• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPELEMENTASI HUKUM ACARA PERDATA PADA PERADILAN AGAMA Oleh M. JA FAR SHIDDIQ SUNARIYA, S.H. (Calon Hakim Pada Pengadilan Agama Martapura Klas II)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPELEMENTASI HUKUM ACARA PERDATA PADA PERADILAN AGAMA Oleh M. JA FAR SHIDDIQ SUNARIYA, S.H. (Calon Hakim Pada Pengadilan Agama Martapura Klas II)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

IMPELEMENTASI HUKUM ACARA PERDATA PADA PERADILAN AGAMA Oleh

M. JA’FAR SHIDDIQ SUNARIYA, S.H. (Calon Hakim Pada Pengadilan Agama Martapura Klas II)

PENDAHULUAN

Hukum acara perdata merupakan semua kaidah hukum yang mengatur dan menentukan bagaimana cara melaksanakan hak-hak dan kewajiban perdata sebagaimana yang telah diatur dalam hukum perdata materiil yang berlaku. Hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan agama merupakan hukum acara perdata umum, kecuali yang telah diatur khusus oleh Undang-undang.

Hukum acara perdata pada Peradilan Agama memiliki sumber hukum, selain undang-undang dan peraturan yang berlaku yaitu hakim memiliki kewajiban untuk menggali, mengikuti serta memahami nilai-nilai hukum yang hidup dan memiliki rasa keadilan yang tidak menyimpang dari Syari’at Islam. meliputi hal berikut. mengenai pengertian hukum acara perdata; dan sumber hukum acara, perdata Indonesia, mekanisme proses penerimaan perkara, ketika mendaftar serta dalam persidangan.

Hukum acara yang berlaku pada Peradilan Agama sebagian besar masih menginduk pada hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum, ini diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Namun, ada sebagian prinsip hukum acara Islam yang telah di praktikan di lingkungan Peradilan Agama, sehingga penulis tertarik untuk memaparkan tentang praktik penerapan prinsip hukum acara Islam di Peradilan Agama.

Sebelum sampai meja persidangan ada beberapa tahapan yang harus dilalui calon Penggugat atau Pemohon di Pengadilan Agama. Apasih hukum acara perdata itu, apasaja dasar hukum, hukum acara perdata di Peradilan Agama itu, lalu Bagaimana proses Pendaftaran Perkara di Pengadilan, serta bagaiamana proses Persidagan di Pengadilan Agama,

Melalui Tulisan ini, diharapkan pembaca dapat menambah pemahaman keilmuan hukum , terutama dalam Hukum acara Peradilan Agama. Pada tulisan ini, terdapat beberapa komponen yakni mengenai pengertian hukum acara perdata, sumber hukum acara peradilan Agama, alur pendaftaran perkara masuk, serta proses persidangan.

(2)

PEMBAHASAN 1. Pengertian Hukum Acara Perdata

Hukum Acara biasa disebut juga sebagai Hukum Formil. Tujuannya adalah untuk mempertahankan Hukum Materiil. Berikut merupakan definisi dari Hukum acara perdata beberapa pakar :

a) Menurut MH. Tirtaamidjaja, Hukum acara perdata ialah suatu akibat yang timbul dari hukum perdata materiil.1

b) Sudikno Mertokusumo, Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim. Dengan perkataan lain hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Lebih konkrit lagi dapatlah dikatakan, bahwa hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari putusannya.2

c) Abdul Manan, Hukum acara perdata agama merupakan hukum yang mengatur tentang tata cara mengajukan gugatan kepada pengadilan, bagaimana pihak Tergugat mempertahankan diri dari gugatan Penggugat, bagaimana para hakim bertindak baik sebelum dan sedang pemeriksaan dilaksanakan dan bagaimana cara hakim memutus perkara yang diajukan oleh Penggugat tersebut serta bagaimana cara melaksanakan putusan tersebut sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga hak dan kewajiban sebagaimana yang telah diatur dalam Hukum Perdata dapat berjalan sebagaimana mestinya.3

d) Hukum acara perdata dapat juga disebut hukum perdata formil karena mengatur proses penyelesaian perkara lewat hakim (pengadilan) secara formil. Hukum acara perdata mempertahankan berlakunya hukum perdata.4

2. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama

Pada bidang hukum khususnya dalam hukum acara peradilan agama, hakim wajib menggali, mengikuti dan mamahami nilai-nilai hukum yang hidup dan rasa

1K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata RBG/HIR, (Jakarta: Ghalia Indonesia), 1981,hlm. 9.

2Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty), Edisi VIII, 2009, hlm. 2. 3Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah ), 2000, hlm. 1-2.

4 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1990), hlm. 16—18.

(3)

keadilan yang tidak menyimpang dari syari’ah Islam.5 Kewajiban tersebut dilakukan

apabila sudah tidak ditemukan lagi dalam undang-undang dan peraturan yang berlaku. Adapun sumber hukum acara Peradilan Agama yang berlaku di Pengadilan Agama, diantaranya adalah:

a) HIR (Herziene Indonesische Reglement) untuk Jawa dan Madura.

b) R.Bg (Rechtsreglement Voor de Buitengewesten) untuk golongan Bumi Putra dan Timur Asing yang berada di luar Jawa dan Madura yang berperkara di muka Lendraad (pengadilan).6

c) B.Rv (Reglement Op de Bugerlijke Rechtsvordering ) diperuntukkan untuk golongan Eropa yang berperkara di muka Raad va Justitie dan Residentie gerecht, dengan dihapuskannya Raad van justitie dan Hoogerechshof, maka B.Rv sudah tidak berlaku lagi. Akan tetapi yang diatur dalam B.Rv banyak yang masih relevan dengan perkembangan hukum acara dewasa ini. Misalnya tentang formulasi surat gugatan, perubahan surat gugatan, intervensi dan beberapa ketentuan hukum acara perdata lainnya.7

d) BW (Burgelijke Wetbook voor Indonesia), yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan KUHPerdata, khususnya buku IV tentang pembuktian, yang termuat dalam pasal 1865 s/d 1993.

e) Peraturan Perundang-undangan:

1) UU No. 20 Tahun 1947 tentang Acara Perdata dalam hal Banding bagi pengadilan Tinggi di Jawa dan Madura. Sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 199-205 R.Bg.

2) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama diganti dengan UU No. 3 Tahun 2006, dan kemudian diamandemen lagi dengan UU No. 50 Tahun 2009.

3) UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.

4) UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung yang memuat tentang acara perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan kasasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung.

5) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang peraturan Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan tersebut.

5Tim Redaksi Nuansa, UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, (Yogyakarta : Uii press) 2001, Pasal 28 ayat (1) hlm.10.

6Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Opcit. hlm.6

7Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara PerdataPeradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyyah di Indonesia, (Jakarta: IKAHI), 2008, hlm. 38.

(4)

6) Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Instruksi Pemasyarakatan Kompilasi Hukum Islam.

f) Surat Edaran Mahkamah Agung RI dan Peraturan Mahkamah Agung RI.

g) Yurisprudensi Mahkamah Agung, yakni suatu keputusan hakim terdahulu yang diikuti oleh hakim-hakim lainnya dalam perkara yang sama, Kumpulan keputusan Mahkamah Agung tentang berbagai vonis dari beberapa macam jenis kasus perkara berdasarkan pemutusan kebijakan para Hakim sendiri kemudian dianut oleh para Hakim lainnya dalam memutuskan kasus-kasus perkara yang sama.8 Namun disini

Hakim tidak terikat pada putusan Yurisprudensi tersebut, sebab negara Indonesia tidak menganut asas “the binding force of precedent ”, jadi bebas memilih antara meninggalkan Yurisprudensi dengan memakai dalam suatu perkara yang sejenis dan telah mendapat putusan sebelumnya.9

3. Proses penerimaan Perkara Masuk di Pengadilan Agama.

Pada zaman saat ini pengadilan Agama memberikan pelayanan yang prima dalam memberikan pelayanan untuk publik, baik itu dalam memberikan pelayanan untuk publik, maupun dalam memberikan pelayanan ke masyarakat sedang berperkara, salah satunya yakni adanya PTSP (Pelayanan Terpadu Satu pintu) bertujuan untuk memudahkan masyarakat dalam mencari informasi atau ingin mendaftarkan perkara. Berikut langlah-langkah dalam pendaftaran perkara di Pengadilan Agama :10

a) Pihak berperkara datang ke Mahkamah Syar’iyah dengan membawa surat gugatan atau permohonan.

