• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN 10.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN 10.1 Latar Belakang"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

16 BAB 1

PENDAHULUAN 10.1 Latar Belakang

Masjid adalah tempat ibadah umat muslim, masjid berarti tempat sujud. Kata masjid ( َ ﻣ ﺪِﺠْﺴ ) adalah isim makan bentukan kata yang bermakna tempat sujud. Sedangkan masjad (ﺪَﺠْﺴَﻣ) adalah isim zaman yang bermakna waktu sujud. Yang dimaksud dengan tempat sujud sesungguhnya adalah shalat, namun kata sujud yang digunakan untuk mewakili shalat, lantaran posisi yang paling agung dalam shalat adalah posisi bersujud. Menurut An-Nasafi dalam kitab tafsirnya bahwa definisi masjid adalah Rumah yang dibangun khusus untuk shalat dan beribadah di dalamnya kepada Allah. Menurut Al-Qadhi Iyadh mendefinisikan bahwa masjid adalah Semua tempat di muka bumi yang memungkinkan untuk menyembah dan bersujud kepada Allah.

Masjid merupakan bagian dari perkembangan Islam di Indonesia. Lahirnya bangunan-bangunan masjid sepanjang sejarah perkembangannya, sesuai dengan sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Makna dan fungsi masjid sebagai bangunan sebagai bagian dari perkembangan Islam di Indonesia dapat dilihat dari bentuk dan karakteristik bangunan masjid tersebut.

Bangunan masjid tua di Indonesia memiliki ruang bujur sangkar atau bersegi panjang menyerupai bangunan joglo. Bangunan luar tampak tertutup dengan atap berbentuk limas tunggal atau bersusun yang biasanya berjumlah ganjil. Menurut (Pijper, 1984), pada awalnya masjid di Indonesia mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu berdenah persegi panjang. Mempunyai serambi depan atau di samping ruang utama, mempunyai mihrab di sisi barat, mempunyai pagar keliling dengan satu pintu dan beratap tumpang.

Islam di pulau Jawa mempunyai bentuk masjid tersendiri, yaitu tipe asli Jawa. Bangunan masjid tipe Jawa mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) denahnya berbentuk persegi (bujur sangkar), (2) terletak di atas fundamen yang masif dan tinggi, (3) mempunyai atap tumpang, (4) selalu tersusun 2 sampai 5

(3)

17 tingkat, semakin ke atas semakin kecil, (5) petunjuk ke arah kiblat ditandai dengan mihrab, (6) mempunyai beranda atau serambi, kadang di muka atau di samping kanan kirinya, (7) di luar masjid dikelilingi oleh tembok dengan gapura. (GF Pijper dalam Ischak, M., 1996).

Masuknya Islam sebagai sebuah ajaran baru perlahan mempengaruhi kebudayaan dan kebiasaan masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta. Wali Songo, utamanya Sunan Kalijaga (Raden Said), merupakan tokoh sentral dalam pembentukan masyarakat Islam di Yogyakarta. Keberadaan Wali Songo dalam perkembangan Islam di Indonesia ternyata menjadi catatan penting yang menunjukkan adanya hubungan antara negeri Nusantara dan Kekhilafahan Islamiyah. Wali Songo memberikan pengaruh yang sangat besar kepada kesultanan-kesultanan yang muncul di Indonesia, termasuk Kesultanan Mataram di Yogyakarta.

Terdapat empat komponen yang tak terpisahkan dari sistem tatanan kawasan Kesultanan Mataram di Yogyakarta, yaitu alun-alun, kraton, pasar, dan Masjid. Pembangunan Masjid Agung Yogyakarta (masjid Gedhe Kauman) dibangun untuk menegaskan identitas Keislaman Kesultanan Mataram di Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I bersama Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat (Penghulu Kraton 1) dan Kyai Wiryokusumo. Masjid ini dibangun pada hari Ahad Wage, 29 Mei 1773 M atau 6 Robi’ul Akhir 1187 H, sebagai sarana beribadah bagi keluarga raja serta untuk kelengkapan sebuah Kerajaan Islam. Dalam pembangunannya, masjid merupakan bangunan fisik yang diutamakan. Tercatat ada masjid besar sebagai pusat peribadatan umum umat Islam di ibukota Kerajaan.

