• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DAN DAYA TAHAN REMAJA DALAM MENGHADAPI KESULITAN (AQ) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DAN DAYA TAHAN REMAJA DALAM MENGHADAPI KESULITAN (AQ) SKRIPSI"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

i

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA

DAN DAYA TAHAN REMAJA DALAM MENGHADAPI

KESULITAN (AQ)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Stephanus Benny Kuswara

NIM : 039114041

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

MOTTO

HIDUP HARUS OPTIMIS, APABILA TIDAK OPTIMIS SAMA SAJA MENGUBUR SALAH SATU KAKI KITA

YANG DIGUNAKAN UNTUK BERJALAN

(baker King Film)

(5)

v

PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan kepada,

Tuhan Yesus Kristus Penuntun dan Pelindungku,

Bapak yang damai di surga dan Ibuku yang sabar penuh kasih,

Mbak Astrith yang selalu peduli dan mendorongku dalam tekad,

Dewiku, penyemangat dan penenang jiwaku,

Sahabat-sahabatku semua yang super,

terimakasih semuanya.

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma dengan identitas dibawah ini :

Nama : Stephanus Benny Kuswara

NIM : 039114041

Fakultas/ prodi/ jurusan : Psikologi

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya dari orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 31 januari 2011

(7)

vii

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DAN DAYA TAHAN REMAJA DALAM MENGHADAPI KESULITAN (AQ)

Stephanus Benny Kuswara

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dan daya tahan dalam menghadapi kesulitan (AQ). Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya hubungan positif antara pola asuh orang tua dan daya tahan dalam menghadapi kesulitan (AQ). Subyek dalam penelitian ini adalah 68 siswa kelas X SMA Theresiana Weleri Kendal dengan karakteristik masih memiliki orang tua dan tinggal bersama dengan orang tua dalam satu rumah. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebar skala Pola Asuh Orang Tua dan skala Daya tahan Dalam Menghadapi Kesulitan (AQ). Seleksi aitem menggunakan batas rtabel = 0.201. Skala Pola Asuh Orang Tua yang akan diujikan memiliki 60 aitem. Setelah dilakukan seleksi aitem diperoleh 54 aitem yang valid dan 6 aitem skala gugur dengan koefisien reliabilitas sebesar 0.947. Skala Daya Tahan Dalam Menghadapi Kesulitan (AQ) yang akan diujikan memiliki 60 aitem. Setelah dilakukan seleksi aitem didapat aitem valid sebanyak 48 aitem dengan perincian 12 aitem gugur dengan koefisien reliabitas sebesar 0.950. Data penelitian dianalisa menggunakan teknik korelasi Produk Moment dari Pearson dengan menggunakan SPSS for Windows version 15.00. Hasil perhitungan dari hubungan antara pola asuh orang tua dan daya tahan dalam menghadapi kesulitan (AQ) menunjukkan koefisien korelasi sebesar r = 0.479 (p<0,01). Hal ini berarti bahwa hipotesis penelitian ini diterima.

(8)

viii

RELATIONSHIP BETWEEN PARENTING STYLE AND ENDURANCE FACING DIFFICULTIES (AQ)

Stephanus Benny Kuswara

ABSTRACT

The research aimed to know the relationship between parenting style and endurance facing difficulties (AQ). This research hypothesis stated here was a positive relationship between parenting style and endurance facing difficulties (AQ). The subjects of this research were 68 high school students of class X Theresiana Weleri Kendal with characteristics still have parents and live together with parents in one house.. The data collection was done through scale of between parenting styles scale and endurance facing difficulties (AQ) scale. Item selection used rtabel limit

= 0.201. Parenting style Scale that will be tested has 60 item. After item selection obtained a valid 54 item and 6 item fall with reliability coefficient of 0.947. Endurance Facing Difficulties (AQ) Scale In which will be tested has 60 item. After item selection obtained a valid 48 item 12 item fall with reliability coefficient of 0.950. The data were analyzed using technique of Product Moment Correlation helped by SPSS for Windows version 15.00. The results of relationship between parenting style and endurance facing difficulties (AQ) showed a correlation coefficient of r = 0.479 (p<0,01). This means that the hypothesis of this research is accepted.

(9)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Stephanus Benny Kuswara

Nomor Mahasiswa : 039114041

Demi pengembangan ilmu pengetahuan,saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua dan Daya Tahan Remaja Dalam Menghadapi Kesulitan (AQ).

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 31 Januari 2011 Yang menyatakan,

(10)

x

KATA PENGANTAR

Dengan segenap suka cita, untaian kata terindah yang pantas penulis ucapkan adalah syukur yang tak terhingga kepada Tuhan, atas segala kuasa-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Proses pernyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Maka pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Tuhan Yesus Kristus yang selalu memberikan jalan dan menunjukkan kasihNya sehingga saya bisa bertumbuh dan berkarya.

2. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dan Dosen Pembimbing. Terimakasih atas segala dukungan dan waktunya selama penulis menjalani penyusunan skripsi dan perkuliahan.

3. Ibu P. Henrietta P.D.A.D.S. S.Psi., M.A., selaku Dosen Pembimbing yang dengan sabar meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya kepada penulis sehingga penyusunan skripsi dapat diselesaikan.

(11)

xi

5. Ibu MM. Nimas Eki S., S.Psi., Psi., M.Si., selaku Dosen Penguji Skripsi yang telah berbagi sharing, memberikan dukungan dan masukannya bagi penulis untuk menyempurnakan penyusunan skripsi.

6. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan dukungan dan bimbingannya selama penulis menjalani proses studi.

7. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang memberikan ilmu pengetahuan sebagai bekal penulis dalam menjalani masa depan.

8. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi Sanata Dharma: Bu Nanik, Mas Gandung, Pak Gik, Mas Doni, Mas Muji, terima kasih atas segala bantuannya. 9. Bapak FX. Suhardi selaku Kepala Sekolah SMA Theresiana weleri yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di SMA Theresiana Weleri, Kendal.

10.Bapakku disurga dan Ibuku terkasih, yang dengan sabar selalu memberikan nasehat, dukungan serta memberikan kasih sayang yang begitu tulus. Terima kasih atas segalanya. Semoga Tuhan Yesus selalu memberkati.

11.Mbak Astrith dan Mas Wisnu, yang selalu menyemangati, mendukung, dan membantuku disetiap saat. Tuhan memberkati kalian.

(12)

xii

13.Sahabat-sahabatku Indri, Wiwid, Atok, Nanang, Ana, Dhani, Diaz, Diana, Galih terima kasih banyak atas dukungan dan persahabatan yang hangat selama kuliah sampai sekarang.

14.Seluruh teman-teman Psikologi Sanata Dharma, yang telah membantu dan menjadi tempat berbagi. Sukses terus buat kalian semua!

15.Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Terima kasih atas dukungan dan bantuannya.

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat diharapkan demi semakin sempurnanya skripsi ini. Akhir kata penulis berharap skripsi ini mampu memberikan manfaat secara umum bagi para pembaca dan secara khusus kepada rekan-rekan Fakultas Psikologi

Penulis

(13)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ( 3 DOSEN PENGUJI ) ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian... 11

D. Manfaat Penelitian... 11

BAB II. LANDASAN TEORI ... 13

(14)

xiv

1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua ... 13

2. Aspek-aspek Pola Asuh Orang Tua ... 15

3. Bentuk-bentuk Pola Asuh Orang Tua ... 19

B. Daya tahan dalam Menghadapi Kesulitan (Adversity Quotient) ... 23

1. Pengertian Adversity Quotient ... 23

2. Aspek-aspek Adversity Quotient ... 24

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Adversity Quotient ... 27

C. Remaja ... 29

1. Pengertian Remaja ... 29

2. Ciri-ciri Perkembangan Remaja ... 30

3. Tugas Perkembangan Remaja ... 35

D. Dinamika Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dan Daya Tahan Remaja Dalam Menghadapi Kesulitan (AQ) ... 36

E. Hipotesis ... 41

BAB III. METODE PENELITIAN... 43

A. Jenis Penelitian ... 43

B. Variabel Penelitian ... 43

C. Definisi Operasional ... 43

D. Subjek Penelitian ... 45

E. Prosedur Penelitian ... 46

(15)

xv

Kesulitan ( AQ ) ... 46

2. Skala Pola Asuh Orang Tua ... 50

G. Pertanggungjawaban Alat Ukur ... 52

1. Pengujian validitas ... 52

2. Seleksi Aitem ... 53

3. Reliabilitas ... 56

H. Metode Analisis... 57

1. Uji Asumsi ... 58

2. Uji Hipotesis ... 59

BAB IV. PELAKSANAAN, HASIL PENELITIAN, DAN PEMBAHASAN ... 60

A. Pelaksanaan Penelitian ... 60

B. Hasil Penelitian ... 60

1. Deskripsi Data ... 60

2. Kategorisasi Subjek Berdasarkan Skor Skala Pola Asuh Orang Tua dan Skala Daya Tahan Remaja Dalam Menghadapi Kesulitan... 62