b) Pihak berperkara menghadap petugas Meja Pertama dan menyerahkan urat gugatan atau permohonan, minimal 2 (dua) rangkap. Untuk surat gugatan ditambah sejumlah Tergugat.

c) Petugas Meja Pertama (dapat) memberikan penjelasan yang dianggap perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan dan menaksir panjar biaya perkara yang kemudian ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut, didasarkan pada pasal 182 ayat (1) HIR atau pasal 90 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor : 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.Catatan :

8M. Marwan, dan Jimmy. P, Kamus Hukum Dictionary of Law Complete Edition,(Gama Press), 2009, hlm. 651.

9Abdul Manan, , Opcit., hlm. 7.

10https://www.pa-surabaya.go.id/pages/pendaftaran-perkara diakses pada Sabtu, 15 Agustus 2020, pukul 22:44.

(5)

Bagi yang tidak mampu dapat diijinkan berperkara secara prodeo (cuma-cuma).

Ketidakmampuan tersebut dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang dilegalisasi oleh Camat.

Bagi yang tidak mampu maka panjar biaya perkara ditaksir Rp. 0,00 dan ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), didasarkan pasal 237 – 245 HIR.

Dalam tingkat pertama, para pihak yang tidak mampu atau berperkara secara prodeo. Perkara secara prodeo ini ditulis dalam surat gugatan atau permohonan bersama-sama (menjadi satu) dengan gugatan perkara. Dalam posita surat gugatan atau permohonan disebutkan alasan penggugat atau pemohon untuk berperkara secara prodeo dan dalam petitumnya.

d) Petugas Meja Pertama menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonan kepada pihak berperkara disertai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap 3 (tiga).

e) Pihak berperkara menyerahkan kepada pemegang kas (KASIR) surat gugatan atau permohonan tersebut dan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).

f) Pemegang kas menandatangani Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) membubuhkan nomor urut perkara dan tanggal penerimaan perkara dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dan dalam surat gugatan atau permohonan. g) Pemegang kas meyerahkan asli Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada

pihak berperkara sebagai dasar penyetoran panjar biaya perkara ke bank.

h) Pihak berperkara datang ke loket layanan bank dan mengisi slip penyetoran panjar biaya perkara. Pengisian data dalam slip bank tersebut sesuai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Seperti nomor urut dan besarnya biaya penyetoran. Kemudian pihak berperkara menyerahkan slip bank yang telah diisi dan menyetorkan uang sebesar yang tertera dalam slip bank tersebut.

i) Setelah pihak berperkara menerima slip bank yang telah divalidasi dari petugas layanan bank. Pihak berperkara menunjukkan slip bank tersebut dan menyerahkan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada pemegang kas. j) Pemegang kas setelah meneliti slip bank kemudian menyerahkan kembali

kepada pihak berperkara. Pemegang kas kemudian memberi tanda lunas dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dan menyerahkan kembali kepada fihak berperkara asli dan tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) serta surat gugatan atau permohonan yang bersangkutan.

k) Pihak Berperkara menyerahkan kepada meja kedua surat gugatan atau permohonan sebanyak jumlah tergugat atau termohon ditambah 2 (dua) rangkap serta tindasan pertama Surat Kuasa Untuk membayar (SKUM)

(6)

l) Petugas Meja II mendaftar/mencatat surat gugatan atau permohonan dalam register bersangkutan serta memberi nomor register pada surat gugatan atau permohonan tersebut yang diambil dari nomor pendaftaran yang diberikan oleh pemegang kas.

m) Petugas Meja II menyerahkan Kembali 1(satu) rangkap surat gugatan atau permohonan yang telah diberi nomor register kepada pihak berperkara.

n) PendaftaranSelesai : Pihak/pihak – pihak berperkara akan dipanggil oleh jurusita/jurusita pengganti untuk menghadap ke persidangan setelah ditetapkan Susunan Majelis Hakim (PMH) dan hari sidang pemeriksaan perkaranya (PHS). Proses setelah pendaftaran perkara :

a) PMH

Setelah melalui proses tersebut petugas PTSP menyerahkan berkas ke Panitera. Panitera lalu memberikan berkas tersebut ke Ketua Pengadilan maka Ketua Pengadilan Agama dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sudah harus menunjuk Majelis Hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut dalam sebuah “Penetapan Majelis Hakim” (PMH).11

