• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat panjang dan sudah dilakukan nenek moyang mereka sejak ribuan bahkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. yang sangat panjang dan sudah dilakukan nenek moyang mereka sejak ribuan bahkan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Keberadaan manusia yang ada pada tempatnya sekarang merupakan proses migrasi yang sangat panjang dan sudah dilakukan nenek moyang mereka sejak ribuan bahkan jutaan tahun silam. Begitu pula orang-orang yang mendiami Asia Tenggara daratan dan kepulauan, pulau-pulau di sekitar lautan Hindia dan Pasifik Selatan yang tidak lain mereka

adalah bangsa Austronesia1, dengan kemampuan navigasi yang baik tidak mengherankan

¼ bagian belahan dunia dihuni oleh mereka. Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang ditemukan, menunjukkan bahwa bangsa Austronesia berasal dari Tiongkok bagian pesisir

tenggara (Devin, 2009:1-2).

Salah satu jalur migrasi yang dilalui bangsa Austronesia ialah Kepulauan Nusantara, Menurut Bridsell, ada dua jalur persebaran bangsa Austronesia di Nusantara, yaitu jalur utara melewati Paparan Sunda di Kalimantan menuju Sulawesi lalu ke Pulau Sula, dari sini terbagi lagi dalam dua jalur, pertama melewati Halmahera, Waigeo dan masuk ke Pulau Irian/Paparan Sahul dan kedua melalui Pulau Buru, Pulau Seram terus masuk ke Paparan

Sahul dan terus menyebar ke Australia. Sedangkan jalur selatan melewati bagian timur

paparan sunda di Bali, melewati pulau Lombok, Sumbawa, Flores, Timor-Timor, Tanibar dan terus ke Paparan Sahul.

1

Istilah Austronesia pertama kali diberikan oleh ahli linguistik untuk menyebut suatu rumpun bahasa yang hampir secara mayoritas dituturkan di Asia Tenggara, kepulauan Micronesia, Melanesia kepulauan dan Polinesia. Tapi pada perkembangan selanjutnya istilah Austronesia juga digunakan untuk menyebut suatu komunitas yang berbudaya Austronesia serta menuturkan bahasa Austronesia. Austronesia sendiri berasal dari kata yunani “austr” artinya selatan dan “nesos” artinya pulau.

(2)

2

Foto 1.1: Peta sebaran Bangsa Austronesia, mulai dari barat di Madagaskar hingga timur di Pulau Paskah dan utara

di Taiwan hingga di selatan New zealand (http://ilovecassava.multiply.com)

Tinggalan budaya bangsa Austronesia yang cukup banyak ditemukan di Nusantara berkaitan dengan kematian yaitu wadah kubur dari kayu, yang ditemukan di beberapa daerah dan salah satunya berada di kepulauan Sulawesi, khususnya dalam wilayah budaya

Toraja2 yang termasuk dalam ras Proto Melayu. Seperti Kabupaten Enrekang misalnya,

memiliki tinggalan wadah kubur kayu, dalam masyarakat setempat disebut Duni3 dan

Mandu4 tetapi benda yang dimaksud pada dasarnya sama, namun dalam tulisan ini menggunakan istilah duni mengingat istilah ini lebih populer.

2 Suku toraja yang dalam hal ini bukan secara wilayah administratif tetapi wilayah budaya toraja, yang

masuk didalamnya kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Enrekang, Kabupaten Mamasa, Kabupaten Mamuju di daerah Kalumpang, Kabupaten Pinrang di Suppirang, Kabupaten Sidrap di Lombok, dan daerah-daerah pegunungan di Kabupaten Luwu (Larompang, Suli, Belopa, Bajo, Padang sappa, Ulu Salu, Kanna, Pantilang, Bua, Lamasi, Batu Sitanduk, Palopo, Seko dan Rongkong) (Fatmawati,2003:5-6).

