• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh stresor dengan metode bising dan aktivitas fisik maksimal terhadap jumlah leukosit pada tikus putih jantan - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pengaruh stresor dengan metode bising dan aktivitas fisik maksimal terhadap jumlah leukosit pada tikus putih jantan - USD Repository"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH STRESOR DENGAN METODE BISING DAN METODE AKTIFITAS FISIK MAKSIMAL TERHADAP JUMLAH LEUKOSIT

PADA TIKUS PUTIH JANTAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Arum Sih Kristining Tyas NIM : 088114074

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

ii

PENGARUH STRESOR DENGAN METODE BISING DAN METODE AKTIFITAS FISIK MAKSIMAL TERHADAP JUMLAH LEUKOSIT

PADA TIKUS PUTIH JANTAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Arum Sih Kristining Tyas NIM : 088114074

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

PENGARUH STRESOR DENGAN METODE BISING DAN AKTIFITAS FISIK MAKSIMAL TERHADAP JUMLAH LEUKOSIT

PADA TIKUS PUTIH JANTAN

Yang diajukan oleh : Arum Sih Kristining Tyas

NIM : 088114074

Telah disetujui oleh :

Pembimbing :

(4)
(5)

v

“No matter about the result, because the best one that you can get is the learning during the process”.

“Setiap orang adalah juara bagi dirinya sendiri”.

(Hidup Berawal dari Mimpi, Fahd Djibran, Bondan, dan Fade 2 Black)

Karya ini saya persembahkan untuk:

Tuhan yang Maha Esa, Bapak dan Ibuku, kakak dan adik-adikku, serta semua orang yang berperan dalam proses hidupku.

Di tengah gurun yang tertebak, jadilah saja salju yang abadi. Embun pagi tak akan kalahkan dinginmu, angin malam akan menggigil ketika melewatimu, oase akan jengah dan kaktus terperangah. Semua butir pasir akan tau jika kau pergi, atau sekadar bergerak dua inci.

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 19 Juli 2012

Penulis

(7)

vii

LEMBAR PENGESAHAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Arum Sih Kristining Tyas

Nomor Mahasiswa : 088114074

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

Pengaruh Stresor dengan Metode Bising dan Metode Aktifitas Fisik Maksimal Terhadap Jumlah Leukosit pada Tikus Putih Jantan

Beserta perangkatnya yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 19 Juli 2012

Yang menyatakan

(8)

viii

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas berkat, rahmat, tuntunan serta penyertaan-Nya yang menjadi inspirasi dan kekuatan penulis selama penulis menuntut ilmu di Universitas Sanata Dharma hingga terselesaikannya penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Pengaruh Stresor Dengan Metode Bising Dan Metode Aktifitas Fisik Maksimal

Terhadap Jumlah Leukosit Pada Tikus Putih Jantan”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar kesarjanaan Strata Satu (S1) Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari penyusunan skripsi ini tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak yang dengan tulus hati membantu hingga terselesaikannya skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Farmasi Sanata Dharma, atas bimbingannya selama penulis berproses di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Alm. Drs. Mulyono., Apt yang telah membantu kami dalam proses pencarian judul skripsi.

(9)

ix

4. Ibu Phebe Hendra, M.Si.,Ph.D., Apt. dan Ibu dr. Fenty, M.Kes, Sp.PK. selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran dalam skripsi ini.

5. Ibu Rini Dwiastuti M.Sc., Apt. selaku kepala penanggungjawab Laboratorium Fakultas Farmasi yang telah memberi izin dalam penggunaan fasilitas Laboratorium Farmakologi demi terselesaikannya skripsi ini.

6. Bapak Dr. Ignasius Edi Santosa M.S. selaku kepala penanggungjawab laboratorium fisika yang telah member ijin dalam peminjaman alat “sound level meter” demi terselesaikannya skripsi ini.

7. Bapak dan Ibuku tersayang yang telah mendukung setiap proses dalam hidup penulis dengan penuh kasih sayang dan cinta kasih. Semoga karya ini dapat membanggakan dan diterima sebagai tanda bakti dan terima kasihku.

8. Kakakku (Lian) dan adik-adikku (Agung dan Agatha) yang tersayang. Terima kasih atas kasih sayang, dukungan, doa dan semangat yang selalu kalian berikan.

9. Mbah Kakung, Mbah Putri, Budhe, Pakdhe, Bulek, Om, Mbak, Mas dan adik-adik yang selalu memberikan bimbingan, dukungan, doa dan kasih sayangnya. 10. Gigih Adiguna untuk kasih sayang, kesabaran, dukungan, inspirasi, dan

semangat yang selalu diberikan.

(10)

x

12. Laboran laboratorium (Mas Parjiman, Mas Kayat, Mas Heru, dan Mas Satijo) dan dr Ary atas bantuannya dalam memberikan saran, serta dalam penyediaan sarana dan prasarana penelitian.

13. Teman-teman kost Pelangi (Ida, Gina, Andien, Wenny, Ayen, Itin, Hera, Laras, Nisa, Cintya) dan juga teman-teman kost pak Narkoyo (Shinta dan Tika) yang telah banyak membantu dalam proses belajarku, terima kasih atas semangat dan kebersamaan yang kita jalani.

14. Semua teman-teman angkatan 2008, Teman-teman FKK-A 2008, teman-teman JKMK, dan partner kerja P3MP atas dukungan dan kebersamaannya selama ini, terima kasih telah menjadi bagian dari proses belajarku.

15. Semua pihak, yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis, tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Untuk itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan berperan dalam pengembangan untuk kemajuan masyarakat.

Yogyakarta,

Penulis

(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PENGESAHAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vii

PRAKATA ... viii-x DAFTAR ISI ... xi-xiii DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

INTISARI ... xvii

ABSTRACT ... xix

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1.Permasalahan ... 4

2. Keaslian penelitian ... 4

(12)

xii

B. Tujuan ... 7

1.Tujuan umum ... 7

2.Tujuan khusus ... 7

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 8

A. Stres ... 8

B. Distres ... 8

C. Eustres ... 9

D. Pendekatan-pendekatan Stres ... 10

E. Stresor ... 11

F. Tahapan Reaksi Fisiologis Stres ... 12

G. Respon Fisiologis Tubuh terhadap Stres ... 15

H. Bising ... 16

I. Aktifitas Fisik Maksimal ... 18

J. Sistem Kekebalan Tubuh ... 19

K. Stres dan Sistem Kekebalan ... 22

L. Stres dan Jumlah Leukosit ... 24

M. Metode Penghitungan Jumlah Leukosit ... 25

N. Landasan Teori ... 26

O. Hipotesis ………... 27

BAB III METODE PENELITIAN ... 28

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 28

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 28

(13)

xiii

2. Definisi operasional ... 29

C. Bahan Penelitian ... 30

D. Alat Penelitian ... 30

E. Tata Cara Penelitian ... 31

1. Pemilihan hewan uji ... 31

2. Perlakuan hewan uji sebelum pengujian ... 31

3. Metode pelakuan stres ... 31

4. Penghitungan jumlah leukosit ... 35

G Analisis Hasil ... 35

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

A. Pengaruh Stresor dengan Metode Bising terhadap Jumlah Leukosit Tikus Putih Jantan ... 36

B. Pengaruh Stresor dengan Metode Aktifitas Fisik Maksimal terhadap Jumlah Leukosit Tikus Putih Jantan ... 42

C. Perbedaan Pengaruh Stresor dengan Metode Bising dan Metode Aktifitas Fisik Maksimal terhadap Jumlah Leukosit Tikus Putih Jantan ... 48

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 51

A. Kesimpulan ... 51

B. Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52

LAMPIRAN ... 55

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Rata-rata Jumlah Leukosit Pra Perlakuan, 3 Hari, dan 15 Hari

Perlakuan pada Kelompok Kontrol dan Kelompok

Perlakuan Bising ... 36 Tabel 2. Rangkuman Hasil Uji Repeated Anova dengan Taraf

Kepercayaan 95% pada Masing-masing Kelompok Bising

………... 37 Tabel 3. Rata-rata Jumlah Leukosit Pra Perlakuan, 3 Hari, dan 15

Hari Perlakuan pada Kelompok Kontrol dan Kelompok

Perlakuan AFM ... 47 Tabel 4. Rangkuman Hasil Uji Repeated Anova dengan Taraf

Kepercayaan 95% pada Masing-masing Kelompok AFM

... 42 Tabel 5. Tabel Rata-rata Selisih Jumlah Leukosit Kelompok Bising

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Skema Stres Sebagai Stimulus... 9

Gambar 2. Skema Stres Sebagai Respon... 9

Gambar 3. SkemaGeneral Adaptation Syndrome... 12

Gambar 4. Gambaran ResponGeneral Adaptation Syndrome... 14

Gambar 5. Stres dan Perubahan pada Fisiologi ... 15

Gambar 6. Kurva Jumlah Leukosit Vs Lama Perlakuan ... 39

Gambar 7. Diagram Batang Perbandingan Rata-rata Selisih Bising dan Kontrol... 41

Gambar 8. Kurva Jumlah Leukosit vs Lama Perlakuan AFM ... 43

Gambar 9. Diagram Batang Perbandingan Rata-rata Selisih AFM dan Kontrol... 45

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Foto Tikus Diberi Metode Stresor Bising……... 55

Lampiran 2 Foto Tikus yang Diberi Metode Stresor Aktivitas Fisik Maksimal………... 55