Masjid Agung Yogyakarta yang juga sering disebut Masjid Gedhe (artinya sama yaitu masjid besar), terdapat unit kembar di utara dan selatan halaman identik dengan Paseban dalam bangunan Kraton. Untuk menempatkan perangkat dan menabuh gamelan dalam upacara tradisional Garebeg bersama dengan Sekaten. Masjid dan susunan bangunan kembar, gerbang dan pengapitnya juga kembar, membentuk tata-unit sangat kuat sifat simetrisnya bersumbu tegak lurus dengan sumbu utara-selatan dari kompleks Kraton-Gunung Merapi.

(4)

18 Masjid Agung Yogyakarta (Masjid Gedhe Kauman) terletak dalam sebuah Kompleks dikelilingi oleh dinding tinggi, berbeda dengan masjid lain sejaman, biasanya tidak terlalu tinggi. Hal ini kelihatannya mendapat pengaruh Arsitektur Joglo rumah-rumah Arsitektur Jawa.

Keunikan lain dari Masjid Agung Yogyakarta (Masjid Gedhe Kauman) yang tidak terdapat di Masjid sejamannya adalah pada tembok keliling ganda, selain yang tinggi, dalam kompleks terdiri dari unit-unit tersebut diatas, masjid juga dikelilingi lagi oleh dinding, namun tidak tinggi kira-kira setinggi orang dan tidak rapat. Selain pagar, pintu gerbangnya juga ganda. Sebelum masuk ke dalam terdapat unit penerima berupa gang beratap memanjang pada sumbu tengah timur-barat masjid, pada ujung sumbu tengah inilah terdapat pintu gerbang kedua, berbentuk setengah lingkaran di atas, dihias dengan gambar Mahkota Kerajaan, jam dinding yang diapit oleh sayap kembar. Pada sisi setengah lingkaran mempunyai hiasan berpola floral, mirip dengan kuncup melati. Hiasan bunga ini juga menghiasi kepala pilaster-pilaster dari pagar keliling. Pada puncak dari pintu gerbang dalam ini, terdapat bulan sabit, sebelum masuk ke dalam serambi, dahulu terdapat parit tetapi tidak dalam, agar sebelum masuk ke dalam masjid kaki jamaah tercuci.

Arsitektur Masjid Agung Yogyakarta selain mempunyai keunikan-keunikan tersendiri, secara keseluruhan identik dengan masjid-masjid Agung Banten, Demak, Surakarta dan banyak masjid-masjid tidak terlalu besar di Jawa, terdiri dari dua unit utama. Yang pertama melintang segi empat panjang di depan sebelum masuk ke unit utama berdempet langsung dengan ruang sembanyang utama. Tritisan kedua atap, satu dengan lain dihubungkan dengan talang. Dalam susunan tersebut kembali terlihat adanya konsep rumah joglo, unit melintang identik dengan pendopo, namun di sini tidak ada pringgitannya, menempel langsung pada unit sembayang yang utama. Tipe konstruksi identik dengan pendopo ini, dinamakan limasan sinom lambang gantung, mempunyai delapan tiang utama di tengah membentuk segi empat panjang dikelilingi enambelas tiang lainnya sedikit lebih kecil dan pendek. Tiang-tiang tersebut terdiri di atas umpak dari batu gunung seperti lazimnya konstruksi Jawa, semua dihias dengan ukiran

(5)

19 berupa alur-alur dan lengkung-lengkung kaligrafi Arab. Di bagian atas tiang-tiang diikat dengan balok- balok kayu membentuk susunan bujur sangkar, bertumpuk-tumpuk semakin ke atas semakin kecil bagian dari piramida, dalam konstruksi jawa disebut uleng. Uleng yang susunannya juga disebut tumpang-sari, dihias dengan ukiran indah berpola Floral dari prada, dengan latar warna kuning lambang warna emas (Risalah sejarah dan budaya, seri peninggalan sejarah (Yogyakarta, 1979))

Sri Sultan Hamengku Buwono I juga membangun masjid lain sebagai pembatas wilayah ibukota Kerajaan, yaitu Masjid Pathok Negoro. Dalam kamus Baoesastra Djawa oleh W.J.S. Poerwodarminta, pathok (patok) artinya; 1) sesuatu yang dapat ditancapkan baik berupa kayu, bambu dan lain-lain dengan maksud untuk batas, tanda, dan sebagainya; 2) bersifat tetap tidak dapat ditawar-tawar lagi; 3) tempat para peronda berkumpul; 4) sawah yang pokok, 5) –an artinya angger-angger, paugeran atau aturan; 6) dasar hukum. Adapun nagara berarti negara, kerajaan, atau pemerintahan.

