• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Umum

Jembatan sebagaimana kita ketahui merupakan suatu struktur yang memungkinkan route transportasi melintasi sungai, danau, kali, jalan raya, jalan Kereta Api dan lain-lain. (Manu,I,A, 2002).

Perkembangan jembatan dari masa ke masa sangat menunjukan kemajuan yang sangat efisien dan canggih. Itu disebabkan karena adanya penemuan-penemuan material yang baru didalam bahan bangunan antara lain kayu atau batu digabung dengan besi.

Klasifikasi jembatan dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu :

1. Menurut kegunaanya :

 Jembatan Jalan Raya  Jembatan Kereta Api  Jembatan Jalan Air  Jembatan Jalan Pipa  Jembatan Militer

 Jembatan Penyeberangan

2. Menurut jenis material :

 Jembatan Kayu

 Jembatan Baja

(2)

- Beton Pratekan (Prategang) 3. Menurut letak lantai jembatan :

 Jembatan lantai kendaraan di bawah  Jembatan lantai kendaraan diatas  Jembatan lantai kendaraan di tengah

 Jembatan lantai kendaraan diatas dan di bawah (double deck bridge) 4. Menurut bentuk struktur secara umum :

 Jembatan gelagar (girder bridge)

 Jembatan pelengkung/busur (arch bridge)  Jembatan rangka (truss bridge)

 Jembatan portal (rigid frame bridge)  Jembatan gantung (suspension bridge)  Jembatan kabel (Cable-stayed bridge)

Untuk lebar jembatan ditentukan berdasarkan peraturan Bina Marga No.12/1970 (Bina Marga Loading Spec) yaitu sebagai berikut :

1. Untuk 1 jalur lebar jembatan minimum : 2.75 m

Maksimum : 3.75 m

Untuk 2 jalur lebar jembatan minimum : 5.50 m

Maksimum : 7.50 m

2. Lebar trotoir umumnya berkisar antara 1.00 m – 1.50 m

3. Lebar kerb : ± 0.50 m

(3)

Pada umumnya suatu bangunan jembatan terdiri dari enam (6) bagian pokok sebagai berikut :

1. Bangunan atas

2. Landasan

3. Bangunan bawah

4. Pondasi 5. Oprit

6. Bangunan pengaman jembatan

II.2 Material Beton Prategang

Beton pratekan adalah beton bertulang yang telah diberikan tegangan tekan dalam untuk mengurangi tegangan tarik potensial dalam beton akibat beban kerja. (DirJen Bina Marga, 2011). Pada struktur dengan bentang yang cukup panjang tegangan lentur dan geser sangat tinggi sehingga struktur beton bertulang saja tidak cukup. Untuk itu beton prategang sangat cocok digunakan untuk bentang yang demikian.

Beton adalah campuran dari semen, air dan aggregat serta suatu bahan tambahan (admixture). Setelah beberapa jam dicampur, bahan-bahan tersebut akan mengeras sesuai dengan bentuk pada waktu basahnya. Beton yang digunakan untuk beton prategang adalah yang mempunyai kekuatan tekan yang cukup tinggi dengan nilai f’c antara 30-45 MPa.

Sesuai SNI 2002 kuat tarik beton ditetapkan sebesar

(4)

sedangkan menurut ACI 318 sebesar

ζts = 0,6√f’c ……… 2)

Gambar 2.1. Tipikal Diagaram Tegangan Regangan Beton (Budiadi, 2008) Besarnya harga modulus elastisitas beton Ec dapat ditentukan dengan persamaan :

Ec = 4700√f’c ………. 3)

Baja yang dipakai untuk beton prategang dalam praktik ada empat macam, yaitu :

1. Kawat tunggal (wires), biasanya digunakan untuk baja prategang pada beton prategang dengan sistem pratarik.

2. Untaian kawat (strand), biasanya digunakan untuk baja prategang untuk beton prategang dengan sistem pascatarik.

3. Kawat batangan (bars), biasanya digunakan untuk baja prategang pada beton prategang dengan sistem pratarik.

(5)

4. Tulangan biasa, sering digunakan untuk tulangan non-prategang (tidak

ditarik), seperti tulangan memanjang, sengkang, tulangan untuk

pengangkuran dan lain-lain.

Kawat tunggal yang dipakai untuk beton prategang adalah yang sesuai dengan spesifikasi seperti ASTM A 421 di Amerika Serikat, dengan modulus elastisitas Ep = 200 x 103 Mpa. Tegangan leleh dapat diambil sebesar 0,85 dari tegangan tariknya (0,85 fp).

Gambar 2.2. Diagram Tegangan Regangan Kawat Tunggal (Budiadi, 2008)

Untaian kawat (strand) banyak digunakan untuk beton prategang dengan sistem pascatarik. Untaian kawat yang dipakai harus memenuhi syarat seperti yang terdapat pada ASTM A 416. Untaian kawat yang banyak dipakai adalah untaian tujuh kawat dengan dua kualitas grade 250 dan grade 270. Nilai modulus elastisitasnya, Ep = 195 x 103 MPa. Nilai tegangan leleh nya dapat diambil 0,85 kali tegangan tariknya.

(6)

Gambar 2.3. Diagram Tegangan Regangan Untaian Kawat (Budiadi, 2008) Selain tipe kawat tunggal dan untaian kawat, untuk baja prategang juga digunakan kawat batangan dari bahan alloy yang sesuai dengan ASTM A722 di Amerika Serikat. Nilai modulus elastisitasnya Ep = 170 x 103 Mpa. Untuk tegangan lelehnya dapat diambil sebesar 0,85 kali tegangan tariknya (0,85 fp).

(7)

Tabel 2.1. Tipikal Baja Prategang (Budiadi, 2008)

Gambar 2.5. Diagram Tegangan Regangan Tulangan Biasa (Budiadi, 2008) Selain baja yang ditarik, beton prategang juga menggunakan baja tulangan biasa dalam bentuk batangan (bars), kawat atau kawat yang dilas (wire mesh). Tegangan tarik antara 320 MPa dan 400 MPa dengan modulus elastisitas Es = 200

(8)

x 103 MPa. Untuk perhitungan desain, tegangan leleh fy digunakan sebagai kekuatan material.

