• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prediksi Cakupan Area untuk Jaringan Wireless Indoor Kampus berdasarkan Penempatan Access Point

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Prediksi Cakupan Area untuk Jaringan Wireless Indoor Kampus berdasarkan Penempatan Access Point"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Prediksi Cakupan Area untuk Jaringan

Wireless Indoor

Kampus berdasarkan Penempatan

Access Point

1

Fransiska Sisilia Mukti,

2

Allin Junikhah

1,2

Program Studi Informatika, STMIK Asia, Malang

1

ms.frans@asia.ac.id,

2

allin@asia.ac.id

Abstract—The placement of a transmitter in a wireless

network (access point) is one of the essential things which must be considered by the network designer. The right placement will give the maximum signal spread, especially for the closed environment, because of the effect of the indoor propagation, which affects the signal strength decrease significantly. Every AP’s placement point will have different signal spread pattern, including the coverage area. The AP placement process carried out so far still uses conventional methods, namely trial-error, which requires a long time to analyze its performance. A coverage prediction system modeling is built to determine the spread of signals generated by an AP. This modeling is done using a statistical approach in 2D. The modeling did a visualization that is run through software and gives the result of mapping the coverage area of an AP. The test results show that the percentage of area coverage generated based on the AP placement used is currently 72.5%. There are still areas that are not covered by the AP, especially for the NLOS propagation path because of the obstruction around the AP. The maximum distance between the AP and the user so that it is within the coverage area is 13.21m

Keywords — access point; coverage area; indoor; campus wireless

Abstrak—Proses penempatan antena pemancar dalam jaringan nirkabel (Access Point) menjadi hal utama yang penting untuk dipertimbangkan oleh seorang desainer jaringan. Penempatan AP yang tepat akan memberikan hasil penyebaran sinyal yang maksimal, khususnya pada lingkungan tertutup, karena efek-efek propagasi akan menyebabkan adanya penurunan kuat sinyal wireless yang akan diterima oleh user. Setiap titik penempatan AP akan memiliki pola penyebaran sinyal yang berbeda-beda, termasuk di dalamnya adalah luas cakupan area yang dihasilkan. Proses penempatan AP yang dilakukan selama ini masih menggunakan metode konvensional, yaitu trial-error yang membutuhkan waktu yang lama dalam menganalisis kinerjanya. Sebuah pemodelan sistem prediksi cakupan area dibangun untuk mengetahui penyebaran sinyal yang dihasilkan oleh sebuah AP. Pemodelan ini dikerjakan dengan menggunakan pendekatan statistik dalam bentuk 2D. Pemodelan yang dikerjakan menghasilkan sebuah visualisasi yang djalankan melalui sebuah perangkat lunak, dan memberikan hasil berupa pemetaan cakupan area sebuah AP. Hasil pengujian menunjukkan bahwa prosentase cakupan area yang dihasilkan berdasarkan penempatan AP yang digunakan pada studi kasus sebesar 72.5%. Masih terdapat area yang tidak ter-cover AP, khususnya untuk lintasan propagasi NLOS karena adanya penghalang di sekitar AP. Jarak maksimal antara AP dengan pengguna supaya berada dalam cakupan area adalah 13,21m

I. PENDAHULUAN

Keberadaan teknologi komunikasi nirkabel menjadi jawaban bagi pengguna jaringan yang membutuhkan adanya fleksibilitas dalam mengakses informasi. Fitur yang diberikan dalam teknologi jaringan nirkabel juga memberikan kemudahan instalasi serta biaya yang relatif lebih rendah apabila dibandingkan dengan jaringan berkabel pada umumnya [1].

Jaringan nirkabel (jaringan wireless) menggunakan gelombang udara sebagai media transmisinya. Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam membangun sebuah jaringan wireless adalah aspek propagasinya. Propagasi sendiri didefinisikan sebagai proses perambatan gelombang radio dari antena pemancar menuju ke antena penerima [2]. Efek propagasi pada jaringan wireless

memiliki perbedaan untuk lingkungan dalam dan luar ruangan [3]. Secara khusus, efek propagasi untuk lingkungan dalam ruangan (indoor) lebih rumit apabila dibandingkan dengan lingkungan luar ruangan [4][5].

