• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II. KAJIAN PUSTAKA

2.1. Koridor Kota sebagai Ruang Publik

Ruang sebagai salah satu komponen arsitektur menjadi sangat penting dalam pembahasan studi mengenai hubungan arsitektur lingkungan dan perilaku karena fungsinya sebagai wadah kegiatan manusia (Haryadi & Setiawan, 2010). Ruang kota merupakan ruang publik yang dapat diakses oleh semua masyarakat kota dan dapat digunakan bersama (Zahrah et al. 2016). Tanpa kita sadari, jalan merupakan ruang publik terbesar dan pasti dimiliki oleh setiap kota dengan berbagai aktivitas di dalamnya.

2.1.1. Ruang Publik

Ruang Publik merupakan ruang atau wadah yang terbentuk karena adanya kebutuhan akan tempat untuk bertemu ataupun berkomunikasi. Pada dasarnya, ruang publik ini merupakan suatu tempat untuk menampung aktivitas tertentu dari manusia, baik secara individu maupun berkelompok (Prihutami, 2008).

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007, bahwa ruang terbuka dapat didefinisikan sebagai ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/ kawasan maupun dalam bentuk area memanjang / jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Ketersediaan ruang publik kota sangatlah penting dalam perencanaan kota guna meningkatkan kualitas kehidupan perkotaan. Peranan ruang publik sebagai salah satu komponen kota dapat memberikan karakter tersendiri, dan pada umumnya memiliki fungsi interaksi sosial bagi masyarakat, kegiatan ekonomi serta tempat apresiasi budaya (Darmawan, 2007). Ruang publik juga harus memenuhi beberapa faktor agar berhasil yaitu melalui aspek sirkulasi/ aksesibilitas. Dengan kata lain, ruang publik harus tetap dapat diakses bagi seluruh penggunanya dan dapat merefleksikan komunitas sekitarnya.

(2)

Sehingga segala bentuk aktivitas, termasuk aktivitas komersial di dalam suatu ruang publik harus dapat membuat para user merasa ikut dilibatkan dalam aktivitas tersebut.

Menurut Hakim dan Utomo (2003), ruang publik terbagi menjadi dua berdasarkan sifatnya, yaitu:

1. Ruang publik tertutup; ruang publik yang berada di dalam bangunan 2. Ruang publik terbuka; ruang publik yang berada di luar bangunan.

Adapun pengertian ruang publik terbuka menurut Hakim dan Utomo (2003) adalah sebagai berikut:

1. Bentuk dasar ruang terbuka selalu terletak di luar massa bangunan 2. Dapat dimanfaatkan dan digunakan oleh setiap orang

3. Memberi tempat untuk menampun bermacam-macam kegiatan/aktivitas (multifungsi).

Contoh ruang publik terbuka seperti : jalan, jalur pedestrian, taman lingkungan, plaza, lapangan olahraga, taman kota, dan lain-lain.

Ruang publik terbuka tentunya memiliki peranan penting terhadap perkembangan sosial masyarakat. Hadirnya suatu ruang publik akan memberi dampak pada kehidupan sehari-hari masyarakat dalam beraktivitas. Beberapa fungsi ruang terbuka menurut Hakim dan Utomo (2003), yaitu:

1. Fungsi sosial; sebagai tempat berkomunikasi dan bersosialisasi, tempat bermain dan berolahraga, tempat untuk mendapatkan udara segar, tempat menunggu kegiatan lain, sebagai pembatas di antara massa bangunan, menghubungkan tempat yang satu dengan yang lain, sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian, dan keindahan lingkungan, sebagai saranan penelitian dan pendidikan, serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan. 2. Fungsi ekologi; yaitu ruang terbuka yang memiliki fungsi untuk

(3)

banjir, meyegarkan udara, memperbaiki iklim mikro dengan mereduksi panas dan polusi, memelihara serta menjaga keseimbangan ekosistem.

Secara garis besar, Krier (1979) dalam Prihutami (2008) mengklasifikasikan ruang terbuka menjadi dua jenis, yaitu:

1. Ruang terbuka yang bentuknya memanjang (koridor) yang pada umumnya hanya mempunyai batas pada sisi-sisinya, misalnya bentuk ruang terbuka pada jalan.

2. Ruang terbuka yang bentuknya bulat dan pada umumnya mempunyai batasan di sekelilingnya, misalnya ruang rekreasi dan lapangan upacara.

2.1.2. Koridor sebagai Ruang Publik

Salah satu bentuk ruang publik kota adalah koridor. Menurut Darmawan (2003), koridor adalah sebuah jalan yang diapit oleh dinding dari sebelah kiri maupun kanan yang merupakan ruang-ruang di sekitar jalan. Koridor juga merupakan bentuk dasar street yang merupakan ruang pergerakan linear, sebagai sarana untuk sirkulasi. Koridor jalan sebagai linear space tidak sekedar menjadi ruang sirkulasi, namun juga sangat berpotensi untuk tumbuh dan berkembang sebagai ruang aktivitas masyarakat (Shirvani, 1985). Menurut Bishop (1989) dalam buku Designing Urban Corridors, terdapat 2 jenis urban koridor, yaitu:

1. Koridor komersial biasanya berada pada area perkotaan dan dimulai dari area-area komersial menuju pusat sub-urban berupa kompleks bangunan perkantoran dan pusat-pusat pelayanan jasa perdagangan yang terbentuk di sepanjang koridor. Koridor komersial termasuk di dalamnya memiliki jalur pedestrian sebagai aktivitas dan pergerakan manusia serta jalan sebagai jalur sirkulasi kendaraan yang melewati kawasan kota.

2. Koridor Scenic, kebanyakan berada di area pedesaan. scenic koridor memberikan pemandangan yang unik dan khas bagi pengendara saat melewati koridor tersebut.

(4)

Menurut Carr, et al. dalam Sigit (2015), bentuk fisik koridor dapat berperan secara baik jika mengandung beberapa unsur, yaitu:

1. Comfort, adalah salah satu syarat keberhasilan ruang fisik koridor. lama seseorang beraktivitas pada suatu koridor dapat dijadikan tolok ukur tingkat kenyamanan (comfortable) pada koridor tersebut. Dalam hal ini, kenyamanan koridor antara lain dipengaruhi oleh: kenyamanan lingkungan yang berupa perlindungan dari pengaruh alam seperti sinar matahari dan angin; kenyamanan fisik yang berupa ketersediaan fasilitas penunjang yang cukup seperti tempat duduk; kenyamanan sosial yang berupa ruang bersosialisasi untuk pengguna.

