• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAT KESANTUNAN DAN KEEFEKTIFAN TUTURAN BAHASA SLANG SEBAGAI BAHASA PERCAKAPAN DALAM KOMUNITAS PESEPEDA DI YOGYAKARTA (Suatu Tinjauan Pragmatik)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TINGKAT KESANTUNAN DAN KEEFEKTIFAN TUTURAN BAHASA SLANG SEBAGAI BAHASA PERCAKAPAN DALAM KOMUNITAS PESEPEDA DI YOGYAKARTA (Suatu Tinjauan Pragmatik)"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT KESANTUNAN DAN KEEFEKTIFAN TUTURAN

BAHASA SLANG SEBAGAI BAHASA PERCAKAPAN

DALAM KOMUNITAS PESEPEDA DI YOGYAKARTA

(Suatu Tinjauan Pragmatik)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa, dan Sastra Indonesia

Oleh:

Bambang Sumarwanto 091224070

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, DAN SASTRA INDONESIA

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

ii SKRIPSI

TINGKAT KESANTUNAN DAN KEEFEKTIFAN TUTURAN

BAHASA SLANG SEBAGAI BAHASA PERCAKAPAN

DALAM KOMUNITAS PESEPEDA DI YOGYAKARTA

(Suatu Tinjauan Pragmatik)

Oleh:

Bambang Sumarwanto

NIM: 091224070

Telah Disetujui Oleh:

Dosen Pembimbing,

(3)

iii SKRIPSI

TINGKAT KESANTUNAN DAN KEEFEKTIFAN TUTURAN BAHASA SLANG SEBAGAI BAHASA PERCAKAPAN DALAM KOMUNITAS PESEPEDA DI YOGYAKARTA

(Suatu Tinjauan Pragmatik)

Dipersiapkan dan ditulis oleh: Bambang Sumarwanto

NIM: 091224070

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada tanggal 4 November 2013 dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua : Dr. Yuliana Setiyaningsih ……….

Sekretaris : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. ……….

Anggota : Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. ……….

Anggota : Dr. B. Widharyanto, M.Pd. ……….

Anggota : Dr. Y. Karmin, M.Pd. ……….

Yogyakarta, 4 November 2013

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma

Dekan,

(4)

iv MOTTO

Jangan terlelap dalam impian, karena jika kamu sudah terlelap dalam mimpimu,

kamu tidak akan sempat lagi untuk menggapainya.

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

Kedua orangtua saya Bapak Urbanus Sutiyono dan Margaretha Suliyah

Kakakku tercinta, Tri Astanto

Ketiga adikku tercinta, Indra Pratama, Febri Wiguna, Yusak Saputra

Fransiska Pujiastuti

Segenap sahabat PBSID

Skripsi ini saya persembahkan sebagai tanda terima kasih yang mendalam

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah

disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 4 November 2013

Penulis

(7)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Bambang Sumarwanto

Nomor Mahasiswa : 091224070

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya berjudul

TINGKAT KESANTUNAN DAN KEEFEKTIFAN TUTURAN

BAHASA SLANG SEBAGAI BAHASA PERCAKAPAN

DALAM KOMUNITAS PESEPEDA DI YOGYAKARTA

(Suatu Tinjauan Pragmatik)

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media

lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara

terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan

akademis tanpa perlu izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya

selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 4 November 2013

Yang menyatakan,

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Bahasa merupakan hal penting dalam kehidupan, karena peran dan

fungsinya yang utama yaitu sebagai alat komunikasi. Dalam sebuah bahasa

(tuturan) seseorang dapat mengerti dengan baik apa maksud dan tujuan dari

tuturan yang diucapkan tersebut. Banyak hal yang bisa tersampaikan melalui

suatu bahasa, asalkan ada kerjasama yang baik antara pembicara (penutur) dan

pendengar (mitra tutur). Bagaimana tuturan tersebut dapat menarik orang lain

untuk mendengarnya, tentu hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah

konteks. Konteks tuturan harus menjadi sesuatu yang dipelajari supaya

percakapan bisa berjalan dengan baik. Di dalam ilmu pragmatik, ada empat

bidang utama yang dibahas, yakni: deiksis, praanggapan, tindak ujaran, dan

implikatur percakapan.

Tulisan ini hanya membahas salah satu dari keempat bidang di atas, yakni

tindak ujaran. Tindak ujaran itu sendiri masih sangat luas dan dapat dirinci

menjadi sub-sub bidang tertentu. Dalam hal ini, penulis hanya membahas satu

kajian dari tindak ujaran yakni mengukur tingkat kesantunan suatu tuturan.

Tulisan ini, secara berurutan mencoba untuk mengungkapkan

gagasan-gagasan berdasarkan hasil penelitian terhadap tuturan di beberapa komunitas

sepeda yang ada di Yogyakarta mengenai tingkat kesantunan dan keefektifan

tuturan bahasa slang sebagai bahasa percakapan komunitas sepeda di Yogyakarta.

Penulis sadar bahwa penelitian ini dapat berjalan lancar karena adanya rahmat dan

penyertaan Tuhan mulai dari awal, proses hingga akhir penelitian ini kepada

penulis. Selain itu, ada pihak lain yang tentunya dengan caranya masing-masing

telah memberikan sumbangan kepada penulis dalam upaya menyelesaikan

penelitian ini. Oleh karena itu, secara khusus penulis ingin mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., yang bersedia membimbing dan mengarahkan

penulis menyelesaikan skripsi ini;

2. Para dosen PBSI, yang dengan caranya masing-masing telah membekali

(9)

ix

3. Robertus Marsidiq, yang sudah membantu dan melayani penulis dalam

mengurusi berbagai hal yang sifatnya administratif;

4. Sahabat PBSID seperjuangan, Rm. Eduardus Sateng Tanis, S.Pd., Mikael Jati

Kurniawan, S.Pd., Theresia Banik Putriana, S.Pd., Christiana Tri Jatuningsih,

S.Pd., Ade Henta Hermawan, Yudha Hening Pinandhito, Dedy Setyo

Herutomo, Nuridang Fitra Nagara, Fabianus Angga Renato, Ignatius Satrio

Nugroho, Yustina Cantika Advensia, Valentina Tris Marwati, Katarina Ita

Simanullang, Catarina Erni Riyanti, Clara Dika Ninda Natalia, Rosalina Anik

Setyorini, Cicilia Verlit Warasinta, Agatha Wahyu Wigati, Yohanes Marwan

Setiawan, Prima Ibnu Wijaya, Martha Ria Hanesti, Agustinus Eko Prasetyo,

Reinardus Aldo Aggasi, Danang Istianto, Yustinus Kurniawan, Asteria

Ekaristi, Elisabeth Ratih Handayani, Petrus Temistokles Jelaha terima kasih

atas kebersamaan, kekocakan serta hiburan dan dukungan yang telah

diberikan selama ini. Kalian telah memberi banyak warna dalam setiap

perjalanan masa studi di Universitas Sanata Dharma khususnya di PBSI;

5. Teman-teman PBSID angkatan 2009, secara khusus kelas B, yang telah

memberikan dukungan serta memberikan banyak masukan serta semangat

sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini;

6. Para sahabat Sendowers, Bernardus Purnawan, S.Pd., Yohanes Heri Pranoto,

S.Pd., Robertus Adi Hermawan Pradipta, Eko Sularsono, Vintentius Yudha

dan Naradhipa yang selalu mengisi hari-hari penulis di saat “selo”, dan selalu

memberi warna baru saat berada di luar kampus;

7. Komunitas sepeda yang ada di Yogyakarta, secara khusus Komunitas Sepeda

Tinggi, Komunitas Sepeda BMX, Komunitas Sepeda Fixie, dan Komunitas

Sepeda MTB, yang telah bersedia memberikan waktunya untuk membantu

penulis dalam mencari data-data yang diperlukan;

8. Pihak Universitas Sanata Dharma, yang telah menciptakan kondisi serta

menyediakan berbagai fasilitas yang mendukung penulis dalam studi dan

penyelesaian skripsi ini.

Penulis sadar bahwa ada banyak pihak lain yang dengan berbagai caranya

(10)

x

Universitas Sanata Dharma. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada berbagai

pihak itu yang namanya tidak sempat disebutkan satu per satu di dalam tulisan ini,

sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih.