Lampiran 3. Tabel Data Hasil Jumlah Leukosit Perlakuan Bising ... 56

Lampiran 4. Tabel Data Hasil Jumlah Leukosit Perlakuan Fisik ... 57

Lampiran 5. Tabel Data Hasil Jumlah Leukosit Perlakuan Kontrol... 58

Lampiran 6. Hasil Uji Repeated Anova Kelompok Bising …………... 59

Lampiran 7. Hasil uji repeated anova kelompok AFM... 60

Lampiran 8. Hasil uji repeated anova kelompok Kontrol... 61

Lampiran 9. Hasil UjiIndependent t testSampel Kelompok Bising Selisih Pra perlakuan – 3 hari perlakuan ... 62

Lampiran 10. Hasil UjiIndependent t testSampel Kelompok AFM elisih Pra perlakuan – 3 hari perlakuan ... 63

Lampiran 11. Hasil UjiIndependent t testSampel Kelompok Bising dan AFM Selisih Pra perlakuan – 3 hari perlakuan ... 64

Lampiran 12. HasilUji Independent t testSampel Kelompok Bising 3 hari perlakuan – 15 hari perlakuan ... 65

(17)

xvii

Lampiran 14. Hasil UjiIndependent t testSampel Kelompok Bising dan

AFM 3 hari perlakuan – 15 hari perlakuan ... 67 Lampiran 15. Hasil UjiIndependent t testSampel Kelompok Bising dan

Kontrol pra perlakuan – 15 hari perlakuan ... 68 Lampiran 16. Hasil UjiIndependent t testSampel Kelompok AFM dan

Kontrol pra perlakuan – 15 hari perlakuan ... 69 Lampiran 17. Hasil UjiIndependent t testSampel Kelompok Bising dan

(18)

xviii INTISARI

Stres dapat memicu produksi kortisol yang dapat menekan sistem imun sehingga sistem kekebalan menjadi lemah dan kemampuan untuk menyerang infeksi menjadi tereduksi. Salah satu bagian dari sistem imun adalah leukosit. Penelitian ini akan melihat jenis metode stresor yang memberikan efek paling signifikan terhadap perubahan jumlah leukosit dari hewan uji.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian Pretest-Posttest Group Design.Penelitian ini menggunakan tikus putih jantan galur Wistar, umur 2-3 bulan, berat 200-300 gram. Tikus dibagi menjadi kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Pada kelompok perlakuan hewan uji dibagi menjadi kelompok perlakuan stresor dengan metode bising dan aktifitas fisik maksimal. Kelompok kontrol hewan uji tanpa perlakuan. Kelompok stresor dengan metode bising diberi perlakuan bising intensitas 85-100 dB selama 2 jam, pada kelompok aktifitas fisik maksimal hewan uji diberi perlakuan berenang selama 30 menit. Data yang diperoleh berupa jumlah leukosit pada sebelum, 3 hari, dan 15 hari perlakuan yang kemudian dilakukan uji statistik. Distribusi data diketahui dengan uji Sapphiro-Wilk, dilanjutkan dengan uji repeated anova dengan taraf kepercayaan 95%, kemudian untuk melihat perbedaan 2 kelompok yang berbeda dilakukan denganuji independent t-test.

Hasil analisis pemberian stresor dengan metode bising dan aktifitas fisik maksimal menunjukkan bahwa stres meningkatkan jumlah leukosit pada 3 hari perlakuan secara signifikan dan penurunan jumlah leukosit yang tidak signifikan pada 15 hari perlakuan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Terdapat perbedaan signifikan pada selisih peningkatan jumlah leukosit pra perlakuan sampai 15 hari perlakuan pada kelompok bising dan aktifitas fisik maksimal, dimana aktifitas fisik maksimal lebih tinggi dari bising.

(19)

xix ABSTRACT

Stress can trigger the production of cortisol that can supress the immune respon, and make the immunity system become weak and it will reduce the capability to attack the infection. Leukocytes is a part of immune system. This research will observe the kind of stressor method that can give the significant effect toward the number leukocytes of rat.

This research is a pure experimental with pretest-posttest Group design. This research uses white male rat wistar groove, the age are 2-3 month, and their weight 200-300 grams. These Rat are divided as control group and treatment group. In a treatment group the rat also grouping that be given of noisy stressor and maximal physical activity stressor. The control group are without any treatment. The noisy method group is given treatment by a noisy with intensity 85-100 dB for 2 hours, and the maximal physical activity method group is given treatment by swimming 30 minutes. The output data is number of leucocytes before treatment, 3 days, and 15 days treatment and these data will be analyzed statistically. The data distribution will be known with sapphiro-wilk test and it is continued to repeated anova test with interval 95% and to find the differences of 2 different group is used independent t-test.

The result of analysis is the given of noisy stressor and maximal physical activity method show that stress can increase the number of leucocytes in 3 days treatment significantly and decrease the number of leucocytes not significantly in 15 days treatment compare to a control group. There are significant differences in the increment increase in the number of leukocytes pre-treatment to 15 days of treatment of noise and the maximum physical activity, in which maximal physical activity method is higher than the noisy method.

(20)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar belakang

Stres merupakan masalah kesehatan yang terbesar pada abad XXI.World Health Organisation (WHO) menemukan bahwa stres berperan secara langsung maupun tidak langsung sebagai pemicu berbagai penyakit yang berakhir fatal di negara-negara maju tahun 1994 sampai 2006 (Nurdin, 2011). Looker dan Gregson (2005) mendefinisikan stres sebagai sebuah keadaan yang kita alami ketika ada ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang kita terima dengan kemampuan untuk mengatasinya. Stres sering terjadi pada setiap individu. Stres atau tekanan yang dihadapi masing-masing individu berbeda-beda jenis, penyebab dan intensitasnya. Keadaan stres juga dipengaruhi dari paparan penyebab stres atau stresor yang berbeda dan jangka waktu pemaparan stres yang berbeda pula.

Stresor merupakan suatu pengalaman yang akan memicu terjadinya respon stres (Pinel, 2009). Terdapat beberapa macam metode stresor, diantaranya adalah metode bising dan metode aktifitas fisik maksimal. Metode bising yaitu metode pemberian paparan bising > 85 dB yang merupakan batas dengar tertinggi dari kondisi jalan raya yang hiruk pikuk, perusahaan yang gaduh dan pluit polisi (Inayah, 2008). Metode aktifitas fisik maksimal yaitu dengan berenang selama 25-45 menit sampai tercapai aktifitas fisik maksimal (Harahap, 2008).

(21)

panjang yang sering disebut sebagai stres kronis. Segerstrom dan Miller 2004, (cit., Pinel, 2009) mengemukakan bahwa stres dalam jangka pendek dapat menghasilkan perubahan yang membantu tubuh untuk merespon stresornya, tetapi dalam jangka panjang dapat menghasilkan perubahan yang maladaptif.

Stres merupakan suatu faktor yang sangat berpengaruh terhadap kondisi karena respon stres melibatkan semua fungsi tubuh sehingga terlampau besarnya distres (stres negatif) akan menghabiskan sumber-sumber adaptif tubuh dapat menyebabkan kelelahan. Keadaan kelelahan ini dapat memicu terjadinya beragam masalah kesehatan. Diperkirakan 75 persen penyakit yang dilaporkan kepada badan-badan kesehatan masyarakat berhubungan dengan stres (Looker dan Gregson, 2005). Pinel (2009) mengemukakan bahwa stres dapat mempengaruhi semua sistem tubuh, salah satunya adalah kondisi kekebalan tubuh atau sistem imun hal ini ditunjukan dengan adanya penemuan bahwa stres dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Sistem imun merupakan sistem kekebalan yang membantu tubuh mempertahankan diri dari penyakit infeksi. Salah satu bagian dari sistem kekebalan tubuh adalah leukosit (Nevid, Rathua, dan Greene, 2005).

(22)

Limbic-hypothalamo-pituitary-adrenal (LHPA)dan memicu sekresi kortisol yang akan menyebabkan terjadinya penurunan fungsi imun dan kerusakan sel saraf neuron pada hippocampus. Perubahan ini juga memungkinkan peningkatan resiko terjadinya infeksi (Ogden, 2007). Pada jurnal milik Marita, Kandregula dan Rao (2010) dinyatakan mekanisme yang mendasari perubahan respon imun terkait dengan induksi kebisingan kemungkinan disebabkan tidak hanya oleh perubahan neuroendokrin, tetapi juga terkait dengan ketidakseimbangan stres oksidatif, sedangkan pada penelitian Harahap (2008) menjelaskan kondisi stres akibat aktifitas fisik maksimal dapat terkait dengan ketidakseimbangan stres oksidatif. Percobaan yang dilakukan oleh Inayah (2008) dalam penelitiannya menunjukan bahwa hitung jumlah leukosit dapat mewakili kesatuan sistem imun untuk mengetahui perubahan respon imun.

(23)

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru bagi masyarakat tentang pengaruh stresor dengan metode aktivitas fisik maksimal dan metode bising serta lama paparannya terhadap kondisi sistem imun yang dalam hal ini ditunjukan oleh jumlah leukosit. Sehingga masyarakat luas maupun dari kalangan kesehatan dapat menanggapi hal tersebut dengan lebih waspada dan mungkin bisa meningkatkan tindakan pencegahan dengan lebih menjaga kondisi tubuh.

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan maka dapat dirumuskan permasalah yaitu:

1. Bagaimana pengaruh lama paparan stresor (stres jangka pendek dan stres jangka panjang) terhadap jumlah leukosit hewan uji?

2. Apakah terdapat perbedaan pengaruh stresor dengan metode aktivitas fisik maksimal dan metode bising terhadap jumlah leukosit?

