• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

7 A. Gambaran Umum Mengenai Perpajakan

1. Pengertian Pajak

Dalam dunia perpajakan dikenal definisi pajak yang dinyatakan oleh beberapa ahli perpajakan, diantaranya:

Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani yang dikutip Agus Waskito (2011 : 5): pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut

peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak

mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH yang dikutip Siti Resmi (2009 : 1) :

pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.

Maka dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan :

kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

(2)

2. Fungsi Pajak

Pajak mempunyai peran penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Ada dua fungsi pajak, yaitu fungsi (budgetair) dan fungsi mengatur (regulered), menurut Mardiasmo (2011 : 1-2), yaitu:

a. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)

Pajak mempunyai fungsi budgetair artinya pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya. b. Fungsi Regulerend (Mengatur)

Pajak mempunyai fungsi regulerend artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

3. Jenis-Jenis Pajak

Pajak dapat dikelompokan menjadi beberapa jenis dilihat dari berbagai segi golongannya, dari segi sifatnya, dan pembagian pajak menurut lembaga pemungutnya. Mardiasmo (2011 : 5)

a. Menurut Golongannya

Pengelompokan pajak menurut golongannya adalah sebagai berikut:

1) Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

(3)

2) Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

Contoh: Pajak Pertambahan Nilai b. Menurut Sifatnya

Pengelompokan pajak menurut sifatnya adalah sebagai berikut: 1) Pajak Subjektif yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan

pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.

Contoh: Pajak Penghasilan

2) Pajak Objektif yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.

Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

c. Menurut Lembaga Pemungutnya

Pengelompokan pajak menurut lembaga pemungutnya adalah sebagai berikut:

1) Pajak Pusat yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan digunakan untuk membiayai Rumah Tangga Negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai.

2) Pajak Daerah yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai Rumah Tangga Daerah. Misalnya, Pajak Reklame, Pajak Hiburan, dan Pajak Kendaraan Bermotor.

4. Sistem Pemungutan Pajak

Menurut Agus Waskito (2011 : 9), agar pemungutan pajak dapat berjalan dengan semestinya maka dikelompokkan menjadi :

a. Sistem Self Assessment

Yaitu Wajib Pajak sendiri yang menghitung, menetapkan, menyetorkan, dan melaporkan pajak yang terhutang.

b. Sistem Official Assessment

Yaitu fiskus yang berperan aktif dalam menghitung dan menetapkan besarnya pajak yang terhutang.

(4)

c. Sistem With Holding

Yaitu pihak ketiga yang wajib menghitung, menetapkan,

menyetorkan, dan melaporkan pajak yang sudah dipotong atau dipungut.

B. Pajak Penghasilan

1. Pengertian Pajak Penghasilan

Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) berdasarkan Undang-Undang No 17 Tahun 2000 adalah

pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam satu tahun pajak atau suatu pungutan resmi yang ditujukan kepada masyarakat yang berpenghasilan yang diperolehnya dalam tahun pajak untuk kepentingan negara dan masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakannya. Agus Waskito (2011 : 35)

2. Subjek Pajak Penghasilan

Subjek pajak diartikan sebagai orang yang dituju oleh undang-undang untuk dikenakan pajak (Waluyo, 2010 : 89). Pajak penghasilan dikenakan terhadap sebjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.

Subjek pajak penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan pajak penghasilan (Siti Resmi, 2009 : 81). Undang-undang pajak penghasilan di Indonesia mengatur pengenaan pajak penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak akan dikenakan pajak penghasilan apabila menerima atau memperoleh penghasilan sesuai

(5)

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika subjek pajak telah memenuhi kewajiban pajak secara objektif maupun subjektif maka disebut wajib pajak.

Yang menjadi subjek pajak adalah:

a. Orang pribadi

b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak

c. Badan; dan

d. Bentuk usaha tetap.

Berdasarkan pasal 2 ayat 1 UU No 36 Tahun 2008, subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan luar negeri.

b. Subjek pajak dalam negeri adalah: 1) Subjek pajak orang pribadi.

Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

2) Subjek pajak badan.

