• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MEKARWANGI KOTA BOGOR TAHUN 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MEKARWANGI KOTA BOGOR TAHUN 2014"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KEJADIAN DIARE PADA

BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MEKARWANGI KOTA

BOGOR TAHUN 2014

Azkiya Zulfa,I Made Djaja

Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

E-mail: azkiya.zulfa@ui.ac.id / azkiya.zulfa@gmail.com

Abstrak

Kejadian diare terbanyak di Kota Bogor terjadi di Kecamatan Tanah Sareal dimana kondisi sanitasi yang berkaitan dengan air minum berisiko tinggi terdapat di Kelurahan Sukadamai dan Mekarwangi yang termasuk ke dalam wilayah kerja puskesmas Mekarwangi Kota Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian diare pada balita di wilayah kerja puskesmas Mekarwangi Kota Bogor tahun 2014. Disain penelitian yang digunakan adalah case control. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi dan pemeriksaan laboratorium sampel air minum. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap kejadian diare pada balita adalah Escherichia coli dalam air minum (OR=2,61; 95% CI= 1,32-6,76), perilaku cuci tangan ibu atau pengasuh (OR=2,05; 95% CI= 1,18-3,57), hygiene sanitasi makanan dan minuman (OR=2,53; 95% CI= 1,46-4,39) dan pengetahuan ibu atau pengasuh (OR=1,83; 95% CI= 1,01-3,31).

Kata kunci: Faktor risiko, diare, balita

Factors that Affected Underfive Years Children Diarrhea in Region of Puskesmas Mekarwangi, Bogor 2014

Abstract

The highest incidence of diarrhea in Bogor occurred at Tanah Sareal district where the condition of basic sanitation associated with high risk drinking water in Kelurahan Sukadamai and Kelurahan Mekarwangi which belong to Puskesmas Mekarwangi region. This study aims to analyze risk factors that affected underfive years children diarrhea in region of Puskesmas Mekarwangi, Bogor 2014. This study used case control design. The information collected by interviews, observation and laboratorium analyze of drinking water sample. Result that risk factors that affected diarrhea are Escherichia coli in drinking water (OR=2,61; 95% CI= 1,32- 6,76), handwashing behavior of mother (OR=2,05; 95% CI= 1,18-3,57), hygiene sanitation of

(2)

Universitas Indonesia

food and drink (OR=2,53; 95% CI= 1,46-4,39) and also knowledge of mother about diarrhea (OR=1,83; 95% CI= 1,01-3,31).

Keywords:Risk factors, diarrhea, children under five years

Pendahuluan

Diare merupakan penyebab kematian utama di dunia, terhitung 5-10 juta kematian/tahun. Besarnya masalah tersebut terlihat dari tingginya angka kesakitan dan kematian akibat diare. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 4 milyar kasus terjadi di dunia dan 2,2 juta diantaranya meninggal, dan sebagian besar anak-anak dibawah umur 5 tahun.1 Penyakit diare menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitas-nya yang masih tinggi.

Penelitian yang berbasis masyarakat, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilaksanakan di 33 provinsi pada tahun 2007, melaporkan bahwa angka nasional prevalensi klinis diare 9,0%, dengan rentang 4,2% - 18,9%. Beberapa provinsi mempunyai prevalensi diare klinis diatas angka nasional (9%) di 14 provinsi, prevalensi tertinggi di NAD dan terendah di DI Yogyakarta.2 Terlihat ada kecenderungan peningkatan prevalensi diare bila dibandingkan dengan SKRT 2001 dimana prevalensi diare pada SKRT tahun 2001 yaitu 4,0% dan pada Riskesdas 2007 dilaporkan prevalensi diare 9.0%. Terjadi penurunan angka prevalensi diare nasional pada Riskesdas 2013 yaitu menjadi 3,5%, namun Provinsi Jawa Barat masuk ke dalam 5 provinsi dengan insiden diare balita tertinggi di Indonesia yaitu sebesar 6,1% (Riskesdas, 2013). Selain itu, Provinsi Jawa Barat juga pernah menjadi Provinsi dengan insiden diare tertinggi di Indonesia sebanyak 1.777.546 kasus diare.3

Di Kota Bogor, diare menempati urutan kedua penyakit yang paling sering ditemui setelah setelah penyakit ISPA. Kejadian diare terjadi di Kota Bogor dengan jumlah kasus sebanyak 24.287 kasus pada tahun 2009, 20.297 pada tahun 2010 dan mengalami peningkatan kembali pada tahun 2011 sampai tahun 2013 jumlah kasus diare terus meningkat.4 Berdasarkan data dari P3KL Dinas Kesehatan Kota Bogor 2013, Kecamatan Tanah Sareal merupakan kecamatan yang memiliki jumlah kasus diare tertinggi hampir setiap tahunnya.5

(3)

Penyakit diare yang terjadi di Kota Bogor sangat berhubungan dengan kondisi lingkungan yang kurang memadai dan perilaku hidup tidak sehat seperti penggunaan air yang tercemar oleh bakteri E.coli, buang air besar sembarangan, kebiasaan tidak mencuci tangan saat berhubungan dengan makanan, kebiasaan minum air yang belum dimasak, tidak menutup makanan dengan tudung saji, mencuci alat makan dengan air yang tercemar dan makan makanan yang tidak aman.4 Berdasarkan hasil Survei EHRA (Environmental Health Risk Assessment), Kecamatan Tanah Sareal memiliki 2 kelurahan yang memiliki permasalahan air minum yaitu Kelurahan Mekarwangi dan Kelurahan Sukadamai dengan kategori risiko tinggi sehingga balita yang tinggal di wilayah ini memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena diare akibat pencemaran air minum.5 Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Mekarwangi karena kedua kelurahan yang memiliki risiko air minum dengan risiko tinggi merupakan wilayah Kerja Puskesmas Mekarwangi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Mekarwangi Kota Bogor.