3 Duni: ialah wadah penguburan orang meninggal, istilah ini digunakan di daerah Kaluppini.

4 Mandu: dapat diartikan sebagai gua, akan tetapi tidak semua gua diartikan sebagai mandu. Gua yang dapat

diartikan sebagai mandu adalah gua yang dijadikan sebagai tempat untuk menyimpan mayat pada masa lampau, namun dalam perkembangan belakangan pengertian mandu mulai mengalami perubahan menjadi sebuah peti kayu yang difungsikan sebagai wadah kubur atau tempat penyimpanan mayat, Istilah ini dikenal hanya di Enrekang pada situs Tonton I dan II, Situs Tumpang di anggeraja, situs To Mila’, Situs Liang Galotok, Situs Liang To Jolo.

(3)

3 Beberapa situs yang ditemukan memiliki duni antara lain di Situs Liang Datu atau yang

biasa disingkat Situs Landatu5, Situs Tonton 1 & Tonton 2, Situs Leoran, Situs yang ada di

Kaluppini dan beberapa situs lainnya. Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui, duni merupakan wadah yang digunakaan sebagai tempat menyimpan mayat dan ditempatkan pada ceruk atau tebing pada bukit karst. Bentuk duni yang banyak ditemukan yaitu bentuk

yang menyerupai perahu6, serta hampir semua situs di Enrekang bentuk wadahnya persegi

empat panjang dengan berbagai varian penutup wadah.

Melihat gejala arkeologis yang disebutkan dan jika dikaitkan dengan wilayah budaya7

ini merupakan sesuatu yang unik, seperti yang diketahui di Tana Toraja (Tondok Lempongan Bulan Matari’ Allo) memiliki banyak tinggalan wadah kubur yang disebut erong seperti pada Situs Kete’kesu, bentuknya menyerupai perahu, rumah adat Toraja

bahkan ada beberapa erong yang ditemukan berbentuk anatomi binatang seperti Kerbau

dan Babi, jika dilihat dari wadahnya mempunyai bentuk segiempat panjang, bulat lonjong atau oval. Di Mamasa pada Situs Buntu Balla dan Paladan, bentuk wadah kuburnya berbentuk persegi empat dan ada juga wadah kubur yang bentuknya hampir dikatakan bulat, besar-besar dan menyerupai anatomi binatang Kerbau serta ada juga wadah yang memadukan bentuk kepala Kerbau dengan kepala Kuda.

Perbedaan-perbedaaan di atas membuat penulis untuk, pertama ingin mengetahui apa yang melatar belakangi perbedaan tersebut dengan mengambil Situs Liang Datu

(Enrekang) sebagai example utama dan mengambil Situs Kete’kesu (Toraja) dan Situs

Paladan dan Buntu Balla (Mamasa) sebagai contoh pembanding, untuk itulah akan

dilakukan perbandingan/studi komparasi, pengambilan contoh pada ketiga situs tersebut didasarkan pada jumlah dan jenis temuannya yang cukup refresentatif, kondisi temuanya

5 Situs Landatu akan di jadikan situs pembanding mengingat temuannya yang cukup representatife. 6 hal ini berkaitan dengan kedatangan nenek moyang mereka

7

(4)

4 yang masih dapat diidentifikasi, kondisi medan yang dapat dijangkau oleh penulis dan

adanya kedekatan wilayah dari ketiga situs tersebut. Kedua penulis menggunakan studi

komparasi singkronik mengingat ketiga tempat tersebut mempunyai latar belakang kebudayaan yang sama serta berada dalam satu wilayah yang sama (Koentjaraningrat, 2007:4), disamping itu manfaat yang didapat dari penelitian ini ialah kita dapat melihat proses perubahan tinggalan budaya serta sebagai penanda/pelacak penyebaran akan

keberadaan suatu ras/bangsa tertentu. Ketiga, diharapkan penelitian semacam ini akan

menambah minat para peneliti muda untuk melakukan studi komparasi, dan tidak hanya

berkutat pada penelitian deskripsi analitik. Keempat perlu adanya penelitian yang lebih

mendalam tentang Situs Landatu mengingat duni yang ada di situs tersebut sebagian sudah dalam keadaan lapuk sehingga perlu dilakukan penyelamatan data dan sekiranya Situs Liang Datu mendapat perhatian, sama halnya seperti situs-situs yang lain.

