BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Tonsilitis
1. Pengertian Tonsilitis
Tonsil merupakan terdapatnya peradangan umum dan
pembengkakan dari jaringan tonsil dengan lekosit, sel-sel epitel mati dan bakteri pathogen dalam kripta. Tanda dan gejala tonsillitis ini adalah nyeri
tenggorokan, nyeri telan dan kesulitan menelan, demam, pembesaran tonsil mulut berbau dan kadang telinga terasa sakit (North American
Nursing Diagnosis Associatioan, 2012).
Tonsilitis adalah peradangan umum dan pembengkakan jaringan tonsil dengan pengumpulan leukosit, sel-sel epitel mati dan bakteri
pathogen dalam kripta (Derricson, 2009). a. Tonsilitis Akut
1) Tonsilitis Viral
Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai commond cold yang disertai rasa nyeri tenggorok. Virus Epstein Barr adalah
penyebab paling sering. Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus
2) Tonsilitis Bacterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus, β hemolitikus yang dikenal sebagai strep throat,
pneumokokus, Streptokokus viridan, Streptokokus piogenes.
Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Bentuk tonsilitis
akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur
maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. b. Tonsilitis Membranosa
1) Tonsilitis Difteri
Tonsilitis difteri merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman Coryne bacterium diphteriae. Penularannya melalui
udara, benda atau makanan yang terkontaminasi. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak berusia kurang dari 10 tahun frekuensi tertinggi pada usia 2 sampai 5 tahun.
2) Tonsilitis Septik
Tonsilitis yang disebabkan karena Streptokokus hemolitikus yang
3) Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulsero Membranosa)
Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri spirochaeta atau
triponema yang didapatkan pada penderita dengan hygiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C.
c. Penyakit Kelainan Darah
Tidak jarang tanda leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup
membran semu. Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan di bawah kulit sehingga kulit tampak
bercak kebiruan. d. Tonsilitis Kronik
Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari
rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak
adekuat.
2. Anatomi dan Fisiologi
Tonsil merupakan bagian dari jaringan limfoid yang melingkari
faring dan secara kolektif dikenal sebagai cincin waldeyer. Cincin ini terdiri dari jaringan limfoid dari dasar lidah (tonsil lidah), dua tonsil
Gambar 2.1 Tonsilitis
Tonsil terdiri atas:
a. Tonsil faringealis atau adenoid, agak menonjol keluar dari atas
faring dan terletak di belakang koana.
b. Tonsil palatina atau faucial, dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa
lapisan tanduk.
c. Tonsil lingual atau tonsil pangkal lidah, epitel berlapis gepeng tanpa
lapisan tanduk.Tonsil berfungsi mencegah agar infeksi tidak menyebar ke seluruh tubuh dengan cara menahan kuman memasuki
tubuh melalui mulut, hidung, dan kerongkongan, oleh karena itu tidak jarang tonsil mengalami peradangan. Peradangan pada tonsil
seluler bekerja dengan membuat sel (limfoid T) yang dapat “memakan“ kuman dan virus serta membunuhnya. Sedangkan
imunitas humoral bekerja karena adanya sel (limfoid B) yang dapat menghasilkan zat immunoglobulin yang dapat membunuh kuman
dan virus. Kuman yang dimakan oleh imunitas seluler tonsil dan adenoid terkadang tidak mati dan tetap bersarang disana serta menyebabkan infeksi amandel yang kronis dan berulang (Tonsilitis
kronis). Infeksi yang berulang ini akan menyebabkan tonsil dan adenoid bekerja terus dengan memproduksi sel-sel imun yang
banyak sehingga ukuran tonsil dan adenoid akan membesar dengan cepat melebihi ukuran yang normal.
3. Etiologi
Penyebab tonsillitis adalah infeksi kuman Streptococcus beta hemolyticus, Streptococcus viridans, dan Streptococcus pyogenes,dapat
juga disebabkan oleh infeksi virus (Soepardi, 2007).