2. Keaslian penelitian

Beberapa penelitian tentang stres yang pernah dilakukan diantaranya adalah:

(24)

b. Pengaruh stres terhadap aktivitas motorik mencit dengan metode sangkar putar dan ketahanan berenang (Shinta, 2006) yang dipublikasikan di Universitas Sanata Dharma. Hasil analisis pada metode sangkar dan metode ketahanan berenang menunjukkan bahwa stres mampu mempengaruhi aktivitas motorik yang ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah putaran pada metode sangkar putar dan semakin cepat mencit tenggelam pada metode ketahanan berenang. c. Pengaruh kebisingan terhadap jumlah leukosit mencit BALB/C (Inayah, 2008)

yang dipublikasikan oleh Universitas Diponegoro. Hasil dari penelitian ini menunjukan tentang pengaruh bising terhadap jumlah leukosit rata-rata yang didapatkan adalah K=5788 per mm3 dan P=6333 per mm3. Hitung jumlah leukosit kelompok P lebih tinggi dari kelompok K, namun perbedaan itu tidak signifikan. Perbedaan penelitian yang dilakukan adalah pada desain penelitian ini yang menggunakanPost Test Only Control Group Design, sedangkan pada penelitian ini digunakan desain Pre-Post Test Control Group Design. Hasil dimana jumlah leukosit milik penelitian Inayah tidak meningkat secara signifikan karena hanya dilakukan 1 kali pengambilan darah yaitu pada akhir perlakuan sehingga tidak menggambarkan perubahan jumlah leukosit sebelum dan sesudah pemberian stresor. Pada penelitian ini juga digunakan dua jenis stresor, sedangkan pada penelitian Inayah hanya digunakan satu jenis stresor. d. Pengaruh aktivitas fisik maksimal terhadap jumlah leukosit dan hitung leukosit

(25)

(6338,10 ± 525,81 – 11542,86 ± 1084,70). Perbedaan penelitian yang dilakukan Harahap dengan yang dilakukan peneliti terletak pada variabel jenis stresor yang digunakan. Pada penelitian Harahap hanya digunakan satu jenis stresor yaitu metode stresor berupa perlakuan aktifitas fisik maksimal, sementara pada penelitian ini digunakan dua macam metode stresor yaitu aktifitas fisik maksimal dan bising, selain itu pada penelitian ini juga dilakukan pengamatan mengenai pengaruh lama paparan stres terhadap jumlah leukosit yaitu dengan melakukan pengujian pada 3 hari dan 15 hari perlakuan stres.

Sejauh yang penelusuran pustaka yang dilakukan penulis belum pernah dilakukan dan dipublikasikan penelitian mengenai pengaruh stresor dengan metode aktivitas fisik maksimal dan metode bising terhadap jumlah leukosit pada tikus putih jantan.

3. Manfaat penelitian

Penelitian mengenai pengaruh stresor dengan metode bising dan aktifitas fisik maksimal terhadap jumlah leukosit ini diharapkan memiliki beberapa manfaat, antara lain:

a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi mengenai perbedaan pengaruh stresor dengan metode aktifitas fisik maksimal dan metode bising serta lama paparannya terhadap jumlah leukosit.

(26)

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu metode alternatif untuk pengujian pengaruh stresor dengan metode aktifitas fisik maksimal dan metode bising serta lama paparannya terhadap jumlah leukosit dimana dengan metode ini dapat diketahui jenis stresor apa yang memberikan perubahan jumlah leukosit yang signifikan.

c. Manfaat praktis

Manfaat praktis yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah dapat memberikan informasi baru kepada masyarakat dalam pelayanan kefarmasian tentang dampak stresor dengan metode aktifitas fisik maksimal dan metode bising serta lama paparannya terhadap jumlah leukosit.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum :

Untuk mengetahui pengaruh stresor dengan metode aktifitas fisik maksimal dan metode bising serta lama paparannya terhadap jumlah leukosit.

2. Tujuan khusus

(27)

8

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Stres

Stres merupakan suatu dorongan atau tuntutan yang dapat menghasilkan suatu rasa tegang, cemas, dan akhirnya membutuhkan energi sebagai kompensasinya, dimana tubuh akan mengalami usaha mengadaptasi stres tersebut baik secara psikologis maupun fisiologis. (Sundberg, Winebarger, dan Tapli, 2007) Menurut kamus kedokteran Dorland, stres dapat didefinisikan kumpulan reaksi biologis terhadap setiap rangsangan yang merugikan, fisik, mental, atau emosional, internal atau eksternal, yang cenderung mengganggu homeostasis darri organisme (Dorland, 1998). Sarwono (1992) mendefinisikan stres sebagai beban mental yang oleh individu bersangkutan akan dikurangi atau dihilangkan. Untuk mengurangi dan menghilangkan stres, individu tersebut melakukan tingkah laku penyesuaian atau disebut juga coping behavior, yang jika berhasil maka akan mengembalikan kondisi individu pada keadaan homeostasis, sedangkan bila tidak berhasil maka akan kembali pada keadaan stres lagi, bahkan kemungkinan stres itu bertambah besar.

B. Distres

(28)

diri dalam keadaan depresi (Nurdin, 2011). Distres merupakan keadaan dimana seseorang mengalami jumlah tuntutan yang semakin meningkat atau ketika seseorang memandang tuntutan-tuntutan yang menghadang sebagai sebuah ancaman atau kesulitan (Looker dan Gregson, 2005).

C. Eustres

(29)

D. Pendekatan – pendekatan Stres

Stres dapat dikonseptualisasikan melalui berbagai macam titik pandang (Smet, 1994). Diantara lain adalah:

1. Stres sebagai stimulus.

Gambar 1. Stres sebagai stimulus. (Smet, 1994)

Dari gambar 1 dijelaskan bahwa menurut konsep ini titik beratnya terdapat pada lingkungan dan stres digambarkan sebagai stimulus atau variabel bebas. (Smet, 1994).

2. Stres sebagai respon.

(30)

Dari gambar 2 dapat dilihat pada pendekatan yang kedua ini fokusnya terletak pada reaksi seseorang terhadap stresor dan menggambarkan bahwa stres merupakan suatu respon atau variabel tergantung (Smet, 1994).

3. Stres sebagai interaksi antara individu dengan lingkungan.

Pendekatan yang ketiga ini memberikan gambaran stres sebagai suatu proses yang meliputi stresor dan strain dengan menambahkan dimensi hubungan antara individu dengan lingkungan. Pada pendekatan ini dinyatakan stres bukan hanya suatu stimulus atau sebuah respon saja melainkan juga proses dimana seseorang merupakan pengantara atau agen yang aktif dan dapat mempengaruhi stresor antara lain melalui strategi-strategi perilaku, kognitif dan emosional. Dijelaskan pula bahwa setiap individu memberikan reaksi yang berbeda-beda pada stresor yang sama (Smet, 1994).

E. Stresor

Stresor adalah suatu stimulus atau dorongan dari lingkungan dapat berupa fisik, psikologi maupun sosial yang dapat menghasilkan respon stres atau penegangan (Sundberg dkk., 2007). Menurut Sriati (2008) stresor adalah semua kondisi stimulasi yang berbahaya dan menghasilkan reaksi stres, misalnya jumlah semua respons fisiologik nonspesifik yang menyebabkan kerusakan dalam sistem biologis.

(31)

Coping berkaitan dengan konsep mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan merupakan suatu metode tak sadar yang biasa digunakan individu dalam menghadapi stres negatif (distres) dan rasa cemas. Mekanisme pertahanan dapat diwujudkan dalam bentuk represi (berusaha untuk melupakan), atau displacement (mengalihkan amarah pada orang lain) (Sundberg dkk., 2007) .

F. Tahapan Reaksi Fisiologis Stres

Berdasarkan penelitian Hans Seyle pada binatang, beliau mengemukakan model stres berupa Sindrom Adaptasi Umum (SAU).

Gambar 3. SkemaGeneral Adaptation Syndrome(GAS) (Bishop, 1994)

Dari gambar 3 di jelaskan mengenai tingkatan respon terhadap stres, dimana pada penelitian ini ditemukan serangkaian respon yang sama setelah pemberian stres yaitu terdiri dari tiga tingkatan:

1. Tahap pertama (peringatan ataualarm)

Tahap ini terjadi saat stresor diidentifikasi, pertama kali respon tubuh terhadap stres merupakan keadaan peringatan. Pada tingkat ini mulai bermunculan gejala inisial sistem saraf otonom, dimana kadar noradrenalin akan meningkat dan menimbulkan respon fight or flight. Tubuh akan menjadi waspada akibatnya terjadi mobilisasi sumber daya seperti sistem energi dan pertahanan tubuh, tekanan darah akan meningkat, frekuensi dan kekuatan denyut jantung pun akan meningkat. Kortisol akan dihasilkan karena aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal

(32)

mulai aktif. Setelah situasi stres berakhir maka dengan segera aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal akan kembali ke tingkat basal. Kadar kortisol akan mengalami penurunan sampai tingkat yang cukup untuk mempertahankan homeostasis. 2. Tahap kedua (Resistensi atauResistence)

Tahap ini terjadi pada stresor yang bersifat kronik atau stres yang berkelanjutan. Tubuh akan melakukan adaptasi terhadap stresor lingkungan untuk mempertahankan homeostasis melalui mekanisme penyelesaian masalah. Oleh karena itu terjadi penurunan mobilisasi sistem energi dan pertahanan tubuh, tapi masih berada di atas tingkat basal. Tetapi kadar kostisol yang meningkat tidak pernah mengalami penurunan ke tingkat basal. Kondisi ini perlu ditangani dan tidak dapat dibiarkan terus menerus. Oleh karena itu diperlukan mekanisme penanganan masalah terhadap stres yang efisien dan efektif.