2. Relaxation, merupakan aktivitas yang erat hubungannya dengan kenyamanan psikologi. Suasana rileks akan mudah dicapai jika badan dan pikiran dalam kondisi sehat dan senang. Kondisi ini dapat dibentuk dengan menghadirkan unsur-unsur alam seperti tanaman atau pepohonan, air, serta dengan lokasi yang terpisah atau terhindar dari kebisingan dan hiruk pikuk kendaraan di sekelilingnya.

3. Passive engagement, aktivitas ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Kegiatan pasif dapat dilakukan dengan cara duduk-duduk atau berdiri sambil melihat aktivitas yang tejadi di sekitarnya atau melihat pemandangan lingkungan sekitar.

4. Active engagement, yaitu ketika suatu ruang koridor dapat mewadahi aktivitas kontak atau interaksi antar anggota masyarakat dengan baik. 5. Discovery, dapat diartikan secara umum sebagai suatu proses mengelola

ruang koridor agar di dalamnya terjadi suatu aktivitas yang tidak monoton dengan memelihara keunikan aktivitas dan ciri khas arsitektural yang terdapat pada koridor sesuai dengan budaya setempat.

Jacob (1995) mengatakan bahwa ada beberapa kriteria dalam perencanaan koridor, yaitu:

1. Adanya perbandingan proporsi antara lebar jalan dengan tinggi bangunan

(5)

3. Bangunan di sekitar koridor memiliki kesatuan yang saling melengkapi

Koridor sebagai wadah aktivitas manusia, sirkulasi pergerakan manusia dan transportasi memiliki dua pengaruh langsung pada kualitas lingkungan, yaitu kelangsungan aktivitas komersial dan kualitas visual yang kuat terhadap struktur dan bentuk fisik kota.

2.1.3. Koridor Komersial

Koridor dibentuk oleh dua deretan massa (pohon atau bangunan) yang membentuk sebuah ruang untuk menghubungkan dua kawasan atau wilayah kota (Zahnd, 2012 dalam Dipta, 2015 ). Kawasan komersial merupakan suatu kawasan yang diawarnai atau ditandai oleh aktivitas ekonomi yaitu perdagangan dan jasa (Yunus, 2005). Menurut Philadelphia (2009), koridor komersial adalah kumpulan toko ritel yang melayani area perdagangan yang berada di sepanjang jalan tunggal. Dengan kata lain koridor komersial adalah sebuah ruang yang diapit oleh dua deretan massa sebagai jalur pergerakan transportasi, manusia dan juga sebagai kawasan aktivitas perekonomian masyarakat yang berupa aktivitas perdagangan dan jasa.

Menurut PPS (Project for Public Space), terdapat beberapa elemen pada koridor komersial, antara lain:

1. Kenyamanan dan identitas

a. Menciptakan budaya lokal dan identitas

b. Adanya elemen penanda sebagai informasi kepada pengunjung c. Terdapat ruang tempat duduk untuk para pengunjung, lansekap,

elemen pencahayaan yang baik, dan perabot jalan yang memberikan keamanan dan kenyamanan

2. Aksesibilitas

a. Kemudahan dalam menyebarang dan melintasi jalan

b. Mengakomodasi dan memberikan kenyamanan bagi pengguna pedestrian

(6)

c. Terdapat transportasi publik 3. Fungsi dan aktivitas

a. Keragaman aktivitas seperti tempat makan, toko, dan lainnya b. Pengunjung merasa betah berada pada koridor ini

c. Aktivitas di koridor mengundang pengunjung lain untuk berkunjung ke koridor ini

4. Mendukung fungsi sosial

a. Masyarakat dapat berkumpul di koridor b. Adanya rasa memiliki terhadap koridor

c. Adanya ruang untuk melakukan kegiatan dalam kondisi apapun

2.1.4. Pengguna Ruang Publik

Ruang publik merupakan salah satu ruang kota yang dapat diakses oleh siapa saja dan digunakan bersama (Zahrah et al. 2016). Dengan kata lain, pengguna-pengguna ruang publik pun bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan user dalam batas tertentu. Adapun beberapa pengguna koridor jalan, antara lain:

2.1.4.1. Pedestrian (Pejalan Kaki)

Pejalan kaki adalah setiap orang yang bergerak atau berpindah dari suatu tempat ke tempat tujuan tanpa menggunakan kendaraan. Pedestrian berasal dari bahasa Yunani pedos yang berarti kaki. Pedestrian juga berasal dari bahasa Latin pedester-pedestris yaitu orang yang berjalan kaki atau pejalan kaki, sehingga pedestrian dapat diartikan sebagai pejalan kaki atau orang yang berjalan kaki (Dharmawan,2004). Jalur pedestrian pertama kali dikenal pada tahun 6000 SM di Khirokitia, Cyprus, dimana jalan terbuat dari batu gamping lalu permukaannya di tinggikan terhadap tanah dan pada interval tertentu dibuat ramp untuk menuju ke kelompok hunian pada kedua sisi-sisinya (Kostof,1992). Menurut Iswanto (2006), suatu ruas jalan perlu dilengkapi dengan adanya jalur pedestrian apabila

(7)

disepanjang jalan terdapat penggunaan lahan yang memiliki potensi menimbulkan pejalan kaki.

Pengertian dasar berjalan kaki menurut Fruin, 1979 yaitu Berjalan kaki merupakan alat untuk pergerakan internal kota, satu – satunya alat untuk memenuhi kebutuhan interaksi tatap muka yang ada didalam aktivitas komersial dan kultural di lingkungan kehidupan kota. Berjalan kaki merupakan alat penghubung antara moda – moda angkutan yang lain.