4. Tanda Dan Gejala
Tanda dan gejala tonsillitis seperti demam mendadak, nyeri
tenggorokan, ngorok, dan kesulitan menelan (Smeltzer, 2001). Sedangkan menurut Masjoer (2000) adalah suhu tubuh naik sampai 400C, rasa gatal
atau kering di tenggorokan, lesu, nyeri sendi, odinofagia (nyeri menelan), anoreksia, dan otalgia (nyeri telinga). Bila laring terkena suara akan menjadi serak. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemisis, tonsil
5. Patofisiologi
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut,
amandel berperan sebagai filter atau penyaring yang menyelimuti organisme berbahaya, sel-sel darah putih ini akan menyebabkan infeksi
ringan pada amandel. Hal ini akan memicu tubuh untuk membentuk antibodi terhadap infeksi yang akan datang, akan tetapi kadang-kadang amandel sudah kelelahan menahan infeksi atau virus. Infeksi bakteri dari
virus inilah yang menyebabkan tonsilitis.
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka
jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut
detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsilitis falikularis,
bila bercak detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsilitis lakunaris. Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit
tenggorokannya sehingga nafsu makan berkurang. Radang pada tonsil dapat menyebabkan kesukaran menelan, panas, bengkak, dan kelenjar
menelan, belakang tenggorokan akan terasa mengental. Hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam.
Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu (Pseudomembran), sedangkan pada tonsilitis kronik terjadi karena
proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok
melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlengketan dengan jaringan
6. Pathway
Bakteri dalam Udara & Makanan Peradangan tonsil
Tonsilitis
Pembesaran tonsil obs Mekanik
Obst Jln nafas Nyeri
Bersihan jalan nafas tidak efektif Tonsilektomi
Resiko pendarahan Kurang pemahaman Darah di sal nafas Defisiensi pengetahuan
Bersihan jln nafas tidak efektif
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien tonsilitis secara umum :
a. Jika penyebab bakteri, diberikan antibiotik peroral (melalui mulut)
selama 10 hari, jika mengalami kesulitan menelan, bisa diberikan
dalam bentuk suntikan.
b. Pengangkatan tonsil (Tonsilektomi) dilakukan jika:
1) Tonsilitis terjadi sebanyak 7 kali atau lebih / tahun.
2) Tonsilitis terjadi sebanyak 5 kali atau lebih / tahun dalam kurun
waktu 2 tahun.
3) Tonsilitis terjadi sebanyak 3 kali atau lebih / tahun dalam kurun
waktu 3 tahun.
4) Tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian antibiotik.
Penatalaksanaan pasien tonsilitis menurut Mansjoer (2000) adalah : a. Penatalaksanaan tonsilitis akut :
1) Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan
obat kumur atau obat isap dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan eritromisin atau klidomisin.
2) Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder,
kortikosteroid untuk mengurangi edema pada laring dan obat
simptomatik.
3) Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari
komplikasi kantung selama 2 sampai 3 minggu atau sampai hasil
4) Pemberian antipiretik
b. Penatalaksanaan tonsillitis kronik
1) Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur atau hisap. 2) Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa
atau terapi konservatif tidak berhasil.
The American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery Clinical Indikators Compendium ahutn (1995) menetapkan indikasi
dilakukannya tonsilektomi yaitu:
1) Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat.
2) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan
menyebabkan gangguan pertumbuhan orofasial.
3) Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan
sumbatan jalan nafas, sleep apnea, gangguan menelan, dan
gangguan bicara.
4) Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil,
yang tidak berhasil hilang dengan pengobatan. 5) Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
6) Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Sterptococcus βhemoliticus
7) Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
8) Otitis media efusa atau otitis media supurataif
c. Penatalaksanaan tonsilektomi :
1) Perawatan pra Operasi :
a) Lakukan pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorok secara
seksama dan dapatkan kultur yang diperlukan untuk
menentukan ada tidak dan sumber infeksi.
b) Ambil spesimen darah untuk pemeriksaan praoperasi untuk
menentukan adanya risiko perdarahan : waktu pembekuan,
pulasan trombosit, masa protrombin, masa tromboplastin parsial.
c) Lakukan pengkajian praoperasi :
Perdarahan pada anak atau keluarga, kaji status hidrasi, siapkan anak secara khusus untuk menghadapi apa yang
diharapkan pada masa pascaoperasi, gunakan teknik-teknik yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak (buku,
boneka, gambar), bicaralah pada anak tentang hal-hal baru yang akan dilihat di kamar operasi, dan jelaskan jika terdapat konsep-konsep yang salah, bantu orang tua menyiapkan anak
mereka dengan membicarakan istilah yang umum terlebih dahulu mengenai pembedahan dan berkembang ke informasi
yang lebih spesifik, yakinkan orang tua bahwa tingkat komplikasi rendah dan masa pemulihan biasanya cepat, anjurkan orang tua untuk tetap bersama anak dan membantu
2) Perawatan pasca operasi :
a) Kaji nyeri dengan sering dan berikan analgesik sesuai
indikasi.
b) Kaji dengan sering adanya tanda-tanda perdarahan pasca
operasi.
c) Siapkan alat pengisap dan alat-alat nasal untuk berjaga-jaga
seandainya terjadi kedaruratan.
d) Pada saat anak masih berada dalam pengaruh anestesi, beri
posisi telungkup atau semi telungkup pada anak dengan
kepala dimiringkan ke samping untuk mencegah aspirasi e) Biarkan anak memperoleh posisi yang nyaman sendiri
setelah ia sadar (orang tua boleh menggendong anak). Pada
awalnya anak dapat mengalami muntah darah lama. Jika diperlukan pengisapan, hindari trauma pada orofaring.
Ingatkan anak untuk tidak batuk atau membersihkan tenggorok kecuali jika perlu.
f) Berikan asupan cairan yang adekuat; beri es batu 1 sampai
2 jam setelah sadar dari anestesi. Saat muntah susah berhenti, berikan air jernih dengan hati-hati.
g) Tawarkan jus jeruk dingin disaring karena cairan itulah
yang paling baik ditoleransi pada saat ini, kemudian berikan es loli dan air dingin selama 12 sampai 24 jam
h) Ada beberapa kontroversi yang berkaitan dengan
pemberian susu dan es krim pada malam pembedahan :
dapat menenangkan dan mengurangi pembengkakan, tetapi dapat meningkatkan produksi mukus yang menyebabkan
anak lebih sering membersihkan tenggorokanya, meningkatkan risiko perdarahan.
i) Berikan collar es pada leher, jika anak menjadi gelisah,
lepas collar es tersebut.
j) Bilas mulut pasien dengan air dingin atau larutan alkalin.
k) Jaga agar anak dan lingkungan sekitar bebas dari drainase
bernoda darah untuk membantu menurunkan kecemasan. l) Anjurkan orang tua agar tetap bersama anak ketika anak
sadar.
(Nettina, 2006)
9. Komplikasi
a. Abses Peritonsil
Terjadi diatas tonsil dalamjaringan pilar anterior dan palatum mole,
abses ini terjadi beberapa harisetelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh streptococcus group A (Soepardi, 2007).
