• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November E d i t o r

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali, 3 November E d i t o r"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

iii

E d i t o r

Gusti Ayu Made Suartika, ST., MEng.Sc., Ph.D Ni Ketut Agusintadewi, ST., MT., Ph.D

Ni Made Swanendri, ST., MT.

Desain halaman sampul I Putu Zenit Arimbhawa

(3)
(4)

v

KATA PENGANTAR

Publikasi ini merupakan salah satu wujud dokumentasi yang dihasilkan dari pelaksanaan Seminar Nasional yang mengambil tema Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Ranganan Lingkungan Terbangun. Proseding ini mendokumentasikan paper-paper yang dipresentasikan dan dipublikasi di dalam kegiatan ini, yang diselenggarakan oleh Program Magister Arsitektur: Program Keahlian Perencanaan dan Manajemen Pembangunan Desa/Kota dan Program Keahlian Manajemen Konservasi, di Aula Pascasarjana, Lt III Gedung Pascasarjana Universitas Udayana, Kampus Denpasar pada hari Kemis, tanggal 2 November 2016.

Seminar ini dihadiri oleh para akademik; arsitek profesional - anggota Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) dan para arsitek rancang bangun, para perancang kota maupun perencana; pemerintah - Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda), Tata Ruang; Team Tata Aturan Bangunan dan Gedung, Perijinan; serta masyarakat pemakai hasil desain. Sedangan para pemakalah berasal dari para akademisi, mahasiswa program pascasarjana, para pemerhati keberlanjutan elemen-elemen arsitektural lokal dan tradisi dalam desain lingkungan terbangun kekinian dan masa datang. Masing-masing paper telah dipresentasikan, baik dalam sesi presentasi untuk para pembicara kunci maupun sesi pararel untuk para pemakalah.

Partisipan dan presenter berasal dari para akademisi, mahasiswa program pascasarjana, para pemerhati keberlanjutan elemen-elemen arsitektural lokal dan tradisi dalam desain lingkungan terbangun kekinian dan masa yang akan datang. Besar harapan kami, jika Seminar Nasional ini bisa menjadi ajang diskusi dan berbagi pengetahuan, pengalaman, ide terkait tradisi, perubahannya, adaptasinya serta akomodasinya dalam rancangan keruangan mikro maupun makro. Semoga kegiatan ini bisa dijadikan bagian aktivitas rutin di Program Magister Arsitektur Universitas Udayana, yang secara berkelanjutan bisa dijadwal serta didukung penyelenggaraannya, tidak hanya oleh kami sebagai civitas akademika, tetapi juga oleh asosiasi profesi, pemerintah, dan masyarakat tentunya.

Kami sangat bersyukur karena penyelenggaraan Seminar ini merupakan sebuah kolaborasi antara Program Studi Magister Arsitektur, Universitas Udayana, Ikatan Arsitek Indonesia Daerah Bali, Program Studi Arsitektur Universitas Udayana, Program Studi Arsitektur Universitas Warmadewa, Program Studi Universitas Dwijendra, dan Program Studi Arsitektur Universitas Ngurah Rai. Terima kasih kami ucapkan kepada keempat lembaga untuk kerjasma serta kordinasinya selama ini.

Kepada Bapak Profesor Gunawan Tjahjono serta Bapak Ir Popo Danes - sebagai pembicara kunci dalam Seminar ini -, kami ucapkan terima kasih atas waktu serta kesediaannya untuk berbagi melalui pertemuan akademik ini. Kepada Ibu dan Bapak Pemakalah dan Peserta Seminar, kami ucapkan terima kasih atas partisipasinya. Akhirnya, kepada ibu dan bapak panitia pelaksana seminar dan juga para moderator, kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk, waktu dan energi yang direfleksikan melalui kerja keras dan kerjasamanya, sehingga Seminar tahun ini bisa terlaksana dengan baik.

Sebagai penutup, mohon maaf dan permaklumannya jika ada kekurangan dan kekeliruan dalam penyelenggaraan Seminar ini.

Terima kasih

(5)
(6)

vii

R I N G K A S A N

"Forum Arsitektur - Seminar Nasional Tradisi dalam Perubahan: Arsitektur Lokal dan Desain Lingkungan Terbangun" diselenggarakan untuk merumuskan ide serta pemikiran kritis terkait akomodasi elemen-elemen arsitektur tradisional ke dalam desain lingkungan terbangun kekinian dan yang akan datang. Beberapa pertanyaan mendasar yang akan didiskusikan disini adalah: (1) Manakah yang disebut sebagai arsitekur tradisional/lokal/vernakular, sebelum kita berbicara mengenai akomodasinya ke dalam desain?; (2) Haruskah kita memperpanjang keberadaan arsitektur tradisional, ketika lingkungan dimana kita berada telah mengalami perubahan, baik dari segi fisik, sosial-budaya, dan politikal-ekonominya?; (3) Apakah ide pelestarian arsitektur tradisional/lokal hanya dimaksudkan sebagai usaha pembangunan identitas dan image, dua kualitas yang lambat laun menghilang bersama era globalisasi?; (4) Apakah usaha untuk mengakomodasi elemen-elemen desain lokal merupakan tindakan yang melalaikan esensi arsitektur sebagai ranah profesi yang diwarnai kreativitas, tumbuh serta berkembang mengkuti budaya, peradaban dan pembangunan sosial yang ada; dan (5) Dalam mekanisme yang bagaimana wujud serta tata nilai budaya lokal bisa direfleksikan ke dalam rancangan lingkungan terbangun kita?

Pencarian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini membawa makna penting, khususnya bagi satuan kedaerahan yang menjadikan pelestarian budaya lokal sebagai jiwa dan arah pembangunannya, seprti misalnya apa yang terjadi di Pulau Bali. Dengan mengambil konteks perkembangan dunia rancang bangun yang telah terjadi di Provinsi ini, pelaksanaan Forum Arsitektur ini diinspirasi oleh munculnya beragam produk rancangan, yang tidak berjalan beriringan dengan nafas pelestarian budaya lokal. Kondisi ini mengundang perhatian serius, khususnya bagi para akademisi maupun budayawan, mengingat telah dicanangkannya arah pembangunan Pulau Dewata sebagai proses yang mengusung kaidah-kaidah tradisi lokal. Dunia rancang bangun sebagai elemen penentu kualitas lingkungan binaan, dimana kita bernaung, memiliki andil penting dalam pencapaian misi tersebut. Peran ini bukanlah posisi yang mudah untuk dilakoni, baik oleh pihak yang menggeluti profesi perancang, maupun bagi pemerintah yang mengemban fungsi kontrol dan pengendalian. Ini merupakan sebuah tantangan yang mana jika dilakoni dengan sesungguhnya akan membutuhkan niat untuk mengembannya, kemampuan interprestasi serta kreativitas.