3. Uji Asumsi ... 65

4. Uji Hipotesis ... 67

C. Pembahasan ... 67

BAB V. KESIMPULAN ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 79

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Distribusi Penyebaran Aitem Daya Tahan Dalam

Menghadapi Kesulitan (AQ) Sebelum Uji Coba ... 50

Tabel 2 Distribusi Penyebaran Aitem Pola Asuh Orang Tua Sebelum Uji Coba ... 52

Tabel 3 Distribusi Aitem Daya Tahan Dalam Menghadapi Kesulitan (AQ) Sebelum Uji Coba ... 54

Tabel 4 Distribusi Aitem Daya Tahan Dalam Menghadapi Kesulitan (AQ) Setelah Uji Coba ... 54

Tabel 5 Distribusi Aitem Pola Asuh Orang Tua Sebelum Uji Coba ... 55

Tabel 6 Distribusi Aitem Pola Asuh Orang Tua Setelah Uji Coba ... 56

Tabel 7 Hasil Reliabilitas Skala ... 57

Tabel 8 Deskripsi Data Penelitian ... 61

Tabel 9 Kategorisasi Subjek Berdasarkan Skor Skala Pola Asuh Orang Tua ... 63

Tabel 10 Kategorisasi Subjek Berdasarkan Skor Skala Daya Tahan Remaja Dalam Menghadapi Kesulitan ... 63

Tabel 11 Hasil Uji Normalitas ... 65

Tabel 12 Hasil Uji Linieritas ... 66

(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka berpikir hubungan pola asuh orang tua

(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Skala Pola Asuh Orang Tua ... 82 2. Skala Daya Tahan Remaja Dalam Menghadapi Kesulitan ... 88 3. Reliabilitas Skala Pola Asuh Orang Tua ... 93 4. Reliabilitas Skala Daya Tahan Remaja Dalam

Menghadapi Kesulitan ... 98 5. Skor Pola Asuh Orang Tua Sebelum Seleksi ... 105 6. Skor Daya Tahan Remaja Dalam Menghadapi Kesulitan (AQ)

Sebelum Seleksi ... 111 7. Skor Pola Asuh Orang Tua Setelah Seleksi ... 117 8. Skor Daya Tahan Remaja Dalam Menghadapi Kesulitan (AQ)

(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Santrock (1993) mengemukakan bahwa mayoritas remaja menganggap transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa sebagai suatu masa perkembangan fisik, kognitif, dan sosialnya yang memberikan tantangan, peluang-peluang, dan pertumbuhan yang besar sekali. Proses perkembangan remaja yang dikemukakan Santrock (1993) tersebut memberikan harapan positif dengan ditandai dengan masa puber dan terjadi perubahan-perubahan di dalam prosesnya, namun banyak permasalahan yang akan dihadapi oleh remaja dalam kehidupannya. Stanley Hall (http://mo2gi.student.umm.ac.id, 2010), berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa “storm and stress” yang penuh dengan permasalahan.

Stoltz (2000) melihat tantangan dan permasalahan hidup yang dihadapi manusia dan membaginya ke dalam tiga tingkat kesulitan yaitu kesulitan di masyarakat, kesulitan di tempat kerja, dan kesulitan individu. Pada remaja, tantangan dan permasalahan yang mereka hadapi menumpuk pada kesulitan di masyarakat dan kesulitan individu.

(20)

mencermati kondisi remaja pada masa-masa kepemimpinannya di tahun 2004 yang keadaannya ternyata cukup mengkhawatirkan dan dikemukakan bahwa berbagai fenomena kegagalan waktu itu antara lain disebabkan kegagalan pendidikan di dalam keluarga.

Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sumatera Utara, Indra Wirdhana SH, MM., mengaku prihatin dengan keberadaan remaja Indonesia saat ini. Berdasarkan data tahun 2010, baik dari Badan Pusat Statistik (BPS), Bappenas dan UNFPA (United Nations Population Fund), sebagian dari 63 juta jiwa remaja berusia 10 sampai 24 tahun di Indonesia rentan berprilaku tidak sehat.

(21)

Stoltz (2000) dalam penelitiannya, menjelaskan bahwa sekarang 60 persen pernikahan berakhir dengan perceraian atau perpisahan, rumah tangga dengan dengan orang tua tunggal juga mengalami peningkatan 200 persen sejak 1970. Anak-anak dari rumah tangga seperti ini memiliki kemungkinan lebih dari 164 persen untuk mempunyai anak di luar nikah, dan lebih dari 93 persen untuk bercerai seandainya mereka menikah (Stoltz, 2000: 54).

Selain itu dampak terhadap merosotnya moral remaja Indonesia juga mengkuatirkan, yang diperparah dengan teknologi informasi yang berkembang semakin cepat dan bebas membuat remaja dapat mengakses media informasi baik positif maupun negatif dengan leluasa. Hal tersebut memupuk prostitusi anak semakin besar. Departemen sosial memberikan estimasi bahwa jumlah prostitusi anak yang berusia 15-20 tahun sebanyak 60 persen dari 17.281 orang. Unicef Indonesia menyebut angka 30 persen dari 40-150.000, sedangkan Irwanto menyebutkan angka 87.000 pelacur anak atau 50 persen dari total seluruh penjaja seks (Sri Wahyuningsih, 2003). Tingkat kejahatan juga meningkat, 15.000 kasus narkoba selama dua tahun terakhir, 46 persen di antaranya dilakukan oleh anak usia remaja (Media Indonesia, 30 Juni, hal; 16).

(22)

manusia sehingga menjadi kehilangan harapan hidup, kebahagiaan dan kesadaran akan jati dirinya.

Proses perubahan diri remaja yang seharusnya memberikan harapan lebih baik ternyata juga harus diperjuangkan dengan berat dan menciptakan permasalahan bagi remaja. Pada masa remaja, Ericson (dalam Santrock, 2002: 57) mengemukakan bahwa mereka sedang mencari identitas diri sehingga terjadi krisis identitas. Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja. Masa-masa pencarian identitas diri pada remaja secara psikologis membuat anak-anak usia remaja ingin bereksperimen mencoba tantangan baru yang belum pernah diperoleh di masa anak-anak, belum adanya kestabilan emosi, mengalami kegelisahan karena banyak hal diinginkan tetapi remaja tidak sanggup memenuhi semuanya, kecenderungan membentuk dan melakukan kegiatan berkelompok, serta ada pertentangan di dalam dirinya sehingga sering menjadi pangkal penyebab pertentangan dengan orang tuanya (Gunarsa, 1989). Permasalahan di masa remaja cenderung mengalami peningkatan. Tantangan dan hambatan-hambatan mulai muncul dalam perkembangan hidupnya sehingga banyak yang terjebak dalam konflik dan frustasi (dalam Dini, 2004: 2).

(23)

pada khususnya ini disebut juga dengan daya tahan dalam menghadapi kesulitan atau Adversity Quotient (AQ).

Dalam menghadapi setiap kesulitan, Stoltz (2000) mengemukakan bahwa kecerdasan IQ (Intelligence Quotient) dan EQ (Emotional Quotient) tidaklah cukup untuk mencapai keberhasilan. Beberapa orang mempunyai IQ tinggi tetapi masih juga mengalami kegagalan karena tidak bisa mewujudkan potensinya, sedangkan EQ tidak mempunyai tolok ukur yang sah dan metode yang tidak jelas untuk mempelajarinya sehingga membuatnya sulit untuk dipahami. Tidak hanya IQ maupun EQ yang menentukan sukses seseorang tetapi keduanya memainkan peran bersama AQ untuk melanjutkan tujuan hidup disaat orang lain sudah berhenti untuk menyerah.

(24)

kecerdasan individu yang berupa kemampuan dalam merespon kesulitan-kesulitan dalam hidup.

Stoltz (2000), mengemukakan bahwa semakin tinggi AQ seseorang, maka faktor-faktor yang diperlukan dalam mencapai kesuksesan dalam hidup individu juga akan semakin tinggi. Penelitian Seligman (dalam Stoltz, 2000: 83) mendukung pernyataan tersebut, orang-orang yang bersaing secara konstruktif terhadap kesulitan (AQ tinggi) akan lebih tangkas dan fokus dalam memelihara energi serta tenaga dalam persaingan, sedangkan mereka yang bereaksi secara destruktif cenderung mudah berhenti berusaha.

Markman (2000), menyatakan bahwa orang yang memiliki AQ tinggi lebih produktif dalam pekerjaannya daripada orang yang memiliki AQ rendah. Selain itu menurut penelitian Vaillant, Peterson, dan Seligman (dalam Stoltz, 2000: 108) menyebutkan bahwa orang yang memiliki AQ tinggi cenderung memiliki kesehatan fisik dan mental yang lebih baik dari pada orang yang AQnya rendah.