Penulis juga menyadari bahwa tulisan ini tidaklah seideal yang dipikirkan

oleh pembaca; masih ada banyak kekurangan. Walaupun demikian, penulis

berharap penelitian ini dapat berguna bagi para pembaca.

Yogyakarta, 4 November 2013

Penulis

Bambang Sumarwanto

(11)

xi ABSTRAK

Sumarwanto, Bambang. 2013. Tingkat Kesantunan dan Keefektifan Tuturan Bahasa Slang sebagai Bahasa Percakapan dalam Komunitas Pesepeda di Yogyakarta (Suatu Tinjauan Pragmatik). Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

Penelitian ini membahas dua persoalan, (1) tingkat kesantunan tuturan bahasa slang, dan (2) efektivitas penggunaan bahasa slang sebagai bahasa percakapan komunitas pesepeda di Yogyakarta. Data dalam penelitian ini adalah tuturan-tuturan bahasa slang yang digunakan oleh komunitas pesepeda Yogyakarta. Ada empat sumber data utama yang digunakan: (1) komunitas sepeda tinggi, (2) komunitas sepeda fixie, (3) komunitas sepeda BMX, dan (4) komunitas sepeda MTB (mountain bike), dengan jangka waktu April – Juni 2013.

Jika dilihat dari metode yang digunakan, penelitian ini tergolong penelitian kualitatif deskriptif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dengan teknik sadap sebagai teknik dasar dan teknik simak bebas libat cakap serta teknik catat sebagai teknik lanjutan.

(12)

xii

ABSTRACT

Sumarwanto, Bambang, 2013. Politeness Degree and Effectiveness of Verbal Slang Language Used by Cyclist Communities in Yogyakarta (A Pragmatic Review), Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

This study focused on two main issues, (1) the politeness degree of slang language and (2) the effectiveness of verbal slang language used by cyclist communities in Yogyakarta. The verbal speech among the cyclists was considered as the data of the study. There were four cyclist communities; they are Tall-Bike Community, Fixie Community, BMX Community, and MTB (Mountain Bike) Community. Those communities were observed during 3 months, from April to June 2013.

This study belongs to qualitative and descriptive study. Recording during observation, as the main technique, and conversation and note taking during observation, as the advance techniques, were implemented in order to get the data.

The writer could conclude two results of the study. First, the politeness degree of the verbal slang language used by cyclist communities in Yogyakarta

was low, or considered impolite, due to the Leech’s five aspects as the politeness

(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK ... xi

ABSTRACT ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR BAGAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Batasan Istilah ... 9

F. Ruang Lingkup Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 13

A. Penelitian Terdahulu ... 13

B. Landasan Teori ... 14

1. Teori Kesantunan Bahasa ... 16

2. Bahasa Slang ... 33

3. Faktor Kebahasaan sebagai Penanda Kesantunan ... 36

(14)

xiv

C. Kerangka Berpikir ... 47

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 49

A. Jenis Penelitian ... 49

B. Sumber Data dan Data ... 50

C. Metode Pengumpulan Data ... 50

D. Instrumen Penelitian ... 51

E. Teknik Analisis Data ... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 53

A. Deskripsi Data ... 53

B. Hasil Analisis Data ... 55

1. Tingkat Kesantunan Tuturan Bahasa Slang dalam Komunitas Sepeda di Yogyakarta... 55

a. Skala biaya-keuntungan (untung-rugi) ... 56

b. Skala keopsionalan ... 62

c. Skala ketaklangsungan ... 68

d. Skala keotoritasan ... 71

e. Skala jarak sosial ... 73

2. Efektivitas Penggunaan Bahasa Slang sebagai Bahasa Percakapan ... 76

a. Pemakaian pilihan kata (diksi) ... 77

b. Pemakaian gaya bahasa ... 80

C. Pembahasan ... 89

BAB V PENUTUP ... 97

A. Kesimpulan ... 97

B. Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 100

LAMPIRAN ... 102

TABEL 1 KRITERIA KEEFEKTIFAN TUTURAN ... 82

(15)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Interaksi antara satu orang dengan yang lain itu sangat penting. Hal

terpenting dalam interaksi adalah adanya bahasa. Maksud dan tujuan

seseorang saat menyampaikan sesuatu dapat tersampaikan dengan jelas saat

kita bertutur kata dengan lawan tutur, tentunya dengan memperhatikan

kesantunan saat kita bertutur kata. Saat kita sedang bertutur kata, kita juga

harus mengerti bahasa yang digunakan. Kesantunan saat berbahasa

merupakan cerminan diri, karena saat kita berbahasa dengan santun orang lain

pun menjadi tertarik dengan percakapan yang sedang berlangsung.

Bahasa Indonesia merupakan cermin Bangsa Indonesia.

Kebanggaan Bangsa Indonesia akan hadirnya Bahasa Indonesia saat ini

sepertinya sudah mulai pudar dan terkikis oleh kehadiran bahasa-bahasa lain

yang berkembang. Mulai dari zaman dahulu kita sudah dikenalkan dengan

adanya tiga bahasa yang hadir dalam kehidupan kita, yaitu bahasa pertama

(bahasa ibu/daerah); bahasa kedua (bahasa Indonesia/bahasa nasional); dan

bahasa ketiga (bahasa asing). Kehadiran ketiga bahasa tersebut agaknya saat

ini kurang diminati oleh kaum muda. Adanya ragam (variasi) bahasa slang

sepertinya sudah menjadi darah daging dan melekat bahkan dijadikan bahasa

(16)

Bahasa yang sering digunakan saat ini, sebut saja bahasa slang

menurut KBBI Dalam Jaringan (Daring) adalah ragam bahasa tidak resmi dan

tidak baku yang sifatnya musiman, dipakai oleh kaum remaja atau kelompok

sosial tertentu untuk komunikasi intern dengan maksud agar yang bukan

anggota kelompok tidak mengerti maksud dari yang digunakan. Keberadaan

bahasa slang yang berkembang pesat saat ini sepertinya malah memberikan

nuansa baru saat sedang bercakap-cakap. Tuturan yang terucap malah

terdengar indah di setiap golongan masing-masing. Saat ini sepertinya sudah

tersedia sarana untuk mempermudah setiap orang agar mengerti arti kata

slang tertentu melalui www.kamusslang.com. Adanya kamus slang tersebut

sepertinya membuat banyak orang tidak lagi menjadikan bahasa slang sebagai

bahasa musiman, tetapi malah menjadikannya sebagai bahasa resmi pada

zaman ini (khususnya dalam kelompok tertentu).

Banyak orang menganggap kesantunan dalam bahasa slang sendiri

sangat kurang diperhatikan, terutama maksud yang terkandung di dalamnya.

Banyak kata slang yang memiliki arti tidak senonoh dan sepertinya tidak

memperhatikan kaidah/hukum yang ada di negara ini. Austin (1978) dalam

Pranowo (2009:2) mengemukakan bahwa setiap ujaran dalam tindak

komunikasi selalu mengandung tiga unsur yaitu (1) tindak lokusi berupa

ujaran yang dihasilkan oleh penutur, (2) tindak ilokusi berupa maksud yang

terkandung dalam tuturan, dan (3) tindak perlokusi berupa efek yang

ditimbulkan oleh tuturan. Bahasa slang yang muncul di zaman ini

(17)

komunikasi. Seorang yang sedang berbicara dengan menggunakan bahasa

slang seakan hanya mencari kepuasan saat bertutur kata. Unsur atau kaidah

bahkan aturan tidak lagi menjadi acuan saat mereka melakukan kegiatan

komunikasi.

Beberapa kata jika dihubungkan dengan kesantunan berbahasa,

bahasa slang di kalangan pesepeda juga banyak yang memiliki arti/maksud

yang positif. Misalnya saja: “ Cah, malam jumat kita gowes yuk!!!” (“teman,

malam Jumat kita bersepeda yuk!!!”). Kata gowes tersebut ternyata memiliki

arti positif yang juga akan memudahkan setiap orang (tentunya dalam

komunitas pesepeda) mengerti akan maksud yang dikatakan oleh penutur.

Kata gowes jika dikatakan pada forum resmi tampaknya sangat tidak pantas

dan tidak lazim karena memang bahasa tersebut bukan bahasa resmi dan tidak

ada dalam KBBI, bahkan orang lain yang tidak biasa mengikuti kegiatan

bersepeda banyak yang tidak tahu tentang kata gowes yang dimaksud.