Tabel 2.2. Luas Penampang Tulangan Biasa (Budiadi, 2008)

Tabel 2.3. Sifat Mekanis Baja Struktural (SNI 03 – 1729 – 2002) Tulangan non-pratekan tetap diperlukan untuk suatu penampang beton pratekan. Jika tendon berfungsi untuk menahan bagian utama beban, mengurangi defleksi, maka tulangan non-pratekan berfungsi untuk menahan terjadinya retak, menambah kekuatan ultimate serta menambah kekuatan terhadap beban yang tidak diharapkan.

(9)

Penggunaan tulangan non-pratekan diantaranya adalah :

1) Untuk menahan tegangan tarik di serat atas pada tengah bentang.

Gambar 2.6.. Tulangan Non-Prategang Penahan Tarik di Tengah Bentang : Tulangan Non-Prategang

2) Untuk menahan tegangan tarik akibat pratekan ditepi bentang

Gambar 2.7. Tulangan Non-Prategang Penahan Tarik di Tepi Bentang 3) Untuk menahan tegangan tekan di dekat tendon jika dimensi beton tidak

cukup kuat

(10)

4) Untuk menahan beban lentur selama balok dipindahkan sebelum dilakukan stressing

Gambar 2.9. Tulangan Non-Prategang Penahan Lentur

5) Untuk menahan retak dan menambah kekuatan penampang setelah retak

Gambar 2.10. Tulangan Non-Prategang Penahan Retak

II.3 Keuntungan Beton Prategang

Adapun keuntungan penggunaan beton prategang menurut Andri Budiadi adalah :

1. Dapat memikul beban lentur yang lebih besar dari beton bertulang

2. Dapat dipakai pada bentang yang lebih panjang dengan mengatur defleksinya

3. Ketahanan geser dan puntirnya bertambah dengan adanya penegangan

4. Dapat dipakai pada rekayasa konstruksi tertentu, misalnya pada konstruksi jembatan segmen)

(11)

5. Berbagai kelebihan lain pada penggunaan struktur khusus, seperti struktur pelat dan cangkang, struktur tangki, struktur pracetak, dan lain-lain.

6. Pada penampang yang diberi penegangan, tegangan tarik dapat dieliminasi karena besarnya gaya tekan disesuaikan dengan beban yang akan diterima.

II.4 Kekurangan Beton Prategang

Sedangkan kekurangan struktur beton prategang relatif lebih sedikit dibanding berbagai kelebihannya, diantaranya :

1. Memerlukan peralatan khusus seperti tendon, angkur, mesin penarik kabel, dan lain-lain.

2. Memerlukan keahlian khusus baik dalam perencanaan maupun

pelaksanaanya.

II.5 Jenis-Jenis Balok Prategang

Ada banyak jenis penampang balok prategang di dalam dunia konstruksi beton antara lain :

1. Penampang balok persegi (Box)

2. Penampang balok I / PCI

3. Penampang balok T

4. Penampang T dengan sayap bawah

(12)

II.6 Metode Pratekan

Ada 2 metode yang digunakan untuk memberikan tekanan pada beton pratekan , kedua metode yang dimaksud yakni :

1. Metode Pratarik (Pre-tension) 2. Metode Pascatarik (Post-tension)

II.6.1 Metode Pratarik

Metode ini dilakukan dengan pertama-tama tendon ditarik dan diangkur pada abutmen tetap. Kemudian beton dicor pada cetakan yang sudah disediakan dengan melingkupi tendon yang sudah ditarik tersebut. Jika kekuatan beton sudah mencapai yang diisyaratkan maka tendon dipotong atau angkurnya dilepas. Pada saat baja yang ditarik berusaha untuk berkontraksi, beton akan tertekan. Dalam metode ini penggunaan selongsong tendon tidak digunakan. .

Gbr 2.11. Tendon ditarik dan diangkur (Budiadi, 2008)

Gbr 2.12. Beton dicor dan dibiarkan (Budiadi, 2008) mengering

(13)

II.6.2 Metode Pascatarik

Metode ini dilakukan dengan mengatur lebih dahulu posisi selongsong sesuai dengan bidang momen pada balok. Kemudian dilanjutkan dengan pengecoran di sekeliling selongsong sementara baja tendon tetap berada dalam selongsong (ducts) selama pengecoran. Setelah beton sudah mencapai kekuatan yang ditentukan selanjutnya tendon ditarik. Penarikan tendon dilakukan dengan mengikat atau mengangkur salah satu sisi dan sisi lain ditarik. Atau dengan menarik tendon dari kedua sisi secara bersamaan, akibat dari penarikan tendon maka beton akan mengalami tekan setelah pengangkuran.

Gbr 2.13. Tendon dilepas, gaya tekan ditransfer ke Beton (Budiadi,2008)

Gambar 2.14. Beton Dicor

Gambar 2.15. Tendon ditarik dan gaya tekan ditransfer

(14)

II.7 Tahap Pembebanan

Tidak seperti pada komponen struktur beton bertulang, beban mati eksternal dan beban hidup parsial bekerja pada komponen struktur beton prategang pada kekuatan beton yang berbeda-beda untuk berbagai tahap pembebanan. Ada dua tahap pembebanan pada beton pratekan, yaitu transfer dan service.

II.7.1 Transfer

Tahap transfer adalah tahap pada saat beton sudah mulai mongering dan dilakukan penarikan kabel prategang. Pada saat ini biasanya yang bekerja hanya beban mati struktur, yaitu berat sendiri struktur ditambah beban pekerja dan alat. Pada saat ini beban hidup belum bekerja sehingga momen yang bekerja adalah minimum sementara gaya yang bekerja adalah maksimum karena belum ada kehilangan gaya prategang.