(25)

orang-orang terdekat anak berpengaruh terhadap bagaimana anak merespon terhadap suatu kesulitan di kemudian waktu.

Terbentuk dan berkembangnya respon terhadap kesulitan (AQ) yang tinggi, perlu adanya dukungan keluarga dan orang-orang yang mempunyai peran penting selama masa anak-anak, terutama dari kedua orang tua. Orang tua mempunyai tugas yaitu membimbing dan mendidik anak-anaknya. Idris dan Jamal (1992) menjelaskan bahwa orang tua berperan dalam memberikan dasar pendidikan, sikap, dan ketrampilan dasar seperti pendidikan agama, budi pekerti, sopan santun, estetika, kasih sayang, rasa aman, dasar-dasar untuk mematuhi peraturan-peraturan, dan menanamkan kebiasan-kebiasaan. Pola pengasuhan pada dasarnya diciptakan oleh adanya interaksi antara orangtua dan anak dalam hubungan sehari-hari yang berevolusi sepanjang waktu, sehingga orang tua akan menghasilkan anak-anak yang sealiran, karena orang tua tidak hanya mengajarkan dengan kata-kata tetapi juga dengan contoh-contoh (Shocib, 1998).

Hurlock (1991) mengatakan bahwa di dalam pengasuhan anak para orang tua mempunyai tujuan untuk membentuk anak menjadi yang terbaik sesuai dengan apa yang dianggap ideal oleh para orang tua dan dalam pengasuhan anak diberikan istilah disiplin sebagai pelatihan dalam mengendalikan dan mengontrol diri. Disiplin yang berdasarkan pada prinsip-prinsip demokratis sekarang cenderung lebih banyak diterapkan karena menekankan pada hak anak (Hurlock, 1991: 125).

(26)

mendiskusikan hal tersebut bersama-sama. Perhatian lebih dipusatkan pada aspek pendidikan daripada aspek hukuman, Orangtua dapat memberikan peraturan yang luas serta memberikan penjelasan tentang sebab diberikannya hukuman serta imbalan tersebut. Hurlock (1991) mengatakan bahwa pola asuh demokrasi ditandai dengan sikap menerima, responsif, berorientasi pada kebutuhan anak yang disertai dengan tuntutan, kontrol dan pembatasan. Jadi penerapan pola asuh demokrasi dapat memberikan keleluasaan anak untuk menyampaikan segala persoalan yang dialaminya tanpa ada perasaan takut, keleluasaan yang diberikan orangtua tidak bersifat mutlak akan tetapi ada kontrol dan pembatasan berdasarkan norma-norma yang ada.

Mussen dkk (1994) menyatakan bahwa ada beberapa aspek untuk melihat pola asuh yang diberikan orang tua, yaitu kontrol, tuntutan kedewasaan, komunikasi anak dan orang tua, dan kasih sayang. Kontrol merupakan usaha mempengaruhi aktivitas anak untuk mencapai tujuan, memodifikasi ekspresi ketergantungan, agresifitas, tingkah laku, dan bermain. Tuntutan kedewasaan menekankan kepada anak untuk mencapai suatu tingkat kemampuan secara intelektual, sosial dan emosional. Dengan memberikan kesempatan belajar pada anak untuk menjalani kehidupan, menghadapi dan mengatasi berbagai masalah mereka, namun tetap ada bimbingan dari orang tua.

(27)

menemukan banyak hal di luar masalah rutin. Aspek terakhir adalah kasih sayang, meliputi penghargaan dan pujian terhadap prestasi anak yang dapat dikomunikasikan melalui gerakan, sentuhan, belaian, senyuman, mimik wajah, dan ungkapan kata. Pola komunikasi keluarga yang demikian, keakraban, keintiman, saling memiliki, rasa melindungi anak oleh orang tuanya semakin besar.

Menurut Hurlock (1991), Perlakukan orang tua terhadap seorang anak akan mempengaruhi bagaimana anak ini memandang, menilai, dan juga mempengaruhi sikap anak tersebut terhadap orang tua serta mempengaruhi kualitas hubungan yang berkembang di antara mereka. Sikap anak kepada orang tuanya seiring berjalannya waktu dengan adanya proses pembelajaran yang dilakukan anak akan membentuk perilaku dan bagaimana respon anak dalam melihat kesulitan. Respon terhadap kesulitan ini yang menentukan daya tahan remaja dalam menghadapi kesulitan (AQ).

(28)

tuntut untuk mampu membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi.

Aspek daya tahan mempertanyakan dua hal yang berkaitan yaitu berapa lamakah kesulitan akan berlangsung dan berapa lamakah penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Dalam hal ini, maksudnya individu yang melihat kemampuan sebagai penyebab kegagalan (penyebab yang tetap) cenderung kurang bertahan dibandingkan dengan individu yang mengkaitkan kegagalan dengan usaha (penyebab yang sementara) yang mereka lakukan.

Anak yang bersikap positif kepada orang tuanya menunjukkan pola asuh orang tuanya semakin demokratis. Hal ini akan membentuk perilaku anak dan mengembangkan respon terhadap kesulitan yang konstruktif (memberdayakan) sehingga akan terbentuk sikap tahan banting, keuletan, optimisme, efektifitas diri, dan kebahagiaan pada anak. Sedangkan anak yang bersikap negatif kepada orang tuanya akan membentuk respon terhadap kesulitan yang destruktif (mengembangkan ketidakberdayaan). Respon remaja terhadap kesulitan yang memberdayakan berarti bahwa remaja memiliki daya tahan terhadap kesulitan (AQ) yang tinggi, sedangkan respon remaja terhadap kesulitan yang mengembangkan sikap ketidakberdayaan mengindikasikan bahwa remaja memiliki daya tahan terhadap kesulitan (AQ) yang rendah.

(29)

B.Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

“Apakah ada hubungan antara pola asuh orangtua dengan daya tahan

remaja dalam menghadapi kesulitan (AQ) ?”

C.Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh orangtua dengan daya tahan dalam menghadapi kesulitan (AQ).

D.Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis.

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wacana teoritis dalam bidang Psikologi Pendidikan yang banyak membicarakan tentang cara mendidik anak dalam kaitannya mengenai pola asuh orang tua dan daya tahan remaja dalam menghadapi kesulitan (AQ).

2. Manfaat Praktis. a. Bagi Subjek.

(30)

b. Bagi Orang Tua

(31)

13

BAB II

LANDASAN TEORI

A.POLA ASUH ORANG TUA

1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua

Keluarga merupakan suatu institusi awal bagi setiap pribadi manusia belajar dan berinteraksi dengan sesamanya, Di dalam keluarga inti terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Ayah dan ibu sering kita sebut dengan orangtua yang mempunyai tanggung jawab penuh terhadap tumbuh kembang anaknya hingga mengantarkannya ke gerbang kedewasaan. Thamrin Nasution dan Nurhalijah Nasution (1985: 1) menegaskan kembali bahwa orangtua adalah setiap orang yang bertanggung jawab dalam satu keluarga atau rumah tangga yang dalam kehidupan sehari-hari lazim disebut juga dengan bapak-ibu.

Menurut Sarwono (1997), keluarga merupakan lingkungan primer hampir setiap individu, hubungan antara manusia yang paling intensif dan paling awal terjadi dalam keluarga. Sebelum seorang anak mengenal lingkungan yang lebih luas, ia terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarganya sehingga sebelum ia mengenal norma-norma dan nilai-nilai dari masyarakat umum, pertama kali ia menyerap norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam keluarganya untuk dijadikan bagian dari kepribadiannya.

(32)

kasih sayang, rasa aman, dasar-dasar untuk mematuhi peraturan-peraturan, dan menanamkan kebiasan-kebiasan. Berdasarkan peranannya tersebut, setiap orangtua pasti berusaha untuk mengajarkan kedisiplinan kepada anak-anaknya, dengan menanamkan perilaku yang baik dan menghindari perilaku yang dianggap tidak baik.

Nadeak (1991) berpendapat bahwa untuk membina hubungan timbal-balik yang harmonis diantara orang tua dan anak remajanya, orangtua perlu menciptakan suasana agar remaja itu merasa terbuka untuk menyelesaikan masalah mereka dengan baik. Suasana yang kondusif bagi orangtua dan anak dapat tercipta jika orang tua mampu menerapkan pola asuh yang positif bagi perkembangan anak. Pola asuh pada dasarnya diciptakan oleh orang tua dalam menjalin hubungan sehari-hari dengan anak-anaknya. Pola asuh orang tua disertai tindakan dari orangtua untuk membentuk anak menurut yang diinginkannya, jelasnya orangtua yang suka menyesuaikan diri dengan keadaan akan mempunyai kesempatan menghasilkan anak-anak yang sealiran.

(33)

kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat (Turmudji, 2003).

