TINGKAT KESANTUNAN DAN KEEFEKTIFAN TUTURAN
BAHASA SLANG SEBAGAI BAHASA PERCAKAPAN
DALAM KOMUNITAS PESEPEDA DI YOGYAKARTA
(Suatu Tinjauan Pragmatik)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa, dan Sastra Indonesia
Oleh:
Bambang Sumarwanto 091224070
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
ii SKRIPSI
TINGKAT KESANTUNAN DAN KEEFEKTIFAN TUTURAN
BAHASA SLANG SEBAGAI BAHASA PERCAKAPAN
DALAM KOMUNITAS PESEPEDA DI YOGYAKARTA
(Suatu Tinjauan Pragmatik)
Oleh:
Bambang Sumarwanto
NIM: 091224070
Telah Disetujui Oleh:
Dosen Pembimbing,
iii SKRIPSI
TINGKAT KESANTUNAN DAN KEEFEKTIFAN TUTURAN BAHASA SLANG SEBAGAI BAHASA PERCAKAPAN DALAM KOMUNITAS PESEPEDA DI YOGYAKARTA
(Suatu Tinjauan Pragmatik)
Dipersiapkan dan ditulis oleh: Bambang Sumarwanto
NIM: 091224070
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada tanggal 4 November 2013 dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap Tanda Tangan
Ketua : Dr. Yuliana Setiyaningsih ……….
Sekretaris : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. ……….
Anggota : Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. ……….
Anggota : Dr. B. Widharyanto, M.Pd. ……….
Anggota : Dr. Y. Karmin, M.Pd. ……….
Yogyakarta, 4 November 2013
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma
Dekan,
iv MOTTO
Jangan terlelap dalam impian, karena jika kamu sudah terlelap dalam mimpimu,
kamu tidak akan sempat lagi untuk menggapainya.
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada:
Kedua orangtua saya Bapak Urbanus Sutiyono dan Margaretha Suliyah
Kakakku tercinta, Tri Astanto
Ketiga adikku tercinta, Indra Pratama, Febri Wiguna, Yusak Saputra
Fransiska Pujiastuti
Segenap sahabat PBSID
Skripsi ini saya persembahkan sebagai tanda terima kasih yang mendalam
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah
disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 4 November 2013
Penulis
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Bambang Sumarwanto
Nomor Mahasiswa : 091224070
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya berjudul
TINGKAT KESANTUNAN DAN KEEFEKTIFAN TUTURAN
BAHASA SLANG SEBAGAI BAHASA PERCAKAPAN
DALAM KOMUNITAS PESEPEDA DI YOGYAKARTA
(Suatu Tinjauan Pragmatik)
Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media
lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara
terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan
akademis tanpa perlu izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 4 November 2013
Yang menyatakan,
viii
KATA PENGANTAR
Bahasa merupakan hal penting dalam kehidupan, karena peran dan
fungsinya yang utama yaitu sebagai alat komunikasi. Dalam sebuah bahasa
(tuturan) seseorang dapat mengerti dengan baik apa maksud dan tujuan dari
tuturan yang diucapkan tersebut. Banyak hal yang bisa tersampaikan melalui
suatu bahasa, asalkan ada kerjasama yang baik antara pembicara (penutur) dan
pendengar (mitra tutur). Bagaimana tuturan tersebut dapat menarik orang lain
untuk mendengarnya, tentu hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah
konteks. Konteks tuturan harus menjadi sesuatu yang dipelajari supaya
percakapan bisa berjalan dengan baik. Di dalam ilmu pragmatik, ada empat
bidang utama yang dibahas, yakni: deiksis, praanggapan, tindak ujaran, dan
implikatur percakapan.
Tulisan ini hanya membahas salah satu dari keempat bidang di atas, yakni
tindak ujaran. Tindak ujaran itu sendiri masih sangat luas dan dapat dirinci
menjadi sub-sub bidang tertentu. Dalam hal ini, penulis hanya membahas satu
kajian dari tindak ujaran yakni mengukur tingkat kesantunan suatu tuturan.
Tulisan ini, secara berurutan mencoba untuk mengungkapkan
gagasan-gagasan berdasarkan hasil penelitian terhadap tuturan di beberapa komunitas
sepeda yang ada di Yogyakarta mengenai tingkat kesantunan dan keefektifan
tuturan bahasa slang sebagai bahasa percakapan komunitas sepeda di Yogyakarta.
Penulis sadar bahwa penelitian ini dapat berjalan lancar karena adanya rahmat dan
penyertaan Tuhan mulai dari awal, proses hingga akhir penelitian ini kepada
penulis. Selain itu, ada pihak lain yang tentunya dengan caranya masing-masing
telah memberikan sumbangan kepada penulis dalam upaya menyelesaikan
penelitian ini. Oleh karena itu, secara khusus penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., yang bersedia membimbing dan mengarahkan
penulis menyelesaikan skripsi ini;
2. Para dosen PBSI, yang dengan caranya masing-masing telah membekali
ix
3. Robertus Marsidiq, yang sudah membantu dan melayani penulis dalam
mengurusi berbagai hal yang sifatnya administratif;
4. Sahabat PBSID seperjuangan, Rm. Eduardus Sateng Tanis, S.Pd., Mikael Jati
Kurniawan, S.Pd., Theresia Banik Putriana, S.Pd., Christiana Tri Jatuningsih,
S.Pd., Ade Henta Hermawan, Yudha Hening Pinandhito, Dedy Setyo
Herutomo, Nuridang Fitra Nagara, Fabianus Angga Renato, Ignatius Satrio
Nugroho, Yustina Cantika Advensia, Valentina Tris Marwati, Katarina Ita
Simanullang, Catarina Erni Riyanti, Clara Dika Ninda Natalia, Rosalina Anik
Setyorini, Cicilia Verlit Warasinta, Agatha Wahyu Wigati, Yohanes Marwan
Setiawan, Prima Ibnu Wijaya, Martha Ria Hanesti, Agustinus Eko Prasetyo,
Reinardus Aldo Aggasi, Danang Istianto, Yustinus Kurniawan, Asteria
Ekaristi, Elisabeth Ratih Handayani, Petrus Temistokles Jelaha terima kasih
atas kebersamaan, kekocakan serta hiburan dan dukungan yang telah
diberikan selama ini. Kalian telah memberi banyak warna dalam setiap
perjalanan masa studi di Universitas Sanata Dharma khususnya di PBSI;
5. Teman-teman PBSID angkatan 2009, secara khusus kelas B, yang telah
memberikan dukungan serta memberikan banyak masukan serta semangat
sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini;
6. Para sahabat Sendowers, Bernardus Purnawan, S.Pd., Yohanes Heri Pranoto,
S.Pd., Robertus Adi Hermawan Pradipta, Eko Sularsono, Vintentius Yudha
dan Naradhipa yang selalu mengisi hari-hari penulis di saat “selo”, dan selalu
memberi warna baru saat berada di luar kampus;
7. Komunitas sepeda yang ada di Yogyakarta, secara khusus Komunitas Sepeda
Tinggi, Komunitas Sepeda BMX, Komunitas Sepeda Fixie, dan Komunitas
Sepeda MTB, yang telah bersedia memberikan waktunya untuk membantu
penulis dalam mencari data-data yang diperlukan;
8. Pihak Universitas Sanata Dharma, yang telah menciptakan kondisi serta
menyediakan berbagai fasilitas yang mendukung penulis dalam studi dan
penyelesaian skripsi ini.
Penulis sadar bahwa ada banyak pihak lain yang dengan berbagai caranya
x
Universitas Sanata Dharma. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada berbagai
pihak itu yang namanya tidak sempat disebutkan satu per satu di dalam tulisan ini,
sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis juga menyadari bahwa tulisan ini tidaklah seideal yang dipikirkan
oleh pembaca; masih ada banyak kekurangan. Walaupun demikian, penulis
berharap penelitian ini dapat berguna bagi para pembaca.