Forum Arsitektur - Seminar Nasional ini mencoba menjembatani proses pencarian jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang telah dipaparkan di atas. Adapun sub tema yang diangkat dalam Forum Arsitektur - Seminar ini adalah:

 Mempertanyakan arsitektur tradisional, lokal, dan vernakular.  Rancang bangun, karya arsitektur, dan perjalanannya.

 Arsitektur tradisional dan rancangan lingkungan terbangun.

 Mekanisme serta alternatif metode dalam mengakomodasi arsitektur tradisional ke dalam desain lingkungan binaan.

 Mekanisme pengaturan serta pengendalian - akomodasi arsitektur tradisional dalam desain kekinian dan masa depan.

(7)

viii

Kegiatan ini tidak hanya merangkum ide-ide yang didokumentasikan ke dalam karya tulis (seminar), tetapi juga dengan mencoba memperoleh masukan melalui diskusi interkatif. Keduanya melibatkan para akademisi sebagai pemerhati, perancang profesional, pemerintah sebagai pengontrol dan pengendali pembangunan, serta masyarakat sebagai pemakai hasil rancangan. Diharapkan, dengan mensinergikan kedua kegiatan ini ke dalam satu forum, akan diperoleh masukan yang inklusif, bagaimana kita memahami arsitektur sebagai produk budaya yang memiliki dinamikanya sendiri, bersanding dengan keinginan untuk melestarikan tradisi rancang bangun, yang memiliki tatanan wujud fisik serta tatanan tata nilai yang memandu keberadaannya.

Terima kasih

(8)

ix

DAFTAR ISI

Halaman muka ………..…………. i Editor ………..………. iii Kata Pengantar ……….………. v Ringkasan ……….…….. vii Daftar Isi ………. ix Daftar Pemakalah

Sub Tema 1.

Konsepsi: Arsitektur Tradisional, Lokal,

dan Vernakular

Kajian Semiotika Ornamen dan Dekorasi Interior Kelenteng sebagai Wujud Inkulturasi Budaya di Kota Denpasar ………...……… 1

Ni Made Emmi Nutrisia Dewi, Freddy Hendrawan Dialog pada Arsitektur Bali: Sarana Komunikasi Identitas Lokal ………...………… 15

I Dewa Gede Agung Diasana Putra Membongkar Stagnansi Perkembangan Arsitektur Bali ………... 25

Syamsul Alam Paturusi Arsitektur di Bali Antara Norma dengan Fakta ...………...……… 33

Putu Rumawan Salain Reinterpretasi Latar Belakang Filosofis Konsepsi Desa Kala Patra dan Wujud Penerapannya dalam Seni Arsitektur Bali ...………...……… 41

I Nyoman Widya Paramadhyaksa, I Gusti Agung Bagus Suryada, Ida Ayu Armeli

Sub Tema 2.

Transformasi Rancang Bangun Tradisional

dan Karya Arsitektur

Transformasi Rumah Adat Bali Aga Kasus: Desa Adat Bayung Gede, Desa Adat Penglipuran, Desa Adat Tenganan ……….. 51

Nimas Sekarlangit Transformasi Arsitektur Tradisional dalam Perancangan Bandar Udara ………... 61

Basauli Umar Lubis Bale: Objek Pembentuk Ruang yang Berkelanjutan pada Arsitektur Bali Aga ……… 67

Himasari Hanan Transformasi Bentuk Fasad dan Pola Arsitektur Tradisional Bali ……… 81

(9)

x

Penyesuaian Fungsi Ruang pada Bangunan Domestik di Desa Penglipuran, Bangli ………… 91

Sri Indah Retno Kusumawati

Struktur Konstruksi Bangunan Tradisional di Desa Pengotan, Bangli:

Pelestarian Arsitektur Bali Aga ……… 105

Anak Agung Gde Djaja Bharuna S.

Transformasi Rancang Bangun Tradisional Bali (Jineng) dalam

Fisik Bangunan Fungsi Pariwisata (Hotel) di Badung ………...………. 117

Dwi Meisa Putri

Transformasi Arsitektur Bale Delod Banjar Gamongan, Desa Kaba-Kaba,

Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali ………...……...………. 125

Ni Putu Suda Nurjani

Perubahan Wujud dan Fungsi Ruang pada Rumah Tinggal Tradisional Desa Bali Aga

Studi Kasus: Desa Pedawa, Buleleng-Bali ………..………...…………...………. 137

Tri Anggraini Prajnawrdhi

Adaptasi Bentuk dan Pola Bangunan Tradisional terhadap Fungsi Modern

di Desa Tradisional Penglipuran ………...………...…………...………. 153

Widiastuti

Perubahan Setting Hunian Tradisional di Desa Tengkudak, Tabanan-Bali ………. 167

Ni Luh Putu Eka Pebriyanti

Perubahan Orientasi dan Metode Penamaan Ruang dalam Rumah Tinggal Orang Bali

di Denpasar ………...………...…………...………. 179

I Nyoman Widya Paramadhyaksa

Arsitektur Bale Banjar dan Perannya di Desa Pakraman Perasi, Karangasem ……...………….. 189

I Nyoman Susanta

Sub Tema 3.