1.2 Permasalahan dan Pertanyaan Penelitian

Peranan Kabupaten Enrekang dalam proses migrasi Suku Toraja memang memegang

peranan penting, menurut Albert C. Kruyt dan Adriani mengatakan bahwa Enrekang merupakan daerah yang dilalui dalam jalur imigrasi Suku Toraja dan tempat bermukim

pertama kali, serta tempat berkembangnya budaya Torajayang berada di daerah Rura dan

Bambapuang yang termasuk dalam Kabupaten Enrekang sekarang. Tidak mengherankan bila di kabupaten tersebut banyak tinggalan arkeologi ditemukan khususnya yang menyangkut dengan wadah kubur yaitu duni, yang juga memiliki kesamaan dengan bentuk wadah kubur di Toraja dan Mamasa, walaupun begitu jika diamati secara cermat terdapat beberapa perbedaannya seperti yang dijelaskan di atas.

(5)

5 Hal inilah yang menjadi pertanyaan bagi penulis, mengapa dalam suatu kebudayaan yang sama tetapi dalam hal tinggalan budayanya berbeda dan apa yang menyebabkan hal tersebut, maka penulis kemudian merumuskannya dalam bentuk pertanyaan penelitian. Adapun pertanyaan penelitiannya sebagai berikut:

1. Apa persamaan dan perbedaan duni pada Situs Liang Datu (Enrekang) dengan wadah

kubur di Toraja dan Mamasa?

2. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi perbedaan dan persamaan bentuk-bentuk

duni pada Situs Liang Datu dengan wadah kubur di Toraja dan Mamasa?

1.3 Kerangka Hipotesis

Nama Toraja digunakan pertama kali dalam penelitian Albert C. kruyt dan Adriani

untuk mengganti nama Arfuru, nama Toraja sendiri diambil dari nama yang biasa

digunakan orang Luwu untuk menyebut orang-orang yang bermukim di sebelah barat ke arah pedalam yang pada umumnya menempati daerah ketinggian di jazirah Sulawesi,

dengan sebutan riaja atau raja (darat atau atas) yang kemudian dikenal menjadi nama

suatu etnis, yaitu Toraja.

Ada dua gelombang migrasi yang masuk ke wilayah budaya Toraja, migrasi pertama adalah kelompok pendukung kebudayaan megalitik yang disebut Steenhouwers (kelompok pemecah batu). Mereka diperkirakan datang dari dua arah, pertama (dari utara) diduga berasal dari kepulauan Jepang, memasuki Sulawesi Utara, terus ke Sulawesi Tengah dan masuk ke Sulawesi Selatan. Kedua, melalui sungai Sa’dan yang dimulai dari muara hingga ke hulu dengan menggunakan perahu, dan tiba di suatu tempat bernama Bambapuang yang sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Enrekang dan menyebar lagi ke jazirah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.

(6)

6

Migrasi kedua adalah kelompok pendukung kebudayaan tembikar yang disebut De

Pottenbakkers (pembuat tembikar), diperkirakan masuk melalui arah timur antara daerah Malili dan Wotu di pantai Teluk Bone dan terus menyebar ke Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah. Migrasi kedua ini turut serta membawa kebudayaan baru, terutama dalam kehidupan religi yang mengenal sejumlah dewa dan upacara keagamaan, kehidupan sosial mulai mengenal sistem pelapisan sosial dan sejumlah aturan-aturan hidup, dan kehidupan ekonomi yang memperkenalkan teknik irigasi dan penanaman padi.