Tinjauan Teoritis

Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya lebih sering (biasanya tiga kali atau lebih) dalam satu hari.25 Faktor risiko diare pada balita terdiri dari:

1. Sarana Air Bersih

Air bersih adalah air yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari yang kuantitas dan kualitasnya memnuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila setelah dimasak terlebih dahulu, hal ini dinamakan air bersih dan sehat.26

2. Sarana Jamban Keluarga

Jamban adalah suatu bangunan yang merupakan tempat pembuangan kotoran manusia yang terdiri dari tempat jongkok dengan leher angsa atau cemplung yang dilengkapi dengan tempat penampungan kotoran dan air membersihkan kotoran.27

(4)

Universitas Indonesia

Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) merupakan perlengkapan pengelolaan air limbah dapat berupa pipa atau apapun yang dipergunakan untuk membantu air buangan dari sumbernya sampai ke tempat pengelolaan atau ke tempat pembuangan.27

4. Sarana Pembuangan Sampah

Sampah adalah segala sesuatu yang tidak lagi dikehendaki oleh yang punya dan bersifat padat. Sampah berdasarkan sifat biologis dan kimianya terdiri atas sampah yang dapat membusuk, sampah yang tidak membusuk, sampah berupa debu/abu, dan sampah yang berbahaya terhadap kesehatan. Kualitas dan kuantitas sampah dipengaruhi oleh jumlah penduduk, sosial ekonomi, dan kemajuan teknologi.28

5. Sanitasi Makanan dan Minuman

sanitasi berarti upaya yang dilakukan untuk menghilangkan kontaminan dari makanan atau minuman dan peralatan untuk mengolah makanan atau minuman tersebut serta mencegah terjadinya kontaminasi kembali. Prinsip sanitasi adalah menghilangkan bahaya fisik, bahaya kimia dan bahaya mikrobiologi yang dapat mencemari makanan.29

6. Faktor Pengetahuan dan Perilaku Ibu atau Pengasuh

Faktor ibu atau pengasuh yang menjadi faktor risiko diare pada balita terdiri dari faktor pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, perilaku hidup bersih dan sehat (perilaku mencuci tangan dan hygiene sanitasi makanan dan minuman)

7. Faktor Balita

Faktor balita terdiri dari faktor usia, status imunisasi, ASI eksklusif dan status gizi. Metode Penelitian

Desain studi dalam penelitian ini adalah case control, dimana pemilihan subyek penelitian pada desain kasus kontrol berdasarkan status penyakit, kemudian dilakukan pengamatan apakah subyek mempunyai riwayat terpapar atau tidak. Subyek yang didiagnosis menderita penyakit disebut kasus, sedangkan subyek yang tidak menderita penyakit disebut non kasus. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan bakteriologis air minum dan penilaian terhadap kondisi sanitasi dasar, pengetahuan dan perilaku ibu serta karakteristik balita yang meliputi status gizi, ASI eksklusif dan status imunisasi. Sampel air minum diambil dari rumah-rumah responden kasus maupun responden non kasus. Kualitas bakteriologis air minum ditentukan berdasarkan pengukuran yang dilakukan di laboratorium. Untuk menilai kondisi sanitasi dasar, karakteristik

(5)

ibu dan balita dilakukan menggunakan kuesioner dan observasi secara langsung.. Penelitian dilakukan di Puskesmas Mekarwangi, Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor. Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan yaitu pada bulan Januari hingga Februari 2014.. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah seluruh balita yang berusia 0-59 bulan yang mengalami diare pada bulan Januari dan Februari serta tinggal di wilayah kerja Puskesmas Mekarwangi (Kelurahan Mekarwangi, Kelurahan Sukadamai dan Kelurahan Sukaresmi). Berdasarkan perhitungan sampel, didapatkan jumlah sampel balita yang diteliti dalam penelitian ini minimal terdiri dari 109 sampel, ditambah 10% sehingga menjadi 120 sampel untuk setiap kelompok. Penelitian ini menggunakan perbandingan jumlah sampel kasus dan non kasus 1:1, maka total sampel sebesar 240 kasus dengan perincian 120 kasus dan 120 non kasus.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui tiga cara, yaitu pemeriksaan kandungan bakteri Escherichia coli dan Coliform pada air minum, wawancara, dan observasi. Pemeriksaan kandungan bakteri Escherichia coli dilakukan untuk menilai kualitas air minum yang dikonsumsi. Pemeriksaan kandungan bakteri Escherichia coli pada air minum dilakukan di laboratorium FKM UI dengan menggunakan media petri film dengan cara berikut ini:

1. Sampel air minum diambil menggunakan jarum suntik sebanyak 1mL. Air diambil langsung dari wadah penyimpanan air minum.

2. Ambil media petri film, buka plastik penutupnya kemudian suntikan sampel air secara merata di bagian kotak berwarna putih.

3. Setelah air menyebar secara merata, tutup kembali plastic media dan diberi label nomor sesuai kuesioner.

4. Media yang telah berisi sampel air harus dimasukkan ke dalam cool box agar suhunya tetap terjaga.

5. Setelah pemnagmbilan seluruh sampel selesai, media harus segera dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu 36°C ±1 selama 24 jam untuk melihat pertumbuhan bakteri.

Setelah 24 jam, dapat terlihat bakteri yang tumbuh. Bakteri Coliform ditandai dengan warna biru metalik sedangkan bakteri E.coli ditandai dengan warna indigo blue atau biru keungu Selain pengumpulan data mengenai kandungan bakteri Escherichia coli pada air minum yang dilakukan melalui pemeriksaan laboratorium, juga dilakukan pengumpulan data melalui wawancara dan

(6)

Universitas Indonesia 72 56,7 55 43,3 127 0.039 1,77 1.06 – 2.96

observasi. Analisis data yang dilakukan meliputi analisis univariat, analisis bivariat, dan analisis multivariat.

