• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pada Proses Pemeriksaan Di Tingkat Kepolisian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pada Proses Pemeriksaan Di Tingkat Kepolisian"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara hukum, hal ini dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 1 ayat (3). Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan dengan tegas bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat).1 Dan dengan adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang, persamaan di depan hukum, adanya peradilan administrasi dan unsur-unsur lainnya.2

Segala bentuk upaya pengayoman terhadap harkat dan martabat manusia serta pengakuan terhadap hak asasi manusia merupakan suatu prinsip bagi rakyat Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan konsep negara hukum tersebut. Dan segala bentuk pelanggaran terhadapnya merupakan pencorengan moral sebagai sesama makhluk Termasuk juga hak seorang anak, ini semua telah diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28B ayat 2 yang berbunyi “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

1

C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,

1989, hal. 346.

2

Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah

(2)

Tuhan Yang Maha Esa, terhadap negara, hukum, dan pemerintah. Perlu dipahami bahwa hak asasi manusia tersebut tidaklah bersumber dari Negara dan hukum saja, tetapi semata-mata bersumber dari Tuhan sebagai pencipta alam semesta beserta isinya, sehingga hak asasi manusia itu tidak bisa dikurangi (non derogable rights3

Menurut Human Rights Reference disebutkan bahwa yang tergolong ke dalam kelompok rentan adalah: refugees atau pencari suaka, Internally Displaced Persons

(IDPs) atau pengungsi dalam negeri, national minorities atau kelompok minoritas,

migrant workers atau pekerja migran, indigeneous peoples atau penduduk asli pedalaman dan women atau perempuan. Individu-individu yang masuk dalam kategori ini, kadang-kadang mengalami bahwa kemampuan mereka untuk menikmati dan merasakan suatu standar kehidupan yang setara dan layak sebagaimana kelompok yang lain menjadi sangat sulit. Kelompok ini dikatakan rentan karena secara tradisional telah menjadi sasaran proses diskriminasi.

). Tidak terkecuali hak seorang anak.

Anak termasuk ke dalam salah satu anggota kelompok masyarakat yang rentan menjadi korban kekerasan dan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya karena anak sebagai bagian intergral dari komunitas, paling lemah kemampuannya untuk melindungi diri mereka sendiri, malah mereka menjadi obyek segala bentuk dan manifestasi kekerasan.

4

3

Rozali Abdullah, Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia,

Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001, hal. 10.

(3)

diskriminasi tentu saja anak juga akan mengalami hal yang serupa karena anak-anak secara genealogis merupakan bagian dari kelompok tersebut.

Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menentukan bahwa setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman-hukuman yang tidak

manusiawi. Nyatanya, KPAI mencatat ada 1000 kasus kekerasan pada anak dalam kurun waktu selama tahun 2016 yang hampir sebagian besar pelaku kekerasan

tersebut adalah orang terdekat korban. Misalnya saudara, kakek bahkan ayah kandung daripada korban.5

Secara formal, prosedur penyidikan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum maupun kewenangan penyidik telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Tapi dalam praktik sistem peradilan

Salah satu contoh pelanggaran hak asasi manusia khususnya hak anak adalah tindak kekerasan yang dilakukan oleh penyidik yaitu oknum Kepolisian Republik Indonesia dalam mencari informasi atau pengakuan oleh tersangka dalam melakukan penyidikan. Kepolisian merupakan institusi negara yang tujuan utamanya adalah untuk menciptakan rasa aman bagi masyarakat, yang dalam menjalankan tugas dan kewajibannya senantiasa harus bertindak berdasarkan norma hukum, agama, kesopanan, kesusilaan, serta yang terpenting adalah menjunjung tinggi hak asasi manusia.

5

(4)

pidana yang ditegakkan, hak-hak dari tersangka dalam rangkaian proses penyidikan suatu perkara diwarnai dengan adanya upaya paksa. Upaya paksa adalah suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan suatu peraturan yang berlaku yang dapat berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan lain lain6

Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa, “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah . Dengan adanya upaya paksa, maka sering terjadi praktik-praktik represif seperti penyiksaan dan kekerasan lainnya. Hal itu terjadi karena rendahnya kesadaran hukum dan sumber daya manusia dalam lembaga-lembaga yang tergabung dalam sistem peradilan pidana yang pada akhirnya menimbulkan ketimpangan dalam tingkah laku hukum.

Ada paradigma yang kurang lebih menyatakan bahwa tersangka, terlepas sudah dewasa atau tidak, wajar bahkan pantas untuk menjadi sasaran kekerasan yang dilakukan oleh penyidik pada tahap penyidikan agar mereka tidak mempersulit ataupun memperlambat proses penyidikan tersebut. Padahal dalam Pasal 52 KUHAP dianut asas akusator, dimana tersangka dipandang sebagai subjek yang berhak memberikan keterangan secara bebas dalam mengajukan pembelaan, karena dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.

6

Diakses daripada

(5)

sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Yang mempunyai pengertian yang sama, yaitu ketentuan-ketentuan tersebut memberikan asas praduga tak bersalah. Dengan adanya asas ini, hak asasi seseorang harus dijunjung tinggi sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Maka penyidik tidak berhak melakukan perbuatan sewenang-wenang yang menghakimi tersangka dalam tahap penyidikan.