Penggunaan bahasa slang yang sangat luas akan sangat

menyulitkan peneliti dalam melakukan penelitiannya. Saat ini peneliti ingin

meneliti tentang kesantunan bahasa slang dalam lingkup yang lebih kecil

yaitu beberapa komunitas pesepeda Yogyakarta. Tentunya ada perbedaan

bahasa slang yang digunakan oleh komunitas pesepeda dan komunitas lain di

luar komunitas sepeda, karena bahasa slang biasanya hanya dimengerti oleh

kelompoknya saja untuk menjalin komunikasi yang lebih dekat.

Penggunaan bahasa slang sepertinya berkaitan erat dengan

(18)

strukturnya pungutan-pungutan itu dapat digolongkan menjadi empat macam:

(1) kata-kata dasar, (2) kata-kata kompleks, (3) kata-kata yang berkonstruksi

kata dasar daerah dengan imbuhan BI, dan (4) kata-kata yang berkonstruksi

dasar BI dan imbuhan daerah. Komunitas pesepeda Yogyakarta kebanyakan

memakai pungutan dari bahasa pertama yang kedua, yaitu dari bahasa daerah

yang mengalami perubahan secara kompleks.

Keadaan seperti ini akan terus terjadi karena akan banyak

perubahan bahasa. Bentuk dasar bahasa Indonesia saja misalnya, saat ini

sudah banyak sekali kata yang diplesetkan. Contoh yang sangat sering kita

dengar dan dipakai oleh banyak orang adalah kata: serius menjadi ciyus, demi

apa menjadi miapah, ah masa menjadi amaca, dan lain-lain. Kata slang yang

sebenarnya hanya dapat dimengerti oleh sebagian orang saat ini memang

sudah seperti rahasia umum. Perkembangan teknologi dan kemajuan zaman

seakan tidak hanya ingin mengikis kebudayaan yang ada, tetapi juga ingin

merebut bahasa yang telah ada sejak dahulu dan digunakan di seluruh

Indonesia.

Orang menjadi tidak lagi memperhatikan tingkat kesantunan dan

efektivitas tuturan saat berkomunikasi. Percakapan antara penutur dan mitra

tutur menjadi terhambat apabila mitra tutur tidak mengerti arti dari ucapan

penutur/lawan tuturnya. Seorang (penutur) pun menjadi terlihat kurang

santun, karena biasanya setelah mengucapkan kata yang tidak dimengerti oleh

(19)

menyebabkan bahasa Indonesia menjadi benar-benar dilupakan oleh generasi

muda.

Tingkat kesantunan bahasa slang jika diperhatikan dan dianalisis

secara lebih mendalam, akan terlihat dan terdengar memiliki tingkat

kesantunan yang sangat rendah. Rahardi (2005:119) mengatakan bahwa

semakin panjang tuturan yang digunakan, akan semakin santunlah tuturan itu.

Sebaliknya, semakin pendek sebuah tuturan, akan cenderung semakin tidak

santunlah tuturan itu. Hal ini apabila dikaitkan dengan penggunaan bahasa

slang dalam percakapan, kita akan melihat bahwa bahasa slang adalah bahasa

yang sangat singkat. Banyak sekali kata baik dalam bahasa daerah maupun

bahasa Indonesia mengalami singkatan atau perubahan. Misalnya saja sebagai

contoh kata demi apa, dalam bahasa slang kata itu menjadi miapah. Dua kata

yang digabungkan menjadi satu tentu akan sangat membingungkan banyak

orang terutama bagi orang-orang yang ketinggalan informasi kata-kata

modern (slang).

Suatu percakapan menjadi sangat tidak santun karena tuturan yang

keluar dari mulut penutur tidak dimengerti maksudnya oleh mitra tutur atau

lawan tuturnya. Pranowo (2009:15) menuliskan setiap orang harus menjaga

kehormatan dan martabat diri sendiri. Hal ini dimaksudkan agar orang lain

juga mau menghargainya. Inilah hakikat berbahasa secara santun. Jadi,

apabila kita berusaha untuk bersikap dan berbicara santun terhadap mitra

tutur kita, secara tidak langsung kita pun akan mendapatkan perlakuan yang

(20)

Saat ini banyak kejadian memalukan berkaitan dengan bahasa yang

digunakan. Seseorang dapat membunuh rekannya sendiri hanya karena

kata-kata yang digunakan tidak berkenan dengan lawan tuturnya. Seorang yang

tidak lagi memperhatikan tuturan saat melakukan percakapan, biasanya juga

sangat terpengaruh dengan keadaan dan lingkungan sekitarnya. Kita tidak

bisa menyalahkan siapa pun tentang kesantunan berbicara tersebut karena

memang belum ada peraturan tertulis tentang berbahasa secara santun.

Sekolah yang menjadi tempat belajar, khususnya saat mempelajari bahasa

Indonesia hanya diajarkan tentang materi-materi yang mungkin tidak ada

hubungannya sama sekali tentang kesantunan berbahasa. Guru bahkan tidak

pernah mengatakan tentang batas-batas kesantunan berbahasa saat kita berada

di luar sekolah.

Santun tidaknya pemakaian bahasa dapat dilihat setidaknya dari

dua hal, yaitu pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa (Pranowo, 2009:16).

Pilihan kata yang dimaksudkan adalah bagaimana kita harus menggunakan

kata yang tepat saat kita bertutur kata dengan mitra tutur kita. Sebelum kita

mengatakan sesuatu tentu kita sudah memiliki konsep yang jelas terhadap apa

yang akan kita bicarakan. Tanggapan positif dari mitra tutur bisa menjadi

acuan bagi kita sejauh mana kesantunan bahasa yang kita ucapkan. Setelah

kita sudah memiliki konsep yang matang tentunya kita ingin membuat mitra

tutur merespon dengan baik tuturan kita. Gaya bahasalah yang menjadi

bumbu selanjutnya supaya mitra tutur kita benar-benar menjadi tertarik atas

(21)

Kelompok (komunitas) pesepeda merupakan suatu kelompok yang

muncul karena adanya kesamaan hobi/kegemaran. Munculnya bahasa slang

dalam komunitas tersebut tentunya disebabkan supaya komunikasi antar

anggota menjadi lancar dan mudah dimengerti. Satu komunitas dengan

komunitas lain tentu memiliki kata/frasa bahasa slang khusus yang mungkin

tidak dimiliki komunitas pesepeda yang lain. Hal ini bisa saja digunakan

sebagai kata kunci atau semacam rahasia terhadap sesama komunitas.

Komunitas tidak ingin kata yang sudah diciptakan dipakai dalam komunitas

lain. Hal yang menyedihkan ialah ketika suatu komunitas menciptakan suatu

kata slang tanpa memperhatikan kaidah dan aturan yang berlaku dalam

penggunaan bahasa.

Kesantunan itu tidak hanya dibutuhkan saat kita bertingkah laku,

melainkan kesantunan saat kita bertutur kata sangatlah dianjurkan.

Percakapan akan menjadi efektif apabila kita memperhatikan kesantunan saat

bertutur kata dengan mitra tutur dalam kondisi dan situasi apapun.

Kesantunan bahasa slang yang digunakan sebagai bahasa pergaulan dan

bahasa yang dimiliki oleh komunitas-komunitas tertentu tidak lagi menjadi

bahasa asing melainkan bisa menjadi bagian dari keanekaragaman bahasa

(variasi bahasa).

Berbagai masalah yang timbul akibat hadirnya bahasa slang

seharusnya memunculkan kreativitas dan kehati-hatian saat ingin

(22)

melihat dan meninjau kembali sejauh mana keefektifan bahasa slang sebagai

bahasa yang digunakan dalam bahasa percakapan suatu kelompok tertentu.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah tingkat kesantunan tuturan bahasa slang di kalangan

kelompok-kelompok pesepeda di Yogyakarta?

2. Bagaimanakah efektivitas penggunaan bahasa slang sebagai bahasa

percakapan?

C. Tujuan Penelitian

1. Ingin mendeskripsikan tingkat kesantunan tuturan bahasa slang dalam

komunitas pesepeda di Yogyakarta.

2. Ingin mendeskripsikan efektivitas penggunaan bahasa slang sebagai

bahasa percakapan dalam komunitas sepeda Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan hasil dan manfaat bagi pihak-pihak terkait, antara

lain sebagai berikut.

1. Penelitian ini memberikan sumbangan tersendiri bagi dunia penelitian

(23)

2. Berbagai landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini dapat

menambah wawasan pembaca tentang tindak tutur, khususnya kesantunan

saat bertindak tutur dengan mitra tutur.

