• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak asas ultra petitum partium dalam putusan verstek terhadap hak anak prespektif Undang-undang no. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak dan Kompilasi Hukum Islam: Putusan no. 2237/Pdt.G/2014/PA.Mlg.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dampak asas ultra petitum partium dalam putusan verstek terhadap hak anak prespektif Undang-undang no. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak dan Kompilasi Hukum Islam: Putusan no. 2237/Pdt.G/2014/PA.Mlg."

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)DAMPAK ASAS ULTRA PETITUM PARTIUM TERHADAP HAK ANAK DALAM PUTUSAN VERSTEK PERSPEKTIF UU NO. 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (PUTUSAN NO. 2237/PDT.G/2014/PA.MLG.). SKRIPSI Oleh: NURUL ANDIKA ABDI 12210129. JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG TAHUN 2016. xi.

(2) xii.

(3) xiii.

(4) xiv.

(5) MOTTO. ”Setiap anak itu dilahirkan menurut fithrahnya, maka kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi”. (H.R. Bukhari). xv.

(6) HALAMAN PERSEMBAHAN Kalimat tahmid, tahlil dan takbir senantiasa terlantunkan atas rasa syukur Alhamdulillah demi terselesaikannya skripsi ini. Skripsi ini penulis persembahkan kepada Bapak dan Ibu tercinta, Bapak Suwakin dan Ibu Intiyah yang karena kasih sayang, perjuangan, pengorbanan dan do‟ a beliau berdualah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tahapan demi tahapan, khususnya dalam penyelesaian skripsi. Kepada segenap Dosen Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, yang telah dengan penuh keikhlasan membimbing dan mencurahkan ilmunya kepada penulis. Skripsi ini, penulis persembahkan pula untuk saudara-saudaraku, Miftahul Jannah, Nur Azizah, dan Moh. Fathur Rozi dan adinda Mikhwatul Husna yang senantiasa memberikan semangat dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini. Semua teman-teman angkatan 2012 Fakultas Syari‟ ah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, khususnya Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah dan Hukum Bisnis Syari‟ ah yang telah membantu penulis, baik maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini.. xvi. secara langsung.

(7) KATA PENGANTAR Alhamdulillah wa syukrulillah, penulis sampaikan kehadirat Allah SWTyang telah melimpahkan rahmat taufik, hidayah, dan inayah-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Dampak Asas Ultra Petitum Partium Terhadap Hak Anak Dalam Putusan Verstek Perspektif UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak dan Kompilasi Hukum Islam. (Putusan No. 2237/Pdt.G/2014/Pa.Mlg.)” dapat. diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah mengantarkan umat manusia menuju jalan kebenaran.Keberhasilan penulisan skripsi ini, tidak lepas dari bimbingan, arahan, dan bantuan dari berbagai pihak, baik berupa pikiran, motivasi, tenaga maupun do‟a. Karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. 2. Dr. Roibin, M.H.I, selaku Dekan Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. 3. Dr.. Sudirman,. M.A,. selaku. Ketua. Jurusan. Al-Ahwal. Al-. SyakhshiyyahFakultas Syari‟ah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.. xvii.

(8) 4. Ibu Jamilah, M A., selaku dosen wali yang penuh kebijaksanaan, ketelatenan dan kesabaran telah banyak memberikan motivasi dan masukan-masukan selama penulis menjadi mahasiswa di Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. 5. Bapak Musley Harry S. H., M. Hum., selaku dosen pembimbing yang penuh kebijaksanaan, ketelatenan dan kesabaran telah berkenan meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, pengarahan serta memberi petunjuk demi terselesaikannya penulisan skripsi ini. 6. Ayahanda dan. Ibunda tercinta, Suwakin dan Intiyah yang karena kasih. sayang, perjuangan, pengorbanan dan do‟a beliau berdualah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tahapan demi tahapan, khususnya dalam penyelesaian skripsi. 7. Segenap Dosen Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, yang telah dengan penuh keikhlasan membimbing dan mencurahkan ilmunya kepada penulis. 8. Saudara-saudaraku, Miftahul Jannah, Nur Azizah, dan Moh. Fathur Rozi dan tak lupa kepada Adinda Mikhwatul Husna yang. senantiasa memberikan. semangat dan motivasi disaatpenulis membutuhkan solusi dalam melewati kesulitan, khususnya dalam penyelesaian skripsi ini. 9. Semua saudara-saudaraku losvada yang selalu memberi dukungan dan meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. xviii.

(9) 10. Semua teman-teman angkatan 2012 Fakultas. Syari‟ah Universitas Islam. Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Khususnya Jurusan Al-Ahwal AlSyakhshiyyah dan Hukum Bisnis Syari‟ah. Semoga Allah SWT selalu memberikan kemudahan untuk meraih cita-cita dan harapan dimasa depan. 11. Semua pihak yang telah membantu penulis secara langsung atau tidak langsung dalam penulisan skripsi ini, yang tidak mungkin penulis sebutkan satu-persatu. Penulis berharap semoga Allah SWT memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dorongan sertamemberikan semangat kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai danbermanfaat bagi kita semua, khususnya mahasiswa. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa skripsi ini tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan yang menunjukkan masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis dengan segala kerendahan hati dan tangan terbuka, apabila ada kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi untuk menyempurnakan dan perbaikan skripsi ini. Malang, 1 juni 2016 Penulis,. Nurul Andika Abdi NIM 12210129. xix.

(10) PEDOMAN TRANSLITERASI A. Umum Transliterasi. ialah pemindahalihan tulisan Arab ke dalam tulisan. Indonesia (Latin), bukan terjemahan bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Termasuk dalam kategori ini ialah nama Arab, sedangkan nama Arab dari bangsa selain Arab ditulis sebagaimana ejaan bahasa nasionalnya, atau sebagaimana yang tertulis dalam buku yang menjadi rujukan. Penulisan judul buku dalam footnote maupun daftar pustaka, tetap menggunakan ketentuan transliterasi ini. Banyak pilihan dan ketentuan transliterasi yang dapat digunakan dalam penulisan karya ilmiah, baik yang berstandard internasional, maupun ketentuan khusus yang digunakan penerbit tertentu. Transliterasi yang digunakan Fakultas syari‟ ah Universitas Islam Negeri Malang (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang menggunakan EYD plus, yaitu transliterasi yang didasarkan atas Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendididkan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tanggal 22 Januari 1998, No. 158/1987 dan 0543.b/U/1987, sebagaimana tertera dalam buku pedoman Transliterasi Bahasa Arab (A Guide Arabic Transliteration),INIS Fellow 1992. B. Konsonan ‫ = ا‬Tidak dilambangkan. ‫=ب‬B. xx.

(11) ‫=ت‬T. ‫ = غ‬Gh. ‫ = ث‬Ts. ‫=ف‬F. ‫=ج‬J. ‫=ق‬Q. ‫=ح‬H. ‫=ك‬K. ‫ = خ‬Kh. ‫=ل‬L. ‫=د‬D. ‫=م‬M. ‫ = ر‬Dz. ‫=ن‬N. ‫=ر‬R. ‫=و‬W. ‫=ز‬Z. ‫ = هى‬H. ‫=س‬S. ‫=ي‬Y. ‫ = ش‬Sy ‫ = ص‬Sh ‫ = ض‬Dl ‫ = ط‬Th ‫ = ظ‬Dh ‫(„ = ع‬koma menghadap ke atas). xii.

(12) Hamzah (‫ )ء‬yang sering dilambangkan dengan alif, apabila terletak diawalkata maka dalam transliterasinya mengikuti vokalnya, tidak dilambangkan, namunapabila terletak di tengah atau di akhir kata maka dilambangkan dengan tanda komadiatas (‟ ), berbalik dengan koma („), untuk pengganti lambang “‫”ع‬. C. Vokal, Panjang dan Diftong Setiap penulisan bahasa Arab dalam bentuk tulisan latin vokal fathah ditulisdengan “a”, kasrah dengan “i”, dlommah dengan “u”, sedangkan bacaan panjangmasing-masing ditulis dengan cara sebagai berikut: Vokal (a) panjang = â. misalnya. ‫ قال‬menjadi qâla. Vokal (i) panjang = î. misalnya. ‫ قيل‬menjadi qîla. Vokal (u) panjang = û. misalnya. ‫ دون‬menjadi dûna. Khusus untuk bacaan ya‟ nisbat, maka tidak boleh digantikan dengan “i”, melainkan tetap ditulis dengan “iy” agar dapat menggambarkan ya‟ nisbat diakhirnya.Begitu juga untuk suara diftong, wawu dan ya‟ setelah fathah ditulis dengan “aw” dan “ay”. Perhatikan contoh berikut: Diftong (aw) = ‫و‬. misalnya. ‫ قىل‬menjadi qawlun. Diftong (ay) =‫ي‬. misalnya. ‫ خير‬menjadi khayrun. 13.