Pola asuh menurut Dagun (Yuwanto, 2002) adalah cara atau teknik yang dipakai oleh orangtua di dalam mendidik dan membimbing anak-anaknya agar kelak menjadi orang yang berguna dan sesuai dengan yang diharapkan. Suardiman (Iswantini, 2002) mengatakan pola asuh adalah suatu cara orangtua menjalankan peranan yang penting bagi perkembangan anak selanjutnya, dengan memberi bimbingan dan pengalaman serta memberikan pengawasan agar anak dapat menghadapi kehidupan yang akan datang dengan sukses, sebab di dalam keluarga yang merupakan kelompok sosial dalam kehidupan individu, anak akan belajar dan menyatakan dirinya sebagai manusia sosial dalam hubungan dan interaksi dengan kelompok.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua adalah cara yang dipakai oleh orangtua dalam mendidik dan memberi bimbingan dan pengalaman serta memberikan pengawasan kepada anak-anaknya agar kelak menjadi orang yang berguna, serta memenuhi kebutuhan fisik dan psikis yang akan menjadi faktor penentu bagi remaja dalam menginterpretasikan, menilai dan mendeskripsikan kemudian memberikan tanggapan dan menentukan sikap maupun berperilaku.

2. Aspek-aspek Pola Asuh Orang Tua

(34)

a. Kontrol, merupakan usaha mempengaruhi aktivitas anak untuk mencapai tujuan, memodifikasi ekspresi ketergantungan, agresifitas, tingkah laku, dan bermain. Orang tua yang senantiasa menjaga keselamatan anak-anak (over protection) dan mengambil tindakan-tindakan yang berlebihan agar

anak-anaknya terhindar dari bermacam-macam bahaya akan menghasilkan perkembangan anak dengan ciri-ciri sangat tergantung kepada orang tuanya dalam bertingkah laku.

b. Tuntutan kedewasaan, menekankan kepada anak untuk mencapai suatu tingkat kemampuan secara intelektual, sosial dan emosional. Dengan memberikan kesempatan belajar pada anak untuk mengalami pahit getirnya kehidupan, menghadapi dan mengatasi berbagai masalah mereka, diharapkan dari pengalaman tersebut anak bisa menjadi dewasa namun anak masih tetap memerlukan campur tangan orang tuanya untuk mengubah dan mengarahkan proses-proses perkembangan pada seluruh aspek kepribadian dalam arti orang tua perlu berusaha mempersiapkan anak dalam menghadapi masa remaja. c. Komunikasi anak dan orang tua, menggunakan penalaran untuk memecahkan masalah, menanyakan bagaimana pendapat dan perasaan anak. Sangat bijaksana jika orang tua menyediakan cukup waktu untuk percakapan yang bersifat pribadi, pada kesempatan ini orang tua akan mendengarkan dan menemukan banyak hal di luar masalah rutin.

(35)

demikian, keakraban, keintiman, saling memiliki, rasa melindungi anak oleh orang tuanya semakin besar.

Menurut Hurlock (dalam Ihromi, 1999: 53), ada empat aspek pola asuh antara lain peraturan, hukuman, penghargaan, dan konsistensi.

1) Peraturan

Peraturan dapat diperoleh dari orangtua, guru, atau teman bermain. Tujuan dari adanya peraturan adalah untuk membekali anak melalui suatu pedoman untuk bertingkah laku benar. Peraturan mempunyai fungsi penting yaitu mendidik anak untuk bertingkah laku sesuai dengan aturan-aturan yang ada di masyarakat dan mengendalikan tingkah laku anak yang tidak diharapkan. Dengan aturan yang ada, orangtua mendidik anak mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Sehingga peraturan haruslah mudah dimengerti, diingat, dan dapat diterima oleh anak sesuai dengan fungsi peraturan itu sendiri.

2) Hukuman

Hukuman merupakan sanksi pelanggaran. Hukuman mempunyai tiga peranan penting, yaitu :

a. Bersifat membatasi

(36)

b. Sebagai pendidikan

Hukuman dapat dipelajari anak sebelum mereka dapat mengerti tentang aturan-aturan. Mereka dapat belajar bahwa ada tindakan tertentu, yakni hukuman diberikan untuk tingkah laku yang salah dan tidak adanya hukuman untuk tingkah laku yang benar.

c. Sebagai motivasi

Mengingat kembali akan hukuman yang diterima atau akibat-akibat yang terjadi bagi tingkah laku yang salah, dapat sebagai motivasi untuk menghindari dari tingkah laku tersebut.

3) Penghargaan

Penghargaan atau hadiah biasa diberikan setelah anak melakukan tingkah laku yang benar dan terpuji. Dalam hal ini hadiah tidak harus dalam bentuk benda atau materi, akan tetapi dapat juga berupa kata-kata pujian, senyuman, ciuman, atau menepuk-nepuk anak. Pemberian suatu hadiah mempunyai dua peranan penting yaitu untuk memberikan pendidikan yang berharga sehingga anak mengetahui yang dilakukannya itu benar serta memberikan motivasi untuk mengulangi tingkah laku yang benar di kemudian hari.

4) Konsistensi

(37)

pelaksanaannya. Ketidakjelasan dapat terlihat jika kedua orang tua menerapkan peraturan yang berbeda, atau dalam pelaksanaannya seringkali berubah atau tidak tetap.

Berdasarkan uraian tersebut ditarik kesimpulan bahwa aspek-aspek persepsi terhadap pola asuh orang tua yaitu aspek kontrol, aspek tuntutan kedewasaan, aspek komunikasi anak dengan orang tua, dan aspek kasih sayang.

3. Bentuk-bentuk Pola Asuh Orang Tua

a. Pola asuh orangtua yang otoriter.

Menurut Kartono (1992), ada beberapa pendekatan yang diikuti orangtua dalam berhubungan dan mendidik anak-anaknya salah satu di antaranya adalah sikap dan pendidikan otoriter. Pola asuh otoriter ditandai dengan ciri-ciri sikap orangtua yang kaku dan keras dalam menerapkan peraturan-peraturan maupun disiplin. Orangtua bersikap memaksa dengan selalu menuntut kepatuhan anak, agar bertingkah laku seperti yang dikehendaki oleh orangtuanya. Karena orangtua tidak mempunyai pegangan mengenai cara bagaimana mereka harus mendidik, maka timbullah berbagai sikap orang tua yang mendidik menurut apa yang dinggap terbaik oleh mereka sendiri, diantaranya adalah dengan hukuman dan sikap acuh tak acuh, sikap ini dapat menimbulkan ketegangan dan ketidak nyamanan, sehingga memungkinkan kericuhan di dalam rumah.

(38)

orang tua memaksakan kehendaknya dan tidak mendukung atau memperhatikan apa yang akan anak lakukan itu baik atau salah. Orang tua juga tidak memberikan kesempatan anak untuk mencoba. Aspek komunikasi anak dan orang tua, anak tidak diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat tentang adil tidaknya peraturan-peraturan dan orang tua juga tidak ada usaha menjelaskan kenapa aturan itu diberikan. Sedangkan pada aspek kasih sayang, orang tua tidak mempunyai pegangan dalam mendidik sehingga hukuman sering membuat ketegangan dan ketidaknyamanan dalam hubungan. Sikap acuh tak acuh menyebabkan tidak adanya penghargaan dan pujian kepada anak.

b. Pola asuh orangtua yang demokratis.

(39)

Bentuk pola asuh orang tua yang demokratis dapat dilihat berdasarkan empat aspek pola asuh antara lain aspek kontrol, orang tua lebih memusatkan perhatian pada aspek pendidikan dari pada aspek hukuman dengan memberikan teladan kepada anak. Peraturan yang diberikan orang tua ada keleluasaan tetapi tidak bersifat mutlak, ada pengawasan dan pembatasan berdasarkan norma yang ada. Hukuman diusahakan agar hukuman yang diberikan berhubungan dengan kesalahan perbuatannya, tidak lagi diberikan hukuman badan. Pada aspek tuntutan kedewasaan , orang tua berusaha agar anak mengerti apa arti peraturan-peraturan dan mengapa kelompok sosial mengharapkan anak mematuhi aturan tersebut. Orang tua juga memberikan kesempatan anak untuk mencoba dan belajar dari pengalamannya.

Aspek komunikasi anak dan orang tua, di sini orang tua bersikap terbuka terhadap tuntutan dan pendapat yang dikemukakan anak, kemudian mendiskusikan bersama-sama. Sedangkan pada aspek kasih sayang, penghargaan terhadap usaha-usaha untuk menyesuaikan dengan harapan sosial yang tercakup dalam peraturan-peraturan diperlihatkan melalui pemberian hadiah terutama dalam bentuk pujian dan pengakuan sosial. Orang tua berorientasi pada kebutuhan anak yang disertai dengan tuntutan, kontrol, dan pembatasan.

c. Pola asuh orangtua yang permisif.