Hasil Penelitian

Hubungan Faktor-Faktor Risiko dengan Kejadian Diare pada Balita. Faktor- faktor risiko yang memiliki hubungan bermakna dengan kejadian diare pada balita adalah Escherichia coli dalam air minum, Coliform dalam air minum, sarana air bersih, sarana jamban keluarga, sarana pembuangan sarana pembuangan air limbah, perilaku cuci tangan, higiene sanitasi makanan, pengetahuan, ASI eksklusif dan status imunisasi (Tabel 1).

Tabel 1. Hubungan Faktor Risiko dengan Kejadian Diare pada Balita

Variabel Kasus Non Kasus Total Nilai-p OR 95% CI N % n % Escherichia coli TMS 25 69,4 11 30,6 36 0.019 2,61 1,22 – 5,58 MS 95 46,6 109 54.4 204 Coliform TMS 90 55,6 72 44,4 162 0,019 2,00 1,15 – 3,47 MS 30 38,5 48 61,5 78

Sarana Air Bersih (SAB)

TMS 58 58,6 41 41,4 99 0,036 1,80 1,07 – 3,03

MS 62 44 79 56 141

Sarana Jamban Keluarga

TMS 46 60,5 30 39,5 76 0,037 1,87 1,07 – 3,24 MS 74 45,1 90 54,9 164 Sarana Pembuangan Sampah Tidak Baik 53 55,2 43 44,8 96 0,236 1,42 0,84 – 2,38 Baik 67 46,5 77 53,5 144

Saluran Pembuangan Air Limbah TMS 98 47,6 108 52,4 206 0.096 0,495 0,23 – 1,05 MS 22 64,7 12 35,3 34 Keberadaan Lalat Ada 35 49,3 36 50,7 71 1.000 0.96 0.55 – 1.67 Tidak Ada 85 50,3 84 49,7 169

Perilaku Cuci Tangan Tidak Baik

(7)

Baik

Higiene Sanitasi Makanan

48 42,5 65 57,5 113 Tidak Baik 64 64 36 36 100 0.000 2,67 1,57 – 4,53 Baik 56 40 84 60 140 Pengetahuan Rendah 45 61,6 28 38,4 73 0.025 1,97 1,12 – 3,46 Tinggi 75 44,9 92 55,1 167

Status Gizi Balita

Tidak Baik 9 47.4 10 52.6 19 1.000 0.89 0.35 – 2.28 Baik 111 50.2 110 49.8 221 ASI Ekslusif Tidak 36 62,1 22 37,9 58 0.050 1,91 1,04 – 3,49 Ya 84 46,2 98 53,8 182 Status Imunisasi Tidak Lengkap 15 71,4 6 28,6 21 0.068 2,71 1,02 – 7,25 Lengkap 105 47,9 114 52,1 219 * MS : Memenuhi Syarat ** TMS : Tidak Memenuhi Syarat

Faktor Risiko Dominan Kejadian Diare pada Balita. Berdasarkan hasil seleksi bivariat dengan uji regresi logistik sederhana diperoleh bahwa terdapat 13 variabel independen yang masuk ke dalam pemodelan multivariat yaitu Escherichia coli dan Coliform dalam air minum, Sarana Air Bersih (SAB), sarana jamban keluarga, sarana pembuangan sampah, Saluran Pembuangan Air Limba (SPAL), perilaku cuci tangan, hygiene sanitasi makanan dan minuman, pengetahuan, ASI eksklusif, dan status imunisasi (Tabel 3). Selanjutnya dari variabel-variabel tersebut, didapatkan 4 variabel yang secara statistik berhubungan bermakna dengan kejadian diare pada balita, yaitu variabel Escherichia coli dalam air minum, perilaku cuci tangan, higiene sanitasi makanan dan minuman dan pengetahuan ibu atau pengasuh (nilai-p<0,05) (Tabel 4). Dari semua variabel yang masuk ke dalam model akhir multivariat, Escherichia colin menjadi variabel yang paling dominan dikarenakan memiliki OR yang paling besar dan memiliki hubungan signifikan dengan kejadian diare (Tabel 4). Hasil akhir analisis multivariat ini dapat ditulis ke dalam model persamaan regresi logistik kejadian diare pada balita. Adapun model persamaan regresi logistik tersebut adalah sebagai berikut:

(8)

Universitas Indonesia

Logit Y (diare pada balita) = -4,496 + 1,094 (Escherichia coli dalam air minum) + 0,718 (Perilaku cuci tangan) + 0,930 (Higiene sanitasi makanan dan minuman) + 0,603 (Pengetahuan)

Dengan menggunakan persamaan di atas diperoleh bahwa balita yang memiliki air minum tercemar E.coli, perilaku cuci tangan ibu/pengasuh tidak baik, hygiene sanitasi makanan dan minuman tidak baik dan pengetahuan ibu/pengasuh rendah, mempunyai risiko 21,785 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan balita yang memiliki air minum tidak tercemar E.coli, perilaku cuci tangan ibu/pengasuh baik, hygiene sanitasi makanan dan minuman baik dan pengetahuan ibu/pengasuh tinggi secara bersama-sama.