Strategi dan Metode dalam Mengakomodasi Arsitektur

Tradisional ke dalam Desain Lingkungan Binaan

Koeksistensi Makna Simbolik Rumah Tradisional Buton (Rumah Kaum Walaka)

dan Bangunan Kantor DPRD di Kota Baubau ………... 203

Muhammad Zakaria Umar

Tata Zonasi Permukiman Adat di Desa Nggela, Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende …… 213

Fabiola T A Kerong

Karakteristik Permukiman Tradisional Desa Bungaya …...…... 227

Ni Luh Jaya Anggreni

Karakteristik Permukiman Tradisional Bali: Desa Julah, Buleleng …... 241

Made Chryselia Dwiantari

Permukiman Tradisional Desa Pengotan Bangli …... 249

Sayu Putu Peny Purnama

Karakteristik Permukiman Tradisional Desa Adat Trunyan, Kintamani, Bangli …... 255

(10)

xi Karakteristik Desa Bali Aga: Desa Tengkudak, Kabupaten Tabanan …... 265

Ni Putu Helsi Pratiwiningsih

Eksistensi Permukiman Tradisional di Desa Bugbug Karangasem

terhadap Perkembangan Pembangunan Masa Kini …... 275

Putu Pradnya Lestari Ratmayanti

Karakteristik Permukiman Tradisional Desa Tenganan …... 283

I Made Raditya Wahyu

Tatanan Spasial Permukiman Tradisional Desa Bali Aga, Timbrah …... 291

Gordon Ardinata

Kawasan Suci Pura Khayangan Tiga Sebagai Bentuk Pelestarian Arsitektur

Tradisional Bali di Desa Adat Kesiman …... 305

Putu Ayu Niasitha Prabandhari

Karakteristik Permukiman Tradisional Penglipuran, Bangli …... 317

I Nyoman Jatiguna

Arsitektur Lingkungan Binaan pada Permukiman Tradisional

(Studi Kasus: Desa Tenganan, Bali) …... 325

Dona Sri Lestari Poskiparta

Karakteristik Desa Adat Tradisional Sidatapa sebagai Desa Bali Aga di Bali Utara …... 339

Luh Ketut Yulitrisna Dewi

Pelestarian Bangunan Cagar Budaya sebagai Arsitektur Lokal di

Kawasan Budaya Kotabaru …... 345

Vinsensius R. Edo

Eksistensi Permukiman Tradisional (Bali) di Kelurahan Ubud ... 355

Ni Nyoman Ratna Diantari

Arsitektur Umah Bali Aga di Desa Wongaya Gede, Kabupaten Tabanan-Bali …... 365

Anak Agung Ayu Oka Saraswati

Implementasi Nilai-Nilai Arsitektur Arsitektur Tradisional Bali

pada Bangunan di Lahan Sempit ……...…………... 375

I Made Juniastra

Tektonika Arsitektur Bali …... 383

Ni Ketut Ayu Siwalatri

Karakteristik Arsitektur Pertamanan (Lanskap) Bali: Potensi dan Tantangan

dalam Perkembangan Arsitektur …... 395

(11)

xii

Sub Tema 4.

Mekanisme Pengaturan serta Pengendalian Akomodasi

Arsitektur Tradisional dalam Desain Kekinian

dan Masa Depan

Desa Wisata Brayut dalam Konteks Pertemuan Aspek Tradisional dan Mordern ……....…… 407

Amos Setiadi

Optimalisasi Fungsi Ruang Terbuka Hijau sebagai Natah dalam Setting Aktivitas

dan Interaksi Sosial Masyarakat Perkotaan di Kota Denpasar ………...…… 419

I Gusti Agung Adi Wiraguna

Komodifikasi Arsitektur Lokal pada Perkembangan Akomodasi Wisatawan

di Pulau Bali ………... 427

Sylvia Agustine Maharani

Kajian Dinamika Ekonomi, Politik, dan Sosial Budaya:

Penghilangan Karakteristik Lokal Arsitektur Kota di Bali ………...…… 437

I Ketut Mudra, I Wayan Yuda Manik

Kunci Keberlangsungan Arsitektur Lokal ………...…... 447

Antonius Karel Muktiwibowo

Implementasi Tata Aturan Tradisional dalam Tata Ruang Publik Pesisir Pantai Sanur …… 455

Kadek Edi Saputra

Memaknai Kembali Kearifan Lokal dalam Konteks Kekinian ...……...……….………. 461

(12)

15

DIALOG PADA ARSITEKTUR BALI:

SARANA KOMUNIKASI IDENTITAS LOKAL

I Dewa Gede Agung Diasana Putra Jurusan Arsitektur Universitas Udayana

Email: diasanaputra@unud.ac.id

Abstract

Balinese architecture is an identity of the Balinese culture that presents its differences with other cultures. As other traditions, architectural productions in Bali have undergone gradual transformation. Using graphic analysis, this paper explores the transformation of the traditional Balinese architecture as an instrument to dialogue aspects influencing the transformation of the Balinese architecture. In this context, geography and political agenda of the government, in the field of architecture, influence the transformation in order to create cultural identity of Bali.

Keywords: architectural dialogue, transformation, identity, local, culture. Abstrak

Arsitektur Bali merupakan salah satu identitas budaya Bali yang berbeda dengan budaya lainnya, yang mana seperti halnya tradisi lainnya, arsitektur juga mengalami transformasi secara gradual. Melalui analisa secara grafis, paper ini mengeksporasi transformasi arsitektur Bali sebagai sarana mendialogkan aspek-aspek yang berpengaruh terhadap transformasi tersebut. Dalam hal ini kondisi geografis dan agenda kekuasaan, dalam bidang arsitektur, berpengaruh terhadap transformasi dalam upaya menciptakan dan membentuk identitas budaya masyarakat Bali.

Kata kunci: dialog dalam arsitektur, transformasi, identitas, lokal, budaya PENDAHULUAN

Hasil karya arsitektur merupakan salah satu produk budaya yang dapat mengekspresikan kesamaan tradisi diantara anggota sebuah budaya dan menunjukkan perbedaan dari budaya lainnya. Arsitektur juga mengekspresikan sebuah ide keunikan yang menawarkan sebuah kebanggaan sehingga masing budaya dapat mengaktualisasikan identitasnya masing-masing melalui sebuah karya arsitetur. Dalam hal ini, karya-karya arsitektur Bali dapat merupakan sebuah perwujudan identitas budaya Bali yang berbeda dengan budaya lainnya. Seperti halnya bahasa yang merupakan sarana komunikasi verbal, maka arsitektur dapat dikategorikan sebagai sebuah sarana komunikasi non verbal. Oleh karena itu, sebuah karya arsitektur harus mampu mendialogkan tujuan dan makna dari bentuk-bentuk yang diekspresikan (Lawson, 2001). Sebagai sebuah alat komunikasi non-verbal, sebuah karya arsitektur mampu mendialogkan kondisi dan keberadaan sebuah masyarakat pada jamannya dalam mengekspresikan identitas sebuah komunitas, termasuk arsitektur tradisional Bali.