(13) 14. D. Ta’marbûthah (‫)ة‬ Ta‟marbûthah ditransliterasikan dengan “t” jika berada ditengahtengah kalimat, tetapi apabila ta‟marbûthah. tersebut berada diakhir kalimat, maka. ditransliterasikan dengan menggunakan “h” misalnya: ‫ الرسالة المذرسة‬menjadi alrisalatli al-mudarrisah, atau apabila berada ditengah-tengah kalimat yang terdiri dari susunan. mudlaf. dan. mudlaf ilayh, maka ditransliterasikan dengan. menggunakan “t” yang disambungkan dengan kalimat berikutnya, misalnya: ً‫ف‬ ‫رحمة اهلل‬menjadi firahmatillâh. E. Kata Sandang dan Lafadh al-Jalâlah Kata sandang berupa “al” (‫ )ال‬ditulis dengan huruf kecil, kecuali terletak di awal kalimat, sedangkan “al” dalam lafadh jalâlah yang berada di tengahtengah kalimat yang disandarkan (idhafah) maka dihilangkan. Perhatikan contohcontoh berikut ini: 1. Al-Imâm al-Bukhâriy mengatakan… 2. Al-Bukhâriy dalam muqaddimah kitabnya menjelaskan… 3. Mâsyâ‟ Allâh kâna wa mâ lam yasya‟ lam yakun. 4. Billâh „azza wa jalla. 14.

(14) 15. DAFTAR ISI. COVER COVER DALAM ......................................................................................................i PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ....................................................................ii HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................................iii HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................iv HALAMAN MOTTO ................................................................................................v HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................................vi KATA PENGANTAR ...............................................................................................vii PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................................x DAFTAR ISI ..............................................................................................................xiv DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................................................................xvi i ABSTRAK ....................................................................................................................................xvi ii ABSTRACT ...............................................................................................................xix ‫ انبحث مهخص‬............................................................................................. xx BAB I PENDAHULUAN A.Latar belakang ..................................................................................................1 B.Rumusan masalah ............................................................................................. 7 C.Tujuan penelitian .............................................................................................. 7 D.Manfaat penelitian ............................................................................................ 8 E.Definisi operasional .......................................................................................... 8 F.Metode penelitian.............................................................................................. 9 1.Jenis penelitian...............................................................................................10 2.Sifat penelitian ...............................................................................................10 3.Pendekatan penelitian ....................................................................................11 4.Jenis dan sumber bahan hukum .....................................................................12 5.Teknik pengumpulan bahan hukum ..............................................................13. 15.

(15) 16. 6.Teknik analisis ...............................................................................................14 G.Penelitian terdahulu ..........................................................................................15 H.Sistematika pembahasan ..................................................................................18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.Pengertian dan alasan perceraian .................................................................... 21 B.Akibat perceraian terhadap anak yang masih di bawah umur ......................... 23 C.Akibat hokum .................................................................................................. 24 1. Pengertian akibat hokum ............................................................................ 24 2. Ruang lingkup akibat hukum ..................................................................... 24 D.Verstek ............................................................................................................ 26 1. Pengertian verstek ...................................................................................... 26 2. Sebab-sebab putusan verstek ..................................................................... 27 3. Akibat putusan verstek ............................................................................... 29 E.Asas ultra petita partium .................................................................................. 30 1. Pengertian ultra petita ................................................................................. 30 2. Larangan prinsip ultra petita dalam hukum acara ...................................... 30 F.Perlindungan anak ............................................................................................ 31 1. Hak-hak anak ............................................................................................. 31 2. Kompilasi hukum islam bab xvii (akibat putusnya perkawinan terhadap hak anak pasca perceraian) ......................................................... 35 3. UU nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan uu nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak ......................................................................... 37 G.Asas kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan dalam putusan hakim ...... 39 H.Teori hukum responsif dan hukum progresif................................................... 40 1.Hukum responsif ......................................................................................... 40 2.Hukum progresif ......................................................................................... 43 BAB III PEMBAHASAN A. Penerapan asas ultra petitum partium dalam putusan verstek perkara nomor 2237/pdt.g/2014/pa.mlg terhadap hak anak ........................................ 48. 16.

(16) 17. B. Dampak asas ultra petitum partium dalam putusan verstek terhadap hak anak ditinjau dari undang-undang no 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak .......................................................................................... 65. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................................... 82 B.Saran ................................................................................................................ 83 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 88 LAMPIRAN-LAMPIRAN. 17.

(17) 18. ABSTRAK Nurul Andika Abdi, 2016, Dampak asas ultra petitum partium dalam putusan verstek terhadap hak anak prespektif Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Kompilasi Hukum Islam (Putusan No. 2237/Pdt.G/2014/PA.Mlg). Fakultas Syariah UIN Malang. Kata kunci: Ultra Petitum Partium, Verstek, Perlindungan Anak Perkawinan adalah akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah . Namun, bahtera rumah tangga sering kali dihadapkan oleh masalah yang berujung pada perceraian. Dalam perkara perceraian (Putusan No. 2237/Pdt.G/2014/PA.Mlg), Hakim Peradilan Agama tidak memutus hak anak meskipun dalam fakta hukum telah disebutkan adanya anak dalam perkawinan, hal ini karena hakim harus patuh terhadap asas ulta petitum partium. Pada Ketentuan Pasal 23 ayat (1) dan (2) Undang-undang No 35 tahun 2014 menyatakan pemerintah harus ikut andil dalam perlindungan anak. Dengan demikian badan yudikatif (lembaga pengadilan/Hakim Peradilan Agama) wajib berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan hak-hak anak tersebut terutama bagi anak-anak yang akan menjadi korban perceraian. Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur bahwa setelah perceraian hak keperdataan jatuh pada ibu , dan ayah wajib memberikan nafkah hadhonah anak sampai umur 21 tahun. Rumusan Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana penerapan asas ultra petitum partium dalam putusan verstek terhadap hak anak (Putusan No. 2237/Pdt.G/2014/PA.Mlg) dan untuk mengetahui dampak asas ultra petitum partiun dalam putusan verstek terhadap hak anak ditinjau dari UndangUndang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 dan Kompilasi Hukum Islam. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normative. Jenis bahan hukum yang penulis gunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, penerapan asas ultra petitum partium dalam puPutusan No.2237/Pdt.G/2014/PA.Mlg terhadap hak anak adalah Majelis hakim memutus perkara dengan verstek dan tetap patuh terhadap asas ultra petitum partium sehingga hakim tidak menyantumkan hak anak meskipun ada dalam posita. Dampak yang ditimbulkan atas asas ultra petitum partium dalam putusan verstek berdasarkan tinjauan Undang-Undang No 35 Tahun 2014 terhadap hak anak dan Kompilasi Hukum Islam adalah Hak Hadhona anak pertama jatuh kepada pihak ibu kemudian ayah masih tetap memberikan nafkah hadhona kepada anak sampai anak berusia 21 tahun dan Hakim Peradilan Agama sebagai badan yudikatif dapat mempertimbangkan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak yang menjadi korban perceraian. ABSTRACT. 18.

(18) 19. Nurul Andika Abdi, 2016, The effect of the principle of ultra petitum partium in the decesion verstek of children's rights in terms of Act No. 35 of 2014 on Protection Child and Islamic Law Compilation (Decision No. 2237 / Pdt.G / 2014 / PA.Mlg). Faculty of Syariah UIN Malang Keywords : The Principle Of Ultra Partium, The Decesion Verstek ,The Child Protection Marriage is a contract that is very strong to obey God's command and execute the worship. However, the ark of households are often confronted by problems that lead to divorce. In a divorce case (Decision No. 2237 / Pdt.G / 2014 / PA.Mlg), Religious Courts judges often ignore the rights of children to not break the rights of children despite the fact that the law had mentioned their children in marriage, this is because judges must adhere to the principle of ultra petition partium. On the provision of Article 23 paragraph (1) and (2) of Law No. 35 of 2014 states that the government must take part in child protection. Thus the judiciary (the courts) must play an active role in realizing the protection of the rights of the child,especially for children who will become victims of divorce, Islamic Law compilation is Rights Hadhona first child fell to the mother and then the father still provide a living hadhona to the child until the child is aged 21 years. Formulation of problem of this study is to investigate the implementation of the principle of ultra partium in a decesion verstek of children's rights (Decision No. 2237 / Pdt.G / 2014 / PA.Mlg) and to find out a review of the Child Protection Act 35 in 2014 and Islamic Law Compilation in the implementation of the principle of ultra partium in a decesion verstek of children's rights. This research includes studies of normative legal prescriptive, because this study is a scientific investigation to find the truth based on scientific logic of the law. Types of legal materials that I use is the primary legal materials and secondary law. Based on the research results and conclusions generated discussion Implementation of the principle of ultra petition partium the decision number 2237 / Pdt.G / 2014 / PA.Mlg of children's rights is The panel of judges deciding cases with verstek and adherence to the principle of ultra petition partium so the judge is not to omit the rights of children even though there is in posita. The impact of the principle of ultra partium in a decesion verstek based on a review of Law No. 35 of 2014 of children's rights and Islamic Law Compilation is Rights Hadhona first child fell to the mother and then the father still provide a living hadhona to the child until the child is aged 21 years and Judge Religious Courts as judicial bodies may consider providing legal protection of the rights of children who are victims of divorce.. 19.