3. Tahap ketiga (Kelelahan atauExhaustion)

(33)

seolah-olah mengalami akserelasi. Pada tingkat tertentu kapasitas kelenjar adrenal dalam aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal akan terlewati. Akibatnya fungsi sistem imun akan ditekan secara berkelanjutan dan terjadi kerusakan ireversibel pada sistem pertahanan tubuh baik struktural maupun fungsional (Nurdin, 2007).

Gambar 4. Gambaran responGeneral Adaptation Syndrome (Seligman, Walker, dan Rosenham, 2001).

Dari gambar 4 dijelaskan gambaran Sindrom Adaptasi Umum (SAU) dimana pada saat tubuh terpapar stresor maka terjadi fase alarm dimana tubuh akan mengaktivasi aksis Hypothalamic-pituitary-adrenocotical(HPA) dan sistem saraf simpatik, yang akan meningkatkan aktivitas mental dan psikologi. Kemudian pada tahap kedua atau faseresistancetubuh terus mengerahkkan energi untuk mengimbangi proses stres yang terjadi atau sering disebut dengan koping. Pada fase kedua ini merupakan fase dimana sistem imun mulai melemah. Kemudian pada tahap ketiga atau tahap exhaustion, tubuh sudah mengalami kelelahan dimana mulai terjadi gejala penurunan energi dan berdampak pada terjadinya penurunan kemampuan sistem imun tubuh (Seligman dkk., 2001).

Alarm

Resistance

(34)

G. Respon Fisiologi Tubuh Terhadap Stres

Ogden (2007) dalam bukunya menjelaskan bahwa stres dapat menghasilkan beberapa macam mekanisme respon tubuh, diantaranya adalah aktivasi sistem saraf simpatik dan Hypothalamic-pituitary-adrenocotical (HPA) sebagaimana dijelaskan oleh gambar 5.

Gambar 5. Stres dan perubahan pada fisiologi (Ogden, 2007)

Ketika seseorang terpapar stresor, hipotalamus akan menstimulasi sistem saraf simpatik yang akan menyebabkan adrenal medulla mensekresikan katekolamin (adrenalin dan noradrenalin), katekolamin ini akan masuk kedalam sirkulasi darah dan memicu peningkatan irama jantung, pernafasan, dan metabolisme glukosa. Pada saat yang sama hipotalamus juga akan melepaskan hormon Corticotropin-releasing-hormone (CRH) yang dihantarkan oleh sirkulasi darah menuju ke kelenjar pituitary. Kemudian kelenjar pituitary akan mensekresi hormon lain termasuk Adrenocorticotropic hormone(ACTH), yang mengaktivasi kelenjar adrenal yang kemudian akan melepaskan kortisol. Kortisol sering disebut sebagai hormon stres (Seligman et al, 2001). Mcleod (2010) mengemukakan

Stresor

Aktivasi sistem saraf simpatik:

 Melepaskan Katekolamin (adrenalin dan noradrenalin)

 Terjadi perubahan pada: Irama jantung

 Terjadi perubahan pada:

Manajemen penyimpanan karbohidrat Inflamasi

(35)

bahwa respon jangka pendek diproduksi oleh fight or flight respon melalui saraf simpatik, dan stres jangka panjang diregulasi oleh sistem Hypothalamic-pituitary-adrenal(HPA).

Selain melalui mekanisme di atas beberapa sumber juga menjelaskan respon tubuh terhadap stres juga akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Stres oksidatif ini terutama terjadi pada stresor metode AFM, karena tubuh akan membutuhkan oksigen yang lebih banyak saat stres hal ini dijelaskan oleh Ji, 1999 (cit., Iriyanti, 2008). Ji mengemukakan bahwa pada saat tubuh melakukan aktivitas fisik maksimal maka konsumsi oksigen seluruh tubuh akan meningkat juga konsumsi oksigen pada serabut otot dibanding saat istitrahat. Peningkatan kebutuhan oksigen ini yang akan memicu terjadinya radikal bebas yang akan menyebabkan kerusakan sel akibat dari stres oksidatif. Leeuwenburgh dan Heinecke juga menyatakan bahwa aktivitas fisik maksimal dapat memicu ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan pertahanan antioksidan tubuh yang disebut sebagai stres oksidatif (Leeuwenburgh dan Heinecke, 2001).

Berdasarkan paparan di atas, diketahui bahwa, mekanisme yang mendasari perubahan respon imun yang diinduksi paparan bising tidak hanya perubahan neuroendokrin tetapi juga ketidakseimbangan status oksidatif (Marita dkk., 2010).

H. Bising

(36)

Matheson, 2003). Bising merupakan peningkatan suara dengan gelombang kompleks yang tidak beraturan, sehingga bising merupakan salah satu stresor bagi individu (Inayah, 2008). Menurut Gabriel (1998) bising didefinisikan sebagai bunyi yang tidak dikehendaki yang merupakan aktivitas alam (bicara, pidato) dan buatan manusia (bunyi, mesin).

Keadaan bising dapat mengakibatkan gangguan yang serius dan mempengaruhi kondisi fisiologis dan psikologis seseorang, disamping sebagai stresor yang dapat memodulasi respon imun (Budiman, 2004). Paparan bunyi bising mengakibatkan stres psikologi. Bising akan menyebabkan stres akut atau kronis yang mempunyai implikasi yang jelas terhadap fungsi imunitas dan kesehatan secara keseluruhan (Turana, 2004).

(37)

Mekanisme yang mendasari perubahan respon imun terkait dengan induksi kebisingan kemungkinan disebabkan tidak hanya oleh perubahan neuroendokrin, tetapi juga terkait dengan ketidakseimbangan stres oksidatif (Marita dkk., 2010), Dimana menurut Ji stres oksidatif dapat menyebabkan terjadinya kerusakan sel, sehingga menstimulasi peningkatan jumlah leukosit (cit.,Iriyanti, 2008).

Menurut skala kebisingan, intensitas >85 dB merupakan wujud batas dengar tertinggi dari keadaan berupa kondisi hiruk pikuk jalan raya dan industri atau pabrik, dimana hal ini merupakan fenomena yang sering terjadi di negara-negara berkembang (Inayah, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh inayah(2008), diketahui bahwa pemberian kebisingan >85 dB dapat meningkatkan jumlah leukosit mencit tetapi tetap dalam batas normal jumlah leukosit.

I. Aktifitas Fisik Maksimal

Aktifitas fisik maksimal dapat memicu terjadinya ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan sistem pertahanan antioksidan tubuh yang dikenal sebagai stres oksidatif (Leeuwenburgh dan Heinecke, 2001). Menurut Ji, 1999 (cit., Iriyanti, 2008) selama aktifitas fisik maksimal konsumsi oksigen seluruh tubuh akan meningkat sampai 20 kali, sedang konsumsi oksigen pada serabut otot akan meningkat 100 kali lipat dibanding waktu istirahat. Peningkatan kebutuhan oksigen ini akan meningkatkan produksi radikal bebas yang dapat mengakibatkan kerusakan sel.

(38)

menyebabkan terjadinya peningkatan dari mitokondria dan menjadi ROS.Ketika aktivitas fisik berat, terjadi peningkatan produksi radikal bebas, sehingga radikal bebas dapat menimbulkan kerusakan sel seperti lipid, protein, DNA, serta dapat menyebabkan mutasi dan bersifat karsinogenik (Leeuwenburg dan Heinecke, 2001). Pada hasil penelitiannya Harahap mengemukakan bahwa aktifitas fisik maksimal dalam waktu singkat yaitu 3 hari dapat meningkatkan jumlah hitung leukosit terkait dengan terjadinya stres oksidatif (Harahap, 2008).

J. Sistem Kekebalan Tubuh

Sistem kekebalan merupakan sistem yang berfungsi mempertahankan tubuh untuk melawan penyakit. Perlawanan ini dilakukan dengan berbagai macam cara. Tubuh secara konstan mencari dan membunuh mikroba. Berjuta sel leukosit (sel darah putih) merupakan pasukan sistem kekebalan tubuh. Leukosit secara sistematik akan menyelubungi dan membunuh patogen (bakteri, virus, dan jamur), sel – sel tubuh yang sudah rusak dan sel-sel kanker. Leukosit akan mengenali patogen yang masuk ke dalam tubuh dari lapisan permukaan patogen yang disebut antigen. Beberapa leukosit menghasilkan antibodi yaitu protein khusus yang melekat pada sel-sel yang dianggap asing dan menonaktifkan sel tersebut, memberi tanda bagian mana yang harus dihancurkan (Nevid dkk.,2005)

(39)

Leukosit atau sel darah putih mempunyai fungsi utama dalam sistem pertahanan. Untuk mengungkapkan keadaan kesehatan tubuh melalui sel-sel leukosit perlu diperhatikan mengenai jumlahnya dan morfologinya. Untuk mempelajari morfologi dari leukosit cukup dengan mengamati sediaan apus darah. (Subowo, 2009)

Sebenarnya leukosit merupakan kelompok dari beberapa jenis sel. Untuk klasifikasinya didasakan pada morfologi inti dan adanya struktur khusus yang terdapat pada sitoplasmanya. Berdasarkan ada tidaknya butir-butir dalam sitoplasmanya leukosit dibedakan atas:

1. Granulosit atau leukosit granuler

Jenis ini merupakan jenis yang paling banyak terdapat dalam darah yaitu sekitar 75%. Ciri khas dari granulosit yaitu keberadaan buti-butir spesifik yang mengikat zat warna dalam sitoplasmanya. Berdasarkan reaksi butir-butir terhadap zat warna dan ukurannya, maka granulosit dibedakan menjadi:

(40)

karena netrofil mempunyai kemampuan fagositosis dan menghancurkan partikel yang difagositosis dengan enzim-enzim yang ada.

b. Sel Eosinofil jumlah sel ini sebesar 1-3% dari seluruh leukosit atau 150-450 buah per mm3 darah. Sel ini berukuran 10-15µm. Intinya terdiri atas dua lobi yang dipisahkan oleh bahan inti berbentuk benang. Butir kromatinnya tidak begitu padat, sitoplasma berisi penuh dengan butir-butir berwarna merah atau oranye. Sel eosinofil berkaitan erat dengan reaksi alergi karena sel ini detemukan dalam jaringan yang mengalami reaksi alergi. Terkumpulnya sel-sel eosinofil dalam jaringan sering disebabkan oleh proses kemotaksis oleh zat-zat yang dihasilkan oleh mastosit.

c. Sel Basofil jenis sel ini berjumlah paling sedikit diantara sel agranulosit yaitu sebesar 0,5%. Ukurannya 10-12µm. Pada sitoplasmanya terdapat butir-butir spesifik berwarna biru tua dan kasar, bahkan seakan-akan menimbun inti sehingga sulit mempelajarinya. Butir-butir biru tersebut mempunyai kesamaan dalam banyak hal dengan butir-butir dalam mastosit. Oleh karena itu diduga mastosit dalam jaringan berasal dari sel-sel basofil darah. Butir-butir biru itu juga mengandung bahan-bahan diantaranya histamin yang berperan dalam proses alergi atau anafilaksis.

2. Agranulosit terdiri dari dua macam sel:

(41)

dalam darah berukuran sangat bervariasi yaitu limfosit kecil (7-8 µm), limfosit sedang dan limfosit besar (12µm). Apabila limfosit sudah masak sel ini mampu berperan dalam respon imonologik (sel imonokompeten). Sel imonokompeten dibagi dibedakan menjadi limfosit B dan Limfosit T.

b. Monosit sel agranulosit ini berjumlah 3-8% dari seluruh leukosit. Sel ini merupakan yang terbesar karena diameternya 12-15 µm. Bentuk intinya oval. Butir kromatinnya lebih halus dan tersebar rata dibandingkan limfosit. Monosit tidak lama dalam peredaran darah karena sel-sel ini harus segera keluar. Monosit mampu menembus kapiler untuk masuk dalam jaringan pengikat. Dalam jaringan pengikat monosit berubah menjadi sel makrofag atau sel-sel lain yang diklasifikasikan sebagai sel fagosit. Selain berfungsi sebagai fagosit sel makrofag berperan menyampaikan antigen kepada limfosit untuk bekerja sama (Subowo, 2009).

K. Stres dan Sistem Kekebalan

(42)

2005) Stres dapat megaktivasi HPA, yang akan meningkatkan jumlah produksi kortikostreroid, terutama kortisol yang dapat menekan fungsi imun (Ogden, 2007).

Segerstrom dan Miller tahun 2004 (cit., Pinel, 2009) menemukan bahwa efek stres pada fungsi kekebalan bergantung pada jenis stresornya. Stresor akut atau singkat sebetulnya dapat menghasilkan perbaikan dalam fungsi kekebalan. Perbaikan fungsi sistem kekebalan setelah stres akut terutama terjadi pada sistem kekebalan bawaan, yang komponennya dapat disusun dengan cepat. Sebaliknya stresor kronis (berlangsung lama), misalnya merawat orang yang dikasihi yang mengidap demensia, mengalami cacat tubuh, atau mengalami sebuah periode menganggur yang berkepanjangan, mempengaruhi sistem kekebalan adaptif secara adversif.

(43)

kekebalan, yang tidak disadari asumsi bahwa stres mempengaruhi seluruh aspek fungsi kekebalan secara adversif (Pinel, 2009)

L. Stres dan Jumlah Leukosit

Jumlah leukosit merupakan parameter hematologi yang biasa digunakan untuk mengindikasikan terjadinya kerusakan jaringan, infeksi, dan beberapa kondisi respon inflamasi (Marita dkk., 2010)

Sistem endokrin merupakan salah satu aspek penting dalam regulasi jumlah leukosit dalam darah. Hormon dapat mempengaruhi produksi leukosit pada organ pembentukan darah, tempat penyimpanan leukosit dan pelepasannya dari jaringan. Beberapa kondisi stres dapat menyebabkan peningkatan produksi epinephrin endogen, dan meningkatkan jumlah leukosit (Fishbach, 2004).

(44)

M. Metode Penghitungan Jumlah Leukosit

Metode untuk menghitung sel darah putih yaitu dengan menggunakan darah yang diencerkan dengan larutan pengencer yaitu larutan turk (lar. Gentiaviolet 1% dalam air 1ml, asam asetat glasial 1ml, aquadest ad 100ml) yang telah disaring sebelumnya dalam pipet leukosit, kemudian dimasukan ke dalam kamar hitung. Jumlah leukosit dihitung dalam volume tertentu dengan mengencerkan faktor konversi jumlah leukosit per µl darah dapat diperhitungkan. (Soebrata, 2004).

Pengenceran yang terjadi dalam pipet ialah 20 kali. Jumlah semua sel yang dihitung dalam keempat bidang tersebut dibagi 4 menunjukan jumlah leukosit dalam 0,1 µl. Angka tersebut kemudian dikalikan dengan 10 (untuk tinggi) dan 20 (untuk pengenceran) agar didapatkan jumlah leukosit dalam 1 µl darah. Atau secara singkatnya dapat dirangkum jumlah sel yang dihitung kali 50 = jumlah leukosit per µl darah. (Soebrata, 2004).

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan dengan umur 2-3 bulan. Menurut Merck veterinary manual, range jumlah leukosit normal tikus putih adalah 5-15 x 109/L (Anonim, 2011).

N. Landasan Teori

(45)

sistem saraf simpatik, Stres akan memicu produksi kortisol yang dapat mengurangi jumlah-jumlah limfosit-limfosit dan eosinofil, sehingga sistem kekebalan menjadi lemah dan kemampuan untuk menyerang infeksi menjadi tereduksi. Menurut teori yang lain stres fisik terkait dengan pembentukan Reaktif Oxygen Species (ROS) yang merupakan radikal bebas, yang akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang bermanifestasi pada kerusakan jaringan. Kerusakan jaringan ini dapat meningkatkan jumlah leukosit. Belum diketahui secara pasti teori mana yang dapat memberikan pengaruh atau seberapa besar pengaruh dari masing-masing respon.

Stres dapat terjadi dipengaruhi oleh penyebab stres atau stresor. Metode stresor yang digunakan dan dibandingkan adalah metode bising yaitu metode pemberian paparan bising > 85 dB yang merupakan batas dengar tertinggi dari kondisi jalan raya yang hiruk pikuk, perusahaan yang gaduh dan pluit polisi (Inayah, 2008) dan metode aktifitas fisik maksimal yaitu dengan berenang selama 30 menit sampai tercapai aktifitas fisik maksimal (Harahap, 2008). Stres dalam jangka pendek dapat menghasilkan perubahan yang membantu tubuh untuk merespon stresornya, tetapi dalam jangka panjang dapat menghasilkan perubahan yang maladaptif Segerstrom dan Miller 2004, (cit.,Pinel, 2009).

(46)

O. Hipotesis

1. Stres dengan jangka pendek dapat meningkatkan jumlah leukosit, sedangkan stres dengan jangka panjang (kronis) dapat menurunkan jumlah leukosit, baik pada metode aktifitas fisik maksimal maupun bising

(47)

28

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian eksperimen ulang dengan desain penelitian Randomized Pre-Post Test Kontrol Group Design. Penelitian ini bersifat eksploratif karena akan diteliti pengaruh stresor dengan metode bising dan metode aktifitas maksimal terhadap jumlah leukosit pada tikus.

Dalam penelitian ini menggunakan kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dengan randomisasi dengan metode acak sederhana. Penilaian dilakukan pada pre dan post, dengan membandingkan hasil observasi pada masing-masing kelompok.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel penelitian

Variabel-variabel yang ada dalam penelitian antara lain :

a. Variabel bebas yaitu jenis metode stresor yang meliputi metode bising dan metode aktifitas fisik maksimal.

(48)

c. Variabel pengacau terkendali yaitu jenis kelamin hewan uji yang digunakan adalah jantan, umur tikus 2- 3 bulan , berat badan 200-300 gram.

d. Variabel pengacau tak terkendali yaitu kondisi patologis tikus yang digunakan sebagai penelitian ini dan suhu air pada metode aktifitas fisik maksimal.

2. Definisi operasional

a. Stres didefinisikan sebagai ketegangan fisiologis atau psikologis yang disebabkan oleh rangsangan fisik mental atau emosi baik internal atau eksternal yang cenderung mengganggu fungsi organisme dan keinginan alamiah organisme tersebut untuk menghindar.

b. Gejala stres pada tikus ditunjukkan dengan mencicit, mendesis dan gelisah.

c. Metode bising merupakan pemaparan bising dengan intensitas bunyi 85-100 dB selama 2 jam per hari yang dilakukan selama 3 hari kemudian perlakuan dilanjutkan selama 15 hari.

d. Metode aktifitas fisik maksimal merupakan pemaparan bising dengan metode berenang sampai mencapai aktifitas fisik maksimal.