Awalnya Enrekang dan Tana Toraja hanyalah satu daerah, pada waktu itu penduduk mula-mula bertempat tinggal di suatu kampung bernama Bambapuang yang dikenal sekarang sebagai Kampung Rura dan disitu juga diperkirakan berkembangnya budaya Toraja, setelah berpuluh-puluh tahun bahkan ratusan tahun lamanya tinggal di Bambapuang, akhirnya sebagian besar penduduk meninggalkan tempat tersebut yang dibagi dalam tujuh kelompok yang menyebar ke arah utara Sulawesi Selatan dan sebagian lagi tetap tinggal di Bambapuang. Baik penduduk yang berimigrasi maupun yang tetap tinggal di Bambapuang kemudian melanjutkan kebudayaan Toraja yang lebih kompleks.

Budaya Toraja sama halnya dengan budaya yang ada di seluruh dunia, yang pada umumnya memiliki tujuh unsur kebudayaan yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencarian hidup, sistem religi dan kesenian (Koentjaraningrat;218: 1980). Salah satu unsur yang paling menonjol dalam budaya Toraja yaitu sistem religi, masyarakat Toraja sejak zaman dulu mengenal adanya kepercayaan yang disebut Aluk Todolo, hal ini juga terdapat dibeberapa tempat yang masih masuk dalam kesatuan wilayah budaya Toraja, namun dalam hal penyebutannya

berbeda-beda seperti di Kabupaten Enrekang disebut Aluk Tojolo dan di Mamasa lebih dikenal

(7)

7 berorientasi tentang adanya kehidupan sesudah kematian dan mengatur segala aspek kehidupan manusia pendukungnya. Menurut L.T.Tangdilintin dalam bukunya yang berjudul “Upacara Pemakaman Adat Toraja” (1981:1), ia berpendapat bahwa:

“Penamaan Aluk Todolo adalah berdasarkan pada perinsip pelaksanaan dalam segala hal terutama kegiatan yang menyangkut pemujaan dan upacara, yang harus mendahulukan acara atau upacara kurban persembahan sajian kepada Tomembali Puang yang dinamakan pula todolo yaitu leluhur orang toraja”

Falsafah Aluk Todolo merupakan konsep tentang hidup dan mati serta kesinambungan proses kehidupan, orang mati dianggap hanya mengalami perubahan wujud dan

perpindahan dari alam fana ke alam puya, sehingga hidup dan mati tidak terdapat batas

yang jelas, kehidupan manusia di dunia fana dianggap sama dengan kehidupan di alam arwah, dan untuk mencapai alam arwah dan menjadi setengah dewa diperlukan syarat-syarat seperti bekal kubur dan rangkaian upacara serta pengorbanan oleh para kerabat yang ditinggalkan sesuai dengan status sosial semasa hidupnya, dipihak lain pemenuhan syarat-syarat tersebut akan mendatangkan kesejahteraan bagi kerabat yang ditinggalkan (Akin duli,2002:3, Paranoan,M.1994. Tangdilintin,L.T.2009).

Aluk Todolo mengandung ketentuan-ketentuan bahwa manusia dan segala isi bumi harus menyembah, memuja dan memuliakan Puang Matua (sang pencipta) yang dilakukan

dalam bentuk sajian persembahan. Ajaran Aluk Todolo mengenal tiga oknum yang harus

dipuja yaitu:

1. Puang Matua (Sang Pencipta)

2. Deata-Deata (Sang Pemelihara) sebagai pemelihara serta menguasai isi bumi supaya seluruh isi bumi ini dapat dipergunakan oleh manusia untuk memuja dan menyembah kepada Puang Matua.

(8)

8 3. Tomembali Puang (arwah leluhur) yang mempunyai tugas memperhatikan perbuatan

serta memberikan berkat bagi manusia turunannya.