(40)

dikemukakan anak. Menurut Kartono (1992) dalam pola asuh permisif, orangtua memberikan kebebasan sepenuhnya dan anak diijinkan membuat keputusan sendiri tentang langkah apa yang akan dilakukan, orangtua tidak pernah memberikan pengarahan dan penjelasan kepada anak tentang apa yang sebaiknya dilakukan anak. Dalam polaasuh permisif hampir tidak ada komunikasi antara anak dengan orangtua serta tanpa ada disiplin sama sekali.

Mussen (1989) mengatakan bahwa orangtua yang memiliki pola asuh permisif, rendah dalam penggunaan kontrol rasional. Mereka kurang hangat, kurang mengasihi dan kurang simpatik kepada anak-anaknya. Karena tidak adanya kontrol maka orangtua tidak mendorong anak-anaknya untuk mengemukakan ketidaksetujuan atas keputusan atau peraturan orangtua dan mereka hanya memberikan sedikit kehangatan. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan, bahwa pola asuh permisif adalah pengasuhan tanpa adanya disiplin sama sekali dengan memberikan kebebasan sepenuhnya pada anak untuk membuat keputusan sendiri.

(41)

secara intelektual, sosial, dan emosional. Sedangkan pada aspek komunikasi anak dan orang tua, orang tua enggan terbuka terhadap tuntutan dan pendapat yang dikemukakan oleh anak, orang tua tidak pernah memberikan pengarahan dan penjelasan kepada anak tentang apa yang sebaiknya dilakukan anak. Tidak adanya kontrol membuat orang tua tidak mendorong anaknya untuk mengemukakan ketidaksetujuan atas keputusan atau peraturan orang tua. Dan pada aspek kasih sayang, orang tua hanya memberikan sedikit kehangatan. Mereka kurang mengasihi dan kurang simpatik kepada anaknya.

B.DAYA TAHAN DALAM MENGHADAPI KESULITAN (ADVERSITY

QUOTIENT)

1. Pengertian Adversity Quotient

Adversity Quotient membantu seseorang dalam menghadapi tantangan-tantangan dan kesulitan-kesulitan yang menghadang di sekitar hidup seseorang sebelum mencapai keberhasilan dan kesuksesan. Stoltz (2000) mendefinisikan Adversity Quotient (AQ) sebagai kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam mengatasi dan menghadapi kesulitan, tantangan serta hambatan-hambatan untuk dapat bertahan hidup. Pengertian yang senada juga di kemukakan oleh Sadino (2001) yang mengatakan bahwa AQ adalah kemampuan seseorang untuk bertahan di tengah halangan dan rintangan.

(42)

dalam mengatasi dan menghadapi setiap kesulitan, halangan dan rintangan, serta bagaimana seseorang itu dapat bertahan hidup di tengah halangan dan rintangan.

Adversity Quotient mempunyai tiga bentuk (Stoltz, 2000), yaitu

a. Suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan.

b. Suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan.

c. Serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan.

Penggabungan ketiga unsur ini yang berupa pengetahuan baru, tolok ukur, dan peralatan yang praktis, menjelaskan lebih Adversity Quotient sebagai sebuah paket yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki komponen dasar pendakian manusia dalam kehidupan sehari-hari selama seumur hidupnya.

Manusia dilahirkan dengan satu dorongan inti yang manusiawi untuk terus mendaki. Pendakian yang dimaksud adalah menggerakkan tujuan hidup individu ke depan, apapun tujuannya itu (Stoltz, 2000: 17). Orang-orang yang sukses dalam mendaki memiliki dorongan yang mendalam untuk berjuang, untuk maju, untuk meraih cita-cita, dan mewujudkan impian mereka

2. Aspek-Aspek Adversity Quotient

Menurut Stoltz (2000), Adversity Quotient terdiri dari empat dimensi

CO-2RE. yaitu Control, Origin dan Ownership, Reach, dan Endurance. Keempat

(43)

antara orang yang memiliki AQ 134 dan orang yang memiliki AQ 135, namun ada perbedaan antara orang yang AQ-nya rendah, sedang, dan tinggi. Untuk memahami AQ individu sepenuhnya, maka perlu melihat dengan teliti tiap-tiap dimensi CO2RE.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis melihat Adversity Quotient (AQ) memiliki dimensi yang dapat ditafsirkan satu persatu, dan skor tiap dimensi juga dapat dijumlahkan sehingga dapat diperoleh skor total atau AQ keseluruhan yang juga mempunyai penafsiran sendiri. Maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan keempat dimensi AQ ini mempunyai sifat khusus atau istimewa, sehingga dimensi CO2RE dapat disebut juga sebagai aspek-aspek AQ. Berikut Aspek-aspek

Adversity Quotient (AQ) :

a. Control atau Kendali ( C )

C adalah singkatan dari “Control” atau kendali. C mempertanyakan

seberapa banyak kendali yang akan individu rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. kata kuncinya adalah merasakan. Kendali yang sebenarnya dalam suatu situasi hampir tidak mungkin diukur. Kendali yang dirasakan jauh lebih penting.

b. Origin dan Ownershipatau Asal Usul dan Pengakuan ( O2 )

O2 merupakan kependekan dari “origin” (Asal Usul) dan “Ownership

(Pengakuan). O2 mempertanyakan dua hal, yaitu siapa atau apa yang menjadi

(44)

Memahami kedua pertanyaan ini, dapat terlihat kemiripan, namun ada perbedaan besar diantara keduanya. Dalam hal ini asal-usul atau Origin, terdapat kaitannya dengan rasa bersalah. Rasa bersalah memiliki fungsi penting. Pertama, membantu individu untuk belajar. Dengan menyalahkan diri sendiri, individu akan cenderung merenungkan, belajar, dan menyesuaikan tingkah laku sendiri. Kedua, menjurus ke arah penyesalan yang dapat memaksa individu untuk meneliti batin sendiri (instropeksi diri) dan mempertimbangkan apakah ada tingkah laku yang telah melukai hati orang lain. Namun perlu diingat bahwa mempersalahkan diri sendiri hanya efektif jika dilakukan sampai tahap tertentu. Terlalu berlebihan akan menjadi tindakan destruktif yang menghilangkan semangat, energi, harapan, harga diri, dan sistem kekebalan individu.

Sementara Pengakuan atau Ownership adalah orang yang belajar dari kesalahannya dan mengakui akibatnya serta menganggap dirinya harus bertanggung jawab.

Asal usul yang rendah akan menampakkan semakin besar kecenderungan untuk menyalahkan diri sendiri yang lama kelamaan akan berubah menjadi tindakan destruktif. Sedangkan asal usul yang memiliki skor tinggi mencerminkan bahwa kesalahan yaang ada berasal dari orang lain atau dari luar. Semakin besar skor Pengakuan individu, semakin besar individu mengakui akibat-akibat dari suatu perbuatan apapun penyebabnya.

c. Reachatau Jangkauan ( R )

(45)

tuntut untuk mampu membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi. Semakin rendah skor R, semakin besar kemungkinan bagi individu menganggap peristiwa-peristiwa buruk sebagai bencana. Apabila di biarkan meluas akan menyedot kebahagiaan dan ketenangan pikiran individu saat prosesnya berlangsung. Sebaliknya skor R yang semakin tinggi, maka semakin besar pula kemungkinan individu membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi.

d. Enduranceatau Daya Tahan ( E )

E atau daya tahan mempertanyakan dua hal yang berkaitan yaitu berapa lamakah kesulitan akan berlangsung dan berapa lamakah penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Dalam hal ini, maksudnya individu yang melihat kemampuan sebagai penyebab kegagalan (penyebab yang tetap) cenderung kurang bertahan dibandingkan dengan individu yang mengkaitkan kegagalan dengan usaha (penyebab yang sementara) yang mereka lakukan. Semakin rendah skor E individu, semakin besar kemungkinanya individu menganggap kesulitan beserta penyebabnya berlangsung lama.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Adversity Quotient

(46)

a. Motivasi Berprestasi

Motivasi berprestasi menurut Gellerman (dalam Asmoro, 2006: 17) adalah suatu dorongan yang membuat orang cenderung menuntut diri sendiri untuk berusaha lebih keras. Orang akan semakin berusaha keras dalam pekerjaan jika orang yang bersangkutan ditantang (dengan alasan kuat) untuk melakukan pekerjaan dengan lebih baik. Orang yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi cenderung lebih gigih, realistis, dan lebih suka bertindak.

b. Persepsi Terhadap Kesulitan

Persepsi merupakan aktivitas mengindera, menginterpretasi, dan memberi penilaian terhadap obyek-obyek fisik maupun sosial (Young, 1956). Hal ini berarti bahwa dalam persepsi ada aktivitas kognitif yang akan menentukan individu dalam bersikap dan bertingkah laku. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dijelaskan persepsi terhadap kesulitan adalah cara individu memproses, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan kesulitan yang diterima sehingga menjadi aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu. Cara individu menjelaskan dan merespon peristiwa-peristiwa dalam kehidupannya mempengaruhi kemampuannya dalam menghadapi kesulitan.

c. Kemauan Belajar

(47)

Stoltz (2000) mengemukakan bahwa daya tahan dalam menghadapi kesulitan untuk mencapai keberhasilan dapat dipelajari.