b. Otitis Peritonsil
Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustochi) dan dapat mengakibatkan otitis media yang dapat
c. Mastoiditis akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebabkan infeksi ke
dalam sel-sel mastoid (Soepardi, 2007). d. Laringitis
Merupakan proses peradangan dari membrane mukosa yang membentuk laring. Peradangan ini mungkin akut atau kronis yang disebabkan bisa karena virus, bakteri, lingkungan , maupun karena
alergi (Reeves, 2001). e. Sinusitis
Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satu atau lebih dari sinus paranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga atau ruangan berisi udara dari dinding yang terdiri dari
membrane mukosa (Reeves, 2001). f. Rhinitis
Merupakan penyakit inflamasi membrane mukosa dari cavum nasal dan nasopharing. Samahalnyadengan sinusitis, rhinitis bisa berupa penyakit kronis dan akut yang kebanyakan oleh virus dan alergi
B. Asuhan Keperawatan Pada Tonsilitis
1. Pengkajian
Fokus pengkajian menurut Firman (2006) yaitu : a. Wawancara
1) Kaji adanya riwayat penyakit sebelumnya (tonsilitis) 2) Apakah pengobatan adekuat
3) Kapan gejala itu muncul 4) Bagaimana pola makannya
5) Apakah rutin atau rajin membersihkan mulut
b. Pemeriksaan fisik
Data dasar pengkajian menurut Doenges (2000), yaitu : 1) Integritas Ego
Gejala : Perasaan takut, khawatir. Tanda : ansietas, depresi, menolak.
2) Makanan atau Cairan
Gejala : Kesulitan menelan. Tanda : Kesulitan menelan, mudah terdesak, inflamasi
3) Hygiene
Tanda : kebersihan gigi dan mulut buruk 4) Nyeri atau keamanan
5) Pernapasan
Gejala : Riwayat menghisap asap rokok (mungkin ada anggota
keluarga yang merokok), tinggal di tempat yang berdebu. 6) Tenggorokan
Inspeksi : Tonsil membesar dan berwarna kemerahan. Palpasi : Terdapat nyeri tekan, pembesaran kelenjar limfoid
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah, diskontinuitas jaringan b. Resiko tidak ketidakfektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
penumpukan secret.
c. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi.
3. Intervensi
a. Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah, diskontinuitas jaringan.
Tujuan : tidak ada masalah tentang nyeri, nyeri dapat hilang atau
berkurang
Kriteria hasil : melaporkan nyeri berkurang dan ekspresi wajah tampak rileks.
Intervensi :
1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi. Rasional : sebagai dasar penentuan intervensi berikutnya.
2) Ajarkan teknik non farmakologi dengan distraksi atau latihan
Rasional : teknik distraksi atau latihan nafas dalam dapat mengurangi nyeri.
3) Tingkatkan istirahat klien.
Rasional : istirahat dapat melupakan dari rasa nyeri
4) Anjurkan klien untuk mengurangi nyeri dengan minum air dingin
atau es, hindarkan makanan panas, pedas, keras dan melakukan teknik relaksasi.
Rasional : tindakan non analgesik diberikan dengan cara alternatif untuk mengurangi nyeri dan menghilangkan ketidaknyamanan 5) Ciptakan lingkungan tenang dan nyaman
Rasional : menurunkan stres dan rangsangan berlebihan, meningkatkan istirahat.
(Doenges, 2000) b. Risiko tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan
penumpukan secret.
Tujuan : jalan nafas efektif.
Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan, risiko
ketidakefektifan jalan nafas dapat teratasi ditandai dengan tidak adanya secret.
Intervensi :
1) Pantau irama atau frekuensi irama pernafasan.
Rasional : pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi
2) Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, misalnya
mengi, krekles atau ronkhi.
Rasional : bunyi nafas krekles dan ronkhi terdengar pada inspirasi atau ekspirasi pada respon terhadap pegumpulan sekret.
3) Kaji klien un tuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian
kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
Rasional : peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi
pernafasan
4) Dorong klien untuk mengeluarkan lendir secara perlahan.
Rasional : membersihkan jalan nafas dan membantu mencegah komplikasi pernafasan
(Doenges, 2000) c. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi
Tujuan : Pasien menjadi tahu peroses penyakit
Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan, Defisiensi pengetahuan dapat teratasi dengan ditandai dengan pasien paham tentang pengetahuan penyakitnya
1). Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan
2). Pasien dan keluarga mampu menjelaskan prosedur yang dijelaskan secara benar
3). Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang
Intervensi :
1).Berikan penelitian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang
proses penyakit yang spesifik
2). Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini
berhubungan dengan anatomi dan fisiologi,dengan cara yang tepat.