Yogyakarta, 4 November 2013
Penulis
Bambang Sumarwanto
xi ABSTRAK
Sumarwanto, Bambang. 2013. Tingkat Kesantunan dan Keefektifan Tuturan Bahasa Slang sebagai Bahasa Percakapan dalam Komunitas Pesepeda di Yogyakarta (Suatu Tinjauan Pragmatik). Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
Penelitian ini membahas dua persoalan, (1) tingkat kesantunan tuturan bahasa slang, dan (2) efektivitas penggunaan bahasa slang sebagai bahasa percakapan komunitas pesepeda di Yogyakarta. Data dalam penelitian ini adalah tuturan-tuturan bahasa slang yang digunakan oleh komunitas pesepeda Yogyakarta. Ada empat sumber data utama yang digunakan: (1) komunitas sepeda tinggi, (2) komunitas sepeda fixie, (3) komunitas sepeda BMX, dan (4) komunitas sepeda MTB (mountain bike), dengan jangka waktu April – Juni 2013.
Jika dilihat dari metode yang digunakan, penelitian ini tergolong penelitian kualitatif deskriptif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dengan teknik sadap sebagai teknik dasar dan teknik simak bebas libat cakap serta teknik catat sebagai teknik lanjutan.
xii
ABSTRACT
Sumarwanto, Bambang, 2013. Politeness Degree and Effectiveness of Verbal Slang Language Used by Cyclist Communities in Yogyakarta (A Pragmatic Review), Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
This study focused on two main issues, (1) the politeness degree of slang language and (2) the effectiveness of verbal slang language used by cyclist communities in Yogyakarta. The verbal speech among the cyclists was considered as the data of the study. There were four cyclist communities; they are Tall-Bike Community, Fixie Community, BMX Community, and MTB (Mountain Bike) Community. Those communities were observed during 3 months, from April to June 2013.
This study belongs to qualitative and descriptive study. Recording during observation, as the main technique, and conversation and note taking during observation, as the advance techniques, were implemented in order to get the data.
The writer could conclude two results of the study. First, the politeness degree of the verbal slang language used by cyclist communities in Yogyakarta
was low, or considered impolite, due to the Leech’s five aspects as the politeness
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
ABSTRAK ... xi
ABSTRACT ... xii
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR BAGAN ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
E. Batasan Istilah ... 9
F. Ruang Lingkup Penelitian ... 11
G. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 13
A. Penelitian Terdahulu ... 13
B. Landasan Teori ... 14
1. Teori Kesantunan Bahasa ... 16
2. Bahasa Slang ... 33
3. Faktor Kebahasaan sebagai Penanda Kesantunan ... 36
xiv
C. Kerangka Berpikir ... 47
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 49
A. Jenis Penelitian ... 49
B. Sumber Data dan Data ... 50
C. Metode Pengumpulan Data ... 50
D. Instrumen Penelitian ... 51
E. Teknik Analisis Data ... 52
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 53
A. Deskripsi Data ... 53
B. Hasil Analisis Data ... 55
1. Tingkat Kesantunan Tuturan Bahasa Slang dalam Komunitas Sepeda di Yogyakarta... 55
a. Skala biaya-keuntungan (untung-rugi) ... 56
b. Skala keopsionalan ... 62
c. Skala ketaklangsungan ... 68
d. Skala keotoritasan ... 71
e. Skala jarak sosial ... 73
2. Efektivitas Penggunaan Bahasa Slang sebagai Bahasa Percakapan ... 76
a. Pemakaian pilihan kata (diksi) ... 77
b. Pemakaian gaya bahasa ... 80
C. Pembahasan ... 89
BAB V PENUTUP ... 97
A. Kesimpulan ... 97
B. Saran ... 98
DAFTAR PUSTAKA ... 100
LAMPIRAN ... 102
TABEL 1 KRITERIA KEEFEKTIFAN TUTURAN ... 82
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Interaksi antara satu orang dengan yang lain itu sangat penting. Hal
terpenting dalam interaksi adalah adanya bahasa. Maksud dan tujuan
seseorang saat menyampaikan sesuatu dapat tersampaikan dengan jelas saat
kita bertutur kata dengan lawan tutur, tentunya dengan memperhatikan
kesantunan saat kita bertutur kata. Saat kita sedang bertutur kata, kita juga
harus mengerti bahasa yang digunakan. Kesantunan saat berbahasa
merupakan cerminan diri, karena saat kita berbahasa dengan santun orang lain
pun menjadi tertarik dengan percakapan yang sedang berlangsung.
Bahasa Indonesia merupakan cermin Bangsa Indonesia.
Kebanggaan Bangsa Indonesia akan hadirnya Bahasa Indonesia saat ini
sepertinya sudah mulai pudar dan terkikis oleh kehadiran bahasa-bahasa lain
yang berkembang. Mulai dari zaman dahulu kita sudah dikenalkan dengan
adanya tiga bahasa yang hadir dalam kehidupan kita, yaitu bahasa pertama
(bahasa ibu/daerah); bahasa kedua (bahasa Indonesia/bahasa nasional); dan
bahasa ketiga (bahasa asing). Kehadiran ketiga bahasa tersebut agaknya saat
ini kurang diminati oleh kaum muda. Adanya ragam (variasi) bahasa slang
sepertinya sudah menjadi darah daging dan melekat bahkan dijadikan bahasa
Bahasa yang sering digunakan saat ini, sebut saja bahasa slang
menurut KBBI Dalam Jaringan (Daring) adalah ragam bahasa tidak resmi dan
tidak baku yang sifatnya musiman, dipakai oleh kaum remaja atau kelompok
sosial tertentu untuk komunikasi intern dengan maksud agar yang bukan
anggota kelompok tidak mengerti maksud dari yang digunakan. Keberadaan
bahasa slang yang berkembang pesat saat ini sepertinya malah memberikan
nuansa baru saat sedang bercakap-cakap. Tuturan yang terucap malah
terdengar indah di setiap golongan masing-masing. Saat ini sepertinya sudah
tersedia sarana untuk mempermudah setiap orang agar mengerti arti kata
slang tertentu melalui www.kamusslang.com. Adanya kamus slang tersebut
sepertinya membuat banyak orang tidak lagi menjadikan bahasa slang sebagai
bahasa musiman, tetapi malah menjadikannya sebagai bahasa resmi pada
zaman ini (khususnya dalam kelompok tertentu).
Banyak orang menganggap kesantunan dalam bahasa slang sendiri
sangat kurang diperhatikan, terutama maksud yang terkandung di dalamnya.
Banyak kata slang yang memiliki arti tidak senonoh dan sepertinya tidak
memperhatikan kaidah/hukum yang ada di negara ini. Austin (1978) dalam
Pranowo (2009:2) mengemukakan bahwa setiap ujaran dalam tindak
komunikasi selalu mengandung tiga unsur yaitu (1) tindak lokusi berupa
ujaran yang dihasilkan oleh penutur, (2) tindak ilokusi berupa maksud yang
terkandung dalam tuturan, dan (3) tindak perlokusi berupa efek yang
ditimbulkan oleh tuturan. Bahasa slang yang muncul di zaman ini
komunikasi. Seorang yang sedang berbicara dengan menggunakan bahasa
slang seakan hanya mencari kepuasan saat bertutur kata. Unsur atau kaidah
bahkan aturan tidak lagi menjadi acuan saat mereka melakukan kegiatan
komunikasi.
Beberapa kata jika dihubungkan dengan kesantunan berbahasa,
bahasa slang di kalangan pesepeda juga banyak yang memiliki arti/maksud
yang positif. Misalnya saja: “ Cah, malam jumat kita gowes yuk!!!” (“teman,
malam Jumat kita bersepeda yuk!!!”). Kata gowes tersebut ternyata memiliki
arti positif yang juga akan memudahkan setiap orang (tentunya dalam
komunitas pesepeda) mengerti akan maksud yang dikatakan oleh penutur.
Kata gowes jika dikatakan pada forum resmi tampaknya sangat tidak pantas
dan tidak lazim karena memang bahasa tersebut bukan bahasa resmi dan tidak
ada dalam KBBI, bahkan orang lain yang tidak biasa mengikuti kegiatan
bersepeda banyak yang tidak tahu tentang kata gowes yang dimaksud.