Berdasarkan data Kontras pada Jurnal Laporan Hari Anti Penyiksaan Sedunia 2016, anggota Polri masih dominan muncul menjadi pelaku penyiksaan dan tindakan keji lainnya. Meningkatnya angka praktik penyiksaan memuncak di tahun 2013-2014 dengan 108 peristiwa. Penyiksaan sebagai sebuah kejahatan tidak berdiri tunggal. Kadang ia didahului dengan tindakan-tindakan sewenang-wenang lainnya. Tindakan ini kebanyakan terjadi pada tingkatan Kepolisian Resor (Polres) dan Kepolisian Sektor (Polsek) di wilayah Indonesia. 7

Sebagai contoh yaitu anak dari Kapten Giyarno, seorang TNI di Salatiga, Jawa Tengah yang bernama Caesar Alif Arya Pradana. Siswa Kelas IX-G SMP Negeri 4 Kota Salatiga itu menjadi korban penganiayaan oleh polisi. Dia di tangkap dihadapan teman-teman sekolahnya, tangannya diborgol, mulut ditutup lakban dan matanya di tutup kain, kemudian korban dianiaya, dipukul menggunakan sandal dan tangan untuk mengakui perbuatan yang tak pernah korban lakukan oleh empat anggota polisi

7

Diakses dari

(6)

hingga hidung korban harus dioperasi karena pada bagian hidungnya yang patah selalu mengeluarkan darah. 8

Kasus serupa terjadi di Bandar Lampung, dimana ada seorang anak bernama Deni Saputra yang dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Tanjungkarang karena tidak terbukti dalam dakwaan perkara pencurian. Deni Saputra ditangkap oleh salah seorang petugas keamanan dan dianiaya juga dipaksa mengaku telah mencuri. Korban disundut rokok dan dipukul di sekujur tubuh. 9

“PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002

TENTANG PERLINDUNGAN ANAK PADA PROSES PEMERIKSAAN DI

TINGKAT KEPOLISIAN (Studi Putusan PN Samarinda No.

Dalam penulisan ini permasalahan yang akan dibahas adalah tentang salah satu kekerasan yang dilakukan oleh penyidik terhadap anak yang berkonflik dengan hukum hingga akhirnya mengakibatkan kematian dan juga bagaimana penerapan hukum serta pertanggungjawaban pidananya jika kekerasan tersebut dilakukan oleh aparat penegak hukum. Bahwasanya hal tersebut adalah pelanggaran hak asasi manusia, terlebih yang menjadi korban adalah anak dibawah umur yang jelas sudah terdapat berbagai perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadapnya.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian, menganalisa dan membuat karya tulis atau skripsi dengan judul:

8

Diakses dari

9

Diakses dari

(7)

628/Pid.B/2012/Pn.Smda, Putusan PT No. 40/Pid/2013/Pt.Kt.Smda, dan Putusan

MA No. 1309k/Pid.Sus/2013)”.

B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan

hukum dalam pemeriksaan di tingkat kepolisian?

2. Bagaimanakah penerapan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 terhadap polisi yang melakukan kekerasan dalam pemeriksaan di tingkat kepolisian dalam Putusan Pengadilan Negeri No. 628/Pid.B/2012/Pn.Smda, Putusan PT No. 40/Pid/2013/Pt.Kt.Smda, dan Putusan MA No. 1309k/Pid.Sus/2013?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam pemeriksaan di tingkat kepolisian.

2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 terhadap polisi yang melakukan kekerasan dalam pemeriksaan di tingkat kepolisian dalam Putusan Pengadilan Negeri No. 628/Pid.B/2012/Pn.Smda, Putusan PT No. 40/Pid/2013/Pt.Kt.Smda, dan Putusan MA No. 1309k/Pid.Sus/2013.

(8)

Manfaat penelitian ini adalah untuk menjadi bahan kajian lebih lanjut yang menyoroti tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh penyidik terhadap anak yang dalam proses penyidikan dan sebagai tolak ukur dalam mengevaluasi peranan kepolisian sebagai penegak hukum dalam penyidikan tindak pidana agar memelihara dan menumbuhkan sikap yang baik dalam menyidik tindak pidana.

2. Secara Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah dapat dijadikan sebagai sumber ilmu pengetahuan bagi masyarakat terkait dengan masalah yang diteliti, serta dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi peneliti lain yang ingin mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai penulisan ini.

D. Keaslian Penulisan

(9)

E. Tinjauan Pustaka

1. Batasan Usia Anak Sebagai Pelaku dan Korban Menurut Hukum Pidana

di Indonesia

Definisi anak dan batasan usia anak dalam hukum positif di Indonesia mengalami pluralism sebagai akibat dari setiap peraturan perundang-undangan memiliki kriterianya sendiri tentang anak. Pengertian tersebut tidak memberikan suatu konsepsi tentang anak melainkan hanya merupakan pembatasan-pembatasan saja.

