• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA SENSE OF HUMOR DAN PENYESUAIAN DIRI SEMINARIS DI ASRAMA SEMINARI MENENGAH SANTO PETRUS CANISIUS MERTOYUDAN MAGELANG Skripsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA SENSE OF HUMOR DAN PENYESUAIAN DIRI SEMINARIS DI ASRAMA SEMINARI MENENGAH SANTO PETRUS CANISIUS MERTOYUDAN MAGELANG Skripsi"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

SEMINARI MENENGAH SANTO PETRUS CANISIUS

MERTOYUDAN MAGELANG

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Dian Kusumaningtyas

NIM : 999114116 NIRM : 990051121705120113

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2007

(2)
(3)
(4)
(5)

Christ, the source of my strength.

The angels in my meaningful life:

My Lovely Parents, My Brothers,

and Iyo Chubby.

(6)

HUBUNGAN ANTARASENSE OF HUMORDAN PENYESUAIAN DIRI SEMINARIS DI ASRAMA

SEMINARI MENENGAH SANTO PETRUS CANISIUS MERTOYUDAN

Dian Kusumaningtyas Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2007

Jenis penelitian ini korelasional dan bertujuan untuk mengetahui hubungan antara sense of humor dan penyesuaian diri seminaris di asrama Seminari Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antarasense of humordan penyesuaian diri seminaris di asrama Seminari Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan. Asumsinya adalah apabila seminaris memiliki sense of humor yang tinggi, maka penyesuaian dirinya akan tinggi pula.

Subjek dalam penelitian ini adalah seminaris Kelas Persiapan Pertama Seminari Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan. Subjek sebanyak 49 orang, dengan usia 15-17 tahun. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala sense of humor yang terdiri dari 56 item sahih dengan reliabilitas skala 0,9418, dan skala penyesuaian diri seminaris di asrama yang terdiri dari 54 item sahih dengan reliabilitas 0,9220.

Berdasarkan hasil analisis data penelitian, diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,429 dengan taraf signifikansi 0,01, dan koefisien determinasi sebesar 0,184. Hal ini berarti hipotesis yang diajukan diterima, dan sense of humor

berperan sebesar 18,4% terhadap penyesuaian diri seminaris di asrama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara

sense of humor dan penyesuaian diri seminaris di asrama Seminari Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan.

(7)

CORRELATION BETWEEN SENSE OF HUMOR AND ADJUSTMENT OF SEMINARIANS AT DOMITORY OF SEMINARY

OF SAINT PETRUS CANISIUS MERTOYUDAN

Dian Kusumaningtyas Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2007

This was a correlation study that was aimed to find out correlation between sense of humor and adjustment of seminarians at dormitory of Seminary of Saint Petrus Canisius Mertoyudan. The hypothesis of this research was there was a positive correlation between sense of humor and adjustment of seminarians at dormitory of Seminary of Saint Petrus Canisius Mertoyudan. The underlying assumption was “if seminarians have high sense of humor, then their adjustment at dormitory will be high”.

The subject of this research was the First Preparation Class seminarians of Seminary of Saint Petrus Canisius Mertoyudan. They were 49 seminarians of the age of 15-17 years old. This research applied a scale for sense of humor measure consisted of 56 valid items with reliability score 0,9418, and scale for adjustment of seminarians at dormitory measure consisted of 54 valid items with reliability score 0,9220.

Data analysis of the research was found that the correlation coefficient was 0,429 that was significant at the 0,01 level, and the determinant coefficient was 0,184. It means that the hypothesis was accepted. The result of this research shows that there’s a positive correlation between sense of humor and adjustment of seminarians at dormitory of Seminary of Saint Petrus Canisius Mertoyudan. The result also shows that sense of humor plays a role 18,4% in determining adjustment of seminarians at dormitory.

(8)

Puji dan syukur atas berkat Allah Yang Maha Kasih sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi berjudul Hubungan Antara Sense of Humor dan Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama Seminari Santo Petrus Canisius

Mertoyudan. Tugas tersebut merupakan tugas akhir di Fakultas Psikologi.

Keberhasilan ini dapat tercapai berkat bantuan dari berbagai pihak yang dengan

kesungguhan hati telah mengorbankan sebagian waktu dan tenaganya. Oleh

karena itu pada kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih yang

sedalam-dalamnya kepada:

1. P. Eddy Suhartono, S. Psi., M. Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi yang

telah berkenan memberikan surat ijin penelitian kepada peneliti.

2. Agnes Indar Etikawati, Psi. M. Si. selaku dosen pembimbing penyusunan

skripsi yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan,

memberi masukan guna kelancaran penulisan skripsi ini.

3. A. Tanti Arini, M. Si. selaku dosen pembimbing akademik atas semangat

dan dorongan pada penulis selama masa studi dan penulisan skripsi,

terutama saat penulis kehilangan semangat.

4. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah

membagikan ilmu selama masa studi, sebagai bekal agar penulis kelak dapat

melangkah lebih jauh.

5. Romo Ant. Gustawan, SJ. selaku Rektor Seminari Menengah Mertoyudan

yang telah memberikan ijin penelitian kepada penulis untuk mengambil data

di seminari

(9)

7. Seminaris Medan Pratama angkatan 2006/2007 yang telah bersedia

meluangkan waktu untuk menjadi responden dalam penelitian ini, juga atas

ramah tamah dan keterbukaan pada peneliti.