3. Penelitian ini mengajak pembaca mengerti akan penanda apa saja yang

membuat tuturan menjadi santun saat ada komunikasi dari penutur dan

mitra tutur.

4. Dengan mengetahui kesantunan berbahasa, masyarakat menjadi mengerti

akan bahasa yang digunakan sebagai bahasa percakapan dan alat

komunikasi dalam kehidupannya.

5. Penelitian ini diharapkan menjadi temuan yang dapat memperlancar

komunikasi dengan santun antara penutur dan mitra tutur.

E. Batasan Istilah

Pembahasan dalam penelitin ini tentunya hanya mencakup

beberapa hal saja, maka dari itu penulis mencantumkan batasan istilah yang

dipakai supaya pembahasan yang ada di dalamnya tidak melebar terlalu jauh

dan dapat dimengerti oleh pembacanya.

1. Slang

Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring mendefinisikan slang sebagai

ragam bahasa tidak resmi dan tidak baku yang sifatnya musiman, dipakai

oleh kaum remaja atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern

dengan maksud agar yang bukan anggota kelompok tidak mengerti. Pei &

(24)

suatu bentuk bahasa dalam pemakaian umum, dibuat dengan adaptasi

yang populer dan pengulasan makna dari kata-kata yang ada dan dengan

menyusun kata-kata baru tanpa memperhatikan standar-standar skolastik

dan kaidah-kaidah linguistik dalam pembentukan kata-kata pada

umumnya terbatas pada kelompok-kelompok sosial atau kelompok

tertentu.

2. Kesantunan

KBBI Daring mendefinisikan santun sebagai halus dan baik (budi

bahasanya, tingkah lakunya). Fraser (Gunarwan, 1994:88) mengartikan

kesantunan sebagai property yang diasosiasikan dengan ujaran dan di

dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si penutur tidak melampaui

hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibannya. Dari

definisi tersebut kita mengetahui bahwa yang mengukur seberapa

santunnya tuturan adalah orang lain, bukan penuturnya.

3. Diksi

Istilah pilihan kata atau diksi bukan saja dipergunakan untuk menyatakan

kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau

gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa dan

ungkapan (Keraf, 1981:22). Jadi, tuturan yang terucap, sebenarnya sudah

tersusun dan telah dipilih untuk menyatakan suatu maksud tertentu

(25)

4. Gaya Bahasa

Gaya bahasa dikenal dengan sebutan style. Style tersebut kemudian

berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau

mempergunakan kata-kata secara indah (Keraf, 1981:112). Gaya bahasa

penting digunakan karena gaya bahasa diibaratkan sebagai bumbu yang

menambah rasa dalam bahasa yang kita gunakan.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Sebagai

suatu penelitian deskriptif kualitatif, penelitian ini hanya dibatasi pada upaya

mendeskripsikan tingkat kesantunan pada tuturan yang terdapat dalam

komunitas pesepeda. Komunitas pesepeda yang diteliti adalah komunitas

pesepeda yang berada di Kota Yogyakarta.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut. Pada

bab I akan diuraikan tentang pendahuluan, yang terdiri dari: latar belakang,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, ruang

lingkup penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berisi kajian pustaka,

yang terdiri dari penelitian terdahulu, landasan teori dan kerangka berpikir.

Bab III berisi tentang metode penelitian, yang terdiri dari jenis penelitian,

sumber data dan data, metode pengumpulan data, instrumen penelitian, dan

(26)

terdiri dari deskripsi data, hasil penelitian dan pembahasan. Bab V berisi

penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

(27)

13 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Ada beberapa tulisan yang relevan dengan penelitian ini.

Penelitian-penelitian tersebut menjadi acuan peneliti dalam merumuskan dan melihat

kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam meneliti tingkat kesantunan

penggunaan bahasa yang ada di sekitar kita.

Penelitian yang dilakukan oleh Ventianus Sarwoyo berjudul “Tindak

Ilokusi dan Penanda Tingkat Kesantunan Tuturan di dalam Surat Kabar”.

Berkaitan dengan tuturan, penelitian ini menyimpulkan dalam suatu tuturan yang

diucapkan memberikan penilaiannya (berpersepsi) terhadap tuturan dari sopan

santunnya. Ada enam jenis penanda tingkat kesantunan tuturan yang ditemukan,

yakni: 1) analogi, 2) diksi atau pilihan kata, 3) gaya bahasa, 4) penggunaan

keterangan atau modalitas, 5) penyebutan subjek yang menjadi tujuan tuturan, dan

6) bentuk tuturan. Di dalam suatu tuturan, penanda-penanda ini dapat terjadi

hanya digunakan satu jenis penanda. Namun, dapat juga di dalam satu tuturan

terkandung lebih dari satu penanda yang digunakan oleh penutur.

Penelitian yang dilakukan oleh Mujiyono Wiryotinoyo berjudul

“Analisis Pragmatik dalam Penelitian Penggunaan Bahasa” (Jurnal Bahasa dan

Seni, 2006:153-163). Berkaitan dengan tuturan, penelitian ini memberi

kesimpulan bahwa analisis pragmatik dapat dimanfaatkan untuk memahami dan

(28)

Penelitian yang dilakukan oleh Dr. H. Jamal, M.Pd., berjudul

Kesantunan dalam Perspektif: Suatu Telaah Sosiopragmatik Penggunaan

Bahasa di BDK Surabaya” (Artikel Balai Diklat Keagamaan Surabaya, hlm.

1-12). Dalam penelitiannya, Jamal memberikan beberapa kesimpulan tentang

kesantunan berbahasa. Ia menuliskan bahwa setiap masyarakat mempunyai

seperangkat norma yang terdiri atas sejumlah kaidah eksplisit untuk menentukan

kesantunan berbahasa. Kaidah itu ditentukan oleh perilaku tertentu, lingkungan,

dan cara berpikir masyarakat tersebut.

B. Landasan Teori

Ilmu pragmatik merupakan salah satu ilmu yang mengkaji tentang

penggunaan bahasa. Pragmatik sendiri mengkaji tentang penggunaan bahasa

sebagai alat komunikasi manusia. Bidang kajian ilmu pragmatik lebih

mengarahkan kajiannya tentang maksud atau daya suatu ujaran. Kesantunan

tuturan dalam bahasa saat ini bisa diukur melalui bidang kajian ilmu pragmatik

karena dalam setiap tuturan tentu terkandung maksud yang ingin disampaikan

kepada mitra tutur (lawan tutur).

Yule (1996:5) memberi arti pragmatik sebagai studi tentang hubungan

antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu. Ia juga

mengatakan manfaat belajar bahasa melalui pragmatik ialah bahwa seseorang

dapat bertutur kata tentang makna yang dimaksudkan orang, asumsi mereka,

maksud dan tujuan mereka, dan jenis-jenis tindakan. Sebagai contoh manfaat

(29)

dengan orang lain. Pragmatik mengajari bagaimana memahami makna yang

terdapat dalam setiap tuturan dalam suatu percakapan yang dilakukan oleh dua

orang atau lebih.

Purwo (1990:1-2) menuliskan bahwa pragmatik dapat dibedakan

menjadi dua hal: (1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan atau (2) pragmatik

sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar. Bagian (1) dibedakan lagi

menjadi dua hal (a) pragmatik sebagai bidang kajian linguistik, dan (b) pragmatik

sebagai salah satu segi di dalam bahasa. Pernyataan tersebut menggambarkan

bahwa bidang kajian pragmatik merupakan salah satu ilmu yang digunakan untuk

mengajarkan kepada setiap orang ilmu tentang bahasa. Penggunaan bahasa akan

lebih baik jika dapat mengerti akan bahasa itu sendiri.

Kegiatan komunikasi merupakan suatu kegiatan yang pasti terjadi

dalam kehidupan ini. Tidak mungkin dapat melakukan suatu hal dengan orang

lain tanpa adanya komunikasi. KBBI Daring mendefinisikan komunikasi sebagai

pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga

pesan yang dimaksud dapat dipahami; hubungan; kontak. Kegiatan komunikasi

tak bisa dipungkiri harus melibatkan lebih dari satu orang di dalamnya.

Komunikasi tidak bisa berjalan dengan baik apabila tidak ada sesuatu yang

dikirim dan yang menerima, dalam hal ini menerima suatu informasi.