Menurut Rapoport (1977), kebutuhan ruang berjalan kaki dibagi menjadi 2 jenis yaitu ruang gerak dan ruang istirahat. Ruang gerak bersifat dinamis dimana kegiatannya antara lain yaitu berjalan dan bergerak walaupun dengan kecepatan yang sangat lambat atau perlahan-lahan. Besaran dimensi ruang gerak tergantung pada jarak berpapasan baik dari arah yang sama maupun berbeda kemudian juga tergantung sesuai dengan lokasi (Harris dan Dines, 1988). Dimensi minimum yang dibutuhkan sewaktu pengguna jalur berpapasan adalah 1,5m x 1,5m.

Gambar 2.1 Jarak Ruang yang Dibutuhkan Pejalan Kaki Sesuai Lokasi (Harris dan Dines, 1988)

(8)

2.1.4.2. Pedagang Kaki Lima (PKL)

Salah satu produk dari proses perkembangan dan pertumbuhan kota-kota besar di Indonesia adalah lahirnya sektor informal seperti pedagang kaki lima yang menempati ruang publik berupa jalur pejalan kaki. Pedagang kaki lima dapat ditemukan hampir di seluruh kota dan kebanyakan berada di ruang fungsional kota seperti pusat perdagangan, pusat rekreasi, taman kota, dan tempat-tempat umum yang dapat menarik sejumlah besar penduduk sekitar. Sektor informal menurut Ahmad (2002) dalam Lie (2014) merupakan kegiatan ekonomi yang bersifat marjinal dan memiliki beberapa ciri seperti kegiatan yang tidak teratur, tidak tersentuh peraturan, bermodal kecil dan bersifat harian, tempat tidak tetap dan berdiri sendiri, berlaku di kalangan masyarakat yang berpenghasilan rendah, tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, lingkungan kecil, serta tidak mengenal perbankan, pembukuan maupun perkreditan. Dilihat dari sejarahnya di Indonesia, komunitas PKL sudah ada sejak pada masa penjajahan Kolonial Belanda. Istilah pedagang kaki lima berasal dari zaman pemerintahan Rafles, Gubernur Jendeeral pmerintahan Kolonial Belanda, yaitu dari kata "five feet" yang berarti jalur pejalan kaki di pinggir jalan selebar lima kaki. Ruang tersebut kemudian digunakan untuk kegiatan berjualan pedagang kecil sehingga disebut dengan pedagang kaki lima (Lie, 2014). PKL juga mempunyai pengertian yang sama dengan "hawkers" oleh McGee dan Yeung (1977), yang didefinisikan sebagai orang-orang yang menjajakan barang dan jasa untuk dijual di tempat yang merupakan ruang untuk kepentingan umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar.

Menurut Kartono et al. (1980), ada beberapa karakteristik umum pada pedagang kaki lima, yaitu:

1. Merupakan pedagang yang sebagian juga sekaligus menjadi produsen 2. Ada yang menetap pada lokasi tertentu dan ada yang bergerak dari satu

tempat ke tempat lainnya (menggunakan pikulan, kereta dorong, tempat atau stand yang tidak permanen serta bongkar pasang)

(9)

3. Menjajakan bahan makanan, minuman, barang-barang konsumsi lainnya yang tahan lama secara eceran

4. Umumnya bermodal kecil dan terkadang hanya merupakan alat bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sbagai imbalan atas jerih payahnya

5. Kualitas barang-barang yang diperdagangkan relatif rendah dan biasanya tidak berstandar

6. Volume peredaran uang tidak seberapa besar, para pembeli cenderung merupakan pembeli yang berdaya beli rendah

7. Usaha skala kecil bisa berupa family enterprise, dimana ibu dan anak-anak turut membantu dalam usaha tersebut, baik langsung maupun tidak langsung

8. Tawar menawar antara penjual dan pembeli merupakan ciri khas pada usaha pedagang kaki lima

9. Dalam melaksanakan pekerjaannya ada yang secara penuh, sebagian melaksanakan setelah kerja atau pada waktu senggang, dan ada pula yang melaksanakan musiman.

Dalam Lie (2014), McGee & Yeung (1977) mengelompokkan PKL dalam tiga tipe berdasarkan sifat layanannya, yaitu:

a. Pedagang keliling (mobile), pedagang yang dengan mudah dapat membawa barang dagangannya berpindah dari satu tempat ke tempat lain, mulai dari menggunakan sepeda, gerobak atau keranjang.

b. Pedagang semi menetap (semistatic), pedagang ini mempunyai sifat menetap sementara, dimana kios dan tempat usahanya akan berpindah setelah beberapa waktu berjualan di tempat tersebut.

c. Pedagang Menetap (static), sifat layanan pedagang ini memiliki frekuensi menetap yang paling tinggi, dimana lokasi tempat usahanya permanen disuatu tempat seperti di jalan atau ruang-ruang publik dengan membangun kios, maupun jongko.

(10)

Dalam Lie (2014), McGee & Yeung (1977) mengelompokkan PKL dalam tiga tipe berdasarkan pola penyebaran aktivitas, yaitu:

a. Pola penyebaran mengelompok (focus aglomeration), biasanya terjadi pada mulut jalan, di sekitar pinggiran pasar umum atau ruang terbuka. Pengelompokkan ini merupakan suatu pemusatan atau pengelompokan pedagang yang memiliki sifat sama / berkaitan. Pengelompokan pedagang yang sejenis dan saling mempunyai kaitan, akan menguntungkan pedagang, karena mempunyai daya tarik besar terhadap calon pembeli. Aktivitas pedagang dengan pola ini dijumpai pada ruang-ruang terbuka publik (taman, lapangan , dan lainnya).

b. Pola penyebaran memanjang (linier aglomeration), pola penyebaran ini dipengaruhi oleh pola jaringan jalan. Pola penyebaran memanjang ini terjadi di sepanjang/pinggiran jalan utama atau jalan penghubung. Pola ini terjadi berdasarkan pertimbangan kemudahan pencapaian, sehingga mempunyai kesempatan besar untuk mendapatkan konsumen. Jenis komoditi yang biasa diperdagangkan adalah sandang / pakaian, kelontong, jasa reparasi, buah-buahan, rokok/obat-obatan, dan lain-lain.