Penggunaan bahasa slang yang sangat luas akan sangat
menyulitkan peneliti dalam melakukan penelitiannya. Saat ini peneliti ingin
meneliti tentang kesantunan bahasa slang dalam lingkup yang lebih kecil
yaitu beberapa komunitas pesepeda Yogyakarta. Tentunya ada perbedaan
bahasa slang yang digunakan oleh komunitas pesepeda dan komunitas lain di
luar komunitas sepeda, karena bahasa slang biasanya hanya dimengerti oleh
kelompoknya saja untuk menjalin komunikasi yang lebih dekat.
Penggunaan bahasa slang sepertinya berkaitan erat dengan
strukturnya pungutan-pungutan itu dapat digolongkan menjadi empat macam:
(1) kata-kata dasar, (2) kata-kata kompleks, (3) kata-kata yang berkonstruksi
kata dasar daerah dengan imbuhan BI, dan (4) kata-kata yang berkonstruksi
dasar BI dan imbuhan daerah. Komunitas pesepeda Yogyakarta kebanyakan
memakai pungutan dari bahasa pertama yang kedua, yaitu dari bahasa daerah
yang mengalami perubahan secara kompleks.
Keadaan seperti ini akan terus terjadi karena akan banyak
perubahan bahasa. Bentuk dasar bahasa Indonesia saja misalnya, saat ini
sudah banyak sekali kata yang diplesetkan. Contoh yang sangat sering kita
dengar dan dipakai oleh banyak orang adalah kata: serius menjadi ciyus, demi
apa menjadi miapah, ah masa menjadi amaca, dan lain-lain. Kata slang yang
sebenarnya hanya dapat dimengerti oleh sebagian orang saat ini memang
sudah seperti rahasia umum. Perkembangan teknologi dan kemajuan zaman
seakan tidak hanya ingin mengikis kebudayaan yang ada, tetapi juga ingin
merebut bahasa yang telah ada sejak dahulu dan digunakan di seluruh
Indonesia.
Orang menjadi tidak lagi memperhatikan tingkat kesantunan dan
efektivitas tuturan saat berkomunikasi. Percakapan antara penutur dan mitra
tutur menjadi terhambat apabila mitra tutur tidak mengerti arti dari ucapan
penutur/lawan tuturnya. Seorang (penutur) pun menjadi terlihat kurang
santun, karena biasanya setelah mengucapkan kata yang tidak dimengerti oleh
menyebabkan bahasa Indonesia menjadi benar-benar dilupakan oleh generasi
muda.
Tingkat kesantunan bahasa slang jika diperhatikan dan dianalisis
secara lebih mendalam, akan terlihat dan terdengar memiliki tingkat
kesantunan yang sangat rendah. Rahardi (2005:119) mengatakan bahwa
semakin panjang tuturan yang digunakan, akan semakin santunlah tuturan itu.
Sebaliknya, semakin pendek sebuah tuturan, akan cenderung semakin tidak
santunlah tuturan itu. Hal ini apabila dikaitkan dengan penggunaan bahasa
slang dalam percakapan, kita akan melihat bahwa bahasa slang adalah bahasa
yang sangat singkat. Banyak sekali kata baik dalam bahasa daerah maupun
bahasa Indonesia mengalami singkatan atau perubahan. Misalnya saja sebagai
contoh kata demi apa, dalam bahasa slang kata itu menjadi miapah. Dua kata
yang digabungkan menjadi satu tentu akan sangat membingungkan banyak
orang terutama bagi orang-orang yang ketinggalan informasi kata-kata
modern (slang).
Suatu percakapan menjadi sangat tidak santun karena tuturan yang
keluar dari mulut penutur tidak dimengerti maksudnya oleh mitra tutur atau
lawan tuturnya. Pranowo (2009:15) menuliskan setiap orang harus menjaga
kehormatan dan martabat diri sendiri. Hal ini dimaksudkan agar orang lain
juga mau menghargainya. Inilah hakikat berbahasa secara santun. Jadi,
apabila kita berusaha untuk bersikap dan berbicara santun terhadap mitra
tutur kita, secara tidak langsung kita pun akan mendapatkan perlakuan yang
Saat ini banyak kejadian memalukan berkaitan dengan bahasa yang
digunakan. Seseorang dapat membunuh rekannya sendiri hanya karena
kata-kata yang digunakan tidak berkenan dengan lawan tuturnya. Seorang yang
tidak lagi memperhatikan tuturan saat melakukan percakapan, biasanya juga
sangat terpengaruh dengan keadaan dan lingkungan sekitarnya. Kita tidak
bisa menyalahkan siapa pun tentang kesantunan berbicara tersebut karena
memang belum ada peraturan tertulis tentang berbahasa secara santun.
Sekolah yang menjadi tempat belajar, khususnya saat mempelajari bahasa
Indonesia hanya diajarkan tentang materi-materi yang mungkin tidak ada
hubungannya sama sekali tentang kesantunan berbahasa. Guru bahkan tidak
pernah mengatakan tentang batas-batas kesantunan berbahasa saat kita berada
di luar sekolah.
Santun tidaknya pemakaian bahasa dapat dilihat setidaknya dari
dua hal, yaitu pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa (Pranowo, 2009:16).
Pilihan kata yang dimaksudkan adalah bagaimana kita harus menggunakan
kata yang tepat saat kita bertutur kata dengan mitra tutur kita. Sebelum kita
mengatakan sesuatu tentu kita sudah memiliki konsep yang jelas terhadap apa
yang akan kita bicarakan. Tanggapan positif dari mitra tutur bisa menjadi
acuan bagi kita sejauh mana kesantunan bahasa yang kita ucapkan. Setelah
kita sudah memiliki konsep yang matang tentunya kita ingin membuat mitra
tutur merespon dengan baik tuturan kita. Gaya bahasalah yang menjadi
bumbu selanjutnya supaya mitra tutur kita benar-benar menjadi tertarik atas
Kelompok (komunitas) pesepeda merupakan suatu kelompok yang
muncul karena adanya kesamaan hobi/kegemaran. Munculnya bahasa slang
dalam komunitas tersebut tentunya disebabkan supaya komunikasi antar
anggota menjadi lancar dan mudah dimengerti. Satu komunitas dengan
komunitas lain tentu memiliki kata/frasa bahasa slang khusus yang mungkin
tidak dimiliki komunitas pesepeda yang lain. Hal ini bisa saja digunakan
sebagai kata kunci atau semacam rahasia terhadap sesama komunitas.
Komunitas tidak ingin kata yang sudah diciptakan dipakai dalam komunitas
lain. Hal yang menyedihkan ialah ketika suatu komunitas menciptakan suatu
kata slang tanpa memperhatikan kaidah dan aturan yang berlaku dalam
penggunaan bahasa.
Kesantunan itu tidak hanya dibutuhkan saat kita bertingkah laku,
melainkan kesantunan saat kita bertutur kata sangatlah dianjurkan.
Percakapan akan menjadi efektif apabila kita memperhatikan kesantunan saat
bertutur kata dengan mitra tutur dalam kondisi dan situasi apapun.
Kesantunan bahasa slang yang digunakan sebagai bahasa pergaulan dan
bahasa yang dimiliki oleh komunitas-komunitas tertentu tidak lagi menjadi
bahasa asing melainkan bisa menjadi bagian dari keanekaragaman bahasa
(variasi bahasa).
Berbagai masalah yang timbul akibat hadirnya bahasa slang
seharusnya memunculkan kreativitas dan kehati-hatian saat ingin
melihat dan meninjau kembali sejauh mana keefektifan bahasa slang sebagai
bahasa yang digunakan dalam bahasa percakapan suatu kelompok tertentu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah tingkat kesantunan tuturan bahasa slang di kalangan
kelompok-kelompok pesepeda di Yogyakarta?
2. Bagaimanakah efektivitas penggunaan bahasa slang sebagai bahasa
percakapan?
C. Tujuan Penelitian
1. Ingin mendeskripsikan tingkat kesantunan tuturan bahasa slang dalam
komunitas pesepeda di Yogyakarta.
2. Ingin mendeskripsikan efektivitas penggunaan bahasa slang sebagai
bahasa percakapan dalam komunitas sepeda Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan hasil dan manfaat bagi pihak-pihak terkait, antara
lain sebagai berikut.