(19) 20. 20.

(20) 21. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau miitsaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah . Selain itu, baik Undang-undang Perkawinan ataupun Kompilasi Hukum Islam telah merumuskan dengan jelas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membina keluarga yang bahagia, kekal, dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, bahtera rumah tangga sering kali dihadapkan oleh masalah yang berujung pada perceraian. Hukum islam memberikan jalan kepada suami yang menghendaki perceraian dengan jalan talak, sebagaimana hukum Islam memberikan jalan kepada Istri untuk 21.

(21) 22. menceraikan suaminya dengan mengajukan khulu‟. 1. . Dengan kata lain di Indonesia,. perceraian terjadi diakibatkan atas kemauan suami dengan cara menjatuhkan Cerai Talak ataupun atas pengajuan istri yang sering dikenal Gugat Cerai (Cerai Talak diatur dalsam bab IV, Bagian Kedua, Paragraf 2, Pasal 66 dan Cerai Gugat diatur dalam Paragraf 3, Pasal 73 UU RI No.3 tahun 2006)2 . Sebab lain yang dapat mengakibatkannya adalah putusan Pengadilan. Hukum acara perdata mengatur mengenai perkara gugur (Pasal 124 HIR) dan verstek (Pasal 125 HIR). Apabila pada hari sidang yang telah ditentukan untuk hadir penggugat tidak hadir dan tidak mengirim wakil atau kuasanya meskipun dia telah dipanggil dengan patut, maka gugatan dianggap gugur dan penggugat berhak mengajukan kembali gugatannya setelah ia membayar lebih dulu biaya perkaranya. Putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan karena tergugat/termohon tidak pernah hadir di persidangan meski telah di panggil secara patut, maka hakim berhak memutus perkara tanpa kehadiran tegugat/termohon. Maksud utama sistem verstek dalam hukum acara adalah untuk mendorong para pihak menaati tata tertib beracara, sehingga proses pemeriksaan penyelesaian perkara terhindar dari anarki atau kesewenangan. Sekiranya undang-undang menentukan bahwa untuk sahnya proses pemeriksaan perkara, mesti dihadiri para pihak, ketentuan yang demikian. 1. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), h. 220. Mahkamah Agung RI, Undang-undang Repubik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, (Jakarta: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2006), h. 66 dan 60. 2. 22.

(22) 23. tentunya dapat dimanfaatkan tergugat dengan itikad buruk untuk menggagalkan penyelsesaian perkara. Di dalam Penjelasan Pasal 41 huruf (c) UU Nomor 1 tahun 1974 tersebut dinyatakan cukup jelas, sehingga kewajiban yang dibebankan kepada bekas suami tersebut mestinya bukan hanya terhadap penentuan pembayaran Mut‟ah dan nafkah Iddah bagi bekas istri saja, tetapi juga terhadap nafkah anak yang berada dalam asuhan bekas istri.3 Perkembangan dinamika sistem hukum di Indonesia tidak terlepas dari diterimanya beberapa sistem hukum sehingga menurut presfektif Bagir Manan4 negara Indonesia lebih tepat dimasukkan kedalam kelompok sistem hukum campuran (hybrid legal system), yaitu sistem Eropa Kontinental (Civil Law) karena negara Indonesia tetap mempertahankan politik hukum kodifikasi dengan mengutamakan hukum tertulis (peraturan perundangan), dipihak lain para hakim juga tetap menjalankan precedent (yurisprudensi) secara tidak mengikat yang terinpirasi dari sistem Anglo Saxon. Dipihak lain Indonesia dengan mayoritas penduduknya yang beragama Islam berlaku sistem hukum Islam, yang tidak terbatas pada hukum perkawinan Islam, tetapi juga hukum kewarisan, hukum wakaf dan zakat, hukum ekonomi Syari‟ah, bahkan di Propinsi Aceh berlaku Syari‟at Islam secara utuh termasuk hukum pidana tertentu.. 3 4. Baca Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam Ikahi, Majalah Varia Peradilan, Tahun XXX, no.352 Maret 2015, Hlm. 22.. 23.

(23) 24. Hukum adat juga berlaku di Indonesia dalam beberapa sub hukum tertentu, misalnya pada hukum Agraria yang menegaskan bahwa hukum agraria adalah hukum adat.5 Oleh karena itu berkaitan dengan penegakan hukum dan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak yang secara konstitusional telah mendapatkan perlindungan hukum dari negara, maka sistem hukum Islam yang merupakan living law bagi sebagian besar masyarakat Indonesia harus menjadi faktor pengubah hukum keluarga yang ada dalam masyarakat. Namun demikian, Indonesia sebagai negara hukum tidak sepenuhnya memandang, bahwa putusan hakim yang tidak memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak yang menjadi korban perceraian tersebut adalah keliru, karena dalam proses pembuatan putusan, para hakim harus taat kepada hukum Acara Perdata yang menjadi azas pembuatan putusan yang disebut doktrin “ Ultra petitum partium”, yang melarang kepada hakim untuk memberikan putusan yang melebihi daripada gugatan penggugat, sebagai ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR/Pasal 189 ayat (3) RBg6 yang berbunyi: Hakim dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak dituntut, atau memberikan lebih daripada yang dituntut.7 Hakim dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak dimohon, atau memberikan lebih daripada yang dimohon.8. 5. Baca Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Agraria. Baca Ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR/ Pasal 189 ayat (3) RBg. 7 Pasal 178 ayat (3) HIR 8 Pasal 189 ayat (3) RBg. 6. 24.

(24) 25. Kepatuhan para hakim terhadap doktrin “Ultra Petita” di dalam Hukum Acara Perdata dan menegakkannya di dalam persidangan perkara perdata adalah sebagai suatu keharusan. M.Yahya Harahap menyatakan bahwa, “Hakim yang mengabulkan melebihi posita maupun petitum gugatan, dianggap telah melampaui batas wewenang atau “ultra vires”, yakni bertindak melampaui wewenangnya (beyond the powers of the authority). Sehingga putusan yang mengandung ultra petitum harus dinyatakan cacat (invalid) meskipun hal itu dilakukan oleh hakim dengan i‟tikad baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum.9 Peneliti merujuk kepada putusan Pengadilan Agama Kota Malang dengan Nomor perkara 2237/PDT.G/2014/PA.MLG yang diputus secara verstek. Pada putusan tersebut dalam posita gugatannya disebutkan bahwa pasangan suami-istri telah dikaruniai seorang anak, namun dalam petitum gugatannya penggugat tidak meminta hak asuh untuk anaknya. Atas dasar kepatuhan terhadap asas ultra petitum partium, maka majelis hakim tidak memutus hak asuh anak dalam putusannya. Ketentuan Pasal 23 ayat (1) dan (2) Undang-undang No 35 tahun 2014 menyatakan:” Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak. Negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengawasi perlindungan anak”.. 9. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata,( Sinar Grafika: Jakarta, 2004), h. 767.. 25.

(25) 26. Perlindungan hukum terhadap hak-hak anak di dalam UU Perkawinan tersebut kemudian dipertajam lagi dengan ditetapkannya UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menekankan bahwa seorang anak yang orang tuanya telah berpisah berhak mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; Memang benar dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur bahwa setelah perceraian hak keperdataan jatuh pada ibu , dan ayah wajib memberikan nafkah hadhonah anak sampai umur 21 tahun.10 Namun hakim atas dasar asas ultra petitum partium tidak dapat mengabulkan hak hadhonah setelah perceraian. Penggugat harus mengajukan gugatan kembali apabila si ayah tidak melaksanakan pasal Kompilasi Hukum Islam tersebut. Tujuan hukum putusan perceraian bukan hanya keadilan secara subyektif bagi kedua pihak berperkara (suami dan istri atau istri dan suami) yang sedang mengalami dan membutuhkan nilai-nilai keadilan untuk tercapainya perceraian tersebut, namun juga harus memenuhi rasa keadilan secara obyektif (hak anak). Berdasarkan uraian di atas maka penulis akan melakukan penelitian terhadap perlindungan anak pada putusan verstek dengan judul penelitian “Dampak Asas Ultra Petitum Partiun Dalam Putusan Verstek Terhadap Hak Anak Ditinjau Dari UU. 10. Kompilasi Hukum Islam Pasal 156. 26.

(26) 27. Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 dan Kompilasi Hukum Islam (Putusan No. 2237/ Pdt.G /2014 / PA. Mlg )”.. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana penerapan asas ultra petitum partiun pada putusan verstek terhadap hak anak (Putusan No. 2237/ Pdt.G /2014 / PA. Mlg ) ? 2. Bagaimana dampak asas ultra petitum partiun dalam putusan verstek terhadap hak anak ditinjau dari UU Perlindungan Anak No. 35 tahun 2014 dan Kompilasi Hukum Islam?. C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui penerapan asas ultra petitum partium dalam perceraian verstek terhadap hak anak (Putusan No. 2237/Pdt.G/2014/PA.Mlg). 2. Untuk mengetahui dampak asas ultra petitum partiun dalam putusan verstek terhadap hak anak ditinjau dari UU Perlindungan Anak No. 35 tahun 2014 dan Kompilasi Hukum Islam.. D. Manfaat Penelitian. 27.