Pengertian anak menurut hukum pidana lebih condong kepada pengertian anak yang penafsiran hukumnya negatif. Dalam arti seorang anak yang berstatus sebagai subjek hukum yang seharusnya bertanggungjawab terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak itu sendiri, ternyata karena kedudukannya sebagai seorang anak yang berada dalam usia belum dewasa diletakkan sebagai seseorang yang mempunyai hak-hak khusus dan perlu untuk mendapat perlindungan khusus menurut ketentuan hukum yang berlaku. 10

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak secara eksplisit menyebutkan tentang kategori anak, akan tetapi batasan umur anak dapat dijumpai dalam Pasal 45 KUHP dan Pasal 72 yaitu umur 16 tahun untuk melakukan penuntutan pidana terhadapnya. Dalam Bab IX Pasal 45 juga tidak ditemukan secara jelas definisi tentang anak, melainkan digunakannya istiliah “belum cukup umur

10

Maulana Hasan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, PT. Grasindo, Jakarta,

(10)

(minderjarig). Pasal 283 KUHP menentukan kedewasaan apabila sudah mencapai umur 17 tahun. Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 287 KUHP, batas umur dewasa bagi seorang wanita adalah 15 tahun. Namun, dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 45 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.

Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur mengenai proses penyelesaian perkara “anak yang berhadapan dengan hukum”. Yang dimaksud dengan “anak yang berhadapan dengan hukum dalam UU No. 11 Tahun 2012 ini menurut Pasal 1, terdiri atas:

1. anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka 3);

2. anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana (Pasal 1 angka 4);

3. anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi

(11)

pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang di dengar, dilihat dan/atau dialaminya sendiri (Pasal 1 angka 5).11

Maka yang dapat disebut sebagai anak sebagai pelaku tindak pidana atau yang dalam Pasal 1 angka 3 disebut dengan anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah memenuhi syarat yaitu telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan anak tersebut diduga melakukan tindak pidana.

Sedangkan batasan usia bagi anak korban cukup jelas dimuat dalam Pasal 1 angka 4 yaitu anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun.

2. Pengertian Tindak Pidana dan Kekerasan

a. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari Bahasa Belanda yaitu strafbaarfeit, yaitu istilah yang terdapat dalam KUHP Belanda demikian juga dalam KUHP kita, tetapi tidak ada penjelasan secara rinci mengenai pengertian strafbaarfeit tersebut.

Dalam Bahasa Belanda, strafbaarfeit itu terdiri dari tiga kata yaitu straf, baar

dan feit. Straf diartikan sebagai pidana atau hukum, baar diartikan sebagai dapat atau boleh, dan feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.12

11

R. Wilyono, Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hal.

14

12

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal.

69.

(12)

Menurut Simons, strafbaarfeit adalah “Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.”13

1. Tindak Pidana

Sedangkan menurut Pompe, strafbaarfeit adalah

“Suatu pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.”

Selain pengertian menurut para ahli tersebut, ada juga beberapa istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dari berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaarfeit, yaitu:

Merupakan istilah resmi yang digunakan dalam perundang-undangan pidana kita. Istilah ini digunakan antara lain dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (yang telah diganti dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002), Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001), dan perundang-undangan lainnya. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini yaitu Wirjono Prodjodikoro. Menurut beliau, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. 14

13

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal.5.

14

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,

(13)

Ahli hukum lainnya yang menggunakan istilah ini yaitu Satochid Kartanegara. Menurut beliau, tindak pidana diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh manusia untuk mana ia dapat dipidana. 15

2. Peristiwa Pidana

Istilah ini digunakan oleh Mr. R. Tresna dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana. Menurut beliau, peristiwa pidana adalah, “Suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.”16

“Suatu perbuatan handelen atau doen-positif atau suatu melalaikan nalaten -negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh huku m.”

Ahli hukum lainnya yang menggunakan istilah ini adalah Utrecht, dalam bukunya Hukum Pidana I. Menurut beliau, peristiwa pidana diartikan sebagai:

17 3. Delik

Istilah ini sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu delictum. Dalam bahasa Jerman disebut delict, dalam bahasa Perancis disebut delit, dan dalam bahasa Belanda disebut delict.18

15

(14)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata “delik” diberi Batasan yaitu “Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana.”19

Beberapa ahli hukum pidana memberikan pengertian mengenai delik dalam arti strafbaarfeit, antara lain yaitu Vos, van Hamel dan Simons. Menurut Vos, delik didefinisikan sebagai feit yang dinyatakan dapat dihukum berdasarkan undang-undang. Menurut van Hamel, delik adalah suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain. Sedangkan menurut Simons, delik berarti “Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum.”20

4. Pelanggaran Pidana

Digunakan oleh Mr. M. H. Tirtaamidjaja dalam bukunya Pokok-pokok Hukum Pidana.

5. Perbuatan yang boleh dihukum

Digunakan oleh Mr. Karni dalam bukunya Ringkasan tentang Hukum Pidana.

6. Perbuatan Pidana

Digunakan oleh Mr. Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau seperti dalam buku Asas-asas Hukum Pidana. Menurut beliau, perbuatan pidana adalah perbuatan

19

Ibid.