PMH dibuat dalam bentuk “penetapan” dan ditandatangani oleh Ketua Pengadilan dan dicatat dalam register indukperkara yang bersangkutan. Selanjutnya Majelis Hakim bertugas untuk:

1) Membuat PHS (Penetapan Hari Sidang)

2) Memerintahkan pemanggilan para pihak oleh Jurusita 3) Menyidangkan perkara.

b) Tahap Penunjukan Panitera Sidang (PPS)

Untuk membantu Majelis Hakim dalam menyelesaikan perkara ditunjuk seorang atau lebih panitera sidang.12Penunjukan panitera sidang dilakukan oleh

panitera.13 Untuk menjadi panitera sidang, dapat ditunjuk panitera, panitera

muda dan panitera pengganti atau pegawai yang ditugaskan sebagai panitera sidang untuk membantu hakim supaya menghadiri dan mencatat jalannya

11Pasal 121 H.I.R. jo. Pasal 93 UU No. 7 tahun 1989 yang tidak diubah dalam UU No. 3 tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, Ketua Pengadilan Agama membagikan semua berkas perkara dan atau surat-surat lain yang berhubungan dengan perkara yang diajukan dipengadilankepada majelis hakim untuk diselesaikan.

12Tim Redaksi Nuansa, UU No. 4 Tahun 2004, Pasal 17 ayat (3)Opcit, hlm. 7 13Abdul Manan, Lampiran UU No. 7 tahun 1989,, Pasal 96, Opcit,,hlm.231

(7)

sidang pengadilan, membuat berita acara sidang, penetapan, putusan dan melaksanakan semua perintah hakim untuk menyelesaikan perkara tersebut.14

Penunjukan Panitera Sidang (PPS) dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh panitera pengadilan. Apabila dikemudian hari, anggota majelis ada yang berhalangan untuk sementara, maka dapat diganti dengan anggota yang lain yang ditunjuk oleh Ketua dan dicatat dalam BAP (Berita Acara Persidangan)15. Apabila Ketua Majelis berhalangan, maka sidang harus ditunda

pada hari lain (karena pindah tugas atau meninggal dunia atau karena alasan lain), maka harus ditunjuk majelis baru dengan PMH baru. Apabila panitera sidang berhalangan maka ditunjuk panitera yang lainnya untuk mengikuti sidang dengan prosedur penunjukan yang dilakukan oleh panitera pengadilan secara tertulis.

c) Tahap Penetapan Hari Sidang (PHS)

Ketua Majelis setelah menerima berkas perkara tersebut, bersama-sama hakim anggotanya mempelajari berkas perkara. Ketua kemudian menetapkan hari dan tanggal serta jam kapan perkara itu akan disidangkan serta memerintahkan agar para pihak dipanggil untuk datang menghadap pada hari, tanggal dan jam yang telah ditentukan itu. Kepada para pihak diberitahukan pula bahwa mereka dapat mempersiapkan saksi-saksi dan bukti-bukti yang akan diajukan dalam persidangan. Perintah tersebut dilakukan dalam sebuah “penetapan” yang ditandatangani oleh hakim ketua majelis.

d) Tahap Pemanggilan Para Pihak

Berdasarkan perintah Hakim/Ketua Majelis di dalam PHS, Jurusita/Jurusita Pengganti melaksanakan pemanggilan kepada para pihak supaya hadir di persidangan pada hari, tanggal dan jam sebagaimana tersebut dalam PHS di tempat persidangan yang telah ditetapkan. Jurusita/Jurusita Pengganti dalam melakukan pemanggilan atau pemberitahuan disampaikan dengan risalah tertulis yang disebut dengan relaas atau berita acara pemanggilan. Relaas dilihat dari bentuknya dikategorikan sebagai akta autentik, yaitu akta yang bentuknya ditentukan undang-undang, dibuat oleh dan

14Ibid, hlm.14

15 BAP adalah akta autentik, dibuat oleh pejabat resmi yang berwenang, berisi tentang proses pemeriksaan perkara dalam persidangan yang dijadikan pedoman hakim dalam menyusun putusan. BAP ditandatangani oleh Panitera yang mengikuti sidang dan Ketua Majelis Hakim. Lihat Musthofa, Kepaniteraan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2005, hlm.93