2.2. Arsitektur Perilaku sebagai Pendekatan

Dalam buku Arsitektur, Lingkungan dan Perilaku, Haryadi dan Setiawan (2010) berpendapat bahwa pada masa kini dan yang akan datang, perkembangan suatu bidang ilmu akan lebih banyak dipengaruhi oleh keberadaan bidang-bidang ilmu lain, tidak terlepas ilmu arsitektur. Isu tentang kenyamanan ruang, kesesakan, rasa terisolasi, hilangnya privasi seseorang, citra budaya suatu bangunan atau kawasan adalah beberapa contoh yang mulai banyak dibicarakan pada masa sekarang. Kepedulian akan kualitas hidup manusia inilah yang membantu berkembangnya ilmu arsitektur ke arah hal-hal yang mengandung permasalahan sosial.

Haryadi dan Setiawan (2010) menjelaskan bahwa perilaku dioperasionalisasikan seabagai kegiatan manusia yang membutuhkan setting atau

(11)

wadah kegiatan yang berupa ruang. Wadah-wadah berbabagai kegiatan tersebut yang membentuk tata ruang yang merupakan bagian dari arsitektur. Hal-hal inilah yang menjadi dasar pertimbangan bahwa ruang menjadi salah satu komponen arsitektur yang menjadi penting dalam pembahasan studi hubungan arsitektur lingkungan dan perilaku. Kemudian hal ini dipertegas oleh Prohansky (1976) dalam Syahputra (2013) bahwa kini perhatian utama dalam perancangan urban adalah pengaruh psikologi lingkungan terhadapnya. Proses interaksi lingkungan dapat dilihat seperti pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Proses penginderaan kognitif oleh manusia terhadap suatu objek Sumber: Prohansky, 1976 dalam Syahputra, 2013

2.2.1. Pengertian Arsitektur Perilaku

Arsitektur adalah bangunan tempat kegiatan manusia, berguna dan mempunyai nilai-nilai tertentu (keindahan) yang dapat menyentuh perasaan manusia (Talarosha, 1999). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Tandal dan Egam (2011) dalam Lie (2014) berpendapat bahwa kata perilaku menunjukkan manusia dalam aksinya, berkaitan dengan aktivitas manusia secara fisik, berupa interaksi manusia dengan sesamanya ataupun dengan lingkungan fisiknya. Dengan kata lain, arsitektur perilaku merupakan bangunan, arsitektur, ruang, lingkungan sebagai wadah aktivitas manusia yang dipengaruhi atau mempengaruhi manusia di dalamnya secara psikologi.

(12)

Berikut merupakan definisi arsitektur perilaku menurut beberapa tokoh: 1. Menurut Y.B. Mangun Wijaya dalam buku Wastu Citra.

Arsitektur perilaku adalah arsitektur yang manusiawi, yang mampu memahami dan mewadahi perilaku-perilaku manusia yang ditangkap dari berbagai macam perilaku, baik itu perilaku pencipta, pemakai, pengamat juga perilaku alam sekitarnya

2. Donna P. Duerk mengatakan bahwa manusia dan perilakunya adalah bagian dari sistem yang menempati tempat dan lingkungan tidak dapat dipisahkan secara empiris. Oleh sebab itu, perilaku manusia selalu terjadi pada suatu tempat dan dapat dievaluasi secara keseluruhan tanpa pertimbangan faktor-faktor lingkungan.

Lingkungan mempengaruhi perilaku manusia. orang cenderung menduduki suatu tempat yang biasanya diduduki meskipun tempat tersebut bukan tempat duduk. Misalnya: susunan anak tangga di depan rumah, bagasi mobil yang besar, pagar yang rendah, dsb.

Perilaku manusia yang mempengaruhi lingkungan. Pada saat orang cenderung memilih jalan pintas yang dianggapnya terdekat daripada melewati pedestrian yang memutar sehingga orang tersebut tanpa sadar telah membuat jalur sendiri meski telah disediakan pedestrian.

3. Gary T. More dalam buku Introduction to Architecture

Istilah perilaku diartikan sebagai suatu fungsi dari tuntutan-tuntutan manusia dalam dan lingkungan sosio-fisik luar. Pengkajian perilaku menurut Garry T. More diakitkan dengan lingkungan sekitar yang lebih dikenal sebagai pengkajian lingkungan-perilaku. Adapun pengkajian lingkungan_perilaku seperti yang dimaksudkan oleh Garry T. More terdiri atas definisi-definisi sebagai berikut :

a. Meliputi penyelidikan sistematis tentang hubungan-hubungan antara lingkungan dan perilaku manusia serta penerapannya dalam proses perancangan.

b. Pengakjian lingkungan-perilaku dalam Arsitektur mencakup lebih banyak daripada sekedar fungsi.

(13)

c. Meliputi unsur-unsur keindahan estetika, dimana fungsi berhubungan dengan perilaku dan kebutuhan oang, estetika berhubungan dengan pilihan dan pengalaman. Jadi, estetika formal dilengkapi dengan estetika hasil pengalaman yang bersandar pada si pemakai.

d. Jangkauan faktor perilaku lebih mendalam, pada psikologi si pemakai bangunan , kebutuhan interaksi kemasyarakatan, perbedaan-perbedaan sub budaya dalam gaya hidup dan makna serta simbolisme bangunan.

e. Pengkajian lingkungan-lingkungan juga meluas ke teknologi, agar elemen-elemen Arsitektur dapat memberikan penampilan kemantapan atau perlindungan.

4. Victor Papanek mengatakan bahwa dalam telaah-telaah lingkungan dalam arsitektur, harus dipahami dua kerangka konsep yang satu menjelaskan jajaran informasi lingkungan perilaku-perilaku yang tersedia, dan yang lain memperhatikan dimana proses perancangan informasi lingkungan perilaku paling mempengaruhi pengambilan keputusan Arsitektur.

5. J.B. Watson mengatakan bahwa arsitektur perilaku adalah arsitektur yang dalam penerapannya selalu menyertakan pertimbangan-pertimbangan perilaku dalam perancangan kaitan perilaku dengan desain arsitektur (sebagai lingkungan fisik) yaitu bawa desain arsitektur dapat menjadi fasilitator terjadinya perilaku atau sebaliknya sebagai penghalang terjadinya perilaku.

