REFFERAT REFFERAT
II MANAJEME
MANAJEMEN ANESTESI PADA N ANESTESI PADA PASIEN CKDPASIEN CKD
Oleh: Oleh:
NUR HAMAM PRAKOSA NUR HAMAM PRAKOSA Peserta PPDS 1 Anestesiologi dan
Peserta PPDS 1 Anestesiologi dan ReanimasiReanimasi FK-UGM/RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta FK-UGM/RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta
PEMBIMBING MODERATOR
PEMBIMBING MODERATOR
(dr.Yusmein
(dr.Yusmein Uyun,SpAn,KAO) Uyun,SpAn,KAO) (dr.Ratih (dr.Ratih Kumala Kumala Fajar Fajar A,SpAn, A,SpAn, M.Sc)M.Sc)
BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA
RSUP DR SARDJITO RSUP DR SARDJITO YOGYAKARTA YOGYAKARTA 2017 2017
INTISARI INTISARI Fungsi ginjal pada pasien
Fungsi ginjal pada pasien Chronic Kidney DiseaseChronic Kidney Disease (CKD) sangatlah menurun, sehingga (CKD) sangatlah menurun, sehingga CKD merupakan faktor risiko munculnya komplikasi perioperatif.
CKD merupakan faktor risiko munculnya komplikasi perioperatif. Tujuan persiapan Tujuan persiapan preoperatif
preoperatif untuk untuk pasien pasien CKD CKD adalah adalah untuk untuk mengidentifikasi mengidentifikasi dan dan mengoptimalisasi mengoptimalisasi kondisikondisi yang ada untuk meminimalkan risiko tindakan anestesi dan pembedahan.
yang ada untuk meminimalkan risiko tindakan anestesi dan pembedahan. Chronic kidneyChronic kidney disease
disease (CKD) dikarakteristikkan oleh adanya penurunan fungsi ginjal yang (CKD) dikarakteristikkan oleh adanya penurunan fungsi ginjal yang progresif progresif dan dan irreversibel dalam waktu 3-6 bulan. Manifestasi penuh dari sindrom ini sering dikenal dengan irreversibel dalam waktu 3-6 bulan. Manifestasi penuh dari sindrom ini sering dikenal dengan uremia yang akan terlihat s
uremia yang akan terlihat setelah GFR menurun dibawah 25 mL/menit. Pasien etelah GFR menurun dibawah 25 mL/menit. Pasien dengandengan klirensklirens dibawah 10 mL/menit (sering disebut dengan
dibawah 10 mL/menit (sering disebut dengan end stage renal diseaseend stage renal disease) akan bergantung kepada) akan bergantung kepada dialisis untuk bertahan sampai dilakukan transplantasi. Manifestasi klinis yang diakibatkan dialisis untuk bertahan sampai dilakukan transplantasi. Manifestasi klinis yang diakibatkan oleh karena CKD dapat mengenai berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran pencernaan, oleh karena CKD dapat mengenai berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran pencernaan, gannguan pembentukan darah, gangguan metabolik, dll.
gannguan pembentukan darah, gangguan metabolik, dll. Dalam menangani pasien CKD, tujuanDalam menangani pasien CKD, tujuan
ahli anestesi adalah meminimalkan resiko komplikasi perioperatif, hal ini memerlukan
ahli anestesi adalah meminimalkan resiko komplikasi perioperatif, hal ini memerlukan
penilaian
penilaian yang yang teliti teliti dan dan usaha usaha memodifikasi memodifikasi faktor faktor risiko risiko seperti seperti hiperkalemia, hiperkalemia, sehinggasehingga
memperbaiki outcome pasien.