8. Suster Haryanti, CB. dan Suster Godelieve, CB. yang selalu menyapa dan

menerima dengan terbuka terutama saat penelitian berlangsung.

9. Orang tuaku, Papa Clemens Kristiadi dan Mama Naniek Hariani, yang

memberikan separuh nafasnya untukku, menuangkan kasih dan dukungan

material maupun spiritual selama ini.

10. Keempatbodyguard-ku, Mas Antok, Mas Yoyok, Mas Hari dan Dek Bowo yang selalu mendukung dan memberikan semangat, serta banyak membantu

ketika komputer atauprinterbermasalah.

11. Mas Iyo “Chubby-ku” atas kesetiaan mendukungku dari jauh, menyalakan

semangatku, dan membukakan mataku pada hal-hal baru.

12.My 2nd family CLC-IFO, Bu Magda dan Pak Gun atas doa yang setia mengalir untukku. Ayu dan Adven teman seperjuangan skripsi, “aku nyusul

kalian..” Anna “Emmaus-ku” yang selalu menguatkan di saat beban

merayap di jalan hidup. Sepri yang tidak pernah menolak untuk

mengantarku kemanapun selama penyusunan skripsi. Sanggo, Ika dan Putri,

always cheer up my life, dan Romo Bismoko, Pr. atas bantuan pinjaman buku-buku referensi dan laporan TOP-nya, “you are the best brother in my

(10)

13. Romo Agung, SJ yang telah meluangkan waktu untuk berdiskusi membahas

skripsi ini, Frater Didik atas bantuan kroscek item, Suster Irene, FCJ yang

memberi teladan untuk menebar senyum. Suster Okta, CB. yang sudah

mendukung dengan doa. Mbak Nita dan Mas Darto atas hari-hari yang

penuh warna diCampus Ministryterutama selama penulisan skripsi.

14. Mas Muji yang selalu membantu dengan senyum saat praktikum, Mas Doni

yang telah “merelakan” ruang baca menjadi tempat diskusi, Mas Gandung,

Mbak Nanik, dan pak Gi yang dengan tulus melayani kami.

15.The last ’99 soldiers, Rani, Ana, Della, Ika, Vincent “Bemo”, Deny, Meli, Yuyun, Tesa, Asti, Galih, Toni, Marmili, Lina, Obeth dan semua teman

angkatan ’99 atas persahabatan dan kerjasama yang kompak dalam

menyelesaikan PR terakhir ini.

16. Mas Ian ’97 atas masukan dalam penyusunan skripsi, Gina ’98 atas

informasi try out terpakai. Sahabat-sahabat di angkatan 2000, Puti, Indah “Kampret”, Trini, Ama dan Dita untuk keceriaan dan bantuannya selama

masa studi dan penyusunan skripsi, dan Anton ’00 yang turut menjadi

inspirasi untukku berani melangkah.

17. Pendukung setiaku, Mimi yang telah mengenalkanku pada seminari, Agung

‘Igu’ yang merelakan jam kerjanya untuk menemaniku ke seminari, Dessy

‘Ndut’ teman berproses dalam tawa yang telah banyak membantu persiapan

ujian skripsi.

(11)

telah menyemangati penulis dalam studi dan rajin bertanya, “gimana skripsinya?”dan meyakinkan bahwa “aku bisa”.

19. Stufidds: Sari, Uli, Fitri, Domi, Debora, Seto yang telah mengenalkanku

pada arti persahabatan sejak SMA.

20. Oriz, Daffi, Teti dan Lote, malaikat-malaikat mungil di sekelilingku yang

selalu menghibur terutama saat skripsi ini terasa sulit untuk dikerjakan.

(12)
(13)

HALAMAN JUDUL………i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……….ii

HALAMAN PENGESAHAN………iii

HALAMAN MOTTO……….iv

HALAMAN PERSEMBAHAN………..v

ABSTRAK………..vi

ABSTRACT………...vii

KATA PENGANTAR………..viii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………xii

DAFTAR ISI………...xiii

DAFTAR TABEL………...xviii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang………...……….….1

B. Rumusan Masalah………...…7

C. Tujuan Penelitian……….7

D. Manfaat Penelitian………...7

BAB II: LANDASAN TEORI A. Remaja 1. Pengertian Remaja………...…9

2. Karakteristik Remaja………11

B. Seminaris di Asrama Seminari Menengah Mertoyudan 1. Pengertian Seminaris……….………...…….13

(14)

a. Tujuan Pembinaan di Seminari Menengah Mertoyudan……….…17

b. Fokus Pembinaan Kelas Persiapan Pertama………....18

c. Asrama Seminari Menengah Mertoyudan………...…21

C. Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian Diri………...25

2. Karakteristik Penyesuaian Diri yang Baik………27

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri………...35

4. Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama Seminari Menengah Mertoyudan………...….…40

D. Sense of Humor 1. Pengertian Humor……….42

2. Jenis Humor………..45

3. Manfaat Humor……….46

4. PengertianSense of Humor………...49

5. DimensiSense of Humor………...51

E. Hubungan AntaraSense of Humordan Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama Seminari Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan……….52

F. Hipotesis Penelitian………..…..56

G. Skema Hubungan AntaraSense of Humordan Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama Seminari Menengah

(15)

A. Jenis Penelitian………..……….58

B. Variabel Penelitian………….………58

C. Definisi Operasional 1. Sense of Humor………...………..59

2. Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama……….…………60

D. Subjek Penelitian………....…....62

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data 1. SkalaSense of Humor………...…63

