• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Penelitian Terdahulu. menemukan beberapa studi terdahulu yang sejenis dan masih relevan dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Penelitian Terdahulu. menemukan beberapa studi terdahulu yang sejenis dan masih relevan dengan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai pemakaian bahasa telah banyak dilakukan. Peneliti menemukan beberapa studi terdahulu yang sejenis dan masih relevan dengan penelitian ini akan dipaparkan sebagai berikut.

Skripsi Miftah Nugroho (2000), berjudul “Register Chatting di dalam Bahasa Internet”. Hasil dari penelitian ini dapat diketahui bahwa pemakaian bahasa Indonesia di dalam chatting dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor linguistik dan faktor non linguistik. Faktor linguistik yang mempengaruhi

pemakaian bahasa di dalam chatting adalah kekhasan pengejaan kata, kekhasan

penanggalan fonem dan suku kata, pemakaian afiks dialek Jakarta, pemakaian morfem partikel dialek Jakarta, pemakaian kata ganti sapaan, pemakaian interjeksi, dan pemakaian slang. Faktor non linguistik yang mempengaruhi

pemakaian bahasa di dalam chatting ada tiga yaitu status sosial, tingkat

pendidikan, dan umur.

Pemakaian bahasa di dalam chatting juga ditemukan adanya kekhasan

pengejaan kata yang terbagi menjadi penerapan ejaan lama, penerapan ejaan daerah, dan penerapan ejaan bahasa asing; kemudian ditemukan juga kekhasan penanggalan fonem dan suku kata yang terdiri dari penanggalan fonem di awal kata, penanggalan fonem di akhir kata, penanggalan fonem konsosnan dan vokal ditengah kata, dan penanggalan suku kata; pemakaian afiks dialek Jakarta; pemakaian morfem partikel dialek Jakarta; pemakaian kata ganti sapaan; pemakaian interjeksi; pemakaian slang.

(2)

Skripsi Sigit Kurniawan (2012) dengan judul “Register Dewan Juri dalam Final Kompetisi Marching Band UNS Tahun 2008 di Jakarta”. Penelitian ini membahas mengenai karakteristik pemakaian bahasa dari tiga segi yaitu segi morfologi, segi istilah, dan segi kosakata. Pertama, dari segi morfologi yakni terdapat pelesapan beberapa afiks dalam bahasa Indonesia pada tuturan dewan juri, pemendekan beberapa kata dalam bahasa Indonesia pada tuturan dewan juri, singkatan beberapa kalimat dalam bahasa Indonesia pada tuturan dewan juri, kosa kata yang mengandung hibrida atau afiks bahasa Indonesia dengan kata dasar asing. Kedua, dari segi istilah yakni istilah khusus dalam register dewan juri Marching Band. Ketiga, dari segi kosakata yakni kosakata khusus penentu register dewan juri Marching Band ketika memberi penilaian pada peserta dari UNS tahun 2008 di Jakarta.

Pembahasan berikutnya mengenai identifikasi register di dalam kosakata dewan juri Marching Band. Dalam analisis ini dijelaskan mengenai ruang lingkup kosakata yang digunakan dewan juri dalam penilaian kompetisi Marching Band UNS dalam final tahun 2008 di Jakarta. Serta diidentifikasi bahwa konteks situasi banyak dipengaruhi oleh pemilihan kata dari peserta tutur, media tutur serta maksud dan tujuan tuturan.

Skripsi Wilda Meridiyana (2012) dengan judul “Pemakaian Bahasa dalam Olahraga Futsal”. Dalam penelitian ini ditemukan karakteristik pemakaian bahasa, fungsi bahasa, dan register olahraga futsal. Pertama, karakteristik pemakaian bahasa tersebut meliputi pemakaian istilah dalam bahasa Inggris, pemakaian istilah dalam dialek Jakarta, terdapat penambahan prefiks, adanya pemendekan atau kontraksi, metafora, pemanfaatan bentuk-bentuk singkatan, pemakaian kata

(3)

sapaan, terjadinya peristiwa campur kode yang meliputi campur kode yang berwujud kata, kelompok kata, kata ulang, dan klausa. Peristiwa alih kode juga terjadi, yakni meliputi alih kode ke dalam dan keluar.