Menurut catatan arsip Kawedanan Reh Pangulon, pathok nagoro merupakan jabatan (abdi dalem) rendah di suatu lembaga peradilan yang diberikan oleh Raja (Sultan) kepada seseorang yang dipercaya mampu menguasai bidang hukum agama Islam atau syariah. Keberadaannya di masyarakat adalah sebagai tokoh panutan, sebagai kepanjangan aturan raja yang memerintah negari (keprajan) Yogyakarta. Walaupun jabatan rendah, abdi dalem pathok nagoro mempunyai peranan penting dalam pemerintahan saat itu, karena langsung berhadapan dengan masyarakat yang penuh dengan berbagai macam permasalahan. Sesuai dengan peranan dan tugasnya yang menyangkut kehidupan masyarakat kasultanan berdasarkan agama pada masa itu, maka abdi dalem pathok nagara pembantu penghulu hakim harus membekali dirinya dengan pengetahuan agama. Ia mempunyai kewajiban mencerdaskan masyarakat di bidang kehidupan beragama dan bermasyarakat.

Masjid Pathok Negoro, berfungsi sebagai batas negara. dapat berarti sebagai aturan (yang dianut oleh) negara atau dasar hukum negara. Hal ini dapat dipahami dari contoh kata ‘‘angger’’ yang berkaitan erat dengan hukum. Pada

(6)

20 masa itu ada kitab Angger Sepuluh atau Angger Sedasa. Kitab ini merupakan undang-undang yang mengatur adminstrasi dan agraria, demikian juga serat angger-angger yang lain. Dengan demikian bisa dipahami bahwa aturan yang dianut sebagai dasar negara (dalam hal ini Kesultanan Yogyakarta) adalah aturan Islam.

Keempat masjid Pathok Negoro dibangun pada kurun 1723-1819, ketika Sri Sultan Hamengku Buwono I bertahta. Sedangkan Masjid yang berada di Wonokromo baru didirikan pada era Sultan Hamengku Buwono IV (1814-1823), meskipun gagasannya sudah dicetuskan sejak masa Sultan Hamengku Buwono I.

Konsep Masjid Pathok Negoro berasal dari gagasan Kyai Fakih kepada Sultan Hamengku Buwono I. Kyai Fakih menyarankan agar Sultan Hamengku Buwono I, melantik orang-orang yang dapat menuntun akhlak, yang kemudian diberi tanah perdikan (dibebaskan dar pajak) dan masing-masing tanah itu didirikan masjid sebagai penanda pathok Negoro.

Dalam arsip Kraton yang tersimpan di Perpustakaan Widyabudaya, Sultan Hamengku Buwono I, kemudian menempatkan pathok nagoro abdi dalem Kawedanan Pangulon Kasultanan Yogyakarta di Mlangi Kabupaten Sleman (barat), Plosokuning Kabupaten Sleman (utara), Dongkelan Kabupaten Bantul (selatan) dan Babadan Yogyakarta (timur).

Cikal bakal Masjid Pathok Negoro dibangun di tempat Kyai Fakih bermukim, yakni di Wonokromo yang terletak di tepi muara Sungai Opak dan Sungai Oyo. Masjid Sederhana, bangunan induk berbentuk kerucut, dengan mustaka dari kuwali yang terbuat dari tanah liat. Sedangkan serambi berbentuk Limasan dengan satu pintu depan. Semua bahan bangunannya dari bambu, atapnya terbuat dari welit, dan dindingnya dari gedhek. Kemudian Masjid itu diberi nama “Wa Ana Karoma” yang artinya “supaya benar-benar mulia”.

Berawal dari gagasan awal Kyai Fakih tersebut, maka secara berurutan dibangunlah masjid-masjid lain sebagai penanda Batas wilayah Ibukota Kesultanan Yogyakarta, tempat dimana para Pathok Negoro ditempatkan. Masjid-masjid tersebut adalah, Masjid Jami’ An-nur di Mlangi di bagian Barat, Masjid Jami’ Sultoni Plosokuning di Utara, Masjid Ad-Darojat Babadan di sebelah Timur,

(7)

21 dan Masjid Nurul Huda Dongkelan di Bagian Selatan.