Subbab ini ingin menjelaskan beberapa hal, khususnya yang berkaitan

dengan penggunaan bahasa slang dan bagaimana tingkat kesantunan bahasa slang

sebagai ragam bahasa. Hal-hal apa saja yang mempengaruhi tingkat kesantunan

(30)

1. Teori Kesantunan Berbahasa

Kesantunan oleh Yule disamakan dengan kesopanan. Kesopanan

dalam suatu interaksi didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk

menunjukkan kesadaran tentang wajah orang lain. Dalam hal ini kesopanan

dapat disempurnakan dalam kejauhan dan kedekatan sosial (Yule, 1996:104).

Saat melakukan komunikasi dengan orang lain, hal yang dibutuhkan ialah

mengetahui jenjang sosial dalam kehidupan. Misalnya saja saat berbicara

dengan dosen/guru, bahasa yang digunakan tentunya tidak sama dengan

bahasa pergaulan dengan teman-teman sebaya.

Berbahasa secara santun akan membuat seseorang mendapatkan

simpati dari lawan tutur/mitra tutur. Banyak hal yang perlu diperhatikan

bahkan dipelajari supaya dapat menggunakan bahasa secara santun,

khususnya dalam percakapan yang dilakukan dengan mitra tutur. Kesantunan

saat berbahasa membawa penutur dan mitra tutur menjadi saling mengerti.

Sikap saling mengerti dapat memperlancar kegiatan komunikasi yang sedang

berlangsung.

Kesantunan berbahasa memegang kedudukan penting dalam

kehidupan bermasyarakat. Dikatakan sebagai kedudukan penting karena saat

berbahasa secara santun, maka dalam tuturan tersebut sudah mencerminkan

diri tiap penuturnya secara utuh. Struktur bahasa yang santun adalah struktur

bahasa yang disusun oleh penutur/penulis agar tidak menyinggung perasaan

pendengar atau pembaca (Pranowo, 2009:4). Kesantunan berkaitan erat

(31)

Banyak hal yang harus diperhatikan supaya tuturan menjadi santun.

Penelitian ini menguraikan bagaimana dan apa saja yang harus diperhatikan

saat bertutur kata. Beberapa ahli menuliskan hal-hal yang mungkin dapat

diterapkan saat bertutur kata, seperti prinsip kesantunan, cara berkomunikasi

secara santun, indikator yang perlu diperhatikan supaya tuturan menjadi

santun, dan juga kaidah-kaidah kesantunan yang ada dalam bahasa Indonesia.

a. Prinsip kesantunan

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan prinsip kesantunan yang

dikemukakan oleh Leech. Prinsip yang dikemukakan oleh Leech lebih

dikenal sebagai prinsip kerja sama, dalam hal ini kerja sama antara penutur

dan mitra tutur saat melakukan tuturan. Prinsip kesantunan Leech (1983)

dalam Rahardi (2005:59) ialah prinsip kesantunan yang sampai saat ini

dianggap paling lengkap, paling mapan, dan relatif paling komprehensif.

Rumusan itu selengkapnya tertuang dalam enam maksim interpersonal

sebagai berikut.

1)Tact maxim: minimize cost to other. Maximize benefit to other.

2)Generosity maxim: minimize benefit to self. Maximize cost be self.

3)Approbation maxim: minimize dispraise. Maximize to other.

4)Modesty maxim: minimize praise of self. Maximize dispraise of self.

5)Agreement maxim: minimize disagreement between self and other.

Maximize agreement between self and other.

6)Sympathy maxim: minimize antiphaty between self other. Maximize

(32)

Sebelum membahas keenam maksim Leech, Wijana (1996:55-56)

menerangkan tentang berbagai bentuk ujaran yang digunakan untuk

mempermudah menangkap makna yang terkandung di dalam maksim

tersebut. Bentuk-bentuk ujaran tersebut yaitu bentuk ujaran komisif

digunakan untuk menyatakan janji atau penawaran. Ujaran impositif

digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran ekspresif

digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu

keadaan. Ujaran asertif digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi

yang diungkapkan.

Wijana (1996:56-61) membahasakan keenam maksim Leech tersebut

secara lebih ringkas berturut-turut sebagai berikut.

1) Maksim kebijaksanaan: Maksim ini diutarakan dengan tuturan impositif

dan komisif. Maksim ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk

meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi

orang lain.

2) Maksim penerimaan: Maksim penerimaan diutarakan dengan kalimat

komisif dan imposif. Maksim ini mewajibkan penutur untuk

memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan

diri sendiri.

3) Maksim kemurahan: Maksim ini diutarakan dengan menggunakan kalimat

ekspresif dan kalimat asertif. Maksim kemurahan ini menuntut peserta

pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan

(33)

4) Maksim kerendahan hati: Maksim kerendahan hati ini diungkapkan

dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim kerendahan hati berpusat

pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk

memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan

rasa hormat pada diri sendiri.

5) Maksim kecocokan: Maksim ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif

dan asertif. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan

tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan

meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka.

6) Maksim Kesimpatian: Maksim ini juga diungkapkan dengan tuturan asertif

dan ekspresif. Maksim kesimpatian ini mengharuskan setiap peserta

pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa

antipati kepada lawan tuturnya.

Lain halnya dengan Rahardi, Pranowo (2009:21) menuliskan prinsip

kesantunan Leech ada tujuh. Prinsip ketujuh dari Leech tersebut adalah

maksim pertimbangan (consideration maxim). Maksim pertimbangan adalah

maksim yang menyatakan bahwa penutur hendaknya meminimalkan perasaan

tidak senang kepada mitra tutur. Maksud dari pernyataan tersebut adalah

bahwa penutur diharapkan bisa membuat mitra tuturnya merasa lega terhadap

pertuturan yang sedang berlangsung. Penutur diharapkan dapat

(34)

b. Berkomunikasi secara santun

Komunikasi merupakan suatu kegiatan yang lebih kompleks karena

harus bisa melihat situasi dan kondisi saat tuturan antara penutur dan mitra

tutur terjadi. Penggunaan bahasa yang baik dan benar saja belum cukup untuk

melakukan kegiatan berkomunikasi. Seseorang yang mampu berbahasa secara

baik berarti sudah mampu menggunakan bahasa sesuai dengan ragam dan

situasi (Pranowo, 2009:4). Sedangkan bahasa yang benar adalah bahasa yang

dipakai sesuai dengan kaidah yang berlaku (Pranowo, 2009:5).

Agar komunikasi bisa berjalan secara santun, penutur perlu

mengetahui strategi bagaimana supaya bahasa yang digunakan menjadi

santun. Pranowo (2009:39-46) menyebutkan tiga strategi supaya kita dapat

berkomunikasi dengan santun.

1) Apa yang dikomunikasikan: Setiap orang yang berkomunikasi dengan

orang lain harus ada yang dibicarakan. Ketika seseorang berkomunikasi

dengan orang lain tetapi tidak jelas tentang pokok masalah

pembicaraannya, maka mitra tutur akan menilai bahwa penutur itu tidak

berkualitas. Pembicaraan menjadi tidak terarah dan tidak konsekuen dan

bahkan bisa saja dalam suatu pembicaraan penutur bisa membahas

beberapa pokok masalah sehingga membuat mitra tuturnya menjadi

bingung.

2) Bagaimana cara berkomunikasi: Hal ini mengarah pada cara

menyampaikan maksud dari pembicaraan antara penutur dan mitra tutur.

(35)

diberikan oleh penutur cukup seperlunya saja, jangan kurang dan jangan

lebih.

3) Mengapa sesuatu hal perlu dikomunikasikan: Penutur diajak untuk

bersikap jujur. Apa yang diungkapkan harus sesuai dengan hati nuraninya.

Jadi, apa yang akan dibicarakan harus benar-benar dipikirkan secara

matang supaya tidak terjadi salah paham antara penutur dan mitra tutur.

Untuk menentukan kesantunan bahasa verbal lisan kita juga perlu

memperhatikan aspek intonasi (keras lembutnya intonasi ketika seseorang

berbicara), aspek nada bicara (berkaitan dengan suasana emosi penutur: nada

resmi, nada bercanda atau bergurau, nada mengejek, nada menyindir), faktor

pilihan kata, dan faktor struktur kalimat (Pranowo, 2009:76).