(27) 28. Terdapat dua manfaat dari penelitian ini yaitu: 1. Manfaat teoritik: a. Menambah wawasan serta khazanah keilmuan bagi setiap orang yang membaca tulisan ini, terutama untuk mahasiswa atau orang-orang yang sedang mempelajari tentang Perlindungan Anak dalam pelaksanaan asas ultra petitum partium dalam perceraian verstek, karena yang diharapkan oleh penulis adalah tulisan ini bisa memberi manfaat kepada yang lain. b. Dapat dijadikan sebagai referensi dalam penelitian selanjutnya. 2. Manfaat praktis: Penulis berharap agar penelitian ini bisa memberikan sumbangan pemikiran terhadap para hakim dalam pelaksanaan asas ultra petitum partium dalam perceraian verstek.. E. Definisi Operasional Ultra petitum partium adalah serangkaian kata dalam istilah hukum yang berasal dari kata ultra yang berarti lebih dan kata petitum partium yang berarti permohonan, gugatan yang dimulai dengan mengutarakan dalil-dalil dan diakhiri dengan mengajukan tuntutan.11 Asas Ultra petitum partium juga dapat diartikan hakim dilarang mempertimbangkan sesuatu yang menyimpang dari dasar gugatan.. 11. Martinus Sahrani dan Ilham Gunawan, Kamus hokum (Jakarta:Restu Agung, 2002), hal.154. 28.

(28) 29. Putusan Verstek adalah putusan yang dijatuhkan terhadap tergugat yang tidak datang pada hari sidang pertama yang telah ditentukan dan tidak menyuruh orang lain untuk menghadap sidang.12 Perlindungan. Anak. adalah. segala. kegiatan. untuk. menjamin. dan. melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.13. F. Metode Penelitian Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistim; sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangangan dalam suatu kerangka tertentu14. Sedangkan metode penelitian adalah cara dan langkah-langkah yang efektif dan efisien untuk mencari dan. 12. Dr. Ahmad Mujahidin, M.H, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), h. 99. 13 Romli Atmasasmita , Peradilan Anak di Indonesia,( Bandung: Mandar Maju,1997), h. 166. 14 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Perss, 2006), h. 42.. 29.

(29) 30. menganalisis data dalam rangka menjawab masalah)15. Metode Penelitian yang digunakan Penulis memuat uraian yang berisi beberapa hal sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal. Adapun yang dimaksud penelitian hukum normatif adalah suatu penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.16 Sedangkan Peter Mahmud Marzuki mendefinisikan penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.17 Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah Penelitian Pustaka (library research) yaitu jenis penelitian yang didasarkan pada. dokumen yang diperoleh dalam hal ini dari Pengadilan. Agama Kota Malang. 2. Sifat Penelitian Sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitik. Deskriptik adalah menjelaskan suatu gejala atau fakta, sedang analisis merupakan sebuah upaya untuk mencari dan menata secara sistematis data penelitian, kemudian dilakukan penelaahan guna mencari makna.18 Penelitian ini ditunjukan untuk 15. Soerjono Soekanto. Pengantar, h. 43. Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia, 2005), h. 57. 17 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 35. 18 Jujun Suria Sumantri, Pedoman Penulisan Ilmiah, (Jakarta: Ikip Negeri, 1987), h. 35. 16. 30.

(30) 31. mendeskripsikan sesacara terinci obyek yang diteliti, yaitu perkara perceraian yang diputus secara verstek, pembahasan yang akan dikaji pada penelitian ini lebih ditekankan pada tinjauan Undang-Undang Perlindungan Anak dalam pelaksanaan asas ultra petitum partium terhadap hak anak dalam putusan verstek (Putusan No. 2237/Pdt.G/2014/PA.Mlg) dan Kompilasi Hukum Islam, kemudian dianalisis dengan kerangka teoritik yang telah dirumuskan. 3. Pendekatan Penelitian Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan yang dapat digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan comparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).19 Adapun dalam penelitian ini Penulis hanya menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Menurut Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya Metode Penelitian Hukum menjelaskan bahwa pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang.20 Dalam penelitian ini Penulis menggunakan studi kasus (case study).. 19 20. Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum, h. 93. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 93.. 31.

(31) 32. Studi kasus merupakan suatu studi terhadap kasus tertentu dari berbagai aspek hokum.21 Penelitian ini menggunakan studi kasus, karena kasus yang digunakan penulis hanya satu, yaitu kasus gugatan perceraian yang ditangani oleh Pengadilan Agama Malang. 4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Di dalam penelitian hukum tidak mengenal adanya data, yang ada dalam penelitian hukum adalah bahan hukum, maka dalam hal ini Penulis menggunakan istilah bahan hukum. Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya, diperlukan adannya sumber-sumber penelitian. Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas .22 Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatancatatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan Hakim.23 Adapun bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah: a. Putusan No. 2237/Pdt.G/2014/PA.Mlg b. Herziene Indonesisch Reglement (HIR)/R.Bg. 21. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 94. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 141. 23 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 141. 22. 32.

(32) 33. c. Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan d. Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. e. Kompilasi Hukum Islam Sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku , kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan .24. 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dalam suatu penelitian merupakan hal yang sangat penting. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara identifikasi isi bahan hukum primer dan sekunder hasil dari studi kepustakaan atau studi dokumen, baik dari media cetak maupun elektronik yang kemudian dikategorisasi menurut jenisnya. Metode pengumpulan bahan hukum primer dalam penelitian normatif antara lain dengan melakukan penentuan bahan hukum, inventarisasi bahan hukum yang relevan, dan pengkajian bahan hukum.25. 24. Peter Mahmud Marzuki. . Hal 141 Tim Penyusun, Pedoman Penulisan KTI 2012 Fakultas Syariah UIN Maliki Malang (Malang:Fakultas Syariah.2012), hal 22. 25. 33.

(33) 34. Tekhnik pengumpulan bahan hokum dilakukan dengan cara studi kepustakaan library (library research), yaitu dengan melakukan penelusuran dengan pokok permasalahan yang menjadi kajian dalam penelitian ini. pembahasan yang akan dikaji pada penelitian ini lebih ditekankan pada tinjauan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Kompilasi Hukum Islam dalam pelaksanaan asas ultra petitum partium terhadap hak anak dalam perceraian verstek (Putusan No. 2237 / Pdt.G / 2014 / PA.Mlg). Setelah semua bahan hokum dikumpulkan, langkah selanjutnya adalah pemetaan bahan-bahan hokum tersebut sesuai dengan pokok permaslahan. Bahan-bahan hukum tersebut dikelompokkan berdasarkan tingkat urgensinnya dalam menentukan landasan berpikir atau alasan-alasan yang relevan untuk melakukan penelitian terhadap tinjauan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Kompilasi Hukum Islam dalam pelaksanaan asas ultra petitum partium terhadap hak anak dalam perceraian verstek (Putusan No. 2237 / Pdt.G / 2014 / PA.Mlg). 6. Teknik Analisis Mengingat jenis penelitian ini adalah normatif, Pada bagian pengolahan data dijelaskan tentang prosedur pengolahan dan analisis bahan hukum, sesuai dengan pendekatan yang dipergunakan. Bahan hokum yang diperoleh dalam penelitian hokum normative dengan cara studi kepustakaan diuraikan dan dikorelasikan antara bahan hokum yang satu dengan bahan. 34.

(34) 35. hokum yang lain sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hokum dilakukan secara induktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan konkret yang bersifat khusus yang bersifat umum26. Berawal. kepada permasalahan abstrak. dari. problematika kepatuhan hakim terhadap asas ultra petitum partium yang tergambar dalam putusan No. 2237/Pdt.G/2014/PA.Mlg kemudian dianalisis secara deskriptif menurut Undang-Undang Perlindungan anak nomor 35 tahun 2014 dan Kompilasi Hukum Islam.. G. Penelitian Terdahulu 1. Perlindungan hukum bagi anak korban kekerasan dalam rumah tangga dikaitkan dengan undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (studi kasus Putusan Pengadilan Negeri Nomor : 2673 / Pid.B / 2010/ PN.SBY ) Oleh Ni Ketut Sri Wijayanti. Hasil yang Diperoleh dari penelitian tersebut adalah. mengetahui. perlindungan hukum dan upaya hukum bagi anak korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Meskipun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 26. Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hokum, (Bandung: Mandar Maju, 2008), h. 166.. 35.