Kedua, fungsi bahasa yang memaparkan tentang fungsi bahasa yang digunakan saat membicarakan teknik permainan futsal yang meliputi fungsi direktif meminta antar pemain futsal, dan fungsi direktif meminta antara pemain dan pelatih. Fungsi bahasa yang digunakan saat merencanakan permainan futsal, fungsi bahasa yang digunakan saat memulai permainan futsal. Fungsi bahasa yang digunakan saat memberikan instruksi yang meliputi fungsi direktif menyuruh antara pelatih dan pemain, direktif menyarankan antara pelatih dan pemain, direktif menjelaskan antara pelatih dan pemain, direktif menasihati antara pelatih dan pemain, fungsi memotivasi dan mengkonfirmasi antara pelatih dan pemain, fungsi menyimpulkan. Kemudian fungsi bahasa yang terdapat pada saat mengevaluasi permainan futsal, yaitu fungsi direktif menyarankan antar pemain futsal, fungsi referensial antar pemain futsal, fungsi ekspresif, fungsi fatis antara pelatih dan pemain futsal, fungsi direktif menasihati antara pelatih dan pemain futsal.

Ketiga, register olahraga futsal yang mmeliputi posisi pemain, nama-nama tendangan oleh pemain, aturan permainan, tindakan pemain, keadaan atau suasana pertandingan, teknik permainan, nama alat-alat dari lingkungan futsal dan perangkat futsal.

Skripsi Sinta Manilasari (2014) dengan judul “Pemakaian Bahasa Kelompok Penggemar Burung Kicauan di Surakarta”. Hasil dari penelitian ini ditemukan karakteristik pemakaian bahasa, fungsi bahasa, dan kosakata ciri

(4)

penentu register. Pertama, karakteristik pemakaian bahasa tersebut meliputi pemakaian bahasa dalam penggunaan istilah asing; pemanfaatan bentuk singkatan; terdapat juga hibrida antara afiks bahasa Indonesia dengan kata dasar asing; gaya bahasa; pemendekan atau kontraksi; pemakaian kata sapaan; penggunaan campur kode yakni campur kode berwujud kata, perulangan kata, frasa, klausa; yang terakhir yakni terjadinya peristiwa alih kode.

Kedua, adanya fungsi bahasa yang memaparkan tentang fungsi bahasa yang digunakan saat membicarakan penangkaran burung kicauan yaitu fungsi konatif menasehati antara penangkar burung kicauan, konatif menyarankan antarpenagkar burung kicauan, konatif meyakinkan, konatif menawarkan, konatif meminta antarpedagang dan penangkar; kemudian fungsi metalingual mendeskripsikan istilah, fungsi referensial memberikan gambaran bentuk, referensial menilai suara burung kicauan, dan fungsi menyimpulkan.

Fungsi bahasa yang digunakan saat membicarakan perawatan burung kicauan yaitu fungsi konatif meminta antarpemilik burung kicauan, konatif menyuruh antara pemilik dengan perawat burung kicauan, konatif menyarankan antarpemilik burung kicauan, fungsi referensial antarpemilik burung kicauan. Fungsi bahasa yang digunakan saat membicarakan jualbeli burung kicauan meliputi fungsi konatif menyarankan antara penjual dan pembeli, konatif menawarkan antara penjual dan pembeli, konatif meminta antara pembeli dan penjual.

Fungsi bahasa yang digunakan saat membicarakan perlombaan burung kicauan yaitu fungsi konatif menyarankan antara peserta dan juri, konatif menyarankan antarpenonton, konatif memerintah antara pemilik dan bururng

(5)

kicauan, konatif menyuruh memperhatikan antara peserta dengan juri, konatif menyuruh membandingkan, konatif meminta perhatian antara peserta dengan juri; referensial menilai kicauan, referensial menilai gaya burung kicauan; fungsi emotif memuji burung murai batu, emotif memuji penampilan anis merah.

Ketiga, adanya kosakata ciri penentu register yaitu jenis suara burung kicauan, jenis burung kicauan, fase perkembangan burung kicauan, perawatan burung kicauan, perilaku burung kicauan, dan perlombaan burung kicauan.

Penelitian “Pemakaian Bahasa Penyiar Radio FM di Surakarta” ini diharapkan dapat melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini akan membahas mengenai karakteristik pemakaian bahasa pada penyiar radio, fungsi bahasa yang terjadi dalam tuturan para penyiar radio, dan istilah-istilah khusus yang digunakan oleh penyiar radio. Penelitian ini memberikan gambaran yang lebih luas tentang pemakaian bahasa oleh penyiar radio di Surakarta.

B. Landasan Teori

1. Sosiolinguistik

R.A. Hudson mendeskripsikan tentang sosiolinguistik sebagai berikut.

“Sosiolinguistik as the study of language in relation to society [....]” (Hudson,

1980:1). „Sosiolinguistik merupakan ilmu bahasa yang berhubungan dengan

sosial‟.