Proses penempatan antena pemancar menjadi hal utama yang penting untuk dipertimbangkan. Keberhasilan seorang desainer jaringan dalam membangun jaringan wireless juga ditentukan berdasarkan ketepatannya dalam memprediksikan peletakan antena pemancar, dalam hal ini adalah Access Point (AP). Penempatan AP yang tepat akan memberikan hasil penyebaran sinyal yang maksimal [6].

Bukan suatu pekerjaan yang mudah dalam menentukan titik penempatan AP dalam sebuah lingkungan tertutup. Hal ini disebabkan oleh adanya efek propagasi dalam ruangan dalam bentuk pemantulan (reflection), pembelokan sinyal (diffraction) dan penghamburan sinyal (scaterring), yang diakibatkan adanya benda-benda di sekitar AP [7]. Efek propagasi ini akan berdampak terhadap kekuatan sinyal yang akan diterima oleh pengguna [8].

Jika selama ini proses penempatan AP dilakukan oleh desainer jaringan hanya berdasarkan metode trial-error, maka saat ini telah banyak dikembangkan metode-metode baru dalam memprediksikan penempatan antena pemancar [9][10][11]. Tujuan dari pengujian metode-metode ini pada dasarnya untuk mencari titik penempatan AP yang paling optimal. Optimal memiliki pengertian bahwa sinyal yang akan dipancarkan oleh AP dapat meng-cover keseluruhan area [12]. Beragam wireless simulator juga dibangun untuk memberikan kemudahan kepada pihak teknisi jaringan dalam menganalisis jaringan wireless yang telah dibangun, seperti NetSpot, Wi-Fi Ekahau Heatmapper, inSIDDER,

(2)

Beberapa parameter yang berkaitan dengan proses penempatan AP antara lain kuat sinyal yang diterima oleh user dan cakupan sinyal yang dihasilkan oleh antena pemancar, overlapping yang terjadi antara antena pemancar yang berdekatan [16]. Prediksi cakupan area menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam penempatan AP, khususnya untuk lingkungan tertutup. Setiap titik penempatan AP akan menghasilkan penyebaran sinyal dan luas cakupan area yang berbeda-beda.

Beragam metode prediksi cakupan sinyal yang dihasilkan oleh AP diajukan untuk membantu menganalisis keberhasilan jaringan wireless yang dibangun. Sebuah pemodelan menggunakan indoor dominant path (IDP) dilakukan untuk membantu desainer jaringan dalam menghitung prediksi cakupan area yang dihasilkan [17]. Prediksi cakupan area juga dapat dilakukan melalui pendekatan fast-dicrete [18]. Metode lain dalam memprediksikan cakupan area sebuah antena pemancar juga dilakukan menggunakan algoritma heuristik [19]. Pemodelan empiris juga dilakukan dalam memprediksikan cakupan area yang dihasilkan oleh AP.Pemodelan ini telah diimplementasikan pada lingkungan-lingkungan tertutup, seperti dalam rumah, gedung perkantoran, gedung kampus [1].

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemetaan area yang dihasilkan berdasarkan penempatan AP yang dilakukan oleh pihak teknisi jaringan. Hasil pemetaan didapatkan dengan mempertimbangkan fungsi jarak antara AP dan user yang berdampak terhadap nilai kuat sinyal yang diterima oleh user. Metode prediksi yang diajukan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan statistik, yang akan divisualisasikan dalam bentuk gambar 2-dimensi.

II. METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Penelitian mengambil lingkungan tertutup pada gedung kampus STMIK Asia Malang. Gedung ini terdiri atas 2 bangunan yang terhubung menjadi satu. Bangunan utama terdiri atas 4 lantai, yang merupakan lokasi utama kegiatan civitas akademika, baik untuk perkuliahan maupun untuk administrasi. Sedangkan gedung kedua terdiri atas 2 lantai, menjadi area aktivitas mahasiswa dan juga ruang perpustakaan.

Sebagai lokasi pengujian sistem yang diajukan, diambil sampel lantai 2 pada gedung utama kampus STMIK Asia Malang. Secara khusus, penjabaran studi kasus sampel penelitian diuraikan dalam poin berikut ini:

a) Gedung lantai 2 memiliki luas area sebesar 500m2. Satuan ubin yang digunakan pada area ini adalah 50x50cm. Jumlah ubin pada panjang ruangan sebanyak 40 satuan ubin, sedangkan pada bagian lebar ruangan sebanyak 60 satuan ubin.

b) Area gedung lantai 2 terdiri atas 8 ruang perkuliahan, 1 ruang kemahasiswaan yang diberi sekat kaca, dan area

koridor utama yang berada di bagian tengah gedung (antar ruang perkuliahan).

c) Pengukuran kuat sinyal pada propagasi LOS dilakukan pada area koridor utama gedung lantai 2, dimana AP dapat terlihat secara langsung oleh user tanpa adanya halangan.

d) Pengukuran kuat sinyal pada propagasi NLOS dilakukan dalam ruangan perkuliahan gedung kampus lantai 2, dimana user tidak dapat melihat AP secara langsung karena terhalang dinding pembatas ruangan.

Parameter

Untuk mendapatkan hasil prediksi cakupan area yang dihasilkan oleh sebuah AP, diperlukan beberapa parameter masukan sebagai berikut:

a) Denah ruangan: denah dibuat dalam bentuk pemodelan 2-dimensi (2D) dengan menggunakan satuan ubin sebagai pedoman pembuatan denah (panjang ubin x lebar ubin).

b) Titik koordinat: setiap kotak pada pemodelan denah ruangan yang dibuat merepresentasikan titik-titik koordinat (x,y).

c) Kuat sinyal: nilai kuat sinyal diambil secara acak dengan menggunakan bantuan aplikasi inSIDDER pada kondisi yang sebenarnya (dalam satuan dBm).

d) Threshold: nilai batasan kuat sinyal yang diinginkan oleh desainer jaringan (dalam satuan dBm). Nilai ini digunakan sebagai pedoman komparasi nilai untuk menentukan status dari cakupan area pada setiap titik koordinat.

III.PEMODELAN SISTEM

Pemodelan sistem dibangun dengan menggunakan pendekatan secara statistik untuk memudahkan pihak desainer jaringan dalam mengimplementasikannya pada jaringan wireless untuk lingkungan indoor kampus. Prosedur pemodelan sistem diuraikan melalui penjelasan berikut ini[20]:

a) Pemodelan denah ruangan. Pemodelan dibuat dengan menggunakan bentuk visual secara 2D, dengan menggunakan satuan ubin dalam penggambaran denah. Jumlah satuan ubin pada sisi panjang ruangan diambil sebagai banyak satuan untuk koordinat sumbu X, sedangkan jumlah satuan ubin pada sisi lebar ruangan diambil sebagai banyak satuan untuk koordinat sumbu Y. b) Penetapan titik koordinat. Inisialisasi awal titik koordinat (0,0) diambil dari sudut kiri atas ruangan. Berdasarkan hasil pemodelan denah ruangan, ditetapkan pula titik koordinat penempatan AP yang digunakan pada kondisi yang sebenarnya.

c) Pengukuran kuat sinyal. Pengukuran ini dilakukan pada titik-titik koordinat yang dipilih secara random dengan menggunakan bantuan aplikasi inSIDDER.

d) Konversi jarak. Setiap titik koordinat dikonversikan ke dalam parameter jarak dengan satuan meter. Konversi ini

(3)

dilakukan dengan menggunakan metode Euclidean, yang ditunjukkan melalui Persamaan (1) berikut ini.