Nuwer, Dr. (dalam Stoltz, 2000: 110) menjelaskan bahwa kebiasaan-kebiasaan dalam merespon menghadapi kesulitan dapat dihentikan dan diubah secara mendadak. Pola perilaku atau kebiasaan dibentuk melalui proses belajar. Proses ini dimulai dengan pilihan sadar individu, yang kemudian dilakukan pengulangan dengan tujuan mempertebal jalur-jalur syaraf otak supaya pola perilaku tersebut berpindah ke bagian belakang pikiran bawah sadar dan menjadi suatu kebiasaan baru yang berkembang terutama dalam merespon kesulitan.

d. Pendidikan

Pendidikan yang diperoleh individu baik di lingkungan formal sekolahan maupun informal dalam keluarga selama hidupnya bisa mempengaruhi kecerdasan, pembentukan kebiasaan yang sehat, perkembangan watak, keterampilan, hasrat, dan kinerja yang dihasilkan (Stoltz, 2000: 45).

C.REMAJA

1. Pengertian Remaja

(48)

pekembangan psikologi pada pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi orang dewasa serta terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh pada keadaan relatif mandiri.

Hurlock (1992:206) membatasi usia remaja antara 13-18 tahun. Pada masa remaja yang paling menarik perhatian para ahli adalah adanya masa pubertas, karena beberapa saat setelah masa ini perubahan yang terjadi tidak begitu hebat. Fungsi kognitifnya sudah mulai matang karena pengaruh pendidikan serta usia yang telah menginjak dewasa. Masa ini oleh beberapa ahli disebut adolesence. Sedangkan pada masa pubertas banyak terjadi perubahan pada fisik dan psikisnya. Terjadinya perubahan kejiwaan menimbulkan kebingungan pada remaja sehingga sering disebut periode strum und drang. Mereka mengalami gejolak emosi dan tekanan jiwa sehingga mudah menyimpang dari aturan dan norma-norma sosial yang berlaku dikalangan masyarakat. Masa puber ini mencangkup tahun-tahun akhir masa kanak-kanak dan tahun-tahun awal masa remaja yaitu usia 11 – 15 tahun. Berbicara mengenai keadaan yang penuh tekanan-tekanan pada masa puber ini, Remplein (dalam Monks dkk., 1992) menekankan bahwa masa paling kritis pada remaja berada pada titik diantara masa pubertas dan adolesensi yaitu usia 15 -17 tahun. Meskipun secara empiris sukar dibuktikan namun beberapa ahli menganut pembagian tersebut.

2. Ciri-ciri Perkembangan Remaja

(49)

sosial. Sama seperti semua periode perkembangan, proses-proses ini bekerja bersama-sama untuk menghasilkan siapa diri kita di masa remaja.

a. Pertumbuhan Fisik

Malina dkk (dalam Santrock: 2002, 8) menyebutkan ada empat perubahan tubuh yang paling dominan pada wanita yaitu pertambahan tinggi badan yang cepat, menstruasi pertama (menarche), pertumbuhan buah dada, dan pertumbuhan rambut kemaluan. Sedangkan empat perubahan tubuh yang paling dominant pada laki-laki adalah pertambahan tinggi badan yang cepat, pertumbuhan penis, pertumbuhan testis, dan pertumbuhan rambut kemaluan. Pernyataan yang senada juga dikatakan oleh Mulyono (1986: 11) bahwa perkembangan fisik pada remaja meliputi pertambahan tinggi dan berat badan, kematangan seksual baik sekunder maupun primer.

(50)

mereka. Pada masa ini remaja awal merasa lebih tidak puas dengan tubuh mereka daripada ketika akhir masa remaja.

b. Perkembangan Kognitif

Pemikiran mereka semakin abstrak, logis, dan idealistis (Santrock, 2002: 10). Pandangan Piaget menjelaskan konsep tersebut. Piaget telah mengklasifikasikan perkembangan kognitif manusia sejak lahir sampai remaja menjadi empat tahapan, yaitu :

1) Sensori-motor (0-2 tahun) 2) Pra-operasional (2-7 tahun) 3) Operasional konkret (7-11 tahun) 4) Operasional formal (11-dewasa)

Menurut Piaget (dalam Santrock, 2002: 10), masa remaja masuk ke dalam tahapan pemikiran operasional formal. Seorang remaja SMU pastinya memiliki pemikiran yang lebih abstrak daripada pemikiran anak-anak. Di sini mereka bisa memperkirakan apa yang mungkin terjadi, karena mampu untuk menghubungkan berbagai ide, pemikiran atau konsep pengertian untuk menganalisis dan memecahkan masalah yang ditemukan dalam kehidupan formal maupun non formal. Jadi mereka tidak lagi terbatas pada pengalaman konkret aktual sebagai dasar pemikiran.

(51)

menggunakan atau melihat sudut pandang orang lain ketika berbicara mengenai suatu hal.

c. Perkembangan Sosial

Ada beberapa aspek karakteristik perkembangan sosial yang perlu dilihat untuk mengetahui lebih jauh perkembangan sosial yang terjadi pada remaja yaitu meliputi remaja dengan dirinya sendiri, remaja dengan keluarga, remaja dengan teman-teman sebayanya, dan yang paling akhir adalah remaja dengan lingkungan sekitarnya (masyarakat) (Santrock, 2002: 40).

1) Remaja dengan dirinya sendiri

Masa remaja merupakan masa yang menarik bagi remaja untuk mengetahui siapa dirinya, bagaimana dirinya, dan ke mana ia menuju dalam kehidupannya. Erikson (dalam Santrock, 2002: 57) melihat perilaku remaja itu berada dalam tahap perkembangan identitas Vs kebingungan identitas (identity versus identity confusion) yang merupakan tahap kelima dalam delapan tahapan

siklus kehidupan manusia. Pada tahapan ini pandangan-pandangan dunia menjadi penting bagi individu, karena menurut Erikson, remaja memasuki masa kesenjangan antara keamanan masa anak-anak dan otonomi masa dewasa (penundaan psikologis).

(52)

2) Remaja dengan keluarga

Keluarga adalah kelompok sosial yang paling kecil di dalam masyarakat. Interaksi sosial dalam keluarga mempengaruhi individu untuk bersikap atau berinteraksi ke lingkungan sosial yang lebih besar. Dalam perkembangannya remaja mempunyai tuntutan untuk otonom dan belajar untuk bertanggung jawab. Namun seiring perkembangan yang dilakukan remaja untuk memenuhi tuntutan tersebut, orangtua ternyata kesulitan untuk mengontrol perilaku mereka sehingga nampak frustasi dan berharap remaja mereka menuruti nasihatnya, mau meluangkan waktu bersama keluarga, dan tumbuh untuk melakukan apa yang benar (Collins & Luebker, 1993).

3) Remaja dengan teman-teman sebaya

(53)

4) Remaja dengan masyarakat

Masyarakat sebagai lingkungan ketiga (tertier) adalah lingkungan yang terluas bagi remaja dan sekaligus paling banyak menawarkan pilihan. Lingkungan sangat mempunyai pengaruh terhadap perkembangan remaja. Hasil belajar dan pengalaman dari lingkungan membentuk suatu perilaku baru. Melalui proses belajar sosial tersebut, remaja memenuhi harapan dan tuntutan terhadapnya.

3. Tugas Perkembangan Remaja

Watenberg (Mappiere, 1982: 106-109) membagi tugas perkembangan remaja sebagai berikut :

1) Memiliki kemampuan mengontrol diri sendiri seperti orang dewasa.

2) Memperoleh kebebasan untuk belajar dan berlatih membuat rencana, bebas membuat alternatif pilihan, dan bebas melaksanakan pilihan-pilihannya itu dengan tanggung jawab. Remaja diharapkan dapat melepaskan diri dari ketegantungan dengan orangtua atau orang dewasa lainnya.

3) Bergaul dengan teman lawan jenis.

4) Mengembangkan keterampilan-keterampilan baru yang sesuai dengan tuntutan hidup dan pergaulannya dalam masa dewasa kelak.