1. Penelitian ini memberikan sumbangan tersendiri bagi dunia penelitian
2. Berbagai landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini dapat
menambah wawasan pembaca tentang tindak tutur, khususnya kesantunan
saat bertindak tutur dengan mitra tutur.
3. Penelitian ini mengajak pembaca mengerti akan penanda apa saja yang
membuat tuturan menjadi santun saat ada komunikasi dari penutur dan
mitra tutur.
4. Dengan mengetahui kesantunan berbahasa, masyarakat menjadi mengerti
akan bahasa yang digunakan sebagai bahasa percakapan dan alat
komunikasi dalam kehidupannya.
5. Penelitian ini diharapkan menjadi temuan yang dapat memperlancar
komunikasi dengan santun antara penutur dan mitra tutur.
E. Batasan Istilah
Pembahasan dalam penelitin ini tentunya hanya mencakup
beberapa hal saja, maka dari itu penulis mencantumkan batasan istilah yang
dipakai supaya pembahasan yang ada di dalamnya tidak melebar terlalu jauh
dan dapat dimengerti oleh pembacanya.
1. Slang
Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring mendefinisikan slang sebagai
ragam bahasa tidak resmi dan tidak baku yang sifatnya musiman, dipakai
oleh kaum remaja atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern
dengan maksud agar yang bukan anggota kelompok tidak mengerti. Pei &
suatu bentuk bahasa dalam pemakaian umum, dibuat dengan adaptasi
yang populer dan pengulasan makna dari kata-kata yang ada dan dengan
menyusun kata-kata baru tanpa memperhatikan standar-standar skolastik
dan kaidah-kaidah linguistik dalam pembentukan kata-kata pada
umumnya terbatas pada kelompok-kelompok sosial atau kelompok
tertentu.
2. Kesantunan
KBBI Daring mendefinisikan santun sebagai halus dan baik (budi
bahasanya, tingkah lakunya). Fraser (Gunarwan, 1994:88) mengartikan
kesantunan sebagai property yang diasosiasikan dengan ujaran dan di
dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si penutur tidak melampaui
hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibannya. Dari
definisi tersebut kita mengetahui bahwa yang mengukur seberapa
santunnya tuturan adalah orang lain, bukan penuturnya.
3. Diksi
Istilah pilihan kata atau diksi bukan saja dipergunakan untuk menyatakan
kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau
gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa dan
ungkapan (Keraf, 1981:22). Jadi, tuturan yang terucap, sebenarnya sudah
tersusun dan telah dipilih untuk menyatakan suatu maksud tertentu
4. Gaya Bahasa
Gaya bahasa dikenal dengan sebutan style. Style tersebut kemudian
berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau
mempergunakan kata-kata secara indah (Keraf, 1981:112). Gaya bahasa
penting digunakan karena gaya bahasa diibaratkan sebagai bumbu yang
menambah rasa dalam bahasa yang kita gunakan.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Sebagai
suatu penelitian deskriptif kualitatif, penelitian ini hanya dibatasi pada upaya
mendeskripsikan tingkat kesantunan pada tuturan yang terdapat dalam
komunitas pesepeda. Komunitas pesepeda yang diteliti adalah komunitas
pesepeda yang berada di Kota Yogyakarta.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut. Pada
bab I akan diuraikan tentang pendahuluan, yang terdiri dari: latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, ruang
lingkup penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berisi kajian pustaka,
yang terdiri dari penelitian terdahulu, landasan teori dan kerangka berpikir.
Bab III berisi tentang metode penelitian, yang terdiri dari jenis penelitian,
sumber data dan data, metode pengumpulan data, instrumen penelitian, dan
terdiri dari deskripsi data, hasil penelitian dan pembahasan. Bab V berisi
penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
13 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Ada beberapa tulisan yang relevan dengan penelitian ini.
Penelitian-penelitian tersebut menjadi acuan peneliti dalam merumuskan dan melihat
kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam meneliti tingkat kesantunan
penggunaan bahasa yang ada di sekitar kita.
Penelitian yang dilakukan oleh Ventianus Sarwoyo berjudul “Tindak
Ilokusi dan Penanda Tingkat Kesantunan Tuturan di dalam Surat Kabar”.
Berkaitan dengan tuturan, penelitian ini menyimpulkan dalam suatu tuturan yang
diucapkan memberikan penilaiannya (berpersepsi) terhadap tuturan dari sopan
santunnya. Ada enam jenis penanda tingkat kesantunan tuturan yang ditemukan,
yakni: 1) analogi, 2) diksi atau pilihan kata, 3) gaya bahasa, 4) penggunaan
keterangan atau modalitas, 5) penyebutan subjek yang menjadi tujuan tuturan, dan
6) bentuk tuturan. Di dalam suatu tuturan, penanda-penanda ini dapat terjadi
hanya digunakan satu jenis penanda. Namun, dapat juga di dalam satu tuturan
terkandung lebih dari satu penanda yang digunakan oleh penutur.
Penelitian yang dilakukan oleh Mujiyono Wiryotinoyo berjudul
“Analisis Pragmatik dalam Penelitian Penggunaan Bahasa” (Jurnal Bahasa dan
Seni, 2006:153-163). Berkaitan dengan tuturan, penelitian ini memberi
kesimpulan bahwa analisis pragmatik dapat dimanfaatkan untuk memahami dan
Penelitian yang dilakukan oleh Dr. H. Jamal, M.Pd., berjudul
“Kesantunan dalam Perspektif: Suatu Telaah Sosiopragmatik Penggunaan
Bahasa di BDK Surabaya” (Artikel Balai Diklat Keagamaan Surabaya, hlm.
1-12). Dalam penelitiannya, Jamal memberikan beberapa kesimpulan tentang
kesantunan berbahasa. Ia menuliskan bahwa setiap masyarakat mempunyai
seperangkat norma yang terdiri atas sejumlah kaidah eksplisit untuk menentukan
kesantunan berbahasa. Kaidah itu ditentukan oleh perilaku tertentu, lingkungan,
dan cara berpikir masyarakat tersebut.
B. Landasan Teori
Ilmu pragmatik merupakan salah satu ilmu yang mengkaji tentang
penggunaan bahasa. Pragmatik sendiri mengkaji tentang penggunaan bahasa
sebagai alat komunikasi manusia. Bidang kajian ilmu pragmatik lebih
mengarahkan kajiannya tentang maksud atau daya suatu ujaran. Kesantunan
tuturan dalam bahasa saat ini bisa diukur melalui bidang kajian ilmu pragmatik
karena dalam setiap tuturan tentu terkandung maksud yang ingin disampaikan
kepada mitra tutur (lawan tutur).
Yule (1996:5) memberi arti pragmatik sebagai studi tentang hubungan
antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu. Ia juga
mengatakan manfaat belajar bahasa melalui pragmatik ialah bahwa seseorang
dapat bertutur kata tentang makna yang dimaksudkan orang, asumsi mereka,
maksud dan tujuan mereka, dan jenis-jenis tindakan. Sebagai contoh manfaat
dengan orang lain. Pragmatik mengajari bagaimana memahami makna yang
terdapat dalam setiap tuturan dalam suatu percakapan yang dilakukan oleh dua
orang atau lebih.
Purwo (1990:1-2) menuliskan bahwa pragmatik dapat dibedakan
menjadi dua hal: (1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan atau (2) pragmatik
sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar. Bagian (1) dibedakan lagi
menjadi dua hal (a) pragmatik sebagai bidang kajian linguistik, dan (b) pragmatik
sebagai salah satu segi di dalam bahasa. Pernyataan tersebut menggambarkan
bahwa bidang kajian pragmatik merupakan salah satu ilmu yang digunakan untuk
mengajarkan kepada setiap orang ilmu tentang bahasa. Penggunaan bahasa akan
lebih baik jika dapat mengerti akan bahasa itu sendiri.