………... (1)

dimana (X1, Y1) merupakan koordinat posisi AP dan (X2,

Y2) merupakan posisi koordinat receiver. Mengingat

bahwa pemodelan dibuat menggunakan ubin sebagai satuannya, maka untuk mendapatkan nilai jarak (d) yang sebenarnya dalam satuan meter, maka hasil dari nilai d

melalui Persamaan (1) dikalikan dengan ukuran ubin yang digunakan pada denah pengamatan, kemudian dikonversikan ke dalam satuan meter.

e) Penentuan nilai batasan. Nilai batasan (range) ditetapkan untuk menentukan status area dari setiap titik koordinat. Perhitungan nilai range (S) didapatkan dengan menggunakan Persamaan (2) berikut ini.

………...……. (2) dimana Th merupakan nilai threshold level daya (diasumsikan sebesar -57dBm), Smax merupakan jarak

maksimal dari pengukuran (dalam satuan m), dan Pmin

merupakan level daya minimum yang dihasilkan. f) Penentuan status area. Status area didapatkan dengan

terlebih dahulu membandingkan setiap titik koordinat yang telah dikonversi menjadi parameter jarak dengan nilai batasan (range) yang telah ditetapkan. Setiap titik koordinat yang memiliki nilai jarak lebih kecil dibandingkan nilai range, maka ditetapkan sebagai area yang ter-cover. Sebaliknya, apabila nilai jarak yang dihasilkan oleh titik koordinat memiliki nilai yang lebih besar daripada nilai range, maka area tersebut dinyatakan tidak ter-cover oleh AP.

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

Prosedur pertama dalam memprediksikan cakupan area yang dihasilkan oleh sebuah AP pada lingkungan indoor

kampus adalah membuat pemodelan denah ruangan dari area yang diamati. Ruangan yang dijadikan sebagai sampel penelitian memiliki ukuran panjang 40 ubin dan ukuran lebar 50 satuan ubin, sebagaimana yang terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Pemodelan 2D Denah Ruangan

Inisialisasi titik koordinat awal (0,0) diambil dari sebelah kiri atas dari ruangan. Kotak berwarna merah menunjukkan titik koordinat dari penempatan AP yang saat ini digunakan oleh pihak teknisi jaringan STMIK Asia Malang, yaitu koordinat (20,7).

Proses pengujian dilakukan pada 2 lintasan propagasi, yaitu propagasi LOS dan propagasi NLOS. Pengujian propagasi LOS dilakukan pada jangkauan koordinat sumbu X 17 – 24, dan jangkauan koordinat sumbu Y 1 – 50. Sedangkan untuk pengujian NLOS dilakukan pada jangkauan koordinat sumbu X 1 – 16 dan 25 – 40, serta jangkauan koordinat sumbu Y 1 – 50. Secara visual, pembagian denah pengujian lintasan propagasi terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Pengujian Lintasan Propagasi LOS (Yellow Square) dan Lintasan Propagasi NLOS (Blue Square)

(4)

Pengukuran kuat sinyal dilakukan secara walk-test, yaitu menghitung pada setiap titik koordinat secara acak dengan menggunakan bantuan aplikasi inSIDDER. Setiap titik koordinat dilakukan pengukuran sebanyak 3 kali, dan diambil nilai rata-ratanya, mengingat nilai kuat sinyal yang dihasilkan oleh sebuah perangkat AP bersifat fluktuatif. Tabel 1 menunjukkan hasil pengukuran walk-test yang telah dilakukan untuk lintasan propagasi LOS dan propagasi NLOS.