II.7.2 Servis /Final

Kondisi service (servis) adalah kondisi pada saat beton pratekan digunakan sebagai komponen struktur. Kondisi ini dicapai setelah semua kehilangan gaya prategang dipertimbangkan. Pada saat ini beban luar pada kondisi yang maksimum sedangkan gaya pratekan mendekati harga minimum.

Tahap-tahap pembebanan tersebut dapat diringkas sebagai berikut : Gambar 2.16. Tendon diangkur dan di grouting

(15)

1. Gaya prategang awal Pi diterapkan, kemudian pada saat transfer gaya ini disalurkan dari strands prategang ke beton

2. Berat sendiri penuh WD bekerja pada komponen struktur bersamaan dengan

gaya prategang awal, apabila komponen struktur tersebut ditumpu sederhana, artinya tidak ada tumpuan antara.

3. Beban mati tambahan WSD termasuk topping untuk aksi komposit, bekerja

pada komponen struktur tersebut.

4. Sebagian besar kehilangan gaya prategang terjadi sehingga mengakibatkan gaya prategang menjadi tereduksi Peo

5. Komponen struktur tersebut mengalami beban kerja penuh, dengan

kehilangan jangka panjang akibat rangkak, susut dan relaksasi strand terjadi dan menghasilkan gaya prategang netto Pe.

6. Kelebihan beban pada komponen struktur terjadi pada kondisi batas kegagalan.

II.7.3 Kombinasi Pembebanan

Sesuai dengan SNI 03-2874-2002 Kode Indonesia, kombinasi pembebanan dari beberapa peraturan untuk tahap batas kekuatan adalah sebagai berikut:

1. Beban Mati : U = 1,4 D

2. Beban Mati dan Hidup : U = 1,2 D + 1,6 L + 0,5 (A atau R)

3. Beban Angin : U = 1,2 D + 1,0 L + 1,6 W + 0,5 (A atau R)

4. Gempa : U = 1,2 D + 1,0 L ± 1,0 E atau 0,9D ± 1,0E

Desain struktur untuk tahap batas kekuatan (strength limit state) menetapkan bahwa aksi desain (Ru) harus lebih kecil dari kapasitas bahan dikalikan dengan

(16)

factor reduksi kekuatan ϕ (ϕ Rn) atau Ru ≤ ϕ Rn. Dengan demikian secara berurutan untuk Momen, Geser, Puntir dan Gaya Aksial berlaku :

Mu ≤ ϕ Mn ... 4)

Vu ≤ ϕ Vn ... 5)

Tu ≤ ϕ Tn ... 6)

Pu ≤ ϕ Pn ... 7)

Nilai Mu, Vu, Tu, dan Pu diperoleh dari kombinasi pembebanan U, sedangkan nilai ϕ menurut SNI 03-2874 – 2002 adalah sebagai berikut :

Φ = 0,8 untuk lentur tanpa gaya aksial

Φ = 0,8 untuk gaya aksial tarik dan aksial tarik dengan lentur Φ = 0,65 untuk gaya aksial tekan dan aksial tekan dengan lentur Φ = 0,6 untuk gaya lintang dan puntir

Φ = 0,75 untuk geser dan punter

Ada beberapa jenis-jenis muatan dalam struktur jembatan, yaitu :

1. Muatan Primer

Adalah muatan yang selalu bekerja pada perencanaan bagian-bagian utama konstruksi jembatan. Dalam peraturan Bina Marga disebut muatan utama. Yang termasuk muatan primer adalah :

 Muatan mati

 Muatan hidup

(17)

2. Muatan Sekunder

Adalah muatan yang tidak selalu bekerja, tetapi perlu diperhitungkan pada perencanaan bagian-bagian utama konstruksi jembatan. Dalam peraturan Bina Marga disebut muatan sementara. Yang termasuk muatan sekunder adalah :

 Muatan angin

 Gaya akibat perbedaan suhu

 Gaya akibat rangkak dan susut  Gaya rem dan traksi

3. Muatan Khusus

Muatan ini diperhitungkan secara khusus pada perencanaan jembatan. Muatan ini bersifat tidak selalu bekerja pada jembatan, hanya berpengaruh pada sebahagian konstruksi jembatan tergantung dari keadaan setempat, hanya bekerja pada sistim-sistim tertentu. Yang termasuk muatan khusus adalah :

 Gaya akibat gempa bumi

 Gaya sentrifugal

 Gaya akibat gesekan pada tumpuan-tumpuan bergerak

 Gaya tumbukan

 Gaya dan muatan selama pelaksanaan

 Gaya akibat aliran air dan benda-benda hanyutan  Gaya akibat tekanan tanah

Muatan mati adalah semua muatan yang berasal dari berat sendiri jembatan atau bagian jembatan yang ditinjau, termasuk segala unsur tambahan tetap yang dianggap merupakan satu kesatuan tetap dengannya. Sedangkan muatan hidup adalah semua muatan yang berasal dari berat kendaraan-kendaraan

(18)

yang bergerak/lalu lintas dan atau berat orang-orang yang berjalan kaki yang dianggap bekerja pada jembatan.

Muatan hidup diatas lantai kendaraan yang harus ditinjau dinyatakan dalam dua macam muatan, yaitu :

1. Muatan T, yang merupakan muatan untuk lantai kendaraan, dan

2. Muatan D, yang merupakan muatan untuk jalur lalu lintas

Yang dimaksud dengan lantai kendaraan adalah seluruh lebar bagian jembatan yang dipergunakan untuk lalu lintas kendaraan. Sedangkan jalur lalu lintas merupakan bagian dari lantai kendaraan yang dipergunakan oleh satu deretan kendaraan.

Muatan T adalah muatan oleh truk yang mempunyai beban roda sebesar 11,25 ton dengan ukuran-ukuran serta kedudukan. Muatan D atau muatan jalur adalah susunan muatan pada setiap jalur lalu lintas yang terdiri dari muatan terbagi rata sebesar “p” ton per meter panjang jalur, dan muatan garis P = 49 kN/m (belum termasuk kejut) melintang jalur lalu lintas tersebut.

