• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PELATIHAN REGULASI EMOSI UNTUK MENINGKATKAN WELL BEING REMAJA AWAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PELATIHAN REGULASI EMOSI UNTUK MENINGKATKAN WELL BEING REMAJA AWAL"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PELATIHAN REGULASI EMOSI

UNTUK MENINGKATKAN WELL BEING REMAJA AWAL

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata 2 pada Program Magister Psikologi Profesi

Oleh :

MEGA CIPTA WAHYUNINGSIH T 100 145 002

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAHSURAKARTA 2017

(2)
(3)
(4)
(5)

PELATIHAN REGULASI EMOSI UNTUK MENINGKATKAN WELL BEING REMAJA AWAL

Mega Cipta Wahyuningsih, Wiwien Dinar Pratisti, Usmi Karyani Universitas Muhammadiyah Surakarta

Email: cipta.mega92@gmail.com

Abtrak. Well being merupakan kemampuan seseorang dalam menilai tingkat kepuasan hidup serta penilaian terhadap afek (afek positif dan afek negatif). Remaja awal cenderung memiliki well being yang rendah disebabkan oleh tuntutan lingkungan agar berperilaku seperti orang dewasa namun dalam menghadapi permasalahan sering bertindak irrasional dan emosinya meluap-luap. Oleh sebab itu, perlu penanganan yang tepat yaitu dengan pelatihan regulasi emosi. Subjek dalam penelitian ini merupakan remaja awal di SMP Muhammadiyah 7 Surakarta yang memiliki kategori tingkat well being rendah maupun sedang. Keseluruhan subjek dalam penelitian ini berjumlah 40 orang yang terbagi menjadi 2 kelompok yaitu, kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Pembagian kedua kelompok tersebut dilakukan dengan cara random assignment. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala well being dengan desain eksperimen pre test-post test control group design. Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan teknik Independent Sample T-Test dengan nilai t= -3,709 dan sig (2 tailed)= 0,001 dimana (p<0,01), yang berarti terdapat perbedaan tingkat well being yang sangat siginfikan antara kelompok yang diberikan pelatihan regulasi emosi dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberikan pelatihan regulasi emosi. Dengan demikian, pelatihan regulasi emosi efektif dalam meningkatkan well being remaja awal.

Kata kunci: Pelatihan Regulasi Emosi, Remaja Awal, Well Being

Abstract. Well being is a person's ability to assess the level of life satisfaction and the assessment of affects (positive affects and negative affects). Early adolescents have a low category of well being because they must be adult although their behavior is irrational and have a high level of emotion. It must be solved by emotional regulation training. Subjects on this study are early adolescents in SMP Muhammadiyah 7 Surakarta who have well being on low category or medium category. The total subjects in this study amounted to 40 people. They divided into 2 groups namely, control groups and experimental groups by random assignment. The collecting data in this study use a well being scale with experimental design pre test-post test control group design. Hypothesis test in this study using Independent Sample T-Test technique with value t= -3,709 and sig (2 tailed)= 0,001 which (p <0.01). It means there is a significant differences of well being level between groups given emotional regulation training

(6)

and groups that are not given emotional regulation training. Therefore, emotional regulation training is effective in improving well being of early adolescence. Keywords: Early Adolescence, Emotional Regulation Training, Well Being 1. PENDAHULUAN

Kajian mengenai well being saat ini menjadi perbincangan penting di berbagai negara di era globalisasi. Well being sendiri memiliki arti sebuah penilaian yang meliputi evaluasi kognitif dan emosional individu terhadap kehidupan mereka seperti yang disebut orang awam sebagai kebahagiaan, ketentraman, berfungsi penuh, dan kepuasan hidup (Diener, Oishi, & Lucas, 2003). UNESCO, UNHDR, WHO, dan CIA berpendapat bahwa orang yang optimis mampu menentukan tujuan hidup, mampu menilai capaiannya secara lebih positif, dan merasakan sejahtera, sedangkan orang yang pesimis cenderung lebih banyak menunjukkan gejala depresi (Bailey, Eng, Frisch & Snyder, 2007). Well being juga menjadi salah satu aspek penting dalam kehiduapan remaja. Hal tersebut terlihat dari banyaknya penelitian mengenai well being dan remaja.

