam hal ini tidak termasuk pergantian posisi dari direksi). Turn over direksi sering dilakukan oleh perusahaan yang mengalami financial distress. Alasannya karena dengan masuknya direksi yang baru maka akan ada pemikiran baru dalam hal penyelesaian masalah di perusahaan tersebut sehingga nantinya akan membawa perusahaan keluar dari masalah financial distress.

Gilson (1989) dalam Wardhani (2006) menyatakan bahwa perusahaan yang beroperasi dalam kondisi financial distress memiliki tekanan yang tinggi bagi manajemen, sehingga menghasilkan perbedaan yang signifikan dalam hal tingkat turn over direksi antara

(21)

distress dengan perusahaan yang melakukan restrukturasi bukan karena financial distress.

Kualitas Audit

Kualitas audit dinyatakan dengan menggunakan ukuran Kantor Akuntan Pulik (KAP) yang digunakan perusahaan dalam mengaudit laporan keuangannya. Akuntan publik adalah mekanisme corporate governance yang berasal dari luar perusahaan. Akuntan publik berfungsi untuk melakukan audit terhadap laporan keuangan perusahaan dan memberikan opini terhadap laporan keuangan tersebut. Apabila perusahaan yang mengalami financial distress disebabkan karena kesalahan dalam penyajian data keuangan di neraca serta laporan laba rugi, maka hal tersebut dapat dilihat dengan adanya kualitas audit yang baik. Auditor dengan kualitas yang baik akan menemukan serta melaporkan kesalahan dalam laporan keuangan yang menjadi penyebab perusahaan mengalami financial distress.

Revina et al (2015) menyatakan bahwa terdapat pengaruh kualitas audit yang diukur berdasarkan Kantor Akuntan Publik (KAP) terhadap kemungkinan perusahaan mengalami financial distress, bahwa kualitas audit yang baik akan mengurangi terjadinya kondisi financial distress.

2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian-penelitian terdahulu menggunakan variabel yang berbeda-beda dalam menganalisis pengaruh terhadap financial distress. Berikut ini adalah hasil

(22)

penelitian terdahulu yang dijadikan sebagai rujukan dalam penelitian ini ditunjukkan dalam Tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1

Tinjauan Penelitian Terdahulu

No.

Nama Peneliti (Tahun)

Variabel Penelitian Metode

Analisis Hasil Penelitian 1. Revina, Yeni Juarsi, dan Muhtar (2015) Variabel Dependen: Financial Distress Variabel Independen: -Proporsi Komisaris Independen -Latar Belakang

Pendidikan Komite Audit -Kualitas Audit

Variabel Kontrol: Debt Equity Ratio

Regresi Logistik Proporsi komisaris independen, latar belakang pendidikan komite audit, dan kualitas audit memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap financial distress. 2. Andhika Yudha dan Fuad (2014) Variabel Dependen: Financial Distress Variabel Independen: -Ukuran Dewan Komisaris -Proporsi Komisaris Independen -Kepemilikan Manajerial -Kepemilikan Institusional -Biaya Agensi Manajerial

Regresi Logistik Ordinal Ukuran dewan komisaris, kepemilikan institusional, biaya agensi manajerial tidak memiliki pengaruh terhadap financial distress. Sementara proporsi komisaris independen dan kepemilikan manajerial memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap financial distress. 3. Ardina Nuresa dan Basuki Hadiprajitno (2013) Variabel Dependen: Financial Distress Variabel Independen: -Ukuran Komite Audit -Independensi Anggota Regresi Logistik Frekuensi pertemuan dan pengetahuan keuangan memiliki pengaruh negatif yang signifikan

(23)

-Frekuensi Pertemuan -Pengetahuan Keuangan Variabel Kontrol: Ukuran Perusahaan distress sementara ukuran komite audit dan independensi anggota komite audit tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap financial distress. 4. Dian Sastriana dan Fuad (2013) Variabel Dependen: Financial Distress Variabel Independen: -Jumlah Dewan Direksi -Proporsi Komisaris Independen -Kepemilikan Institusional -Kepemilikan Manajerial -Komite Audit -Ukuran Perusahaan Variabel Kontrol: -Leverage -Likuiditas Regresi Logistik