(54)

D.Dinamika Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dan Daya Tahan Remaja

Dalam Menghadapi Kesulitan (AQ)

Seorang remaja pada awal kehidupannya di dunia terlebih dahulu akan mengenal lingkungan keluarga sebelum mengenal lingkungan lainnya yang lebih luas, sehingga institusi awal bagi setiap pribadi manusia belajar dan berinteraksi dengan sesamanya adalah di dalam lingkungan keluarga. Interaksi terutama terjadi di dalam keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Ayah dan ibu sering kita sebut juga dengan orangtua yang mempunyai tanggung jawab penuh terhadap tumbuh kembang anaknya hingga mengantarkannya ke gerbang kedewasaan. Thamrin Nasution dan Nurhalijah Nasution (1985: 1) menegaskan kembali bahwa orangtua adalah setiap orang yang bertanggung jawab dalam satu keluarga atau rumah tangga yang dalam kehidupan sehari-hari lazim disebut juga dengan bapak-ibu.

(55)

proses interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan.

Pola asuh menurut Suardiman (Iswantini, 2002) adalah suatu cara orangtua menjalankan peranan yang penting bagi perkembangan anak selanjutnya, dengan memberi bimbingan dan pengalaman serta memberikan pengawasan agar anak dapat menghadapi kehidupan yang akan datang dengan sukses, sebab di dalam keluarga yang merupakan kelompok sosial dalam kehidupan individu, anak akan belajar dan menyatakan dirinya sebagai manusia sosial dalam hubungan dan interaksi dengan kelompok. Tanggung jawab orang tua tidak hanya mengontrol anak dengan mengawasi segala apa yang dilakukannya, tetapi juga mengajak anak untuk mengkomunikasikan masalah-masalahnya, baik dengan memberikan kesempatan anak untuk bertanya atau berdiskusi dengannya mengenai segala hal yang muncul dalam pikirannya. Hal tersebut merupakan cara mendidik anak dengan prinsip demokratis.

(56)

demokrasi dapat memberikan keleluasaan anak untuk menyampaikan segala persoalan yang dialaminya tanpa ada perasaan takut, keleluasaan yang diberikan orangtua tidak bersifat mutlak akan tetapi ada kontrol dan pembatasan berdasarkan norma-norma yang ada.

Mussen dkk (1994) menyatakan bahwa ada beberapa aspek untuk melihat pola asuh yang diberikan orang tua, yaitu kontrol, tuntutan kedewasaan, komunikasi anak dan orang tua, dan kasih sayang. Aspek kontrol merupakan usaha mempengaruhi aktivitas anak untuk mencapai tujuan, memodifikasi ekspresi ketergantungan, agresifitas, tingkah laku, dan bermain. Aspek tuntutan kedewasaan menekankan kepada anak untuk mencapai suatu tingkat kemampuan secara intelektual, sosial dan emosional. Dengan memberikan kesempatan belajar pada anak untuk menjalani kehidupan, menghadapi dan mengatasi berbagai masalah mereka, namun tetap ada bimbingan dari orang tua.

(57)

Hurlock (1990) menjelaskan lebih jauh bahwa perlakuan yang dilakukan orang tua akan mempengaruhi bagaimana anak itu memandang, menilai, dan mempengaruhi sikap anak tersebut terhadap orang tua, serta mempengaruhi kualitas hubungan yang berkembang di antara mereka. Pengasuhan dari orang tua seperti bagaimana kontrol yang diterapkan, tuntutan kedewasaan yang ditekankan orang tua, komunikasi yang terjadi antara anak dengan orang tua, dan kasih sayang yang diberikan orang tua memberikan pengaruh pada anak sehingga terbentuk sikap anak kepada orang tuanya. Sikap anak terhadap orang tuanya lama kelamaan membentuk perilaku dan bagaimana respon anak dalam melihat kesulitan, seperti yang dikatakan Stoltz (2000) bahwa respon anak terhadap kesulitan terbentuk melalui proses pembelajaran. Respon terhadap kesulitan ini yang menentukan daya tahan remaja dalam menghadapi kesulitan (AQ).

(58)

kesulitan itu akan berlangsung. Dalam hal ini, maksudnya individu yang melihat kemampuan sebagai penyebab kegagalan (penyebab yang tetap) cenderung kurang bertahan dibandingkan dengan individu yang mengkaitkan kegagalan dengan usaha (penyebab yang sementara) yang mereka lakukan.

Sikap anak yang positif kepada orang tua menunjukkan pola asuh orang tuanya semakin demokratis. Hal ini akan membentuk perilaku anak dan mengembangkan respon terhadap kesulitan yang memberdayakan (konstruktif) pada setiap aspek AQ, sehingga akan terbentuk sikap tahan banting, keuletan, optimisme, efektifitas diri, kebahagiaan, dan lain sebagainya. Sedangkan anak yang bersikap negatif kepada orang tuanya akan membentuk respon terhadap kesulitan dan mengembangkan ketidakberdayaan (destruktif) pada setiap aspek AQ. Respon remaja terhadap kesulitan yang memberdayakan berarti bahwa remaja memiliki daya tahan terhadap kesulitan (AQ) yang tinggi, sedangkan respon remaja terhadap kesulitan yang mengembangkan sikap ketidakberdayaan mengindikasikan bahwa remaja memiliki daya tahan terhadap kesulitan (AQ) yang rendah.

(59)

Gambar I

Kerangka berpikir Hubungan Pola Asuh Orang tua Dengan Daya Tahan Remaja Dalam Menghadapi Kesulitan (AQ)

Keluarga

RESPON TERHADAP KESULITAN

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang positif antara pola asuh orang tua dengan daya tahan remaja dalam menghadapi kesulitan (AQ). Apabila pola asuh orang tuanya semakin demokratis, maka respon

POLA ASUH

ORANG TUA

Kontrol Kasih

sayang Komunikasi anak

dan orang tua Tuntutan

kedewasaan

Asal Usul dan Pengakuan

Kendali Daya

Tahan Jangkauan

(60)
(61)

43

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian korelasional, yaitu penelitian yang bertujuan untuk melihat ada tidaknya hubungan. Apabila ada, seberapa eratnya hubungan serta berarti atau tidaknya hubungan itu (Arikunto, 1996). Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat apakah terjadi hubungan yang positif antara dua variabel.

B.Variabel Penelitian

Adapun variabel dalam penelitian ini antara lain : 1. Variabel X

Variabel X dalam penelitian ini adalah pola asuh orang tua. 2. Variabel Y

Variabel Y dalam penelitian ini adalah daya tahan dalam menghadapi kesulitan (AQ).

C.Definisi Operasional

(62)

variabel supaya diperoleh pengertian yang jelas mengenai variabel-variabel penelitian ini.

1. Daya Tahan Dalam Menghadapi Kesulitan (AQ)

Daya tahan dalam menghadapi kesulitan adalah kemampuan remaja dalam merespon setiap kesulitan sehingga mampu untuk menghadapi hambatan dan mengatasi kesulitan yang menghadang dengan berdasarkan pada empat aspek daya tahan menghadapi kesulitan (AQ), yaitu kendali terhadap kesulitan (control), pemahaman asal-usul kesulitan dan rasa tanggung jawab terhadap kesulitan (Origin & Ownership), kemampuan membatasi ruang gerak kesulitan (Reach) dan kemampuan memaknai kesulitan (Endurance) yang dapat diukur secara empirik dengan menggunakan skala daya tahan dalam menghadapi kesulitan (AQ). Semakin tinggi skor jawaban menunjukkan semakin tinggi daya tahan remaja dalam menghadapi kesulitan (AQ) dan sebaliknya skor jawaban rendah menunjukkan semakin rendah daya tahan remaja dalam menghadapi kesulitan (AQ).

2. Pola Asuh Orang Tua

(63)

yang mempengaruhi pola asuh yang dikemukakan oleh Mussen dkk (1994) yaitu: kontrol terhadap pergaulan, tuntutan kedewasaan, komunikasi anak dan orang tua, dan kasih sayang. Semakin tinggi skor jawaban menunjukkan semakin demokratis pola asuh orang tua dan sebaliknya skor jawaban rendah menunjukkan semakin tidak demokratis pola asuh orang tua.

D.Subjek Penelitian

Sampel ialah sebagian anggota populasi yang diambil dengan menggunakan teknik tertentu yang disebut dengan teknik sampling (Usman & Akbar, 2003). Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik purposive sampling yaitu cara pengambilan sampel dengan menentukan ciri-ciri atau karakteristik terlebih dahulu. Ciri-ciri atau karakteristik pada subjek yaitu masih memiliki orang tua dan tinggal bersama dengan orang tua dalam satu rumah. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan purposive sampling karena subjek dalam populasi memiliki banyak ciri-ciri atau karakteristik yang berbeda. Tujuan penggunaan teknik ini untuk memberi penegasan sifat-sifat dan ketegasan batasan-batasan dari populasi terhadap subjek yang akan dijadikan sebagai sampel penelitian.

(64)

masa-masa yang sulit bagi siswa dan tantangan besar dalam proses transisi yang sedang dialami siswa sebagai remaja.