Empat Masjid Pathok Negoro yang ditempatkan di empat penjuru mata angin dengan masjid Agung Yogyakarta (Masjid Gedhe Kauman) sebagai porosnya. “empat pathok kiblat papat lima Pancer”. Tidak hanya menempatkan Masjid Agung Yogyakarta (Masjid Gedhe Kauman) sebagai poros, Masjid Pathok Negoro secara visual memiliki karakteristik Arsitektur seperti masjid Agung Yogyakarta (Masjid Gedhe Kauman).

Masjid Pathok Negoro sebagai simbol eksistensi perkembangan Islam di Kasultanan Mataram di Yogyakarta memiliki nilai historik yang menonjol di Yogyakarta. Ditemukan pula beberapa penelitian tentang masjid Pathok Negoro. Penelitian tersebut yaitu tesis dari (Indrayadi, 2006) yang mengangkat judul Kajian Kenyamanan Termal Dalam Ruang Masjid Pathok Negoro Yogyakarta. Fokus penelitian ini lebih pada menemukan kenyamanan thermal pada masjid pathok negoro. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Widiyastuti, tentang Fungsi, Latar belakang dan peranan Masjid Pathok Negoro Kasunanan Yogyakarta. Pada penelitian ini fokusnya adalah Pemahaman Masjid yang memiliki nilai edukasi, religi, dan filosofi. Dan Makna setting masjid kerajaan terhadap kota kerajaan.

Kemudian pada tahun 2012, dengan adanya Keistimewaan Yogyakarta, Yaitu ditetapkannya Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta, Pihak Keraton menginstruksikan Masjid Pathok Negoro Jami’ An-nur Mlangi untuk dikembalikan ke bentuk semula (asli).

Upaya Keraton untuk mengembalikan bentuk Masjid-Masjid pathok Negoro ke bentuk semula menimbulkan pertanyaan tentang apa yang melandasi pengembalian bentuk masjid Pathok Negoro ke Bentuk Aslinya. Keterkaitan Masjid Agung Yogyakarta dan Masjid-Masjid Pathok Negoro sebagai grand desain Sultan Hamengkubuwono I dalam pertahanan keamanan, wilayah, sosial, masyarakat dan keagamaaan, juga menjadi landasan kuat untuk mengetahui fungsi, bentuk, ruang dan teknik pada masjid Pathok Negoro dikaitkan dengan ide-ide dan konsep pendirian Masjid Pathok Negoro oleh Sri Sultan Hamengkubuwo I.

(8)

22 Memperhatikan gambaran umum dari upaya Keraton Yogyakarta terhadap kelestarian masjid pathok Negoro, keterkaitan Masjid Pathok Negoro dengan pertahanan keamanan, wilayah, sosial, masyarakat dan keagamaan Daerah Istimewa Yogyakarta serta penelitian-penelitian terdahulu tersebut, perlu adanya upaya penelitian dan pengkajian mengenai Arsitektur Masjid Pathok Negoro. Diharapkan dengan adanya pengkajian tentang Arsitektur Masjid Pathok Negoro, dapat menghasilkan pemikiran yang berlandaskan pemahaman nilai dan karakteristik Arsitektur Masjid Pathok Negoro.

10.2 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang penelitian dan rumusan masalah diatas, maka dalam penelitian ini dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

a. Karakteristik dan konsep apa yang melekat pada Masjid-Masjid Pathok Negoro dilihat dari aspek fungsi, bentuk, ruang, dan teknik dari saat pendirian Bangunan Masjid hingga saat ini?

b. Faktor-Faktor apa yang mempengaruhi pembentukan karakteristik dan konsep Masjid-Masjid Pathok Negoro dilihat dari pengaruh nilai budaya Masyarakat Yogyakarta dari saat pendirian Bangunan Masjid hingga saat ini?

c. Apa kesamaan dan perbedaan Arsitektur dari ke empat Masjid Pathok Negoro?