Dewan direksi dan jumlah komite audit memiliki pengaruh negatif terhadap kondisi financial distress sedangkan proporsi komisaris independen, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap financial distress. 5. Ranynda Niarachma (2012) Variabel Dependen: Financial Distress Variabel Independen: - Board Independence - CEO Ownership - Executive Director - Family Ownership - Audit Committee - Audit Committee Expertise Variabel Kontrol: -ROA (Return on Asset) -Leverage Regresi Logistik Board independence, CEO ownership, executive director, family ownership, audit committee, dan audit committee expertise tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Financial distress. 6. Tri Bodroastuti Variabel Dependen: Financial Distress Regresi Logistik Jumlah dewan direksi dan jumlah

(24)

Variabel Independen: -Jumlah Dewan Direksi -Jumlah Dewan Komisaris -Kepemilikan Publik -Jumlah Direksi Keluar -Kepemilikan Institusional -Kepemilikan Direksi dan Komisaris memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap financial distress sementara kepemilikan publik, jumlah direksi keluar, kepemilikan institusional, serta kepemilikan direksi dan komisaris tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap financial distress. 7. Ratna Wardhani (2006) Variabel Dependen: Financial Distress Variabel Independen: -Ukuran Dewan Direksi

-Ukuran Dewan Komisaris -Proporsi Komisaris Independen -Turnover Direksi -Kepemilikan Bank -Kepemilikan Dewan Direksi dan Dewan Komisaris

Variabel Kontrol: -Log Total Asset -Dummy Year Regresi Logistik Ukuran dewan direksi memiliki pengaruh positif yang signifikan dengan financial distress, ukuran dewan komisaris memiliki pengaruh negatif yang signifikan dengan financial distress, turnover direksi juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap financial distress, sementara proporsi dewan komisaris, kepemilikan bank, dan kepemilikan oleh dewan direksi dan komisaris tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap financial distress, Sumber: Data Diolah Penulis

(25)

Penelitian yang dilakukan oleh Revina, Yeni Juarsi, dan Muhtar (2015) dengan judul “Mekanisme Internal dan Eksternal Corporate Governance dalam Memitigasi Financial Distress pada Industri Transportasi di Indonesia” bertujuan untuk menguji pengaruh mekanisme internal seperti proporsi komisaris, independen, latar belakang pendidikan komite audit, dan mekanisme eksternal, seperti kualitas audit dalam memitigasi financial distress. Penelitian ini menggunakan debt equity ratio sebagai variabel kontrol. Populasi dalam penelitian ini meliputi seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2009-2013. Penentuan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Teknik analisis yang digunakan adalah regresi logistik. Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel proporsi komisaris independen, latar belakang pendidikan komite audit, dan kualitas audit memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap financial distress.

Andhika Yudha dan Fuad (2014) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pengaruh Penerapan Mekanisme Corporate Governance terhadap Kemungkinan Perusahaan Mengalami Kondisi Financial Distress (Studi Empiris Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2012)” bertujuan untuk meneliti pengaruh mekanisme corporate governance, seperti: ukuran dewan komisaris, proporsi komisaris independen, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan biaya agensi manajerial terhadap financial distress. Populasi dalam penelitian ini meliputi seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2010-2012. Teknik analisis datanya adalah analisis regresi logistic ordinal. Hasil analisis menunjukkan bahwa ukuran

(26)

dewan komisaris, kepemilikan institusional, biaya agensi manajerial tidak memiliki pengaruh terhadap financial distress. Sementara proporsi komisaris independen dan kepemilikan manajerial memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap financial distress.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Ardina Nuresa dan Basuki Hadiprajitno (2013) dengan judul “Pengaruh Efektivitas Komite Audit Terhadap Financial Distress” bertujuan untuk menguji pengaruh efektivitas komite audit seperti ukuran komite audit, independensi anggota komite audit, frekuensi pertemuan komite audit, dan pengetahuan keuangan yang dimiliki komite audit terhadap financial distress. Penelitian ini menggunakan ukuran perusahaan sebagai variabel kontrol. Populasi dalam penelitian ini meliputi seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2008-2011. Teknik analisis yang digunakan adalah regresi logistik. Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel frekuensi pertemuan dan pengetahuan keuangan memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap financial distress sementara ukuran komite audit dan independensi anggota komite audit tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap financial distress.