(35) 36. Tentang Perlindungan Anak telah berlaku selama 9 (sembilan) tahun tetapi kekerasan terhadap anak tidak menyurut bahkan dari data yang terpantau di LSM Crisis Center Cahaya Mentari Surabaya terlihat semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pelaksanaan perlindungan hukum bagi anak korban KDRT dapat dilakukan dengan melalui perlindungan sementara dari pihak LSM dan masyarakat setempat setelah itu dapat melalui pihak PPA yang ada di polrestabes seperti kasus David anak berusia 6 (enam) tahun. Tetapi usaha perlindungan hukum dan HAM terhadap anak tidak hanya cukup dengan konsep tetapi harus diterapkan dalam praktik yang nyata. Juga adanya upayaupaya yang dapat melindungi anak dari kekerasan yang terjadi, khususnya bagi anak korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) upaya hukum anak korban KDRT juga dapat dilakukan dengan cara mediasi antara antara korban dengan tersangka dan pihak keluarga sebagai penengah. 2. Putusan verstek terhadap perkara perceraian di Pengadilan Agama majene (Studi Kasus Putusan No. 14/Pdt.G/2013/PA.Mj) Disusun Oleh : Muhammad Imam Sasmita Kadir skripsi diajukan sebagai tugas akhir dalam rangka penyelesaian studi sarjana pada bagian Hukum Acara Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar 2014. Hasil yang Diperoleh dari penelitian tersebut adalah. pelaksanaan. acara ketidakhadiran Tergugat dalam hal penjatuhan putusan verstek perkara perceraian di Pengadilan Agama Majene, telah sesuai dengan ketentuan. 36.

(36) 37. Perundang-undangan yang berlaku, dapat dilihat mulai dari masuknya gugatan,. proses. pemanggilan,. proses. persidangan. sampai. acara. pembuktian,hingga berkahir dengan putusan verstekoleh hakim. Landasan hukum bagi hakim untuk memakai proses pembuktian dalam putusan verstek yaitu, selain merupakan syarat formil, salah satu yang menjadi dasar hakim dalam membebani pembuktian pada Pemohon pada proses perceraian terhadap putusan verstek dapat dilihat dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 tentang pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, pada poin (10) : Dalam hal termohon tidak hadir di persidangan dan perkara akan di putus verstek, Pengadilan Agama tetap melakukan sidang pembuktian mengenai kebenaran adanya adanya alasan perceraian yang didalilkan pemohon. Pertimbangan yang dipergunakan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan verstek yaitu: (1). Bahwa dengan ketidakhadiran Termohon dalam persidangan, majelis hakim berpendapat Termohon telah melepaskan hak jawabnya dan dianggap mengakui seluruh dalil gugatan Pemohon (2). Secara umum yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalammenjatuhkan putusan verstek ada Pasal 125 HIR/Pasal 149 RBg, yaitu karena tergugat tidak pernah datang menghadap di Persidangan setelah dipanggil secara resmi dan patut dan ketidakhadirannya itu ternyata tidak disebabkan karena suatu alasan yang. 37.

(37) 38. sah menurut hukum, serta gugatan Pemohon tidak melawan hukum dan beralasan maka Termohon harus dinyatakan tidak hadir oleh karena itu, maka putusan atas perkara ini dapat dijatuhkan tanpa hadirnya Termohon. 3. Penerapan asas ultra petitum partium terkait hak ex officio hakim dalam perkara cerai talak di Pengadilan Agama Yogyakarta tahun 2006-2007 Oleh Ari Triyanto , Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Hasil yang dicapai dalam penelitian tersebut bahwa hakim Pengadilan agama Yogyakarta telah membebankan kepada bekas suami untuk memberikan nafkah kepada bekas istri dengan pertimbangan dan alasan yang logis, dimana sesuai dengan peraturaan perundang-undangan bahwa hokum acara perdata yang berlaku di pengadilan umum juga berlaku di pengadilan agama sudah sepantasnya hakim mematuhi asas ultra petitum partium, tapi di sisi lain hakim dapat menyimpangi asas tersebut dalam memutus perkara melalui hak Ex Officio nya selama ada argumen yang logis sesuai aturan perundang-undangan.. H. Sistematika Pembahasan Agar penulisan ini dapat terarah dan pembahasannya komprehensif, maka sistematika pembahasannya disusun sebagai berikut:. 38.

(38) 39. Pada bab pertama, merupakan bab pendahuluan yangmana pada bab ini dijelaskan kerangka pemikiran dari kerja penelitian. Sebab, bab ini memuat pembahasan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, definisi operasional, dan sistematika pembahasan serta metode penelitian, yang mencakup lima hal, yaitu jenis penelitian, pendekatan penelitian, bahan hokum, metode pengumpulan data dan metode pengolahan data. Metode penelitian ini merupakan suatu cara atau tekhnis yang akan dilakukan dalam proses penelitian lebih terarah dan terorganisir. Sedangkan pada bab kedua merupakan tinjauan pustaka, dimana mendiskripsikan konsep atas dasar perlindungan anak, akibat hokum, putusan verstek, asas ultra petitum partium, dan teori hokum responsive dan progresif. Pada bab ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan secara teoritik terhadap masalah yang disajikan. Bab ketiga membahas tentang hasil penelitian dan pembahasan terhadap putusan dengan nomor perkara NO. 2237/PDT.G/2014/PA.MLG di Pengadilan Agama Kota Malang yang diputus secara verstek tentang kepatuhan hakim terhadap asas ultra petitum partium yang akan dibenturkan dengan Undangundang nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak dan Kompilasi Hukum Islam yang mencakup didalamnya: implementasi kepatuhan terhadap asas ultra petitum partium pada putusan NO. 2237/PDT.G/2014/PA.MLG dan dampak kepatuhan hakim pada asas ultra petitum partium terhadap hak anak dalam. 39.

(39) 40. putusan verstek perspektif Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan anak dan Kompilasi Hukum Islam. Bab keempat merupakan penutup yang mana pada bab ini mengakhiri penyusunan penelitian yang nantinya akan berisikan kesimpulan-kesimpulan dan saran. Adapun kesimpulan diperoleh berdasarkan seluruh hasil kajian. Sedangkan saran diperoleh berdasarkan pemaparan masalah yang disajikan serta simpulan dari penulis.. 40.

(40) 41. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Alasan Perceraian Secara etimologis (bahasa) berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “perceraian” berasal dari kata dasar “cerai” yang berarti pisah; putus hubungan sebagai suami istri. Lalu mendapatkan awalan “per” dan akhiran “an” yang menunjukkan sifatnya sebagai kata benda abstrak yang berarti perihal berceraian; perbuatan (hal dan sebagainya); perpisahan.27. 27. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 185.. 41.

(41) 42. Perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan, sebagaiman termuat dalam ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang menetapkan bahwa, perkawinan dapat putus karena: 1. Kematian; 2. Perceraian; 3. Atas putusan pengadilan Putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian berbeda sifatnya dengan putusnya perkawinan oleh dua alasan yang lainnya. Putusnya perkawinan yang disebabkan perceraian (cerai hidup) menunjukkan adanya kesan perselisihan maupun pertengkaran perihal suami istri yang menyebabkan ikatan perkawinan mereka tidak dapat dipertahankan lagi. Sedangkan putusan perkawinan karena kematian (cerai mati) tidak menunjukkan adanya kesan perselisihan dan pertengkaran tersebut. Penyebab ini lebih merupakan karena salah satu pihak telah meninggal dunia sehingga ikatan perkawinan di antara mereka secara mutatis mutandis hilang dengan sendirinya. Lain halnya lagi dengan putusnya perkawinan oleh putusan pengadilan. Penyebab ini dapat dikatakan karena pengkhususan dari penyebab karena perceraian namun lebih menekankan pada bubarnya ikatan perkawinan karena penetapan atau “pembatalan” di muka pengadilan, berbeda dengan perceraian yang prosesnya berawal bahkan sebelum perceraian tersebut menempuh jalur litigasi di pengadilan.. 42.

(42) 43. B. Akibat Perceraian Terhadap Anak Yang Masih di Bawah Umur Pada Pasal 41 Undang – Undang Nomor. 1 Tahun 1974, berbunyi sebagai berikut: “ Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: 1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan. mengenai. penguasaan. anak-anak,. Pengadilan. memberi. keputusannya. 2.. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak -anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.. 3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri. Mengenai alasan – alasan perceraian disamping diatur dalam Penjelasan Pasal 39, juga diatur dalam Pasal 19 PP No.9 tahun 1974. Perlu dicermati bahwa ketentuan Pasal 41 huruf a, Undang-Undang Perkawinan pada bagian terakhir menyatakan bahwa “bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.” Berangkat dari ketentuan tersebut maka dalam suatu gugatan perceraian, selain dapat memohonkan agar perkawinan itu putus karena perceraian, maka salah satu pihak. 43.