2. Skala Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama………...…65

F. Uji Kelayakan Alat Ukur 1. Validitas Alat Ukur………..….67

2. Seleksi Item ……….………….…68

3. Reliabilitas Alat Ukur…………..………...68

G. Analisis Data………...69

BAB IV: LAPORAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Orientasi Kancah………70

B. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian………....72

C. Hasil Seleksi Item dan Uji Reliabilitas Skala……….…73

D. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Data………..77

2. Uji Asumsi

(16)

3. Uji Hipotesis..………..……….81

E. Pembahasan………...…….82

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan………...….90

B. Saran………...…90

DAFTAR PUSTAKA………...92

LAMPIRAN I: Acara Seminari……….96

LAMPIRAN II: Skala Penelitian………...99

LAMPIRAN III: Data Penelitian A. SkalaSense of Humor………...100

B. Skala Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama………...112

LAMPIRAN IV: Hasil Uji Reliabilitas Alat Ukur A. Reliabilitas Skala Uji CobaSense of Humor………126

B. Reliabilitas SkalaSense of Humor………....128

C. Reliabilitas Skala Uji Coba Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama..………130

D. Reliabilitas Skala Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama…...………132

(17)

B. Uji Linearitas………135

C. Uji Korelasi………….………..137

LAMPIRAN VI: Surat Keterangan Penelitian………...………..138

(18)

Tabel 1:Blue PrintSkalaSense of Humor………...64

Tabel 2: Distribusi Item SkalaSense of Humor………...65

Tabel 3:Blue PrintSkala Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama……...66

Tabel 4: Distribusi Item Skala Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama…...67

Tabel 5: Hasil Seleksi Item SkalaSense of Humor………...75

Tabel 6: Hasil Seleksi Item Skala Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama…...76

Tabel 7: Deskripsi Data Penelitian………...78

Tabel 8: Hasil Uji Normalitas………...80

(19)

A. Latar Belakang

Remaja adalah individu yang sedang berada dalam masa peralihan antara

masa kanak-kanak ke masa dewasa. Selama masa peralihan ini remaja

mengalami berbagai perubahan, mulai dari perubahan fisik, emosi, sosial,

kognitif, moral, minat, kepribadian, dan seksualitas. Menurut Winkel (1991),

peralihan dari masa kanak-kanak yang penuh ketergantungan ke masa remaja

yang bebas dan merdeka ini dapat berakibat remaja mulai mengalami

gejala-gejala seperti sering melamun, mudah tersinggung, mudah gelisah, sering

berontak terhadap orang tua dan kurang percaya diri. Itulah sebabnya masa

remaja disebut sebagai periode “badai dan tekanan” (Hurlock, 1990).

Remaja dituntut untuk mengubah pola perilaku dan sikap dari masa

kanak-kanak dan menyesuaikannya dengan nilai-nilai dan harapan sosial baru.

Mereka harus belajar melihat dari sudut pandang orang lain, belajar

mengingkari kesenangan diri sendiri, menangguhkan hal-hal yang

menyenangkan dan mendahulukan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab

(Gunarsa dalam Pralina, 2004). Ini merupakan tugas perkembangan bagi

remaja yang tidak mudah. Mereka harus menyesuaikan diri dengan

tuntutan-tuntutan dari lingkungan seiring perubahan yang terjadi di dalam diri mereka.

Menurut Blos (dalam Calhoun dan Acocella, 1990) perkembangan masa

remaja pada hakekatnya adalah usaha penyesuaian diri, yaitu usaha aktif

(20)

mengatasi tekanan dan mencari jalan keluar dari berbagai masalah.

Kematangan menjadi penting dalam penyesuaian diri. Remaja yang lebih

matang akan lebih mampu mengatasi tekanan dan mencari jalan keluar dari

berbagai masalah. Remaja yang kurang matang akan mengalami kesulitan.

Kesulitan yang dihadapi ini dapat membuat lingkungan berpandangan bahwa

individu tersebut tidak mampu menjalankan peran dewasa dengan baik. Hal

ini akan menimbulkan rasa rendah diri pada diri remaja (Hurlock, 1990) yang

akhirnya menjadi pertanda buruk yang menyebabkan remaja mengalami

kesulitan dalam penyesuaian diri. Remaja yang mengalami kesulitan dalam

penyesuaian diri terhadap lingkungan atau orang lain menunjukkan ciri-ciri;

suka menonjolkan diri, menipu, suka bermusuhan, egois, merendahkan orang

lain, berprasangka buruk, dan sebagainya (dalamdarulnuman.com, 1991). Penyesuaian diri mutlak diperlukan oleh siapapun terutama mereka yang

masuk dalam lingkungan baru. Dalam kehidupan remaja, seiring perubahan

yang mereka alami, mereka juga mengalami peralihan ke jenjang pendidikan

yang lebih tinggi yaitu sekolah menengah.