Masa remaja sendiri merupakan periode transisi dari sekolah dasar menuju ke sekolah menengah pertama (Schunk dan Meece, 2005; Hurlock, 2004). Pada masa ini, remaja mengalami berbagai perubahan, baik perubahan fisik maupun psikis. Perubahan yang nampak jelas adalah perubahan fisik, dimana tubuh sudah berkembang seperti bentuk fisik orang dewasa. Selain itu, remaja juga berubah secara kognitif dan mulai mampu berpikir abstrak seperti orang dewasa. Oleh karena itu, Hall (dalam Santrock, 2007) mengatakan bahwa masa remaja sering dikenal dengan periode “Storm and Stress” (badai dan tekanan). Periode badai dan tekanan yang dialami remaja dalam masa perkembangannya, mempengaruhi perkembangan emosional remaja. Remaja awal juga dihadapkan dengan banyak perubahan dan tuntutan baru sehingga harus mampu menyesuaikan diri dengan baik (Amstrong, 2011; Jacobson dan Brudsal, 2012; Chong, Huan, Lay, dan Rebecca, 2006). Remaja yang mampu melewati setiap tahapan perkembangan dengan baik akan memiliki tingkatan well being yang tinggi (Huebner, 2004; Erylmaz, 2011). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa, usia menjadi prediktor dalam perubahan well being. Anak - anak di sekolah dasar

(7)

memiliki afek positif yang tinggi serta kepuasan hidup yang lebih baik dibandingkan dengan individu di sekolah menengah pertama. Pada usia anak-anak belum banyak yang memahami konsep emosi yang terjadi dalam diri mereka, sedangkan pada usia remaja awal sudah mulai mengalami perubahan emosi (Greene, 1990; Chang, McBride-Chang, Stewart, &Au, 2003).

Data hasil angket pra penelitian yang diberikan kepada 150 siswa di kelas VII, VIII, dan IX SMP Muhammadiyah 7 Surakarta dengan tujuan untuk mengetahui permasalahan apa yang sering dialami oleh siswa menunjukkan bahwa 57,4 % mengalami afek negatif; 25,3 % menunjukkan ketidakpuasan hidup; dan 17, 3% menunjukkan afek positif. Hasil data tersebut menunjukkan bahwa remaja awal yang tengah duduk di bangku sekolah menengah pertama lebih didominasi oleh afek negatif serta ketidakpuasan hidup. Selain itu, dari hasil angket tersebut juga mengungkapkan bahwa 81,3 % atau 122 siswa merasa dirinya tidak sejahtera. Afek negatif serta ketidakpuasan tersebut merupakan indikator yang menunjukkan tingkat well being yang rendah pada remaja awal (Mothamaha, dalam Darmayanti 2012). Afek negatif yang muncul didominasi oleh perasaan sedih, dimana perasaan sedih merupakan emosi yang cukup menonjol yang sering dialami oleh remaja.

Campos dan Saarndikk (dalam Santrock, 2007) berpendapat bahwa emosi adalah sebagai perasaan atau afeksi yang timbul karena seseorang sedang berada dalam suatu keadaan atau suatu interaksi yang dianggap penting olehnya, terutama tingkatan well-being pada dirinya. Penelitian mengenai well being dan regulasi emosi yang dilakukan oleh Pratisti (2016) menunjukkan bahwa regulasi emosi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan well being. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa regulasi emosi berperan sebagai variabel mediator dimana variabel optimisme, pertemanan, dan dukungan sosial memiliki peran yang signfikan terhadap well being apabila melalui regulasi emosi. Apabila remaja itu optimis, memiliki pertemanan yang bagus, serta mendapatkan dukungan sosial dari lingkungannya maka remaja tersebut semakin positif didalam mengelola emosinya, sehingga remaja tersebut dapat merasa dirinya sejahtera. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa strategi regulasi emosi

(8)

memiliki pengaruh yang siginifikan dalam pemrosesan well being remaja. Strategi regulasi emosi positif mampu meningkatkan well being dan menurunkan emosi negatif (Abler, 2010). Penelitian Diener, Lucas, dan Scolon (2006) juga menunjukkan bahwa kepuasan hidup berkorelasi tinggi dengan strategi emosi positif yang artinya kemampuan startegi regulasi emosi positif dapat meningkatkan kepuasan hidup seseorang, sebaliknya seseorang yang sering menggunakan strategi regulasi emosi negatif cenderung memiliki well being yang rendah (Nevin, 2005).