Arsitektur tradisional Bali adalah salah satu manifestasi dari budaya dan tradisi-tradisi masyarakat Bali. Arsitektur merefleksikan pengalaman-pengalaman umum dari masa lalu dan pewarisan aspek-aspek budaya. Hal ini dapat dilihat sebagai sumber daya untuk menciptakan identitas budaya (Hall, 1990; Derek & Japha, 1991; Proshansky et al. 1983). Identitas ini mengekspresikan kesamaan tradisi dan budaya diantara anggota masyarakatnya dan mengungkapkan perbedaan dengan yang bukan anggotanya (Brubaker & Cooper, 2000).

(13)

16

Arsitektur beserta tradisi-tradisi yang diwadahi adalah saling berkaitan dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Dalam hal ini, tradisi tidaklah didefinisikan sebagai sebuah fenomena statis yang tidak berubah seperti klasifikasinya pada tahun 1950-60an. Melainkan tradisi adalah sebuah fenomena tidak statis dimana tradisi mengalami proses transformasi secara perlahan (Eisenstadt, 1973). Interaksi antara anggota suatu komunitas dengan budaya luar dan pertumbuhan sosial dan budaya masyarakat sangat berpengaruh terhadap karakter dari kehidupan kekeluargaan, struktur sosial maupun kepercayaan (Gusfield, 1967). Sifat mendasar dari sebuah tradisi adalah memiliki kemampuan adaptasi yang mungkin bertransformasi dalam proses transmisi antar generasi. Proses dari transmisi sebuah tradisi mengacu pada response dan ide masyarakat yang mana interaksi antar generasi seperti sebuah mata rantai chain atau jembatan bridge komunikasi untuk mentransfer tradisi dalam sebuah struktur masyarakat (Shils, 1971, p: 125, 134). Dalam hal ini, budaya Bali juga mengalami transformasi yang terus menerus yang melibatkan kolaborasi dari hubungan sosial dalam masyarakat dan dipengaruhi oleh interaksi dan respon masyarakat Bali terhadap budaya luar (Geriya, 2007; Mantra, 1993). Masing-masing wilayah di Bali memberikan respon yang berbeda-beda terhadap budaya yang datang yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat, potensi dan sumber daya daerah (Mantra, 1993) termasuk didalamnya pengaruh politik kekuasaan dalam sebuah daerah (Geertz, 1983). Hal ini memberikan variasi pada budaya di Bali termasuk arsitekturnya.

Transformasi yang disesuaikan dengan sumber daya lokal inilah kemudian yang melahirkan dialog arsitektur dimana transformasi arsitektur berbeda satu sama lain yang disesuaikan dengan sumber daya lingkungan dan perbedaan respon dari masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, menarik untuk dieksplorasi lebih mendalam sejauh mana variasi arsitektur mengkomunikasikan perbedaan respon dan kondisi kekuasaan dari masa ke masa sehingga mempengaruhi konsepsi arsitektur di Bali. Eksplorasi ini dapat menjadi sebuah upaya inventarisasi tekstur budaya dan praktek-praktek arsitektur yang spesifik dan unik, sekaligus mengungkap dan menggali keanekaragaman budaya di Bali.

Untuk mencapai tujuan tersebut, melalui analisis secara grafis, artikel ini mulai dengan memaparkan aspek kebudayaan yang merupakan perwujudan sebuah identitas sebuah komunitas. Pembahasan dilanjutkan dengan mengeksplorasi arsitektur yang merupakan sarana komunikasi identitas lokal. Melalui analisis visual, paper ini memaparkan dialog pada arsitektur yang merupakan sarana mengkomunikasikan proses transformasi arsitektur di Bali.

BUDAYA SEBAGAI SEBUAH IDENTITAS

Seperti telah diuraikan sebelumnya, sebuah tradisi sebagai sebuah bagian dari budaya merupakan sebuah proses transformasi yang tanpa henti. Penciptaan sebuah tradisi baru di dalam sebuah masyarakat melibatkan sebuah institusi untuk merepresentasikan, seperti apa yang dikatakan oleh Shils (1971, p: 136 sebagai the moral righness atau superiority of an

institusi. (al ini dapat dilihat dari proses transformasi tradisi-tradisi di Bali yang dipengaruhi

oleh kekuatan luar dari Kerajaan Majapahit. Periode pertengahan abad ke 14 ini merupakan tonggak penting budaya Bali terkait dengan hubungan yang kuat antara Jawa dan Bali (Covarrubias, 1974; Vickers, 1989; Swellengrebel, 1984; Hanna, 2004). Berdasarkan berbagai catatan sejarah tradisional yang di sebut babad, pengaruh Majapahit tidak hanya terkait

(14)

17 1986).

Kreasi tradisi baru di Bali melibatkan seorang cucu dari pendeta karismatik dari Jawa, dimana sebuah tradisi baru dapat terwujud jika melibatkan seorang apa yang disebut Shils (1971, p: 145) sebagai

“strong personalities-charismatic persons.”

Dalam hal ini orang yang karismatik dari Jawa ini diutus untuk membangun sebuah tradisi baru di Bali yang didukung dan ditemani oleh pangeran-pangeran jawa yang ditugaskan untuk mengontrol berbagai kawasan di Bali (Geertz, 1980). Bali kemudian dikuasai oleh kerajaan tunggal utama(Gelgel) sebagai wakil Majapahit di Bali, sementara itu kerajaan lainnya seperti Badung, Bangli, Tabanan, Karangasem dikatergorikan sebagai kerajaan sekunder yang independen (Geertz, 1980). Gelgel yang kemudian dipindahan ke Klungkung menjadi pusat rujukan kegiatan budaya, sementara itu puri-puri yang lain tetapi memiliki otonomi untuk menata dan mengatur daerah kekuasaan masing-masing (Agung, 1991).