Kegiatan komunikasi merupakan suatu kegiatan yang pasti terjadi
dalam kehidupan ini. Tidak mungkin dapat melakukan suatu hal dengan orang
lain tanpa adanya komunikasi. KBBI Daring mendefinisikan komunikasi sebagai
pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga
pesan yang dimaksud dapat dipahami; hubungan; kontak. Kegiatan komunikasi
tak bisa dipungkiri harus melibatkan lebih dari satu orang di dalamnya.
Komunikasi tidak bisa berjalan dengan baik apabila tidak ada sesuatu yang
dikirim dan yang menerima, dalam hal ini menerima suatu informasi.
Subbab ini ingin menjelaskan beberapa hal, khususnya yang berkaitan
dengan penggunaan bahasa slang dan bagaimana tingkat kesantunan bahasa slang
sebagai ragam bahasa. Hal-hal apa saja yang mempengaruhi tingkat kesantunan
1. Teori Kesantunan Berbahasa
Kesantunan oleh Yule disamakan dengan kesopanan. Kesopanan
dalam suatu interaksi didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk
menunjukkan kesadaran tentang wajah orang lain. Dalam hal ini kesopanan
dapat disempurnakan dalam kejauhan dan kedekatan sosial (Yule, 1996:104).
Saat melakukan komunikasi dengan orang lain, hal yang dibutuhkan ialah
mengetahui jenjang sosial dalam kehidupan. Misalnya saja saat berbicara
dengan dosen/guru, bahasa yang digunakan tentunya tidak sama dengan
bahasa pergaulan dengan teman-teman sebaya.
Berbahasa secara santun akan membuat seseorang mendapatkan
simpati dari lawan tutur/mitra tutur. Banyak hal yang perlu diperhatikan
bahkan dipelajari supaya dapat menggunakan bahasa secara santun,
khususnya dalam percakapan yang dilakukan dengan mitra tutur. Kesantunan
saat berbahasa membawa penutur dan mitra tutur menjadi saling mengerti.
Sikap saling mengerti dapat memperlancar kegiatan komunikasi yang sedang
berlangsung.
Kesantunan berbahasa memegang kedudukan penting dalam
kehidupan bermasyarakat. Dikatakan sebagai kedudukan penting karena saat
berbahasa secara santun, maka dalam tuturan tersebut sudah mencerminkan
diri tiap penuturnya secara utuh. Struktur bahasa yang santun adalah struktur
bahasa yang disusun oleh penutur/penulis agar tidak menyinggung perasaan
pendengar atau pembaca (Pranowo, 2009:4). Kesantunan berkaitan erat
Banyak hal yang harus diperhatikan supaya tuturan menjadi santun.
Penelitian ini menguraikan bagaimana dan apa saja yang harus diperhatikan
saat bertutur kata. Beberapa ahli menuliskan hal-hal yang mungkin dapat
diterapkan saat bertutur kata, seperti prinsip kesantunan, cara berkomunikasi
secara santun, indikator yang perlu diperhatikan supaya tuturan menjadi
santun, dan juga kaidah-kaidah kesantunan yang ada dalam bahasa Indonesia.
a. Prinsip kesantunan
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan prinsip kesantunan yang
dikemukakan oleh Leech. Prinsip yang dikemukakan oleh Leech lebih
dikenal sebagai prinsip kerja sama, dalam hal ini kerja sama antara penutur
dan mitra tutur saat melakukan tuturan. Prinsip kesantunan Leech (1983)
dalam Rahardi (2005:59) ialah prinsip kesantunan yang sampai saat ini
dianggap paling lengkap, paling mapan, dan relatif paling komprehensif.
Rumusan itu selengkapnya tertuang dalam enam maksim interpersonal
sebagai berikut.
1)Tact maxim: minimize cost to other. Maximize benefit to other.
2)Generosity maxim: minimize benefit to self. Maximize cost be self.
3)Approbation maxim: minimize dispraise. Maximize to other.
4)Modesty maxim: minimize praise of self. Maximize dispraise of self.
5)Agreement maxim: minimize disagreement between self and other.
Maximize agreement between self and other.
6)Sympathy maxim: minimize antiphaty between self other. Maximize
Sebelum membahas keenam maksim Leech, Wijana (1996:55-56)
menerangkan tentang berbagai bentuk ujaran yang digunakan untuk
mempermudah menangkap makna yang terkandung di dalam maksim
tersebut. Bentuk-bentuk ujaran tersebut yaitu bentuk ujaran komisif
digunakan untuk menyatakan janji atau penawaran. Ujaran impositif
digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran ekspresif
digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu
keadaan. Ujaran asertif digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi
yang diungkapkan.
Wijana (1996:56-61) membahasakan keenam maksim Leech tersebut
secara lebih ringkas berturut-turut sebagai berikut.
1) Maksim kebijaksanaan: Maksim ini diutarakan dengan tuturan impositif
dan komisif. Maksim ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk
meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi
orang lain.
2) Maksim penerimaan: Maksim penerimaan diutarakan dengan kalimat
komisif dan imposif. Maksim ini mewajibkan penutur untuk
memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan
diri sendiri.
3) Maksim kemurahan: Maksim ini diutarakan dengan menggunakan kalimat
ekspresif dan kalimat asertif. Maksim kemurahan ini menuntut peserta
pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan
4) Maksim kerendahan hati: Maksim kerendahan hati ini diungkapkan
dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim kerendahan hati berpusat
pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk
memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan
rasa hormat pada diri sendiri.
5) Maksim kecocokan: Maksim ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif
dan asertif. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan
tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan
meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka.
6) Maksim Kesimpatian: Maksim ini juga diungkapkan dengan tuturan asertif
dan ekspresif. Maksim kesimpatian ini mengharuskan setiap peserta
pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa
antipati kepada lawan tuturnya.
Lain halnya dengan Rahardi, Pranowo (2009:21) menuliskan prinsip
kesantunan Leech ada tujuh. Prinsip ketujuh dari Leech tersebut adalah
maksim pertimbangan (consideration maxim). Maksim pertimbangan adalah
maksim yang menyatakan bahwa penutur hendaknya meminimalkan perasaan
tidak senang kepada mitra tutur. Maksud dari pernyataan tersebut adalah
bahwa penutur diharapkan bisa membuat mitra tuturnya merasa lega terhadap
pertuturan yang sedang berlangsung. Penutur diharapkan dapat
b. Berkomunikasi secara santun
Komunikasi merupakan suatu kegiatan yang lebih kompleks karena
harus bisa melihat situasi dan kondisi saat tuturan antara penutur dan mitra
tutur terjadi. Penggunaan bahasa yang baik dan benar saja belum cukup untuk
melakukan kegiatan berkomunikasi. Seseorang yang mampu berbahasa secara
baik berarti sudah mampu menggunakan bahasa sesuai dengan ragam dan
situasi (Pranowo, 2009:4). Sedangkan bahasa yang benar adalah bahasa yang
dipakai sesuai dengan kaidah yang berlaku (Pranowo, 2009:5).
Agar komunikasi bisa berjalan secara santun, penutur perlu
mengetahui strategi bagaimana supaya bahasa yang digunakan menjadi
santun. Pranowo (2009:39-46) menyebutkan tiga strategi supaya kita dapat
berkomunikasi dengan santun.
1) Apa yang dikomunikasikan: Setiap orang yang berkomunikasi dengan
orang lain harus ada yang dibicarakan. Ketika seseorang berkomunikasi
dengan orang lain tetapi tidak jelas tentang pokok masalah
pembicaraannya, maka mitra tutur akan menilai bahwa penutur itu tidak
berkualitas. Pembicaraan menjadi tidak terarah dan tidak konsekuen dan
bahkan bisa saja dalam suatu pembicaraan penutur bisa membahas
beberapa pokok masalah sehingga membuat mitra tuturnya menjadi
bingung.
2) Bagaimana cara berkomunikasi: Hal ini mengarah pada cara
menyampaikan maksud dari pembicaraan antara penutur dan mitra tutur.
diberikan oleh penutur cukup seperlunya saja, jangan kurang dan jangan
lebih.
3) Mengapa sesuatu hal perlu dikomunikasikan: Penutur diajak untuk
bersikap jujur. Apa yang diungkapkan harus sesuai dengan hati nuraninya.