„Sosiolinguistik sebagai studi bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat, dan ini adalah bagaimana kita akan mengambil istilah dalam buku ini. Pada saat penulisan (1978), sosiolinguistik telah menjadi bagian yang diakui dari sebagian besar program studi di tingkat universitas pada 'linguistik' atau 'bahasa',

(6)

dan memang salah satu poin utama pertumbuhan dalam studi bahasa, dari kedua sudut pandang pengajaran dan penelitian‟ (Hudson, 1980:1).

Sosiolinguistik oleh Nababan diartikan sebagai “studi atau pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota Masyarakat. Boleh juga dikatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari dan membahas

aspek-aspek keMasyarakatan bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor

keMasyarakatan (sosial)” (Nababan, 1993:2).

Hal yang serupa juga diungkapkan oleh I Dewa Putu Wijana dan Muhammad Rohmadi bahwa sosiolinguistik sebagai cabang linguistik memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakaian bahasa di dalam masyarakat, karena dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu, akan tetapi sebagai masyarakat sosial. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya (I Dewa Putu Wijana dan Muhammad Rohmadi, 2006:7).

Pendapat beberapa ilmuwan di atas mengenai sosiolinguistik pada intinya sama, yaitu sosiolinguistik merupakan studi tentang pemakaian bahasa dalam suatu masyarakat. Lebih rinci lagi dijelaskan oleh oleh Fishman (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:3), bahwa pemakaian bahasa tersebut meliputi kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur.

Menurut beberapa ilmuwan sosiolinguistik merupakan peristiwa pemakaian bahasa dalam masyarakat. Manusia saling berkomunikasi untuk

(7)

menyampaikan inforMasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Maka, dalam setiap proses komunikasi terjadilah apa yang disebut peristiwa tutur dan tindak tutur dalam satu situasi tutur. Sehubungan dengan peristiwa tutur atau tindak tutur dalam masyarakat, maka penutur akan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor luar bahasa. Dell Hymes (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:48-49), berpendapat bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf

pertamanya dirangkai menjadi akronim speaking. Kedelapan komponen itu

adalah:

a. Setting and scene, di sini setting berkenaan dengan waktu dan tempat

tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan

waktu, atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di lapangan sepak bola pada waktu ada pertandingan sepak bola dalam situasi yang ramai tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu banyak orang membaca dan dalam keadaan sunyi. Di lapangan sepak bola kita dapat berbicara keras-keras, tapi di ruang perpustakaan haruslah seperlahan mungkin.

b. Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa

pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). Dua orang yang bercakap-cakap dapat bergantian peran sebagai pembicara atau pendengar; tetapi dalam khotbah di Masjid, khotib sebagai pembicara dan jemaah sebagai pendengar tidak

(8)

dapat bertukar peran. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda bila berbicara dengan orang tuanya atau gurunya bila dibandingkan kalau dia berbicara terhadap teman-teman sebayanya.

c. Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur

yang terjadi di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara; namun, para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan si terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa si terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil.

d. Act sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk

ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta adalah berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan.

e. Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan

disampaikan: dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat.

f. Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti

(9)

juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek, fragam, atau register.

g. Norm of Interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau

aturan dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.

h. Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi,

pepatah, doa, dan sebagainya.

2. Variasi Bahasa

Bahasa yang digunakan oleh masyarakat sebagai sarana komunikasi membentuk variasi-variasi bahasa. Hal ini terjadi karena masyarakat menggunakan bahasa yang mencerminkan keadaan sekitar dan kehidupan penuturnya.

R.A. Hudson menjelaskan variasi bahasa sebagai berikut:

Variety of language can be used to refer to different manifestations of it, in just the same way as one might take ‘music’ as a general phenomenon and then distinguish different ‘varieties of music’, what makes one variety of language different from another is the linguistic items that it includes, so we may define a variety of language as a set of linguistic items with similar social distribution (Hudson, 1980:24).

„Variasi bahasa dapat digunakan untuk membedakan manifestasi bahasa, dengan cara yang sama mengambil kata „musik‟ sebagai kejadian umum dan kemudian kata khususnya adalah „jenis-jenis musik‟, yang menyebabkan perbedaan antara variasi bahasa satu dengan yang lain adalah butir kebahasaan yang dicakupnya sehingga kita mendefinisikan variasi bahasa sebagai

(10)

serangkaian butir kebahasaan yang memiliki distribusi sosial yang mirip‟ (Hudson, 1980:24).