Tabel 3. Pemodelan Awal Analisis Multivariat

No. Variabel B Nilai p OR 95% CI

1. Escherichia coli 0,977 0,027 2,65 1,12 – 6,31 2. Coliform 0,306 0,339 1,36 0,72 – 2,54

3. Sarana Air Bersih 0,388 0,188 1,47 0,83 – 2,63

4. Sarana Jamban Keluarga 0,338 0,281 1,40 0,76 – 2,59

5. Sarana Pembuangan Sampah 0,272 0,355 1,31 0,74 – 2,34

6. Saluran Pembuangan Air Limbah -0,706 0,088 1,49 0,22 – 1,11

7. Perilaku Cuci Tangan 0,694 0,019 2,00 1,12 – 3,57

8. Higiene Sanitasi Makanan 0,696 0,024 2,00 1,09 – 3,67

9. Pengetahuan 0,439 0,168 1,55 0,83 – 2,89

10. ASI Eksklusif 0,356 0,319 1,46 0,71 – 2,87

11. Status Imunisasi 0,539 0,329 1,71 0,58 – 5,05

Constant -6,100 0,000 0,002

Tabel 4. Model Akhir Analisis Multivariat

No. Variabel B Nilai p OR 95% CI

1. Escherichia coli 1,094 0,009 2,98 1,32 – 6,76

2. Perilaku Cuci Tangan 0,718 0,011 2,05 1,18 – 3,57

3. Higiene Sanitasi Makanan 0,930 0,01 2,53 1,46 – 4,39

4. Pengetahuan 0,603 0,046 1,83 1,01 – 3,31

Constant -4,496 0,000 0,001

Pembahasan

Kontaminasi Escherichia coli pada air minum merupakan faktor risiko yang mempengaruhi kejadi diare pada balita dengan nilai OR sebesar 2,61 (95% CI 1,22–5,58). Artinya, balita yang mengonsumsi air minum terkontaminasi Escherichia coli mempunyai risiko menderita diare

(9)

sebesar 2,61 kali jika dibandingkan dengan balita yang mengonsumsi air minum tidak terkontaminasi Escherichia coli. Hasil pada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Karminingsih (2010) di Kecamatan Cilincing Kota Administrasi Jakarta Utara Tahun 2009-2010 yang menyatakan bahwa air minum tidak memenuhi syarat yaitu terkontaminasi E.coli mempunyai risiko menderita diare sebesar 2,010 kali jika dibandingkan dengan balita yang mengonsumsi air minum dengan kualitas bakteriologis yang memenuhi syarat (nilai p= 0,006 dan 95% CI 1,247-3,240).6 Selain penelitian yang dilakukan oleh Karminingsih, hasil yang sama ditunjukkan juga oleh penelitian yang dilakukan Puspitasari (2012) dimana kandungan Escherichia coli dalam air minum berhubungan signifikan dengan kejadian diare pada balita dengan risiko 2,67 kali untuk menyebabkan diare dibandingkan dengan air minum yang tidak terkontaminasi Escherichia coli.7 Fardani (2013) juga mendapatkan hasil yang sama yaitu adanya hubungan yang signifikan antara Escherichia coli dalam air minum dengan kejadian diare pada balita dengan risiko 3,026 kali dibandingkan dengan balita yang mengonsumsi air minum tidak tercemar Escherichia coli.8

Coliform pada air minum merupakan faktor risiko yang mempengaruhi kejadian diare pada balita. Dengan nilai OR sebesar 2,00 (95% CI 1,15–3,47). Artinya, balita yang mengonsumsi air minum terkontaminasi Coliform mempunyai risiko menderita diare sebesar 2,00 kali jika dibandingkan dengan balita yang mengonsumsi air minum tidak terkontaminasi Coliform. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Giyantini (2000) di Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kontaminasi Coliform pada air minum dengan kejadian diare pada balita dengan nilai p sebesar 0,000 dan nilai OR sebesar 5,41.9 Artinya, balita yang mengonsumsi air minum terkontaminasi Coliform mempunyai risiko menderita diare sebesar 5,41 kali jika dibandingkan dengan balita yang mengonsumsi air minum tidak terkontaminasi Coliform. Namun hasil penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Zakianis (2003) di Kota Depok yang menunjukkan tidak ada hubungan antara kontaminasi Coliform pada air minum dengan kejadian diare pada balita.10 Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Aulia (2012) dimana tidak terdpat perbedaan yang signifikan antara kontaminasi Coliform pada air minum dengan kejadian diare pada balita.12

(10)

Universitas Indonesia

Sarana Air Bersih (SAB) merupakan faktor risiko yang mempengaruhi kejadi diare pada balita. dengan nilai OR sebesar 1,8 (95% CI 1,07–3,03). Artinya, balita dengan Sarana Air Bersih (SAB) yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko menderita diare sebesar 1,8 kali jika dibandingkan dengan balita dengan Sarana Air Bersih (SAB) yang memenuhi syarat. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zakianis (2003) dimana Sarana Air Bersih (SAB) yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko 2,097 kali lebih besar untuk menyebabkan diare dibandingkan dengan Sarana Air Bersih (SAB) yang memenuhi syarat. 10 Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Adisasminto (2007), menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara Sarana Air Bersih (SAB) dengan kejadian diare pada bayi dan balita dengan OR sebesar 3,19.11 Selain itu, hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Budiman, et all (2011) bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara Sarana Air Bersih (SAB) dengan kejadian diare pada balita dengan risiko 6,610 kali untuk menyebabkan diare.13 Penelitian oleh Purwaningsih (2013) di Desa Banyudono Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang juga menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kualitas air bersih dengan kejadian diare dengan responden yang memiliki kualitas air tidak memenuhi syarat berisiko 5,97 kali lebih besar untuk menyebabkan diare dibandingkan dengan responden yang memiliki kualitas air bersih memenuhi syarat.14