E.Prosedur Penelitian

1. Membuat skala penelitian yang terdiri dari skala Pola Asuh Orang Tua dan skala Daya Tahan Dalam Menghadapi Kesulitan (AQ) untuk kemudian diuji coba pada kelompok subyek.

2. Melakukan uji coba aitem dan reabilitas skala untuk mendapatkan aitem yang sahih dan skala yang reliabel.

3. Menentukan subyek penelitian dan pengumpulan data variabel pola asuh orang tua dan daya tahan remaja dalam menghadapi kesulitan, dengan cara mengisi skala yang sudah reliabel dan lolos seleksi aitem.

4. Menganalisis data yang masuk menggunakan Product Moment dari Pearson. 5. Membuat kesimpulan berdasarkan hasil analisis.

F. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dengan penyebaran skala yang diisi oleh subjek. Alat yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu skala daya tahan dalam menghadapi kesulitan(AQ) dan skala pola asuh orangtua. Kedua skala tersebut didesain sendiri dan dibuat oleh penulis.

1. Skala Daya Tahan Dalam Menghadapi Kesulitan (AQ)

(65)

a. Control atau Kendali = C

C adalah singkatan dari “Control” atau kendali. C mempertanyakan seberapa banyak kendali yang akan individu rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. kata kuncinya adalah merasakan. Kendali yang sebenarnya dalam suatu situasi hampir tidak mungkin diukur. Kendali yang dirasakan jauh lebih penting.

b. Origin dan Ownershipatau Asal Usul dan Pengakuan = O2

O2 merupakan kependekan dari “origin” (Asal Usul) dan “Ownership

(Pengakuan). O2 mempertanyakan dua hal, yaitu siapa atau apa yang menjadi

asal-usul kesulitan dan sampai sejauh mana akibat-akibat dari kesulitan itu diakui oleh individu.

(66)

Sementara Pengakuan atau Ownership adalah orang yang belajar dari kesalahannya dan mengakui akibatnya serta menganggap dirinya harus bertanggung jawab.

Asal usul yang rendah akan menampakkan semakin besar kecenderungan untuk menyalahkan diri sendiri yang lama kelamaan akan berubah menjadi tindakan destruktif. Sedangkan asal usul yang memiliki skor tinggi mencerminkan bahwa kesalahan yaang ada berasal dari orang lain atau dari luar. Semakin besar skor Pengakuan individu, semakin besar individu mengakui akibat-akibat dari suatu perbuatan apapun penyebabnya.

c. Reachatau Jangkauan = R

R atau jangkauan mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan individu. Dalam hal ini individu di tuntut untuk mampu membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi. Semakin rendah skor R, semakin besar kemungkinan bagi individu menganggap peristiwa-peristiwa buruk sebagai bencana. Apabila di biarkan meluas akan menyedot kebahagiaan dan ketenangan pikiran individu saat prosesnya berlangsung. Sebaliknya skor R yang semakin tinggi, maka semakin besar pula kemungkinan individu membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi.

d. Enduranceatau Daya Tahan = E

(67)

sebagai penyebab kegagalan (penyebab yang tetap) cenderung kurang bertahan dibandingkan dengan individu yang mengkaitkan kegagalan dengan usaha (penyebab yang sementara) yang mereka lakukan. Semakin rendah skor E individu, semakin besar kemungkinanya individu menganggap kesulitan beserta penyebabnya berlangsung lama.

Metode pengukuran yang digunakan dalam menyusun skala ini adalah metode rating yang dijumlahkan (Summated Rating). Skala ini mencangkup 60 item yang terdiri dari 30 item favorable dan 30 aitem unfavorabel. Skala disusun berdasarkan skala Likert yang telah dimodifikasi dengan empat alternatif jawaban,yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Setiap kategori diberi skor sebagai berikut :

a. Item yang bersifat favorabel SS : Sangat Setuju : 4

S : Setuju : 3

TS :Tidak Setuju : 2 STS : Sangat Tidak Setuju : 1 b. Item yang bersifat unfavorabel

SS : Sangat Setuju : 1

S : Setuju : 2

TS : Tidak Setuju : 3 STS : Sangat Tidak Setuju : 4

(68)

Tabel 1

Distribusi Penyebaran Aitem Daya Tahan Dalam Menghadapi Kesulitan (AQ) Sebelum Uji Coba

Skala ini Bertujuan untuk mengungkap pola asuh yg telah diberikan oleh orang tua remaja. Skala pola asuh orang tua yang dipergunakan dalam penelitian ini disusun berdasarkan aspek-aspek yang mempengaruhi pola asuh yang dikemukakan oleh Mussen dkk (1994) yaitu: Kontrol, tuntutan kedewasaan, komunikasi anak dan orang tua, dan kasih sayang.

Metode pengukuran yang digunakan dalam menyusun skala ini adalah metode rating yang dijumlahkan (Summated Rating). Skala ini juga mencangkup 60 item yang terdiri dari 30 item favorable dan 30 aitem unfavorabel. Skala disusun berdasarkan skala Likert yang telah dimodifikasi dengan empat alternatif jawaban,yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Setiap kategori diberi skor sebagai berikut :

(69)

SS : Sangat Setuju : 4

S : Setuju : 3

TS :Tidak Setuju : 2 STS : Sangat Tidak Setuju : 1 b. Item yang bersifat unfavorabel

SS : Sangat Setuju : 1

S : Setuju : 2

TS : Tidak Setuju : 3

STS : Sangat Tidak Setuju : 4

Skor jawaban tertinggi pada skala ditemui pada subjek yang mempunyai sikap penerimaan positif terhadap pernyataan-pernyataan dalam skala, sedang skor jawaban terendah pada skala ditemui pada subjek yang mempunyai penerimaan negatif terhadap pernyataan-pernyataan dalam skala.

(70)

Tabel 2

Validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 1997). Validitas dibatasi sebagai tingkat kemampuan suatu instrument atau alat ukur untuk mengungkapkan sesuatu yang menjadi sasaran pokok pengukuran yang dilakukan dengan instrumen tersebut. (Sutrisno,1991). Jadi suatu alat ukur dinyatakan valid jika mampu mengukur apa saja yang hendak diukurnya, mampu mengungkapkan apa yang ingin diungkapkan.

(71)

menggunakan analisis rasional atau profesional judgement untuk mengetahui apakah ada kesesuaian antara aitem dan blue print-nya.

2. Seleksi Aitem

Seleksi aitem bertujuan untuk menentukan aitem-aitem yang berkualitas. Pada penelitian ini cara yang digunakan untuk menyeleksi butir aitem dilakukan dengan cara melihat tabel korelasi (r) (Hadi, 1991). Ada kaidah yang digunakan untuk mempertahankan suatu aitem yaitu koefisien korelasi aitem total (rix) harus positif dan peluang ralat p nya < 0.05.

Koefisien korelasi aitem total (rix) dikoreksi dengan perolehan rtabel.

Apabila rix > dari rtabel, maka rix signifikan sehingga aitemnya dianggap dapat

dipertahankan. Derajat bebas (db) yang digunakan adalah N-2 sehingga diperoleh db = 66. Pada taraf Signifikansi 5 % (one tail) diperoleh batas rtabel

adalah 0.201. Jadi rix akan signifikan apabila diatas kriteria 0.201. Hal ini

berarti aitem-aitem yang telah memenuhi kedua kaidah uji yaitu rixpositif dan

signifikansi p < 0.05, maka aitem-aitem tersebut dapat kita pertahankan.

Gambar

Gambar 1 Kerangka berpikir hubungan pola asuh orang tua
Gambar I
Tabel 1
Tabel 2 Distribusi Penyebaran Aitem Pola Asuh Orang Tua
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan, maka penelitian tentang optimasi parameter respon mesin cetak sistem injeksi perlu dilakukan dengan prosedur terpadu yang

Persepsi kemudahan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap motivasi hedonik pada mobile banking Bank BNI di Surabaya. Persepsi kemudahan memiliki pengaruh yang

Ini bisa menjadi salah satu penjelasan mengapa remaja wanita dalam hal ini siswi SMA Islam Al Azhar 2 tidak begitu memperhatikan citra tubuh karena dalam berpakaian di sekolah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun pelaksanaan diklatpim IV pada tahun 2014 di Kabupaten Pringsewu telah menggunakan pola baru dengan perubahan kurikulum, penekanan

Ibnu Khaldun (1332-1406 M) melihat peradaban sebagai organisasi sosial manusia, kelanjutan dari proses tamaddun (semacam urbanisasi), lewat ashabiyah (group feeling),

Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingintahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora

konsep adaptasi mahluk hidup terhadap lingkungan. Kondisi ekosistem sungai Padang Guci, Air Nelenagau, dan Air Nipis sebagai habitat ikan Sicyopterus

Dalam rangka pengembangan mutu pendidikan Islam di madrasah, maka memerlukan partisipasi aktif dan dinamis dari orang tua, siswa, guru dan staf lainnya termasuk institusi