Badan adalah sekumpulan orang dan / atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan

(6)

lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

3) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan,

menggantikan yang berhak

5. Subjek pajak luar negeri adalah:

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 2 (dua) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 2 (dua) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

6. Subjek pajak bentuk usaha tetap (BUT)

Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

3. Objek Pajak Penghasilan

Objek Pajak merupakan segala sesuatu (barang, jasa, kegiatan, atau keadaan) yang dikenakan pajak (Siti Resmi, 2009 : 86). Objek pajak penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai konsumsi atau untuk menambah

(7)

kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada wajib pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:

a. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaries, akuntan, akutuaris, pengacara, dan sebagainya.

b. Penghasilan dari usaha dan kegiatan

c. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak maupun harta tak gerak seperti bunga, deviden, royalti sewa, dan keuntungan penjualan hartaatau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha.

d. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan hutang dan hadiah. Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan wajib pajak.

4. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 25

Mengacu pada Undang-Undang nomor 36 tahun 2008 yang berlaku sejak 1 januari 2009, besarnya tarif pajak penghasilan adalah sebagai berikut :

1. Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

Sampai dengan Rp 50.000.000,- 5 %

(8)

250.000.000,-

Diatas Rp 250.000.000,- s.d. Rp

500.000.000,- 25 %

Diatas Rp 500.000.000,- 30 %

2. Wajib Pajak Badan Dalam Negeri

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

Tahun 2009 28%

Tahun 2010 dan selanjutnya 25%

PT yang 40% sahamnya diperdagangkan di bursa efek

5% lebih rendah dari yang seharusnya

Peredaran bruto s.d. Rp 50.000.000.000,-

Pengurangan 50% dari yang

seharusnya

7. Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan

Untuk Wajib Pajak Dalam Negeri yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Penghasilan Kena Pajak (PKP).Penghasilan Kena Pajak adalah jumlah penghasilan yang dikenakan pajak.

Besarnya PKP untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dihitung sebesar penghasilan netto dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak.Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah batasan maksimal penghasilan bagi Orang Pribadi untuk tidak wajib memiliki NPWP.

Sedangkan untuk Wajib Pajak Badan dihitung sebesar Penghasilan netto dari badan atau organisasi yang bersangkutan.

(9)

8. Pajak Penghasilan Pasal 25

Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan dalam tahun pajak berjalan.

Pembayaran pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan cara :

a. Wajib Pajak membayar sendiri (PPh pasal 25).

b. Melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak ketiga.

Besarnya PPh Pasal 25 adalah sebesar PPh terutang menurut Surat Pemberitahuan (SPT) PPh tahun lalu dikurangi pajak-pajak yang telah terbayar (PPh pasal 21, 22, 23, 24), kemudian hasilnya dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Contoh penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 :

Berdasarkan SPT tahunan PPh tahun 2009

PPh terutang PT MP sebesar Rp 275.000.000,-

Pada tahun 2010 telah dipotong atau dipungut dan dibayar:

1. PPh Pasal 22 Rp 41.000.000,-

2. PPh Pasal 23 Rp 32.000.000,-

3. PPh Pasal 24 Rp 10.000.000,-

Rp 83.000.000,-

Dasar Perhitungan Pajak Rp 192.000.000,-

(10)

Jadi PT MP harus membayar sendiri angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan pada tahun 2010 sebesar Rp 16.000.000,-.

Wajib Pajak berkewajiban untuk menyetorkan dan melaporkan PPh pasal 25 menurut ketentuan yang berlaku selambat-lambatnya tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah masa pajak berakhir.

C. Surat Pemberitahuan (SPT)

1. Definisi Surat Pemberitahuan (SPT)

Perhitungan pajak dilaporkan oleh wajib pajak melalui Surat Pemberitahuan. Definisi Surat Pemberitahuan (SPT) menurut Mardiasmo (2011 : 31)

SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan / atau pembayaran pajak, objek pajak dan / atau bukan objek pajak, dan / atau harta dan kewajiban

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan.

2. Jenis Surat pemberitahuan (SPT)

Jenis Surat Pemberitahuan (SPT) menurut Suandy (2008 : 159) dibedakan menjadi dua yaitu:

a. Surat Pemberitahuan (SPT) Masa merupakan surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak terhutang dalam suatu masa pajak.

b. Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan merupakan surat oleh wajib pajak dipergunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak terhutang dalam suatu tahun pajak.