(43) 44. juga dapat memohonkan agar diberikan Hak Asuh atas anak – anak (yang masih dibawah umur) yang lahir dalam perkawinan tersebut. C. Akibat Hukum 1. Pengertian akibat hukum Akibat hukum adalah akibat yang diberikan oleh hukum atas suatu tindakan subjek hukum.28 Tindakan yang dilakukan oleh subyek hukum adalah tindakan hukum, yakni tindakan yang dilakukan guna memperoleh suatu akibat yang dikehendaki hukum.29 Akibat hukum merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban bagi subyek-subyek hukum yang bersangkutan. Dengan kata lain, akibat hukum dapat dikenakan baik pada: a. Tindakan hukum atau perbuatan hukum b. Delik, baik delik dalam bidang hukum pidana (perbuatan pidana) maupun delik dibidang hukum privat (perbuatan melawan hukum). 2. Ruang lingkup akibat hukum Perbuatan yang dilakukan subyek hukum terhadap obyek hukum menimbulkan akibat hukum. Adapun akibat hukum dapat berwujud:30 a. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu kaidah hukum tertentu, misalnya mencapai usia 21 tahun melahirkan keadaan. 28. Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum ,(Bogor:Ghalia Indonesia, 2011), h. 192. R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), h. 295. 30 Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum (Bandung: Pustaka Setia, 1999). h. 71. 29. 44.

(44) 45. hukum baru yaitu tidak cakap untuk bertindak menjadi cakap untuk bertindak.31 b. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan tertentu, antara dua atau lebih subyek hukum, dimana hak dan kewajiban salah satu pihak berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain. Misalnya sejak pembeli barang telah membayar lunas harga barang dan penjual telah menyerahkan dengan tuntas barangnya, maka lenyaplah hubungan jual beli diantara keduannya.32 c. Akibat hukum berupa sanksi, baik sanksi pidana maupun sanksi dibidang hukum keperdataan, misalnya dalam hukum perdata dikenal sanksi, baik terhadap perbuatan melawan hukum maupun wanprestasi. d. Akibat hukum yang timbul karena adanya kejadian-kejadian darurat oleh hukum yang bersangkutan telah diakui atau dianggap sebagai akibat hukum, meskipun dalam keadaan yang wajar tindakan-tindakan tersebut mungkin terlarang menurut hukum. Misalnya dalam keadaan kebakaran dimana seorang sudah terkepung api, orang tersebut merusak dan menjebol tembok, jendela, pintu dan lain-lain untukjalan keluar menyelamatkan diri.. 31 32. Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum , h. 193. Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum , h. 192-193.. 45.

(45) 46. D. Verstek 1. Pengertian Verstek Mengenai pengertian verstek, tidak terlepas kaitannya dengan fungsi beracara dan putusan atas perkara yang disengketakan, yang memberi wewenang kepada hakim menjatuhkan putusan tanpa hadirnya satu pihak. Diajukannya gugatan merupakan kepentingan penggugat sehingga diharapkan hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan. Pada saat persidangan, ada kemungkinan salah satu pihak tidak hadir. Apabila pihak penggugat yang tidak hadir meski telah dipanggil secara sah dan patut, sedangkan tergugat hadir maka perkara dapat diputus. Dalam hal ini gugatan penggugat dinyatakan gugur serta dihukum untuk membayar biaya perkara (vide Pasal 124 HIR/Pasal 148 RBg). Sebaliknya, jika tergugat tidak hadir meskipun telah dipanggil secara sah dan patut, maka hakim dapat menjatuhkan putusan tanpa hadirnya tergugat (verstek) (vide Pasal 125 HIR/Pasal 149 RBg). Adapun pengertian verstek menurut Yahya Harahap33: Pemberian wewenang kepada hakim untuk memeriksa dan memutus perkara meskipun penggugat atau tergugat tidak hadir di persidangan pada hari dan tanggal yang di tentukan. Dengan demikian putusan diambil dan dijatuhkan tanpa bantahan dan sanggahan dari pihak yang tidak hadir. Sedangkan. 33. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta:Sinar Grafik,2010), h. 382.. 46.

(46) 47. menurut Soepomo34, verstek adalah pernyataan bahwa tergugat tidak hadir meskipun menurut hukum acara ia harus datang. Verstek hanya dapat dinyatakan jikalau tergugat tidak pada hari sidang pertama. 2. Sebab-sebab putusan verstek Sebab-sebab putusan verstek diatur dalam Pasal 125 HIR dan Pasal 149 RBg. Dalam ketentuan pasal tersebut menyatakan hakim dapat memutus perkara tanpa hadirnya tergugat. Retnowulan Sutantio mengemukakan bahwa untuk putusan verstek yang mengabulkan gugat diharuskan adanya syaratsyarat sebagai berikut35: a. Tergugat atau para tergugat tidak datang pada hari sidang yang telah ditantukan; b. Tergugat atau para tergugat tidak mengirimkan wakil/kuasanya yang sah untuk menghadap; c. Tergugat atau para tergugat telah dipanggil dengan patut; d. Petitum tidak melawan hak; e. Petitum beralasan;. 34. R. Soepomo, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Pradanya Paramita, 1933), hal, 33. Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata Dalam Praktek dan Teori, (Jakarta: Pradanya Paramita, 1979), h. 21. 35. 47.

(47) 48. Selanjutnya oleh Yahya Harahap mengemukakan syarat acara verstek sebagai berikut36: a. Tergugat telah dipanggil secara sah dan patut; b. Tergugat tidak hadir tanpa alasan yang sah; c. Tergugat tidak mengajukan eksepsi kompetensi; Syarat yang dikemukakan Yahya Harahap lebih mencantumkan bahwa tergugat telah di panggil secara sah dan patut, serta mensyaratkan bahwa ketidakhadiran tergugat tanpa disertai alasan yang sah.Yahya Harahap tidak mencantumkan sebagai syarat dijatuhkannya putusan verstek karena gugatan tidak melawan hukum serta gugatan beralasan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan acara verstek ada 2 (dua) tahapan pemeriksaan yaitu: a. Tahap untuk menentukan terpenuhnya syarat-syarat perkara diputus dengan verstek, pada tahapan ini yang diperiksa adalah ketidakhadiran tergugat serta pemanggilannya apakah pemanggilan terhadap tergugat sudah sah dan patut. b. Tahap untuk menetapkan gugatan dikabulkan atau tidak, pada tahap ini yang diperiksa adalah apakah gugatan (petitum) penggugat beralasan dan tidak melawan hukum.. 36. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 383.. 48.

(48) 49. 3. Akibat putusan verstek a. Mengabulkan seluruh atau sebagaian gugatan Hakim akan memberi putusan bahwa. tergugat yang telah. dipanggil dengan patut tidak hadir dan menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa tersebut (dalam hal adanya eksepsi mengenai kekuasaan mutlak), atau memberi putusan bahwa tergugat yang telah dipanggil dengan patut tidak hadir dan menyatakan pengadilan negeri yang bersangkutan tidak berwenang untuk mengadili gugatan yang telah diajukan. itu (dalam hal adanya eksepsi tidak. dibenarkan, eksepsi tersebut ditolak,. hakim akan memeriksa pokok. perkaranya. Dalam hal gugatan beralasan dan tidak bertentangan dengan hukum, gugatan akan dikabulkan seluruhnya atau sebahagian dengan verstek).37 b. Menolak gugatan Terhadap gugatan yang tidak dihadiri para tergugat pada hari sidang yang telah ditentukan dan dia juga tidak menyuruh seorang lain menghadap selaku wakilnya, tapi bagi pengadilan negeri nyata gugatan. 37. Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata,Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek,(Bandung:Mandar Maju, 1997), h. 27.. 49.

(49) 50. tidak bersandar hukum atau tidak beralasan, Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo.SH38 memberi jawaban sebagai berikut : “Jika gugatan tidak bersandar hukum, yaitu apabila peristiwa – peristiwa sebagai dasar tuntutan, tidak membenarkan tuntutan, maka gugatan akan dinyatakan tidak diterima, ( niet onvankelijk ver klaard ). Jika gugatan itu tidak beralasan, yaitu apabila tidak diajukan peristiwa-peristiwa yang membenarkan tuntutan. Maka gugatan akan ditolak”.. E. Asas Ultra petita Partium 1. Pengertian Ultra petita Ultra petita dalam hukum formil mengandung pengertian sebagai penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang diminta. Ketentuan ini berdasarkan Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR serta Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) RBg.39 Sedangkan, ultra petita menurut I.P.M. Ranuhandoko adalah melebihi yang diminta.40 2. Larangan Prinsip Ultra petita dalam Hukum Acara Asas non ultra petita merupakan larangan yang lazim disebut sebagai ultra petitum partium. Asas ini ditentukan dalam pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg, yang menentukan bahwa hakim dalam memberikan putusan tidak boleh 38. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,(Yogyakarta: liberty,1979), h. 76. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Kontitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekjen MKRI, 2006), h. 34. 40 I.P.M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h.522. 39. 50.