(19)

Gambar 2.18. Muatan D

Koefisien kejut dipergunakan untuk memperhitungkan pengaruh-pengaruh getaran dan pengaruh-pengaruh dinamis lainnya, tegangan-tegangan akibat muatan D harus dikalikan dengan koefisien kejut.

Rumus koefisien kejut :

K = 1 + 20/(50+L) ……….. 8)

Dimana : K = Koefisien kejut

L = Panjang dalam meter, dari bentang yang bersangkutan.

Untuk pengaruh tekanan angin ditentukan sebesar 100 kg/m2 pada jembatan ditinjau berdasarkan bekerjanya muatan angin horizontal terbagi rata pada bidang vertikal jembatan dalam arah tegak lurus sumbu memanjang jembatan.

II.8 Saluran

Untuk memudahkan penempatan posisi kabel prategang, maka harus diperhatikan hal-hal berikut yaitu :

1. Cetakan

 Formed Ducts

Saluran yang dibuat dengan menggunakan lapisan tipis yang tetap di tempat. Harus berupa bahan yang tidak memungkinkan tembusnya pasta Beban terbagi

rata 9 kPa Beban garis P = 49

(20)

semen. Saluran tersebut harus mentransfer tegangan lekatan yang dibutuhkan dan harus dapat mempertahankan bentuknya pada saat memikul berat beton. Saluran logam harus berupa logam besi, yang dapat saja digalvanisasi.

 Cored Ducts

Saluran seperti ini harus dibentuk tanpa adanya tekanan yang dapat mencegah aliran suntikan. Semua material pembentuk saluran jenis ini harus disingkirkan.

2. Celah atau Bukaan Suntikan.

Semua saluran harus mempunyai bukaan untuk suntikan di kedua ujung. Untuk kabel draped, semua titik yang tinggi harus mempunyai celah suntikan kecuali dilokasi dengan kelengkungan kecil, seperti pada slab menerus.

3. Ukuran Saluran.

Untuk tendon yang terdiri dari kawat, batang atau strands, luas saluran harus sedikitnya dua kali luas neto baja prategang. Untuk tendon yang terdiri atas satu kawat, batang, atau strand, diameter saluran harus sedikitnya ¼ inchi. Lebih besar dari pada diameter nominal kawat, batang, atau strand.

4. Peletakan Saluran. Sesudah saluran diletakkan, dan pencetakan selesai, harus dilakukan pemeriksaan untuk menyelidiki kerusakan saluran yang mungkin ada. Saluran harus dikencangkan dengan baik pada jarak-jarak yang cukup dekat untuk mencegah peralihan selama pengecoran beton.

(21)

II.9 Penampang PCI

Dibawah ini ditampilkan detail geometris penampang PCI sesuai dengan standard AASHTO :

Notasi bf x1 x2 b2 x3 x4 bw h

(in) (in) (in) (in) (in) (in) (in) (in)

AASHTO1 12 4 3 16 5 5 6 28 AASHTO2 12 6 3 18 6 6 6 36 AASHTO3 16 7 4,5 22 7,5 7 7 45 AASHTO4 20 8 6 26 9 8 8 54 AASHTO5 42 5 7 28 10 8 8 63 AASHTO6 42 5 7 28 10 8 8 72

Tabel 2.4. Detail geometris penampang PCI standar AASHTO

Gambar 2.19. Potongan Aktual Penampang balok I x4 x3 x2 x1 bf bw b2 h

(22)

II.10 Eksentrisitas e dan Gaya Prategang

Penggunaan tendon lurus banyak digunakan dalam balok pracetak dengan bentang sedang, sedangkan penggunaan tendon lengkung lebih umum digunakan pada elemen pascatarik yang dicor di tempat. Tendon yang tidak lurus ada dua jenis yaitu :

a. Draped, mempunyai alinyemen lengkung secara gradual, seperti bentuk parabolik, yang digunakan pada balok yang mengalami beban eksternal terbagi rata.

b. Harped, tendon miring dengan diskontinuitas alinyemen di bidang-bidang dimana terdapat beban terpusat, digunakan pada balok yang terutama mengalami beban transversal terpusat.

Perhitungan tegangan didasarkan atas dua kondisi yaitu:  Tegangan pada saat kondisi awal

Yaitu tegangan yang terjadi pada kondisi awal, biasanya akibat berat sendiri balok pada saat transfer

 Tegangan pada saat kondisi layan

Yaitu tegangan yang timbul saat semua beban rencana bekerja pada balok. Secara umum untuk menghitung nilai tegangan yang terjadi pada balok prategang adalah :

 Tegangan akibat prategang adalah : P/A + P.e / W ……… 9)

 Tegangan akibat beban luar termasuk berat sendiri : M/W ……….10)

Dimana :

P : gaya prategang (N)

(23)

M : momen akibat beban luar (N.mm)

W : momen tahan (mm3)

Rumus umum perhitungan tegangan (Manual Bina Marga 021/BM/2011) adalah sebagai berikut:  Kondisi awal: 𝜎𝑎 = −𝑃𝑖 / 𝐴𝑐 + 𝑃𝑖.𝑒0.𝑦𝑡 / 𝐼𝑀𝑚𝑖𝑛.𝑦𝑡 / 𝐼𝜎𝑡𝑖 ……….11) 𝜎𝑏 = −𝑃𝑖 / 𝐴𝑐 + 𝑃𝑖.𝑒0.𝑦𝑏 / 𝐼𝑀𝑚𝑖𝑛.𝑦𝑡 / 𝐼𝜎𝑐𝑖 ……….12)  Kondisi Layan: 𝜎𝑎 = −𝑃𝑖 / 𝐴𝑐 + 𝑃𝑖.𝑒0.𝑦𝑡/ 𝐼𝑀𝑚𝑎𝑥.𝑦𝑡 / 𝐼𝜎𝑐𝑠 ……… 13) 𝜎𝑏 = −𝑃𝑖 / 𝐴𝑐 + 𝑃𝑖.𝑒0.𝑦𝑡 / 𝐼𝑀𝑚𝑎𝑥.𝑦𝑡 / 𝐼𝜎𝑡𝑠 ……….. 14) Dimana:

𝜎𝑡i = 0.5√𝑓𝑐𝑀𝑝𝑎 (tegangan izin tarik kondisi awal)

𝜎𝑐i = 0.6. 𝑓𝑐 (tegangan izin tekan kondisi awal)

𝜎𝑡s = 0. 5√𝑓𝑐𝑀𝑝𝑎 (tegangan izin tarik kondisi layan)

𝜎𝑐s = 0.45. 𝑓𝑐 (tegangan izin tekan kondisi layan)

Mmin = Momen maksimum yang bekerja pada kondisi awal, biasanya momen akibat berat sendiri balok pada saat transfer

Mmax= Momen total maksimum yang bekerja pada kondisi akhir atau layan

Berikut ini beberapa rumusan dijabarkan tentang perhitungan nilai eksentrisitas pada penampang balok prategang :

1. – P/A + P.e/Sa – Mtr/Sa ≤ f’tr

P.e/Sa ≤ Mtr/Sa + P/A + f’tr/P ……… x Sa/P

(24)

2. P/A + P.e/Sb – Mtr/Sb ≤ f’tr

P.e/Sb ≤ Mtr/Sb + P/A + f’tr/P ………… x Sb/P

e ≤ Mtr/P + Sb (f’tr/P – 1/A) …………... 16)

3. η. P/A – η . P.e/Sa + Mf/Sa ≤ f’f

η . P.e/Sa ≥ Mf/Sa + η. P/A – f’f ………. x Sa/ηP

e ≥ Mf/η.P – Sa (f’f/η.P – 1/A) ……… 17)

4. -η. P/A – η . P.e/Sb + Mf/Sb ≤ f’f

η . P.e/Sa ≥ Mf/Sb – f’f - + η. P/A ……..x Sb/ηP

e ≥ Mf/η.P – Sb (f’f/η.P + 1/A) …………... 18)

 Dari persamaan 15 dan 16 diambil nilai yang terkecil (menjadi e maks)  Dari persamaan 17 dan 18 diambil nilai yang terbesar (menjadi e min) Sehingga nilai e yang dipilih yaitu nilai berada pada rentan yaitu :

e min ≤ e ≤ e max

Gambar 2.20. Daerah aman kabel (daerah kern) balok I

Untuk penampang Boks daerah KERN yang diperbolehkan untuk posisi kabel yang mempunyai eksentrisitas adalah :

e max e max e min e max

Daerah kern

(25)

Gambar 2.21. Daerah pusat kern untuk penampang persegi panjang (boks) Sedangkan untuk menetukan gaya prategang P pada struktur balok prategang digunakan berdasarkan persamaan-persamaan berikut :

a. Kondisi Transfer

1. P ≤ A (Mtr + f’t. Sa) / (A.e – Sa)………… 19) serat atas 2. P ≤ A (Mtr + f’tr.Sb) / (A.e + Sb)………..20) serat bawah Dari persamaan 19 dan 20 menghasilkan P max

b. Kondisi Final

1. P ≥ A (Mf – f’f.Sa) / (η (A.e – Sa)……. 21) serat atas 2. P ≥ A (Mf - f’f.Sb) / (η (A.e + Sb)…….22) serat bawah Dari persamaan 9 dan 10 didapat P min

Jadi P min ≤ P ≤ P max

II.11 Daerah aman kabel

Daerah aman kabel yaitu daerah sepanjang balok dimana bila kabel ditempatkan pada daerah tersebut tidak akan menyebabkan terjadinya tegangan yang melebihi tegangan izinnya.

b/6 b b/6 h h / 6 h / 6

(26)

Untuk mendapatkan daerah aman kabel lakukan langkah-langkah perhitungan berikut:

1. Cari nilai modulus penampang serat atas dan bawah (Wa dan Wb)

Wa = I / Ya ; Wb = I / Yb ……… 23)

Dimana : ya = jarak pusat berat ke serat atas yb = jarak pusat berat ke serat bawah 2. Cari jarak pusat ke serat atas dan bawah kern ( ka dan kb)

Ka =−Wb / Ac dan Kb = Wa / Ac ………. 24)

Dimana : Ac = Luas penampang

3. Cari limit kern atas dan bawah (k’a dan k’b)

Menurut binamarga (2011), limit kern yaitu daerah sepanjang balok dimana gaya aksial tekan tidak akan menyebabkan tegangan yang melebihi tegangan izinnya (baik tarik maupun tekan)

K’a = max dari nilai

k′a = kb (ζcs / ζg + 1) atau k′a = ka (ζts / ζg + 1) …………. 25)

Dimana ζg = tegangan akibat prategang saat kondisi layan = P / Ac K’b = min dari nilai

k′b = kb (ζti / ζgi + 1) atau k′b = ka (ζci / ζgi + 1) ……… 26)

Dimana ζgi = tegangan akibat prategang saat penarikan kabel = Pi / Ac

4. Diperoleh daerah aman kabel dengan rumus berikut

Eoa = k’a + Mmax/P Eob = k’b + MDL/Pi ………. 27)

Hubungan limit kern dengan daerah aman kabel dapat dilihat dalam gambar berikut :

(27)
(28)

Batasan defleksi menurut BMS

Tabel 2.5. Batasan Defleksi Sedangkan menurut SNI Lendutan ijin maksimum adalah :

II.12 Penulangan Lentur Balok Prategang

Menurut Andri Budiadi analisis lentur untuk suatu komponen struktur beton prategang berlaku asumsi berikut :

1. Variasi regangan pada penampang adalah linear, yaitu regangan di beton dan baja yang melekat padanya dihitung berdasarkan asumsi bahwa penampang bidang datar selalu tetap.

(29)

2. Beton tidak menerima tegangan tarik. Hal ini berlaku untuk struktur dengan prategang penuh (fully prestressed). Pada struktur dengan prategang sebagian (partially prestressed), tegangan tarik terbatas bias saja terjadi pada penampang.