Dari berbagai uraian di atas dapt disimpulkan bahwa remaja awal memiliki tingkat well being yang rendah dikarenakan afek negatif lebih mendominasi dibandingkan afek positif serta perasaan ketidakpuasan muncul di dalam masa transisinya menghadapi tugas perkembangan yang baru. Untuk mengatasi permasalah tersebut Peneliti mengasumsikan bahwa afek negatif harus diturunkan dan afek positif harus ditingkatkan melalui sebuah pelatihan regulasi emosi.

Pada berbagai penelitian pelatihan regulasi emosi terbukti mampu untuk memunculkan pengetahuan seseorang dalam melatih emosinya di kehidupan sehari-hari, sehingga seseorang mampu berada dalam kondisi yang stabil secara emosi meskipun sedang menghadapi masalah atau tekanan dalam tahapan perkembangannya. Oleh karena itu, Peneliti tertarik untuk mengkaji secara lebih mendalam dengan rumusan masalah “Apakah pelatihan regulasi emosi dapat meningkatkan well being remaja awal?”

2. METODE

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kuantitatif eksperimental dengan desain eksperimen model pre test-post test control group design yang merupakan bentuk desain klasik dengan prosedur randomisasi di tiap kelompok baik kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen. Masing-masing kelompok kontrol maupun eksperimen sama-sama diberikan pre test dan post test, namun yang diberikan perlakuan hanya kelompok eksperimen saja (Creswell, 2010).

(9)

Tabel 1. Desain Eksperimen

R

Kelompok Pre-test Perlakuan Post-test

KE O1 X O2

KK O1 ― O2

Keterangan:

R : randomisasi

KE : kelompok eksperimen dengan intervensi pelatihan regulasi emosi

KK : kelompok kontrol

X : perlakuan (pelatihan regulasi emosi) : tanpa perlakuan

Subjek penelitian pada penelitian ini berjumlah 40 orang siswa di SMP Muhammadiyah 7 Surakarta yang memiliki tingkat well being rendah atau sedang berdasarkan kategorisasi skor skala well being. Skala well being terdiri dari tiga aspek yaitu, kepuasan hidup, afek positif, dan afek negatif. Skala tersebut merupakan modifikasi dari Flourishing Scale dan SPANE (Diener & Biswas, 2009). Keseluruhan subjek kemudian dibagi menjadi 2 kelompok secara random menjadi kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.

Kelompok kontrol merupakan kelompok yang tidak mendapatkan perlakuan apapun, sedangkan kelompok eksperimen merupakan kelompok pembanding atau kelompok yang mendapatkan perlakuan yaitu berupa pelatihan regulasi emosi. Pelatihan tersebut dilaksanakan berdasarkan modul hasil modifikasi dari modul pelatihan regulasi emosi oleh Aesijah (2013). Pelaksanaan pelatihan dilakukan selama satu hari dengan materi yang terdiri dari proses evaluasi emosi, memonitor emosi, dan memodifikasi emosi dengan strategi regulasi emosi positif.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Hasil

Penelitian yang telah dilaksanakan menghasilkan data baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Hasil data kuantitatif melalui tahapan uji asumsi terlebih dahulu sebelum dilakukan uji hipotesis. Uji asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji normalitas dan uji homogenitas.

(10)