(8)

dihadapan pejabat yang berwenang, sehingga hal yang tercantum dalam relaas dianggap benar, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.16

Mekanisme pemanggilan para pihak harus dilakukan secara resmi dan patut dengan memperhatikan beberapa hal yaitu:17

1) Dilaksanakan oleh Jurusita/Jurusita Pengganti yang sah.18Dengan catatan

Jurusita/Jurusita Pengganti hanya berwenang untuk melakukan tugasnya di dalam wilayah hukum Pengadilan Agama yang bersangkutan.19

2) Dilaksanakan langsung kepada pribadi yang dipanggil di tempat tinggalnya. Apabila tidak dijumpai di tempat tinggalnya, maka panggilan disampaikan lewat kepala desa/lurah setempat. Apabila yang dipanggil telah meninggal dunia, maka panggilan disampaikan kepada ahli warisnya. Apabila yang dipanggil tidak diketahui tempat diam atau tinggalnya atau tak dikenal maka panggilan disampaikan lewat Bupati/Wali Kota setempat yang akan mengumumkannya pada papan pengumuman persidangan tersebut. Apabila yang dipanggil berada di luar negeri, maka panggilan disampaikan lewat Perwakilan RI setempat melalui Departemen Luar Negeri RI di Jakarta. Pemanggilan kepada tergugat dilampiri satu berkas surat gugatan yang diajukan oleh penggugat.

3) Jarak antara hari pemanggilan dengan hari persidangan harus memenuhi tenggang waktu yang patut, yaitu sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari kerja. 4. Alur persidangan di Pengadilan Agama

Setelah para pihak menerima Panggilan sidang (relaas) para pihak hadir dalam persidangan sesuai waktu yang terdapat dalam relaas tersebut. Ketika mengikuti persidangan ada beberapa tahap persidangan di Pengadilan Agama :20

16Musthofa, Kepaniteraan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana), 2005, hlm. 103.

17R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, (Bandung : PT Karya Nusantara), 1989, Pasal 122. hlm.81

18 Jurusita/Jurusita Pengganti yang sah adalah mereka yang telah diangkat dengan SK dan telah

disumpah untuk jabatan itu.

19 Jurusita bertugas menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran dan pemberitahuan

penetapan atau putusan pengadilan menurut cara-cara berdasarkan undangundang, Pasal 103 (2) UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1989Tentang Peradilan Agama.

20 https://www.pa-kalianda.go.id/info-peradilan/51-berita-utama/169--tour-of-justice-.html diakses pada 16/08/20, pukul 11:37.

(9)

UPAYA PERDAMAIAN.

Pada perkara perceraian, seperti cerai gugat dan cerai talak, hakim wajib mendamaian kedua belah pihak berperkara pada setiap kali persidang ( Pasal 56 ayat 2, 65, 82, 83 UU No 7 Tahun 1989. Dan selanjutnya jika kedua belah pihak hadir dipersidangan dilanjutkan dengan mediasi PERMA No 1 Tahun 2008. Kedua belah pihak bebas memilih Hakim mediator yang tersedia di Pengadilan Agama Pelaihar tanpa dipungut biaya. Apabila terjadi perdamaian, maka perkaranya dicabut oleh Penggugat/Pemohon dan perkara telah selesai.

Dalam perkara perdata pada umumnya setiap permulaan sidang, sebelum pemeriksaan perkara, hakim diwajibkan mengusahakan perdamaian antara para pihak berperkara (Pasal 154 R.Bg), dan jika tidak damai dilanjutkan dengan mediasi. Dalam mediasi ini para pihak boleh menggunakan hakim mediator yang tersedia di Pengadilan Agama tanpa dipungut biaya, kecuali para pihak menggunakan mediator dari luar yang sudah punya sertikat, maka biayanya seluruhnya ditanggung kedua belah pihak berdasarkan kesepakatan mereka. Apabila terjadi damai, maka dibuatkan akta perdamaian (Acta Van Verglijk). Akta Perdamaian ini mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim,dan dapat dieksekusi, tetapi tidak dapat dimintakan banding, kasasi dan peninjauan kembali.