3. Tegangan tekan pada beton dan baja (baik baja tulangan maupun tendon) didapat dari hubungan tegangan dan regangan yang actual atau diidealisasikan.

II.13 Desain Awal untuk Lentur

Menurut ketentuan di Indonesia (SNI 2002), tegangan ijin pada beton adalah sebagai berikut :

Transfer : Tekan ζct = 0,60 f’ci dan Tarik ζtt = 0,25√f’c …………28) Servis : Tekan ζcs = 0,45 f’c dan Tarik ζts = 0,50√f’c …………29)

Dimana f’ci adalah kuat tekan beton pada saat transfer (pemindahan gaya prategang), sedangkan f’c adalah kuat tekan beton pada saat servis (pelayanan beban).

II.14 Perencanaan Penampang Bertulangan Ganda

Jika Mu1 adalah kekuatan penampang bertulangan tunggal (hanya bertulangan baja prategang saja, tanpa tulangan non-prategang tarik dan tekan) dan Mu adalah kekuatan yang diperlukan maka kebutuhan tulangan tarik adalah :

Ast = Mu – Mu1 / ζst (ds2-ds1) ……….30)

Pada kondisi ini harga Ts dan Cs adalah sama tapi berlawanan arah :

Ts = Ast ζst ……… 31) Cs = Asc ζsc ……….. 32)

(30)

Jika kedua persamaan 31 dan 32 disamakan maka :

Asc = Ast ζst / ζsc ……… 33)

Dengan mengambil momen pada tulangan tarik maka diperoleh :

Asc = Mu + Tp(ds2 –dp) – Cc(ds2 – βc/2) / ζsc (ds2-ds1) ……… 34)

Dengan mengambil ekuilibrium secara horizontal, ditentukan nilai Ast yaitu :

Ast = 0,85fc’ b β c + Asc ζsc – Ap ζpu / ζst ……… 35)

II.15 Geser pada beton prategang

Di samping harus tahan terhadap lentur, suatu komponen struktur juga harus tahan terhadap mode kegagalan yang lain, misalnya geser. Pada dasarnya ada 2 macam retak akibat geser, yaitu geser web dan retak geser lentur.

Gambar 2.23. Kegagalan akibat geser Keterangan :

1. Retak geser lentur (rasio M dan V menengah)

2. Retak geser web (rasio M dan V rendah)

3. Retak lentur (rasio M dan V tinggi)

Komponen vertikal dari pratekan Vp bersama-sama dengan kekuatan geser beton dan tulangan geser Vcs menahan gaya geser akibat beban luar V.

V = Vcs + Vp ……….. 36)

2 2

3

(31)

II.15.1Kuat Geser

Kekuatan geser nominal atau Vn merupakan penjumlahan / gabungan dari kekuatan geser beton Vc dan kekuatan geser sengkang Vs.

Vn = Vc + Vs ……… 37)

Menurut SNI 2002, kuat geser Vc dari komponen struktur dengan gaya prategang efektif tidak kurang dari 40% kuat tarik tulangan lentur dan dapat dihitung dengan persamaan :

Vc = (√f’c / 20 + 5 Vu dp / Mu ) bw dp ……… 38)

Dengan syarat rasio Vu dp / Mu tidak boleh lebih besar dari 1,0. Tetapi Vc tidak perlu kurang dari :

Vc min = 1/6 √f’c bw dp ……… 39)

Dan boleh lebih dari :

Vc maks = 0,4 √f’c bw dp………. 40)

Nilai Vc tidak boleh melebihi kuat geser Vci dan Vcw di mana : F’c : kuat tekan beton karakteristik

Vu : gaya geser terfaktor pada penampang Mu : Momen lentur terfaktor pada penampang Bw : lebar web (badan balok)

Dp : merupakan nilai terbesar dari jarak serat terluar ke titik berat tulangan prategang atau 0,8 h, dengan h tinggi penampang total

Vcw = 0,3 bw dp (√f’c + fp) + Vp ………... 41)

Dimana : Bw : lebar web

(32)

F’c : kuat tekan beton karakteristik

Fp : tegangan tekan efektif pada pusat penampang Vp : Komponen vertikal dari gaya pratekan efektif

II.15.2Kuat Geser Web

Untuk menghitung kontribusi kekuatan geser yang disumbangkan oleh tulangan geser, SNI 2002 menggunakan nilai terkecil dari persamaan berikut :

Av = 75√f’c bw s / 1200 fys……….. 42) Av = ((Ap fpu s) / (80 fys dp)) √dp/bw……… 43)

Nilai Av pada persamaan diatas tidak boleh kurang dari :

Av = bw s / 3 fys………..44)

Dimana :

Bw : lebar badan balok

S : spasi tulangan geser

Fys : tegangan leleh tulangan geser

Ap : luas tulangan prategang dalam daerah tarik Fpu : tegangan batas pada baja prategang

Dp : jarak dari serat tekan terluar ke baja prategang

Bila nilai gaya geser terfaktor Vu lebih besar dari kuat geser beton ϕ Vc maka harus disediakan tulangan geser. Kuat geser yang disumbangkan oleh tulangan geser Vs, menurut SNI 2002 dapat dihitung dengan kriteria berikut :

Bila digunakan tulangan geser yang tegak lurus terhadap sumbu aksial komponen struktur dan digunakan sengkang ikat bundar, persegi, atau spiral maka digunakan persamaan :

(33)

Dengan Av luas tulangan geser, s: spasi sengkang, fys: tegangan leleh sengkang dan dp: jarak dari serat tekan terluar ke tulangan prategang.