20

(15)

yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.21

Menurut beliau pula, untuk adanya perbuatan pidana itu harus ada unsur-unsur yaitu: (1) perbuatan (manusia), (2) memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil), (3) bersifat melawan hukum (syarat materiil).22

Sehubungan dengan unsur-unsur tindak pidana tersebut, menurut Simons, ada dua unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan itu dapat dikatakan sebagai tidak pidana yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif yaitu berupa tindakan yang dilarang atau diharuskan, serta akibat keadaan atau masalah tertentu, sedangkan unsur subjektif yaitu berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggungjawab (toerekenings vatbaar) dari pelaku.23

a) Unsur Subjektif

Jadi, berdasarkan doktrin-doktrin tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur tindak pidana itu terdiri atas unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.

Yaitu unsur yang berasal dari dalam diri si pelaku. Asas hukum pidana yang menyatakan bahwa “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan” (actus non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang dimaksud disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/ opzet/ dolus) dan kealpaan (negligence/

culpa).

21

Adami Chazawi, Op.cit, hal. 71.

22

Evi Hartanti, Op.cit, hal. 7.

23

(16)

Dalam Crimineel Wetboek (KUHP) tahun 1809 dicantumkan: “Kesengajaan adalah kemauan untuk melakukan atau tidakan melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diperintahkan oleh undang-undang.”24

Kemudian dalam Memorie van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman sewaktu mengajukan Crimineel Wetboek tahun 1881 (yang menjadi KUHP Indonesia tahun 1915), memuat: “Kesengajaan adalah dengan sadar berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu (de bewuste richting van den wil op een bepaald misdrijf).25

Mengenai MvT tersebut, Satochid Kartanegara menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan opzet willens en weten (dikehendaki dan diketahui) adalah: “Seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus mengkehendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu.”26

1) Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk)

Pada umumnya, para pakar telah sepakat bahwa kesengajaan terdiri dari tiga bentuk yaitu kesengajaan sebagai maksud (oogmerk), kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidbewustzijn), dan kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus eventualis).

Maksud berbeda dengan motif. Umumnya, motif diidentikkan dengan tujuan,

24

Leden Marpaung, Op.cit, hal. 13.

25

Ibid.

26

(17)

Contoh: A bermaksud membunuh B yang menyebabkan ayahnya meninggal. A menembak B dan B meninggal.

Pada contoh di atas, dorongan untuk membalas kematian ayahnya itu disebut dengan motif, sedangkan yang disebut dengan maksud adalah kehendak A untuk melakukan perbuatan atau mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman pidana, dalam hal ini yaitu menghilangkan nyawa B. Sengaja sebagai maksud menurut MvT adalah dikehendaki dan dimengerti.

2) Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn)

Yaitu dimana si pelaku (doer atau dader) mengetahui pasti atau yakin benar bahwa selain akibat dimaksud, akan terjadi suatu akibat lain. Si pelaku menyadari bahwa dengan melakukan perbuatan itu, pasti akan timbul akibat lain. Satochid Kartanegara memberikan contoh sebagai berikut: A berkehendak untuk membunuh B. Dengan membawa senjata api, A menuju ke rumah B. Akan tetapi, ternyata setelah sampai di rumah B, C berdiri di depan B. Karena rasa marah, walaupun ia tahu bahwa C yang berdiri di depan B, A tetap melepaskan tembakan. Peluru yang ditembakkan oleh A pertama-tama mengenai C dan kemudia B, hingga C dan B mati.

Dalam hal ini, opzet A terhadap B adalah kesengajaan sebagai maksud (oogmerk), sedangkan terhadap C adalah kesengajaan dengan keinsafan pasti.

3) Kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus eventualis)

(18)

akibat tertentu. Akan tetapi, si pelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh undang-undang. Contohnya yaitu dalam kasus kue tar di kota Hoorn.

b) Unsur Objektif

Yaitu unsur dari luar diri pelaku, terdiri atas: 1) Perbuatan manusia, berupa:

a. act, yaitu perbuatan aktif atau perbuatan positif,

b. omission, yaitu perbuatan pasif atau perbuatan negatif, seperti mendiamkan atau membiarkan.

2) Akibat (result) perbuatan manusia

Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya.

3) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum

Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum, yakni berkenaan degan larangan atau perintah.

Semua unsur tindak pidana yang telah diuraikan tersebut merupakan satu kesatuan. Salah satu unsur saja tidak terbukti, dapat menyebabkan terdakwa dibebaskan dari pengadilan.

(19)

Kekerasan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, berarti sifat atau hal yang keras, kekuatan dan paksaan kekerasan dilukiskan sebagai serangan atau penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang; atau serangan, penghancuran, pengrusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas atas milik atau sesuatu yang sangat potensial dapat menjadi milik seseorang27

Kekerasan menurut Zakariah Idris adalah “Perihal yang berciri atau bersifat keras dan atau perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.”

.

28

Menurut Mansour Faqih, kata “kekerasan” merupakan padanan dari kata “violence” dalam bahasa Inggris, meskipun keduanya memiliki konsep yang berbeda.

Menurut penjelasan ini, kekerasan itu merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit, atau penderitaan pada orang lain. Salah satu unsur penting yang harus ada berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak adanya persetujuan dari pihak lain yang dilukai. Pemaksaan dapat berbentuk pemaksaan persuasif dan pemaksaan fisik atau gabungan keduanya. Kemudian pemaksaan berarti bahwa terjadi pelecehan terhadap kehendak pihak lain, yang mengalami pelecehan hak-haknya secara total, eksistensinya sebagai manusia dengan akal, rasa, kehendak dan integritas tubuhnya tidak dipedulikan lagi.