Dalam rangka mengekspresikan identitas masing-masing, kerajaan-kerajaan sekunder melaksanakan berbagai kegiatan upacara dan ritual untuk mengekspresikan perbedaan status mereka (Geertz, 1980; Nordholt, 1986).Setiap kerajaan menstransformasi secara independen budaya Bali yang mengarah pada perbedaan implementasi pelaksanaan tradisi termasuk tradisi membangun dan arsitektur. Masing-masing kerajaan menjadi pusat rujukan dan pelindung budaya di daerah kekuasaan mereka sehingga budaya dan seni berkembang dengan pesat di istana kerajaan dan desa-desa sekelilingnya.

Di dalam daerah kekuasaannya, kerajaan-kerajaan sekunder tersebut mencoba untuk menciptakan identitas mereka sendiri untuk mengkespresikan batasan-batasan dan superioritas mereka. Mereka mengekspresikan diri mereka dan menciptakan batasan-batasan budaya dengan yang lainnya. Dalam kontek ini, tradisi dan budaya, yang merefleksikan pengalaman historis secara komunal dan memberikan kode-kode budaya, dapat dilihat sebagai sebuah sumber daya untuk menciptakan sebuah batasan dan identitas (Derek & Japha, 1991; Hall, 1990; Proshansky et al. 1983). Identitas mengekspresikan sebuah tradisi dan budaya komunal antara anggota sebuah komunitas dan perbedaan dengan yang bukan anggotanya (Brubaker & Cooper, 2000). Sebuah masyarakat mengekspresikan identitas mereka melalui tradisi, aktivitas budaya dan arsitektur yang berbeda dengan yang lainnya.

ARSITEKTUR SEBAGAI SEBUAH IDENTITAS LOKAL

Arsitektur tradisional Bali adalah salah satu manifestasi dari budaya dan tradisi-tradisi masyarakat Bali. Arsitektur merefleksikan pengalaman-pengalaman umum dari masa lalu dan pewarisan aspek-aspek budaya. Hal ini dapat dilihat sebagai sumber daya untuk menciptakan identitas budaya (Hall 1990, Derek & Japha 1991; Proshansky et al. 1983). Dalam arsitektur tradisional Bali, sebuah ruang atau komponen yang ada didalamnya merepresentasikan bahwa dunia dibagi menjadi dua kutub yang berseberangan, alam yang berkaitan dengan Ketuhanan (divine) dan alam bawah (nether) dimana alam atas adalah arah suci dan dunia bawah adalah

profane (Hobart, Ramseyer & Leeman, 1996; Eiseman, 1989). Selanjutnya, diantara kedua

kutub di atas terdapat ruang antara yang disebut madyapada/ mertyapada sebagai ruang untuk mahluk hidup tinggal (Swellengrebel, 1984; Hobart, Ramseyer & Leeman, 1996). Masyarakat Bali percaya bahwa mereka memiliki peran religious untuk menjaga keharmonisan hubungan dengan Tuhan, sesama mahluk hidup dan menjaga lingkungan yang

(15)

18

merupakan representasi dari kekuatan Tuhan yang disebut tri hita karana (Hobart, Ramseyer & Leeman, 1996; Meganada, 1990; Eiseman, 1989; Kagami, 1988; Ashrama, Pitana & Windia, 2007).

Filosofi ini menginspirasi konsep-konsep yang terkait dengan bentang alam Bali dari divisi fisik alam semesta sampai divisi fisik mahluk hidup seperti konsep tri loka (alam atas untuk Tuhan /swah loka, dunia tengah untuk mahluk hidup /bwah loka dan dunia bawah /bhur loka); dan konsep tri angga (utama, madia dan nista atau kepala, badan dan kaki) (Meganada, 1990; Eiseman, 1989; Gelebet, 1986; Hobart, Ramseyer & Leeman, 1996). Konsep ini tidak hanya di terapkan dalam tata ruang arsitektur Bali, tetapi juga dalam bentuk, struktur dan proporsinya.

Di dalam bentuk arsitektur Bali, ornamen, proporsi dan juga material yang dipergunakan merupakan salah satu komponen yang dapat mendialogkan adanya perbedaan dan variasi dari arsitektur Bali. Ada beberapa style yang terwujud dalam dialog tersebut dimana faktor-faktor sumber daya alam maupun politik kekuasaan memiliki peranan yang penting. Melimpahnya keberadaan batu paras di wilayah Gianyar, sebagai sebuah contoh, membuat style gegianyaran banyak memadukan jenis batu ini dengan batu bata merah dalam arsitekturnya. Sementara itu gaya bebadungan didominasi oleh penggunan batu bata merah dalam arsitketurnya (Gambar 1). Secara umum, bentuk arsitekturnya adalah mirip, tetapi karena karakter material yang digunakan, terdapat beberapa perbedaan dalam ornament dan bagian-bagian bentuk bangunannya. Karakter ini diwariskan dari generasi ke generasi dan dirawat sebagai sebuah karya agung dari masyarakat pendukungnya (Shils, 1971). Dalam hal ini arsitektur mampu mendialogkan sebuah identitas kawasan yang mana identitas merupakan sebuah gagasan yang kuat dari homogenitas sebuah group dan ingin menunjukkan status dari group tertentu (Brubaker & Cooper, 2000).

Gambar 1. Material bangunan dapat mendialogkan peprbedaan antara gaya bebadungan dan

gegianyaran di Bali

b. Gaya bebadungan yang didominasi oleh penggunaan bata merah

a. Gaya gegianyaran yang menggunakan kombinasi batu paras dan bata merah

(16)

19 transformasikan melalui interaksi antara pihak-pihak di dalam dan di luar sebuah komunitas, dan kemudian di pahami sebagai sebuah proses berlanjut dan melibatkan tidak hanya kondisi sosial budaya tetapi juga pengaruh luar (Logan, 1994; Liu, 2009). Penggunaan berbagai bentuk dan model yang diadopsi dari budaya luar seperti patra cina dan bahkan kendaraan modern (Gambar 2) sebagai ornament pada arsitektur Bali dapat mendialogkan bahwa masyarakat Bali telah menerima ide-ide baru untuk memperkaya budayanya. Dalam hal ini, ornament yang dipergunakan telah melalui sebuah proses adopsi dimana para seniman dan undagi, selama proses pembangunan, secara bebas menciptakan dan berimprovisasi.