II.15.3Kuat Geser Lentur

Retak geser lentur meruapakan kombinasi dari geser dan lentur di dekat tengah bentang. Besarnya kuat geser lentur, menurut SNI 2002 adalah :

Vci = √f’c/20 bw dp + Vd + Vi Mcr / M maks……….. 46)

Tetapi nilai Vci tidak perlu diambil kurang dari :

Vci = √f’c bw dp /7………47)

Dimana :

Dp : jarak dari serat tekan terluar ke tulangan prategang Bw : lebar badan balok

Vd : gaya geser akibat beban mati

Vi : gaya geser pada penampang yang ditinjau M maks : momen maksimum akibat beban luar Mcr : Momen retak

Kuat geser beton Vc yang dihitung dengan menggunakan persamaan diatas tidak boleh melebihi nilai Vci pada persamaan diatas. Sedangkan besarnya momen retak Mcr dapat dihitung dengan persamaan SNI 2002 :

Mcr = (I/yt) [(√f’c / 2) + fpe – fd]……….. 48)

Dimana :

I : inersia penampang

Yt : jarak dari pusat berat penampang ke serat tekan terluar Fpe : tegangan prategang efektif

(34)

Batas spasi tulangan geser menurut SNI 2002 adalah :

a. Spasi tulangan geser dipasang tegak lurus terhadap sumbu aksial komponen struktur, tidak boleh melebihi 0,75 h atau 600 mm (diambil yang terkecil)

b. Sengkang miring dan tulangan memanjang yang ditekuk miring harus

dipasang dengan spasi sedemikian rupa sehingga setiap garis miring 45o kea rah perletakan yang ditarik dari setengah tinggi komponen struktur d/2 ke lokasi tulangan tarik memanjang harus memotong paling sedikit satu garis tulangan geser

c. Bila Vs melebihi 1/3 √f’c bw d maka persyaratan a dan b diatas harus dikurangi setengahnya.

II.16 Pendimensian Penampang

Untuk menentukan dimensi penampang struktur beton prategang, banyak hal harus dipertimbangkan, diantaranya system struktur (panjang bentang, system statika, dan seterusnya), kualitas bahan (mutu beton dan baja), dan lain-lain. Pendimensian penampang bias dilakukan dengan mengikuti ketentuan pada kode-kode praktik

II.16.1Balok

Pendimensian komponen horizontal (terutama balok dan pelat) beton prategang lebih banyak ditentukan oleh rasio panjang bentang dan tinggi penampang.

Disamping itu, faktor-faktor berikut ini juga membatasi pendimensian penampang:

 Sifat dan besarnya beban hidup

(35)

 Kondisi batas (boundary conditions) yang menyangkut hubungan komponen beton prategang dengan komponen lain dalam suatu sistem struktur

 Nilai modulus elastisitas beton, kuat tekan beton, dan lain-lain ; karena nilainya bergantung pada usia beton.

SNI 2002 menetapkan tebal minimum balok non-prategang bila lendutan tidak dihitung dan tidak menahan atau tidak disatukan dengan partisi atau konstruksi lain yang mungkin akan rusak oleh lendutan yang besar.

 L/16 untuk balok dengan dua tumpuan sederhana

 L/18,5 untuk balok dengan satu ujung menerus

 L/21 untuk balok dengan kedua ujung menerus

 L/8 untuk balok kantilever

Untuk balok I dengan tumpuan sederhana dan panjang bentang sampai 60 meter, rasio panjang bentang terhadap tinggi penampang adalah antara 20-28.

Untuk balok yang tidak retak, Gilbert mempunyai pendekatan rasio panjang bentang terhadap tinggi penampang balok dengan memasukkan unsur beban hidup, yaitu :

L/h = [(δ/L) b Ec / 12β (wu + λ wus)]1/3……….. 49)

Dimana :

B : lebar balok

Ec : modulus elastisitas beton

L : panjang bentang

H : tinggi penampang

(36)

Wu : beban merata Wus : beban merata tetap δ : lendutan yang diijinkan λ : factor pengali lendutan

II. 17 Kehilangan Gaya Prategang

Kehilangan gaya prategang itu adalah berkurangnya gaya yang bekerja pada tendon pada tahap-tahap pembebanan.

Secara umum kehilangan gaya prategang dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Immediate Elastic Losses

Ini adalah kehilangan gaya prategang langsung atau segera setelah beton diberi gaya prategang. Kehilangan gaya prategang secara langsung ini disebabkan oleh :

 Perpendekan Elastic Beton.

 Kehilangan akibat friksi atau geseran sepanjang kelengkungan dari tendon, ini terjadi pada beton prategang dengan sistem post tension.

 Kehilangan pada sistem angkur, antara lain akibat slip diangkur

2. Time dependent Losses

Ini adalah kehilangan gaya prategang akibat dari pengaruh waktu, yang mana hal ini disebabkan oleh :

 Rangkak ( creep ) dan Susut pada beton.

 Pengaruh temperatur.

(37)

II. 17.1 Perpendekan Elastis Beton

Kehilangan gaya prategang pada methode post tension dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :

ES = Δfc = n.Pi / Ac

Dimana :

ES = kehilangan gaya prategang

fc = tegangan pada penampang beton

Pi = gaya prategang awal

Ac = luas penampang beton

n = Es / Ec

ES = modulus elastisitas kabel/baja prategang

EC = modulus Elastisitas beton

II. 17.2 Kehilangan Gaya Prategang Akibat Geseran Sepanjang Tendon

Kehilangan prategang akibat gesekan pada tendon akan sangat dipengaruhi oleh :

 Pergerakan dari selongsong ( wobble ) kabel prategang, untuk itu

dipergunakan koefisien wobble K .

 Kelengkungan tendon/kabel prategang, untuk itu digunakan koefisien geseran μ

Untuk tendon type 7 wire strand pada selongsong yang fleksibel, harga koefisien wobble K = 0,0016 ~ 0.0066 dan koefisien kelengkungan μ = 0,15 - 0,25.

Menurut SNI 03 – 2874 – 2002 kehilangan gaya prategang akibat geseran pada tendon post tension ( pasca tarik ) harus dihitung dengan rumus :

(38)

Jika nilai ( K Lx + μα ) < 0,3 maka kehilangan gaya prategang akibat geseran pada tendon dapat dihitung dengan persamaan dibawah ini :

Ps = Px ( 1 + K Lx + μα )

Dimana :

Ps = gaya prategang diujung angkur

Px = gaya prategang pada titik yang ditinjau.