Intonasi harus diperhatikan saat berkomunikasi supaya mitra tutur

merasa nyaman saat komunikasi sedang berlangsung. Tidak mungkin seorang

dengan jarak yang dekat akan menggunakan intonasi yang keras saat sedang

berkomunikasi dengan mitra tuturnya. Hal tersebut bisa saja menyindir mitra

tutur karena seolah menganggap mitra tutur tuli sehingga penutur harus

menggunakan intonasi yang keras saat sedang berbicara dengan mitra

tuturnya.

Nada berkaitan erat dengan perasaan. Misalnya saja saat sedang

bersedih, nada bicara dapat mewakili suasana hati dengan menurunkan nada

bicara sehingga menjadi datar. Sebaliknya, apabila sedang merasa senang,

(36)

bicara merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan supaya apa yang

dirasakan bisa tersampaikan kepada mitra tutur.

Dalam bahasa lisan, kesantunan juga dipengaruhi oleh faktor bahasa

nonverbal, seperti gerak-gerik anggota tubuh, kerlingan mata, gelengan

kepala, acungan tangan, kepalan tangan, tangan berkacak pinggang, dan

sebagainya (Pranowo, 2009:78). Gerak-gerik anggota tubuh biasanya terjadi

secara tidak kita sadari. Alwasillah (1985:13) menuliskan bahwa aspek-aspek

ini tidak perlu dibukukan atau sengaja diajarkan secara formal pada mereka

dan penerus mereka. Faktor bahasa nonverbal merupakan hal yang dipelajari

sebelum kita bisa bertutur kata, maka bahasa nonverbal dapat juga disebut

sebagai bumbu bahasa dalam percakapan.

c. Kriteria (skala) kesantunan

Kriteria (skala) ialah ukuran yang menjadi dasar penilaian atau

penetapan sesuatu (KBBI Daring). Banyak hal yang bisa dijadikan sebagai

ukuran suatu kesantunan, khususnya kesantunan dalam bahasa. Beberapa ahli

telah merangkum berbagai teori sebagai ukuran (skala) kesantunan. Tentunya

seseorang harus benar-benar mengetahui sesantun apakah tuturan yang

terucap, supaya dalam melakukan percakapan dengan mitra tuturnya tidak

menyinggung atau menyakiti mitra tuturnya.

Di bawah ini akan dijelaskan beberapa kriteria (skala) kesantunan

(37)

1) Skala Kesantunan Leech

Skala kesantunan yang dipaparkan oleh Leech terdiri dari lima skala

kesantunan saat bertutur kata.

a) Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, ukuran dari

skala ini ialah semakin tuturan merugikan diri penutur, akan dianggap

semakin santunlah tuturan tersebut. Sebaliknya, semakin tuturan itu

menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah

tuturan tersebut. Dalam hal ini, penutur sebisa mungkin harus bersikap

rendah hati saat bertutur kata. Seorang penutur tidak seharusnya

sombong dan angkuh bahkan tidak peduli dengan mitra tuturnya,

tetapi seorang penutur harus bisa membuat mitra tuturnya merasa

tidak dirugikan saat sedang melakukan percakapan.

b) Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau

sedikitnya pilihan (option) yang disampakan si penutur kepada si

mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu

memungkinkan penutur atau mitra tutur untuk menentukan pilihan

yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan

itu.

c) Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada

peringkat langsung atau tudak langsungnya maksud sebuah tuturan.

Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak

santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung,

(38)

Di negara Indonesia ini, skala ketidaklangsungan sering terjadi pada

masyarakat Jawa. Biasanya mereka menyampaikan sesuatu tidak

secara langsung melainkan harus berputar-putar sampai akhirnya ke

inti permasalahan yang ingin diutarakan.

d) Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan

status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam

pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan

mitra tutur. Tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin

santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di

antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan

tuturan yang digunakan dalam bertutur. Hal ini sangat jelas, saat

berbicara dengan seseorang yang jabatannya lebih tinggi darinya,

tentu bahasa yang digunakan akan sangat berbeda dengan bahasa yang

digunakan jika sedang bertutur kata dengan teman. Maka dari itu,

status sosial juga sangat mempengaruhi dan bisa menjadi tolok ukur

suatu kesantunan dalam berbahasa.

e) Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada

peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat

dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat

jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan semakin kurang

santunlah tuturan itu. Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan

antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat/skala

(39)

2) Skala kesantunan Brown and Levinson

Brown dan Levinson hanya mencantumkan tiga kriteria (skala) supaya

bahasa yang kita gunakan itu santun. Tiga kriteria (skala) tersebut

ditentukan secara kontekstual, sosial, dan kultural. Uraian dari ketiga

kriteria di atas akan dijelaskan lebih lanjut seperti di bawah ini.

a) Social distance between speaker and hearer atau skala peringkat jarak

sosial antara penutur dan mitra tutur. Skala ini banyak ditentukan oleh

parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang

sosiokultural.

b) The speaker and hearer relatif power atau Skala peringkat status

sosial antara penutur dan mitra tutur, seringkali disebut dengan

peringkat kekuasaan (power rating) didasarkan pada kedudukan

asimetrik (adanya kesenjangan) antara penutur dan mitra tutur.

c) The degree of imposition associated with required expenditure of

goods or services atau skala peringkat (rank rating) tindak tutur,

didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak

tutur lainnya.

3) Skala kesantunan Robin Lakoff

Seperti halnya Brown dan Levinson, Robin Lakoff juga merangkum

kriteria (skala) kesantunan tuturan menjadi tiga bagian. Ketiga skala

tersebut ialah skala formalitas, skala ketidaktegasan, dan skala kesamaan

(40)

tersebut menjadi jelas, di bawah ini akan dijelaskan tentang ketiga kriteria

(skala) yang dimaksudkan oleh Robin Lakoff.

a) Formality scale atau skala formalitas. Skala ini dinyatakan agar para

peserta tutur dapat merasa nyaman dan kerasan dalam kegiatan

bertutur. Tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan

tidak boleh berkesan angkuh. Dalam kegiatan bertutur, masing-masing

peserta tutur harus dapat menjaga keformalitasan dan menjaga jarak

yang sewajarnya antara yang satu dengan lainnya.

b) Hesitancy scale atau skala ketidaktegasan. Skala ini menunjukkan

bahwa penutur dan mitra tutur dapat saling merasa nyaman dalam

bertutur. Pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua

belah pihak. Seseorang tidak diperbolehkan bersikap terlalu tegang

dan terlalu kaku di dalam kegiatan bertutur karena akan dianggap

tidak santun.

c) Equality scale atau skala kesekawanan (kesamaan). Orang harus

bersikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak

satu dengan pihak lainnya. Agar tercapai maksud demikian, penutur

haruslah menganggap mitra tutur sebagai sahabat. Dengan

menganggap pihak yang satu sebagai sahabat bagi pihak lainnya, rasa

kesekawanan dan kesejajaran sebagai salah satu prasyarat kesantunan

akan dapat tercapai (Rahardi, 2005:66-70).

Dari pemaparan ketiga ahli bahasa tersebut, kemudian kita dapat

(41)

penjelasan yang diberikan oleh Leech, Brown dan Levinson, serta Robin

Lakoff, mereka menjelaskan beberapa kriteria (skala) kesantunan yang

isinya hampir sama. Pada dasarnya pemikiran ketiga tokoh di atas sama,

karena ketiga unsur yang disebutkan oleh masing-masing ahli banyak

kesamaan maksud di dalamnya.

Jika disimpulkan secara singkat, kriteria kesantunan yang harus

diperhatikan ialah jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, adanya satu

pilihan saat kita bertutur, status sosial, ketidaklangsungan menyampaikan

maksud saat bertutur kata, kedekatan dengan mitra tutur, dan adanya

otoritas antara penutur dan mitra tutur.

Gunarwan (1994:91-93) menuliskan pendapat Leech berkaitan

dengan skala kesantunan. Ia menuliskan bahwa ada tiga skala yang perlu

kita pertimbangkan untuk “menilai” derajat kesantunan sebuah direktif.