2.2.2. Konsep - Konsep Perilaku

Perkembangan kajian arsitektur lingkungan dan perilaku diawali oleh kajian psikologi lingkungan yang pada hakikatnya mempertanyakan peran proses-proses psikologis. Beberapa konsep penting dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku menurut Haryadi dan Setiawan (2010) adalah sebagai berikut:

(14)

1. Setting Perilaku (Behavior Setting)

Behavior setting dapat diartikan secara sederhana sebagai suatu interaksi antara suatu kegiatan dengan tempat yang spesifik. Dengan demikian, behavior setting mengandung unsur-unsur: sekelompok orang yang melakukan sesuatu kegiatan aktivitas atau perilaku dari sekelompok orang tersebut, serta tempat dimana kegiatan tersebut dilakukan. Contoh dari setting perilaku ini dalam kehidupan sehari-hari seperti di dalam suatu setting bank, kelas, ruang tunggu, pasar, sederet penjual kaki lima, dsb.

Dalam banyak kajian arsitektur lingkungan dan perilaku, istilah behavior setting dijabarkan dalam dua istilah yakni system of setting dan system of activity, dimana keterkaitan antara keduanya membentuk satu behavior setting tertentu. system of setting atau sistem tempatdiartikan sebagai rangkaian unsur-unsur fisik atau spasial yang mempunyai hubungan tertentu dan terkait hingga dapat dipakai untuk suatu kegiatan tertentu. Contoh dari setting adalah ruang yang dimanfaatkan sebagai ruang untuk pameran, ruang terbuka atau trotoar yang ditata untuk berjualan kaki lima. Sementara itu System of activity atau sistem kegiatan diartikan sebagai suatu rangkaian perilaku yang secara sengaja dilakukan oleh satu atau beberapa orang. Contohnya adalah rangkaian persiapan dan pelayanan di dalam suatu restoran atau rangkaian upacara perkawinan dengan adat Jawa. Behavior setting mempunyai spektrum yang luas, mulai dari setting suatu kamar hingga setting suatu kota.

2. Persepi tentang Lingkungan (Environmental Perception)

Persepsi lingkungan atau environmental perception adalah interpretasi tentang suatu setting oleh individu, didasarkan latar belakang budaya, nalar, dan pengalaman individu tersebut. Dengan demikian, setiap individu akan mempunyai persepsi lingkungan yang berbeda karena latar belakang budaya, nalar serta pengalamannya berbeda. Akan tetapi, dimungkinkan pula beberapa kelompok individu mempunyai kecenderungan persepsi lingkungan yang sama atau mirip karena

(15)

kemiripan latar belakang budaya, lanar, serta pengalamannya. Pendekatan persepsi akan dijelaskan lebih lanjut pada sub-bab selanjutnya.

3. Lingkungan yang Terpersepsikan (Perceived Environment)

Lingkungan yang terpersepsikan atau perceived environment merupakan produk atau bentuk persepsi lingkungan seseorang atau sekelompok orang. Apabila kita berbicara mengenai persepsi lingkungan berarti kita berbicara tentang proses kognisi, afeksi serta kognasi seseorang atau sekelompok orang terhadap lingkungan. Keseluruhan proses ini menghasilkan apa yang disebut perceived environment atau lingkungan yang terpersepsikan.

4. Kognisi Lingkungan, Citra, dan Skemata (Environmental Cognition, Image and Schemata)

Kognisi lingkungan atau environmental cognition adalah suatu proses memahami dan memberi arti terhadap lingkungan. Proses ini dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku penting karena merupakan suatu proses yang menjelaskan mekanisme hubungan antara manusia dan lingkungannya. Rapoport (1997) dalam Haryadi dan Setiawan (2010) mengatakan bahwa kognisi lingkungan ditentukan oleh tiga faktor yakni: organismic, environmental, dan cultural. Ketiganya saling berinteraksi mempengaruhi proses kognisi seseorang.

5. Pemahaman Lingkungan (Environmental Learning)

Environmental learning diartikan sebagai keseluruhan proses yang berputar dari pembentukan kognisi, schemata serta peta mental. Sebagaimana dilihat pada Gambar 2.3, proses environment learning meliputi proses pemahaman yang menyeluruh dan menerus tentang suatu lingkungan oleh seseorang (Rapoport, 1977 dalam Haryadi dan Setiawan, 2010). Gambar 2.3 menjelaskan bahwa pembentukan kognisi mengenai suatu lingkungan merupakan suatu pengetahuan, pemahaman, dan pengartian yang dinamis dan berputar.

(16)

6. Kualitas Lingkungan (Environmental Quality)

Keseluruhan proses environmental learning, pada akhirnya akan menghasilkan apa yang disebut sebagai persepsi mengenai kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan didefinisikan secara umum sebagai suatu lingkungan yang memenuhi preferensi imajinasi ideal seseorang atau sekelompok orang. Definisi ini menegaskan bahwa dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku, kualitas lingkungan seyogyanya dipahami secara subjektif, yakni dikaitkan dengan aspek-aspek psikologis dan sosio-kultural masyarakat yang menghuni suatu lingkungan. Namun, meskipun kualitas lingkungan sangat subjektif, terdapat pula unsur-unsur dasar kualitas lingkungan yang harus kita jaga.

7. Teritori (Territory)

Teritori di dalam kajian arsitektur dan perilaku diartikan sebagai batas tempat organisme hidup menentukan tuntutannya, menanai, serta mempertahankannya, terutama dari kemungkinan intervensi pihak lain. Konsep Teritori yang berlaku pada manusia menyangkut juga perceived environment serta imaginary environment. Artinya, bagi manusia, konsep teritori lebih dari sekedar tuntutan atas suatu area untuk memenuhi kebutuhan fisiknya saja, tetapi juga untuk kebutuhan emosional dan kultural. Altman (1975) dalam Haryadi dan Setiawan (2010) membagi teritori menjadi 3 kategori dikatikan dengan keterlibatan personal, involvement, kedekatan dengan kehidupan sehari-hari individu atau kelompok, dan frekuensi penggunaan. Tiga kategori tersebut adalah: primary, secondary, serta public territory. Penjelasan mengenai konsep teritori ini akan dilanjutkan lebih mendalam pada subbab berikutnya.