3). Gambaran tanda dan gejala yang biasa muncul pada
penyakit,dengan cara yang tepat
4). Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
C. Nyeri
1. Pengertian Nyeri
Pengertian dari nyeri itu sendiri adalah sesuatu yang bersifat
subjektif. Secara klinis nyeri adalah apapun yang diungkapkan oleh pasien mengenai sesuatu yang dirasakan sebagai suatu hal yang tidak
menyenangkan atau sangat mengganggu (Andarmoyo, 2013). Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang berbahaya yang terkait dengan dengan kerusakan jaringan actual atau potensial yang dihasilkan
dari stimulus reseptor nyeri perifer (nosiseptor) oleh trutama dan berbagai gangguan , tes diagnostic atau perawatan (Grose & Schub 2010).
Nyeri adalah sensasi yang rumit, unik, universal, dan bersifat individual dikatakan bersifat individual karena respons individu terhadap sensasi nyeri beragam dan tidak bisa disamakan satu dengan lainnya. Hal
(Asmadi, 2008). Nyeri adalah sensasi yang sangat tidak menyenangkan dan sangat individual yang tidak dapat dibagi dengan orang lain. Nyeri
dapat memenuhi seluruh pikiran seseorang, mengatur aktivitasnya, dan mengubah kehidupan orang tersebut. Akan tetapi, nyeri adalah konsep
yang sulit dikomunikasikan oleh klien. Seorang perawat tidak dapat merasakan atau melihat nyeri klien (Berman, 2009).
2. Klasifikasi nyeri
Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua, yakni nyeri akut dan kronis. Nyeri akut adalah nyeri yang timbul secara mendadak
dan cepat menghilang, yang tidak melebihi 6 bulan dan ditandai adanya peningkatan tegangan otot. Nyeri kronis adalah nyeri yang timbul secara perlahan- lahan, biasanya berlangsung dalam waktu cukup lama, yaitu
lebih dari 6 bulan yang termasuk dalam kategori nyeri kronis adalah nyeri terminal, sindrom nyeri kronis, dan nyeri psikosomatis. Ditinjau dan sifat
terjadinya, nyeri dapat dibagi ke dalam beberapa kategori,diantaranya nyeri tertusuk dan nyeri terbakar.
Table 2.1
Perbedaan Nyeri Akut dan Kronis
Karakteristik Nyeri akut Nyeri kronis
Pengalaman Satu kejadian Satu situasi, status eksistensi
Sumber Sebab eksternal atau penyakit dari dalam
Tidak diketahui atu pengobatan yang terlalu lama
berkembang, dan sehingga sulit dievaluasi (perubahan perasaan).
Gejala-gejala klinis
Pola respons yang khas dengan gejala yang lebih jelas
Pola respons yang bervariasi dengan sedikit gejala (adaptasi
Pola Terbatas Berlangsung terus, dapat bervariasi
Perjalanan Biasanya berkurang setelah beberapa saat
Penderitaan meningkat setelah beberapa saat. Sumber: Hidayat (2006).
Nyeri dapat dijelaskan berdasarkan durasi, lokasi, atau etiologi.
Ketika nyeri hanya dirasakan selama periode penyembuhan yang diharapkan, nyeri disebut sebagai nyeri akut, baik yang tiba-tiba atau
yang lambat dan tanpa memperhatikan intensitasnya. Di sisi lain,nyeri kronisberlangsung berkepanjangan, biasanya nyeri berulang atau
menetap sampai enam bulan atau lebih, dan mengganggu fungsi tubuh. Nyeri kronis dapat diklasifikasikan lebih lanjut sebagai nyeri maligna kronis jika dikaitkan dengan kanker atau kondisi yang
progresif. Nyeri akut dan kronis menghasilkan respons fisiologis dan perilaku yang berbeda (Berman, 2009).