memperbaiki outcome pasien. Perubahan farmakodinamik dan farmakokinetik harusPerubahan farmakodinamik dan farmakokinetik harus
dipertimbangkan, karena sebagian besar obat mengalami penurunan klirens pada pasien CKD
dipertimbangkan, karena sebagian besar obat mengalami penurunan klirens pada pasien CKD
K
Ka
ata
ta kunci:
kunci: C
CK
KD
D,
, a
ane
nest
ste
esi
si,
, p
pe
erriio
op
pe
erra
attiiff
AB
AB ST
STR
RAC
AC T
T
Kidney function
Kidney function In In patients patients with with Chronic KiChronic Kidney Disease dney Disease (CKD is (CKD is greatly greatly reduced, sreduced, soo CKD is a risk factor for the emergence of serious perioperative complications. The goal of CKD is a risk factor for the emergence of serious perioperative complications. The goal of preoperative
preoperative preparation preparation for for CKD CKD patients patients is is to to identify identify and and optimize optimize existing existing conditions conditions toto minimize the risk of anesthesia and surgery. Chronic kidney disease (CKD) is characterized minimize the risk of anesthesia and surgery. Chronic kidney disease (CKD) is characterized by a progressive and irreversible decline in kidney function within 3-6 months. The full by a progressive and irreversible decline in kidney function within 3-6 months. The full manifestation of this syndrome is often known as uremia that will be seen after GFR decreases manifestation of this syndrome is often known as uremia that will be seen after GFR decreases below 25 mL / min. Patients with clearance below 10 mL / min (often called end stage renal below 25 mL / min. Patients with clearance below 10 mL / min (often called end stage renal disease) will depend on dialysis to persist until transplantation. Clinical manifestations caused disease) will depend on dialysis to persist until transplantation. Clinical manifestations caused by CKD can affect various organs such as cardiovascular, gastrointestinal tract, blood by CKD can affect various organs such as cardiovascular, gastrointestinal tract, blood coagulation, metabolic disorders, etc. In dealing with CKD patients, the goal of an coagulation, metabolic disorders, etc. In dealing with CKD patients, the goal of an anesthesiologist is to minimize the risk of perioperative complications. This requires careful anesthesiologist is to minimize the risk of perioperative complications. This requires careful assessment and attempts to modify risk factors such as hyperkalemia, thus improving patient assessment and attempts to modify risk factors such as hyperkalemia, thus improving patient outcomes. Pharmacodynamic and pharmacokinetic changes should be considered, since most outcomes. Pharmacodynamic and pharmacokinetic changes should be considered, since most drugs decrease in CKD
drugs decrease in CKD
Keyword: CKD,anesthesia,
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Obat-obatan anestesi dieliminasi dari tubuh melalui ginjal, oleh karena itu fungsi ginjal sangatlah penting dalam penatalaksanaan anestesi. Pada pasien dengan Chronic Kidney Disease (CKD), fungsi ginjal sangatlah menurun, sehingga CKD merupakan faktor risiko untuk munculnya komplikasi serius perioperatif, seperti gagal ginjal akut dan komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas.
CKD mempengaruhi seluruh sistem organ, maka penting untuk mengetahui dan mengoptimalkan fungsi organ yang terganggu. Pasien CKD merupakan kasus medis yang kompleks. Kasus CKD sering ditemui dilapangan dan merupakan tantangan bagi ahli anestesi. Tujuan persiapan preoperatif untuk pasien CKD adalah untuk mengidentifikasi dan mengoptimalisasi kondisi patofiologis yang ada untuk meminimalkan risiko tindakan anestesi dan pembedahan. Persiapan ini membutuhkan pendekatan multidisiplin meliputi anestesi, ahli bedah, dan ahli ginjal. Penanganan preoperatif harus sangat diperhatikan karena akan berhubungan dengan survival ginjal
Dengan tulisan ini diharapkan bisa menambah keilmuan bagi pembaca juga bagi penulis terkait penyakit CKD beserta manajemennya, terutama penatalaksanaan yang terkait
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Chronic Kidney Disease
(CKD)Chronic kidney disease (CKD) dikarakteristikkan oleh adanya penurunan fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel dalam waktu 3-6 bulan. Penyebab utamanya adalah hipertensi, nefrosklerosis, diabetik nefropati, glomerulonefritis kronis, dan penyakit ginjal polikistik. Manifestasi penuh dari sindrom ini sering dikenal dengan uremia yang akan terlihat setelah GFR menurun dibawah 25 mL/menit. Pasien dengan klirens dibawah 10 mL/menit (sering disebut dengan end stage renal disease) akan bergantung kepada dialisis untuk bertahan sampai dilakukan transplantasi. Dialisis dapat berbentuk intermittent hemodialysis melalui arteriovenous fistula atau dialisis terus menerus melalui kateter yang diimplantasikan.1
Manifestasi klinis dari CKD menggambarkan ketidakmampuan ginjal untuk mengekskresikan produk buangan nitrogen, pengaturan cairan dan keseimbangan elektrolit, dan juga sekresi hormone. Pada kebanyakan pasien, apapun penyebabnya, penurunan GFR kurang dari 25 ml/menit akan mengarah menjadi ESRD yang akhirnya
membutuhkan dialysis dan transplantasi.3
Tanda-tanda dari CKD seringnya tidak terdeteksi. Ketika gejala itu muncul, keluhan tidak selalu spesifik, seperti kelemahan, malaise, dan anoreksia. Pada kebanyakan pasien, diagnosis ditegakkan ketika dilakukan pemeriksaan rutin. Sedimentasi urin juga bermanfaat dalam menegakkan diagnosis dan kemungkinan penyebab disfungsi ginjal
Gambar 1. Kriteria RIFLE1
Tabel 1. Derajat Gangguan Ginjal Berdasakan Fungsi Glomerulus1
B. Perubahan pada
Chronic Kidney Disease
(CKD) 1. Manifestasi dariChronic Kidney Disease
(CKD)3,6a. Metabolik
Pasien dengan penyakit ginjal dapat berkembang dengan abnormalitas dari metabolik yang multipel termasuk hiperkalemia, hiponatremia, hiperphospatemia, hipermagnesemia, hiperuricemia, dan hipoalbuminemia. Retensi air dan natrium akan mengakibatkan pemburukan dari hiponatremia dan cairan ekstra seluler yang
berlebihan. Kegagalan untuk mengekskresikan produksi asam yang non folatil mengakibatkan asidosis metabolik dengan anion gap yang tinggi.