Sekolah sebagai tempat pembinaan bagi siswa tentu memiliki tujuan

yang mengarahkan seluruh dinamika yang berjalan di dalamnya. Ada

sekolah-sekolah yang didirikan dengan tujuan tertentu, salah satunya adalah Seminari

Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan. Sekolah yang setingkat SMA

ini didirikan sebagai lembaga pembinaan bagi para remaja yang merasa

(21)

Pendampingan bagi para siswa diatur sedemikian rupa agar mereka

merasa terbantu untuk mengembangkan pribadi dan panggilannya secara

bertahap dan seimbang, baik dalam sanctitas (kesucian), sanitas (kesehatan) dan scientia (pengetahuan) (Mahamboro, 2002). Aktifitas-aktifitas yang termasuk dalam bidang sanctitas adalah perayaan liturgis-sakramental (rekonsiliasi, ekaristi, dll.), bacaan rohani, Kelompok Kitab Suci (KKS), doa

sadhana, bimbingan rohani, dan sebagainya. Dalam bidang sanitas,

diantaranya olah raga dan pembinaan kepribadian. Dalam bidang scientia,

diantaranya studi, kelompok ilmiah, sidang akademi (latihanpublic speaking), dan hari ilmiah. Di sinilah letak kekhasan Seminari sebagai tempat pendidikan

para calon imam. Pendampingan yang diberikan tidak hanya dari segi

intelektual tetapi juga turut mengolah sisi rohani lebih dalam agar seminaris

dapat berproses dalam rangka menanggapi panggilan imamat yang mereka

miliki. Siswa yang belajar di sebuah Seminari disebut seminaris. Seminaris

dibina selama empat tahun di Seminari Menengah. Dalam penelitian ini yang

menjadi subjek penelitian adalah seminaris yang duduk di tahun pertama

pembinaan, yaitu seminaris Kelas Persiapan Pertama (KPP).

Sebagai remaja lulusan Sekolah Menengah Pertama, tidak mudah bagi

seminaris KPP untuk menyesuaikan diri dengan dinamika hidup yang jauh

berbeda, yang bercorak khas calon imam. Menurut Hurlock (1955),

penyesuaian diri terhadap lingkungan baru pada remaja secara khusus terasa

sulit karena dua alasan berikut: (1) remaja diharapkan menyesuaikan diri

(22)

telah terbentuk dengan baik pada diri remaja dari penyesuaian diri terhadap

lingkungan kanak-kanak membiasakan untuk berpikir dan berperilaku

kekanak-kanakan.

Salah satu lingkungan pembinaan di Seminari adalah asrama. Di asrama

mereka harus menyesuaikan diri terhadap beberapa hal berikut: (1) lingkungan

fisik. Mereka perlu mengenal lingkungan fisik Seminari agar perasaan betah

dapat tumbuh sehingga proses pembinaan dapat berjalan baik; (2)

pribadi-pribadi yang ada di lingkungan Seminari, yaitu teman-teman baru, guru baru,

pamong asrama, para pastor, frater atau suster pembina. Mereka datang dari

latar belakang yang berbeda-beda dengan sifat dan kebiasaan yang berbeda

pula; (3) pola hidup atau rutinitas harian. Semua itu tentu berbeda dengan pola

hidup yang sebelumnya mereka jalani di rumah dan di sekolah lama.

Keadaan terpisah dari keluarga, terutama ibu juga menjadi sumber

tekanan bagi seminaris. Bila sebelum masuk Seminari berbagai tugas rumah

tangga seperti mencuci, menyetrika dan membersihkan ruangan dilakukan

oleh ibu atau pembantu, di asrama Seminari semua harus dikerjakan sendiri.

Sulit meninggalkan kebiasaan lama dalam bersikap dan berperilaku untuk

kemudian membentuk kebiasaan baru dalam sikap dan pola perilaku baru

yang sesuai dengan keadaan di Seminari. Hal ini mengakibatkan tekanan

emosional yang seringkali muncul dalam bentuk gejala gangguan fisik seperti

sakit perut, sakit kepala, dan gangguan pencernaan.

Berbagai tekanan yang dialami mendorong individu untuk menggunakan

(23)

tersebut. Tetapi bagi mereka yang dapat menyesuaikan diri dengan baik,

tekanan yang dihadapi diatasi dengan mencari sumber permasalahannya untuk

dicari penyelesaiannya. Mekanisme penanggulangan adalah perilaku dan

pikiran yang merupakan perlakuan secara langsung terhadap penyebab

ketegangan (Haber dan Runyon, 1984).

Salah satu mekanisme penanggulangan itu adalah humor. Wolfenstein

(dalam Suprana, 1993) memandang peranan humor dalam proses tumbuh

kembang manusia dari masa bayi sampai mati sebagai elemen penyesuaian

diri terhadap gerak perubahan lingkungan hidupnya. Hal ini berarti humor

memiliki peranan penting yang membantu individu mengatasi ketegangan

yang muncul selama masa penyesuaian diri.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Burgoyne, Cole, dan Hickman

(2003) membuktikan bahwa ada hubungan positif yang substansial antara

kemampuan coping dengan menggunakan humor dan penyesuaian pribadi-emosional pada mahasiswa angkatan baru di Southwestern Evangelical

Christian University. Penelitian tersebut menggambarkan bahwa tekanan,

kecemasan, dan ketidakpastian tidak dapat terelakkan dalam kehidupan di

perguruan tinggi. Penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan humor

adalah penting untuk mengatasi stres dan kecemasan yang berkaitan dengan

“kekakuan” dalam kehidupan di perguruan tinggi serta untuk mendorong

kemajuan dalam usaha akademis.