27

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hal.

425.

(20)

Kata “violence” diartikan disini sebagai suatu serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integrrasi mental psikologis seseorang. Sedangkan kata kekerasan dalam bahasa Indonesia umumnya dipahami hanya menyangkut serangan fisik belaka.29

WHO (World Health Organization) juga memberikan pemaparan mengenai kerugian psikologis yang sama dalam pengertian kekerasan yaitu penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.

Pandangan Mansour Faqiih itu menunjuk pengertian fisik maupun psikologis. Hanya saja titik tekannya pada bentuk penyerangan secara fisik seperti melukai atau menimbulkan luka, cacat atau ketidaknormalan pada fisik-fisik tertentu.

30

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak memberikan pengertian yang otentik tentang apa yang dimaksudkan dengan kekerasan. Hanya dalam Pasal 89 KUHP disebutkan bahwa yang disamakan dengan melakukan kekerasan itu adalah “Membuat orang pingsan atau tidak berdaya”.

31

29

Abdul Wahid, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, PT. Refika Aditama,

Bandung, 2001, hal. 31.

30

Bagong. S, dkk., Tindak Kekerasan Mengintai Anak-anak Jatim, Lutfansah Mediatama,

Surabaya, 2000, hal. 13.

31

R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Acara Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus,

(21)

Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya. Yang disamakan dengan kekerasan menurut pasal ini adalah membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya.32

1. Kejahatan terhadap nyawa orang lain Pasal (338-350 KUHP)

Kejahatan kekerasan di dalam KUHP pengaturannya tidak disatukan dalam satu bab khusus, akan tetapi terpisah-pisah dalam bab tertentu. Di dalam KUHP, kejahatan kekerasan dapat digolongkan sebagai berikut:

2. Kejahatan penganiayaan (Pasal 351-358 KUHP)

3. Kejahatan seperti pencurian, penodongan, perampokan (Pasal 365 KUHP) 4. Kejahatan terhadap kesusilaan (Pasal 285 KUHP)

5. Kejahatan yang menyebabkan kematian atau luka karena kealpaan (Pasal 359-367 KUHP)

Mengenai kejahatan kekerasan ini diatur dalam Pasal 170 KUHP yang menjelaskan bahwa:

1. Barangsiapa secara terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

2. Yang bersalah diancam

Ke-1. Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka.

Ke-2. Dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat.

32

(22)

Ke-3. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.

3. Pasal 89 tidak berlaku bagi pasal ini.

Menurut Martin R. Haskel dan Lewis Yablonski, pola-pola kekerasan terdapat dalam empat kategori yang mencakup hampir semua pola-pola kekerasan yakni:

1. Kekerasan legal

Kekerasan ini dapat berupa kekerasan yang didukung oleh hukum, misalnya tentara yang melakukan tugas dalam peperangan.

2. Kekerasan yang secara sosial memperoleh sanksi

Suatu faktor penting dalam menganalisa kekerasan adalah tingkat dukungan atau sanksi sosial terhadapnya. Misalnya: tindakan kekerasan seorang suami atas pezina akan memperoleh dukungan sosial.

3. Kekerasan rasional

Beberapa tindakan kekerasan yang tidak legal akan tetapi tidak ada sanksi sosialnya adalah kejahatan yang dipandang rasional dalam konteks kejahatan. Misalnya: pembunuhan dalam kerangka suatu kejahatan terorganisasi, tentang jenis kejahatan ini dikatakan bahwa orang-orang yang terlibat dalam pekerjaannya pada kejahatan terorganisasi yaitu dalam kegiatan-kegiatan seperti perjudian, pelacuran, serta lalu lintas narkotika secara tradisional menggunakan kekerasan untuk mencapai hasil lebih daripada orang-orang yang ada di lingkungan tersebut.

(23)

Kekerasan yang tidak berperasaan disebut juga sebagai “irrational violence”, yang terjad tanpa adanya provokasi terlebih dahulu, tanpa memperlihatkan motibasi tertetu dan pada umumnya korban tidak dikenal oleh pelakunya. Dapat digolongkan kedalamnya adalah apa yang dinamakan “raw violence” yang merupaka ekspresi langsung dari gangguan psikis seseorang dalam saat tertentu kehidupannya.33

3. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia

.

a. Pengertian Kepolisian

Polisi berasal dari kata Yunani yaitu Politeia. Kata ini pada mulanya dipergunakan untuk menyebut “orang yang menjadi warga negara dari kota Athena”, kemudian seiring berjalannya waktu pengertian itu berkembang luas menjadi “kota” dan dipakai untuk menyebut “semua usaha kota” dalam konteks bagian dari suatu pemerintahan.

Sesuai dengan Kamus Umum Bahasa Indonesia, arti kata polisi adalah:

“Suatu badan yang bertugas memelihara keamanan, ketentraman dan ketertiban umum (menangkap orang yang melanggar hukum), merupakan

suatu anggota badan pemerintah (pegawai Negara yang bertuas menjaga keamanan dan ketertiban).”34

33

Mulyana W. Kusuma, Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan-Kejahatan Kekerasan,

Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 25-26.