Ketiga skala itu, yang kesemuanya terangkum ke dalam skala pragmatik,

adalah skala biaya-keuntungan, skala keopsionalan, dan skala

ketaklangsungan. Dalam hal ini, kesantunan direktif (dari yang paling

kurang santun sampai yang paling santun) adalah fungsi (dalam pengertian

perhitungan diferensial-integral) dari ketiga skala tersebut. Di bawah ini

akan dicontohkan skala pertama yaitu skala biaya-keuntungan

(untung-rugi) dalam kaitannya dengan penutur (pur) dan pendengar (par). Skala ini

menjelaskan mengapa, walaupun sama-sama bermodus imperatif (dan

intonasi serta nada bertutur juga sama), ujaran-ujaran di bawah ini semakin

(42)

(1) Bersihkan toilet saya

(2) Kupaskan mangga

(3) Ambilkan koran di meja itu

(4) Beristirahatlah

(5) Dengarkan lagu kesukaanmu ini

(6) Minum kopinya

Dari contoh skala biaya-keuntungan di atas, kita bisa melihat

bahwa dalam tuturan modus imperatif juga pun memiliki tingkat

kesantunan yang berbeda. Apabila diamati dan dibaca dengan cermat

mulai dari contoh (1) sampai (5) perbedaan itu bisa kita lihat. Misalnya

saja pada kalimat (1) pur murni memberikan perintah kepada par tanpa

adanya imbalan sama sekali. Itu menunjukkan bahwa par mengalami

kerugian. Sedangkan pada (5) pur memerintahkan par untuk meminum

kopi. Secara tidak langsung par akan mendapatkan keuntungan apabila ia

meminum kopi tersebut.

Kedua, skala keopsionalan, dipakai untuk “menghitung” berapa

pur memberi par pilihan dalam melaksanakan tindakan. Makin besar

jumlah pilihan, makin santunlah tindak ujarnya.

(1) Pindahkan kotak ini

(2) Kalau tidak lelah, pindahkan kotak itu

(3) Kalau tidak lelah dan ada waktu,

(43)

(4) Kalau tidak lelah dan ada waktu, pindahkan kotak ini – itu kalau kamu mau

(5) Kalau tidak lelah dan ada waktu, pindahkan kotak ini – itu kalau kamu mau dan tidak berkeberatan

Skala ketiga, skala ketaklangsungan, dipakai untuk “mengukur”

ketaklangsungan tindak ujaran: seberapa panjang jarak yang “ditempuh”

oleh daya ilokuksioner sampai ia tiba di tujuan ilokusioner.

(1) Jelaskan persoalannya

(2) Saya ingin Saudara menjelaskan persoalannya.

(3) Maukah Saudara menjelaskan persoalannya?

(4) Saudara dapat menjelaskan persoalannya.

(5) Berkeberatankah Saudara menjelaskan

persoalannya?

d. Indikator kesantunan

Agar tuturan menjadi santun ada beberapa indikator kesantunan yang

perlu diperhatikan. Beberapa indikator tersebut telah dikemukakan oleh para

ahli. Pranowo (2009:100-104) menuliskan beberapa indikator kesantunan

oleh para ahli yang harus diperhatikan supaya komunikasi bisa berjalan

dengan baik.

1) Indikator kesantunan Dell Hymes (1978)

a) (S) Setting and Scene (latar) mengacu pada tempat dan waktu

terjadinya komunikasi.

Lebih langsung

Lebih tak langsung

Kurang santun

(44)

b) (P) Participants (peserta) mengacu pada tujuan yang ingin dicapai

dalam berkomunikasi. Lebih mengarah kepada sikap untuk saling

menjaga dan menghormati perasaan baik dari penutur atau dari mitra

tutur.

c) (E) Ends (tujuan komunikasi) mengacu pada tujuan yang akan dicapai

dalam berkomunikasi. Berkaitan dengan ini, tuturan yang diutarakan

oleh penutur harus lebih halus dan jangan sampai mitra tutur sakit hati

terhadap tuturan penutur.

d) (A) Act Sequence (pesan yang ingin disampaikan) mengacu pada

bentuk dan pesan yang ingin disampaikan. Bentuk pesan dapat

disampaikan dalam bahasa tulis misalnya berupa permintaan,

sedangkan isi pesan ialah wujud permintaannya.

e) (K) Key (kunci) mengacu pada pelaksanaan percakapan. Maksudnya,

bagaimana pesan tersebut disampaikan kepada mitra tutur (cara

penyampaian).

f) (I) Instrumentalities (Sarana) mengacu pada bentuk dan gaya bicara.

Maksudnya, penutur harus mempunyai gaya bicara saat bertutur kata

supaya menjadi menarik bagi mitra tuturnya (Emiritus, 1995:7).

g) (N) Norms (norma) yaitu pranata sosial kemasyarakatan yang

mengacu pada norma perilaku partisipan dalam berkomunikasi.

h) (G) Genres (ragam, register) mengacu pada ragam bahasa yang

(45)

2) Indikator kesantunan Grice (2000)

a) Ketika berbicara harus mampu menjaga martabat mitra tutur agar

tidak merasa dipermalukan.

b) Ketika berkomunikasi tidak boleh mengatakan hal-hal yang kurang

baik mengenai diri mitra tutur atau orang atau barang yang ada

kaitannya dengan mitra tutur.

c) Tidak boleh mengungkapkan rasa senang atas kemalangan mitra tutur.

d) Tidak boleh menyatakan ketidaksetujuan dengan mitra tutur sehingga

mitra tutur merasa jatuh harga dirinya.

e) Tidak boleh memuji diri sendiri atau membanggakan nasib atau

kelebihan diri sendiri.

3) Indikator kesantunan Leech (1983)

a) Tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur (maksim

kebijaksanaan “tact maxim”)

b) Tuturan lebih baik menimbulkan kerugian pada penutur (maksim

kedermawanan “generosity maxim”)

c) Tuturan dapat memberikan pujian kepada mitra tutur (maksim pujian

praise maxim”)

d) Tuturan tidak memuji diri sendiri (maksim kerendahan hati “Modesty

maxim”)

e) Tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur (maksim

(46)

f) Tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami

oleh mitra tutur (maksim simpati “thy maxim”)

g) Tuturan dapat mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang pada

mitra tutur (maksim pertimbangan “consideration maxim”)

4) Indikator kesantunan Pranowo (2005)

a) Angon rasa: memperhatikan suasana hati mitra tutur dan sebisa

mungkin membuat hati mitra tutur berkenan.

b) Adu rasa: mempertemukan perasaan penutur dan mitra tutur supaya

isi komunikasi menjadi sama-sama dikehendaki.

c) Empan papan: menjaga tuturan agar dapat diterima oleh mitra tutur.

d) Sifat rendah hati: menjaga agar penutur memperlihatkan

ketidakmampuannya di hadapan mitra tutur.

e) Sikap hormat: memposisikan mitra tutur pada tempat yang lebih

tinggi.

f) Sikap tepa selira: tuturan memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan

kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur.

Berkaitan tentang teori-teori tentang indikator di atas, dapat dilihat

bahwa kesantunan suatu tuturan ternyata memiliki beberapa indikator yang

dapat digunakan sebagai acuan saat bertutur dengan mitra tutur. Dilihat dari

beberapa indikator yang ada, indikator-indikator kesantunan di atas dibuat

berdasarkan kehidupan di masyarakat dalam melakukan suatu pertuturan

(47)

2. Bahasa Slang

Penggunaan kata slang yang semakin marak menambah ragam

bahasa yang terdapat di negara Indonesia. Keraf (1981:108) mendefinisikan

kata slang sebagai kata-kata nonstandar yang informal, yang disusun secara

khas; atau kata-kata biasa yang diubah secara arbitrer; atau kata-kata kiasan

khas, bertenaga dan jenaka yang dipakai dalam percakapan. Bahasa slang

yang hadir saat ini memang tampak telah disusun secara khas, karena mudah

dimengerti bagi kelompoknya, dan juga hanya dipakai sebagian orang saja.

Kata slang sebenarnya bukan hanya digunakan oleh kaum muda

saja. Semua orang tanpa batasan apapun sebenarnya seringkali menggunakan

bahasa slang sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Kesadaran dalam

pemakaian bahasa slang tersebut yang sebenarnya perlu ditinjau ulang dan

dilihat secara lebih serius. Pei dan Gaynor (1954) dalam Alwasilah

(1985:56-57) menuliskan ”a style of language in faitly common use, produced by

popular adaptation and extension of the meaning of existing words and by

coining new words with disregard for scholastic standards and linguistic

principles of the formation of words, generally peculiar to certain classes and

social or age groups”. Intinya, Pei dan Gaynor ingin mengatakan bahwa

slang merupakan bentuk bahasa yang dipakai secara umum, kemudian dibuat

dengan adaptasi yang populer (sesuai dengan zamannya), dan kemudian

menyusun kata-kata baru tersebut tanpa melihat standar atau kaidah-kaidah

kebahasaan yang ada. Pada umumnya hanya digunakan oleh

(48)

Alwasillah (1985:57) juga mengutip tulisan Hartman & Stork

(1972:120) yang mendefinisikan kata slang. “a variety of speech

characterized by newly coined and rapidly changing vocabulary, used by the

young or by social and professional groups for ‘in-group’ communication

and thus tending top revent understanding by the rest of the speech

community”. Mereka mengatakan bahwa slang merupakan berbagai ujaran

yang ditandai dengan kosakata baru yang diciptakan, tetapi kemudian

kosakata tersebut cepat berubah, biasanya digunakan oleh generasi muda atau

kelompok sosial dan profesional. Bahasa ini digunakan untuk komunikasi

'dalam kelompok'. Dengan demikian cenderung tidak seluruh masyarakat

mengetahui tuturan yang digunakan dalam kelompok tersebut.