(50) 51. mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan. Menurut Yahya Harahap, hakim yang mengabulkan tuntutan melebihi posita maupun petitum gugatan, dianggap telah melampaui wewenang atau ultra vires, yakni bertindak melampaui wewenangnya. Apabila putusan mengandung ultra petita, maka putusan tersebut harus dinyatakan cacat meskipun hal itu dilakukan hakim dengan itikad baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public interest).41 Namun, menurut Mertokusumo, dengan mendasarkan pada Putusan Mahkamah Agung tanggal 4 Februari 1970, Pengadilan Negeri boleh memberi putusan yang melebihi apa yang diminta dalam hal adanya hubungan yang erat satu sama lainnya. Dalam hal ini asas non ultra petita tidak berlaku secara mutlak sebab hakim dalam menjalankan tugasnya harus bertindak secara aktif dan selalu harus berusaha agar memberikan putusan yang benarbenar menyelesaikan perkara.42. F. Perlindungan Anak 1. Hak-hak Anak. 41. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 801. 42 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993), h. 802.. 51.

(51) 52. Pada tanggal 20 November 1958, Majelis Umum PBB secara aklamasi mengesahkan Deklarasi Hak-Hak Anak. Jiwa dokumen ini tercermin dalam mukadimah Deklarasi tersebut, yang menyatakan antara lain, umat manusia berkewajiban memberikan yang terbaik bagi anak-anak. Adapun pernyataan tentang hak-hak anak menurut Deklarasi Hak Anak-Anak 20 November 1958 meliputi :43 a. Anak-anak berhak menikmati seluruh hak yang tercantum didalam deklarasi ini. Semua anak tanpa pengecualian yang bagaimanapun berhak atas hak-hak ini, tanpa membedakan suku, bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat di bidang politik atau bidang lainnya, asal usul bangsa atau tingkatan sosial, kaya atau miskin, keturunan atau status, baik dilihat dari segi dirinya sendiri maupun dari segi keluarga. b. Anak-anak mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan khusus, dan harus memperoleh kesempatan dan fasilitas yang dijamin oleh hukum dan sarana lain sehingga secara jasmani, mental, akhlak, rohani dan sosial, mereka dapat berkembang dengan sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan bermanfaat. c. Sejak dilahirkan, anak-anak harus memiliki nama dan kebangsaan.. 43. Bismar Siregar dan W. Kusumah. 1986.Hukum dan Hak-Hak Anak. Jakarta:Rajawali. Hlm, 62-64. 52.

(52) 53. d. Anak-anak harus mendapat jaminan. Mereka harus tumbuh dan berkembang dengan sehat. Untuk maksud ini, baik sebelum maupun sesudah dilahirkan, harus ada perawatan dan perlindungan khusus bagi si anak dan ibunya. Anak-anak berhak mendapat gizi yang cukup, perumahan, rekreasi dan pelayanan kesehatan. e. Anak-anak yang cacat tubuh dan mental atau yang berkondisi sosial lemah akibat suatu keadaan tertentu harus memperoleh pendidikan, perawatan dan perlakuan khusus. f. Agar kepribadiannya tumbuh secara optimal dan harmonis, anak-anak memerlukan kasih sayang dan pengertian. Sedapat mungkin mereka harus dibesarkan di bawah asuhan dan tanggung jawab orang tua mereka sendiri, dan bagaimana pun harus diusahakan agar mereka tetap berada dalam suasana penuh kasih sayang, sehat jasmani dan rohani. Anak-anak di bawah usia limabelas tahun tidak dibenarkan terpisah dari ibunya. Masyarakat dan penguasa yang berwenang, berkewajiban memberikan perawatan khusus kepada anakanak yang tidak mampu. Diharapkan agar pemerintah atau pihak yang lain memberikan bantuan pembiayaan bagi anak-anak yang berasal dari keluarga besar. g. Anak-anak berhak untuk mendapatkan pendidikan wajib secara cumacuma sekurang-kurangnya di tingkat sekolah dasar. Mereka harus. 53.

(53) 54. mendapat pendidikan yang dapat meningkatkan pengetahuan pendapat pribadinya dan perasaan tanggung jawab moral dan sosialnya, sehingga mereka dapat menjadi anggota masyarkat yang berguna. Kepentingankepentingan anak haruslah dijadikan dasar pedoman oleh mereka yang bertanggung jawab terhadappendidikan dan pendidikan anak yang bersangkutan. Pertama-tama tanggung jawab tersebut terletak pada orang tua mereka. Anak-anak harus mempunyai kesempatan yang leluasa untuk bermain dan berekreasi, yang harus diarahkan untuk tujuan pendidikan. Masyarakat dan penguasa yang berwenang harus berusaha meningkatkan hak ini. h. Dalam keadaan apapun, anak-anak harus didahulukan dalam menerima perlindungan dan pertolongan. i. Anak-anak harus dilindungi dari segala bentuk penyia-nyiaan, kekejaman dan penindasan. Dalam bentuk apapun, mereka tidak boleh dilibatkan dalam pekerjaan apapun, mereka tidak boleh menjadi “Bagian Perdagangan”. j. Anak-anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminasi lainnya. Mereka harus dibesarkan di dalam semangat yang penuh pengertian, toleransi dan persahabatan antar bangsa,. 54.

(54) 55. perdamaian serta persaudaraan semesta dan penuh kesadaran tenaga dan bakatnya harusdiabadikan kepada sesama manusia. 2. Kompilasi Hukum Islam Bab XVII,Akibat Putusnya Perkawinan Terhadap Hak Anak Pasca Perceraian Bagian Kesatu,Akibat Talak Pasal 149 Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: Ayat (d) memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun Bagian Ketiga,Akibat Perceraian Pasal 156 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya,. kecuali. bila. ibunya. telah. meninggal. dunia,. kedudukannya digantikan oleh: 1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2. Ayah; 3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;. 55. maka.

(55) 56. 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; 5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya; c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak. dapat. keselamatan jasmani dan rohani anak,meskipun biaya. menjamin nafkah dan. hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula; d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun) e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a),(b), dan (d); f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anakanak yang tidak turut padanya.. 56.

(56) 57. 3. UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pengertian perlindungan anak dalam Undang-Undang ini terdapat dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan “perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hakhaknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuaidengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 20 juga disebutkan bahwa yang berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. Jadi perlindungan anak bukanlah tanggung jawab negara atau orang tua saja, melainkan harus diselenggarakan secara bersama-sama oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua agar pelaksanaan perlindungan anak yang efektif, rasional positif, bertanggung jawab dan bermanfaat dapat tercapai. UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak memberikan perintah kepada semua pihak untuk memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak sebagai pertimbangan utama, hal tersebut sebagaimana diraikan di. 57.

(57) 58. dalam Penjelasan ketentuan Pasal 2 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan bahwa,“ yang dimaksud dengan kepentingan terbaik bagi anak adalah bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama”. Dengan demikian badan yudikatif (lembaga pengadilan) wajib berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan hak-hak anak tersebut terutama bagi anakanak yang akan menjadi korban perceraian. Hal tersebut dalam rangka melindungi hak-hak anak serta memberikan kepastian hukum terhadap siapa yang bertanggung jawab terhadap anak tersebut apabila orang tua anak itu bercerai, atau orang tuanya tidak ada atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena sebab lain sehingga orang tua anak tersebut tidak mampu memenuhi kewajibannya atau tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya, maka UU ini telah memberikan kepastian hukum, bahwa kewajiban dan tanggung jawab orang tua anak tersebut secara hukum beralih kepada keluarganya. Untuk meningkatkan pemenuhan hak-hak anak maka UU tersebut direvisi dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Ketentuan Pasal 23 ayat (1) dan (2) menyatakan:” Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua,. 58.

(58) 59. wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak. Negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengawasi perlindungan anak”. Penambahan. “pemerintah. daerah”. dalam. ketentuan. pasal. tersebut. menunjukkan bahwa perhatian terhadap perlindungan hak-hak anak harus dilakukan lebih menyeluruh di setiap lapisan pemerintahan yang ada di Indonesia dalam rangka mewujudkan anak Indonesia yang bebas dari kekerasan. G. Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam Putusan Hakim Dalam membuat putusan hakim harus memuat unsure keadilan, kepastian hokum, dan kemanfaatan. Ketiga unsure tersebut harus dipertimbangkan dan diterapkan secara proposional.44 Bamun dalam praktek peradilan, sangat sulit bagi seorang hakim untuk menakomodir ketiga asas tersebut dalam satu putusan. Jika diibaratkan dalam sebuah garis, hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara suatu perkara berada diantara dua titik pembatas dalam garis tersebut, yang mana berdiri pada titik keadilan dan kepastian hokum , sedangkan titik kemanfaatan berada diantara keduannya. Adapun penekana pada kepastian hokum , lebih cenderung untuk mempertahankan norma-norma hokum tertulis dari hokum positif yang ada.. 44. Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hokum Upaya Mewujudkan Hokum Yang Pasti Dan Berkeadilam, (Yogyakarta:UIIS Press, 2006), h. 6.. 59.