Tabel 1. Hasil Pengukuran Walk-Test

No

Propagasi LOS Propagasi NLOS Titik Koordinat Kuat Sinyal Titik Koordinat Kuat Sinyal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 (21,1) (21,8) (18,11) (17,15) (18,19) (21,17) (22,22) (21,25) (20,28) (17,30) (18,21) (20,18) (22,28) (23,33) (20,40) (17,41) (19,43) (18,34) (17,26) (20,16) -27,9 -33,7 -34,9 -41,7 -44,5 -40,4 -41,6 -45,7 -52,2 -44 -42,5 -36,7 -45,4 -45,3 -52,7 -51,7 -48,7 -41,8 -46,2 -38,7 (14,22) (13,25) (8,24) (6,26) (7,30) (5,23) (2,25) (1,21) (2,28) (1,30) (16,39) (14,36) (10,35) (8,33) (9,31) (10,38) (7,37) (3,35) (2,38) (1,40) -58,4 -59,8 -73,3 -65,7 -77,2 -74,3 -75,4 -68,4 -69,7 -68,1 -66,5 -68,5 -77,5 -70 -74 -79 -75,2 -75,6 -74,3 -74,7 Setiap titik koordinat pada area pengamatan dikonversikan ke dalam satuan meter untuk menghitung jarak antara antena pemancar dan user dengan menggunakan Persamaan (1). Konversi dilakukan dengan menghitung jarak setiap titik koordinat dengan titip koordinat penempatan AP (20,7). Berikut ini merupakan sampel perhitungan konversi jarak untuk titik koordinat (21,1) pada propagasi LOS.

Koordinat AP (X1, Y1) = (20,7)

Koordinat User (X2, Y2) = (21,1)

Ukuran Ubin = 50cm Jarak antara AP dan user:

Tabel 2 menunjukkan hasil konversi parameter jarak pada titik-titik koordinat yang dipilih dalam proses pengukuran walk-test pada lintasan propagasi LOS dan NLOS.

Tabel 2. Konversi Parameter Jarak No

Propagasi LOS Propagasi NLOS Titik Koordinat d Titik Koordinat d 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 (21,1) (21,8) (18,11) (17,15) (18,19) (21,17) (22,22) (21,25) (20,28) (17,30) (18,21) (20,18) (22,28) (23,33) (20,40) (17,41) (19,43) (18,34) (17,26) (20,16) 3,041 0,707 2,236 4,272 6,083 5,025 7,566 9,014 10,5 11,597 7,071 5,5 10,548 13,086 16,5 17,066 18,007 13,537 9,618 4,5 (14,22) (13,25) (8,24) (6,26) (7,30) (5,23) (2,25) (1,21) (2,28) (1,30) (16,39) (14,36) (10,35) (8,33) (9,31) (10,38) (7,37) (3,35) (2,38) (1,40) 8,078 9,657 10,404 11,8 13,21 10,966 12,728 11,8 13,829 14,916 16,125 14,807 14,866 14,318 13,2 16,286 16,348 16,378 17,923 19,039 Dari data pengukuran walk-test di atas, diambil nilai jarak terbesar (Smax) pada masing-masing propagasi. Pada

propagasi LOS, didapatkan nilai Smax sebesar 18.007m,

sedangkan untuk propagasi NLOS didapatkan nilai Smax

sebesar 19.039m.

Selain nilai jarak terbesar, parameter masukan lainnya yang dibutuhkan untuk menghitung nilai range adalah nilai kuat sinyal terendah (Pmin) yang dihasilkan pada proses

pengukuran walk-test. Dapat dilihat pada Tabel 2, bahwa pada propagasi LOS didapatkan nilai Pmin sebesar

-52.07dBm, sednagkan untuk propagasi NLOS didapatkan nilai Pmin sebesar -79dBm.

Untuk menentukan status dari setiap titik koordinat sebagai area te-cover dan area yang tidak ter-cover sinyal AP, terlebih dahulu dilakukan perhitungan nilai range

dengan menggunakan persamaan (2). Nilai ini didapatkan dengan memasukkan nilai Smax dan Pmin dari hasil walk-test.