10.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengenali filosofi, konsep, dan prinsip-prinsip bangunan Masjid Pathok Negoro dilihat dari aspek fungsi, bentuk, ruang, dan tekniknya, sehingga dapat diketahui keterkaitan ide-ide pendirian Masjid Pathok Negoro oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I dengan keadaan Masjid Pathok Negoro pada saat ini.

10.4 Batasan Penelitian

Batasan Penelitian Ini dijabarkan agar objek penelitian lebih terfokus. Penelitian yang akan dilakukan dapat dijelaskan sebagai berikut :

(9)

23  Objek Penelitian merupakan bangunan masjid yang termasuk dalam

konsep masjid Pathok Negoro. Yaitu 4 Masjid yang terdiri dari Masjid Jami’ An-nur di Mlangi di bagian Barat, Masjid Jami’ Sultoni Plosokuning di Utara, Masjid Ad-Darojat Babadan di sebelah Timur, dan Masjid Nurul Huda Dongkelan di Bagian Selatan.

 Fokus penelitian adalah aspek fungsi, bentuk, ruang, dan teknik, yang membentuk karakteristik Arsitektur Masjid Pathok Negoro. Kemudian Mengkategorikan persamaan dan perbedaan dari aspek-aspek tersebut sehingga dapat diketahui Kesamaan arsitektur dari keempat Masjid tersebut. aspek fungsi, bentuk, ruang, dan teknik, dilihat pada saat ini (saat survey dilakukan). Kemudian Aspek-aspek fungsi, bentuk, ruang dan teknik tersebut dikaitkan dengan ide-ide yang mendasari pendirian masjid Pathok Negoro, untuk dapat diketahui sejauh mana aspek-aspek yang masih kuat dipertahankan dan yang sudah hilang.

 Kemudian Aspek kebudayaan masyarakat Yogyakarta digunakan sebagai pendukung dalam menemukan sejauh mana kebudayaan masyarakat mempengaruhi karakteristik Masjid Pathok Negoro. Aspek Budaya yang dimaksud disini adalah sistem religi dan sistem sosial masyarakat(organisasi) Masyarakat Yogyakarta.

10.5 Manfaat Penelitian

a. Dapat mendokumentasikan bangunan Masjid Pathok Negoro yang memiliki nilai Historik bagi perkembangan Islam di Yogyakarta.

b. Dengan mengetahui Karakteristik yang melekat pada Masjid-Masjid Pathok Negoro yang ada, akan diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi konsep dari Karakteristik Arsitektur masjid Pathok Negoro, dan akan diketahui pula bagaimana kebudayaan di Yogyakarta mempengaruhi arsitektur Masjid Pathok Negoro, serta mengetahui pentingnya melindungi eksistensi bangunan masjid Pathok Negoro tersebut.

(10)

24 10.6 Penelitian terdahulu

Tabel 1.1 Tabel penelitian terdahulu

No Nama Judul Lokus Fokus Metode Hasil

1 Ade Ira (2003) Karakter Bangunan Masjid, Studi persepsi visual pada 6 masjid di Yogyakarta 6 masjid di Yogyakarta Studi Karakter Bangunan Menggali persepsi mahasiswa desain terhadap karakter 6 masjid di Yogyakarta, kemudian hasilnya dianalisis statistik. ditemukan makna karakter masjid di Yogyakarta. Dirumuskan tentang penanda masjid bagi mahasiswa desain. Terdapat persamaan dan perbedaan karakter bangunan pada masing-masing bangunan masjid. 2 Zohan Effendhy (2006) Interelasi Ekspresi Arsitektur Masjid dengan Budaya Jawa Masjiid Agung Yogyakarta Ekspresi Arsitektur Masjid Rasionalistik- kualitatif-deskriptif Hubungan antara ekspresi arsitektur masjid dan budaya dan penyebab terjadinya. 3 Naimatul Ulfa (2009) Karakteristik Masjd Berbasis Budaya Lokal di Kalimantan Selatan Masjid-masjid tradisional di Kalimantan Selatan Penggalian Karakteristi k masjid berdasarkan nilai budaya suku banjar Rasionalistik- kualitatif-deskriptif Masjid tradisional kalimantan memiliki karakteristik yang dipengaruhi budaya lokal suku banjar,