Nyeri akut adalah nyeri berdurasi singkat, penyebab biasanya tidak diketahui, intensitas direntang dari ringan sampai berat dan
tindakan ditujukan pada menghilangkan penyebab. Nyeri kronik adalah meluas selama 3 sampai 6 bulan, penyebab dapat atau tidak diketahui, nyeri ini tidak berespons pada tindakan dan atau tidak
berkurang setelah cedera sembuh, intensitas dapat direntang dari ringan sampai berat dan tindakannya bervariasi.
Nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan berdasarkan pada tempat, sifat, berat ringannya nyeri, dan waktu serangan: (Asmadi, 2008). Nyeri pada pasien dengan post
tonsilektomi adalah nyeri akut dengan tempat patologi visera atau rangsangan yang mengganggu pada luka oprasi.
1) Nyeri berdasarkan tempatnya:
a) Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan
tubuh misalnya pada kulit dan mukosa
b) Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh
yang lebih dalam atau pada organ-organ tubuh viseral.
c) Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena
penyakit organ atau struktur dalam tubuh yang ditransmisikan ke bagian tubuh di daerah yang berbeda bukan daerah asli
d) Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan
pada sistem saraf pusat, spinal cord, batang otak, thalamus,
dan lain-lain.
2) Nyeri berdasarkan sifatnya:
a) Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu
menghilang.
b) Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta
dirasakan dalam waktu yang lama.
c) Paroxysmal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas
tinggi dan kuat sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap ± 10-15 menit, lalu menghilang kemudian timbul lagi.
3) Nyeri berdasarkan berat ringannya:
a) Nyeri ringan yaitu nyeri dengan intensitas rendah.
b) Nyeri sedang yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi. c) Nyeri berat yaitu nyeri dengan intensitas yang tinggi 4) Nyeri berdasarkan waktu lamanya serangan
a) Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang
singkat dan berakhir kurang dari enam bulan, sumber dan daerah nyeri diketahui dengan jelas. Rasa nyeri mungkin
sebagai akibat dari luka, seperti luka operas.
b) Nyeri kronis, yaitu nyeri yang dirasakan lebih dari enam
bulan. Nyeri kronis ini polanya beragam dan berlangsung
ada yang nyeri timbul dengan periode yang diselingi interval bebas dari nyeri lalu timbul kembali lagi nyeri, dan begitu
seterusnya. Ada pula pola nyeri kronis yang konstan, artinya rasa nyeri tersebut terus-menerus terasa makin lama semakin
mengkat intensitasnya walaupun telah diberikan pengobatan. Misalnya pada nyeri karena neoplasma (Asmadi, 2008).
3. Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan
individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah
menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran
pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Alat bantu lain yang digunakan untuk menilai intensitas atau keparahan nyeri klien sebagai berikut:
a. Skala deskriptif verbal
Skala deskriptif verbal atau Verbal Descriptor Scale (VDS)
garis yang terdiri dari kalimat pendeskripsian ini dirangking dari tidak ada nyeri sampai nyeri paling hebat (Prasetyo, 2010).
Gambar 2.3 Skala deskriptif verbal (Tamsuri, 2007)
b. Skala intensitas nyeri numerik
Skala numerik atau Numerical Rating Scale (NRS) digunakan
sebagai pengganti alat deskripsi kata. Dalam hal ini pasien menilai nyeri dengan skala 0 sampai dengan 10. Skala 0 mendeskripsikan
sebagai tidak nyeri, skala 1 sampai dengan 3 mendeskripsikan sebagai nyeri ringan yaitu ada rasa nyeri (mulai terasa tapi masih
dapat ditahan), skala 4 sampai dengan 6 mendeskripsikan sebagai nyeri sedang yaitu ada rasa nyeri terasa mengganggu dengan usaha yang cukup kuat untuk menahan, dan skala 7 sampai dengan 10
mendeskripsikan sebagai nyeri berat yaitu ada nyeri, terasa sangat mengganggu / tidak tertahankan sehingga harus menangis, menjerit
atau berteriak. Skala ini efektif digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah terapeutik (Prasetyo, 2010 ).