8. Ruang Personal dan Kesumpekan (Personal space and Crowding) Secara sederhana, Sommer (1969) dalam Haryadi dan Setiawan (2010) mendefinisikan ruang privat sebagai batas tak tampak di sekitar seseorang , yang mana orang lain tidak boleh atau merasa enggan untuk memasukinya. Personal space merupakan konsep yang dinamis dan

(17)

adaptif, tergantung pada situasi lingkungan dan psikologis seseorang serta kultural seseorang. Dengan kata lain, jarak individu untuk mendapatkan personal space dapat membesar atau mengecil. Konsepsi mengenai personal space ini, lebih lanjut menentukan isu dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku yakni crowding (kesumpekan). Crowding ialah situasi ketika seseorang atau sekelompok orang sudah tidak mampu mempertahankan ruang privatnya. Dengan kata lain, karena situasi tertentu, masing-masing telah mengintervensi batas-batas personal space. Oleh karena personal space-nya dimasuki oleh orang atau banyak orang lain, situasi crowding apabila berlangsung lama akan mengarah pada munculnya stress. Faktor utama crowding adalah densitas manusia yang terlalu tinggi di suatu tempat. Namun, mengingat konsep personal space menyangkut pula aspek psikologis dan kultur seseorang, masalah crowding tidak hanya berkaitan dengan densitas fisik.

9. Tekanan Lingkungan dan Stres (Environmenal Pressures and Stress) Tekanan lingkungan didefinisikan sebagai faktor-faktor fisik, sosial, serta ekonomi yang dapat menimbulkan perasaan tidak enak, tidak nyaman, kehilangan orientasi, atau kehilangan keterikatan dengan suatu tempat tertentu. Apabila hal ini dibiarkan secara terus menerus, tekanan lingkungan dapat menyebabkan stres.Dengan kata lain, tekanan lingkungan yang terlalu besar menyebabkan inteaksi antara manusia dan lingkungan tidak terjadi secara baik dan optimal yang kemudian menimbulkan perilaku yang tidak wajar akibat stres.

2.2.3. Persepsi

Persepsi merupakan proses untuk memperoleh informasi dari seseorang tentang lingkungan di mana ia berada. (Lang, 1987). Pemahaman terhadap perilaku manusia dapat diawali dengan memahami proses terbentuknya perilaku tersebut serta mengetahui faktor-faktor penting yang mempengaruhinya Perilaku manusia merupakan pusat perhatian dalam hubungan antara manusia dengan lingkungannya.

(18)

Manusia menginderakan objek di lingkungannya, hasil penginderaannya diproses, sehingga timbul makna tentang objek tersebut. Ini dinamakan persepsi yang selanjutnya menimbulkan reaksi (Wirawan, 1992).

Istilah persepsi berasal dari Bahasa Inggris yaitu kata "perception" yang berarti penglihatan, keyakinan dapat melihat atau mengerti. Dalam hal interaksi manusia dengan lingkungannya, manusia akan selalu berusaha untuk memperoleh keselarasan dengan lingkungannya. Hal ini dimungkinkan dengan adanya kemampuan kognitif untuk mengadakan reaksi-reaksi tertentu terhadap lingkungan yang memuat hal-hal tertentu yang menarik minatnya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. (Bell, 2001).

Proses hubungan dengan lingkungan yang terjadi sejak individu berinteraksi melalui penginderaan sampai terjadinya reaksi, digambarkan dalam skema persepsi oleh Paul A. Bell (2001).

Gambar 2.3 Skema Persepsi Sumber: Bell, 2001

Dalam skema tersebut terlihat bahwa tahap paling awal dari hubungan manusia dengan lingkungannya adalah kontak fisik antara individu dengan objek-objek di lingkungannya. Objek tampil dengan kemanfaatannya masing-masing sedangkan individu datang dengan

(19)

sifat-sifat individunya, pengalaman masa lalunya, bakat, minat, sikap dan berbagai ciri pribadi masing-masing (social background).

Hasil interaksi individu dengan objek menghasilkan persepsi individu tentang objek tersebut. Jika persepsi berada dalam batas optimal, maka individu dikatakan dalam keadaan homeostatis, yaitu keadaan yang serba seimbang dan biasanya selalu ingin dipertahankan oleh setiap individu karena menimbulkan perasaan yang menyenangkan. Sebaliknya, jika objek dipersepsikan di luar batas optimal, maka individu akan mengalami stress. Terjadi peningkatan energi, sehingga harus dilakukan coping untuk menyesuaikan lingkungan pada kondisi dirinya. Penyesuaian diri individu terhadap lingkungannya disebut dengan adaptasi, sedangkan penyesuaian lingkungan terhadap individu disebut adjustment.

Kemudian, Walgito dalam Mujib (2011) membagi proses terjadinya persepsi menjadi dua jenis,yaitu:

a. Proses fisik

Proses persepsi dimulai dari pengindraan yang menimbulkan stimulus pada reseptor kemudian dilanjutkan dengan pengolahan data pada syaraf sensoris otak atau dalam pusat kesadaran. Proses ini disebut juga dengan proses fisiologis.

b. Proses psikologis

Proses pengolahan data pada syaraf sensoris otak akan menyebabkan reseptor menyadari apa yang dilihat, didengan serta apa yang diraba.

Persepsi manusia dapat berubah-ubah karena adanya proses fisiologis di mana ruang mempunyai komponen yang dapat mempengaruhi persepi seseorang. Menurut Hall.E (1966) dalam Utomo (2008), Faktor-faktor pemahaman ruang menyangkut hal-hal yang lebih dalam mengenai aspek psikologi dari pemakai, bagaimana persepsinya terhadap suatu ruang/ bangunan, bagaimana kebutuh interaksi sosial antara pemakai dan bagaimana arti simbolis suatu ruang/bangunan. Hall E kemudian menjelaskan bahwa pengalaman ruang dapat dibentuk melalui:

(20)

2. Audial Space, yang terbentuk dari persepsi indera pendengaran 3. Obsticel space, terbentuk dari persepsi indera penciuman

4. Thermal space, terbentuk dari persepsi terhadap temperatur lingkungan 5. Testicle space, terbentuk dari persepsi indera peraba