Meskipun demikian, kreasi baru ini masih di dalam kerangka tradisi masyarakat atau seperti diutarakan oleh Shils (1971), penyerapan hal-hal baru dari tradisi lama masih mampu merepresentasikan kualitas yang tinggi dari masa lampau sehingga tradisi baru dapat diterima oleh komunitasnya dan dilegitimasi oleh system dan institusi tradisional seperti desa pekraman maupun puri . Sebagai sebuah institusi tradisional, sebuah desa pekraman memiliki otonomi untuk mengatur aktivitas budaya dan agama di dalam daerah teritorialnya. Desa juga memiliki peraturan tradisional yang tertuang dalam awig-awig yang mana setiap keputusan dan kebijakan, termasuk melegitimasi penciptaan tradisi di dalam desa, didiskusikan dalam sebuah rapat anggota (sangkep). Meskipun demikian, desa yang terletak di sekitar puri biasanya melibatkan puri yang merupakan pusat panutan maupun pelindung budaya termasuk arsitektur di dalam teritorialnya. Karena itu ritual dan seni budaya yang meliputi penciptaan maupun proses transformasi sebuah tradisi baru, biasanya berkembang dengan pesat dan terjadi di puri dan daerah sekitarnya seperti halnya Ubud.

DIALOG ARSITEKTUR DALAM PROSES TRANSFORMASI ARSITEKTUR

Dalam sebuah proses penciptaan atau transformasi sebuah karya arsitektur, model-model atau bentuk-bentuk baru yang dilihat maupun aktivitas baru yang dialami oleh masyarakat di dalam kehidupan mereka merupakan sumber imaginasi dari ide-ide baru tersebut. Hal ini menjukkan bahwa identitas arsitektur dipengaruhi oleh budaya lainnya, dan masyarakat Bali menyesuaikan dan menggunakan hal baru tersebut sebagai komponen di dalam bangunan mereka. Bahan dan teknologi bangunan baru juga diadopsi yang merupakan bagian dari arsitektur tradisional. Dalam konteks ini, arsitektur tradisional Bali mengalami evolusi secara kontiyu (Vale 1992) dimana penggunaan ide-ide modern yang ditunjukkan melalui material-material dan bentuk-bentuk baru mengekspresikan identitas baru (Rapoport, 1983) dan mendialogkan variasi karakter bangunan.

Gambar 2. Sebuah kendaraan modern menjadi sebuah ornament di Pura Jagaraga Buleleng

(17)

20

Proses transformasi ini disebut sebagai arsitektur hybrid yang terkait dengan penggunaan aspek-aspek modern arsitektur di dalam arsitektur tradisional Bali atau seBaliknya (Wijaya 2003). Taman Ujung Karangasem (Gambar 3) dan bale bandung/loj/kantor (Gambar 4) mendialogkan bahwa arsitektur tradisional Bali mengadopsi budaya luar sebagai bagian dari identitas arsitektur tradisionalnya. Gaya ini merupakan gaya atau model yang prestisius pada era kolonial di Bali sampai sebelum era kepariwisataan (Putra 2013).

Adopsi dari budaya luar ke dalam arsitektur Bali dipengaruhi oleh politk etik dari pemerintahan kolonial Belanda dan Indonesia. Seperti dinyatakan oleh Kurno (2000), Pemerintah Kolonial Belanda mengkombinasikan ambisi untuk memodernisasi Bali dan aspirasi untuk mempertahankan gaya arsitektur Bali. Agenda dari upaya untuk mempreservasi dilajutkan oleh Pemerintah Indonesia yang mana Bali dipromosikan dan dikonservasi sebagai daerah budaya tradisional dari Indonesia. Pendekatan dari Pemerintah Indonesia menuju

Gambar 3. Taman Ujung Karangasem, tempat rekreasi puri untuk keluarga Puri Karangsem

Gambar 4. Bale bandung/kantoran di Puri Kerambitan (kiri) dan Sukawati (tengah) serta angkul-angkul di Puri Sukawati (kanan)

(18)

21 otoriter dimana budaya dianggap sebagai representasi dari variasi arsitektur regional yang hanya sebagai objek budaya yang berlawanan dengan arsitektur modern (Kusno 2000). Pemerintah Indonesia mengintepretasikan kemBali arsitektur Bali sebagai etnik yang berbeda dengan wilayah lainnya, dimana masing-masing kawasan digambarkan sebagai identitas budaya yang eksotik dan sebagai sebuah simbul budaya (Kusno, 2000).

Agenda budaya oleh Kolonial Belanda dan kemudian dilanjutkan oleh Pemerintah Indonesia telah mendorong transformasi arsitektur Bali. Variasi gaya-gaya arsitektur Bali seperti

buleleng, bebadungan dan gegianyaran secara perlahan berubah menjadi gaya tunggal yang

mana gegiayaran menjadi acuan identitas arsitektur di Bali. Transformasi arsitektur telah mendialogkan visi preservasi kolonial Belanda di Bali dalam bidang arsitektur. Di dalam visi tersebut terdialogkan dalam disain arsitektur dari stand pameran Hindia Belanda pada Colonial Exposition di Paris tahun 1931. Dalam pameran tersebut, stand pameran Hindia Belanda, yang didisain oleh P.A.J. Moojen dan W.J.G. Zweedijk, diinspirasi oleh beberapa arsitektur tradisional pura dan puri di Gianyar (Morton, 2000; Savarese, 2001). Pemilihan gaya

gegianyaran ini, sebagai representasi dari arsitektur Bali dalam kegiatan ini, dipengaruhi oleh