Apabila tidak terjadi damai dalam mediasi, baik perkara perceraian maupun perkara perdata umum, maka proses pemeriksaan perkara dilanjutkan.

PEMBACAAN SURAT GUGATAN PENGGUGAT.

Sebelum surat gugatan dibacakan, jika perkara perceraian, hakim wajib menyatakan sidang tertutup untuk umum, sementara perkara perdata umum sidangnya selalu terbuka.

Surat Gugatan Penggugat yang diajukan ke Pengadilan Agama itu dibacakan oleh Penggugat sendiri atau salah seorang majelis hakim, dan sebelum diberikan kesempatan oleh mejelis hakim kepada tergugat memberikan tanggapan/jawabannya, pihak penggugat punya hak untuk mengubah, mencabut atau mempertahankan isi surat gugatannya tersebut. Abala Penggugat menyatakan tetap tidak ada perubahan dan tambahan dalam gugatannya itu kemudian persidangan dilanjutkan ketahap berikutnya.

(10)

JAWABAN TERGUGAT.

Setelah gugatan dibacakan, kemudian Tergugat diberi kesempatan mengajukan jawabannya, baik ketika sidang hari itu juga atau sidang berikutnya. Jawaban tergugat dapat dilakukan secara tertulis atau lisan ( Pasal 158 ayat (1) R.Bg). Pada tahap jawaban ini, tergugat dapat pula mengajukan eksepsi (tangkisan) atau rekonpensi (gugatan balik). Dan pihak tergugat tidak perlu membayar panjar biaya perkara.

REPLIK PENGGUGAT.

Setelah Tergugat menyampaikan jawabannya, kemudian si penggugat diberi kesempatan untuk menanggapinya sesuai dengan pendapat penggugat. Pada tahap ini mungkin penggugat tetap mempertahankan gugatannya atau bisa pula merubah sikap dengan membenarkan jawaban/bantahan tergugat.

DUPLIK TERGUGAT.

Setelah penggugat menyampaikan repliknya, kemudian tergugat diberi kesempatan untuk menanggapinya/menyampaikan dupliknya. Dalam tahap ini dapat diulang-ulangi sampai ada titik temu antara penggugat dengan tergugat. Apabila acara jawab menjawab dianggap cukup oleh hakim, dan masih ada hal-hal yang tidak disepakati oleh kedua belah pihak, maka hal ini dilanjutkan dengan acara pembuktian.

PEMBUKTIAN.

Pada tahap ini, penggugat dan tergugat diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan bukti-bukti, baik berupa bukti surat maupun saksi-saksi secara bergantian yang diatur oleh hakim. Dasar hukum pembuktian dalam hukum positif tercantum pada pasal 163 HIR, pasal 283 RBg, dan pasal 1865 BW (KUHPerdata). Bunyi dari ketiga pasal tersebut pada hakikatnya adalah sama yakni:

“Barang siapa menyatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak atau adanya kejadian itu”.

Dalam pembuktiannya seseorang harus mampu mengajukan bukti- bukti yang autentik. Keharusan pembuktian ini didasarkan pada firman Allah SWT, Q.S. Al-Baqarah (2): 282. Artinya: “... Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang- orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi

(11)

mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil”.21

Alat-alat bukti menurut Pasal 164 HIR/284 RBg/1866 KUHPerdata adalah sebagai berikut: a. Surat b. Saksi c. Persangkaan d. Pengakuan e. Sumpah

KESIMPULAN PARA PIHAK.

Pada tahap ini, baik penggugat maupun tergugat diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat akhir yang merupakan kesimpulan hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung menurut pandangan masing-masing. Kesimpulan yang disampaikan ini dapat berupa lisan dan dapat pula secara tertulis.

MUSYAWARAH MAJELIS HAKIM.

Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim bersifat rahasi ( Pasal 19 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004. Dalam rapat permusyawaratan majelis hakim , semua hakim menyampaikan pertimbangannya atau pendapatnya baik secara lisan maupun tertulis. Jika terdapat perbedaan pendapat, maka diambil suara terbanyak, dan pendapat yang berbeda tersebut dapat dimuat dalam putusan (dissenting opinion).