K = koefisien wobble

μ = koefisien geseran akibat kelengkungan kabel.

Lx = panjang tendon dari angkur sampai titik yang ditinjau.

e = 2,7183

Koefisien friksi tendon pasca tarik untuk persamaan diatas dapat digunakan tabel 14 sesuai 03 – 2874 – 2002.

Tabel 2.6 Koefisien friksi tendon pasca tarik

II. 17.3 Kehilangan Gaya Prategang Akibat Slip di Pengangkuran

Besarnya slip pada pengankuran ini tergantung pada type baji dan tegangan pada kabel prategang ( tendon ). Slip dipengangkuran itu rata-rata biasanya mencapai 2,5 mm.

(39)

ΔL = (fc / Es) * L

Kehilangan gaya prategang akibat slip :

ANC = (S Rata-Rata / ΔL) x 100%

Dimana :

ANC : kehilangan gaya prategang akibat slip dipengangkuran.

Δ : deformasi pada angkur

fc : tegangan pada beton

ES : modulus elastisitas baja/kabel prategang

L : panjang kabel.

Srata2 : harga rata-rata slip diangkur

II. 17.4 Kehilangan Gaya Prategang Akibat Creep ( Rangkak )

Dengan methode koefisien rangkak besarnya kehilangan tegangan pada baja prategang akibat creep ( rangkan ) dapat ditentukan dengan persamaan :

CR = εcr * Es = φ * fc/Ec * Es = φ * fc * n

φ = εcr / εce εcr = φ * ce = φ * fc /Ec

Dimana :

φ : koefisien rangkak

εcr : regangan akibat rangkak εce : regangan elastis

Ec : modulus elastisitas beton

Es : modulus elastisitas baja prategang

fc : tegangan beton pada posisi/level baja prategang

(40)

II. 17.5 Kehilangan Gaya Prategang Akibat Penyusutan Beton

Kehilangan tegangan akibat penyusutan beton dapat dihitung dengan persamaan : SH = εsh . Ksh . Es

Dimana :

SH : Kehilangan tegangan pada tendon akibat penyusutan beton

Es : Modulus elastisitas baja prategang

εsh : Susut efektif yang dapat dicari dari persamaan berikut ini εsh = 8,2 x 10-6 (1-0,06 V/S) (100 – RH)

V : Volune beton dari suatu komponen struktur beton prategang

S : Luas permukaan dari komponen struktur.beton prategang

RH : Kelembaban udara relatif

Ksh : Koefisien penyusutan, harganya ditentukan terhadap waktu antara akhir pengecoran dan saat pemberian gaya prategang, dan dapat dipergunakan angka-angka dalam tabel dibawah ini:

Tabel 2.7 Koefisien Susut Ksh

II. 17.6 Kehilangan Gaya Prategang Akibat Relaksasi Baja Prategang

Besarnya kehilangan tegangan pada baja prategang akibat relaksasi baja prategang dapat dihitung dengan persamaan dibawah ini :

RE = C [ Kre – J ( SH + CR + ES ) ] Dimana :

(41)

C : Faktor Relaksasi yang besarnya tergantung pada jenis kawat / baja prategang.

Kre : Koefisien relaksasi, harganya berkisar 41 ~ 138 N/mm2 J : Faktor waktu, harganya berkisar antara 0,05 ~ 0,15

SH : Kehilangan tegangan akibat penyusutan beton.

CR : Kehilangan tegangan akibat rangkak ( creep ) beton ES : Kehilangan tegangan akibat perpendekan elastis

II.18 Zona Angkur (End Block)

Zona angkur merupakan bagian komponen struktur prategang pasca tarik dimana gaya prategang terpusat disalurkan ke beton dan disebarkan secara lebih merata ke seluruh bagian penampang. Panjang daerah zona angkur adalah sama dengan dimensi terbesar penampang. Sedangkan, untuk perangkat angkur tengah, zona angkur mencakup daerah terganggu di depan dan di belakang perangkat angkur tersebut. Secara umum, zona angkur dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :

1. Zona angkur lokal, yang berbentuk prisma persegi yang berada di sekitar angkur dan tulangan-tulangan pengekang

2. Zona angkur global, yang merupakan daerah pengangkuran sejauh

Gambar

Gambar 2.1. Tipikal Diagaram Tegangan Regangan Beton (Budiadi, 2008)  Besarnya  harga  modulus  elastisitas  beton  Ec  dapat  ditentukan  dengan  persamaan :
Gambar 2.2. Diagram Tegangan Regangan Kawat Tunggal (Budiadi, 2008)
Gambar 2.4. Diagram Tegangan Regangan Baja Batangan (Budiadi, 2008)
Tabel 2.1. Tipikal Baja Prategang (Budiadi, 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

a) Comment percenta ge memiliki kriteria buruk pada semua kelas kecuali User dan BaseController. b) Weighted method per cla ss memiliki kriteria buruk pada kelas

Pada masa akan datang perwakilan daripada pihak pejuang akan lebih dimantapkan lagi dari masa kesemasa melibatkan semua pihak yang berkepentingan di Patani sebagai mewakili

Serta dalam penulisan hukum ini tujuan penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang

Taha/ /etama dalam /oses audit tedii dai dua agian, yakni identifikasi isiko dan /enilaian tehada/ isiko itu sendii0 Identifikasi isiko meu/akan

Kepada seluruh kerabat di 3 MP A dan 3 MP B yang telah memberikan dorongan serta bantuan kepada penulis terhadap proses penyelesaian laporan ini.. Kepada sahabat saya,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh corporate social responsibility terhadap kinerja keuangan perusahaan yang diukur dengan Return On Equity (ROE),

PENERAPAN MULTIMED IA PEMBELAJARAN BERUPA GAME D ENGAN METOD E D ISCOVERY LEARNING UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN PEMROGRAMAN D ASAR.. Universitas Pendidikan Indonesia |

A kereslet-visszaesés időszakában a vállalkozók munkaerő-felvételének szűkülését a leggyakrabban a fiatalabb korosztályok szenvedik meg, ami Magyarország esetében