Hipernatremia dan hipokalemia adalah komplikasi yang jarang. Hiperkalemia adalah abnormalitas yang paling mematikan karena memiliki efek pada jantung. Hal ini biasanya ditemukan pada pasien dengan kreatinin klirens < 5 mL/menit, namun dapat berkembang secara cepat pada pasien dengan klirens yang lebih tinggi oleh karena dengan masukan kalium yang besar (trauma, hemolisis, infeksi atau konsumsi kalium). Hipermagnesia biasanya ringan kecuali masukan magnesium meningkat (umumnya dari antasida yang mengandung magnesium). Hipokalsemia terjadi dengan sebab yang tidak diketahui. Mekanisme yang diakibatkan oleh deposit kalsium ke tulang secara sekunder oleh karena hiperphospatemia, resistensi dari hormon paratiroid dan penurunan absorbsi usus halus secara sekunder menurunkan sintesa renal dari 1,25-dihidroksi kolekalsiferol. Gejala dari hipokalsemia jarang berkembang kecuali pasien dalam kondisi alkalosis.
Pasien dengan gagal ginjal juga secara cepat kehilangan protein jaringan sehingga menyebabkan hipoalbuminemia. Anoreksia, restriksi protein dan dialisis (terutama dialisis peritonium) juga berperan.
b. Hematologik
Anemia biasanya muncul jika kreatinin klirens dibawah 30 ml/menit. Konsentrasi hemoglobin umumnya 6-8 gram/dl. Penurunan produksi eritropoetin menurunkan produksi sel darah merah, dan menurunkan pertahanan sel. Faktor tambahan termasuk perdarahan saluran cerna, hemodilusi, dan penekanan sumsum tulang dari infeksi sebelumnya. Walaupun dengan transfusi, konsentrasi hemoglobin meningkat sampai 9 gram/dl sangat sulit untuk dipertahankan. Pemberian eritropoetin biasanya dapat mengoreksi anemia. Peningkatan dari 2,3-difosfogliserat bertanggung jawab dalam penurunan kapasitas pembawa oksigen. 2,3-DPG memfasilitasi pelepasan oksigen dari hemoglobin. Asidosis metabolik juga mengakibatkan pergeseran ke kanan pada kurva oksigen-hemoglobin
dissosiasi.
Fungsi platelet dan sel darah putih terganggu pada pasien dengan gagal ginjal. Secara klinis, hal ini dimanifestasikan sebagai pemanjangan waktu perdarahan dan gampang terkena infeksi. Pada pa sien dengan penurunan aktivitas
platelet faktor III, dan juga penurunan ikatan dan agregrasi platelet. Pasien yang dihemodialisa juga memiliki efek sisa antikoagulan dari heparin.
c. Kardiovaskuler
Cardiac Output dapat meningkat pada gagal ginjal untuk menjaga oksigen delivery pada penurunan kapasitas pembawa oksigen. Retensi natrium dan abnormalitas pada sistem renin angiotensin berakibat pada hipertensi sistemik arteri. Left ventrikuler hipertropi umum dijumpai pada gagal ginjal kronis. Cairan ekstraseluler yang berlebihan oleh karena retensi natrium bersamaan dengan peningkatan kebutuhan yang terganggu oleh karena anemia dan hipertensi mengakibatkan pasien gagal jantung dan edema pulmonum. Peningkatan permeabilitas dari membran kapiler alveoli dapat menjadi faktor predisposisi.
Blok konduksi sering ditemukan mungkin diakibatkan oleh deposit kalsium dari sistem konduksi. Aritmia sering ditemukan dan mungkin berhubungan pada kelainan metabolik. Perikarditis uremia dapat ditemukan pada beberapa pasien, yang ditandai dengan adanya nyeri dada atau terbentuknya tamponade jantung.
Depresi volume intravaskuler dapat muncul pada fase diuretik pada gagal ginjal akut jika replacement cairan tidak adekuat. Hipovolemi juga muncul jika terlalu banyak cairan yang dikeluarkan ketika dialisis.
d. Pulmonary
Tanpa dialisis atau terapi bikarbonat, pasien bergantung pada peningkatan ventilasi permenit untuk mengkompensasikan asidosis metabolik. Cairan ekstravaskular pulmonum biasanya meningkat dalam bentuk interstitial edema, mengakibatkan perluasan gradien alveolar ke arterial oksigen yang menyebabkan terjadinya hipoksemia. Peningkatan permeabilitas dari kapiler alveolar pada beberapa pasien menyebabkan edema paru walaupun dengan tekanan kapiler paru
yang normal, karakteristik pada foto toraks menyerupai ”butterfly wings”. e. Endokrin
Toleransi glukosa yang abnormal ditandai dengan adanya gagal ginjal akut dari resistensi perifer pada insulin, pasien mempunyai glukosa dalam darah dengan jumlah besar dan jarang menggunakannya. Hiperparatiroidisme yang sekunder pada pasien dengan gagal ginjal kronis dapat mengakibatkan penyakit tulang metabolik, yang dapat menyebabkan fraktur. Kelainan metabolisme lemak sering
mengakibatkan hipertrigliseridemia dan kemungkinan berperan dalam atherosklerosis.