Berbicara tentang variasi bahasa, Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:62-72) membedakan variasi-variasi bahasa, sebagai berikut:

a. Variasi bahasa dari segi penutur

Variasi bahasa pertama yang kita lihat berdasarkan penuturnya adalah

variasi bahasa yang disebut idiolek yakni variasi bahasa yang bersifat

perseorangan. Variasi bahasa kedua berdasarkan penuturnya adalah yang disebut dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu. Variasi ketiga berdasarkan

penutur adalah yang disebut kronolek atau dialek temporal, yakni variasi bahasa

yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Variasi bahasa yang

keempat berdasarkan penuturnya adalah apa yang disebut sosiolek atau dialek

sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya.

b. Variasi bahasa dari segi pemakaian

Variasi bahasa berkenaan dengan penggunannya, pemakaiannya, atau

fungsinya disebut fungsiolek (Nababan 1984), ragam, atau register. Variasi ini

biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan. Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa.

(11)

Berdasarkan tingkat keformalannya, Martin Joos (1967) dalam bukunya The Five Clock membagi variasi bahasa atas lima macam gaya, yaitu gaya atau ragam beku (frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha (konsultatif), gaya atau ragam santai (casual), dan gaya atau ragam akrab (intimate).

d. Variasi bahasa dari segi sarana

Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis, atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, yakni, misalnya, dalam bertelepon dan bertelegraf.

3. Register

Register dapat didefinisikan sebagai ragam bahasa berdasarkan pemakaiannya. Bisa dikatakan bahwa register adalah bahasa yang digunakan saat ini, tergantung pada apa yang sedang dikerjakan dan sifat kegiatannya (Halliday dan Ruqaiya Hasan, 1992:56).

“Register is another complicating factor in any study of language varieties, register are sets of vocabulary items associated with discrete occupational or social groups” (Wardhaugh, 1988:48). „Register merupakan suatu faktor kompleks yang lain dalam kajian variasi bahasa, Ronald Wardhaugh memahami register sebagai pemakaian kosa kata khusus yang berkaitan dengan jenis pekerjaan maupun kelompok sosial tertentu‟. Register merupakan salah satu jenis dari beberapa macam jenis variasi bahasa dilihat berdasarkan kebutuhan pemakaian bahasa atau variasi bahasa berdasarkan fungsi penggunaan bahasa.

(12)

Crystal (dalam Biber dan Edward Finegan, 1994:4) mengatakan bahwa “register is a language variety viewed with respect ti its context of use or refers to a variety of language defined according to its use in social situations”, „register adalah variasi bahasa berdasarkan konteks situasi atau variasi bahasa yang dihubungkan menurut pemakaian di dalam situasi sosial‟.

Ferguson (dalam Biber dan Edward Finegan, 1994:20) berpendapat sebagai berikut. “A communication situational that recurs regularly in a society (in term of participants, setting, communicative functions, and so forth) will tend overtime to develop identifying markers of language structure and language use, different from the language of other communication situations”. „Situasi komunikasi yang terjadi berulang secara teratur dalam suatu Masyarakat (yang berkenaan dengan partisipan, tempat, fungsi-fungsi komunikatif, dan seterusnya) sepanjang waktu cenderung akan berkembang menandai struktur bahasa dan pemakaian bahasa, yang berbeda dari pemakaian bahasa pada situasi-situasi komunikasi yang lainnya.‟

Dijelaskan oleh Ferguson bahwa orang yang terlibat dalam situasi komunikasi secara langsung cenderung mengembangkan kosa kata, ciri-ciri intonasi yang sama, dan potongan-potongan ciri kalimat dan fonologi yang mereka gunakan dalam situasi itu. Lebih lanjut dikatakannya bahwa ciri-ciri register yang demikian itu akan memudahkan komunikasi yang cepat, sementara ciri yang lain dapat membina perasaan yang erat.

Analisis terhadap register penyiar radio FM mengacu pada penerapan kerangka komprehensif analisis register. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Biber (1994:33) sebagai berikut:

(13)

commit to user FUNCTIONS

SITUATIONAL FEATURES and LINGUISTIC FORMS

CONVENTIONS

A comprehensive framework for register analysis should provide tools for all three components identified in the last section: analysis of the linguistic characteristics of registers, analysis of the situational characteristics of registers, and analysis of the functional and conventional associations

between linguistic and situational characteristics (Biber, Douglas dan

Edward Finegan, 1994:33).

„Kerangka komprehensif analisis dalam register meliputi tiga komponen identifikasi, analisis ciri-ciri linguistik register, analisis ciri-ciri situasional register, dan analisis fungsional dan konvensional sebagai gabungan ciri-ciri linguistik dan ciri-ciri situasional register‟ (Biber, Douglas dan Edward Finegan, 1994:33).

Secara populer register akan dibagi menjadi dua, yaitu register yang timbul karena kesibukan bersama yang tidak berkaitan dengan profesi dan register yang timbul karena orang-orang menjadi bagian dari profesi sosial bersama (Depdikbud, 1995:166 dalam Dwi Purnanto, 2002:22).