Jadi, apa yang akan dibicarakan harus benar-benar dipikirkan secara
matang supaya tidak terjadi salah paham antara penutur dan mitra tutur.
Untuk menentukan kesantunan bahasa verbal lisan kita juga perlu
memperhatikan aspek intonasi (keras lembutnya intonasi ketika seseorang
berbicara), aspek nada bicara (berkaitan dengan suasana emosi penutur: nada
resmi, nada bercanda atau bergurau, nada mengejek, nada menyindir), faktor
pilihan kata, dan faktor struktur kalimat (Pranowo, 2009:76).
Intonasi harus diperhatikan saat berkomunikasi supaya mitra tutur
merasa nyaman saat komunikasi sedang berlangsung. Tidak mungkin seorang
dengan jarak yang dekat akan menggunakan intonasi yang keras saat sedang
berkomunikasi dengan mitra tuturnya. Hal tersebut bisa saja menyindir mitra
tutur karena seolah menganggap mitra tutur tuli sehingga penutur harus
menggunakan intonasi yang keras saat sedang berbicara dengan mitra
tuturnya.
Nada berkaitan erat dengan perasaan. Misalnya saja saat sedang
bersedih, nada bicara dapat mewakili suasana hati dengan menurunkan nada
bicara sehingga menjadi datar. Sebaliknya, apabila sedang merasa senang,
bicara merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan supaya apa yang
dirasakan bisa tersampaikan kepada mitra tutur.
Dalam bahasa lisan, kesantunan juga dipengaruhi oleh faktor bahasa
nonverbal, seperti gerak-gerik anggota tubuh, kerlingan mata, gelengan
kepala, acungan tangan, kepalan tangan, tangan berkacak pinggang, dan
sebagainya (Pranowo, 2009:78). Gerak-gerik anggota tubuh biasanya terjadi
secara tidak kita sadari. Alwasillah (1985:13) menuliskan bahwa aspek-aspek
ini tidak perlu dibukukan atau sengaja diajarkan secara formal pada mereka
dan penerus mereka. Faktor bahasa nonverbal merupakan hal yang dipelajari
sebelum kita bisa bertutur kata, maka bahasa nonverbal dapat juga disebut
sebagai bumbu bahasa dalam percakapan.
c. Kriteria (skala) kesantunan
Kriteria (skala) ialah ukuran yang menjadi dasar penilaian atau
penetapan sesuatu (KBBI Daring). Banyak hal yang bisa dijadikan sebagai
ukuran suatu kesantunan, khususnya kesantunan dalam bahasa. Beberapa ahli
telah merangkum berbagai teori sebagai ukuran (skala) kesantunan. Tentunya
seseorang harus benar-benar mengetahui sesantun apakah tuturan yang
terucap, supaya dalam melakukan percakapan dengan mitra tuturnya tidak
menyinggung atau menyakiti mitra tuturnya.
Di bawah ini akan dijelaskan beberapa kriteria (skala) kesantunan
1) Skala Kesantunan Leech
Skala kesantunan yang dipaparkan oleh Leech terdiri dari lima skala
kesantunan saat bertutur kata.
a) Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, ukuran dari
skala ini ialah semakin tuturan merugikan diri penutur, akan dianggap
semakin santunlah tuturan tersebut. Sebaliknya, semakin tuturan itu
menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah
tuturan tersebut. Dalam hal ini, penutur sebisa mungkin harus bersikap
rendah hati saat bertutur kata. Seorang penutur tidak seharusnya
sombong dan angkuh bahkan tidak peduli dengan mitra tuturnya,
tetapi seorang penutur harus bisa membuat mitra tuturnya merasa
tidak dirugikan saat sedang melakukan percakapan.
b) Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau
sedikitnya pilihan (option) yang disampakan si penutur kepada si
mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu
memungkinkan penutur atau mitra tutur untuk menentukan pilihan
yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan
itu.
c) Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada
peringkat langsung atau tudak langsungnya maksud sebuah tuturan.
Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak
santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung,
Di negara Indonesia ini, skala ketidaklangsungan sering terjadi pada
masyarakat Jawa. Biasanya mereka menyampaikan sesuatu tidak
secara langsung melainkan harus berputar-putar sampai akhirnya ke
inti permasalahan yang ingin diutarakan.
d) Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan
status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam
pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan
mitra tutur. Tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin
santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di
antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan
tuturan yang digunakan dalam bertutur. Hal ini sangat jelas, saat
berbicara dengan seseorang yang jabatannya lebih tinggi darinya,
tentu bahasa yang digunakan akan sangat berbeda dengan bahasa yang
digunakan jika sedang bertutur kata dengan teman. Maka dari itu,
status sosial juga sangat mempengaruhi dan bisa menjadi tolok ukur
suatu kesantunan dalam berbahasa.
e) Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada
peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat
dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat
jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan semakin kurang
santunlah tuturan itu. Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan
antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat/skala
2) Skala kesantunan Brown and Levinson
Brown dan Levinson hanya mencantumkan tiga kriteria (skala) supaya
bahasa yang kita gunakan itu santun. Tiga kriteria (skala) tersebut
ditentukan secara kontekstual, sosial, dan kultural. Uraian dari ketiga
kriteria di atas akan dijelaskan lebih lanjut seperti di bawah ini.
a) Social distance between speaker and hearer atau skala peringkat jarak
sosial antara penutur dan mitra tutur. Skala ini banyak ditentukan oleh
parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang
sosiokultural.
b) The speaker and hearer relatif power atau Skala peringkat status
sosial antara penutur dan mitra tutur, seringkali disebut dengan
peringkat kekuasaan (power rating) didasarkan pada kedudukan
asimetrik (adanya kesenjangan) antara penutur dan mitra tutur.
c) The degree of imposition associated with required expenditure of
goods or services atau skala peringkat (rank rating) tindak tutur,
didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak
tutur lainnya.
3) Skala kesantunan Robin Lakoff
Seperti halnya Brown dan Levinson, Robin Lakoff juga merangkum
kriteria (skala) kesantunan tuturan menjadi tiga bagian. Ketiga skala
tersebut ialah skala formalitas, skala ketidaktegasan, dan skala kesamaan
tersebut menjadi jelas, di bawah ini akan dijelaskan tentang ketiga kriteria
(skala) yang dimaksudkan oleh Robin Lakoff.
a) Formality scale atau skala formalitas. Skala ini dinyatakan agar para
peserta tutur dapat merasa nyaman dan kerasan dalam kegiatan
bertutur. Tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan
tidak boleh berkesan angkuh. Dalam kegiatan bertutur, masing-masing
peserta tutur harus dapat menjaga keformalitasan dan menjaga jarak
yang sewajarnya antara yang satu dengan lainnya.
b) Hesitancy scale atau skala ketidaktegasan. Skala ini menunjukkan
bahwa penutur dan mitra tutur dapat saling merasa nyaman dalam
bertutur. Pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua
belah pihak. Seseorang tidak diperbolehkan bersikap terlalu tegang
dan terlalu kaku di dalam kegiatan bertutur karena akan dianggap
tidak santun.
c) Equality scale atau skala kesekawanan (kesamaan). Orang harus
bersikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak
satu dengan pihak lainnya. Agar tercapai maksud demikian, penutur
haruslah menganggap mitra tutur sebagai sahabat. Dengan
menganggap pihak yang satu sebagai sahabat bagi pihak lainnya, rasa
kesekawanan dan kesejajaran sebagai salah satu prasyarat kesantunan
akan dapat tercapai (Rahardi, 2005:66-70).
Dari pemaparan ketiga ahli bahasa tersebut, kemudian kita dapat
penjelasan yang diberikan oleh Leech, Brown dan Levinson, serta Robin
Lakoff, mereka menjelaskan beberapa kriteria (skala) kesantunan yang
isinya hampir sama. Pada dasarnya pemikiran ketiga tokoh di atas sama,
karena ketiga unsur yang disebutkan oleh masing-masing ahli banyak
kesamaan maksud di dalamnya.
Jika disimpulkan secara singkat, kriteria kesantunan yang harus
diperhatikan ialah jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, adanya satu
pilihan saat kita bertutur, status sosial, ketidaklangsungan menyampaikan
maksud saat bertutur kata, kedekatan dengan mitra tutur, dan adanya
otoritas antara penutur dan mitra tutur.