Penelitian yang senada dilakukan oleh Yee Kooi Lam dan Abdul Halim

(24)

penelitian ini dibuktikan bahwa humor memiliki efek yang dapat mengurangi

tekanan yang dirasakan dalam hidup dan kemurungan pada siswa baik

laki-laki maupun perempuan. Hasil analisis lebih lanjut dari penelitian tersebut

menunjukkan bahwa individu yang memiliki sense of humor yang tinggi memiliki tingkat depresi yang lebih ringan dibandingkan mereka yang

memiliki tingkatsense of humorrendah pada tingkat stres yang sama.

Keadaan yang dialami seminaris selama proses pembinaan di Seminari

tak jauh berbeda dengan kehidupan di perguruan tinggi seperti dalam

penelitian di atas. Tekanan, kecemasan dan ketidakpastian seringkali muncul.

Dengan memiliki kepekaan terhadap humor akan memudahkan mereka dalam

memandang pemasalahan dan mencari jalan keluarnya. Dengan sense of humor, seminaris dapat merasakan, mengamati, mengungkapkan kelucuan dan tertawa dalam situasi yang tidak menyenangkan. Humor juga menjadi

“pelumas” dalam pergaulan karena mengurangi ketegangan antar pribadi,

stres, dan membantu menumbuhkan perasaan positif dan mengajarkan

individu menjaga perspektif terhadap peristiwa-peristiwa yang menantang

dalam hidup (Sultanoff, 1999). Dengan demikian mereka yang memilikisense of humor yang tinggi akan lebih mudah mengembangkan kemampuan mengatasi masalah selama penyesuaian diri.

Dari uraian di atas, tampak bahwa proses penyesuaian diri merupakan

tantangan bagi seminaris KPP selama pembinaan di Seminari. Banyak faktor

yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri seminaris di asrama Seminari,

(25)

meneliti lebih jauh peranan humor dalam kehidupan seminaris terutama dalam

proses penyesuaian dirinya di asrama.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah

dalam penelitian ini, yaitu:

Apakah ada hubungan yang signifikan antara sense of humor dan penyesuaian diri seminaris di asrama Seminari Menengah Santo Petrus

Canisius Mertoyudan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui adanya hubungan yang

signifikan antara sense of humor dan penyesuaian diri seminaris di asrama Seminari Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi bidang ilmu psikologi,

terutama psikologi sosial dan psikologi kepribadian berkenaan dengan

(26)

2. Manfaat praktis

a. Bagi seminaris:

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi seminaris

berkaitan dengan penyesuaian diri terhadap pembinaan selama

menjalani pendidikan di tahun pertama sekolah.

b. Bagi formator di Seminari:

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi para formator

di Seminari terutama tentang hubungan antara sense of humor dan penyesuaian diri seminaris di asrama Seminari selama menjalani

pendidikan di tahun pertama sekolah.

c. Bagi pembaca umum:

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada pembaca

tentang hubungan antara sense of humor dan penyesuaian diri seminaris di asrama Seminari selama menjalani pendidikan di tahun

(27)

A. Remaja

1. Pengertian Remaja

Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata Latin adolescere

yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Kedewasaan ini

tidak hanya berarti kematangan fisik tetapi terutama kematangan

sosial-psikologis.

Menurut Alexander A. Schneiders (1951), pengertian remaja

mengacu pada periode dalam kehidupan dimana individu di satu sisi

“terikat” oleh masa kanak-kanak dan di sisi lain oleh kedewasaan atau

kematangan. Oleh karena itu masa remaja disebut sebagai masa transisi,

suatu masa ketika individu bukan lagi anak-anak, tetapi belum dewasa. Masa

remaja juga disebut sebagai periode perkembangan yang berlangsung terus

menerus yang ditandai oleh perubahan dan pertumbuhan dalam segala aspek

kepribadian. Menurut Schneiders (1960) perubahan status menuju

kedewasaan berarti kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab. Hal-hal

tersebut menyebabkan munculnya kekhawatiran tambahan dalam kehidupan

remaja.

Dadang Sulaeman (1995) memandang masa remaja sebagai suatu

masa dimana individu dalam proses pertumbuhannya, terutama fisik, telah

mencapai kematangan. Pada masa ini remaja memiliki kesempatan yang

(28)

sebesar-besarnya dan sebaik-baiknya untuk mengalami hal-hal yang baru

serta menemukan sumber-sumber baru dari kekuatan-kekuatan, bakat-bakat

serta kemampuan yang ada dalam dirinya.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO (World Health Organization) (dalam Sarwono, 2005) terdapat tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Menurut WHO, remaja adalah suatu masa

ketika: (1) individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan

tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan

seksual; (2) individu mengalami perkembangan psikologis dan pola

identifikasi dari kanak-kanak ke dewasa; (3) terjadi peralihan dari

ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif

lebih mandiri.

Ditinjau dari berbagai permasalahan yang dihadapi seputar

kehidupan remaja, para ahli menyimpulkan batasan usia pada remaja. Di

Indonesia sendiri batasan usia remaja berada pada rentang usia 11 hingga 24

tahun dan belum menikah (Sarwono, 2005), sedangkan menurut Gunarsa

dan Gunarsa (1981), remaja adalah individu yang berusia antara 12 sampai

22 tahun.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa remaja adalah

individu berusia antara 11 sampai 22 tahun yang berada pada suatu masa

transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimana individu mengalami

berbagai perubahan dalam segala aspek kepribadian, termasuk peralihan

(29)

mengakibatkan munculnya kekhawatiran pada diri remaja. Pada masa ini

remaja berkesempatan untuk menemukan sumber-sumber kekuatan dan

mengembangkan bakat serta kemampuannya.