(49)

f. Jumlah leukosit yang dimaksud adalah jumlah leukosit yang diukur sebelum perlakuan, sesudah perlakuan 3 hari dan 15 hari.

g. Ukuran aquarium untuk aktivitas maksimal dengan panjang 50 cm, lebar 30 cm, tinggi 34 cm, dan kedalaman air 24 cm, aquarium terbuat dari kaca. h. Ukuran kotak kaca untuk metode bising dengan tinggi 35 cm, lebar 20 cm, panjang 20 cm dengan penutup berupa kardus yang dilapisi dengan karpet sebagai peredam suara.

i. Pengukuran intensitas bunyi menggunakan alatsound level meter

C. Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus putih jantan galur Wistar, dengan berat badan ±200-300 gram, dengan umur 2-3 bulan sebanyak dua puluh ekor tikus. Tikus diperoleh dari laboratorium Imono Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Tikus di bagi menjadi kelompok kontrol, perlakuan bising dan perlakuan aktifitas fisik maksimal secara acak sederhana, masing-masing lima ekor tiap kelompok, sisanya digunakan sebagai cadangan.

D. Alat Penelitian

(50)

alat pengukur intensitas bunyi “sound level meter” yang diperoleh dari laboratorium Fisika Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

E. Tata Cara Penelitian

1. Pemilihan hewan uji

Penelitian menggunakan tikus putih jantan dengan kondisi sehat, dengan berat badan 200-300 mg sebanyak 20 ekor yang diperoleh dari laboratorium Imunologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Hewan uji dekelompokan menjadi kelompok kontrol, kelompok aktifitas fisik maksimal dan kelompok perlakuan bising. Hewan uji dibagi menjadi lima ekor setiap kelompok perlakuan secara acak sederhana, yaitu dengan memberikan nomor pada setiap tikus kemudian dilakukan pengundian dan sisanya digunakan sebagai cadangan.

2. Perlakuan pada tikus sebelum pengujian

Sebelum tikus jantan digunakan dalam penelitian ini, terlebih dahulu tikus jantan diadaptasikan dengan lingkungan laboratorium selama ± 2 minggu, sebelum pemaparan stresor dilakukan pengukuran terhadap jumlah leukosit.

3. Metode perlakuan stres

a. Metode bising

(51)

menggunakan suara rotor pabrik selama 2 jam/hari pada siang hari. Lamanya waktu pemberian kebisingan yaitu 2 jam/hari.

Stresor metode bising yang digunakan dalam penelitian adalah suara bising dengan intensitas 85-100 dB. Bising yang dipaparkan berupa suara mesin kendaraan dan suara mesin pabrik dengan durasi 120 menit diulang selama 3 hari setelah 3 hari kemudian dilakukan pengambilan darah, setelah itu perlakuan bising dilanjutkan sampai 15 hari. Penelitian dilakukan pada tanggal 15 Februari – 1 Maret 2012 jam 09.00-11.00 WIB. Setelah dipapari bising, selanjutnya akan dilihat bagaimana pengaruh bising yang diberikan terhadap jumlah leukosit hewan uji. Sebelum proses pemaparan bising dilakukan, masing-masing hewan uji baik kelompok kontrol maupun perlakuan diambil darahnya sebanyak ± 1 mL. Darah diambil dari vena mata ditampung dalam tabung EDTA. Sampel darah tersebut kemudian dihitung jumlah leukositnya dan menjadi jumlah leukosit mula-mula atau pra perlakuan.

(52)

Setelah 30 menit, hewan uji kelompok perlakuan diberikan paparan bising dengan intensitas dan durasi yang telah ditentukan sebelumnya.

Pada hari ketiga, setelah pemaparan bising selama 120 menit hewan uji kembali diambil darahnya melalui mata. Proses pengambilan darah dilakukan dengan segera setelah pemaparan bising dihentikan. Pengambilan darah segera ini bertujuan agar hasilnya menggambarkan jumlah leukosit hewan uji pada kondisi stres. Sampel darah tersebut kemudian dihitung jumlah leukositnya. Kemudian perlakuan dilanjutkan berturut-turut selama 15 hari, hal ini dilakukan untuk melihata gambaran pengaruh jumlah leukosit pada beberapa kurun waktu tertentu, yaitu pra perlakuan, 3 hari perlakuan, dan 15 hari perlakuan. Dilakukan perlakuan selama 15 hari ini mengacu pada penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa pada kondisi stres dalam kurun waktu 15 hari terjadi penyusutan diameter limfa pada tikus (Yuliawati, 2010). Sehingga diperkirakan pada waktu 15 hari akan menunjukan gambaran awal penurunan respon imun pada hewan uji yang terpapar stresor.

b. Metode aktivitas fisik maksimal

(53)

menggunakan stopwatch. Tikus diberi stimulus (kepalanya ditekan kedalam air) supaya terus tetap berenang sekuat-kuatnya sampai hampir tenggelam sehingga dapat mencapai aktivitas fisik maksimal, selanjutnya diambil darah sebanyak ± 1 mL melalui mata, kemudian dilakukan pemeriksaan jumlah leukosit.

(54)

F. Penghitungan Jumlah Leukosit

Penghitungan jumlah leukosit diawali dengan pengambilan darah melalui mata setelah pemberian stresor, pengambilan sampel darah pada perlakuan dan kontrol dilakukan pada waktu yang bersamaan, pengambilan darah sebanyak 1 ml ditampung dalam tabung EDTA kemudian dilakukan penghitungan jumlah leukosit yang dilakukan di Laboratorium klinik SADEWA dengan metode manual.

G. Analisis Hasil

Data yang diperoleh berupa nilai jumlah leukosit setiap kelompok perlakuan yaitu pada kelompok perlakuan stresor bising, kelompok kontrol dan kelompok perlakuan aktifita fisik maksimal.

Data yang diperoleh dianalisis secara statistik yang diawali dengan uji normalitas Sapphiro Wilk dan kemudian untuk melihat adanya perubahan jumlah leukosit pra perlakuan, 3 hari perlakuan, dan 15 hari perlakuan dari masing-masing kelompok pemaparan stresor dengan metode repeated anovadengan taraf signifikansi 95%. Selanjutnya untuk melihat perbedaan bermakna dari masing-masing kelompok (kelompok kontrol dan perlakuan) dilakukan uji independent t-test. Kelompok stresor metode aktifitas fisik maksimal dan bising juga dilakukan ujiindependent t-testuntuk membandingkan pengaruh kedua stresor tersebut.

Keseluruhan data kemudian dibuat tabel signifikasinya. Baik metode bising dan aktivitas fisik maksimal, sehingga mempermudah melihat data dari

(55)

36

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengaruh Stresor dengan Metode Bising Terhadap Jumlah Leukosit Tikus Putih Jantan

Pada saat di beri perlakuan bising, tampak hewan uji terlihat tidak tenang dan cenderung terlihat gelisah pada awal pemaparan. Setelah pemaparan berlangsung beberapa waktu kemudian terlihat bahwa hewan uji lebih aktif berkemih dan mengeluarkan kotoran. Tinja atau kotoran yang dihasilkan pun nampak lebih lunak kosistensinya dan jumlahnya pun terlihat lebih banyak dari pada kondisi normal hewan uji. Pada penelitian hewan uji pada kelompok perlakuan kontrol tidak diberi paparan bising. Kelompok perlakuan diberi paparan bising sesuai dengan yang telah dijelaskan sebelumnya. Data hasil perhitungan jumlah leukosit pra perlakuan, 3 hari, dan 15 hari perlakuan terlampir dan telah diringkas dalam tabel I.

Tabel I. Rata-rata Jumlah Leukosit pra perlakuan, 3 hari, dan 15 hari Perlakuan Pada Kelompok Kontrol Dan Kelompok Perlakuan Bising

Kelompok

Rata-rata Jumlah Leukosit sel/mm³ ± SE

Pra perlakuan 3 hari perlakuan 15 hari perlakuan Kontrol 7240 ± 1212,7 10020 ± 1061,3 8120 ± 939,1 Perlakuan 9460 ± 682,3 14100 ± 878,6 10840 ± 437,7

(56)

yang digunakan dalam penelitian <50 sehingga untuk uji normalitas data digunakan ujiShapiro-Wilk. Data hasil uji normalitas distribusi tercantum.

Data terdistribusi secara normal apabila p > 0,05. Berdasarkan uji normalitas, pada kelompok kontrol pra perlakuan = 0,060, pada kelompok kontrol 3 hari perlakuan p = 0,060, dan pada kelompok kontrol 15 hari perlakuan p = 0,529. Pada kelompok perlakuan bising pra perlakuan p=0,194, pada kelompok perlakuan bising 3 hari perlakuan p=0,200, dan pada kelompok perlakuan bising 15 hari p = 0,200. Nilai p pada kelompok kontrol dan perlakuan >0,05 sehingga data pada kelompok kontrol dan perlakuan bising terdistribusi normal.

Data pra perlakuan, 3 hari perlakuan, dan 15 hari perlakuan merupakan 3 data berpasangan sehingga untuk mengetahui signifikansi perubahan jumlah leukosit pra pelakuan, 3 hari perlakuan dan sesudah 15 hari perlakuan pada masing-masing kelompok dapat digunakan uji repeated anova. Uji ini dapat digunakan apabila data terdistribusi normal. Data yang diperoleh terdistribusi normal sehingga dapat dilakukan uji repeated anova. Data hasil uji repeated anova terlampir. Gambaran perbedaan jumlah leukosit pra perlakuan, 3 hari perlakuan dan 15 hari pelakuan terangkum dalam tabel II.