Peningkatan dari tingkat protein dan polipeptida yang biasanya segera didegradasikan di ginjal sering terlihat, hal ini berhubungan dengan hormon para-tiroid, insulin, glukagon, growth hormon, luteinizing hormone, dan prolaktin. f. Gastrointestinal
Anoreksia, nausea, vomiting dan ileus adinamik umumnya berhubungan dengan azotemia. Hipersekresi dari asam lambung meningkatkan insiden dari tukak peptik dan perdarahan saluran pencernaan, yang muncul pada 10-30% dari pasien. Penundaan pengosongan lambung secara sekunder pada neuropati autonom dapat mencetuskan adanya aspirasi perioperatif. Pasien dengan gagal ginjal kronis juga memiliki koinsiden terhadap virus hepatitis (tipe B dan C), sering diikuti oleh
disfungsi hepatik. g. Neurologis
Tubuh kurus, letargi, confussion, kejang, dan koma adalah manifestasi dari uremik encephalopathy. Gejala pada umumnya berhubungan dengan derajat azotemia. Neuropati autonom dan perifer umumnya dijumpai pada pasien dengan gagal ginjal kronis. Neuropati perifer bersifat sensoris dan melibatkan ekstremitas distal bagian bawah
2. Perubahan Fungsi Ginjal dan Efeknya Terhadap Agen-Agen Anastesi 2.3.7.8
Banyak obat-obatan sebagian tergantung pada ekskresi renal untuk eliminasi. Sehingga modifikasi dosis harus dilakukan untuk mencegah akumulasi obat atau metabolit aktif. Efek sistemik azotemia bisa menyebabkan potensiasi kerja farmakologikal dari agen-agen ini. Observasi terakhir bisa disebabkan menurunnya ikatan protein dengan obat, penetrasi ke otak lebih besar oleh karena perubahan pada blood brain barrier , atau efek sinergis dengan toxin yang tertahan pada gagal
ginjal.
a. Agen Intravena
1) Propofol & Etomidate
Secara Farmakokinetik tidak berpengaruh secara signifikan pada gangguan fungsi ginjal.
2) Barbiturat
Sering terjadi peningkatan sensitivitas terhadap barbiturat selama induksi. Mekanismenya dengan peningkatan barbiturat bebas yang bersirkulasi karena ikatan dengan protein yang berkurang. Asidosis menyebabkan agen ini lebih cepat masuknya ke otak dengan meningkatkan fraksi non ion pada obat. 3) Ketamin
Farmakokinetik ketamin berubah sedikit karena penyakit ginjal. Beberapa metabolit yang aktif di hati tergantung pada ekskresi ginjal dan bisa terjadi potensial akumulasi pada gagal ginjal. Hipertensi sekunder akibat efek ketamin bisa tidak diinginkan pada pasien-pasien hipertensi ginjal.
4) Benzodiazepin
Benzodiazepin menyebabkan metabolisme hati dan konjugasi karena eliminasi di urin. Karena banyak yang terikat kuat dengan protein, peningkatan sensitivitas bisa terlihat pada pasien-pasien hipoalbuminemia. Diazepam seharusnya digunakan berhati-hati pada gangguan ginjal karena potensi akumulasi metabolit aktifnya.
5) Opioid
Opioid (morfin, meperidin, fentanil, sufentanil dan alfentanil) di inaktifasi oleh hati, beberapa metabolitnya nantinya diekskresi di urin. Farmakokinetik remifentanil tidak terpengaruh oleh fungsi ginjal karena
Akumulasi morfin (morfin-6-glucuronide) dan metabolit meperidine pernah dilaporkan memperpanjang depresi pernafasan pada beberapa pasien dengan gagal ginjal. Peningkatan level normeperidine, metabolit meperidine, dihubungkan dengan kejang-kejang. Agonis-antagonis opioid (butorphanol nalbuphine dan buprenorphine) tidak terpengaruh oleh gagal ginjal.
6) Agen-Agen Antikolinergik
Atropin dan glycopyrolate dalam dosis premedikasi, biasanya aman karena lebih dari 50% dari obat-obat ini dan metabolit aktifnya di ekskresi normal di urin, potensi akumulasi terjadi bila dosis diulang. Scopolamine kurang tergantung pada ekskresi ginjal, tapi efek sistem syaraf pusat bisa dipertinggi oleh azotemia.
7) Phenothiazines, H2 Blockers Dan Agen-Agen Yang Berhubungan.