(59) 60. Sedangkan penekanan pada asas keadilan, berarti hakim harus mempertimbangkan hokum yang hidup dalam masyarakat, yang terdiri atas kebiasaan dan ketentuan hokum yang tidak tertulis. Hakikat keadilan menurut John Christman45, dibagi menjadi tiga macam teori keadilan retributive, korektif dan distributive. Namun secara umum teori keadilan dibagi menjadi dua macam, yaitu teori keadilan retributive dan distributive. Keadilan retributive adalah keadilan yang berkaitan dengan terjadinya kesalahan. Sedangkan keadilan distributive adalah keadilan yang berkaitan dengan pembagian nikmat dan beban. Pada keadilan distributive, terdapat ketidaksepakatan terkait isi terhadap prinsip keadilan yang mengatur pembagian hak dan kewajiban dalam masyarakat.46 Adapun penerapan keadilan dalam keputusan, yaitu harus didasrkan pada prinsipprinsip yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara intuitif maupun rasional.47 Penekanan pada asas kemanfaatan lebih bernuansa kepada segi ekonomi, dengan dasr pemikiran bahwa hokum itu ada untuk manusia, sehingga tujuan hokum itu harus berguna bagi masyarakat.48 H. Teori Hukum Responsif dan Hukum Progresif 1. Hukum Responsif. 45. John Christman, Socizl And Political Philosophy: A Contemporary Intruduction,( London: Routledge, 2002), h. 60-61 46 Mawardi, Keadilan Social Menurut John Rawls, Skripsi, (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2010), h. 46-47 47 Mawardi, Keadilan Social, h. 10. 48 Ahmad Rifa’i, Penemuan Hokum Oleh Hakim Prespektif Hokum Progresif (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) , h. 135.. 60.

(60) 61. Sebagai penggagas teori hukum responsif, Nonet dan Selznick memberikan sebuah konsepsi yang cukup mendalam tentang apa itu hukum responsif.. Menurut keduanya hukum yang baik seharusnya memberikan. sesuatu yang lebih daripada sekedar prosedur hukum. Hukum tersebut harus berkompeten dan juga adil ia seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen terhadap tercapainya keadilan substantif .49 Disampaikan juga bahwa hukum responsif merupakan tradisi kaum realis (legal realism) dan sosiologis (sociological jurisprudence) yang memiliki satu tema utama yaitu membuka sekat-sekat dari pengetahuan hukum. Seharusnya ada penghargaan yang tinggi kepada semua hal yang mempengaruhi hukum dan yang menjadi persyaratan bagi efektifitasnya. Hukum responsif menganggap tekanan-tekanan sosial sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan untuk mengoreksi diri. Oleh karena itu diperlukan panduan berupa tujuan, tujuan-tujuan ini menetapkan standar untuk mengkritisi tindakan yang mapan dan karenanya membuka kesempatan untuk terjadinya perubahan. Pada saat yang bersamaan, jika benar-benar dijadikan pedoman tujuan dapat mengontrol diskresi administratif, sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya penyerahan institusional. Sebaliknya ketiadaan tujuan berakar pada kekakuan serta oportunisme. Hukum responsif. 49. Phillippe Nonet and Philip Selznick, Law and Sosiety in Transition:Toward responsive Law, Harper & Row, Terj. Raisul Muttaqqien,(Cet 2, Bandung:Nusamedia, 2008), h.84.. 61.

(61) 62. beranggapan bahwa tujuan dapat dibuat cukup obyektif dan cukup berkuasa untuk mengontrol pembuatan peraturan yang adaptif .50 Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Suatu contoh yang lazim untuk hal ini adalah doktrin “due process”. Sebagai doktrin kontitusional “due process” mungkin hanya dipahami sebagai nama untuk serangkaian peraturan, yang dipaparkan secara historis, yang melindungi hak-hak atas atas pemberitahuan (right of notice), untuk didengar dalam persidangan, peradilan dengan sistem juri, dan hal lain semacam itu.51. Secara lebih spesifik hukum responsif. mendorong dan mengembangkan kesopanan dalam dua cara pokok yaitu:52 a. Mengatasi kondisi sempitnya pandangan dalam moralitas komunal. Otoritas tujuan yang tumbuh cenderung mengurangi preskripsi dan simbolisme. Hukum responsif menuntut bahwa kebiasaan dan moralitas, sejauh moralitas dan kebiasaan ini mengklaim otoritas hukum, harus dijustifikasi oleh suatu penilaian rasional mengenai pengorbanan dan manfaat. Salah satu akibatnya adalah tekanan untuk mendeskriminilisasi pelanggaran-pelanggaran terhadap nilai-nilai moral yang berlaku. Tatanan hukum lalu lebih beradab, atau tepatnya bahwa tatanan tersebut menjadi lebih santun,. lebih menerima keragaman budaya, tidak terlalu mudah. 50. Phillippe Nonet and Philip Selznick, Law and Sosiety, h. 87. Phillippe Nonet and Philip Selznick, Law and Sosiety, h. 90. 52 Phillippe Nonet and Philip Selznick, Law and Sosiety, h. 102. 51. 62.

(62) 63. menjadi kejam terhadap halhal yang menyimpang dan eksentrik. Hal ini tidak lantas berarti bahwa hukum melepaskan diri dari konsensus moral masyarakat. Ia hanya lebih menemukan konsensus di dalam aspirasiaspirasi yang umum daripada di dalam norma perilaku yang spesifik, ia berusaha mengklarifikasi nilai-nilai yang dipertaruhkan dalam tatanan moral, sehingga akan membebaskan budaya dan tafsiran-tafsiran sempitnya. b. Mendorong suatu pendekatan baru terhadap krisis-krisis ketertiban umum yaitu suatu pendekatan yang berpusat pada masalah (problem centered) dan yang integratif secara sosial. Aliran hukum ini juga mengatakan bahwa “ideal pokok” hukum resposif adalah legalitas. Bahwa kontinuitas dipertahankan, namun ideal mengenai legalitas seharusnya tidak dikacaukan dengan pernak-pernik “legalisasi”, pengembangan peraturan dan formalitas prosedural. Pola-pola birokratis yang diterima sebagai due process (dipahami sebagai “bidang rintangan”) atau sebagai akuntabilitas (dipahami sebagai dipenuhinya peraturan-peraturan jabatan) merupakan hal yang asing bagi hukum responsif. Ideal mengenai legalitas perlu dipahami secara lebih umum dan dibebaskan dari formalism.53 2. Hukum Progresif. 53. Phillippe Nonet and Philip Selznick, Law and Sosiety, h. 119.. 63.

(63) 64. Teori hukum responsif yang dikemukakan Nonet dan Selznick tersebut kemudian banyak diadopsi dan dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo, akan tetapi beliau tidak secara utuh mengambil apa yang disampaikan Nonet dan Selznick dalam teori responsifnya.. Beliau memberikan istilah. berbeda. tentang hukum responsif, yaitu hukum progresif, akan tetapi secara tegas beliaupun menyampaikan bahwa hukum progresif memiliki tipe responsif.54 Ide utama hukum progresif adalah membebaskan manusia dari belenggu hukum.. Hukum berfungsi memberi panduan bukan justru. membelenggu, manusia-manusialah yang berperan lebih penting. Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri .55 Hukum itu bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya.. Hukum adalah institusi yang secara terus-menerus. membangun dan mengubah dirinya menuju pada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasikan kedalam faktorfaktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah 54. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan Dan Pencerahan, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004), h. 2. 55 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, h. 4.. 64.

Referensi

Dokumen terkait

BLMSK adalah ritual penggantian kain kelambu/kain mori (luwur) yang digunakan untuk membungkus nisan, cungkup, makam, serta bangunan di sekitar makam Sunan Kudus. Puncak

Maka hal yang harus di lakukan adalah mencari informasi sebanyak mungkin mengenai profil perusahaan tersebut bisa melalui media search engine, yellowpages, forum atau referensi

HUBUNGAN KERJA MANUAL HANDLING TERHADAP KELUHAN NYERI PUNGGUNG BAWAH (LBP) PADA PERAWAT ICU DAN ICCU SILOAM HOSPITAL KEBUN JERUK JAKARTA BARAT.. 6 Bab, 85 Halaman,

hukum dalam memperoleh organ gigi manusia untuk kepentingan Pendidikan. Masyarakat mengetahui adanya hukum yang mengatur tentang jual beli organ. untuk kepentingan pendidikan.

Hiperkolesterolemia merupakan masalah yang cukup penting karena termasuk faktor resiko utama penyakit jantung koroner disamping hipertensi dan merokok. Kebiasaan makan individu..

Menggunakan modifier yang sama mengambil sesuatu tanpa diduga pada kecepatan eksekusi program Anda karena hal tersebut menimbulkan beberapa ukuran tambahan sehingga itu tidak

Muhammad Arwani dalam kitab Faidh al-Barakât merupakan metode pertama kali dalam membahas Qirâat Sab’ah sehingga kitab ini merupakan pelopor kitab Qirâat

Hal ini dikarenakan perhitungan Ecological Footprint berdasarkan data tahunan yang telah berlalu, dan tidak dapat benar-benar tepat mengukur kemampuan daya dukung lingkungan hidup