34

W.J.S. Poerwadarminta, Op.cit, hal. 763.

(24)

1. Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang pengertian dari Kepolisian, Penulis akan memaparkan beberapa pendapat ahli antara lain:

Menurut Van Vollenhoven, istilah polisi didefinisikan sebagai “Organ dan fungsi, yakni sebagai organ pemerintahan dengan tugas mengawasi, jika perlu menggunakan paksaan supaya yang diperintah menjalankan dan tidak melakukan larangan-larangan perintah. 35

Menurut Sadjijono, polisi dan kepolisian memiliki arti yang berbeda dimana istilah polisi adalah sebagai organ atau lembaga pemerintahan yang ada dalam negara, sedangkan istilah kepolisian adalah sebagai organ dan sebagai fungsi. Sebagai organ yaitu suatu lembaga pemerintahan yang terorganisasi dan terstruktur dalam organisasi negara. Sedangkan sebagai fungsi, yakni tugas dan wewenang serta tanggung jawab lembaga atas kuasa undang-undang untuk menyelenggarakan fungsinya, antara lain pemeliharaan keamanan, ketertiban masyarakat, penegak hukum, pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. 36

Robert R. Friedmann menyatakan bahwa sebenarnya disepakati atau tidak, polisi adalah pekerja sosial berseragam. Tidak dapat disangkal bahwa mereka

35

Sadjijono, Memahami Hukum Kepolisian, PT. Laksbang Presindo, Yogyakarta, 2010, hal.

3.

36

(25)

menyediakan sesuatu yang dalam arti luas dapat disebut sebagai pelayanan sosial yang menjadi tanggung jawab mereka. 37

Pada dasarnya polisi dihadapkan kepada suatu situasi konflik dan polisi bertugas untuk mengambil keputusan. Apabila pada akhirnya polisi bertindak, maka pada saat tersebut polisi telah melakukan sesuatu yang menguntungkan atau melindungi salah satu pihak dalam konflik, tetap dengan melawan, mengalahkan atau “merugikan” pihak yang lain. 38

b. Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia

1. Jaman Kerajaan

Pada zaman Kerajaan Majapahit patih Gajah Mada membentuk pasukan pengamanan yang disebut dengan Bhayangkara yang bertugas melindungi raja dan kerajaan.

2. Masa Kolonial Belanda

Pada masa kolonial Belanda, pembentukan pasukan keamanan diawali oleh pembentukan pasukan-pasukan jaga yang diambil dari orang-orang pribumi untuk menjaga aset dan kekayaan orang-orang Eropa di Hindia Belanda pada waktu itu. Pada tahun 1867 sejumlah warga Eropa di Semarang, merekrut 78 orang pribumi untuk menjaga kemanan mereka.

37

Robert R. Friedmann, Kegiatan Polisi Dalam Pembinaan Keamanan dan Ketertiban

Masyarakat Perbandingan Perspektif dan Prospeknya, PT. Cipta Manunggal, Jakarta, 1998, hal. 83

38

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,

(26)

Wewenang operasional kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts politie dipertanggungjawwabkan pada procureur general (jaksa agung). Pada masa Hindia Belanda terdapat bermacam-macam bentuk kepolisia, seperti veld politie (polisi lapangan), stands politie (polisi kota), culture politie (polisi pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja), dan lain-lain.

Sejalan dengan administrasi negara waktu itu, pada kepolisian juga diterapkan pembedaa jabatan bagi bangsa Belanda dan pribumi. Pada dasarnya pribumi tidak diperkenankan menjabat hood agent (bintara),

inspekteur van politie, dan commisaris van politie. 39

3. Masa Pendudukan Jepang

Untuk pribumi selama menjadi agen polisi diciptakan jabatan seperti mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi.

Kepolisian modern Hindia Belanda yang dibentuk antara tahun 1897-1920 adalah merupakan cikal bakal dari terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pada masa ini Jepang membagi wilayah kepolisian Indonesia menjadi Kepolisian Jawad an Madura yang berpusat di Jakarta, Kepolisian Sumatera yang berpusat di Bukit Tinggi, Kepolisian wilayah Indonesia Timur berpusat di Makassar dan Kepolisian Kalimantan yang berpusat di Banjarmasin.

39

Diakses darihttps://www.polri.go.id/pdf/Sejarah%20Polri.pdf, diakses pada tanggal 18 Mei

(27)

Tiap-tiap kantor polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian bangsa Indonesia, tetapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang yang disebut sidookaan yang dalam prakteknya lebih berkuasa dari kepala polisi.

4. Masa Pra Kemerdekaan dan UUD 1945 (Tahun 1945-1949)

Dengan proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, maka Negara akan mengatur diri sendiri sesuai dengan Undang-undang Dasar yang disahkan sehari sesudah kemerdekaannya diumumkan. 40 Presiden Soekarno mengeluarkan peritah agar semua pegawai negeri Indonesia tidak lagi menaati pejabat-pejabat Jepang melainkan hanya menaati pemerintah Republik Indonesia. 41

Dalam rangka pengaturan lembaga-lembaga pemerintahan yang baru, pada tanggal 19 Agustus 1945, PPKI menempatkan kepolisian sebagai bagian dari Kementrian Dalam Negeri RI seperti dalam masa pendudukan jepang. 42

Status kepolisian ditentukan dengan Maklumat Pemerintah pada 1 Oktober 1945 yaitu dua bulan sesudah Proklamasi dimana dinyatakan bahwa kedudukan polisi tetap berada dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri.