Studi register mempunyai empat ciri khusus seperti yang dikemukakan oleh Biber dan Atkinson (dalam Biber dan Edward Finegan, 1994:352) yaitu:

a. Studi register meliputi deskripsi analisis tentang wacana yang

sebenarnya terjadi,

b. Studi register bermaksud menggolongkan variasi bahasa,

(14)

d. Studi register juga menganalisis ciri-ciri situasional dari variasi bahasa dan fungsional atau konvensional yang berhubungan antara bentuk dan situasi yang diposisikan.

Dengan berlandaskan teori dari Halliday, Crystal, Ferguson, dan Bieber register penyiar radio FM akan dibahas mulai dari istilah yang berbentuk kata, frasa, klausa, dan kalimat yang digunakan oleh kelompok penyiar radio.

4. Campur Kode

Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:120), berpendapat bahwa campur kode adalah digunakannya serpihan-serpihan dari bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa, yang mungkin memang diperlukan, sehingga tidak dianggap suatu kesalahan atau penyimpangan.

Berbicara mengenai campur kode, Nababan juga mengemukakan pendapatnya bahwa “campur kode adalah suatu keadaan bilamana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa

(speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang

menuntut pencampuran bahasa itu (Nababan, 1993:32).

Lebih rinci lagi dijelaskan oleh Suwito bahwa campur kode adalah suatu keadaan berbahasa bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain, unsur-unsur yang menyisip tersebut tidak lagi mempunyai fungsi sendiri tetapi mendukung fungsi bahasa yang disisipinya (Suwito, 1996:88-89).

Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalam campur kode, maka campur kode dapat dibedakan menjadi beberapa macam antara lain: (1)

(15)

berwujud frasa, (3) penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster, (4) penyisipan unsur yang berwujud perulangan kata, (5) penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom, (6) penyisipan unsur-unsur-unsur-unsur yang berwujud klausa (Suwito, 1996:92-94).

Di atas telah dijelaskan mengenai pengertian dan juga macam-macam campur kode, selanjutnya akan diuraikan ciri-ciri terjadinya campur kode. Dwi Purnanto (2002:27) menjelaskan bahwa ciri-ciri campur kode dapat ditandai oleh hal-hal sebagai berikut:

a. Adanya aspek saling ketergantungan yang ditandai oleh adanya timbal

balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan adalah siapa yang menggunakan bahasa itu dan fungsi merupakan tujuan apa yang hendak dicapai oleh penutur.

b. Penggunaan bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri,

melainkan menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan mendukung satu fungsi.

c. Campur kode dalam kondisi yang maksimal marupakan konvergensi

kebahasaan yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang Masing-Masing telah menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya.

d. Pemakaian bentuk campur kode tertentu kadang-kadang bermaksud

untuk menunjukkan status sosial dan identitas pribadinya di dalam masyarakat.

(16)

e. Wujud dan komponen kode tidak pernah berwujud kalimat, melainkan hanya berwujud kata, frasa, idiom, bentuk baster, perulangan kata dan klausa.

5. Alih Kode

Keadaan kedwibahasaan (bilingualisme), akan sering terjadi orang mengganti bahasa atau ragam bahasa, hal ini tergantung pada keadaan atau keperluan berbahasa itu.

Menurut Abdul Chaer dan Leonie Agustina alih kode adalah peristiwa pergantian bahasa atau ragam bahasa oleh seorang penutur karena adanya sebab-sebab tertentu” (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:120).

Sejalan dengan pemikiran di atas, Appel (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:107) mendefinisikan alih kode itu sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi.

Berbeda dengan Appel yang mengatakan alih kode itu terjadi antarbahasa, maka Hymes (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:107) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam suatu bahasa.

Pendapat lain berasal dari Fishman (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:108) menjelaskan bahwa untuk menelusuri terjadinya alih kode maka harus dikembalikan kepada pokok persoalan sosiolinguistik yaitu “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”. Berbagai kepustakaan linguistik menyebutkan bahwa secara umum penyebab alih kode itu, disebutkan antara lain adalah (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar

(17)

perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, (5) perubahan topik pembicaraan.

Lebih lengkap lagi Suwito menjelaskan bahwa alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Apabila seorang penutur mula-mula menggunakan kode A (misalnya bahasa Indonesia), dan kemudian beralih menggunakan kode B (misalnya bahasa Jawa), maka peristiwa peralihan pamakaian bahasa seperti ini disebut peristiwa alih kode (code-switching) (Suwito, 1996:80). Alih kode dapat berupa alih varian, alih ragam, alih gaya atau alih register.