Ajaran Aluk Todolo juga mengenal dua macam dasar dan aturan upacara sebagai

upacara yang berpasangan atau berlawanan yang dikenal dengan nama Aluk Simuane

Tallang yang masing-masing:

1. Aluk Rambu Tuka’ atau Aluk Rampe Matallo, berkaitan dengan upacara syukuran yang dilaksanakan pada pagi hari sampai tengah hari di sebelah timur dan utara rumah tongkonan.

2. Aluk Rambu Solo’ atau Aluk Rampe Matampu’ adalah upacara yang ditujukan pada

arwah. Upacara rambu solo’ dilakukan pada sore hari di sebelah barat dan selatan

rumah tongkonan.

Wujud budaya Toraja yang erat kaitanya dengan rambu solo’ ialah wadah kubur.

Penamaan terhadap wadah kubur dibeberapa tempat berbeda-beda seperti, Toraja yang

disebut Erong, Mamasa yang biasa mereka sebut dengan Tedong-Tedong, bangka-bangka

dan batutu. dan Enrekang disebut Mandu atau Duni. yang pada dasarnya menggunakan bahan kayu sebagai bahan utama dalam pembuatan wadah kubur tersebut. Setiap wadah kubur memiliki makna tertentu hal ini didasarkan pada tingkat status sosial mereka didalam masyarakat, yang dapat dilihat pada ukiran, mulai dari yang sederhana sampai memiliki nilai seni ukir yang tinggi yang terdapat pada wadah tersebut, bentuk dan tata letaknya juga sangat mempengaruhi.

(9)

9

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan penelitian

Para pakar arkeologi sepakat bahwa dalam disiplin ilmu arkeologi memiliki tiga tujuan yaitu 1). Merekonstruksi sejarah budaya, 2). Merekonstruksi tingkah laku/cara-cara hidup manusia masa lampau, dan 3). Menjelaskan proses-proses budaya. Dengan melihat ketiga tujuan arkeologi tersebut maka tujuan umum yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini yaitu merekonstruksi tingkah laku/cara-cara hidup manusia masa lampau, namun secara khusus tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan duni di Situs Liang Datu dengan wadah

kubur lainnya di daerah pembanding.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatar belakangi bentuk-bentuk duni pada

Situs Liang Datu berbeda dengan bentuk Erong di Toraja dan Tedong-tedong di

Mamasa.

1.4.2. Manfaat Penelitian

1. Menjadi masukan bagi instansi terkait untuk lebih memberi perhatian dan pemanfaatan pada Situs Liang Datu.

2. Kiranya hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan data tambahan untuk penelitian selanjutnya.

1.5 Metode Penelitian

Penelitian yang berbasis karya ilmiah tentunya tidak lepas dari tujuan yang ingin dicapai, untuk mencapai hasil yang maksimal dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem kerja yang sistematik yang terangkum dalam sebuah

(10)

10 metodologi. Metode yang digunakan tentu tidak lepas dari metode keilmuan yang mendasarinya yang dalam hal ini menggunakan metode arkeologi.

Adapun tahap-tahap dalam pelaksanaannya dimulai dari tahap Metode pengumpulan data, metode pengolahan data dan metode penafsiran data. Berikut penjabaran masing-masing tahap.

1.5.1 Metode Pengumpulan Data 1. Studi Pustaka

Studi pustaka merupakan metode awal yang digunakan untuk mencari data-data yang berkaitan dengan penelitian di Situs Liang Datu, Situs Kete’kesu, Situs Buntu Balla, dan Situs Paladan yang berasal dari referensi buku-buku, makalah, artikel, hasil penelitian mahasiswa arkeologi yang dituangkan dalam bentuk skripsi, ditambah laporan penelitian dari instansi-instansi yang mempunyai hubungan dengan obyek penelitian, serta data-data geografis pada masing-masing daerah penelitian.