Tabel 2. Uji Normalitas Dan Homogenitas

Waktu Skor Taraf Signifikansi Keterangan

Post Test 0,63 (K-SZ) 0,821 Normal

Post Test 0,139 (Levene Statistic) 0,771 Homogen

Tabel 3. Perubahan Skor Well Being Subjek Penelitian

Kelompok Subjek Skor

Pretest Skor Postest Skor Follow Up

Kelompok Subjek Skor

Pretest Skor Postest Skor Follow Up Eksperimen ARHP 97 94 98 Kontrol AS 97 94 90 A 97 106 110 AF 96 96 95 AP 88 104 102 AA 105 103 104 DF 96 104 107 AFD 87 90 85 DIW 99 111 112 DNSD 93 96 100 DR 102 108 107 FZ 96 101 99 EP 105 105 110 FSB 99 99 90 FC 100 107 102 HP 90 90 88 FR 92 104 104 IDR 99 103 106 FAP 98 99 102 JR 99 98 100 HR 90 103 107 MBK 95 101 105 II 96 101 107 NPP 97 100 100 LI 97 89 89 NA 95 100 102 MIQ 98 114 110 PE 101 104 96 MIL 98 109 110 RAP 93 90 90 NR 97 106 105 RA 104 105 91 RMB 105 119 117 RW 101 104 106 SM 101 112 108 SA 83 85 87 UK 97 114 116 SMF 105 104 100 YP 99 102 102 VFP 100 99 100 Tabel di atas merupakan hasil perubahan skor pre test, post test, dan follow up pada kelompok kontrol dan eksperimen. Berikut adalah tabel hasil perbandingan post test kelompok kontrol dengan post test kelompok eksperimen. Kemudian dari data tersebut di atas dilakukan uji hipotesis dengan teknik Independent Sample T-Test dan Wilcoxon.

Tabel 4. Tabel Hasil Uji Independent Sample T-Test Post Test

T -3,709

Sig (2-tailed) 0,001

Hasil di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok yang tidak diberikan pelatihan regulasi emosi dibandingkan dengan kelompok yang diberikan pelatihan regulasi emosi. Sedangkan tabel berikut menunjukkan perbandingan skor pretest, post test, dan follow up pada kelompok eksperimen.

(11)

Tabel 5. Hasil Uji Wilcoxon

Koefisien Pre Test-Post Test Post Test-Follow Up

z -3,423a -0,952a

Asymp.Sig. (2-tailed) 0,001 0,341

Selain analisis secara kuantitatif, penelitian ini juga memiliki data lain yang dianalisis secara kualitatif. Analisis tersebut dilakukan kepada kelompok eksperimen dengan melihat hasil skala well being , observasi pada saat pelatihan, wawancara setelah pelatihan, lembar tugas, serta lembar evaluasi yang diisi setelah proses pelatihan berlangsung. Terdapat lima orang subjek yang mengalami perubahan skor yang signifikan pada saat pre test-post test pada kelompok eksperimen.

Tabel 6. Matrik Data Kualitatif

Subjek Skor Uraian Kualitatif

Pre Test Post Tes

ARHP 97 94  Merasa pelatihan tersebut tidak bermanfaat

 Ada sebagian materi yang kurang menarik

 Lebih banyak diam selama pelatihan

 Tidak ikut berdiskusi maupun mengerjakan tugas secara berkelompok

LI 97 89  Selalu mengganggu teman yang sedang fokus memperhatikan penjelasan fasilitator

 Kurang antusias selama pelatihan berlangsung

UK 97 114  Aktif saat diskusi kelompok

 Subjek merasa lebih bisa mengenali dirinya serta mampu mengontrol emosi setelah mengikuti pelatihan

 Mendapatkan pengetahuan bagaimana cara mengontrol diri agar tidak mudah marah MIQ 98 114  Sebelum pelatihan subjek selalu berpikiran

negatif apabila sedang tertimpa masalah

 Subjek merasa lebih memahami dirinya setelah mengikuti pelatihan

 Sangat aktif saat pelatihan berlangsung EP 105 105  Selama pelatihan subjek terlihat pasif

 Subjek merasa pelatihan tersebut cukup bermanfaat bagi dirinya

 Materi strategi regulasi emosi positif masih sulit dipahami oleh subjek

(12)

b. Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis data secara statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat well being antara kelompok eksperimen yaitu kelompok yang diberikan pelatihan regulasi emosi dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu tanpa diberikan perlakuan. Dengan demikian, hipotesis yang diasumsikan oleh Peneliti dapat dinyatakan diterima. Hasil analisis data tersebut juga dapat diartikan bahwa pelatihan regulasi emosi dapat dijadikan salah satu model pelatihan untuk meningkatkan well being pada remaja awal.