43

40

Anton Tabah, Membangun Polri yang Kuat (Belajar dari Macan-Macan Asia), Mitra

Hardhasuma, Jakarta, 2002, hal. 21

41

Bachtiar W. Harsya, Ilmu Kepolisian: Suatu Cabang Ilmu yang Baru, Gramedia, Jakarta,

1994, hal. 45.

42

Ibid.

43

Momo Kelana, Memahami Undang-undang Kepolisian No. 2 Tahun 2002, PTIK, Jakarta,

(28)

Tidak lama setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, Pemeritah Pendudukan Jepang membubarka tantara Pembela Tanah Air (PETA) dan Heiho. Namun demikian polisi dibiarkan tetap melaksanakan tugasnya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. 44

Pada tanggal 1 Juli 1946, berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 11/S.D/1946, Kepolisian beralih status menjadi jawatan tersendiri. Penetapan Pemerintah tersebut menjadikan kedudukan POLRI setingkat dengan Departemen dan kedudukan Kepala Kepolisian Negara (KKN) setingkat dengan Menteri. Dengan ketetapan itu, pemerintah mengharapkan agar kepolisian dapat berkembang lebih baik dan merintis hubungan vertical sampai ke kecamatan-kecamatan. Peristiwa pengalihan status kepolisian dari Departemen Dalam Negeri oleh pihak kepolisian dianggap penting sehingga setiap tanggal 1 Juli diperingati sebagai hari kepolisian. 45

5. Masa Konstitusi RIS (Tahun 1949-1950)

Pada masa ini pemerintah Kerajaan Belanda akhirnya dengan terpaksa mengakui kedaulatan Negara Indonesia. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1950 Dienet der Algemeene Politie in Nederlandsch-Indie (Dinas Polisi Umum di Hindia Belanda) diambil alih oleh pejabat-pejabat Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Kepala Kepolisian Negara Republik

44

Hadiman RS Soekanto, Melalui Spiritual Membangun Kepolisian yang Profesioinal,

Dutarindo, Jakarta, 1999, hal. 37

45

Anonimus, R. Soerbarkah Tokoh Pendidikan Polisi Republik Indonesia, Dinas Sejarah

(29)

Indonesia, R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Serikat. 46

1. Restra sewakottama (abdi utama daripada nusa dan bangsa);

Keterangan mengenai status kepolisian pada masa ini dinyatakan dalam Pasal 130 Undang-undang Dasar Sementara RI Tahun 1950, yaitu:

“Untuk memelihara ketertiban dan keamanan umum diadakan alat kekuasaan kepolisian yang diatur dalam undang-undang.”

Pasal 130 UUDS tahun 1950 merupakan fakta yang sangat penting dalam perjuangan kepolisian Indonesia, karena baru pertama kali di dalam sejarah Indonesia rumusan tugas Kepolisian diatur secara konstitusional dalam Undang-undang Dasar Negara. Dan dengan rumusan tugas polisi dalam Pasal 130 UUDS Tahun 1950 dalam Bab III bagian IV tentang “Pertahanan Negara dan Keamanan Umum”, nampak adanya pemikiran modern yang mengelompokkan tugas polisi dalam kesatuan tugas Pertahanan/Keamanan Negara.

Sebagai pedoman hidup anggota-anggota Kepolisian Republik Indonesia dan juga sebagai kode etik progesi Kepolisian di Indonesia, pada tanggal 1 Juli 1956 diresmikan oleh Kepala Negara “Tribata” yang mengatakan “Polisi” itu adalah:

2. Negara Yanotama (warga negara utama dari pada Negara);

46

(30)

3. Yana Anucasanadharma (wajib menjaga ketertiban pribadi daripada rakyat).

6. Kembali ke UUD 1945 (Tahun 1959-1966 / Orde Lama)

Tanggal 5 Juli 1959 Ir. Soekarno sebagai Presiden RI menetapkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante dan kembali berlakunya Undang-undang Dasar 1945. Pemerintahan didasarkan atas sistem kabinet Presidensial denga para Menteri sebagai pembantu Presiden yang bertanggungjawab kepada Presiden. Dalam kabinet ini, yang dilantik pada tanggal 1 Juli 1959, R.S. Soekanto Tjokroadiatmodjo memperoleh kedudukan sebagai Menteri Muda Kepolisian RI bersama dengan Menteri Muda Pertahanan, Menteri Muda Kehakiman dan Menteri Muda Veteran, mereka merupakan Menteri muda dalam bidang Pertahanan Keamanan. 47

Pada tanggal 30 Juni 1962 disahkan Undang-undang No. 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian Negara yang menyatakan bahwa Kepolisian Negara merupakan “alat Negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan di dalam negeri” dan dalam menjalankan tugasnya selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum Negara”. 48

7. Masa Orde Baru (Tahun 1966-1998)

47

Anton Tabah, Op. cit, hal. 25.