Phenothiazines, seperti promethazine bisa terjadi berpotensiasi dari depresi pusat oleh azotemia. Kerja antiemetiknya bisa berguna untuk penanganan mual preoperatif. Droperidol sebagian bergantung pada ekskresi ginjal. Akumulasi bisa dilihat pada dosis besar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal, biasanya droperidol digunakan pada dosis kecil (< 2,5 mg). Semua H2 reseptor bloker sangat tergantung pada ekskresi ginjal. Metoclopramide sebagian diekskresinya tidak berubah di urin dan akan diakumulasikan juga pada gagal ginjal.
b. Agen-Agen Inhalasi 1) Agen-agen volatile
Agen anastetik volatile hampir ideal untuk pasien dengan disfungsi renal karena tidak tergantung pada eliminasi ginjal, kemampuan untuk mengkontrol tekanan darah dan biasanya mempunyai efek langsung minimal pada aliran darah ginjal. Percepatan induksi dan timbulnya bisa dilihat pada anemis berat (Hb <5 g/dL) dengan GGK; observasi ini bisa dijelaskan oleh turunnya blood gas portion coefficient atau kurangnya MAC. Enflurane dan sevoflurane (dengan aliran gas <2 L/min) tidak disarankan untuk pasien-pasien dengan penyakit ginjal pada prosedur lama karena potensi akumulasi fluoride.
2) Nitrous Oxide
Banyak klinisi tidak menggunakan atau membatasi penggunaan NO2 sampai 50% dengan tujuan untuk meningkatkan penggunaan O2 arteri pada keadaan anemia.
c. Pelumpuh Otot 1) Succinyl choline
SC bisa digunakan secara aman pada gagal ginjal, dengan konsentrasi serum kalium kurang dari 5 mEq/L pada saat induksi. Bila K serum lebih tinggi, pelumpuh otot nondepol sebaiknya digunakan.
2) Cisatracurium, atracurium & Mivacurium
Mivacurium tergantung pada eliminasi ginjal secara minimal. Cisatracurium & atracurium didegradasi di plasma oleh eliminasi hidrolisis ester enzymatik & nonenzymatik hofman.Agen-agen ini mungkin merupakan obat pilihan untuk pelumpuh otot pada pasien-pasien dengan gagal ginjal. 3) Vecuronium & Rucoronium
Eliminasi dari vecuronium secara primer ada di hati, tapi lebih dari 20% dari obat dieliminasi di urine. Efek dari dosis besar vecuronium (> 0,1 mg/kg) hanya memanjang sedikit pada pasien renal insufisiensi. Perpanjangan kerja pada penyakit ginjal berat pernah dilaporkan.
4) Pancuronium, Pipecuronium, Alcuronium, & Doxacurium
Obat-obat ini tergantung terutama pada ekskresi renal (60-90%). Walaupun pancuronium di metabolisme di hati menjadi metabolit intermediate yang kurang aktif, eliminasi paruh waktunya masih tergantung pada ekskresi ginjal (60-80%). Fungsi neuromuscular harus dimonitor ketat jika obat-obat i ni digunakan pada fungsi ginjal abnormal.
5) Metocurine, Gallamine & Decamethonium
Obat-obat ini hampir sepenuhnya tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi dan harus dihindari penggunaannya dari pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
6) Obat-obat Reversal
Ekskresi ginjal adalah rute utama eliminasi bagi edrophonium, neostigmine & pyridostigmine. Waktu paruh dari obat-obat ini pada pasien dengan gangguan ginjal memanjang setidaknya sama dengan pelumpuh otot sebelumnya diatas.
C. Manajemen Perioperatif 1. Hemodialysis perioperatif
Pasien harus menjalani dialysis dalam 24 jam sebelum operasi elektif untuk meminimalkan kemungkinan kelebihan cairan tubuh, hyperkalemia dan perdarahan uremic. Tergantung dari rencana operasi, penggunaan heparin harus dihindari atau diminimalisir selama hemodialysis preoperative.2, 9
D. Pertimbangan Pre Operatif 1. Evaluasi Preoperatif
Evaluasi preoperative pada pasien dengan CKD meliputi fungsi ginjal, proses patologis yang mendasari, dan kondisi komorbid. Evaluasi serum kreatinin sangat bermanfaat untuk menilai fungsi ginjal. Status volume darah dapat diukur dengan membandingkan berat badan sebelum dan sesudah hemodialysis, monitoring tanda-tanda vital (hipotensi ortostatik, takikardia), dan menilai tekanan pengisian atrial. Pengukuran kadar gula juga perlu dilakukan karena diabetes sering menjadi penyakit penyerta. Tekanan darah harus terkontrol dengan baik sebelum pembedahan elektif. Pengobatan anti hipertensi sebaiknya dilanjutkan, tetapi golongan penghambat ACE dan ARB sebaiknya dihentikan pada hari operasi untuk meminimalisir terjadinya hipotensi intra operatif. Pengobatan preoperative harus disesuaikan per individu. Rekomendasi umum untuk serum kalium tidak melebihi 5.5 mEq/L pada hari operasi. Pasien harus diperiksa terhadap adanya anemia. Adanya koagulopati preoperative harus ditangani dengan pemberian desmopressin. Aspirasi lambung harus dipertimbangkan, terutama pada pasien dengan penyakit penyerta diabetes. Tetapi semua penghambat reseptor H-2 diekskresikan melalui ginjal, maka penyesuaian dosis harus dilakukan.2
Gagal ginjal berhubungan dengan komplikasi post operatif atau trauma. Pa sien dengan gagal ginjal akut juga mempercepat pemecahan protein. Manajemen perioperatif yang optimal tergantung dari dialisis preoperatif. Hemodialisis lebih efektif
dialisis dengan kateter subklavia atau femoral. Kebutuhan dialisis pada pasien nonoligurik dapat disesuaikan dengan kebutuhan individual.