Tabel II. Rangkuman Hasil Ujirepeated anovadengan taraf kepercayaan 95% pada masing-masing kelompok

Keterangan Df Signifikansi (p)

kelompok kontrol 2 0,010

kelompok perlakuan bising 2 0,020

(57)

kontrol saat pra perlakuan, 3 hari perlakuan dan sesudah 15 hari perlakuan. Dan menurut hasil masing-masing perbandingan pengukuran, pra perlakuan dengan 3 hari perlakuan, pra perlakuan dengan 15 hari perlakuan, dan 3 hari perlakuan dengan 15 hari perlakuan juga menunjukan signifikansi p < 0,05. Maka dari hasil uji ini dapat diketahui bahwa perbedaan signifikan didapatkan pada semua pengukuran. Hal ini juga terjadi pada kelompok perlakuan terdapat perbedaan bermakna pada jumlah leukosit pra perlakuan, 3 hari perlakuan, dan 15 hari perlakuan dimana signifikansinya 0,020 (< 0,05), dan hasil masing-masing perbandingan pengukuran, pra perlakuan dengan 3 hari perlakuan, pra perlakuan dengan 15 hari perlakuan, dan 3 hari perlakuan dengan 15 hari perlakuan juga menunjukan signifikansi p < 0,05.

(58)

perlakuan, dan 15 hari perlakuan dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah leukosit kelompok perlakuan bising masih lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Gambaran tersebut dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 6. Kurva jumlah leukosit vs lama perlakuan bising

(59)

untuk uji normalitas kelompok kontrol 3 hari perlakuan sampai 15 hari perlakuan nilai p = 0,182 dan pada kelompok perlakuan bising p = 0,622. Pada kelompok pra perlakuan sampai 15 hari perlakuan nilai p kelompok kontrol = 0,971, dan kelompok perlakuan p= 0,785 Sesuai ketentuan dimana apabila nilai p > 0,05 maka distribusinya di nyatakan normal. Karena data yang diolah merupakan data yang berdistribusi normal maka untuk analisis selanjutnya peneliti menggunakan ujiindependent t test.

Hasil uji independent t test dari kelompok kontrol dan kelompok perlakuan bising pada data selisih pra perlakuan sampai 3 hari perlakuan menunjukan nilai p = 0,032. Hasil ini menunjukan adanya perbedaan signifikan antara kelompok pra perlakuan sampai 3 hari kontrol dan perlakuan bising. Hasil ujiindependent t testdari kelompok kontrol dan kelompok bising pada data selisih 3 hari perlakuan dan 15 hari perlakuan menunjukan nilai p = 0, 059, hasil ini menunjukan tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok bising pada data 3 hari sampai 15 hari. Pada hasil ujiindependent t test kelompok data selisih pra perlakuan dan 15 hari perlakuan menunjukan p = 0,455, hasil ini menunjukan tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok bising pada data pra perlakuan sampai 15 hari perlakuan.

(60)

lebih encer. Peningkatan jumlah leukosit yang lebih tinggi pada kelompok perlakuan terjadi karena tubuh hewan uji merespon stres yang di terima sehingga peningkatan jumlah leukosit hewan uji pada kelompok kontrol lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Pada data selisih 3 hari perlakuan sampai 15 hari perlakuan menunjukan adanya penurunan jumlah leukosit dimana dari hasil uji independent t test menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara jumlah kelompok kontrol dan kelompok perlakuan bising. Hasil ujiIndependent t testpada pra perlakuan sampai 15 hari perlakuan menunjukan tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan bising.

(61)

Gambar 7. Diagram batang perbandingan rata-rata selisih bising dan kontrol

B. Pengaruh Stresor dengan Metode Aktifitas Fisik Maksimal Terhadap

Jumlah Leukosit Tikus Putih Jantan

Berdasarkan pengamatan, saat perlakuan AFM hewan uji menunjukkan tanda stres seperti panik, mencicit dan mengeluarkan cukup banyak kotoran. Pada awal prosedur AFM hewan uji terlihat aktif berenang namun pada menit-menit akhir hewan uji mulai terlihat melemah dan semakin sering mencicit. Hasil perhitungan jumlah leukosit pra perlakuan, 3 hari, dan 15 hari perlakuan terlampir dan dirangkum dalam tabel III.

Tabel III. Rata-rata Jumlah Leukosit Pra Perlakuan, 3 hari, dan 15 hari Perlakuan Pada Kelompok Kontrol Dan Kelompok Perlakuan AFM

Kelompok

Rata-rata Jumlah Leukosit sel/mm³ ± SE Pra perlakuan 3 hari perlakuan 15 hari perlakuan Kontrol

7240 ± 1212,7 10020 ± 1061,3 8120 ± 939,1 Perlakuan

(62)

normalitas dilakukan menggunakan uji Shapiro-Wilk sesuai dengan ketentuan yang telah dijelaskan sebelumnya. Hasil uji normalitas data terlampir. Berdasarkan uji normalitas, nilai p kelompok kontrol pra 0,060, kelompok kontrol 3 hari perlakuan sebesar 0,060 dan kelompok kontrol 15 hari perlakuan 0,529. Pada kelompok perlakuan AFM pra perlakuan nilai p = 0,234, 3 hari perlakuan nilai p = 0,583 , dan 15 hari perlakuan nilai p = 0,116. Sesuai dengan ketentuan yang sudah dijelaskan di atas, dapat diketahui bahwa data tersebut terdistribusi normal karena p > 0,05.

Data pra perlakuan, 3 hari perlakuan, dan 15 hari perlakuan pada kelompok kontrol dan perlakuan AFM merupakan 3 data berpasangan yang berdistribusi normal. Untuk melihat signifikansi perubahan jumlah leukosit pra perlakuan, 3 hari perlakuan dan 15 hari perlakuan pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan AFM maka dilakukan uji repeated anova. Hasil ujirepeated anova terlampir. Gambaran perbedaan jumlah leukosit pra perlakuan, 3 hari perlakuan dan 15 hari perlakuan terangkum dalam tabel IV.

Tabel IV. Rangkuman Hasil Ujirepeated anovadengan taraf kepercayaan 95% padamasing-masing kelompok

Keterangan Df Signifikansi (p)

kelompok kontrol 2 0,010

kelompok perlakuan bising 2 0,013

(63)

kelompok kontrol memiliki perbedaan yang signifikan. hal ini terjadi karena pada saat pengambilan darah dilakukan melalui mata dimana akan memicu respon inflamasi sehingga akan meningkatkan jumlah leukosit meskipun pada kelompok kontrol tidak diberikan paparan stresor maka perlu dilakukan uji independent t test. Pengujian dengan independent t testdierlukan untuk membandingkan selisih peningkatan jumlah leukosit kelompok perlakuan dan kontrol. Nilai signifikansi kelompok perlakuan AFM memiliki nilai signifikansi sebesar 0,013. Hal ini menunjukan bahwa pada kelompok perlakuan AFM pra perlakuan, 3 hari perlakuan, dan 15 hari perlakuan terdapat perbedaan yan signifikan. Pada kelompok perlakuan bising juga terjadi perubahan jumlah leukosit yang signifikan bisa terjadi juga karena adanya respon inflamasi selain itu juga dengan adanya pemberian stresor. Akan tetapi meskipun pada hasil uji repeated anova ini kedua kelompok tersebut sama-sama mengalami perubahan yang signifikan apabila kita melihat dari kurva yang menggambarkan perubahan rata-rata jumlah leukosit pada pra perlakuan, 3 hari perlakuan, dan 15 hari perlakuan dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah leukosit kelompok perlakuan AFM lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Gambaran tersebut dapat dilihat pada gambar 8.

(64)

Perbedaan antara kelompok kontrol dan perlakuan AFM dapat diketahui dengan melakukan uji statistik untuk 2 sampel tidak berpasangan. Data yang digunakan adalah data selisih dari pra perlakuan sampai 3 hari perlakuan, 3 hari perlakuan sampai 15 hari perlakuan dan pra perlakuan sampai 15 hari perlakuan pada masing-masing kelompok. Data mengenai selisih dari pra perlakuan sampai 3 hari perlakuan, 3 hari perlakuan sampai 15 hari perlakuan dan pra perlakuan sampai 15 hari perlakuan pada masing-masing kelompok terlampir. Sebelumnya tetap dilakukan uji normalitas distribusi data untuk selisih pra perlakuan sampai 3 hari perlakuan, 3 hari perlakuan sampai 15 hari perlakuan dan pra perlakuan sampai 15 hari perlakuan dari kelompok kontrol dan kelompok perlakuan AFM. Data normalitas distribusi untuk selisih kelompok kontrol dan perlakuan AFM terlampir. Hasil uji normalitas kelompok kontrol pra perlakuan sampai 3 hari perlakuan menunjukan nilai p = 0,422 dan pada kelompok perlakuan AFM nilai p = 0,147. Uji normalitas kelompok perlakuan AFM 3 hari perlakuan sampai 15 hari perlakuan nilai p = 0,627 dan pada kelompok kontrol p = 0,182. Pada uji normalitas kelompok pra perlakuan sampai 15 hari perlakuan kelompok kontrol p = 0,971 dan kelompok perlakuan AFM p = 0,776. Sesuai ketentuan, dimana apabila nilai p > 0,05 maka distribusinya di nyatakan normal. Karena data yang diolah merupakan data yang berdistribusi normal maka untuk analisis selanjutnya peneliti menggunakan ujiindependent t test.

(65)

antara kelompok pra perlakuan sampai 3 hari kontrol dan perlakuan AFM. Hasil ujiindependent t testdari kelompok kontrol dan kelompok AFM pada data selisih 3 hari perlakuan dan 15 hari perlakuan menunjukan nilai p = 0, 557, hasil ini menunjukan tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok AFM pada data 3 hari sampai 15 hari. Pada hasil uji Independent t test dari kelompok kontrol dan AFM pada data selisih pra perlakuan sampai 15 hari perlakuan menunjukan nilai p = 0,007, hasil ini menunjukan adanya perbedaan signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok AFM dimana peningkatan jumlah leukosit milik kelompok AFM lebih tinggi dari kelompok Kontrol.