Sarana jamban keluarga merupakan faktor risiko yang berpengaruh untuk terjadinya diare pada balita. Dengan nilai OR sebesar 1,87 (95% CI 1,07–3,24). Artinya, balita dengan sarana jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko menderita diare sebesar 1,87 kali jika dibandingkan dengan balita dengan sarana jamban keluarga yang memenuhi syarat. Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian yang dilakukan oleh Muhajirin (2007) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna yaitu nilai p 0,000 dengan risiko sebesar 4,68 kali terkena diare pada balita yang memiliki jamban keluarga tidak memenuhi syarat dibandingkan dengan balita yang memiliki jamban memenuhi syarat.15 Karminingsih (2010) menyatakan bahwa balita dengan kondisi jamban yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko terkena diare sebesar 2,536 kali dibandingkan dengan balita yang memiliki kondisi jamban memenuhi syarat.6 Penelitian yang dilakukan oleh Yusmidiarti (2011) di Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Ikan, Kecamatan Teluk Segara Kabupaten Bengkulu menunjukkan bahwa ada hubungan antara sarana pembuangan tinja dengan kejadian diare pada balita dengan OR 3,574.16

(11)

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Purwaningsih (2013) di Desa Banyudono Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kebiasaan BAB di jamban milik sendiri berisiko 5,14 kali lebih besar untuk menderita diare.14 Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Hamzah et al. (2012) di Kecamatan Belewa Kabupaten Wajo Makassar menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara penggunaan jamban dengan kejadian diare pada balita.17

Sarana pembuangan sampah, tidak ada perbedaan yang signifikan antara sarana pembuangan sampah dengan kejadian diare pada balita dimana nilai p yang diperoleh > 0,05 yaitu 0,236. Hasil ini sesuai denan penelitian yang dilakukan oleh Hidayanti (2012), dimana dalam penelitian tersebut juga didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pembuangan sampah dengan kejadian diare pada balita (nilai p= 0,517).18 Selain itu terdapat beberapa penelitian lain yang menyatakan hasil serupa yaitu Fardani (2013) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara sarana pembuangan sampah dengan kejadian diare pada balita dengan nilai p sebesar 0,536,8 kemudian Indriani (2014) juga mendapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara sarana pembuangan sampah dengan kejadian diare pada balita dengan nilai p sebesar 0,151.19 Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Muhajirin (2007) yang mnyebutkan bahwa ada hubungan antara sarana pembuangan sampah dengan kejadian diare pada balita di Kecamatan Maos, Cilacap (nilai p= 0,004).15 Selain itu, Budiman et al (2011) melakukan penelitian di Kecamatan Cimahi Utara dan mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara pengelolaan sampah dengan kejadian diare pada balita dengan risiko sebesar 5,38 kali apabila pengelolaan sampah yang dilakukan tidak baik.13 Kemudian penelitian lain oleh Purwaningsih (2013) di Desa Banyudono Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang menyatakan terdapat hubungan antara kondisi fisik tempat pembuangan sampah dengan kejadian diare, dimana responden yang mempunyai kondisi fisik tempat pembuangan sampah yang tidak baik memiliki risiko 3,72 kali lebih besar untuk terkena diare.14

Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) tidak berhubungan secara signifikan dengan kejadian diare pada balita dimana nilai p yang diperoleh > 0,05 yaitu 0,096. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Adisaputri (2009) di Kelurahan Pondok Ranji, Jakarta yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) dengan kejadian diare. Namun demikian, hasil penelitian ini berbeda dengan hasil

(12)

Universitas Indonesia

penelitian yang dilakukan oleh Budiman et al. (2011) di Kecamatan Cimahi Utara, yang menyatakan terdapat hubungan antara pengolahan limbah cair rumah tangga secara aman dengan kejadian diare pada balita.13 Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamzah et al. (2012) di Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo Makasar menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pengelolaan air limbah dengan kejadian diare pada balita.17

Keberadaan lalat tidak berhubungan secara signifikan dengan kejadian diare pada balita dimana nilai p yang diperoleh > 0,05 yaitu 1,000. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Alamsyah (2002) dimana tidak ada huungan yang signifikan antara keberadaan lalat dengan kejadian diare pada balita.20

Perilaku cuci tangan ibu atau pengasuh merupakan faktor risiko yang berpengaruh untuk terjadinya diare pada balita dengan nilai OR sebesar 1,77 (95% CI 1,06–2,96). Artinya, balita dengan perilaku cuci tangan ibu atau pengasuh yang tidak baik mempunyai risiko menderita diare sebesar 1,77 kali jika dibandingkan dengan balita dengan perilaku cuci tangan ibu atau pengasuh yang baik. Begitu pula hasil analisis multivariat dimana perilaku cuci tangan ibu atau pengasuh balita merupakan faktor risiko yang mempunyai pengaruh dominan terhadap kejadian diare pada balita dengan nilai p 0,011 (OR 2,05; 95% CI 1,18-3,57). Artinya balita dengan perilaku cuci tangan ibu atau pengasuh yang tidak baik mempunyai risiko menderita diare sebesar 2,05 kali jika dibandingkan dengan balita dengan perilaku cuci tangan ibu atau pengasuh yang baik. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suhardiman (2007) di Tangerang yang menunjukkan bahwa kelompok balita dengan perilaku cuci tangan ibu atau pengasuh tidak baik mempunyai risiko 1,7 kali terkena diare dibandingkan balita dengan perilaku cuci tangan ibu atau pengasuh yang baik.21 Kemudian penelitian Karminingsih (2010) menunjukkan hasil serupa juga yaitu balita yag diasuh ibu atau pengasuh yang mempunyai perilaku cuci tangan tidak memenuhi syarat mempunyai risiko sebesar 6,481 kali terkena diare (95% CI 3,850-10,911) jika dibandingkan dengan balita yang diasuh oleh ibu atau pengasuh yang mempunyai perilaku cuci tangan memenuhi syarat.6 Selain itu, Puspitasari (2012) menunjukkan hasil bahwa ada hubungan signifikan antara perilaku mencuci tangan ibu yang buruk dengan kejadian diare pada balita. Kejadian diare pada kelompok balita dengan perilaku cuci tangan ibu yang tidak baik berisiko 4,51 kali dibandingkan dengan kelompok balita dengan perilaku cuci tangan ibu tidak baik.7