Perhitungan nilai range pada masing-masing propagasi diuraikan pada penjelasan berikut ini.

a) Propagasi LOS

Threshold = -57dBm, Smax = 18.007m, Pmin = -52.07dBm

Perhitungan nilai range (S):

b) Propagasi NLOS

Threshold = -57dBm, Smax = 19.039m, Pmin = -79dBm

(5)

Untuk propagasi LOS, didapatkan nilai batasan area

ter-cover sebesar 19.712m, sedangkan untuk propagasi NLOS didapatkan nilai batasan area ter-cover sebesar 13.737m. Setiap titik koordinat yang memiliki nilai jarak lebih besar daripada nilai batasan yang terhitung akan ditetapkan sebagai area yang tidak ter-cover sinyal AP.

Berdasarkan hasil perhitungan nilai range yang kemudian dibandingkan dengan nilai d, didapatkanlah status cakupan area pada masing-masing propagasi. Pada propagasi LOS, didapatkan 20 titik koordinat sampel penelitian ter-cover sinyal AP secara dengan jumlah luasan cakupan area sebesar 175.474m2. Sedangkan untuk propagasi NLOS didapatkan hanya 9 titik koordinat sampel penelitian yang ter-cover sinyal AP.

Berdasarkan jenis lintasan propagasi yang digunakan, terlihat bahwa seluruh area yang masih berada pada propagasi LOS terhadap AP, akan ter-cover secara penuh. Namun untuk area yang berada pada propagasi NLOS, tidak semua area dapat ter-cover sinyal AP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak maksimal antara AP dan user

supaya berada dalam cakupan area adalah 13.21m (berdasarkan hasil pengukuran pada titik koordinat receiver

7,30). Sampel penelitian yang diujikan pada rentang jarak 13.829m – 19.039m dinyatakan tidak ter-cover oleh sinyal AP karena memiliki nilai d lebih besar daripada nilai range

yang telah ditetapkan.

Tabel 3 menunjukkan hasil komparasi nilai jarak dan nilai range pada 20 sampel titik koordinat pengukuran walk-test pada masing-masing propagasi.

Tabel 3. Komparasi Nilai Batasan No Propagasi LOS Propagasi NLOS

d Status d Status 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 3,041 0,707 2,236 4,272 6,083 5,025 7,566 9,014 10,5 11,597 7,071 5,5 10,548 13,086 16,5 17,066 18,007 13,537 9,618 4,5 Tercover Tercover Tercover Tercover Tercover Tercover Tercover Tercover Tercover Tercover Tercover Tercover Tercover Tercover Tercover Tercover Tercover Tercover Tercover Tercover 8,078 9,657 10,404 11,8 13,21 10,966 12,728 11,8 13,829 14,916 16,125 14,807 14,866 14,318 13,2 16,286 16,348 16,378 17,923 19,039 Tercover Tercover Tercover Tercover Tercover Tercover Tercover Tercover Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tercover Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak

Berdasarkan 40 sampel pengukuran baik pada propagasi LOS maupun NLOS, dilakukan perhitungan prosentase cakupan area sinyal AP terhadap luas keseluruhan area yang diamati. Jumlah area ter-cover adalah sebanyak 29 titik koordinat dari 40 titik koordinat pengamatan, sehingga didapatkan prosentase cakupan area sebagai berikut.

Adanya 27.5% area yang tidak ter-cover pada area NLOS terjadi karena adanya penghalang-penghalang di sekitar AP yang menyebabkan sinyal mengalami hambatan-hambatan berupa pemantulan, pembelokan maupun penghamburan sinyal. Penghalang – penghalang tersebut meliputi tembok, dinding kaca, sekat kayu, dan lantai keramik.

Untuk memberikan gambaran cakupan area yang dihasilkan dari penempatan AP yang sebenarnya, maka dibuat sebuah visualisasi 2D pemetaan cakupan area pada keseluruhan denah pengamatan, seperti yang terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Visualisasi Pemetaan Cakupan Area V. KESIMPULAN

Berdasarkan analisis permasalahan yang telah dilakukan, berikut ini beberapa kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil pengujian:

1.Fungsi jarak memiliki nilai berbanding lurus dengan nilai RSSI yang dihasilkan pada perangkat pengguna. 2.Cakupan sinyal yang dihasilkan oleh sebuah AP akan

mencakup keseluruhan area yang masih berada pada lintasan propagasi LOS.