Penggunaan NRS direkomendasikan untuk menilai skala
Gambar 2.4 Skala intensitas nyeri numerik (Potter dan Perry, 2006)
4. Penatalaksanaan Nyeri
Penatalaksanaan nyeri atau tindakan keperawatan untuk mengurangi nyeri yaitu terdiri dari penatalaksanaan non – farmakologi dan
farmakologi.
a. Penatalaksanaan non farmakologi
Penatalaksanaan non farmakologi merupakan tindakan
pereda nyeri yang dapat dilakukan perawat secara mandiri tanpa tergantung pada petugas medis lain dimana dalam pelaksanaanya
perawat dengan pertimbangan dan keputusannya sendiri. Banyak pasien dan anggota tim kesehatan cenderung untuk memandang obat sebagai satu-satunya metode untuk menghilangkan nyeri.
Namun banyak aktifitas keperawatan non farmakologi yang dapat membantu menghilagkan nyeri, metode pereda nyeri
nonfarmakologi memiliki resiko yang sangat rendah. Meskipun tindakan tersebut bukan merupakan pengganti obat-obatan (Smeltzer & Bare, 2008).
imajinasi terbimbing, hypnosis dan sentuhan terapeutik (massage) (Tamsuri, 2007).
Menurut Nursing Intervention and Classification/NIC (2013) peran perawat dalam penatalaksanaan nyeri adalah:
1) Mengkaji nyeri seperti lokasi, karakteristik, durasi nyeri,
frekuensi nyeri, kualitas nyeri, intensitas nyeri dan faktor penyebab nyeri
2) Mengobservasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan 3) Menanyakan pengetahuan pasien tentang nyeri
4) Mengkaji pengaruh nyeri yang dialami pasien pada tidur,
selera makan, aktivitas, perasaan, hubungan, peran pada pekerjaan dan pola tanggungjawab
5) Memberikan informasi tentang nyeri seperti penyebab
nyeri, berapa lama nyeri akan dirasakan dan antisipasi
ketidaknyamanan dari prosedur
6) Mengontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
7) Melakukan penanganan non-farmakologi seperti relaksasi,
terapi kompres dingin, guided imagery, terapi akupresur,
terapi aktivitas dan massage
8) Mengajarkan prinsip dari manajemen nyeri
9) Menggunakan teknik pengontrolan nyeri/ antisipasi sebelum
10) Melakukan penanganan farmakologi yaitu pemberian
analgesic
Menurut Susanti (2012) perawat mengkaji nyeri pasien untuk merencanakan tindakan apa yang harus diberikan
selanjutnya untuk pasien yaitu dengan menggunakan instrumen OPQRSTUV (onset, proviking, quality, region, severity, treatment, understanding, value).
b. Penatalaksanaan Farmakologi
Penanganan nyeri yang di alami oleh individu dapat melalui
intervensi farmakologis, dilakukan oleh kolaborasi dengan dokter atau pemberi perawat utama lainnya pada pasien. Obat-obat yang biasanya digunakan adalah antiinflamsi nonsteroid. Obat-obatan ini
dapat menurunkan nyeri dan menghambat produksi prostatglandin dari jaringan-jaringan yang mengalami trauma dan inflamasi yang
menghambat reseptor nyeri untuk menjadi sensitive terhadap stimulus penyakit sebelumnya (Smeltzer dan Bare, 2002).
D. Kompres Dingin
1. Pengertian Kompres Dingin
Pemberian terapi dingin atau es adalah memberikan kompres es
menimbulkan sensasi dingin pada bagian tubuh yang memerlukan yaitu mengurangi rasa sakit (Asmadi 2008).
2. Efek mekanisme pemberian terapi dingin
Kompres dingin bekerja dengan menstimulasi permukaan kulit
untuk mengontrol nyeri. Terapi dingin yang diberikan mempengaruhi impuls yang dibawah oleh serabut taktil A-Beta untuk lebih mendominasi sehingga akan menutup impuls nyeri akan terhalang. (Potter dan Perry,
2005).