48

(31)

Dalam perjuangan Orde Baru demi melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen maka tanggal 1 Juni 1969 dikeluarkan Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1969 yang bertujuan lebih meningkatkan pelaksanaan tugas pokok Kepolisian Republik Indonesia dalam rangka menormalisasi keadaan dan fungsionalisasi semua aparatur Pemerintah dan Angkatan-angkatan Bersenjata Republik Indonesia pasca G30SPKI. 49

Pada pokoknya Keppres teresebut menegaskan sebutan, kedudukan dan tanggung jawab Kepolisian Republik Indonesia yang sederajat dengan Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara sebagai unsur Angkatan Bersenjata dalam Departemen Pertahanan dan Keamanan. 50

1. Spesifikasi Penelitian

Pada tanggal 1 Juli 1968, Presiden Soeharto dalam pidatonya pada peringatan Hari Bhayangkari menyatakan agar polisi kembali kepada fungsinya sebagai kepolisian. Oleh sebab itu, sejak 27 Juni 1969 nama Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKRI) yang mencerminkan sifat kemiliteran diubah menjadi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

F. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam mengerjakan skripsi ini meliputi:

49

Ibid, hal. 138

50

(32)

Dalam penulisan skripsi ini, metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (normative law research) yaitu penelitian yang menggunakan studi kasus hukum normatif berupa produk perilaku hukum. Dimana pokok kajian penelitiannya adalah hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang. Maka dari itu penelitian ini berfokus pada inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Pengertian dari data sekunder menurut Sugiono adalah “Sumber data yang tidak langsung membertikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen”.51

a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yaitu berupa peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Data sekunder diperoleh dari:

51

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2013,

(33)

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang tindak pidana kekerasan yang dilakukan penyidik terhadap anak yang berkonflik dengan hukum meliputi kasus dari Pengadilan Negeri Samarinda (Putusan No. 628/Pid.B/2012/Pn.Smda), Pengadilan Tinggi Samarinda (Putusan No. 40/Pid/2013/Pt.Kt.Smda), dan Mahkamah Agung (Putusan No. 1309k/Pid.Sus/2013), buku-buku karya ilmiah dan beberapa sumber ilmiah serta sumber internet yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya.

(34)

Untuk mengumpulkan data didalam memecahkan permasalahan skripsi dilakukan dengan studi kepustakaan dilakukan dengan cara menelaah buku-buku karangan ilmiah, dan peraturan perundang-undanga yang ada hubungannya dengan permasalahan pada skripsi ini. Selain itu studi juga diarahkan terhadap artikel ilmiah yang dimuat di media massa internet. 4. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan mempelajari serta memahami data yang ada dan selanjutnya dianalisis untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terbagi menjadi 5 (lima) bab yaitu: BAB I. PENDAHULUAN

(35)

BAB II. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM PEMERIKSAAN DI TINGKAT KEPOLISIAN

Bab ini memberikan uraian mengenai bagaimana perlindungan hukum terhadap anak dan hak-hak anak yang harus dilindungi, termasuk juga perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik denga hukum dalam proses pemeriksaan di tingkat kepolisian dan wewenang kepolisian dalam pemeriksaan tersangka dalam Hukum Positif di Indonesia, baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian.

BAB III. PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TERHADAP POLISI YANG MELAKUKAN KEKERASAN DALAM PEMERIKSAAN DI TINGKAT KEPOLISIAN DALAM

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI NO. 628/PID.B/2012/PN.SMDA, PUTUSAN PT NO. 40/PID/2013/PT.KT.SMDA, DAN PUTUSAN MA NO. 1309K/PID.SUS/2013)

(36)

628/Pid.B/2012/Pn.Smda, Putusan PT No. 40/Pid/2013/Pt.Kt.Smda, dan Putusan MA No. 1309k/Pid.Sus/2013).

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Referensi

Dokumen terkait

Adapun referensi lain mengatakan waktu yang baik dalam memulai pemberian MP–ASI pada bayi adalah umur 6 bulan. Pemberian makanan pendamping pada bayi sebelum umur tersebut

Pada metode antopometri kita kenal dengan Indeks Antropometri. Indeks antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi dari beberapa parameter

mengemukakan pendapat di depan umum secara sistematis dan menghargai pendapat yang lain. Memerlukan waktu yang lama. 6 Menanamkan rasa persatuan dan solidaritas tinggi

Hal ini dikarenakan perhitungan Ecological Footprint berdasarkan data tahunan yang telah berlalu, dan tidak dapat benar-benar tepat mengukur kemampuan daya dukung lingkungan hidup

Maka hal yang harus di lakukan adalah mencari informasi sebanyak mungkin mengenai profil perusahaan tersebut bisa melalui media search engine, yellowpages, forum atau referensi

Kelengkapan dan kualitas bahan koordinasi, mutasi pegawai, analisis jabatan, analisis kinerja organisasi, analisis beban kerja, administrasi jabatan fungsional,

Berbagai rangkaian sepanjang tahun telah terjadi konflik dualisme antara gerakan pro integerasi dengan pro kemerdekaan yang didasari karena adanya berbeda kepentingan dari

konvensional suhu rata-rata total dari hasil pengamatan 32º C, dan pada dalam ruang bangunan dengan dinding menggunakan batako pemanfaatan sabut kelapa suhu