3.Prosentase cakupan area yang dihasilkan berdasarkan penempatan AP yang digunakan saat ini sebesar 72.5%. Masih terdapat area yang tidak ter-cover AP, khususnya untuk lintasan propagasi NLOS karena adanya penghalang di sekitar AP.

(6)

4.Jarak maksimal antara AP dengan pengguna supaya berada dalam cakupan area adalah 13.21m.

5. Ruang lingkup penelitian dapat diperluas dengan menambahkan titik koordinat sampel pengujian untuk mendapatkan informasi cakupan area perangkat secara menyeluruh.

6. Penelitian dapat dikembangkan dengan mempertimbangkan adanya aspek propagasi lainnya, seperti keberadaan penghalang di sekitar perangkat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini didanai oleh Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (KEMENRISTEKDIKTI RI) dalam program hibah Penelitian Dosen Pemula (PDP) tahun pelaksanaan 2019.

DAFTAR PUSTAKA

[1] J. Lloret, J. J. Lopez, C. Turro, and S. Flores, “A Fast Design Model for Indoor Radio Coverage in the 2.4 GHz Wireless LAN,” in 1st International Symposium onWireless Communication Systems, 2005, no. 1, pp. 408–412.

[2] U. Handasah and M. Pinem, “Analisis Path Loss Model Propagasi Dalam Ruangan,” J. Singuda Ensikom, vol. 14, no. 39, pp. 59–64, 2016.

[3] S. Y. Yeong, W. Al-Salihy, and T. C. Wan, “Indoor WLAN Monitoring and Planning using Empirical and Theoretical Propagation Models,” in Proceedings - 2nd International Conference on Network Applications, Protocols and Services, NETAPPS 2010, 2010, pp. 165–169.

[4] L. Meiling, “Indoor Radio Propagation Modeling for System Performance Prediction,” INSA de Lyon, 2013. [5] T. K. Geok, F. Hossain, and A. T. W. Chiat, “A Novel 3D Ray Launching Technique for Radio Propagation Prediction in Indoor Environments,” PLoS One, vol. 13, no. 8, pp. 1–14, 2018.

[6] F. Agren, “Indoor Radio Propagation Modelling with Antenna Placement Optimization,” Lund University, 2017.

[7] A. R. Sandeep, Y. Shreyas, S. Seth, R. Agarwal, and G. Sadashivappa, “Wireless Network Visualization and Indoor Empirical Propagation Model for a Campus WI-FI Network,” World Acad. Sci. Eng. Technol., no. August 2008, pp. 730–734, 2009.

[8] B. R. Jadhavar and T. R. Sontakke, “2.4 GHz Propagation Prediction Models for Indoor Wireless Communications Within Building,” Int. J. Soft Comput. Eng., vol. 2, no. 3, pp. 108–113, 2012.

[9] S. Kouhbor, J. Ugon, A. Kruger, and A. Rubinov, “Optimal Placement of Access Point in WLAN based on A New Algorithm,” in 4th Annual International Conference on Mobile Business, ICMB 2005, 2005, no. May 2014, pp. 592–598.

[10] I. P. Sari, T. B. Santoso, and N. A. Siswandari, “Optimasi Penataan Sistem Wi-Fi di PENS-ITS dengan Menggunakan Metode Monte Carlo,” 2010.

[11] M. G. Kelly, “The Automatic Placement of Multiple Indoor Antennas using Particle Swarm Optimisation,” Loughborough University, 2016.

[12] A. Huszak, G. Godor, and K. Farkas, “Investigation of WLAN Access Point Placement for Indoor Positioning,” in In: Szabó R., Vidács A. (eds) Information and Communication Technologies. EUNICE 2012, 2012, no. August.