Tabel 3. Indikasi Dialisis
2. Toksisitas Obat
Pasien dengan gagal ginjal kronis semua manifestasi yang reversibel dari uremia harus dikontrol. Dialisis pre operatif pada hari pembedahan atau hari sebelumnya dibutuhkan. Evaluasi fisik dan laboratorium harus di fokuskan pada fungsi jantung dan pernafasan. Tanda – tanda kelebihan cairan atau hipovolemia harus dapat diketahui. Kekurangan volume intravaskuler sering disebabkan oleh dialisis yang berlebihan. Perbandingan berat pasien sebelum dan sesudah dialisis mungkin
membantu. Data hemodinamik, jika tersedia dan foto dada sangat bermakna dalam kesan klinis. Analisa gas darah juga berguna dalam mendeteksi hipoksemia dan mengevaluasi status asam-basa pada pasien dengan keluhan sesak nafas.
EKG harus diperiksa secara hati-hati sebagai tanda-tanda dari hiperkalimia atau hipokalimia seperti pada iskemia, blok konduksi, dan ventrikular hipertropi. Echocardiography sangat bermakna dalam mengevaluasi fungsi jantung pada pasien dibawah prosedur pembedahan mayor karena hal ini dapat mengevaluasi ejeksi fraksi dari ventrikel, seperti halnya mendeteksi dan kuantitatif hipertropi, pergerakan abnormal pembuluh darah, dan cairan perikard adanya gesekan bisa tidak terdengar pada auskultasi pada pasien dengan efusi perikard.
Transfusi pre operatif sel darah merah harusnya diberikan pada pasien dengan anemia berat (hemoglobin <6-7 g/dL) atau ketika kehilangan darah sewaktu operasi diperkirakan. Waktu perdarahan dan pembekuan dianjurkan, khususnya jika ada pertimbangan regional anestesi. Serum elektrolit, BUN, dan pengukuran kreatinin dapat
Pengukuran glukosa dibutuhkan dalam mengevaluasi kebutuhan potensial untuk terapi insulin perioperatif. Perlambatan pengosongan lambung akibat sekunder dari neuropati otonom pada beberapa pasien bisa mempengaruhi pasien-pasien GGK untuk terjadinya aspirasi pada perioperatif
Terapi obat preoperatif diberikan secara hati-hati pada obat yang dieliminasi di ginjal. Penyesuaian dosis dan pengukuran kadar darah (jika memungkinkan) dibutuhkan untuk mencegah toksisitas obat.
Tabel 4. Akumulasi Obat pada Chronic Kidney Disease (CKD)
3. Premedikasi
Pada pasien yang relatif stabil dan sadar dapat diberikan pengurangan dosis dari opioid atau benzodiazepin. Profilaksis untuk aspirasi diberikan H2 blocker diindikasikan pada pasien mual, muntah atau perdarahan saluran cerna. Metoclopramide, 10 mg secara oral atau tetes lambat intra vena juga berguna dalam mempercepat pengosongan lambung, mencegah mual dan menurunkan resiko aspirasi. Pengobatan preoperatif terutama obat anti hipertensi harus dilanjutkan sampai pada saat pembedahan.
1. Induksi anestesi a. Induksi
Banyak pasien dengan ESRD memberikan respon terhadap induksi anestesi seperti pada pasien yang mengalami hypovolemia. Pasien dengan mual, muntah atau perdarahan saluran cerna harus menjalani induksi cepat dengan tekanan krikoid.
Dosis dari zat induksi harus dikurangi. Thiopental 2-3 mg/kg atau propofol 1-2 mg/kg sering digunakan. Etomidate, 0,2-0,4 mg/kg dapat dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil. Opioid, beta-bloker (esmolol), atau lidokain bisa digunakan untuk mengurangi respon hipertensi pada intubasi. Succinylcholine, 1,5 mg/kg, bisa digunakan untuk intubasi endotrakeal jika kadar kalium darah kurang dari 5 meq/L. Rocuronium (0,6mg/kg),cisatracurium (0,15 mg/kg), atracurium (0,4 mg/kg) atau mivacurium (0,15 mg/kg) dapat digunakan untuk mengintubasi pasien dengan hiperkalemia. Atracurium pada dosis ini umumnya mengakibatkan pelepasan histamin. Vecuronium, 0,1 mg/kg tepat digunakan sebagai alternatif, namun efeknya harus diperhatikan.