Apabila dilihat perubahan skor tiap individu pada rentang pretest postest terdapat 2 siswa yang mengalami kenaikan skor secara signifikan, 2 siswa yang mengalami penurunan skor secara signifikan, dan 1 orang siswa yang tidak mengalami perubahan skor. Setelah dilakukan analisis secara kualitatif yaitu dengan wawancara, observasi selama pelatihan, serta analisis evaluasi pelatihan didapatkan informasi bahwa siswa yang mengalami kenaikan skor yang signifikan cenderung lebih bisa mengenali diri mereka. Pada saat mengalami masalah lebih bisa mengontrol emosi negatifnya dengan berpikiran positif terhadap masalah yang sedang dihadapi. Pada saat pelatihan berlangsung siswa yang mengalami kenaikan skor juga menunjukkan sikap aktif dan kooperatif. Sikap tersebut sangat berebeda dengan sikap yang ditunjukkan siswa yang mengalami penurunan skor yang justru pasif dan tidak antusias dalam mengikuti pelatihan. Apabila dilihat dari skor statistik postest-follow up pada kelompok eksperimen menunjukkan hasil yaitu tidak adanya peningkatan skor well being yang signifikan.Oleh sebab itu, perlu adanya kontrol yang ketat selama rentang waktu postest dengan follow up dengan memberikan tugas rumah maupun jurnal harian.

Well being dalam penelitian ini dititik beratkan pada tingkat emosi positif yang tinggi dan rendahnya emosi negatif serta tingginya kepuasan hidup seorang remaja dalam rentang waktu yang cukup lama. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seseorang khususnya remaja awal merasa dirinya dalam kondisi well being yang rendah sehingga remaja tersebut merasa

(13)

hidupnya tidak puas dan merasa tidak bahagia. Diener & Lucas (1999) mengemukakan bahwa well being dapat dilihat dari bagimana individu mengevaluasi informasi atau kejadian yang dialami. Hal tersebut melibatkan proses kognitif yang aktif karena menentukan bagaimana informasi tersebut akan diatur. Berbagai cara yang digunakan untuk mengevaluasi suatu peristiwa juga dipengaruhi oleh emosi, standar yang ditetapkan oleh individu, mood saat itu, situasi yang terjadi dan dialami saat itu serta adanya pengaruh budaya. Dengan kata lain well being mencakup evaluasi kognitif dan afektif. Evaluasi kognitif merupakan evaluasi yang didasarkan pada penilaian tingkat kepuasan hidup individu sedangkan evaluasi afektif merupakan reaksi individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup yang ditunjukkan dalam bentuk emosi yang menyenangkan dan emosi yang tidak menyenangkan. Apabila emosi yang tidak menyenangkan lebih tinggi maka emosi tersebut harus diubah agar menjadi emosi yang menyenangkan. Salah satu faktor yang mempengaruhi well being seorang adalah emosi yang merupakan bagian dari faktor internal. Seseorang yang memiliki kondisi psikologis yang baik maka emosi positif akan tercipta dengan sendirinya (Sheldon & Elliot, dalam Nailil 2009). Menurut Pratisti (2016) melalui penelitiannya mengenai model kesejahteraan subjektif menyebutkan bahwa regulasi emosi berpengaruh secara signifikan terhadap pemrosesan pembentukan well being pada remaja. Oleh sebab itu, regulasi emosi dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan well being remaja awal yang rendah.

Kemampuan seorang remaja awal di dalam mengelola emosi dapat diartikan pula sebagai kemampuan individu di dalam meregulasi emosinya. Regulasi emosi menurut Gross (2007) ialah strategi yang dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar untuk mempertahankan, memperkuat atau mengurangi satu atau lebih aspek dari respon emosi yaitu pengalaman emosi dan perilaku. Seseorang yang memiliki regulasi emosi dapat mempertahankan atau meningkatkan emosi yang dirasakannya baik positif maupun negatif. Selain itu, seseorang juga dapat mengurangi emosinya baik positif maupun negatif. Regulasi emosi juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk

(14)

mengevaluasi dan mengubah reaksi-reaksi emosional untuk bertingkah laku tertentu yang sesuai dengan situasi yang sedang terjadi (Thompson dalam Garnefski, Kraaij & Spinhoven, 2001).

Pelatihan regulasi emosi yang diberikan kepada peserta dalam penelitian ini memfokuskan pada tugas-tugas yang harus dilakukan oleh peserta pelatihan regulasi emosi untuk mengenal macam-macam emosi yang ada pada manusia dan untuk mengenali emosi yang dominan yang ada pada dirinya. Kemudian peserta diarahkan agar memiliki kemampuan untuk memodifikasi emosinya tersebut dengan strategi regulasi emosi positif yang dikemukakan oleh Garnefski dan Kraaij (2007), diantaranya: acceptance, refocuse on planning, positive refocusing, positive reappraisal, dan putting into perspective. Strategi regulasi emosi positif tersebut dibuat dalam sebuah skenario untuk dimainkan secara berkelompok. Hal tersebut bertujuan agar masing-masing peserta pelatihan dapat merasakan kondisi emosi yang ada dalam skenario tersebut kemudian menyelesaikannya dengan startegi regulasi emosi positif.