Indrayadi (2006) Kajian Kenyamanan Termal Dalam Ruang Masjid Pathok Negoro Yogyakarta Masjid Pathok Negoro Kajian thermal Kuantitatif Kenyamanan thermal pada masjid pathok negoro Widyastuti (1995) Fungsi, Latar belakang dan peranan Masjid Pathok Negoro Kasunanan Yogyakarta Masjid Pathok Negoro Antropolog i Budaya Kualitatif Pemahaman Masjid yang memiliki nilai edukasi, religi, dan filosofi. Dan Makna setting masjid kerajaan terhadap kota kerajaan. Sumber : analisis, 2014

Lokus penelitian ini adalah masjid-masjid pathok negoro. Sedangkan fokus penelitian ini adalah mengkaji Karakteristik yang melekat pada Masjid-Masjid Pathok Negoro, kemudian akan diketahui karakter utama masjid pathok negoro, dan akan diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi konsep dari Karakteristik Arsitektur masjid Pathok Negoro dilihat dari pengaruh nilai budaya Yogyakarta.

(11)

25 Meski berbeda lokus maupun fokus, penelitian ini sejenis dengan beberapa penelitian lain yang juga meneliti tentang arsitektur, karakter masjid yaitu penelitian (Ulfa, 2009) yang mengangkat tentang Karakteristik Masjid Berbasis Budaya Lokal di Kalimantan Selatan serta penelitian (Ira, 2003) yang mengangkat tentang Karakter Bangunan Masjid, Studi persepsi visual pada 6 masjid di Yogyakarta. Dari kedua tesis tersebut dapat dipelajari bagaimana merumuskan karakteristik masjid ditinjau dari segi budaya. Sedangkan bagaimana merumuskan Arsitektur masjid dengan kebudayaan Yogyakarta (Jawa) dapat dipelajari dari tesis (Effendhy, 2006) yang mengangkat Interelasi Ekspresi Arsitektur Masjid dengan Budaya Jawa.

Ditemukan pula beberapa penelitian dengan objek yang sama, yaitu masjid pathok negoro. Namun dari fokusnya jauh berbeda. Penelitian tersebut yaitu tesis dari (Indrayadi, 2006) yang mengangkat judul Kajian Kenyamanan Termal Dalam Ruang Masjid Pathok Negoro Yogyakarta. Fokus penelitian ini lebih pada menemukan kenyamanan thermal pada masjid pathok negoro. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh (Widyastuti, 1995), tentang Fungsi, Latar belakang dan peranan Masjid Pathok Negoro Kasultanan Yogyakarta. Pada penelitian ini fokusnya adalah Pemahaman Masjid yang memiliki nilai edukasi, religi, dan filosofi. Dan Makna setting masjid kerajaan terhadap kota kerajaan.

Penelitian tentang arsitektur masjid pathok negoro yang berkaitan dengan pengaruh nilai budaya Yogyakarta. belum ditemukan. Dengan demikian, keaslian penelitian ini terletak pada fokus penelitian.

Gambar

Tabel 1.1 Tabel penelitian terdahulu

Referensi

Dokumen terkait

Pokja ULP pada Dinas Pendidikan Kota Tegal akan melaksanakan Pemilihan Langsung dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan konstruksi secara elektronik sebagai

suhu turun) adalah kunci tata laksana infeksi dengue pada anak. • Pemberian cairan segera dan

Pada hari ini Rabu tanggal dua puluh sembilan bulan Juni tahun dua ribu enam belas (29-06-2016), yang bertandatangan dibawah ini Pokja Pengadaan Kegiatan

Berdasarkan Berita Acara Penetapan Pemenang dari Pokja ULP Kegiatan Pengembangan Dan Pengelolaan Sarana Prasarana Penunjang Jalan Pekerjaan Paket 9 - Pemasangan PAL LPJU

 Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan plasma hebat, dan tidak ada respon pada minimal volume cairan kristaloid yang diberikan.  Volume cairan rumatan

Bank BNI (Persero) berdasarkan penilaian prestasi kerja dalam pengembangan karier, yang dapat dilihat dari jawaban mereka bahwa setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan, dapat

Menimbang bahwa pada dasarnya hadhanah terhadap anak yang belum mumayyiz adalah hak ibunya, sesuai dengan bunyi pasal 105 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, kecuali

Isolasi bakteri endofit daun kemangi (O.basilicum L.)dilakukan dengan metode penanaman langsung dan pemurnian isolat dilakukan dengan menggunakan metode streak