ekspedisi arsitektur dari Moojen di Bali yang dipandu oleh Walter Spies dan Rudolph Bonnet yang tinggal di Ubud. Karena stand Hindia Belanda di pameran tersebut menjadi titik awal memperkenalkan Bali kepada para atropolog, seniman, arsitek maupun wisatawan tahun 1930an (Picard, 1996), maka gaya arsitekturnya menjadi panduan arsitektur dan menginspirasi pemerintah baik kolonial maupun pasca kolonial di Bali. Dalam hal ini gaya bangunan pada stand Hindia Belanda menjadi acuan dalam mewujudkan identitas arsitektur Bali pada awal abad ke 20 (Achmadi 2007). Lebih lanjut, masyarakat juga mencontoh gaya tersebut, yang dianggap menunjukkan sebagai bentuk terbaik dan dipergunakan dalam berbagai bangunan baik di rumah tinggal maupun fasilitas wisata (Putra 2012). Kegiatan kepariwisataan banyak mempengaruhi penggunaan gaya ini dimana pariwisata telah mempengaruhi kesadaran masyarakat untuk mempreservasi dan menggunakan kemBali identitas arsitektur Bali khususnya gaya gegianyaran pada karya arsitektur yang bangun (Putra, Lozanovska & Fuller, 2013). Seperti diungkapkan oleh Achmadi (2007), implikasi utama dari aktivitas kepariwisataan, yang didialogkan dari hasil karya arsitektur, adalah bahwa identitas lokal telah memudar dan gaya gegianyaran, yang direputasikan sebagai contoh arsitektur terpilih untuk arsitektur Bali, menyebar keseluruh Bali.

Dalam dialognya, karya-karya arsitektur mampu mengkomunikasikan agenda kebijakan di Bali, dimana pariwisata telah membentuk konsep baru dalam arsitektur Bali yang secara perlahan merubah keanekaragaman gaya arsitektur local menjadi gaya tunggal (Achmadi 2007). Dalam hal ini, dialog arsitektur dari masa ke masa yang menunjukan terjadinya transformasi budaya di Bali, perlu dilihat berdasarkan kondisi kekinian dan hubungan kekuasaan. Sebagai sebuah karya budaya, transformasi arsitektur Bali dapat dilihat sebagai proses adaptasi dalam rangka mengakomodasi kondisi kekinian masyarakat. Konsep identitas arsitektur Bali dapat dibaca sebagai upaya mengolah atau mengupayakan kemungkinan arsitektur kekinian dan pandangan baru tentang formasi arsitektur (Achmadi 2007). Proses transformasi ini merupakan sebuah respon untuk menghadapi tantangan baru di dalam masyarakat dengan mengintepretasi konsep baru dalam identitas arsitektur. Hal ini dapat dilihat saat ini dimana masyarakat mulai kemBali memandang keanekaragaman gaya arsitektur Bali sebagai upaya mengintepretasikan atau menemukan kemBali identitas lokal mereka. Penggunaan bata merah pada bangunan yang baru di bangun atau direnovasi di Kota

(19)

22

Denpasar (Gambar 5), adalah salah satu upaya masyarakat, yang didukung oleh legalitas dari pemerintah setempat, untuk kemBali membangkitkan lokalitas dan kebanggaan terhadap identitas lokal arsitektur di Bali dan mendialogkan kepada masyarakatnya maupun komunitas lainnya akan keberadaan identitasnya.

KESIMPULAN

Arsitektur mampu mengekspresikan sebuah keunikan sehingga masing-masing budaya dapat mengaktualisasikan identitasnya termasuk arsitektur tradisional Bali. Seperti halnya sebuah tradisi, arsitektur Bali juga mengalami proses transformasi secara gradual yang mana proses ini mampu mendialogkan kondisi alam dan agenda politik dalam bidang budaya dan arsitektur dari masa ke masa. Dalam proses ini, tejadi proses legitimasi oleh institusi tradisional seperti desa pekraman maupun puri. Akan tetapi seiring dengan kemajuan jalan, proses legitimasi dalam transformasi arsitektur di Bali bergeser dari institusi tradisional menuju institusi kenegaraan baik itu pemerintah kolonial maupun Indonesia. Dalam hal ini pemerintah colonial belanda dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia mengkombinasikan ambisi untuk memodernisasi dan mempreservasi gaya arsitektur Bali. Dalam hal ini muncul bentuk-bentuk hybrid maupun penyamarataan gaya arsitektur Bali menjadi style tunggal dari sebelumnya yang bervariasi. Penunggalan gaya arsitektur semakin meningkat seiring dengan kemajuan transportasi dan aktivitas kepariwisataan dimana masyarakat menggunakan gaya gegianyaran sebagai model gaya arsitektur Bali. Dalam hal ini konsep gaya arsitektur Bali dapat dibaca sebagai sebuah respon untuk menghadapi tantangan baru dengan mengintepretasi kemBali konsep baru dalam identitas arsitektur. Proses transformasi arsitektur Bali ini mampu mendialogkan telah terjadinya interaksi masyarakat dengan budaya luar, pemanfaatan potensi-potensi geografis maupun adanya pengaruh kekuasaan dalam menciptakan identitas arsitektur di Bali yang mana saat ini masyarakat mulai menghidupkan kemBali gaya arsitektur lokal yang dipertegas dengan beberapa ketentuan perundangan yang dihasilakan instansi kepemerintahan sebagai pihak yang memiliki legalitas.

REFERENSI

Gambar 5. Penggunaan gaya arsitektur bebadungan pada bangunan yang baru

(20)

23

the construction of Balinese cultural identity in the 20th century. PhD thesis, the

University of Melbourne, Australia.

Agung, I.A.A.G (1991) Bali in the 19th century. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Ashrama, B, Pitana, IG, & Windia, W (2007) Bali is Bali forever, ajeg dalam bingkai tri hita

karana. Bali Travel News and Pemerintah Provinsi Bali, Denpasar.

Brubaker, R & Cooper, F (2000) Beyond identity. Theory and Society, vol. 29, no. 1, pp. 1-47. Covarrubias, M (1974) Island of Bali. Oxford University Press, Kuala Lumpur.

Derek & Japha, V (1991) Identity through detail: an architecture and cultural aspiration in Montagu, South Africa, 1850-1915. TDSR, Vol. II, p: 17-33.

Eiseman Jr, FB (1989) Sekala and niskala: essays on religious, ritual and art, vol. I. Periplus Editions, Singapore.

Eisenstadt, SN (1973) Post-traditional societies and the continuity and reconstruction of tradition. Daedalus, Vol. 102, No. 1, Post-Traditional Societies (Winter, 1973), p: 1-27, the MIT Press on behalf of American Academy of Arts & Sciences.

Geertz, C (1980) Negara: the theatre state in nineteenth-century Bali. Pricenton University Press, New Jersey.