Musyawarah majelis hakim dilakukan secara rahasia dan tertutup untuk umum. Ini dijelaskan dalam pasal 19 ayat (3, 4 dan 5) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekusaan Kehakiman. Semua pihak maupun hadirin diperintahkan meninggalkan ruang persidangan. Dikatakan rahasia artinya, baik di saat musyawarah maupun sesudahnya, kapan dan dimana saja, hasil musyawarah majelis tersebut tidak boleh dibocorkan sampai ia diucapkan dalam keputusan yang terbuka untuk umum.

PUTUSAN HAKIM.

Setelah selesai musyawarah majelis hakim, sesuai dengan jadwal sidang, pada tahap ini dibacakan putusan majelis hakim. Setelah dibacakan putusan tersebut, penggugat dan tergugat berhak mengajukan upaya hukum banding dalam tenggang waktu 14 hari

(12)

setelah putusan diucapkan. Apabila penggugat/ tergugat tidak hadir saat dibacakan putusan, maka Juru Sita Pengadilan Agama akan menyampaikan isi/amar putusan itu kepada pihak yang tidak hadir, dan putusan baru berkekuatan hukum tetap setelah 14 hari amar putusan diterima oleh pihak yang tidak hadir itu.

Catatan:

Perkara Cerai Talak masih ada Sidang lanjutan yaitu sidang pengucapan Ikrar Talak, dan ini dilakukan setelah putusan Berkekuatan Hukum Tetap (BHT). Kedua belah pihak akan dipanggil lagi kealamatnya untuk menghadiri sidang tersebut.

KESIMPULAN

Hukum Acara biasa disebut juga sebagai Hukum Formil. Tujuannya adalah untuk mempertahankan Hukum Materiil. Sumber hukum acara Peradilan Agama yang berlaku di Pengadilan Agama, diantaranya adalah HIR, RBg, B.Rv, BW, Peraturan perundang-undangan, SEMA dan PERMA, serta Yurispedensi. Dalam proses penerimaan perkara di Pengadilan, penulis membagi menjadi Empat bagian, pertama pendaftaran perkara, kedua proses pasca pendaftaran perkara, ketiga proses persidangan, proses keempat memperoleh produk pengadilan.

(13)

Daftar pustaka

Saleh, K. Wantjik. 1981.Hukum Acara Perdata RBG/HIR, (Jakarta: Ghalia Indonesia). Mertokusumo, Sudikno. 2009.Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta:

Liberty).

Manan, Abdul. 2000. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah ).

Muhammad, Abdulkadir. 1990. Hukum Acara Perdata Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bhakti).

Tim Redaksi Nuansa, 2001. UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, (Yogyakarta : Uii press).

Mujahidin, Ahmad. 2008. Pembaharuan Hukum Acara PerdataPeradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyyah di Indonesia, (Jakarta: IKAHI.

M. dan Jimmy. P. 2009. Kamus Hukum Dictionary of Law Complete Edition,(Gama Press). Musthofa. 2005. Kepaniteraan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana).

Website:

https://www.pa-surabaya.go.id/pages/pendaftaran-perkara

https://www.pa-kalianda.go.id/info-peradilan/51-berita-utama/169--tour-of-justice-.html Alqur ‘an :

Referensi

Dokumen terkait

Melihat pentingnya saksi dalam perkara perdata, maka di dalam hukum acara perdata secara khusus mengatur tentang pembuktian dengan alat bukti saksi berdasarkan dengan

peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam.. Iingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus

Pandangan Hakim Pengadilan Agama Kota Malang tentang pasal pasal 968 KUH Perdata ini tidak sepakat, hal ini seperti yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Ekonomi

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Al Hikmah, 2006).. Alauddin at Tharablisi, Muin Al Hukkam Fima yataraddadu baina

Putusan pengadilan adalah Suatu proses pemeriksaan perkara yang meliputi proses mengajukan gugatan penggugat, jawaban tergugat, replik penggugat, duplik tergugat,

Lubis, Sulaikin, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia , Jakarta: Kencana, 2006.. Manan, Abdul, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan: Suatu Kajian dalam

Sedangkan dalam penelitian ini membahas mengenai penggunaan Perma nomor 2 Tahun 2015 Tantang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana sebagai hukum acara di Indonesia 2 Penerapan Hukum

Pengertian  Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara HAPTUN adalah Peraturan Hukum yg mengatur proses penyelesaian perkara TUN melalui pengadilan hakim, sejak pengajuan gugatan