6. Kinesthetic space, terbentuk dari persepsi keterbatasan gerak manusia

Menurut Gifford dalam Yusra (2014), persepsi manusia dipengaruhi oleh beberapa hal,yaitu:

a. Faktor personal

Karakterisik seorang individu akan dihubungan dengan perbedaan persepsi terhadap lingkungan. Dengan kata lain, dalam hal ini akan melibatkan faktor antara lain kemampuan perseptual dan pengalaman atau pengenalan terhadap kondisi lingkungan. Pada umumnya, proses pengalaman atau pengenalan seseorang terhadap kondisi lingkungan yang di hadapi mempunyai orientasi pada kondisi lingkungan lain yang telah dikenal sebelumnya dan secara otomatis akan menghasilkan proses pembanding yang menjadi dasar persepsi yang dihasilkan. b. Faktor kultural

Dalam hal ini, Gifford menjelaskan bahwa konteks kultural yang dimaksud berhubungan dengan tempat asal atau tempat tinggal seseorang. Budaya yang dibawa dari tempat asal suatu individu akan membentuk cara yang berbeda bagi setiap individu tersebut dalam memandang dunia. Kemudian Gifford menyebutkan bahwa faktor pendidikan juga dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap lingkungan dalam konteksnya.

c. Faktor fisik

Faktor fisik merupakan faktor di mana kondisi alamiah dari suatu lingkungan akan turut mempengaruhi persepsi seseorang dalam lingkungan tersebut. Lingkungan dengan elemen pembentuknya akan menghasilkan karakter atau tipikal tertentu yang kemudian menciptakan identitas bagi lingkungan tersebut.

(21)

Selanjutnya, Laurens (2004) mengemukakan istilah yang digunakan untuk pengalaman ruang, pengetahuan akan bentuk dan simbolisasi adalah peta mental. Gagasan ini sejalan dengan pemikiran Haryadi dan Setiawan dalam buku Arsitektur Lingkungan dan Perilaku bahwa kognisi lingungan yang sifatnya abstrak dapat diproyeksikan secara spasial dan di dalam kajian arsitektur linkungan dan perilaku disebut sebagai peta mental. Peta mental setiap individu akan berbeda-beda terhadap suatu lingkungan yang sama (Laurens, 2004 & Haryadi dan Setiawan, 2010).

Faktor-faktor yang membedakan peta mental seseorang menurut Laurens (2004), antara lain:

a. Gaya Hidup

Gaya hidup seseorang menyebabkan timbulnya selektivitas dan distorsi peta mental. Hal tersebut erat kaitannya dengan tempat (jenis, kondisi, jumlah, dan lain sebagainya) yang pernah dikunjungi sesuai dengan gaya hidup yang dimiliki.

b. Keakraban dengan lingkungan

Hal ini menyangkut pada seberapa baik seseorang mengenal lingkungannya. Semakin kuat seseorang mengenal lingkungannya, semakin luas dan rinci peta mentalnya.

c. Keakraban sosial

Semakin luas pergaulannya, semakin luas wilayah yang dikunjungi, dan semakin ia tahu akan kondisi wilayah tertentu maka semakin baik peta mentalnya.

d. Kelas sosial

Semakin terbatas kemampuan seseorang, semakin terbatas pula daya geraknya dan semakin sempit peta mentalnya.

e. Perbedaan seksual

Laki-laki biasanya mempunyai peta mental yang lebih baik dan terinci daripada perempuan karena kesempatan pergaulan dan ruang geraknya juga lebih luas. Terlebih lagi, dalam kondisi masyarakat yang ada pada

(22)

umumnya akan lebih memberi peluang kepada kaum pria untuk bergerak dengan berbagai aktivitas.

Faktor-faktor inilah yang akan memberi pengertian bagaimana menciptakan bangungan atau lingkungan yang mudah dilihat dan diingat sekaligus membangkitkan kekayaan pengalaman orang yang memakainya sebagai citra pada tempat tersebut.

2.2.4. Pemetaan Perilaku (Behavioral mapping)

Dari beberapa teknik survei yang dapat dipakai dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku, teknik behavioral mapping yang dikembangkan oleh Ittelson sejak tahun 1970-an, merupakan teknik yang sangat populer dan banyak dipakai. Selain relatif gampang dipahami, teknik ini mempunyai kekuatan utama pada aspek spasialnya. Artinya, dengan teknik ini didapatkan sekaligus suatu bentuk informasi mengenai suatu fenomena (terutama pelaku individu dan sekelompok manusia) yang terkait dengan sistem spasialnya. Sommer dalam Haryadi dan Setiawan (2010) mengatakan bahwa behavioral mapping digambarkan dalam bentuk sketsa atau diagram mengenai suatu area di mana manusia melakukan berbagai kegiatannya. Tujuannya adalah untuk menggambarkan perilaku dalam peta, mengidentifikasikan jenis dan frekuensi perilaku, serta menunjukkan kaitan antara perilaku tersebut dengan wujud perancangan yang spesifik. Secara umum , prosedur pemetaan perilaku terdiri dari lima unsur dasar (Ittelson dalam Haryadi dan Setiawan, 2010), yaitu:

1. Sketsa dasar area atau setting yang akan diobservasi

2. Definisi yang jelas tentang bentuk-bentuk perilaku yang akan diamati, dihitung, dideskripsikan dan didiagramkan

3. Satu rencana waktu yang jelas pada saat kapan pengamatan akan dilakukan

4. Prosedur sistematis yang jelas harus diikuti selama observasi

5. Sistem coding yang efisien untuk lebih mengefisiensikan pekerjaan selama observasi.

(23)

Adapun jenis-jenis perilaku yang biasa dipetakan antara lain meliputi: 1. Pola perjalanan

2. Migrasi

3. Perilaku konsumtif 4. Kegiatan rumah tangga 5. Hubungan ketetanggaan

6. Penggunaan berbagai fasilitas publik

Terdapat dua cara untuk melakukan pemetaan perilaku yakni: 1. Place-centered Mapping (Pemetaan berdasarkan tempat)

Teknik ini digunakan untuk mengetahui bagaimana manusia atau sekelompok manusia memanfaatkan, menggunakan, atau mengakomodasikan perilaku dalam suatu situasi waktu dan tempat yang tertentu. Dengan kata lain, perhatian dari teknik ini adalah satu tempat yang spesifik, baik kecil maupun besar. Dalam teknik ini, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat sketsa dari tempat atau setting meliputi seluruh unsur fisik yang diperkirakan mempengaruhi perilaku pengguna ruang tersebut. Langkah berikutnya adalah membuat daftar perilaku yang akan diamati serta menentukan simbol atau tanda sketsa atas setiap perilaku. Kemudian, dalam satu kurun waktu tertentu, peneliti mencatat berbagai perilaku yang terjadi dalam tempat tersebut dengan menggambarkan simbol-simbol pada peta dasar yang telah disiapkan.