Setiap sesi dalam pelatihan regulasi emosi dalam penelitian ini memiliki tujuan yang saling berkaitan dan mengarah pada satu tujuan utama yaitu terkelolanya emosi peserta yang pada akhirnya tercapai peningkatan emosi posiif dan penurunan emosi negatif. Hal terpenting yang dapat dicapai ialah mencapai sebuah tingkatan well being yang tinggi dengan merasa puas dengan kehidupannya serta mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dengan lebih positif.

Berdasarkan hasil uraian baik secara kuantitatif maupun kualitatif mengenai well being dan pelatihan regulasi emosi dapat disimpulkan bahwa pelatihan regulasi emosi terbukti berpengaruh untuk meningkatkan well being remaja awal. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Diener, Lucas, & Scolon (2006) yang menyebutkan bahwa strategi regulasi emosi positif dapat digunakan untuk , meningkatkan well being remaja. Meskipun demikian, penelitian ini masih memiliki beberapa kelemahan penelitian diantaranya alat ukur yang digunakan lebih dari dua kali

(15)

pengukuran menyebabkan kemungkinan adanya proses belajar selama proses pengerjaan berlangsung sehingga akan berpengaruh terhadap hasil skor penelitian. Pada alat ukur yang digunakan juga tidak terdapat range waktu skor yang diperoleh dapat bertahan dalam kurun waktu berapa lama. Selain itu, generalisasi dalam penelitian ini juga sempit dikarenakan membutuhkan kondisi dan situasi khusus serta setting eksperimen yang ketat agar mendapatkan hasil penelitian sesuai harapan Peneliti.

4. PENUTUP

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pelatihan regulasi emosi efektif untuk meningkatkan well being remaja awal. Hal ini dapat dilihat dari data skor well being remaja awal pada kelompok yang diberikan pelatihan regulasi emosi tingkat well being yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberikan pelatihan. Peningkatan skor yang signifikan juga terjadi pada rentang pretest-postest pada kelompok eksperimen. Sementara pada rentang postest-follow up tidak terjadi peningkatan yang signifikan.

Keunikan yang muncul dari penelitian ini adalah modul pelatihan regulasi emosi yang dibuat berdasarkan teori strategi regulasi emosi positif yang belum pernah ada pada penelitian-penelitian sebelumnya. Strategi regulasi emosi positif tersebut diimplementasikan dalam sebuah role play dengan tujuan agar pendekatan experiential learning dapat terbentuk sehingga efektifitas ketrampilan regulasi emosi dapat terus ditingkatkan dan mampu bertahan dalam kurun waktu yang lama. Selain itu, strategi regulasi emosi positif juga membuat seseorang menjadi merasa lebih puas terhadap kehidupannya, sehingga kepuasan hidup berkorelasi tinggi dengan strategi emosi positif.

DAFTAR PUSTAKA

Abler, B., Hofer, C., Walter, H., Erk, S., Hoffman, H., Traue, H.C. & Kessler, H. (2010). Habitual emotion regulation strategies and depressive symptoms in healthy subjects predict fmri brain activation pattern related to major depression. Psychiatry Research: Neuroimaging 83, 105–113.

(16)

Aesijah, S. (2014). Pengaruh Pelatihan Regulasi Emosi Terhadap Kebahagiaan Remaja Panti Asuhan Yatim Piatu. Tesis (tidak diterbitkan). Surakarta: Program Pendidikan Magister Psikologi Profesi, Universitas Muhammadiyah Surakarta .

Bailey, T., Eng, W., Frisch, M.B., & Snyder, C.R. (2007). Hope and optimism as related to life satisfaction. The Journal Of Positive Psychology 2, 168-175. Chang, L., McBride-Chang, C., Stewart, S.M., & Au, E. (2003). Life satisfaction, self-concept and family relation in Chinese adolescents and children. International Journal Of Behavioral Development, 27, 182-189.