(11)

3. Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT)

Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT) menurut Mardiasmo (2011 : 31-32) bagi wajib pajak Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:

a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan / atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak

b. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan / atau bukan objek pajak c. Harta dan kewajiban; dan / atau

d. Pembayaran pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) masa pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Batas Waktu Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT)

Sesuai dengan Pasal 3 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, batas waktu penyampaian SPT adalah:

a. Batas waktu penyampaian SPT Masa paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah akhir masa pajak

b. Batas waktu penyampaian SPT Masa paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir masa pajak

(12)

D. Kepatuhan Wajib Pajak

Kepatuhan wajib pajak dikemukakan oleh Norman D. Nowak (Moh. Zain : 2004), yang dikutip oleh Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu (2006 : 110) sebagai “suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan”, tercermin dalam situasi di mana:

1. Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

2. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas

3. Menghitung jumlah pajak yang terhutang dengan benar

4. Membayar pajak yang terhutang tepat pada waktunya

Safri Nurmantu mengatakan bahwa “kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya” (Sony Devano dan Siti Kurnia, 2006 : 110).

Menurut Chaizi Nasucha yang dikutip Siti Resmi (2006 : 111), kepatuhan wajib pajak dapat diidentifikasikan dari:

1. Kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri

2. Kepatuhan untuk menyetorkan kembali surat pemberitahuan

3. Kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran pajak terhutang

(13)

Wajib pajak dimasukkan dalam kategori wajib pajak patuh apabila memenuhi kriteria atau persyaratan sebagai berikut (merujuk pada kriteria menurut Keputusan Menteri Keuangan No : 544/KMK.04/2000)

1. Tepat waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan untuk semua

jenis pajak dalam 2 (dua) tahun terakhir

2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak

3. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana

dibidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir

4. Dalam 2 (dua) tahun pajak terakhir menyelenggarakan pembukuan dan dalam hal terhadap wajib pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak yang terhutang paling banyak 5%

5. Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk 2 tahun terakhir diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian, atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba-rugi fiskal.

E. Kualitas Pelayanan

1. Pengertian Kualitas Pelayanan

Menurut Heizer dan Renden (2001 : 171) dalam (Parameswari : 2008), kualitas merupakan persepsi dari konsumen karena sifatnya yang tidak nyata serta produksi dan konsumsinya berjalan secara simultan atau bersamaan.

Sedangkan pengertian pelayanan menurut Gronroos dalam

(Parameswari, 2008: 20)

Kualitas pelayanan adalah aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan

(14)

pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan konsumen atau pelanggan.

Berdasarkan definisi di atas, kualitas pelayanan dapat diartikan sebagai suatu sikap yang tidak sama dengan kepuasan dan dihasilkan dari perbandingan antara harapan konsumen dengan kemampuan perusahaan.

2. Dimensi Kualitas Pelayanan

Menurut (Parasuraman, Zeithaml, dan Berry, 1990) dalam (Kiswanto dan Wahyudin, 2007) mengemukakan mengenai 5 (lima) dimensi kualitas pelayanan dengan pengukuran SERVQUAL, yang terdiri dari :

1) Kehandalan (Reliability)

Kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat dan kemampuan dapat dipercaya, terutama dalam memberikan pelayanan secara tepat waktu dengan cara yang sama sesuai jadwal yang telah dijanjikan.

2) Daya Tanggap (Responsiveness)

Kemampuan atau keinginan para karyawan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang dibutuhkan konsumen.

3) Jaminan (Assurance)

Berkaitan dengan pengetahuan, keramahan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya dari pemberi jasa untuk menghilangkan sifat keragu-raguan konsumen dan merasa terbebas dari bahaya dan resiko atas jasa yang diterimanya.

4) Empati (Emphaty)

Berkaitan dengan sikap karyawan maupun perusahaan untuk perhatian dan memahami kebutuhan maupun kesulitan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, kemudahan dalam melakukan komunikasi.

5) Wujud Nyata (Tangibles)

Meliputi tersedianya fasilitas fisik, perlengkapan dan sarana komunikasi dan lain-lain yang dapat dan harus ada dalam proses jasa.

(15)

F. Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Dimoderasi Kualitas Pelayanan Publik Berdasarkan uraian sebelumnya di mana kepatuhan wajib pajak dapat dilihat dari beberapa faktor antara lain:

1. Kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri

2. Kepatuhan untuk menyetorkan kembali surat pemberitahuan

3. Kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran pajak terhutang

4. Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan

Untuk itu pemerintah sering menjadikan kualitas pelayanan publik andalan dalam mewujudkan kepatuhan dalam pembayaran pajak. Namun sering kali kualitas menjadi moderasi dari kepatuhan wajib pajak terhadap penerimaan pajak penghasilan PPh pasal 25. Di mana moderasi tersebut adalah suatu keterkaitan yang nantinya dapat dilihat akan memperkuat atau memperlemah (berkontribusi signifikan) dengan suatu hal atau keadaan.