2. Survei lapangan

Survei dilakukan dengan cara survei permukaan, dengan mengamati bentuk-bentuk

wadah duni pada Situs Liang Datu, pola hias maupun ada tidaknya bekal kubur

didalamnya, kemudian dilakukan pendeskripsian pada tiap-tiap duni yang sudah dibuat

dalam satu form isian yang memuat segala hal. Begitu pun pada Situs Kete’kesu dilakukan hal yang sama seperti yang dilakukan di Situs Liang Datu, tetapi pada Situs Paladan dan Situs Buntu Balla tidak dilakukan pengamatan secara langsung melainkan dilakukan studi pustaka saja, karena data kedua situs sudah ada.

(11)

11

1. Deskripsi

Deskripsi yang dimaksud disini terbagi atas dua yaitu, deskripsi lingkungan yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan kondisi di dalam dan di luar Situs Liang Datu serta jenis-jenis vegetasi yang berada di sekitarnya (arah hadap gua, orientasi, ketinggian dan sebagainya), dan yang kedua deskripsi temuan yang meliputi, bentuk/jenis temuan, ragam hias, ukuran (cm), bekal kubur/temuan lain, teknik pembuatan, letak wadah kubur, bahan yang digunakan, arah hadap, fungsi dan penggunaan warna. Kesepuluh kategori di atas kemudian dikelompokkan lagi dalam atribut-atribut terkecil.

2. Dokumentasi

Hal yang tidak kalah pentingnya ialah melakukan pendokumentasian yang terdiri dari pemotretan, penggambaran dan penentuan titik koordinat. Pemotretan dilakukan dengan menggunakan kamera digital, dengan mengambil foto lingkungan yang berada

di sekitar situs baik di dalam situs maupun di luar situs, foto temuan duni dengan

mengambil dari semua sudut (tampak depan-belakang, samping kiri dan kanan, serta tampak atas).

Penggambaran dilakukan dengan cara manual pada duni dan pembuatan peta situs. Penggambaran dilakukan guna mengetahui hal-hal yang detail yang terdapat pada duni seperti pola hias dan bentuk duni yang memiliki keunikan. sedangkan pembuatan peta situs dilakukan dengan menggunakan sistem polygon tertutup dengan tingkat ketelitian atau grade 4 yaitu pengukuran menggunakan kompas, klinometer, rol meter,

milimeterblok, hal ini dilakukan guna melihat pola sebaran duni pada situs Liang

Datu. Mengingat kondisi Situs Liang Datu yang tidak terlalu besar dan jarak antara duni yang satu dengan duni yang lain tidak terlalu jauh, maka tidak dilakukan

(12)

12 pembagian grid melainkan hanya dilakukan pembagian wilayah berdasarkan ruang/chamber yang ada.

Menentukan titik koordinat (ploting) lokasi situs, dengan menggunakan GPS

Garmin Etrex dengan menggunakan sistem UTM (Universal Transverse Mercator).

Sistem ini digunakan secara umum dalam sistem pemetaan, selain tingkat akurasi yang baik, sistem UTM ini juga memproyeksikan bidang bumi yang dapat digunakan hampir disemua tempat.

1.5.2 Metode Pengelolaan Data

Tahap pengelolaan data dilakukan setelah diperoleh data pada tahap pengumpulan data, baik data primer maupun data sekunder, tahapan ini bersifat induktif. Mengingat data yang akan diambil secara kualitatif dan kuantitafik yang cukup banyak, maka pada tahap pengelolaannya digunakan statistik sederhana yang biasa digunakan dalam sebuah penelitian yaitu distribusi frekuensi dan korelasi. Distribusi frekuensi salah satu cara untuk mengatur atau menyusun data dengan mengelompokkan data-data berdasarkan ciri-ciri penting dari sejumlah besar data, ke dalam beberapa kelas dan kemudian disusun dalam bentuk tabel dan diagram. Distribusi frekuensi yang digunakan ialah distribusi kategori.

Setelah dilakukan tahap di atas, kemudian dilakukan korelasi atau mencari hubungan antara satu data dengan data yang lain. tahapan selanjutnya adalah perbandingan atau studi komparasi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, hal ini bertujuan untuk menarik kesimpulan secara umum.