Dian Sastriana dan Fuad (2013) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Corporate Governance dan Firm Size Terhadap Perusahaan yang Mengalami Kesulitan Keuangan (Financial Distress)” bertujuan untuk menguji pengaruh struktur corporate governance berupa jumlah dewan direksi, proporsi dewan komisaris independen, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial,

(27)

dan likuiditas sebagai variabel kontrol. Populasi dalam penelitian ini meliputi seluruh perusahaan kecuali industry perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2009-2012. Penentuan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Teknik analisis yang digunakan adalah regresi logistik. Hasil analisis menunjukkan bahwa dewan direksi dan jumlah komite audit memiliki pengaruh negatif terhadap kondisi financial distress sedangkan proporsi komisaris independen, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap financial distress.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Ranynda Niarachma (2012) dengan judul “Pengaruh Corporate Governance Terhadap Financial Distress: Studi Terhadap Perusahaan yang Terdaftar pada Bursa Efek Indonesia (BEI) Periode 2007-2010” bertujuan untuk menguji pengaruh corporate governance berupa board independence, CEO ownership, executive director oenership, family ownership, audit committee independent, dan audit committee expertiseterhadap financial distress. Penelitian ini menggunakan ROA (Return on Asset) dan leverage sebagai variabel kontrol. Populasi dalam penelitian ini meliputi seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2005-2010. Penentuan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Teknik analisis yang digunakan adalah regresi logistik. Hasil analisis menunjukkan bahwa board independence, CEO ownership, executive director, family ownership, audit committee, dan audit committee expertise tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Financial distress.

(28)

Tri Bodroastuti (2009) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Struktur Corporate Governance Terhadap Financial Distress” untuk menguji pengaruh struktur corporate governance seperti jumlah dewan direksi, jumlah dewan komisaris, kepemilikan publik, jumlah direksi keluar, kepemilikan institusional,serta kepemilikan direksi dan komisaris terhadap financial distress. Populasi dalam penelitian ini meliputi seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2003-2007. Penentuan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Teknik analisis yang digunakan adalah regresi logistik. Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah dewan direksi dan jumlah dewan komisaris memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap financial distress sementara kepemilikan publik, jumlah direksi keluar, kepemilikan institusional, serta kepemilikan direksi dan komisaris tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap financial distress.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Ratna Wardhani (2006) dengan judul “Mekanisme Corporate Governance dalam Perusahaan yang Mengalami Permasalahan Keuangan (Financially Distressed Firm)” bertujuan untuk menguji pengaruh mekanisme corporate governance berupa ukuran dewan direksi dan dewan komisaris, independensi dewan komisaris, turn over dari direksi, dan struktur kepemilikan terhadap financial distress. Penelitian ini menggunakan log total asset dan dummy year sebagai variabel kontrol. Populasi dalam penelitian ini meliputi seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 1999-2004. Teknik analisis yang digunakan adalah regresi logistik. Hasil analisis menunjukkan bahwa ukuran dewan direksi

(29)

memiliki pengaruh positif yang signifikan dengan financial distress, ukuran dewan komisaris memiliki pengaruh negatif yang signifikan dengan financial distress, turnover direksi juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap financial distress, sementara proporsi dewan komisaris, kepemilikan bank, dan kepemilikan oleh dewan direksi dan komisaris tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap financial distress,

2.3 Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual pada dasarnya adalah suatu model yang menerangkan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor-faktor yang penting yang telah diketahui dalam suatu masalah tertentu. Kerangka konseptual akan menghubungkan secara teoritis antara variabel-variabel penelitian yaitu variabel bebas dengan variabel terikat, serta variabel lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh mekanisme corporate governance terhadap kemungkinan sebuah perusahaan mengalami kondisi financial distress.

Berdasarkan latar belakang dan tinjauan teoritis yang telah diuraikan di atas, maka dapat disajikan kerangka konseptual penelitian untuk menggambarkan hubungan dari variabel independen, dalam hal ini adalah mekanisme corporate governance yang terdiri dari: jumlah dewan direksi, jumlah dewan komisaris; jumlah komite audit; turn over dari direksi (jumlah direksi masuk dan jumlah direksi keluar), serta kualitas audit terhadap variabel dependen financial distress adalah sebagai berikut.