Bahasa slang yang telah dikenal tidak bisa bertahan lama karena

bahasa tersebut ternyata adalah bahasa musiman. Kebosanan setiap orang

dalam penggunaan bahasa slang terletak pada intensitas penggunaan bahasa

tersebut. Semakin sering bahasa baru digunakan dan semakin banyak orang

mengetahui bahasa tersebut, maka bahasa tersebut lama-kelamaan tidak akan

lagi dipakai karena setiap orang pasti memiliki titik jenuh terhadap sesuatu.

Sebagai contoh kata slang yang sering digunakan, kata ”ciyus” yang memiliki

arti serius. Kata itu muncul pada akhir tahun 2012, belum mencapai umur

yang panjang kata tersebut saat ini sudah sangat jarang digunakan.

Kita bisa melihat pada awal mula kemunculan kata tersebut,

(49)

menggunakan kata tersebut untuk menjawab atau menanggapi sesuatu yang

sebenarnya penting. Misalnya saja dalam suatu percakapan:

(A)Hei, hari ini kamu kelihatan sumringah, ada apa? (B)Ciyuuss…??

Dari percakapan tersebut kita mengetahui bahwa percakapan secara tidak

langsung tidak dapat dilanjutkan. Penutur yang bertanya secara halus dan

sopan ternyata hanya dibalas dengan jawaban singkat dan bahkan itu pun

tidak menjawab pertanyaan dari penutur sama sekali. Mitra tutur seakan tidak

mengerti keadaan/situasi yang terjadi saat itu.

Kadangkala kata slang dihasilkan dari salah ucap yang disengaja,

atau kadangkala berupa pengrusakan sebuah kata biasa untuk mengisi suatu

bidang makna yang lain (Keraf, 1985:108). Secara tak langsung, Keraf ingin

mengatakan bahwa kata slang itu muncul karena kebiasaan ngawur saat

bertutur kata. Saat seseorang mengucapkan sesuatu dan menghasilkan ucapan

yang mungkin terdengar menarik bahkan mudah untuk dimengerti, maka

dengan persetujuan bersama (kelompok tertentu) kata tersebut digunakan

sebagai bahasa percakapan.

Keraf (1985:109) menuliskan bahwa kata-kata slang memiliki dua

kekurangan. Pertama, hanya sedikit yang hidup terus; kedua, pada umumnya

kata-kata slang menimbulkan ketidaksesuaian. Hal ini terjadi seperti telah

dikatakan di atas, semakin bahasa tersebut terlalu sering digunakan, maka

bahasa tersebut akan segera lusuh dan kehilangan tenaganya. Kita harus

mengetahui bagaimana keindahan suatu bahasa, supaya bahasa yang kita

(50)

3. Faktor Kebahasaan sebagai Penanda Kesantunan

Kesantunan merupakan hal yang dibutuhkan setiap orang dalam

melakukan interaksi. Terjadinya interaksi yang ideal membutuhkan suatu

penanda supaya apa yang dikomunikasikan menjadi jelas dan berjalan dengan

lancar. Hubungan antara penutur dan mitra tutur menjadi lebih baik karena

keduanya saling mengerti apa yang sedang dipercakapkan. Berikut dijelaskan

tentang dua faktor kebahasaan yang bisa dijadikan sebagai penanda

kesantunan saat bertindak tutur.

a. Pemakaian pilihan kata (diksi)

Kemunculan bahasa slang bisa dijadikan sebagai kekayaan bahasa

dalam ragam bahasa. Bahasa slang muncul supaya komunikasi yang terjadi di

kalangan tertentu menjadi mudah dan lancar. Hanya saja kemunculan bahasa

slang tersebut kurang memperhatikan diksi dalam menggunakan kata.

Beberapa bahasa slang malah banyak yang menimbulkan kata menjadi tidak

benar. Memang bahasa slang digunakan untuk mempermudah seseorang

dalam berkomunikasi, tetapi kemudahan itu malah menjadikan bahasa slang

yang muncul sebagai bentuk ragam bahasa tidak memperhatikan ketepatan

dalam pemilihan kata.

Diksi atau lebih dikenal sebagai pilihan kata tidak hanya digunakan

untuk mengungkapkan suatu gagasan, ide, gaya bahasa, dan ungkapan (Keraf,

1985:21-22). Diksi merupakan suatu cara bagaimana kita mempelajari dan

menggunakan kata secara benar. Seorang yang sedang melakukan tuturan

(51)

bisa berjalan dengan benar. Ide dan gagasan yang dituangkan harus

benar-benar matang, supaya jangan sampai kita menyinggung perasaan mitra tutur

saat sedang melakukan percakapan.

Adalah suatu kekhilafan yang besar untuk menganggap persoalan

pilihan kata adalah persoalan yang sederhana, persoalan yang tidak perlu

dibicarakan atau dipelajari karena akan terjadi dengan sendirinya secara wajar

pada setiap manusia (Keraf, 1985:23). Pilihan kata bagi Keraf bukanlah

permasalahan bagaimana kita memilih kata secara benar, tetapi juga ini

menyangkut bagaimana tuturan dari penutur bisa diterima oleh mitra tutur.

Setiap kata yang terucap harus mengandung arti dan maksud tentang apa yang

sedang dibicarakan. Seseorang tidak boleh berucap dengan asal-asalan,

bahkan sampai tidak ada artinya.

Finoza (2005:105-106) menuliskan ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pilihan kata. Pertama, kemahiran memilih kata hanya dimungkinkan bila seseorang menguasai kosakata yang cukup luas. Kedua, diksi atau pilihan kata mengandung pengertian upaya kemampuan membedakan secara tepat kata-kata yang memiliki nuansa makna serumpun. Ketiga, diksi atau pilihan kata menyangkut kemampuan untuk memilih kata-kata yang tepat dan cocok untuk situasi tertentu.

Dari ketiga hal penting tersebut, tentunya kita semakin mengerti akan

fungsi dari diksi tersebut. Sebagai masyarakat yang menggunakan bahasa

sebagai alat komunikasi, kita tentunya harus bisa menerapkannya dalam

kehidupan kita supaya dalam melakukan percakapan satu sama lain bisa

Gambar

TABEL 1 KRITERIA KEEFEKTIFAN TUTURAN .................................  82
TABEL 1 KRITERIA KEEFEKTIFAN TUTURAN
tabel 1. kriteria kefektivitasan tuturan. Walau masih banyak tuturan yang

Referensi

Dokumen terkait

Di artikel ini telah diperlihatkan skema teleportasi kuantum terkontrol yakni pengiriman informasi dua kubit sembarang dari Alice kepada Bob di kejauhan dibawah kontrol dari Char-

Hubungan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik dalam

fisik. Indikator dari dimensi ini adalah: a) jasa yang ditawarkan berkualitas tinggi; b) jasa yang ditawarkan memiliki fitur yang lebih baik dibandingkan pesaing- nya; dan

Berdirinya pergerakan Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 adalah simbol perlawanan anak pribumi yang muak dengan perilaku penjajah Belanda yang menindas secara

Nomor 2 Tahun 2009 tentang Biaya Proses Penyelesaian Perkara dan Pengelolaannya pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya.. Surat Edaran

Akan tetapi, penggunaan kurva eliptik tiga dimensi masih belum bisa dimaksimalkan apabila tidak terjadi penyesuaian terhadap algoritma kriptografi yang dipakai, dimana

Rancangan halaman administrator merupakan halaman khusus untuk pengguna yang telah memiliki hak akses yaitu editor dan administrator dan berfungsi sebagai tempat