Di atas telah dipaparkan beberapa pengertian tentang alih kode, selanjutnya perlu kita ketahui juga tentang macam-macam alih kode. Suwito

membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu alih kode intern dan alih kode

ekstern. Alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri,

seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya. Alih kode ekstern

terjadi antara bahasa sendiri (salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam verbal repertoir Masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing (Suwito, 1996:81).

Beberapa faktor penyebab peralihan kode menurut Suwito (1996:85) antara lain:

1. Penutur

Seorang penutur kadang-kadang dengan sadar berusaha beralih kode terhadap lawan tuturnya karena sesuatu maksud.

2. Lawan tutur

Penutur pada umumnya ingin mengimbangi bahasa yang dipergunakan oleh lawan tuturnya.

(18)

3. Hadirnya penutur ketiga

Dua orang yang berasal dari kelompok etnik yang sama pada umumnya saling berinteraksi dengan bahasa kelompok etniknya. Tetapi apabila kemudian hadir orang ketiga dalam pembicaraan itu, dan orang itu berbeda latar kebahasaannya, biasanya orang yang pertama beralih kode ke bahasa yang dikuasai oleh ketiganya.

4. Pokok pembicaraan (topik)

Apabila seorang penutur mula-mula berbicara tentang hal-hal yang sifatnya formal, dan kemudian beralih ke masalah-masalah yang informal, maka akan dibarengi pula dengan peralihan kode dari bahasa baku ke bahasa tidak baku.

5. Untuk membangkitkan rasa humor

Rasa humor sangat diperlukan untuk meyegarkan suasana. Alih kode yang seperti ini berujud alih varian, alih ragam atau alih gaya bicara.

6. Untuk sekedar bergengsi

Alih kode demikian biasanya didasari oleh penilaian penutur bahwa bahasa yang satu lebih tinggi nilai sosialnya dari bahasa yang lain.

6. Fungsi Bahasa

Halliday dan Ruqaiya Hasan berpendapat bahwa fungsi bahasa dapat diartikan “cara orang menggunakan bahasa mereka, atau bahasa-bahasa mereka bila mereka berbahasa lebih dari satu” (Halliday dan Ruqaiya Hasan, 1992:20).

Banyak ahli bahasa yang telah mengemukakan pendapatnya mengenai fungsi bahasa. Malinowski (1923) (dalam Halliday dan Ruqaiya Hasan, 1992:20) mengelompokkan fungsi bahasa ke dalam dua kelompok besar, yaitu yang

(19)

Berbeda dengan Malinowski yang mengelompokkan fungsi bahasa ke dalam dua kelompok besar, Karl Buhler (dalam Halliday dan Ruqaiya Hasan, 1992:21) membedakan fungsi bahasa menjadi tiga. Pertama, bahasa ekspresif yaitu bahasa yang terarah pada diri sendiri. Kedua, bahasa konatif yaitu bahasa yang terarah pada lawan bicaranya. Ketiga, bahasa representasional yaitu bahasa yang terarah pada kenyataan lainnya.

Pendapat Buhler di atas kemudian disempurnakan oleh Roman Jakobson (dalam Sudaryanto, 1990:12) dengan menambahkan tiga fungsi lagi menjadi enam, yaitu (1) fungsi referensial, pengacu pesan; (2) fungsi emotif, pengungkap keadaan pembicara; (3) fungsi konatif, pengungkap kekinginan pembicara yang langsung atau segera dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak; (4) fungsi metalingual, penerang terhadap sandi atau kode yangn digunakan; (5) fungsi fatis, pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak; dan (6) fungsi puitis, penyandi pesan. Fungsi referensial bersejajar

dengan faktor konteks atau referen, fungsi emotif bersejajar dengan faktor

pembicara, fungsi konatif bersejajar dengan faktor pendengar yang diajak bicara, fungsi metalingual sejajar dengan faktor sandi atau kode, fungsi fatis sejajar dengan faktor konteks, dan fungsi puitis sejajar dengan faktor amanat atau pesan.

Berikut ini adalah uraian mengenai fungsi bahasa menurut Roman Jakobson yang dijelaskan oleh Harimurti Kridalaksana dalam PELLBA 2 (1989:53-54). Jakobson mengembangkan model organon dari Buhler, menemukan enam faktor yang masing-masing sepadan dengan fungsi tertentu dalam bahasa. Fungsi emotif atau ekspresif berpusat pada sikap, status dan keadaan emosi pembicara. Fungsi konatif berorientasi pada lawan bicara. Fungsi fatis istilah

(20)

yang diambil dari Malinowski bersangkutan dengan amanat yang bertujuan untuk menetapkan, mengukuhkan, memperpanjangn atau menghentikan komunikasi.