(13)

Higiene sanitasi makanan dan minuman merupakan faktor risiko yang berpengaruh untuk terjadinya diare pada balita. Ada atau tidaknya pengaruh higiene sanitasi makanan dan minuman dapat dilihat dati nilai p yaitu 0,000 (nilai p < 0,05) sedangkan untuk melihat seberapa besar pengaruh perilaku higiene sanitasi makanan dan minuman dengan kejadian diare pada balita dapat dilihat dari nilai OR sebesar 2,67 (95% CI 1,57–4,53). Artinya, balita dengan higiene sanitasi makanan dan minuman yang tidak baik mempunyai risiko menderita diare sebesar 2,67 kali jika dibandingkan dengan balita dengan higiene sanitasi makanan dan minuman yang baik. Dari hasil analisis multivariat higiene sanitasi makanan dan minuman balita merupakan faktor risiko yang mempunyai pengaruh dominan terhadap kejadian diare pada balita dengan nilai p 0,010 (OR 2,53; 95% CI 1,46-4,39). Artinya balita dengan higiene sanitasi makanan dan minuman yang tidak baik mempunyai risiko menderita diare sebesar 2,05 kali jika dibandingkan dengan balita dengan higiene sanitasi makanan dan minuman baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penilitian lainnya, yaitu penelitian yang dilakukan Karminingsih (2010), terdapat hubungan signifikan antara kondisi higiene sanitasi makanan dan minuman dengan kejadian diare (nilai p= 0,000) dimana balita dengan kondisi higiene sanitasi makanan dan minuman yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko menderita diare sebesar 3,534 kali dibandingkan dengan balita yang mempunyai kondisi higiene sanitasi makanan dan minuman yang memenuhi syarat.6 Puspitasari (2012) menunjukkan adanya hubungan signifikan antara perilaku ibu dalam mencuci peralatan makan dan minum balita terhadap kejadian diare pada balita. Kejadian diare pada kelompok balita yang ibunya memiliki perilaku mencuci perlatan makan dan minum yang buruk berisiko 3,36 kali dibandingkan dengan kelompok balita yang ibunya memiliki perilaku mencuci peralatan makan dan minum yang baik.7 Kemudian penelitian yang dilakukan Indriani (2014) juga menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara higiene sanitasi makanan dan minuman dengan kejadian diare akut pada balita dimana diperoleh nilai p sebesar 0,008 dan memiliki nilai OR sebesar 2,473 (95% CI; 1,31-4,67) yang artinya bahwa balita dengan higiene sanitasi makanan dan minuman tidak baik memiliki risiko sebesar 2,473 kali terkena diare dibandingkan balita dengan higiene sanitasi makanan dan minuman baik.19 Pengetahuan ibu atau pengasuh merupakan faktor risiko yang berpengaruh untuk terjadinya diare pada balita. Ada atau tidaknya pengaruh pengetahuan ibu atau pengasuh dapat dilihat dati nilai p yaitu 0,025 (nilai p < 0,05) sedangkan untuk melihat seberapa besar pengaruh pengetahuan ibu

(14)

Universitas Indonesia

atau pengasuh dengan kejadian diare pada balita dapat dilihat dari nilai OR sebesar 1,97 (95% CI 1,12–3,46). Artinya, balita dengan ibu atau pengasuh yang memiliki pengetahuan rendah berisiko menderita diare sebesar 2,67 kali jika dibandingkan balita dengan ibu atau pengasuh yang memiliki pengetahuan tinggi. Dari hasil analisis multivariat dimana balita dengan ibu atau pengasuh yang memiliki pengetahuan rendah merupakan faktor risiko yang mempunyai pengaruh dominan terhadap kejadian diare pada balita dengan nilai p 0,046 (OR 1,83; 95% CI 1,01-3,391). Artinya, balita dengan ibu atau pengasuh yang memiliki pengetahuan rendah berisiko menderita diare sebesar 1,83 kali jika dibandingkan balita dengan ibu atau pengasuh yang memiliki pengetahuan tinggi. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Trimulyaningsih (2006) yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare pada balita dimana diperoleh nilai OR sebesar 1,32. Artinya balita yang memiliki ibu atau pengasuh dengan pengetahuan rendah memiliki risiko 1,32 kali terkena diare dibandingkan dengan balita yang memiliki ibu atau pengasuh dengan pengetahuan tinggi.22 Puspitasari (2012) menyatakan bahwa balita dengan ibu atau pengasuh yang memiliki pengetahuan rendah berisiko 7,98 kali untuk menderita diare dibandingkan balita dengan ibu atau pengasuh yang memiliki pengetahuan tinggi.7 Selain itu, penelitian oleh Indriani (2014) juga menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara pengetahuan ibu atau pengasuh dengan kejadian diare akut pada balita dengan nilai p sebesar 0,003 dan nilai OR sebesar 2,604 (95% CI 1,43-4,76) yang artinya bahwa balita yang memiliki ibu atau pengasuh dengan pengetahuan rendah berisiko 2,604 kali terkena diare dibandingkan dengan balita yang memiliki ibu atau pengasuh dengan pengetahuan tinggi.19