3. Tujuan Kompres Dingin
Kompres dingin digunakan utuk menurunkan suhu tubuh, mencegah peradangan meluas, mengurangi kongesti, mengurangi pendarahan dengan meningkatkan vasokontriksi, mengurangi rasa sakit
local, agar luka menjadi bersih. Kompres dingin tidak boleh digunakan di area yang sudah terjadi edema karena efek vasokontriksi menurunkan
reabsorsi cairan. Kompres dingin tidak boleh diteruskan apabila nyeri semakin bertambah atau edema meningkat atau terjadi kemerah-merahan berat pada kulit untuk mencapai hasil yang maksimal maka kompres
4. Jenis Terapi Dingin
a. Terapi dengan ice pack
Pada prinsip ice pack merupakan kemasan yang dapat menyimpan es dan membuat es tersebut dapat terjaga dalam waktu relative lama di luar freezer dari pada kemasan plastic. Pada umumnya ice pack dapat
dipergunakan selaama 15-20 menit. Pada kemasan ice pack yang berupa plastic diperlukan handuk untuk mengeringkan air kondensasi.
b. Terapi ice immersion
Digunakan untuk mengobati bagian di stal ekstremitas. Penampung yang cukup menampung esktremitas di isi dengan es dan air
kemudian bagian ekstremitas yang akan diterapi rendam suhu berkisar 15*-18* untuk terapi yang berlangsung 5-10 menit.
c. Terapi dengan cryothera
Balok es yang dibentuk dalam gelasa atau pada batang kayu dan
diusap pada daerah yang akan diterapi, biasanya daerah kecil dengan radang atau spasma otot, dan usap terus menerus selama 3-10 menit sampai tercapai rasa kebas atau anestesi.
5. Metode Kompres Dingin
Masukan es kedalam sebuah kirbat es atau plastic es. Kompres dingin
Pemberian kompres dingin menggunakan es dapat dilakuakan dalam waktu, 5-10 menit (Potter & Perry, 2005).
6. Efek Samping Kompres Dingin
Kompres dingin dapat sangat mudah digunakan, cepat, efisien dan ekonomis. Akan tetapi terdapat beberapa kondisi yang dapat dipicu oleh
kompres dingin. Individu dengan riwayat gangguan tertentu memerlukan pengawasan yang ketat pada terapi dingin. Beberapa kondisi tersebut
diantaranya adalah :
a. Raynaud’s sinderom merupakan kondisi dimana terdapat hambatan
arteri kecil yang menyalurkan darah ketika dilakukan kompres dingin
b. Vaskulitis (peradangan pembuluh darah)
c. Praroxymal cold hemoglobinuria yang merupakan suatu kejadian
pembentukan antibody yang merusak sel darah merah bila tubuh dikenai dingin.
7. Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan
Kompres dingin kering dengan kirbat es :
a). Bila klien kedinginan atau sianosis, kirbat es harus segera di angkat
b). Selama pemberian kirbat es, perhatikan kulit klien terhadap keberadaan iritasi dan lain-lain.
d). Perhatikan kulit, kalau kulit pasien berwarna kulit jambu masih bias dilakukan pengompresan, tapi kalu kulit pasien berwarna gelap
metode ini tidak dapat dilakukan.
e). Pemberian metode ini tidak diberikan kepada pasien yang mempunyai
alergi dingin.
E. Pengaruh Kompres Dingin Pada Nyeri Post Operasi Tonsil
Kompres dingin dapat meredakan nyeri dikarenakan kompres dingin
dapat mengurangi aliran darah ke suatu bagian dan mengurangi perdarahan edema yang diperkirakan menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat
kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih sedikit.
Pada tindakan kompres dingin dapat memberikan efek fisiologis, seperti
menurunkan respon inflamasi jaringan, menurunkan aliran darah, dan mengurangi edema. Semakin tinggi kadar endorphin seseorang, semakin