G. Keterkaitan Antarvariabel dan Perumusan Hipotesis

1. Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan Terhadap Penerimaan PPh Pasal 25

Peningkatan penerimaan pajak, khususnya PPh Pasal 25 tidak terlepas dari kemauan dan kepatuhan Wajib Pajak.Dengan tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang tinggi diharapkan penerimaan pajak, khususnya PPh Pasal 25 dapat meningkat pula.

Sedangkan cara yang efektif untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, yaitu dengan mengadakan sosialisasi agar Wajib Pajak mengetahui

(16)

dan memahami cara-cara untuk membayar pajaknya. Sosialisasi tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan penyuluhan, seminar, ataupun pembagian brosur yang disampaikan dengan lebih menarik dan komunikatif agar masyarakat mudah memahami tujuan dari sosialisasi tersebut. Sehingga dari sosialisasi tersebut diharapkan dapat mengajak masyarakat untuk melakukan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia yang baik dan taat pajak.

Ha1 : Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak badan berpengaruh positif

terhadap penerimaan PPh Pasal 25 pada KPP Pratama Wilayah Jakarta Barat.

2. Kualitas Pelayanan Publik Terhadap Penerimaan PPh Pasal 25

Standar Kualitas Pelayanan kepada Wajib Pajak akan terpenuhi apabila petugas menjalani tugasnya secara profesional. Maka Kantor-kantor pelayanan pajak harus melakukan segala cara untuk meningkatkan kualitas pelayanan, karena diharapkan dengan meningkatnya kualitas pelayanan juga dapat meningkatkan pula tingkat kepatuhan Wajib Pajak, terutama Wajib Pajak badan sehingga akan meningkatkan pula penerimaan pajak khususnya PPh Pasal 25, karena setiap Wajib Pajak memiliki persepsi masing-masing dalam menentukan apakah kualitas pelayanan pada KPP yang bersangkutan.

Untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan dengan cara memberikan pelatihan-pelatihan kepada petugas pada

(17)

kantor-kantor pelayanan pajak mengenai pelayanan yang baik kepada Wajib Pajak.

Ha2 : Kualitas Pelayanan Publik berpengaruh positif terhadap

penerimaan PPh Pasal 25 pada KPP Pratama Wilayah Jakarta Barat.

3 Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan Terhadap Penerimaan PPh Pasal 25 Jika Dimoderasi Oleh Kualitas Pelayanan Publik

Kepatuhan Wajib Pajak Badan tidak terlepas dari kualitas pelayanan yang diberikan KPP yang bersangkutan. Hal ini berarti kualitas pelayanan yang baik terhadap publik akan mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak dalam melakukan kewajiban perpajakannya. Atau dengan kata lain tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang tinggi menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh KPP yang bersangkutan menunjukkan kualitas yang baik. Sehingga dengan mengetahui bahwa tingkat kepatuhan WajibPajak pada suatu KPP tinggi, maka tersirat bahwa penerimaan pada KPP tersebut juga tinggi.

Jadi, untuk meningkatkan penerimaan PPh Pasal 25 sebaiknya kualitas pelayanan publik dan tingkat kepatuhan Wajib Pajak Badan pada KPP harus ditingkatkan pula.

Ha3 : Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan berpengaruh positif

terhadap penerimaan PPh Pasal 25 jika dimoderasi oleh Kualitas Pelayanan Publik pada KPP Pratama Wilayah Jakarta Barat.

(18)

H. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu mengenai masalah yang sama yaitu kualitas pelayanan publik dan kepatuhan Wajib Pajak diantaranya sebagai berikut :

1. Penelitian yang dilakukan oleh (Parameswari 2008) yang berjudul “Pengaruh Kualitas Pelayanan Pajak dan Kepatuhan Wajib Pajak terhadap Penerimaan PPh Pasal 25 pada KPP Pratama Jakarta Kebayoran Lama”, dimana salah satu variabelnya berupa kualitas pelayanan menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif antara kualitas pelayanan terhadap penerimaan PPh Pasal 25 pada KPP Pratama Jakarta Kebayoran Lama

2. Penelitian yang dilakukan oleh (Agusti 2008) yang berjudul “Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan Terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak yang Dimoderasi Oleh Pemeriksaan Pajak Pada KPP Pratama”, dimana salah satu variabelnya yaitu tingkat kepatuhan Wajib Pajak menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang positif antara tingkat kepatuhan Wajib Pajak terhadap penerimaan Wajib Pajak.