Oleh A. Teeuw (1988:53-54) dijelaskan fungsi fatis dimaksudkan potensi bahasa sebagai alat untuk mengadakan komunikasi atau pun kontak dengan sesama manusia, lepas dari sudut arti kata, misalnya „Apa kabar?‟, yang terutama berfungsi untuk mengadakan kontak. Fungsi referensial atau koknitif bersangkutan dengan usaha kita untuk menggambarkan objek dan memberikannya makna. Fungsi metalinguistik bersangkutan dengan usaha menggambarkan bahasa itu sendiri sebagai kode. Lebih lanjut A. Teeuw menjelaskan fungsi metalinguistik adalah fungsi khas yang memungkinkan kita untuk berbicara mengenai bahasa

dalam bahasa itu sendiri, misalnya „Apakah terang dalam bahasa Indonesia kata

benda atau kata sifat?‟. Sistem bahasa dalam fungsi metalingual menjadi objek komunikasi. Fungsi puitik berorientasi pada amanat. Disini acuan diluar bahasa itu menjadi hal yang penting. Dengan fungsi ini bahasa menjadi sadar akan evaluasi diri yang mengungkapkan struktur-struktur terpendam yang terlewati dalam bahasa biasa.

Leech menyederhanakan pandangan Jakobson menjadi lima fungsi bahasa, (dalam Sudaryanto, 1990:13) yaitu fungsi (1) inforMasional, (2) ekspresif, (3) direktif, (4) aestetik, (5) fatis. Masing-masing fungsi berkorelasi dengan lima unsur utama situasi komunikatif, yaitu (1) pokok masalah untuk fungsi informasional, (2) orginator yaitu pembicara atau penulis untuk fungsi ekspresif, (3) penerima yaitu pendengar atau pembaca untuk fungsi direktif, (4) saluran komunikasi antar mereka untuk fungsi aestetik, dan (5) pesan kebahasaan itu sendiri untuk fungsi fatis.

(21)

Berbeda dengan Leech yang menyederhanakan pandangan Jakobson menjadi lima, Dell Hymes menambahkan fungsi bahasa menjadi tujuh. Dalam Sudaryanto (1990:13) dijelaskan fungsi bahasa sosial bukan enam melainkan tujuh, yaitu (1) fungsi ekspresif atau emotif; (2) fungsi direktif, konatif, atau persuasif; (3) fungsi puitik; (4) fungsi kontak (fisik atau psikologis); (5) fungsi metalinguistik, (6) fungsi referensial; dan (7) fungsi kontekstual atau situasional.

Dari beberapa konsep fungsi bahasa yang dipaparkan di atas, peneliti cenderung menggunakan fungsi bahasa dari Roman Jakobson yang tertumpu pada fungsi emotif, fungsi konatif, fungsi referensial dan fungsi metalingual untuk menganalisis data dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan dalam profesi penyiar radio lebih banyak ditemukan tuturan yang mementingkan penutur dan mitra tutur.

7. Definisi Penyiar Radio

Arti kata penyiar adalah: 1. orang yang menyiarkan; 2. penyeru pada radio; 3. pemancar radio (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002:1060). Arti kata radio adalah: 1. siaran (pengiriman) suara atau bunyi melalui udara; 2. pemancar radio; 3. pesawat radio (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002:919). Selanjutnya,

menurut wikipedia http://www.wikipedia.org/. radio adalah teknologi yang

digunakan untuk pengiriman sinyal dengan cara modulasi dan radiasi elektromagnetik (gelombang elektromagnetik). Penyiar radio dapat diartikan sebagai orang yang mampu mengomunikasikan gagasan, konsep, dan ide, serta bertugas membawakan atau menyiarkan suatu program acara di radio.

(22)

bukunya Radio’s Conquest of Space menyatakan bahwa terkalahkannya ruang angkasa oleh radio (the conquest of space of radio) dimulai pada tahun 1802 oleh Dane, yakni ditemukannya suatu penerimaan pesan (message) dalam jarak pendek dengan menggunakan kawat beraliran listrik (Onong Uchjana Effendy, 1990:21).

Buku yang berjudul Introduction to Radio and Television yang ditulis oleh David C. Philips, John M. Grogan dan Harl H. Ryan, dijelaskan bahwa penemuan bagi kemajuan radio adalah berkat ketekunan dari tiga orang cendekiawan muda yaitu James Maxwell, Heinrich Hertz dan Guglemo Marconi. James Maxwell

yang mendapat julukan scientific father of wireless berhasil menemukan

rumus-rumus yang diduga mewujudkan gelombang elektro magnetis, yakni gelombang yang digunakan radio dan televisi. Heinrich Hertz membuktikan adanya gelombang elektro magnetis dengan cara jalan eksperimen. Guglemo Marconi yang terkenal sebagai penemu telegrap tanpa kawat, mulai menggunakan ilmu pengetahuan itu untuk tujuan yang praktis. Ia dapat menerima tanda-tada tanpa kawat dalam jarak satu mil dari sumbernya, dan pada tahun 1896 jaraknya menjadi 8 mil (Onong Uchjana Effendy, 1990:21-22).