2. Person-centered Mapping (Pemetaan berdasarkan pelaku)

Teknik ini menekankan pada pergerakan manusia pada suatu periode waktu tertentu. Dengan demikian, teknik ini akan berkaitan dengan tidak hanya satu tempat akan tetapi dengan beberapa tempat atau lokasi. Pada person-centered mapping ini, peneliti berhadapan dengan seseorang yang khusus diamati. Tahap pertama yang harus dilakukan adalah memilih sampel person atau sekelompok manusia yang akan diamati perilakunya. tahap berikutnya adalah mengikuti pergerakan dan

(24)

aktivitas yang dilakukan oleh orang tersebut. pengamatan ini dapat dilakukan dengan membuat sketsa-sketsa dan catatan-catatan pada suatu peta dasar yang sudah disiapkan. pengamatan dapat dilakukan secara kontiniu atau hanya pada periode-periode tertentu saja, tergantung dari tujuan penelitiannya.

2.2.5. Teritorialitas

Batasan ruang dalam kajian arsitektur lingkungan dan perilaku dikenal dengan sebutan teritorial space. Menurut Haryadi dan Setiawan (2010) dalam buku Arsitektur Lingkungan dan Perilaku, teritori diartikan sebagai batas tempat organisme hidup menentukan tuntutannya, menandai, serta mempertahankannya, terutama dari kemungkinan intervensi pihak lain. Pastalan (1970) dalam Ricardo mendefinisikan teritori sebagai ruang yang diberi batas atau cagar yang melibatkan indetifikasi psikologis terhadap tempat, seperti tindakan pengaturan dan sikap memiliki pada benda-benda yang berada di dalamnya. Lang (1987) dalam Ricardo (2014) berpendapat bahwa batas dari sebuah teritori bisa dikenali lewat terjadinya perubahan perilaku dan sifat privasi ketika teritori tersebut diintervensi. Kemudian menurut lang (1987), terdapat empat karakter dari teritorialitas, antara lain sebagai berikut:

1. kepemilikan atau hak dari suatu tempat

2. personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu 3. hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar

4. pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai dengan kepuasan kognitif dan kebutuhan-kebutuh estetika.

Sementara itu, Altman (1975) membagi teritori menjadi tiga kategori dikaitkan dengan keterlibatan personal, involvement, kedekatan dengan kehidupan sehari hari individu atau kelompok dan frekuensi penggunaan. Tiga kategori tersebut yaitu primary territory, secondary territory, dan public territory.

(25)

1. Primary territory, adalah suatu area yang dimiliki, digunakan secara eksklusif, disadari oleh orang lain, dikendalikan secara permanen, serta menjadi bagian utama dalam kegiatan sehari-hari penghuninya.

2. Secondary territory, adalah suatu area yang tidak terlalu digunakan secara eksklusif oleh seseorang atau sekelompok orang mempunyai cakupan area yang relatif luas, dikendalikan secara berkala.

3. Public territory, adalah suatu area yang digunakan dan dapat dimasuki oleh siapapun akan tetapi ia harus mematuhi norma-norma serta aturan yang berlaku di area tersebut.

Kajian tentang persoalan teritori ini akan sangat penting terutama untuk memberikan rekomendasi bagi perancangan desain ruang publik mengingat teritori merupakan hal yang sangat mempengaruhi perilaku pada ruang publik. Beberapa faktor yang mempengaruhi teritori menurut Fatimah (2011), yaitu sebagai berikut:

1. Faktor Personal

Faktor personal yang mempengaruhi karakteristik seseorang yaitu jenis kelamin, usia dan kepribadian yang diyakini mempunyai pengaruh terhadap sikap teritorialitas.

2. Faktor Situasi

Perbedaan situasi berpengaruh pada teritorialitas, ada dua aspek situasi yaitu tatanan fisik dan sosial budaya yang mempunyai peran dalam menentukan sikap teritorialitas.

3. Faktor Budaya

Faktor budaya mempengaruhi sikap teritorialitas. Secara budaya terdapat perbedaan sikap teritori hal ini dilatar belakangi oleh budaya seseorang yang sangat beragam. Apabila seseorang mengunjungi ruang publik yang jauh berada diluar kultur budayanya pasti akan sangat berbeda sikap teritorinya.

Gambar

Gambar 2.1 Jarak Ruang yang Dibutuhkan Pejalan Kaki Sesuai Lokasi  (Harris dan Dines, 1988)
Gambar 2.2 Proses penginderaan kognitif oleh manusia terhadap suatu objek  Sumber: Prohansky, 1976 dalam Syahputra, 2013
Gambar 2.3 Skema Persepsi  Sumber: Bell, 2001

Referensi

Dokumen terkait

Arsitektur tropis dapat berbentuk apa saja tidak harus serupa dengan bentuk- bentuk arsitektur tradisional yang banyak dijumpai di wilayah Indonesia, sepanjang rancangan

Alvin Saputra 11623143154 Asian Medical Student's Conference 2016 Poster Ilmiah Asian Medical Student's Association (AMSA) - Phillipines 2016 Delegates Internasional

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN

Dari penelitian ini kami menemukan hubungan yang bermakna antara tingginya kadar β -hCG se- rum dengan risiko terjadinya preeklampsia, yang menunjukkan respon sekresi abnormal

Penggunaan konjungsi subordinatif karena pada data (3) merupakan konjungsi yang digunakan untuk menghubungkan klausa-klausa dalam kalimat majemuk bertingkat yang menyatakan

2 Saya terbuka untuk menjalin kerjasama yang baik dengan oranglain atau rekan kerja JELASKAN :. 3 Saya menyukai interaksi yang erat dengan rekan kerja demi kemajuan usaha

Sesuai dengan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan yaitu, apa saja bentuk leksem berkonsep

Sementara di Kabupaten Demak pada tahun 2011 jumlah kejadian kematian ibu sebanyak 26 kasus, dan Upaya yang telah dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Demak