(30)

H1 H2 H3 H4a H5 H6 H4b Gambar 2.1 Kerangka Konseptual 2.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah suatu penjelasan sementara tentang perilaku, fenomena, atau keadaan tertentu yang telah terjadi atau akan terjadi (Kuncoro, 2013:59). Perumusan hipotesis dilakukan berdasarkan pada literatur yang telah ada. Hipotesis-hipotesis yang dibentuk dalam penelitian ini didasarkan pada penelitian sebelumnya, sehingga diharapkan hipotesis tersebut cukup valid untuk diuji.

JUMLAH DEWAN DIREKSI (X1)

JUMLAH KOMITE AUDIT (X3)

JUMLAH DEWAN KOMISARIS (X2)

TURN OVER DARI DIREKSI (X4) KUALITAS AUDIT (X5) FINANCIAL DISTRESS (Y) JUMLAH DIREKSI MASUK (X4a) JUMLAH DIREKSI KELUAR (X4b)

(31)

2.4.1 Pengaruh Jumlah Dewan Direksi terhadap Financial Distress Dewan Direksi dan Dewan Komisaris dipandang sebagai kunci utama keberhasilan pengembangan Corporate Governance oleh dunia usaha. Peran dewan direksi dalam suatu perusahaan adalah untuk menentukan kebijakan yang akan diambil atau strategi perusahaan secara jangka pendek maupun jangka panjang. Setiap tahunnya dewan direksi yang dipimpin oleh direktur utama harus membuat laporan tahunan yang memuat kinerja dari setiap divisi, kendala yang dihadapi, dan kebijakan-kebijakan yang telah dibuat dalam satu tahun tersebut kepada pemilik atau pemegang saham. Dewan Direksi harus berani bertanggung jawab atas setiap risiko yang timbul dari keputusan yang telah dibuat karena kinerja, kondisi, dan perkembangan perusahaan berada di tangan direksi.

Wardhani (2006) menyatakan bahwa semakin besar jumlah dewan direksi di dalam perusahaan maka semakin tinggi kemungkinan perusahaan mengalami kondisi financial distress. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Bodroastuti (2009) dan Sastriana dan Fuad (2013) yang menyatakan bahwa semakin besar jumlah dewan direksi maka akan memberikan manfaat yang semakin besar bagi perusahaan sehingga akan meminimalisir kemungkinan terjadinya financial distress. Oleh karena itu, disusun hipotesis sebagai berikut:

H1 : Jumlah dewan direksi berpengaruh negatif terhadap financial distress.

(32)

2.4.2 Pengaruh Jumlah Dewan Komisaris terhadap Financial Distress Peran dewan komisaris adalah lebih ditekankan pada fungsi monitoring dari implementasi kebijakan direksi tersebut. Setiap tahunnya dewan komisaris yang dipimpin oleh komisaris utama membuat laporan dewan komisaris yang berisi penilaian terhadap kinerja direksi, dan laporan-laporan dari komite yang dibentuk oleh dewan komisaris dalam rangka membantu mengawasi kinerja dewan direksi. Peran dewan komisaris inilah yang nantinya diharapkan dapat mengurangi permasalahan agensi yang terjadi antara dewan direksi dan pemegang saham.

Wardhani (2006) berpendapat bahwa semakin kecil jumlah dewan komisaris dalam suatu perusahaan maka kemungkinan perusahaan tersebut mengalami financial distress akan semakin besar. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Bodroastuti (2009) yang menyatakan semakin besar jumlah dewan komisaris maka kemungkinan perusahaan dalam kondisi financial distress akan semakin tinggi. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Yudha dan Fuad (2014) menyatakan bahwa jumlah dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap financial distress.

H2 : Jumlah dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap financial distress.

2.4.3 Pengaruh Jumlah Komite Audit terhadap Financial Distress

Pembentukan komite audit merupakan salah satu hal yang penting dalam menciptakan corporate governance yang baik. Komite audit dibentuk oleh dewan komisaris untuk memantau operasi perusahaan dan sebagai

(33)

sistem pengendalian internal dengan tujuan melindungi pemegang saham. Komite audit diharapkan dapat memberikan rekomendasi untuk dewan dengan melihat setiap masalah keuangan dan operasional perusahaan. Di Indonesia, pedoman pembentukan komite audit yang efektif menjelaskan bahwa anggota komite audit yang dimiliki oleh perusahaan sedikitnya terdiri dari 3 (tiga) orang, diketuai oleh komisaris independen perusahaan dengan dua orang eksternal yang independen terhadap perusahaan serta menguasai dan memiliki latar belakang akuntansi dan keuangan (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2002).