[13] A. Mc Gibney, M. Klepal, and D. Pesch, “A Wireless Local Area Network Modeling Tool for Scalable Indoor Access Point Placement Pptimization,” in

Proceedings of the 2010 Spring Simulation Multiconference (SpringSim ’10), 2010, p. 1.

[14] F. S. Mukti and A. Junikhah, “Access Point Placement Model using Empirical Propagation and Simulated Annealing Algorithm for Indoor Environment.” [15] D. Harinitha, “Perencanaan Penempatan Antena

Pemancar Wireless Indoor Berdasarkan Daya Terima,”

Setrum Sist.

Kendali-Tenaga-Elektronika-Telekomunikasi-Komputer, vol. 6, no. 1, pp. 14–22, 2017.

[16] O. Baala, Y. Zheng, and A. Caminada, “The Impact of AP Placement in WLAN-based Indoor Positioning System,” Proc. 8th Int. Conf. Networks, ICN 2009, no. March, pp. 12–17, 2009.

[17] D. Applegate, A. Archer, D. S. Johnson, E. Nikolova, M. Thorup, and G. Yang, “Wireless Coverage Prediction via Parametric Shortest Paths,” in

Eighteenth ACM International Symposium on Mobile Ad Hoc Networking and Computing, 2018, pp. 221– 230.

[18] G. de la Roche, K. J. Runser, and J. M. Gorce, “On Predicting In-building Wi-Fi Coverage with a Fast Discrete Approach,” Int. J. Mob. Netw. Des. Innov., vol. 2, no. 1, p. 3, 2007.

[19] D. Plets, W. Joseph, K. Vanhecke, E. Tanghe, and L. Martens, “Coverage Prediction and Optimization Algorithms for Indoor Environments,” Eurasip J. Wirel. Commun. Netw., vol. 2012, pp. 1–23, 2012.

[20] N. F. Puspitasari, H. Al Fatta, and F. W. Wibowo, “Layout Optimization of Wireless Access Point Placement using Greedy and Simulated Annealing Algorithms,” Int. J. Simul. Syst. Sci. Technol., vol. 17, no. 34, pp. 14.1-14.12, 2016.

Gambar

Gambar 1. Pemodelan 2D Denah Ruangan
Tabel 1. Hasil Pengukuran Walk-Test  No
Tabel  3  menunjukkan  hasil  komparasi  nilai  jarak  dan  nilai range pada 20 sampel titik koordinat pengukuran  walk-test pada masing-masing propagasi

Referensi

Dokumen terkait

Faktor- Faktor yang mempengaruhi keputusan konsumen diantaranya motivasi, persepsi, dan keyakinan sikap.tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada

Arsip Buat Nomor Surat Kelola Pengguna Petunjuk Pengaturan Arsip Agenda Surat Cari Arsip (textbox) No. Surat (textbox) Pengirim (textbox) Alamat yang

4) Adanya kewajiban untuk menjaga kerahasiaan dalam melaksanakan permintaan bantuan yang telah diatur dalam DUWLFOH 9 AMLAT yang meliputi rahasia dokumen, pengabulan atas

NO POKOK BAHASAN & TIU SUB BAHASAN & TIK Pembelajaran Teknik Pembelajaran Media TUGAS REF 1 Trend jaringan, tinjauan ulang. konsep dan trend penting jaringan

Rujukan berjenjang berbasis kompetensi terintegrasi adalah pemberian rujukan berdasarkan kebutuhan medis pasien sesuai kompetensi fasilitas kesehatan penerima rujukan;

Dari pembahasan distribusi fraksi volume partikel pasir berukuran kecil ini, dapat diketahui bahwa dengan meningkatnya persentase primary air maka konsentrasi pasir di

[r]

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas vinegar buah nanas madu dengan variasi konsentrasi starter dan lama fermentasi ditinjau dari kadar asam asetat dan hasil