Pasien yang sedang mendapatkan pengobatan penghambat ACE atau penghambat ARB berisiko lebih tinggi mengalami hipotensi intra operatif, terutama pada kondisi kehilangan darah akut selama operasi ataupun pada neuraxial
anestesi.2, 10 b. Pemeliharaan
Tehnik pemeliharaan yang ideal harus dapat mengkontrol hipertensi dengan efek minimal pada cardiac output, karena peningkatan cardiac output merupakan kompensasi yang prinsipil dalam mekanisme anemia. Balans anestesi menggunakan agen inhalasi, pelumpuh otot dan opioid adalah teknik yang paling sering dilakukan. Anestesi volatil, nitrous oxide, fentanyl, sufentanil, alfentanil, dan morfin dianggap sebagai agen pemeliharaan yang memuaskan.
Isoflurane dan desflurane merupakan agen anestesi volatile pilihan karena mereka memiliki efek yang sedikit pada cardiac output. Sevoflurane mungkin dihindari karena pertimbangan nefrotoksik dari fluoride ataupun compound A, walaupun tidak ada bukti peningkatan resiko disfungsi ginjal pada pasien yang sebelumnya telah memiliki penyakit ginjal yang diberikan agen inhalasi
fungsi ventrikel yang lemah dan jangan digunakan pada pasien dengan konsentrasi hemoglobin yang sangat rendah (< 7g/dL) untuk pemberian 100% oksigen.
Meperidine bukan pilihan yang bagus oleh karena akumulasi dari normeperidine. Morfin boleh digunakan, namun efek kelanjutannya perlu diperhatikan. Ventilasi terkontrol adalah metode teraman pada pasien dengan gagal ginjal. Ventilasi spontan dibawah pengaruh anestesi yang tidak mencukupi dapat menyebabkan asidosis respiratorik yang mungkin mengeksaserbasi acidemia yang telah ada, yang dapat menyebabkan depresi pernafasan yang berat dan peningkatan konsentrasi kalium di darah yang berbahaya. Alkalosis respiratorik dapat merusak karena mengeser kurva disosiasi hemoglobin ke kiri, dan mengeksaserbasi hipokalemia yang telah ada, dan menurunkan aliran darah otak.
Penyakit ginjal dapat memperlambat ekskresi dari vecuronium dan rocuronium, tetapi klirens dari mivacurium, atracurium dan cisatracurium dari plasma tidak tergantung dari fungsi ginjal. 2
2. Manajemen cairan dan keluaran urine a. Terapi Cairan
Cairan infus ringer laktat ataupun cairan infus lain yang mengandung kalium harus digunakan secara hati-hati. Menjaga keluaran urine paling sedikit 0.5 mL/kg/jam secara umum dapat diterima. Penyebab terbanyak terjadinya oliguria adalah tidak cukupnya volume cairan, pemberian diuretic pada pasien ini akan semakin memperparah fungsi ginjal. Keluaran urin dapat diganti dengan pemberian NaCl 0.45%. Pasien yang tergantung pada hemodialisa memerlukan perhatian khusus terhadap manajemen cairan perioperative. Hilangnya fungsi ginjal menyebabkan sempitnya batas keamanan apakah cairan yang diberikan kurang atau bahkan berlebihan.
Operasi non invasif memerlukan penggantian cairan hanya sebatas IWL (insensible water loss). Operasi daerah dada dan perut dapat menyebabkan kehilangan cairan intravascular dalam jumlah besar. Kehilangan cairan tersebut dapat diganti dengan pemberian balanced solution ataupun koloid. Transfusi darah dipertimbangkan bila diperkirakan pasien membutuhkan peningkatan kapasitas penghantaran oksigen ataupun bila terjadi perdarahan yang banyak. Pengukuran
b. Monitoring
Untuk menjaga pembuluh darah dapat dipakai sebagai akses dialysis jika diperlukan, maka pemasangan infus sebaiknya dihindari pada lengan yang tidak dominan ataupun bagian proksimal dari lengan yang dominan. Hampir serupa, maka pemasangan kanul pada arteri radialis dan ulnaris sebaiknya dihindari untuk mengantisipasi dibutuhkannya pembuatan fistula arterivenous di masa depan. Sama untuk pembuluh darah di brachialis dan aksilaris. Penggunaan pembuluh darah femoralis dapat meningkatkan resiko infeksi, terutama pada pasien yang sudah immunocompromised. Pilihan yang tertinggal adalah pembuluh darah dorsalis pedis dan tibialis anterior. Apapun akses pembuluh darah yang akan dipilih, perlu diingat bahwa baik tekanan darah maupun pemerikaan analisa gas darah arteri akan akurat bila kanul ditempatkan pada ekstremitas yang sama dengan tempat fistula arterivenous.