(13)

13

1.5.3 Metode Penafsiran Data

Metode penafsiran data bersifat memberikan penjelasan, terutama menjawab persoalan-persoalan yang disesuaikan dengan tujuan serta permasalahan yang dirumuskan yang kemudian dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan secara umum yang didasarkan pada pengumpulan data berupa tinjauan pustaka, survei lapangan, dan tahap pengelolaan data dari hasil analisis yang telah dilakukan.

Metode yang dimaksud disini adalah usaha penulis dalam memberikan gambaran secara deskriptif dari uraian yang dianalisis terhadap tinggalan duni pada Situs Liang Datu yang akan dikaji. Hasil analisis yang telah dilakukan diharapkan akan menghasilkan data pembanding yang nantinya akan menghasilkan persamaan dan perbedaan dari setiap wadah kubur yang dimaksud, serta mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi penyebab terjadinya perbedaan tersebut.

(14)

14

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan adalah untuk memberikan uraian dari masing-masing bab per bab maka dari itu penulis membagi ke dalam 5 (lima), adapun penjabaran masing-masing bab dapat dilihat pada uraian di bawah ini:

1. BAB I Pendahuluan, latar belakang masalah, permasalahan dan pertanyaan penelitian, kerangka hipotesis, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, sistematika penulisan.

2. BAB II Gambaran Wilayah, meliputi kondisi geografis, sistem kepercayaan dan sistem sosial masyarakat disekitar situs di kabupaten Enrekang, Toraja dan Mamasa. 3. BAB III Deskripsi Objek Penelitian, yang dimaksud dalam bab ini adalah deskripsi

temuan yang ada di Situs Liang datu, di Situs Kete’kesu dan Situs Buntu Balla dan Situs Paladan. dan istilah-istilah yang digunakan dalam tahapan analisis.

4. BAB IV Analisis Wadah Kubur, berisi analisis terhadap masing-masing temuan yang ada ditiap-tiap situs, beserta penjelasan-penjelasannya.

5. BAB V Penutup berisi tentang kesimpulan dari penelitian ini, yaitu untuk mengetahui persamaan dan perbedaan serta faktor-faktor yang melatarbelakanginya.

Gambar

Foto 1.1: Peta sebaran Bangsa Austronesia, mulai dari barat di  Madagaskar hingga timur di Pulau Paskah dan utara

Referensi

Dokumen terkait

Diantara empat orang militer, pangkat tertinggi adalah Brigadir Jenderal yaitu Supardjo, tiga orang lainnya adalah perwira menengah berpangkat antara Mayor dan Letnan

Berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Dwi Puspa Intan Sari dan Anita Oktaviani, penelitian ini membahas mengenai motivasi dan segmentasi pengunjung

Melalui pembelajaran Daring (Dalam Jaringan) menggunakan pendekatan Saintifik dan model Problem Based Learning serta diskusi dan tanya jawab, media pembelajaran

Bakteri Salmonella typhi memiliki protein hemaglutinin adhesin fimbria dan OMP masing-masing dengan berat molekul 36 kDa mampu mengaglutinasi eritrosit mencit, marmot

Langkah petani garam pada saat ini menjadi serba salah dalam rangka meningkatkan kualitas produknya. Meskipun dengan langkah swadaya yang terseok-seok sebenarnya petani sudah mampu

Harvested Area, Production and Productivity of Soyabeans and Sweat Potatoes in Saptosari District 2008 Desa Villages Kedelai Soyabeans Ketela Rambat Sweat Potatoes Luas

Secara harafiah, Arsitektur tropis adalah sebuah produk pemikiran dan budaya yang tumbuh dan berkembang di wilayah iklim tropis. Secara alamiah ia mengalami

Rupa • Merancang dan menerapkan beberapa jenis pendekatan/metode pembelajaran berbasis Seni Rupa Dilakukandenganmenggunaka nbeberapapendekatan dan metode pembelajaran yang