3. Penelitian yang dilakukan oleh (Supadmi 2008) yang berjudul

“Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak Melalui Kualitas Pelayanan” menyatakan bahwa untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam

memenuhi kewajiban perpajakannya, kualitas pelayanan harus

(19)

4. Dominicus Doli S. L. dan M. Khoiru Rusydi, SE, MAk,Ak (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan untuk Wajib Pajak Badan” terdapat lima variabel yang diuji, yaitu tingkat pengetahuan wajib pajak, sanksi pajak, kemudahan pengisian SPT, dan kesadaran wajib pajak, yang merupakan variabel independen. Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah kepatuhan penyampaian SPT Tahunan untuk wajib pajak badan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan metode kuesioner, sedangkan skala pengukurannya menggunakan skala Likert. Dari hasil uji F, didapatkan bahwa F hitung (55.533) lebih besar dari F tabel (2.539), dan P-value (0.000) lebih kecil dari  = (0.05). Hal ini berarti terdapat pengaruh tingkat pengetahuan wajib pajak, sanksi-sanksi dalam perpajakan, kemudahan dalam proses pelaporan SPT dan tingkat kesadaran wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak badan dalam menyampaikan SPT Tahunan.

5. Aditya Dwi Purwoko (2008) dalam penelitiannya yang berjudul

“Pengaruh Pelaksanaan Self Assessment System, Kualitas Pelayanan KPP, dan Tingkat Pendidikan terhadap Motivasi Wajib Pajak Memenuhi Kewajiban Pajak” terdapat empat variabel yang diuji, yaitu pelaksanaan self assessment system, kualitas pelayanan KPP, dan tingkat pendidikan yang merupakan variabel independen. Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah motivasi wajib pajak. Teknik pengumpulan

(20)

data yang digunakan adalah dengan metode kuesioner, dengan skala pengukurannya menggunakan skala Likert. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas pelayanan KPP mempunyai hubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap motivasi wajib pajak dengan nilai signifikasi lebih kecil dari 0,05 yaitu 0,004 sedangkan pelaksanaan self assessment system dan tingkat pendidikan mempunyai hubungan positif, namun tidak berpengaruh secara signifikan terhadap motivasi wajib pajak.

6. Nur Imaniyah dan Bestari Dwi Handayani (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Penghasilan dan Pengetahuan Perpajakan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak dalam Membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kelurahan Tegalrejo” terdapat tiga variabel yang diuji, yaitu penghasilan wajib pajak dan pengetahuan perpajakan, yang merupakan variabel independen. Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah kepatuhan membayar PBB. Teknik pengambilan

sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Simple Random

Sampling, sedangkan Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan metode kuesioner, dengan skala pengukurannya menggunakan skala Likert. Dari hasil uji regresi berganda, diketahui bahwa nilai signifikasi lebih kecil dari 0,05 yaitu sebesar 0,000 untuk variabel penghasilan wajib pajak dan 0.000 untuk variabel pengetahuan perpajakan. Angka ini menunjukkan bahwa penghasilan wajib pajak dan

(21)

pengetahuan perpajakan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan membayar PBB.

Tabel 2.1

Tabel Penelitian Terdahulu

No Nama Peneliti Judul Penelitian Variabel Yang Diteliti Hasil Penelitian (Kesimpulan) 1 Citra Pinasti Parameswari (2008) Pengaruh Kualitas Pelayanan Pajak dan Kepatuhan Wajib Pajak Terhadap Penerimaan PPh 25 pada KPP Pratama Jakarta Kebayoran Lama 1. Penerimaan PPh 25 2. Kualitas Pelayanan 3. Kepatuhan Wajib Pajak Kualitas Pelayanan berpengaruh positif terhadap penerimaan PPh 25 2 Asri Fika Agusti (2008) Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan Terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak yang Dimoderasi Oleh Pemeriksaan Pajak Pada KPP Pratama 1. Penerimaan Pajak 2. Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak 3. Pemeriksaan Pajak 4. PKP Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak berpengaruh terhadap peningkatan penerimaan pajak pada KPP Pratama Jakarta Grogol Petamburan 3 Ni Luh Supadmi (2008) Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak Melalui Kualitas Pelayanan 1. Kepatuhan Wajib Pajak 2. Kualitas Pelayanan: 1. Keamanan 2. Kenyamanan 3. Kelancaran 4. Kepastian Hukum Untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya kualitas pelayanan harus ditingkatkan oleh aparat pajak