2. Karakteristik Remaja

Selama masa transisi, remaja menunjukkan karakteristik yang

tampak dari perkembangannya dalam berbagai aspek. Karakteristik tersebut

dipaparkan oleh Herdiansiska dan Wardhani (2000) sebagai berikut:

a. Perkembangan kepribadian (konsep diri)

Konsep diri merupakan semua perasaan dan pemikiran seseorang

mengenai dirinya sendiri, meliputi kemampuan, karakter diri, sikap,trait

dan tujuan hidup, kebutuhan dan penampilan diri. Gambaran pribadi

remaja terhadap dirinya meliputi:

(1) Penilaian pribadi.

Berisi pandangan dirinya terhadap pengendalian keinginan dan

dorongan-dorongan dalam diri; suasana hati yang sedang dialami

yang akan mempengaruhi konsep dirinya yang positif atau negatif;

bayangan subjektif terhadap kondisi tubuhnya.

(2) Penilaian sosial.

Berisi evaluasi terhadap bagaimana remaja menerima penilaian

lingkungan sosial terhadap dirinya. Penilaian positif lingkungan

(30)

Konsep diri merupakan bagian penting dari kepribadian. Remaja

yang mempunyai konsep diri yang positif lebih berpeluang menampilkan

tingkah laku yang produktif. Pandangan lingkungan terhadap remaja

akan mempengaruhi penerimaan terhadap dirinya sendiri. Dengan

demikian remaja yang memiliki konsep diri yang positif juga akan lebih

mudah melakukan penyesuaian diri.

b. Perkembangan identitas diri

Remaja mencari jati dirinya dengan mempertanyakan siapa

dirinya dan yang juga penting adalah menemukan dalam konteks

kelompok mana ia bisa tampil dan menjadi sesuatu. Remaja akan tertarik

melakukan berbagai aktivitas dan hal-hal baru. Dari kegiatan yang

dilakukan, remaja menemukan kelebihan atau bakat-bakat yang ada

dalam dirinya.

c. Perkembangan sosial

Remaja memiliki keinginan untuk mandiri. Hal ini ditunjukkan

dengan mulai melepaskan diri dari orang tua dan menjadikan kelompok

sebaya(peer-group)sebagai panutan dalam berperilaku. Penerimaan dari kelompok sebaya merupakan sesuatu yang sangat penting bagi remaja,

sehingga penyesuaian diri dengan kelompok, misalnya penyesuaian

dalam selera berpakaian, cara berbicara dan berperilaku sosial lainnya

menjadi penting. Meskipun memiliki keinginan untuk mandiri namun

mereka tetap bergantung pada orang tua dalam beberapa hal, seperti

(31)

d. Perkembangan emosi

Remaja mengalami emosi yang mudah bergejolak, mudah

tersinggung dan merasa kurang percaya diri. Berbagai penyesuaian yang

harus dilakukan dalam kehidupan sosial sangat mempengaruhi kondisi

emosi remaja. Remaja dikatakan mampu memberikan respon positif

terhadap frustasinya bila mampu merumuskan tujuan dan aspirasi yang

cenderung tidak realistis. Kemampuan mengekspresikan perasaan adalah

penting.

e. Perkembangan kognitif

Sesuai tahap perkembangan kognitif Piaget, remaja berada pada

tahap Operasional Formal. Remaja cenderung kritis dalam

mempertanyakan sesuatu. Rasa ingin tahunya sangat kuat sehingga

merasa butuh untuk melakukan eksplorasi terhadap hal-hal di sekitarnya.

Dalam menghadapi masalah mereka dituntut untuk mampu

mempertimbangkan segala kemungkinan dalam menyelesaikan masalah

dan memandang masalah dari berbagai sudut pandang. Mereka juga

dituntut untuk bertanggung jawab terhadap masalah yang dihadapi.

B. Seminaris di Asrama Seminari Menengah Mertoyudan 1. Pengertian Seminaris

Seminaris adalah remaja yang sedang menjalani pendidikan calon

imam di Seminari. Dalam buku Pedoman Pembinaan Calon Imam di

(32)

adalah remaja yang datang dari lingkungan yang beraneka ragam dan

bercita-cita menjadi imam sesuai dengan persepsinya.

Dalam buku pedoman tersebut dijelaskan lebih lanjut bahwa

seminaris adalah remaja lulusan Sekolah Menengah Pertama dengan usia

rata-rata 15 sampai 17 tahun. Sebagai remaja mereka berada dalam proses

menuju kematangan fisik dan seksual dengan segala konsekuensi sosial dan

psikologisnya. Bila proses ini berjalan dengan baik tanpa ada masalah yang

berarti, mungkin remaja yang bersangkutan tidak akan mengalami banyak

kesulitan dalam perkembangannya.

2. Karakteristik Seminaris

Seminaris mengalami perkembangan sebagaimana remaja lainnya.

Menurut Driyanto (2001), secara sosial teman sebaya memiliki pengaruh

yang besar dalam menentukan pedoman atau pola dalam berperilaku dan

bersikap. Pengaruh teman sebaya dirasakan lebih besar dari pada pengaruh

orang tua. Apalagi bila sebagai remaja individu tidak memiliki orang dewasa

yang dapat dipercaya dan dapat menerima apa adanya.