Gunarwan (1994:91-93) menuliskan pendapat Leech berkaitan
dengan skala kesantunan. Ia menuliskan bahwa ada tiga skala yang perlu
kita pertimbangkan untuk “menilai” derajat kesantunan sebuah direktif.
Ketiga skala itu, yang kesemuanya terangkum ke dalam skala pragmatik,
adalah skala biaya-keuntungan, skala keopsionalan, dan skala
ketaklangsungan. Dalam hal ini, kesantunan direktif (dari yang paling
kurang santun sampai yang paling santun) adalah fungsi (dalam pengertian
perhitungan diferensial-integral) dari ketiga skala tersebut. Di bawah ini
akan dicontohkan skala pertama yaitu skala biaya-keuntungan
(untung-rugi) dalam kaitannya dengan penutur (pur) dan pendengar (par). Skala ini
menjelaskan mengapa, walaupun sama-sama bermodus imperatif (dan
intonasi serta nada bertutur juga sama), ujaran-ujaran di bawah ini semakin
(1) Bersihkan toilet saya
(2) Kupaskan mangga
(3) Ambilkan koran di meja itu
(4) Beristirahatlah
(5) Dengarkan lagu kesukaanmu ini
(6) Minum kopinya
Dari contoh skala biaya-keuntungan di atas, kita bisa melihat
bahwa dalam tuturan modus imperatif juga pun memiliki tingkat
kesantunan yang berbeda. Apabila diamati dan dibaca dengan cermat
mulai dari contoh (1) sampai (5) perbedaan itu bisa kita lihat. Misalnya
saja pada kalimat (1) pur murni memberikan perintah kepada par tanpa
adanya imbalan sama sekali. Itu menunjukkan bahwa par mengalami
kerugian. Sedangkan pada (5) pur memerintahkan par untuk meminum
kopi. Secara tidak langsung par akan mendapatkan keuntungan apabila ia
meminum kopi tersebut.
Kedua, skala keopsionalan, dipakai untuk “menghitung” berapa
pur memberi par pilihan dalam melaksanakan tindakan. Makin besar
jumlah pilihan, makin santunlah tindak ujarnya.
(1) Pindahkan kotak ini
(2) Kalau tidak lelah, pindahkan kotak itu
(3) Kalau tidak lelah dan ada waktu,
(4) Kalau tidak lelah dan ada waktu, pindahkan kotak ini – itu kalau kamu mau
(5) Kalau tidak lelah dan ada waktu, pindahkan kotak ini – itu kalau kamu mau dan tidak berkeberatan
Skala ketiga, skala ketaklangsungan, dipakai untuk “mengukur”
ketaklangsungan tindak ujaran: seberapa panjang jarak yang “ditempuh”
oleh daya ilokuksioner sampai ia tiba di tujuan ilokusioner.
(1) Jelaskan persoalannya
(2) Saya ingin Saudara menjelaskan persoalannya.
(3) Maukah Saudara menjelaskan persoalannya?
(4) Saudara dapat menjelaskan persoalannya.
(5) Berkeberatankah Saudara menjelaskan
persoalannya?
d. Indikator kesantunan
Agar tuturan menjadi santun ada beberapa indikator kesantunan yang
perlu diperhatikan. Beberapa indikator tersebut telah dikemukakan oleh para
ahli. Pranowo (2009:100-104) menuliskan beberapa indikator kesantunan
oleh para ahli yang harus diperhatikan supaya komunikasi bisa berjalan
dengan baik.
1) Indikator kesantunan Dell Hymes (1978)
a) (S) Setting and Scene (latar) mengacu pada tempat dan waktu
terjadinya komunikasi.
Lebih langsung
Lebih tak langsung
Kurang santun
b) (P) Participants (peserta) mengacu pada tujuan yang ingin dicapai
dalam berkomunikasi. Lebih mengarah kepada sikap untuk saling
menjaga dan menghormati perasaan baik dari penutur atau dari mitra
tutur.
c) (E) Ends (tujuan komunikasi) mengacu pada tujuan yang akan dicapai
dalam berkomunikasi. Berkaitan dengan ini, tuturan yang diutarakan
oleh penutur harus lebih halus dan jangan sampai mitra tutur sakit hati
terhadap tuturan penutur.
d) (A) Act Sequence (pesan yang ingin disampaikan) mengacu pada
bentuk dan pesan yang ingin disampaikan. Bentuk pesan dapat
disampaikan dalam bahasa tulis misalnya berupa permintaan,
sedangkan isi pesan ialah wujud permintaannya.
e) (K) Key (kunci) mengacu pada pelaksanaan percakapan. Maksudnya,
bagaimana pesan tersebut disampaikan kepada mitra tutur (cara
penyampaian).
f) (I) Instrumentalities (Sarana) mengacu pada bentuk dan gaya bicara.
Maksudnya, penutur harus mempunyai gaya bicara saat bertutur kata
supaya menjadi menarik bagi mitra tuturnya (Emiritus, 1995:7).
g) (N) Norms (norma) yaitu pranata sosial kemasyarakatan yang
mengacu pada norma perilaku partisipan dalam berkomunikasi.
h) (G) Genres (ragam, register) mengacu pada ragam bahasa yang
2) Indikator kesantunan Grice (2000)
a) Ketika berbicara harus mampu menjaga martabat mitra tutur agar
tidak merasa dipermalukan.
b) Ketika berkomunikasi tidak boleh mengatakan hal-hal yang kurang
baik mengenai diri mitra tutur atau orang atau barang yang ada
kaitannya dengan mitra tutur.
c) Tidak boleh mengungkapkan rasa senang atas kemalangan mitra tutur.
d) Tidak boleh menyatakan ketidaksetujuan dengan mitra tutur sehingga
mitra tutur merasa jatuh harga dirinya.
e) Tidak boleh memuji diri sendiri atau membanggakan nasib atau
kelebihan diri sendiri.
3) Indikator kesantunan Leech (1983)
a) Tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur (maksim
kebijaksanaan “tact maxim”)
b) Tuturan lebih baik menimbulkan kerugian pada penutur (maksim
kedermawanan “generosity maxim”)
c) Tuturan dapat memberikan pujian kepada mitra tutur (maksim pujian
“praise maxim”)
d) Tuturan tidak memuji diri sendiri (maksim kerendahan hati “Modesty
maxim”)
e) Tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur (maksim
f) Tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami
oleh mitra tutur (maksim simpati “thy maxim”)
g) Tuturan dapat mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang pada
mitra tutur (maksim pertimbangan “consideration maxim”)
4) Indikator kesantunan Pranowo (2005)
a) Angon rasa: memperhatikan suasana hati mitra tutur dan sebisa
mungkin membuat hati mitra tutur berkenan.
b) Adu rasa: mempertemukan perasaan penutur dan mitra tutur supaya
isi komunikasi menjadi sama-sama dikehendaki.
c) Empan papan: menjaga tuturan agar dapat diterima oleh mitra tutur.
d) Sifat rendah hati: menjaga agar penutur memperlihatkan
ketidakmampuannya di hadapan mitra tutur.
e) Sikap hormat: memposisikan mitra tutur pada tempat yang lebih
tinggi.
f) Sikap tepa selira: tuturan memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan
kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur.
Berkaitan tentang teori-teori tentang indikator di atas, dapat dilihat
bahwa kesantunan suatu tuturan ternyata memiliki beberapa indikator yang
dapat digunakan sebagai acuan saat bertutur dengan mitra tutur. Dilihat dari
beberapa indikator yang ada, indikator-indikator kesantunan di atas dibuat
berdasarkan kehidupan di masyarakat dalam melakukan suatu pertuturan
2. Bahasa Slang
Penggunaan kata slang yang semakin marak menambah ragam
bahasa yang terdapat di negara Indonesia. Keraf (1981:108) mendefinisikan
kata slang sebagai kata-kata nonstandar yang informal, yang disusun secara
khas; atau kata-kata biasa yang diubah secara arbitrer; atau kata-kata kiasan
khas, bertenaga dan jenaka yang dipakai dalam percakapan. Bahasa slang
yang hadir saat ini memang tampak telah disusun secara khas, karena mudah
dimengerti bagi kelompoknya, dan juga hanya dipakai sebagian orang saja.