Status gizi balita tidak berhubungan secara signifikan dengan kejadian diare pada balita dimana nilai p yang diperoleh > 0,05 yaitu 1,000. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Sjaefudin (2006) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara status gizi dengan diare pada balita (nilai p= 0,563).23 Kemudian penelitian oleh Puspitasari (2012) juga menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara status gizi dengan kejadian diare pada balita (nilai p= 0,368).7 Namun hasil ini berbeda dengan hasil dari beberapa penelitian, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Dewi di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Mengwi I, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali (2011) menunjukkan bahwa balita dengan status gizi kurang akan berisiko seebesar 5,46 kali terkena diare dibandingkan dengan

(15)

balita yang memiliki status gizi baik.24 Selanjutnya, penelitian oleh Indriani (2014), menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara status gizi dengan kejadian diare akut pada balita (nilai p= 0,049) dan OR sebesar 2,205. Artinya, balita dengan gizi kurang mempunyai risiko menderita diare sebesar 2,205 kali dibandingkan balita dengan gizi baik.19

pemberian ASI ekslusif merupakan faktor risiko yang berpengaruh untuk terjadinya diare pada balita. Ada atau tidaknya pengaruh pemberian ASI ekslusif dapat dilihat dati nilai p yaitu 0,050 (nilai p ≤ 0,05) sedangkan untuk melihat seberapa besar pengaruh pemberian ASI ekslusif dengan kejadian diare pada balita dapat dilihat dari nilai OR sebesar 1,91 (95% CI 1,04–3,49). Artinya, balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif memiliki risiko menderita diare sebesar 1,91 kali jika dibandingkan balita yang mendapatkan ASI eksklusif.

Status imunisasi merupakan faktor risiko yang berpengaruh untuk terjadinya diare pada balita. Nilai p yang diperoleh sebesar 0,068. Walaupun nilai p > 0,05 tetapi status imunisasi dikatakan signifikan karena nilai batas bawah 95% CI > dan nilai OR yang diperoleh sebesar 2,79 (95% CI 1,02–7,25). Artinya, balita dengan status imunisasi tidak lengkap memiliki risiko menderita diare sebesar 2,79 kali jika dibandingkan dengan balita yang mendapatkan imunisasi lengkap.Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitan yang dilakukan oleh Puspitasari (2012) yang menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara status imunisasi yang tidak lengkap dengan kejadian diare pada balita. Kejadian diare pada kelompok balita dengan status imunisasi yang tidak lengkap mempunyai risiko 4,16 kali dibandingkan kelompok balita yang memiliki status imunisasi lengkap. Selain itu berdasarkan penelitian Carmo et al. (2011) dalam Puspitasari (2012) di Brazil menunjukkan bahwa dengan memberikan imunisasi lengkap dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian karena diare pada balita.7

Kesimpulan

Faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian diare terdapat faktor yang paling berpengaruh, yaitu kontaminasi Escherichia coli pada air minum, perilaku cuci tangan ibu atau pengasuh, higiene sanitasi makanan dan minuman dan pengetahuan ibu atau pengasuh.

(16)

Universitas Indonesia

Saran

Dengan penelitian ini diharapkan adanya kerjasama lintas sektoral untuk menurunkan angka kejadian diare. Dinas Kesehatan Kota Bogor dan Puskesmas bekerja sama untuk melakukan upaya-upaya untuk menurunkan angka kejadian diare dengan cara melakukan kegiatan promosi kesehatan berupa pesan-pesan media penyuluhan di masyarakat dengan cara membudayakan praktik cuci tangan pakai sabun, melakukan sosialisasi pengelolaan makanan yang sehat dan aman di rumah melalui praktik higiene sanitasi makanan dan minuman dan pembuatan media penyuluhan dalam bentuk rekaman film, spanduk, banner, leaflet, booklet tentang cara menjaga kebersihan diri dan lingkungan, melakukan pembinaan terhadap depot-depot air minum isi ulang secara rutin, melakukan inspeksi sanitasi secara rutin terhadap sumber air bersih, SPAL, septic tank, jamban, tempat sampah dan memberikan penjelasan serta himbauan jika ditemukan adanya potensi pencemaran yang dapat menyebabkan diare. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) melakukan upaya peningkatan cakupan pelanggan PDAM dan melakukan pemeriksaan pipa secara berkala untuk mendeteksi adanya kebocoran. Dan bagi masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi secara aktif dalam peningkatan sanitasi lingkungan untuk pencegahan dan penanggulangan diare dan berusaha untuk mengubah perilaku buruk seperti selalu membiasakan diri untuk mencuci tangan menggunakan air mengalir dan sabun untuk dapat mengurangi risiko terjadinya diare pada balita.

Daftar Referensi

1. World Health Organization. (1992). Penatalaksanaan dan Pencegahan Diare Akut. (Petrus Andrianto, Penerjemah). Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2007b). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011d). Situasi Diare di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

4. Profil Kesehatan Kota Bogor Tahun 2011. Dinas Kesehatan Kota Bogor. Bogor: Dinas Kesehatan Kota Bogor.

5. Strategi Sanitasi Kota Bogor Tahun 2010-2015. Bogor: Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Bogor.

6. Karminingsih, Mimi (2010). Tesis : Faktor yang Berpengaruh terhadap Kejadian Diare pada Balita di Kecamatan Cilincing Kota Administrasi Jakarta Utara Tahun 2009/2010. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.

7. Puspitasari, Dwi Ratna. (2012). Tesis: Hubungan antara Kontaminasi Escherichia coli pada Air Minum dengan Kejadian Diare pada Balita di Kecamatan Jambi Selatan Kota Jambi

(17)

Tahun 2012. Program Pasca Sarjana Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.

8. Fardani, Sekar Astrika. (2013). Skripsi: Hubungan Escherichia coli dalam Air Minum dan Kondisi Sarana Sanitasi Dasar dengan Kejadian Diare Akut pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pancoran Mas, Depok. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.