Secara psikologis mereka berada dalam proses pencarian jati diri

sehingga cenderung untuk mempertanyakan nilai-nilai, aturan-aturan dan

otoritas lingkungannya sebelum dapat menerimanya dengan mantap. Sikap

mempertanyakan berbagai hal ini hendaknya dilihat sebagai sesuatu yang

(33)

Lingkungan tempat seminaris dibesarkan perlu mendapat perhatian

dalam usaha memahami para seminaris karena lingkungan tersebut

mempengaruhi perkembangan seminaris sebagai individu (Hadisiswoyo,

dkk., 2004). Lingkungan akan mengikuti perubahan. Perubahan yang dapat

turut mempengaruhi pertumbuhan kepribadian seminaris diantaranya

sebagai berikut:

a. Perkembangan teknologi informasi yang pesat telah memungkinkan

terjadinya pemaparan lebih banyak informasi yang mempromosikan

sikap konsumtif dan hedonistik. Oleh karena itu adalah wajar bila

kecenderungan ini juga terlihat pada diri dan kehidupan para remaja.

b. Perkembangan ekonomi yang pesat telah memperbanyak pilihan yang

ditawarkan kepada masyarakat, termasuk remaja. Dalam situasi yang

demikian, ada kecenderungan untuk takut membuat komitmen jangka

panjang karena hal ini berarti dapat menghilangkan kesempatan mencoba

pilihan lain yang kelihatan menarik juga.

c. Semakin banyak keluarga yang di dalamnya suami dan istri sama-sama

bekerja. Hal ini mengakibatkan waktu yang diberikan orang tua untuk

mendidik anak-anak semakin sedikit. Namun demikian, pengamatan di

lapangan menunjukkan bahwa kekurangan waktu ini dapat diimbangi

dengan kualitas relasi antara orang tua dengan anak.

Dalam buku Pedoman Pembinaan Calon Imam di Indonesia Bagian

(34)

diterima menjalani pembinaan di Seminari Menengah harus memiliki

karakteristik sebagai berikut:

a. Memiliki kemampuan untuk mengikuti pelajaran tingkat Sekolah

Menengah Atas.

b. Perkembangan psikologis, emosi dan sosial relatif sehat yang dapat

dilihat dari indikator berikut:

(1) Tidak memiliki rasa rendah diri atau percaya diri yang berlebihan.

(2) Mempunyai kegiatan lain di luar hal-hal yang berlangsung terkait

dengan tugas sekolah.

(3) Memiliki beberapa teman dekat yang kepadanya ia dapat

mengung-kapkan isi hati secara terbuka.

(4) Memiliki relasi yang baik dengan orang tua atau orang dewasa lain

yang dekat dengannya.

(5) Dapat mengatur waktu dan prioritas dalam menjalankan tugas

sehari-hari. Dalam hal ini pendapat guru yang mengenal calon dapat

merupakan masukan yang berharga.

(6) Sebagai seorang calon imam yang fungsi utamanya adalah melayani

umat yang sangat beragam, beberapa indikator yang dapat

membantu adalah:

(a) Dapat berteman dengan siapapun tanpa membedakan agama,

suku bangsa, ras, status ekonomi, status sosial, kepandaian atau

(35)

(b) Memperhatikan kebutuhan orang lain, suka membantu, dan rela

mengalah untuk hal-hal yang lebih penting.

(c) Bersedia mengerjakan tugas apa saja, baik yang bergengsi

maupun yang sederhana.

(d) Sebagai seorang calon imam yang baginya Allah merupakan

sumber kekuatan dalam melaksanakan tugas-tugasnya,

beberapa indikator yang dapat membantu yaitu:

(i) Memiliki relasi yang personal dan komunal dengan Allah.

(ii) Memiliki kebiasaan berdoa yang relatif teratur.

(iii) Walaupun secara umum sebagai seorang remaja pernah

mengabaikan perayaan ekaristi mingguan, ia tidak pernah

mengabaikan hal tersebut dalam jangka waktu yang lama.

(iv) Tidak menutup diri terhadap kegiatan atau hal-hal yang

bersifat spiritual.

3. Pembinaan di Seminari Menengah Mertoyudan

a. Tujuan pembinaan di Seminari Menengah Mertoyudan

Dalam Pedoman Dasar Seminari Menengah Santo Petrus

Canisius Mertoyudan (2004) ditegaskan bahwa posisi Seminari

Menengah sebagai tempat pendidikan calon imam dan tempat

membangun gereja setempat. Di atas posisi tersebut, tujuan pembinaan

di Seminari Menengah Mertoyudan ditetapkan sebagai berikut

(36)

(1) Mendampingi seminaris dalam mengolah hidup rohani, panggilan,

kegerejaan, dan kemasyarakatan, agar mampu mengambil

keputusan sesuai dengan panggilan hidupnya.

(2) Mendampingi seminaris untuk mengembangkan diri menjadi

pribadi yang sehat secara fisik maupun psikis, dewasa secara

manusiawi maupun kristiani, sehingga seminaris memiliki

kesiapsiagaan menghadapi panggilan Tuhan.