Di Amerika Serikat ada Dr. Lee De Forest yang mengembangkan penemuan Marconi yakni pada tahun 1906, dengan memperkenalkan lampu vakumnya (vacuum tube), yang memungkinkan suara dapat disiarkan. Pada tahun 1916 Dr. Lee De Forest dianggap sebagai pelopor radio, dan karena itu dijuluki the father of radio (Onong Uchjana Effendy, 1990:22-23).

Berbicara mengenai radio tentu tidak lepas dari penyiarnya. Penyiar radio adalah salah satu unsur terpenting dalam radio siaran. Orang yang berprofesi sebagai penyiar radio harus mampu mengomunikasikan gagasan, konsep, dan

(23)

emosi, serta bertugas untuk menjalankan siaran dalam suatu program acara disebuah stasiun radio.

Menjadi seorang penyiar radio saat ini tidak hanya bermodal vokal dan pintar berbicara saja, akan tetapi harus memiliki dasar-dasar yang kuat tentang penyiaran. Hal tersebut dikarenakan adanya kemunculan radio-radio baru sehingga tuntutan dan tanggung jawab seorang penyiar radio saat ini sangatlah tinggi. Untuk mengantisipasi munculnya persaingan antara masing-masing radio tersebut, dibutuhkan adanya sumber daya manusia (penyiar) yang tangguh dan mampu bersaing di tengah ketatnya persaingan untuk memperoleh perhatian pendengar sebanyak-banyaknya.

Saat ini profesi penyiar radio mulai diperhitungkan dan dilirik, terutama di kalangan anak muda yang sedang mencari dan menunjukkan jati diri mereka. Profesi penyiar radio yang semula hanya dipandang sebelah mata oleh sebagian orang ternyata mampu menunjukkan bahwa melalui profesi ini seseorang tidak hanya menjadi penyiar, melainkan dapat menjadi apa saja yang mereka inginkan sesuai dengan pengetahuan dan kemampuannya Masing-Masing.

(24)

C. Kerangka Pikir

Tuturan atau dialog penyiar radio

Pemakaian bahasa Penyiar radio Metta FM, PTPN dan

RRI Surakarta

Penyediaan data dengan metode simak libat cakap, teknik rekam, teknik catat, dan teknik wawancara

Analisis dengan metode padan dan teknik kontekstual

Karakteristik pemakaian bahasa

penyiar radio

Fungsi bahasa Tuturan yang

mengandung register penyiar radio Istilah asing Dialek Jakarta Hibrida Kontraksi Singkatan Sapaan Campur kode Alih kode Fungsi emotif Fungsi konatif Fungsi referensial Fungsi metalingual

Kosa kata ciri penentu register penyiar radio FM

Referensi

Dokumen terkait

Maka dari itu diperoleh hasil persamaan regresi menunjukkan bahwa variabel Lingkungan Kerja (X1), Standar Operasional Prosedur (X2), dan Penjadwalan (X3)

Perbedaan kedua produk yaitu pada jenis bahan kain yang digunakan, dimana merk Tugu dibuat dengan menggunakan bahan polyester sedangkan merk Wayang dibuat dengan

Persepsi positif dalam penelitian ini digambarkan dengan pemikiran siswa bahwa dengan mengunjungi layanan informasi karir, kebutuhan akan informasi yang berkaitan

1) Diisi dengan nama jabatan yang menandatangani keputusan. 2) Diisi dengan nomor keputusan. 3) Diisi dengan nama pihak yang merugikan, disertai jabatan NIP bagi Pegawai

PERANAN PERANAN ETILEN ETILEN DALAM DALAM PROSES PROSES PEMATANGAN PEMATANGAN BUAH BUAH HENERASIA HENERASIA ANNISAPRAKASA ANNISAPRAKASA ZULFIDAH ZULFIDAH NILAMTIKA NILAMTIKA

Analisis yang digunakan untuk mengetahui apakah pengendalian internal terhadap proses penggajian CV Genta Shamballa sudah sesuai dengan prinsip pengendalian internal yang

Massa Cabai Perwakktu pada Suhu 400C Grafik menunjukkan pengeringan dengan suhu 40°C hingga cabai dinyatakan kering dengan penurunan massa cabai kurang lebih seperempat

Oleh karena itu diperlukan desain ulang bagi meja di stasiun pengisian air minum dengan melakukan analisis terhadap nilai gaya, momen, posisi kerja dan energi yang ditimbulkan