Geertz, C (1973) The interpretation of cultures. Basic Books Inc, New York.

Gelebet, IN (1986) Arsitektur tradisional daerah Bali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Denpasar.

Geriya, IW (1976) Sikap terhadap pariwisata, Pengkajian Budaya, 2, Universitas Udayana, Denpasar.

Gusfield, J.R (1967) Tradition and modernity: misplaced polarities in the study of social change. American Journal of Sociology, Vol. 72, No. 4, p: 351-362.

Hall, S (1990) Cultural identity and diaspora, in J Rutherford (ed), Identity, community, culture

difference. Lawrence and Wishart, London, p: 222-237.

Hanna W.A (2004) Bali chronicles, Periplus Editions, Singapore.

Hobart, A, Ramseyer, U & Leemann, A (2001) The people of Bali. Blackwell Publishers Ltd, Massachusetts.

Kagami, H (1988) Balinese traditional architecture in process. The Little World Museum of Man, Inuyama.

Kusno, A (2000) Behind the Postcolonial: Architecture, Urban Space and Political Cultures in

Indonesia. Routledge, London.

Lawson, B (2001). The Language of Space. Oxford: Architectural Press.

Liu, Y (2009) Construction ethnic identity: making and remaking Korea-Chinese Rural Houses in Yanbian, 1881-2008. TDSR, Vol. XXI, No. 1, p: 67-82.

Logan, W.S (1994) Hanoi townscape: symbolic imagery in Vietnam’s capital’, in Askew & WS Logan (eds), Cultural identity and urban change in Southeast Asia: interpretative

essays. Deakin University Press, Geelong, p: 43-69.

Mantra, IB (1993) Bali masalah sosial budaya dan modernisasi. Upada Sastra, Denpasar. Meganada, IW (1990) Pola tata ruang arsitektur tradisional dalam perumahan KPR-BTN di

Bali. Magister thesis of architecture, Institut Teknologi Bandung.

Morton, P.A (2000) Hybrid Modernities: Architecture and Representation at the 1931 Colonial

Exposition. The MIT Press, Cambridge.

Nordholt, H.S (1986) Bali: colonial conceptions and political change 1700-1940 from shifting

(21)

24

Picard, M (1996) Bali: cultural tourism and touristic culture. Archipelago Press, Singapore. Proshansky, HM et al. (1983) Place identity: physical world socialization of the self’. Journal of

Environmental Psychology, Vol. 3, p: 57-83.

Putra, I D.G.A.D (2012) Tourism Facilities on Balinese Traditional Housing Extensions in Ubud Village Bali (in Term on Environmental Sustainability). Ruas, Vol. 10, No. 1, p: 44-51. Putra, I D.G.A.D (2013) Transformasi Rumah Tradisional Bali di Kawasan Wisata: Sebuah

proses perjalanan arsitektur traditional Bali. Seminar Nasional Reintepretasi Identitas

Arsitektur Nusantara. Denpasar: Universitas Udayana Bali, ISBN No. 1234-5678, p: 2.149-2.158.

Putra, ID.G.A.D, Lozanovska, M & Fuller, R (2013) The transformation of the traditional Balinese house for tourist facilities: managing a home-based enterprise and maintaining an architectural identity. International Conference on Management and

Business Science Malang Indonesia, p: 53-67.

Rapoport, A (1983) Development, culture change and supportive design. Habitat International, Vol. 7, No. 5/6, p: 249-268.

Savarese, N (2001) 1931: Antonin Artaud Sees Balinese Theatre at the Paris Colonial Exposition. The Drama Review, Vol. 45, No. 3, New York University and the Massachusetts Institute of Technology.

Shils, E (1971) Tradition, Comparative Studies in Society and History, vol. 13, no. 2, Special Issue on Tradition and Modernity, p: 122-159.

Swellengrebel, J.L (1984) Introduction, in JL Swellengrebel (ed), Bali: studies in life, thought,

and ritual. Foris Publication Holland, Nethelands, p: 1-76.

Vale, L.J (1992) Architecture, power, and national identity. Yale University, New Haven & London.

Vickers, A (1989) Bali: a paradise created. Penguin Books Australia Ltd, Ringwood Victoria. Wijaya, M (Michael White) (2003) Architecture of Bali: a sourcebook of traditional and modern

Gambar

Gambar 1. Material bangunan dapat mendialogkan peprbedaan antara gaya bebadungan dan  gegianyaran di Bali
Gambar 2. Sebuah kendaraan modern menjadi  sebuah ornament di Pura Jagaraga Buleleng
Gambar 3. Taman Ujung Karangasem, tempat rekreasi puri untuk keluarga Puri  Karangsem
Gambar 5. Penggunaan gaya arsitektur bebadungan pada bangunan yang baru  direnovasi di Denpasar

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan Hidayat, Sukardi dan Insani (2004) memperlihatkan bahwa teknologi pengolahan tempe di Indonesia sangat bervariasi dan sebagian

Dalam pendidikan agama Hindu yang diterapkan di sekolah ternyata banyak siswa yang mengalami hal yang serupa yaitu peserta didik mengalami kurang motivasi dan

Jakarta Tourism menginformasikan bahwa destinasi wisata Taman Menteng telah dibuka kembali pada 23 Maret 2021 dengan menerapkan protokol kesehatan.. Teman Taman

Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa: Diagram Kerangka Berpikir(KB) termasuk dalam kategori DIAGRAM PROSEDUR; sedangkan MODEL PENELITIAN (MP), termasuk dalam

Akumulasi parkir merupakan jumlah kendaraan yang diparkir di suatu tempat pada waktu tertentu dan dapat dibagi sesuai dengan kategori jenis dan maksud perjalanan.. Integrasi dari

Pada penelitian ini, penulis meneliti dan menitikberatkan pada persepsi Ulama kota Banjarbaru terhadap pasal 18 undang-undang nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat,

 Buku kode etik perusahaan biasanya mengkodifikasi nilai- nilai etika bisnis & budaya perusahaan (corporate culture) dalam suatu bentuk rumusan tata-tindak tertulis mengenai

Pada langkah selanjutnya, penulis berkeliling mengecek kegiatan peserta di- dik saat mengerjakan postes, dan memberikan penjelasan terhadap peserta didik yang kurang