Sastriana dan Fuad (2013) menyatakan efektivitas komite audit akan meningkat jika ukuran komite audit meningkat, sehingga fungsi pengawasan akan semakin efektif dan peluang perusahaan terkena financial distress akan semakin kecil. Sementara Niarachma (2012), Nuresa dan Hadiprajitno (2013) menyatakan bahwa jumlah anggota komite audit tidak dapat menjamin perusahaan terhindar dari financial distress.

H3 : Jumlah komite audit berpengaruh negatif terhadap financial distress.

2.4.4 Pengaruh Turn Over dari Direksi terhadap Financial Distress Turn over direksi sering dilakukan oleh perusahaan yang mengalami financial distress. Alasannya karena dengan masuknya direksi yang baru maka akan ada pemikiran baru dalam hal penyelesaian masalah di perusahaan

(34)

financial distress. Wardhani (2006) menyatakan bahwa tingkat turn over dari direksi mempengaruhi kemungkinan suatu perusahaan mengalami financial distress, dimana semakin besar jumlah direksi yang masuk maka akan mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami financial distress dan semakin besar jumlah direksi yang keluar maka kemungkinan perusahaan terkena financial distress semakin besar pula. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Bodroastuti (2009) yang menyatakan bahwa jumlah direksi yang keluar tidak berpengaruh terhadap kondisi financial distress perusahaan.

H4a : Jumlah direksi baru yang masuk berpengaruh negatif terhadap financial distress.

H4b : Jumlah direksi lama yang keluar berpengaruh negative terhadap financial distress.

2.4.5 Pengaruh Kualitas Audit terhadap Financial Distress

Kualitas audit dinyatakan dengan menggunakan ukuran Kantor Akuntan Pulik (KAP) yang digunakan perusahaan dalam mengaudit laporan keuangannya. Akuntan publik adalah mekanisme corporate governance yang berasal dari luar perusahaan. Akuntan publik berfungsi untuk melakukan audit terhadap laporan keuangan perusahaan dan memberikan opini terhadap laporan keuangan tersebut. Apabila perusahaan yang mengalami financial distress disebabkan karena kesalahan dalam penyajian data keuangan di neraca serta laporan laba rugi, maka hal tersebut dapat dilihat dengan adanya

(35)

kualitas audit yang baik. Auditor dengan kualitas yang baik akan menemukan serta melaporkan kesalahan dalam laporan keuangan yang menjadi penyebab perusahaan mengalami financial distress. Revina et al (2015) menyatakan bahwa terdapat pengaruh kualitas audit yang diukur berdasarkan Kantor Akuntan Publik (KAP) terhadap kemungkinan perusahaan mengalami financial distress, bahwa kualitas audit yang baik akan mengurangi terjadinya kondisi financial distress.

Referensi

Dokumen terkait

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan

Jika diperhatikan cerita legenda yang dipercaya oleh masyarakat Kutai tersebut yang disampaikan melalui Erau Balik Delapan, hal itu mempunyai benang merah

Dengan ayat dan hadits dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang menyebabkan terjadinya suatu kecelakaan. Dan bagaimanapun juga dengan cara demikian dapat menyebabkan

Hasil dari kajian ini, didapati kebanyakan responden menyatakan bahawa mereka jelas dengan objektif dan matlamat yang perlu dicapai dalam pelaksanaan PBS dan responden juga

Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan suatu rumusan masalah dari penelitian ini yaitu “Adakah perbandingan tingkat kualitas hidup penderita hipertensi dengan

sahnya jual beli telah terpenuhi, untuk menjual kepada Pihak Kedua, yang --- berjanji dan mengikat diri untuk membeli dari Pihak Pertama: --- Sebidang tanah Hak Guna Bangunan Nomor

5) Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Dalam rangka menunjang perbaikan regulasi pengusahaan UCG diperlukan litbang UCG di Indonesia. Hal ini perlu dilakukan mengingat