(22)

4 Dominicus Doli S. L. dan M. Khoiru Rusydi (2009) Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan untuk Wajib Pajak Badan 1. Tingkat pengetahuan wajib pajak 2. Sanksi pajak 3. Kemudahan pengisian SPT 4. Kesadaran wajib pajak 5. Kepatuhan penyampaian SPT Tahunan untuk wajib pajak badan Tingkat pengetahuan wajib pajak berpengaruh terhadap kepatuhan penyampaian SPT Tahunan untuk wajib pajak badan Sanksi pajak berpengaruh terhadap kepatuhan penyampaian SPT Tahunan untuk wajib pajak badan Kemudahan pengisian SPT berpengaruh terhadap kepatuhan penyampaian SPT Tahunan untuk wajib pajak badan Kesadaran wajib pajak berpengaruh terhadap kepatuhan penyampaian SPT Tahunan untuk wajib pajak badan

5 Aditya Dwi Purwoko (2008) Pengaruh Pelaksanaan Self Assessment System, Kualitas Pelayanan KPP, dan Tingkat Pendidikan terhadap Motivasi Wajib Pajak Memenuhi Kewajiban Pajak 1. Pelaksanaan self assessment system 2. Kualitas pelayanan KPP 3. Tingkat pendidikan 4. Motivasi wajib pajak Pelaksanaan self assessment system mempunyai hubungan positif, namun tidak berpengaruh secara signifikan terhadap motivasi wajib pajak Kualitas pelayanan KPP mempunyai hubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap motivasi wajib pajak

(23)

Tingkat pendidikan mempunyai hubungan positif, namun tidak berpengaruh secara signifikan terhadap motivasi wajib pajak 6 Nur Imaniyah

dan Bestari Dwi Handayani (2008) Pengaruh Penghasilan dan Pengetahuan Perpajakan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak dalam Membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kelurahan Tegalrejo 1. Penghasilan wajib pajak 2. Pengetahuan perpajakan 3. Kepatuhan membayar PBB Penghasilan wajib pajak berpengaruh terhadap kepatuhan membayar PBB Pengetahuan perpajakan berpengaruh terhadap kepatuhan membayar PBB

(24)

I. Kerangka Pemikiran

Gambar 2.1

Model Kerangka Pemikiran

Variabel Moderating Kualitas Pelayanan : 1. Kehandalan (Reliability) 2. Daya Tanggap (Responsiveness) 3. Jaminan (Assurance) 4. Empati (Emphaty) 5. Wujud Nyata (Tangibles)

Variabel Bebas Variabel Terikat

Peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan Pasal 25 pada KPP Pratama wilayah Jakarta Barat Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan :

1. Aspek Yuridis 2. Aspek Psikologis 3. Aspek Sosiologis Regresi Berganda

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan taraf integritas, terdapat 120 data tergolong pada kelompok pertama yaitu unsur asing yang belum sepenuhnya terserap kedalam bahasa Indonesia, dan 91

Analisis data hasil uji praktikalitas oleh guru kelas XI SMA menunjukkan bahwa modul bergambar yang dilengkapi peta konsep pada materi sistem regulasi manusia yang

Adapun masalah pengendalian yang terdapat dalam bagian Pengelolaan dan Pelayanan Informasi Publik di KPU Kota Magelang adalah membutuhkan waktu yang lama

sebagai unit produksi, e) kemampuan mengelola sumberdaya petani yaitu melatih juru tanam dan merubah perilaku petani penerima program menjadi lebih semangat dan pantang

Berdasarkan perhitungan ES tersebut maka pembelajaran dengan menggunakan model make a match memberikan pengaruh yang tinggi terhadap hasil belajar siswa pada mata

Dalam hal gabungan beberapa perbuatan yang telah dilakukan oleh seorang pelaku dan masing-masing perbuatan harus dipandang sebagai perbuatan berdiri sendiri, dna

Pentingnya Membangun Strategi Layanan Akademik Yang Berkualitas Pada Pendidikan Tinggi Bidang Kesehatan dalam pencapaian mutu institusi, sebagaimana dikembangkan di

Pemakaian bahan pengawet menguntungkan karena dengan bahan pengawet, bahan pangan dapat dibebaskan dari kehidupan mikroba, baik yang bersifat patogen yang dapat menyebabkan