(66)

Gambar 9. Diagram batang perbandingan rata-rata selisih AFM dan kontrol.

Hal ini terjadi karena tubuh hewan uji merespon stres yang di terima sehingga peningkatan jumlah leukosit hewan uji pada kelompok kontrol lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Pada data selisih 3 hari perlakuan – 15 hari perlakuan dari kurva diatas (gambar 9) menunjukan adanya penurunan jumlah leukosit dimana penurunan jumlah leukosit pada kelompok kontrol terlihat lebih menonjol namun dari hasil uji independent t test menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara jumlah kelompok kontrol dan kelompok perlakuan AFM.

C. Perbedaan Pengaruh Stresor dengan Metode Bising dan Metode Aktifitas Fisik Maksimal Terhadap Jumlah Leukosit Tikus Putih Jantan

(67)

statistik untuk 2 data tidak berpasangan. Dalam hal ini yang dibandingkan adalah data selisih pra perlakuan sampai 3 hari, selisih 3 hari sampai 15 hari perlakuan dan selisih pra perlakuan sampai 15 hari perlakuan pada kelompok perlakuan bising dengan kelompok perlakuan AFM. Data selisih terlampir dan secara ringkas dicantumkan dalam tabel IX.

Tabel IX. Tabel rata-rata selisih jumlah leukosit kelompok bising dan kelompok AFM

Kelompok

selisih pra perlakuan - 3 hari ± SE

selisih 3 hari - 15 hari perlakuan ± SE

Pra perlakuan - 15 hari

bising 4640 ± 824,5 -3265 ± 1217,5 1380 ± 916,2

fisik 6240 ± 754,7 -2300 ± 841,2 3940 ± 689,6

(68)

metode stresor bising dan AFM tidak memiliki perbedaan yang bermakna dalam mempengaruhi jumlah leukosit hewan uji pada perlakuan pra perlakuan sampai 3 hari perlakuan dan 3 hari sampai 15 hari. Pada selisih data pra perlakuan sampai 15 hari perlakuan menunjukan adanya perbedaan signifikan antara stresor dengan metode AFM dan bising. Hal ini ditunjukan dalam gambar 10.

Gambar 10. Diagram batang perbandingan rata-rata selisih perlakuan bising dan perlakuan AFM.

(69)

oksigen yang didapat kurang memadai kebutuhan tersebut, sehingga menyebabkan terjadinya stres oksidatif seperti yang dijelaskan oleh Harahap, 2008. Stres oksidatif ini akan memicu terjadinya kerusakan jaringan yang kemudian akan memberikan perubahan pada jumlah leukosit, karena adanya respon inflamasi pada jaringan yang rusak. Peningkatan jumlah leukosit ini bertahan lebih lama tersebut dibandingkan dengan perlakuan bising dimana hewan uji tidak dituntut untuk melakukan aktivitas.

(70)

51

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Stresor dengan metode aktifitas fisik maksimal dan metode bising jangka pendek (3 hari) dapat meningkatkan jumlah leukosit secara signifikan, sedangkan pada jangka panjang (15 hari) dapat menurunkan jumlah leukosit namun tidak signifikan.

2. Terdapat perbedaan signifikan pengaruh stresor dengan metode aktifitas fisik maksimal dan metode bising pada selisih jumlah leukosit pra sampai 15 hari perlakuan, dimana metode aktifitas fisik maksimal lebih tinggi dari metode bising.

B. Saran

Beberapa saran yang diajukan oleh penulis berdasarkan hasil penelitian ini adalah :

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada metode bising dengan menggunakan berbagai tingkat intensitas kebisingan dan waktu paparan yang lebih lama serta parameter lainnya.

(71)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2011, The Merck Veterinary Manual, Merck sharp & Dohme Corp., a subsidinary of Merck & Co., Inc. Whitehose Station, NJ USA.

Arsiningtyas, I. S., 2009, Pengaruh Stres terhadap Daya Anti Inflamasi Kalsium Diklofenak pada Mencit Putih Betina, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Bishop, G. D., 1994, Health Psycology : Integriting Mind and Body, Allyn and Bacon, Boston London Toronto Sydney Tokyo Singapore, pp. 129.

Budiman W., 2004, Modulasi Respon Imun pada Mencit Balb/c yang Stres Akibat Stressor Suara,Tesis, Universitas Airlangga, Surabaya.

Dorland, 1998, Kamus Saku Kedokteran Dorland, edisi 25, EGC, Jakarta, pp. 1025.

Fishbach, F., 2004, A Manual Of Laboratory Diagnostic Test, edisi ketujuh, Lippincott William & Wilkins, Philadelphia, pp. 48-50.

Gabriel, F.J., 1996, Fisika Kedokteran, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, pp. 89.

Gunarsa, D. S., 2002, Asas-asas Psikologi: Keluarga Idaman, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, pp. 138.

Harahap, N. S., 2008, Pengaruh Aktivitas Fisik Maksimal terhadap Jumlah Leukosit dan Hitung Leukosit pada Mencit (Mus musculus L.) Jantan, Tesis, Sekolah pasca sarjana, Universitas Sumatera Selatan , Medan.

Inayah, 2008, Pengaruh Kebisingan Terhadap Jumlah Leukosit Mencit BALB/C, Karya Tulis Ilmiah, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang. Iryanti, E., 2008, Pengaruh Aktivitas Fisik Sedang terhadap Hitung Leukosit dan

Hitung Jenis Sel Leukosit pada Orang yang Tidak Terlatih, Tesis, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Leeuwenburg, C. dan Heinecke, J.W., Oxidative Stress And Antioxidant In Exercise Cuurent, 2001, Medical Chemistry, pp. 829.

(72)

Marita, K. G., Kandregula, S., dan Rao, L. N., 2010, Acute noise exposure effect on certain hematological parameters in tailors: a pilot study, International Journal of Biological & Medical Research,3 (2), 1529-1531.

Marks, D. F., Murray, M., Evans, B., Willig, C., 2000,Health Psychology Theory Research, SAGE Publication, London.

McLeod,S.A., 2010, What is the Stress Response,

http://www.simplypsychology.org/stress-biology.html, diakses tanggal 3 juli 2012.

Nevid, J. S., Rathua, S. A., Greene, B., 2005, Psikologi Abnormal, edisi kelima jilid 1, Penerbit Erlangga, Jakarta, pp. 135.

Nurdin, A. E., 2011, Tumbuh Kembang Perilaku Manusia, Penerbit Buku Kedokteran EGC., Jakarta, pp. 271-307.

Ogden, J., 2007,Health psychologi a text book, edisi keempat, The Mcgraw-Hill company, New York, pp. 228-229.

Pinel, J. P. J., 2009,Biopsikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, pp. 557-565. Sadikin, M., 2002,Biokimia Darah, Penerbit Widya Medika, Jakarta, pp. 43-45. Sarwono, S. W., 1992,Psikologi Lingkungan, Gramedia, Jakarta, pp. 86.

Seligman, M. E.P., Walker, E. F., Rosenham, D. C., 2001,Abnormal Psychology, edisi keempat, W W Norton & Co Inc, London, pp. 505-506.

Shinta, M. F., 2010, Pengaruh Stres terhadap Aktivitas Motorik Mencit dengan Metode Sankar Putar dan Ketahanan Berenang, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Smet, B., 1994,Psikologi Kesehatan, PT Grasindo, Jakarta, pp. 107-118.

Soebrata, R. G., 2004, Penuntun Laboratorium Klinis, Dian Rakyat, Jakarta,pp. 15-17.

Sriati, A., 2008, Tinjauan Stres, Fakultas Ilmu Keperawatan, Karya Tulis Ilmiah, Universitas Pajajaran, Jatinagor, pp. 1-13.

Stansfield S dan Matheson M., 2003, Noise Pollution: non-auditory affects on health,Medical Bulletin, British,68:243-257.

Subowo, 2009, Histologi Umum, Penerbit Sagung Seto, Jakarta, pp. 128-134. Sunaryo, M. Kes,Psikologi Untuk Keperawatan,Penerbit Buku Kedokteran EGC,

Gambar

Tabel 2. Rangkuman Hasil Uji Repeated Anova dengan Taraf
Tabel Data Hasil Jumlah Leukosit Perlakuan Bising .......
Gambar 2. Stres sebagai respon. (Smet, 1994)
Gambar 3. Skema General Adaptation Syndrome (GAS) (Bishop, 1994)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan Guru Biologi di SMA Negeri 1 Depok, didapatkan adanya dua permasalahan yaitu keaktifan dan hasil belajar siswa yang

Pada hari ini selasa tanggal tiga puluh satu bulan juli tahun dua ribu dua belas, berdasarkan hasil evaluasi dokumen kualifikasi, penawaran dan pembuktian

Mengetahui hubungan faktor predisposisi perilaku ibu balita tentang ISPA dengan kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Gombong I Kabupaten Kebumen tahun 2014.. Mengetahui

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT atas segala karunia-Nya sehingga d apat menyelesaikan skripsi dengan judul “Formula Lipstik Ekstrak Kulit Manggis

Deep Ecology memusatkan perhatian pada semua spesies termasuk spesies bukan manusia, demikian pula Deep Ecology tidak hanya memusatkan perhatian jangka pendek,

Dalam upaya mengatasi kemacetan lalu lintas yang semakin tinggi di DKI Jakarta, telah diberlakukan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak Kendaraan Bermotor yang mengatur

Bila terkena kekuatan tak langsung tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu; kerusakan jaringan lunak di tempat fraktur mungkin

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga.. Tesis Pengaruh Pemaparan