Monitoring tekanan vena sentral sangat berguna, karena pemberian cairan yang sedikit berlebihan tidak dapat ditoleransi dengan baik pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal yang sedang sampai berat. Pemilihan monitoring tekanan di atrium kanan atau di arteri pulmonalis harus dipikirkan berdasarkan penyakit kardiopulmoner yang ada pada pasien. Prosedur asepsis yang ketat harus dil akukan ketika pemasangan kanul, karena pasien dengan CKD sangat rentan terjadi infeksi. Ekokardiografi transesofageal adalah pilihan tambahan untuk monitoring status hemodinamik.
Walaupun jarang digunakan, kateter dialysis yang temporer dapat digunakan untuk akses intravena, tetapi perlu diingat bahwa : (1) kateter harus diakses secara aseptic, (2) heparin harus disedot sebelum menghubungkan dengan jalur infus ataupun transducer pengukur tekanan, dan (3) heparin harus segera diberikan kembali dan jalur dialysis harus ditutup secara aseptic ketika sudah selesai digunakan.2
F. Manajemen Post Operatif
Walaupun residu dari blok neuromuscular setelah pemberian agen pembalik blockade neuromuscular jarang terjadi, kejadian ini harus kita pertimbangkan sebagai penyebab kelemahan otot pada pasien pada saat awal periode post operatif. Kemungkinan lainnya adalah pemberian antibiotic, asidosis, dan gangguan elektrolit juga harus
berulang pada pasien dengan disfungsi ginjal. Perhatian khusus harus diberikan pada pemberian opioid, karena pada pasien ini dapat terjadi depresi system saraf pusat dan hipoventilasi bahkan pada pemberian opioid dosis kecil. Pemberian nalokson diperlukan bila terjadi efek samping tersebut. Pemilihan opioid yang terbaik adalah yang tidak
memiliki metabolit aktif dan tidak bergantung pada ginjal untuk ekskresinya. Obat golongan NSAID sebaiknya dihindari karena dapat mengakibatkan hipertensi, mempresipitasi terjadinya edema dan peningkatan resiko komplikasi kardiovaskular. Monitoring secara terus menerus gambaran EKG sangat bermanfaat dalam mendeteksi disritmia jantung, yang dapat terjadi pada keadaan hyperkalemia. Pemberian oksigen sampai postoperatif juga diperlukan, terutama pada pasien dengan anemia. Pemeriksaan laboratorium sebaiknya juga dilakukan postoperatif, termasuk pemeriksaan BUN, creatinine dan darah rutin. Pemeriksaan rontgen dada juga sebaiknya dilakukan jika terdapat kecurigaan terjadinya edema paru. Koagulopati uremikum dapat dipertimbangkan sebagai penyebab perdarahan postoperative.2
BAB III KESIMPULAN
Dalam menangani pasien CKD, tujuan ahli anestesi adalah meminimalkan resiko komplikasi perioperatif. Hal ini memerlukan penilaian yang teliti dan usaha memodifikasi faktor risiko seperti hiperkalemia, sehingga memperbaiki outcome pasien. Pengetahuan tentang hubungan antara CKD dan penyakit kardiovaskuler, pentingnya blocking RAS untuk menghambat progresifitas kelainan, dan penemuan terbaru tentang abnormalitas kompleks protrombotik dan hemostatik. Jelas bahwa akses vaskuker tempirer untuk HD harus dihindari dan kateter HD subclavian berisiko tinggi menimbulkan stenosis vena subclavian. Perubahan farmakodinamik dan farmakokinetik harus dipertimbangkan, karena sebagian besar obat mengalami penurunan klirens pada pasien CKD
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan G.E., Mikhail M.S., Murray M.J., 2013. Clinical Anesthesiology : United States. Appleton & Lange.
2. Stoelting R.K, et al., 2012. Stoelting’s Anesthesia and Co-existing Disease, 6th edition. Elsevier Saunders, Philadelphia
3. Miller R.D., 2010. Miller’s Anesthesia, 7th ed. Elsevier Saunders,Philadephia
4. Jackson M B, Mokherjee S., 2015. The Perioperative Medicine Consult Handbook 2nd edition. Springer, London.
5. Agasti T K, 2011. Textbook Of Anesthesia For Post Graduates. Jaypee Brothers Medical Publisher, New Delhi.
6. Craig R G, Hunter J M, 2008. Recent Developments In The Perioperative Management Of Adult Patients With Chronic Kidney Disease, British Journal of Anaesthesia 101 (3): 296 – 310 (2008).
7. Rang S T, et al , 2006. Anaesthesia for Chronic Renal Disease and Renal Transplantation, eau - ebu update series 4 (2006) 246 – 256
8. Wagener G, Brentjens T E, 2010, Anesthetic Concerns in Patients Presenting with Renal Failure. Anesthesiology Clin 28 (2010) 39 – 54
9. Zura M, Sakic L, 2013. Regional Anaesthesia And Chronic Renal Disease. Periodicum Biologorum, VOL. 115, No 2, 271 – 273, 2013.