Kata slang sebenarnya bukan hanya digunakan oleh kaum muda
saja. Semua orang tanpa batasan apapun sebenarnya seringkali menggunakan
bahasa slang sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Kesadaran dalam
pemakaian bahasa slang tersebut yang sebenarnya perlu ditinjau ulang dan
dilihat secara lebih serius. Pei dan Gaynor (1954) dalam Alwasilah
(1985:56-57) menuliskan ”a style of language in faitly common use, produced by
popular adaptation and extension of the meaning of existing words and by
coining new words with disregard for scholastic standards and linguistic
principles of the formation of words, generally peculiar to certain classes and
social or age groups”. Intinya, Pei dan Gaynor ingin mengatakan bahwa
slang merupakan bentuk bahasa yang dipakai secara umum, kemudian dibuat
dengan adaptasi yang populer (sesuai dengan zamannya), dan kemudian
menyusun kata-kata baru tersebut tanpa melihat standar atau kaidah-kaidah
kebahasaan yang ada. Pada umumnya hanya digunakan oleh
Alwasillah (1985:57) juga mengutip tulisan Hartman & Stork
(1972:120) yang mendefinisikan kata slang. “a variety of speech
characterized by newly coined and rapidly changing vocabulary, used by the
young or by social and professional groups for ‘in-group’ communication
and thus tending top revent understanding by the rest of the speech
community”. Mereka mengatakan bahwa slang merupakan berbagai ujaran
yang ditandai dengan kosakata baru yang diciptakan, tetapi kemudian
kosakata tersebut cepat berubah, biasanya digunakan oleh generasi muda atau
kelompok sosial dan profesional. Bahasa ini digunakan untuk komunikasi
'dalam kelompok'. Dengan demikian cenderung tidak seluruh masyarakat
mengetahui tuturan yang digunakan dalam kelompok tersebut.
Bahasa slang yang telah dikenal tidak bisa bertahan lama karena
bahasa tersebut ternyata adalah bahasa musiman. Kebosanan setiap orang
dalam penggunaan bahasa slang terletak pada intensitas penggunaan bahasa
tersebut. Semakin sering bahasa baru digunakan dan semakin banyak orang
mengetahui bahasa tersebut, maka bahasa tersebut lama-kelamaan tidak akan
lagi dipakai karena setiap orang pasti memiliki titik jenuh terhadap sesuatu.
Sebagai contoh kata slang yang sering digunakan, kata ”ciyus” yang memiliki
arti serius. Kata itu muncul pada akhir tahun 2012, belum mencapai umur
yang panjang kata tersebut saat ini sudah sangat jarang digunakan.
Kita bisa melihat pada awal mula kemunculan kata tersebut,
menggunakan kata tersebut untuk menjawab atau menanggapi sesuatu yang
sebenarnya penting. Misalnya saja dalam suatu percakapan:
(A)Hei, hari ini kamu kelihatan sumringah, ada apa? (B)Ciyuuss…??
Dari percakapan tersebut kita mengetahui bahwa percakapan secara tidak
langsung tidak dapat dilanjutkan. Penutur yang bertanya secara halus dan
sopan ternyata hanya dibalas dengan jawaban singkat dan bahkan itu pun
tidak menjawab pertanyaan dari penutur sama sekali. Mitra tutur seakan tidak
mengerti keadaan/situasi yang terjadi saat itu.
Kadangkala kata slang dihasilkan dari salah ucap yang disengaja,
atau kadangkala berupa pengrusakan sebuah kata biasa untuk mengisi suatu
bidang makna yang lain (Keraf, 1985:108). Secara tak langsung, Keraf ingin
mengatakan bahwa kata slang itu muncul karena kebiasaan ngawur saat
bertutur kata. Saat seseorang mengucapkan sesuatu dan menghasilkan ucapan
yang mungkin terdengar menarik bahkan mudah untuk dimengerti, maka
dengan persetujuan bersama (kelompok tertentu) kata tersebut digunakan
sebagai bahasa percakapan.
Keraf (1985:109) menuliskan bahwa kata-kata slang memiliki dua
kekurangan. Pertama, hanya sedikit yang hidup terus; kedua, pada umumnya
kata-kata slang menimbulkan ketidaksesuaian. Hal ini terjadi seperti telah
dikatakan di atas, semakin bahasa tersebut terlalu sering digunakan, maka
bahasa tersebut akan segera lusuh dan kehilangan tenaganya. Kita harus
mengetahui bagaimana keindahan suatu bahasa, supaya bahasa yang kita
3. Faktor Kebahasaan sebagai Penanda Kesantunan
Kesantunan merupakan hal yang dibutuhkan setiap orang dalam
melakukan interaksi. Terjadinya interaksi yang ideal membutuhkan suatu
penanda supaya apa yang dikomunikasikan menjadi jelas dan berjalan dengan
lancar. Hubungan antara penutur dan mitra tutur menjadi lebih baik karena
keduanya saling mengerti apa yang sedang dipercakapkan. Berikut dijelaskan
tentang dua faktor kebahasaan yang bisa dijadikan sebagai penanda
kesantunan saat bertindak tutur.
a. Pemakaian pilihan kata (diksi)
Kemunculan bahasa slang bisa dijadikan sebagai kekayaan bahasa
dalam ragam bahasa. Bahasa slang muncul supaya komunikasi yang terjadi di
kalangan tertentu menjadi mudah dan lancar. Hanya saja kemunculan bahasa
slang tersebut kurang memperhatikan diksi dalam menggunakan kata.
Beberapa bahasa slang malah banyak yang menimbulkan kata menjadi tidak
benar. Memang bahasa slang digunakan untuk mempermudah seseorang
dalam berkomunikasi, tetapi kemudahan itu malah menjadikan bahasa slang
yang muncul sebagai bentuk ragam bahasa tidak memperhatikan ketepatan
dalam pemilihan kata.
Diksi atau lebih dikenal sebagai pilihan kata tidak hanya digunakan
untuk mengungkapkan suatu gagasan, ide, gaya bahasa, dan ungkapan (Keraf,
1985:21-22). Diksi merupakan suatu cara bagaimana kita mempelajari dan
menggunakan kata secara benar. Seorang yang sedang melakukan tuturan
bisa berjalan dengan benar. Ide dan gagasan yang dituangkan harus
benar-benar matang, supaya jangan sampai kita menyinggung perasaan mitra tutur
saat sedang melakukan percakapan.
Adalah suatu kekhilafan yang besar untuk menganggap persoalan
pilihan kata adalah persoalan yang sederhana, persoalan yang tidak perlu
dibicarakan atau dipelajari karena akan terjadi dengan sendirinya secara wajar
pada setiap manusia (Keraf, 1985:23). Pilihan kata bagi Keraf bukanlah
permasalahan bagaimana kita memilih kata secara benar, tetapi juga ini
menyangkut bagaimana tuturan dari penutur bisa diterima oleh mitra tutur.
Setiap kata yang terucap harus mengandung arti dan maksud tentang apa yang
sedang dibicarakan. Seseorang tidak boleh berucap dengan asal-asalan,
bahkan sampai tidak ada artinya.
Finoza (2005:105-106) menuliskan ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pilihan kata. Pertama, kemahiran memilih kata hanya dimungkinkan bila seseorang menguasai kosakata yang cukup luas. Kedua, diksi atau pilihan kata mengandung pengertian upaya kemampuan membedakan secara tepat kata-kata yang memiliki nuansa makna serumpun. Ketiga, diksi atau pilihan kata menyangkut kemampuan untuk memilih kata-kata yang tepat dan cocok untuk situasi tertentu.
Dari ketiga hal penting tersebut, tentunya kita semakin mengerti akan
fungsi dari diksi tersebut. Sebagai masyarakat yang menggunakan bahasa
sebagai alat komunikasi, kita tentunya harus bisa menerapkannya dalam
kehidupan kita supaya dalam melakukan percakapan satu sama lain bisa