Chong, W.H, Huan, V.S., Lay, S.Y., & Rebbeca, P. (2006). Asian adolescents’ perceptions of parent, peer, and school support and psychological adjustment: the mediating role of dispositional optimism. Current Psychology 25, 212-228.

Creswell, J.W. (2010). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Darmayanti, N. (2012). Model Kesejahteraan Subjektif Remaja Penyintas Bencana Tsunami Aceh 2004. Ringkasan Disertasi. Yogyakarta: Program Doktor Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Diener, E., Suh, E., Lucas, R.E. & Smith, H.L.(1999). Subjective well being-three decades of progress. Psychological Bulletin 125, 276-302.

Diener, E., Oishi, S., & Lucas, R. E. (2003). Personality, culture, and subjective well-being: Emotional and cognitive evaluations of life. Annual Review of Psychology 54, 403-425.

Diener, E., Lucas, N., Scollon, C.N. (2006). Beyond the hedonic treadmill: Revising the adaptation theory of well-being. American Psychologist 61, 305-314. Diener E, Wirtz, Tov, Kim-Prieto, C., Choi, D., Oishi, S., & Biswas, R. (2009).

New Well-Being Measures: Short Scale to Assess Flourishing and Positive and Negative Feelings. Springer Science + Business Media.

Eryilmaz, A. (2012). Mental Control: How do adolescents protect their subjective well being. The Journal of Psychiatry and Neurological Science 25, 27-34.

Garnefski, N.; Kraaij, V.; Spinhoven, P. (2001). Negative life events, cognitive emotion regulation and emotional problems. Personality and Individual Differences 30(8), 1311-1327. 10.1016/S0191-8869(00)00113-6 .

(17)

Garnefski, N., Kraaij, V. (2007). The cognitive emotion regulation, psychometric features and porspective relationship with depression and anxiety in adults. European Journal of Psychological Assesment.

Greene, A.L. (1991). Patterns of affectivity in the transition to adolescence. Journal of Experimental Child Psychology, 50, 340-356.

Gross, J.J. (2007). Handbook Of Emotion Regulation. New York: The Guilford Press.

Huebner, E.S. (2004). Research on assesment of life satisfaction in children and adolescents. Social Indicators Research, 66, 3-33.

Hurlock, E. (2004). Psikologi Perkembangan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka. Jacobson, L.T. & Brudsal, L.A. (2012). Middle school and peer group influences.

Global Journal Of Community Psychology Practice 2 (1-10).

Nailil, A. (2009). Regulasi Emosi dan Kualitas Persahabatan Sebagai Prediktor Kesejahteraan Subjektif pada Remaja Putri Pondok Pesantren. Tesis. (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.Pratisti, W.D. (2016). Model Kesejahteraan Subjektif Remaja. Ringkasan Disertasi. Yogyakarta: Program Doktor Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Pratisti, W.D. (2016). Model Kesejahteraan Subjektif Remaja. Ringkasan Disertasi. Yogyakarta: Program Doktor Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Santrock, H.W. (2007). Perkembangan Anak. Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Gambar

Tabel 1. Desain Eksperimen
Tabel 3. Perubahan Skor Well Being Subjek Penelitian
Tabel 5. Hasil Uji Wilcoxon

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Kinerja Kepala Distrik Tembagapura dalam meningkatkan pelayanan publik, metode yang digunakan adalah kualitatif, hasil

Dari Kode Sumber 2.2 dapat dilihat terdapat sebuah sprite yang disebut agent. Objeknya merupakan gambar yang diambil sesuai dengan nama yang

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan oleh penulis, dapat disimpulkan sebagai berikut : tindakan negara mengembalikan hasil korupsi melalui sanksi pidana

We then analyse the frequency of positive and negative statements for firms with large impending year-on-year changes in sales and operating profit margin, and we regress

Maka, dengan ini kami umumkan peserta lelang yang menjadi pemenang untuk Pengadaan Jasa Kebersihan pada BPK Perwakilan Provinsi Bengkulu, adalah sebagai berikut :..

Diberitahukan bahwa berdasarkan hasil evaluasi dokumen penawaran dan verifikasi dokumen kualifikasi oleh Kelompok Kerja 2 Unit Layanan Pengadaan Kantor Pusat Direktorat

Mengingat betapa pentingnya untuk melakukan pencatatan perkawinan maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pencatatan perkawinan yaitu untuk memberikan kepastian hukum

[r]