9. Giyantini. (2000). Tesis: Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Diare pada Balita di Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Depok

10. Zakianis (2003). Thesis : Kualitas Bakteriologis Air Bersih sebagai Faktor Risiko Terjadinya Diare Pada Bayi di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok Tahun 2003. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Kelas Epidemiologi Kesehatan Lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Depok.

11. Aulia, Yovita Salysa (2012). Skripsi : Efektivitas Biofiltrasi pada Proses Penyaringan Air Minum Isi Ulang sebagai Pencegahan Penyebaran Bakteri Patogen di Salah Satu DAMIU Pancoran Mas Depok Tahun 2012. Jurusan Kesehatan Lingkungan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.

12. Adisasmito, Wiku. (2007). Faktor Risiko Diare pada Bayi dan Balita di Indonesia: Systematic Review Penelitian Akademik Bidang Kesehatan Masyarakat. Jurnal Makara Kesehatan, 11, 1-10.

13. Budiman, Juhaeriah, J., Abdilah, A.D. et al. (2011). Hubungan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat dengan Kejadian Diare pada Balita di Kelurahan Cibabat Kecamatan Cimahi Utara. Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Ahmad Yani, Cimahi.

14. Purwaningsih, Retno. (2013). Hubungan antara Penyediaan Air Minum dan Perilaku Hygiene Sanitasi dengan Kejadian Diare di Daerah Pasca Bencana. Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang.

15. Muhajirin. (2007). Tesis: Hubungan antara Praktek Personal Hygiene Ibu Balita dan Sarana Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Diare pada Anak Balita di Kecamatan Maos Kabupaten Cilacap. Program Pasca Sarjana Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, Semarang.

16. Yusmidiarti. (2011). Tesis: Hubungan Sanitasi Lingkungan dan Perilaku Ibu dengan Kejadian Diare pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pasar Ikan, Kecamatan Teluk Segara Kabupaten Bengkulu. Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

17. Hamzah, B., Arsin, A., & Ansar, J. (2012). Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dengan Kejadian Diare pada Balita di Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo. Program Studi Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat UNHAS, Makasar.

18. Hidayanti, Rahmi (2012). Skripsi : Faktor Risiko Diare di Kecamatan Cisarua, Cigudeg, dan Megamendung Kabupaten Bogor Tahun 2012. Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.

19. Indriani, R. (2014). Skripsi: Hubungan antara Kontaminasi Escherichia coli dalam Air Minum dan Faktor Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Diare Akut pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Cibaliung, Labuan dan Pagelaran Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten Tahun 2013. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.

20. Alamsyah (2002). Thesis : Hubungan Perilaku Hidup Bersih dengan Kejadian Diare Pada Balita di Kecamatan Bangkinang Barat, Bangkinang, Kampar, dan Tambang, Kabupaten

(18)

Universitas Indonesia

Kampar Tahun 2002, Program PascaSarjana Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.

21. Suhardiman. (2007). Tesis: Hubungan Escherichia coli (E.coli) dalam Air Minum dengan Kejadian Diare pada Balita di Kota Tangerang. Program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.

22. Trimulyaningsih. (2006). Tesis : Pengaruh Sanitasi Lingkungan terhadap Kejadian Diare pada Balita di Propinsi Jawa Barat Tahun 2005, Program PascaSarjana Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.

23. Sjaefudin, R. (2006). Hubungan Escherichia coli Pada Peralatan Makan dengan Kejadian Diare Pada Balita di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2006. (Tesis) Program Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM UI

24. Dewi, N.P. (2011). Skripsi: Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Diare pada Balita di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Mengwi 1, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.

25. Depkes RI (2011). Buku Saku Petugas Kesehatan : Lintas Diare, Lima Langkah Tuntaskan Diare. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

26. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 416 Tahun 1990 tentang Syarat- syarat dan Pengawasan Kualitas Air, Kementerian Kesehatan, Republik Indonesia, Jakarta. 27. Kusnoputranto, Haryoto. (1986). Dasar-Dasar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

28. Sinthamurniwaty (2006). Tesis :Faktor-Faktor Risiko Kejadian Diare Akut pada Balita (Studi Kasus di Kabupaten Semarang. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang. 29. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2010a). Prinsip Hygiene Sanitasi. Jakarta: Sub

Gambar

Tabel 1.  Hubungan Faktor Risiko dengan Kejadian Diare pada Balita
Tabel 3. Pemodelan Awal Analisis Multivariat

Referensi

Dokumen terkait

Kesadaran terhadap inti agama ini menjadi basis utama bagi tindakan-tindakan keagamaan yang merespon realitas faktual dengan instrument yang telah menjadi bagian inheren dalam

Para Pembar,tu Dekan di FIK.. Kasubag Keu

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI ADISUTJIPTO PRODI TEKNIK TEKNIK ELEKTRO.. SURAT PERMOHONAN SEMINAR

Lafadz ةلحر mengandung arti perjalanan. Orang-orang Quraisy seringkali melakukan perjalanan jauh untuk berdagang dan keperluan lain. Hal ini menunjukkan bahwa

ini. Ada beberapa agenda yang perlu diselesaikan kaum Muslimin pada umumnya dan Indonesia pada khususnya, supaya Islam mampu bersaing dengan dunia

 Ceiling ekspos pipa AC Cassette LG LTC-186ELE Ex.. Berdasarkan pada keterangan diatas gambar ceiling Studio alternatif 1 mampu menghasilkan bentuk yang unik sesuai

Dengan kata lain, agar dihindari penyajian materi (khususnya kebahasaan) yang tidak bermanfaat dalam komunikasi sehari-hari misalnya, pengetahuan tata bahasa bahasa Indonesia

6.1.1 Strategi Peningkatan Kualitas Kehidupan