(3) Melaksanakan kegiatan pendidikan dan pembelajaran secara efektif

dan efisien agar kompetensi seminaris berkembang secara optimal

sehingga seminaris memiliki bekal yang memadai untuk

melanjutkan ke jenjang pendidikan imamat berikutnya.

b. Fokus Pembinaan Kelas Persiapan Pertama

Dalam proses pembinaan terhadap masing-masing kelas, ada

beberapa hal pokok yang menjadi fokus di dalamnya sehingga tujuan

pembinaan dapat tercapai secara tepat. Demikian juga dalam pembinaan

bagi seminaris Kelas Persiapan Pertama atau Medan Pratama. Fokus

Pembinaan di Medan Pratama adalah (Hadisiswoyo, dkk., 2004):

(1) Seminaris krasan atau betah dengan tempat baru, teman baru, dan

suasana baru, serta merasakan kebahagiaan sebagai orang yang

terpanggil.

(2) Seminaris memiliki dasar hidup yang suci, sehat, dan tekun dalam

(37)

menghayati tradisi hidup rohani, liturgi, devosi, mengembangkan

hidup sehat dan diperkenalkan dengan cara belajar efektif efisien

dalam rangka menumbuhkan budaya belajar.

(3) Seminaris memiliki dasar pengolahan kepribadian dan sosialitas,

untuk itu mereka dibimbing untuk mulai mengolah seksualitas,

mengenal tata nilai dan membina keterbukaan, mengatur hubungan

dengan keluarga, belajar hidup bersama, dan memiliki mekanisme

hidup berkelompok.

(4) Seminaris masuk dalam proses remediasi, yaitu memperdalam dan

meningkatkan pengetahuan yang telah diterima di Sekolah

Menengah Pertama sebagai persiapan ke tingkat berikutnya yaitu

SMA Seminari.

Pembinaan di Seminari Menengah Mertoyudan didasarkan pada

tiga aspek pembinaan yaitu sanctitas, sanitas dan scientia. Atas dasar ketiga aspek tersebut, kegiatan di Seminari disusun.

Dalam aspek sanctitas, seminaris didampingi agar berkembang dalam hidup rohani (Hadisiswoyo, dkk., 2004). Kegiatan dalam aspek

sanctitas dijabarkan dalam 3 hal pokok yaitu: (1) Pembinaan hidup rohani, di antaranya meliputi tradisi doa, kegiatan liturgis, dan kegiatan

bimbingan rohani dan pembinaan kepamongan, retret, rekoleksi, refleksi,

koreksi persaudaraan (fraterna correctio) dan sumbangan rohani. (2) Pembinaan hidup panggilan dimana seminaris dibimbing untuk lebih

(38)

tujuan ini pihak Seminari mengikut sertakan keterlibatan orang tua. (3)

Pembinaan hidup menggereja dan memasyarakat, di antaranya

mengembangkan semangat pelayanan dengan pelayanan Pendampingan

Iman Anak, menjalin kerjasama dengan pemeluk agama lain, serta

menumbuhkan jiwa kepemimpinan dan berorganisasi melalui tugas

kebidelan dan tugas lain dalam asrama atau sekolah (OSIS).

Dalam aspek sanitas, kegiatan ditujukan untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani seminaris. Kegiatan dijabarkan dalam 2

hal pokok, yaitu: (1) Pembinaan kesehatan badan melalui makanan

sehat, kegiatan olah raga, kerja tangan (opera) atau membersihkan rumah dan lingkungan, rekreasi dan liburan. (2) Pembinaan kedewasaan

manusiawi yang meliputi, bimbingan untuk mengenal dan menerima

diri, keluarga dan lingkungan yang membesarkannya melalui sejarah

hidup yang kemudian diolah bersama pembimbing rohani dan staf

kepamongan. Mengadakan basis karya, basis wilayah dan basis vertikal

untuk mengembangkan kemampuan berelasi secara sehat, keterbukaan,

kemampuan berdialog, solidaritas, kerjasama, rasa menghargai, dan

keterampilan menyelesaikan konflik. Penghayatan seksualitas dilakukan

dengan memberikan ceramah tentang seksualitas.

Dalam aspek scientia, seminaris dilatih memiliki kedisiplinan berpikir, tradisi membaca dan mengembangkan potensi. Kegiatan dalam

(39)

menyelenggarakan ceramah, seminar, diskusi dan sebagainya. (2)

Pengembangan keterampilan, di antaranya pelatihan jurnalistik, sidang

akademi(public speaking)untuk melatih kemampuan berbicara di depan umum secara logis, runtut dan tajam, pengembangan diri dalam bidang

seni dan terampil dalam menggunakan teknologi informasi. (3)

Pengembangan kemampuan berorganisasi, diantaranya melalui OSIS,

kepengurusan sidang akademi, Malam Kreativitas (MK), kebidelan, dan

sebagainya.

c. Asrama Seminari Menengah Mertoyudan

Salah satu lingkungan pembinaan yang berperan besar dalam

pengembangan diri seminaris secara utuh adalah lingkungan asrama.

Sistem pendidikan asrama dipilih karena asrama memuat sisi-sisi positif

yang membawa seminaris pada pengolahan dinamika hidup secara

menyeluruh (Hadisiswoyo, dkk., 2004). Sebagai lingkungan, asrama

mendukung dan melengkapi pengajaran di sekolah. Asrama bukan

sekedar tempat untuk tinggal seminaris, melainkan komunitas yang

menawarkan pelbagai pengalaman hidup bersama, yakni suasana yang

mendukung usaha meraih kematangan dan menyiapkan seminaris agar

mampu menanggapi panggilannya secara bertanggung jawab (Driyanto,

2001).

Salah satu ciri hidup selibat religius adalah hidup berkomunitas.

(40)

intensif, dan disesuaikan dengan usia seminaris. Dalam asrama perlu

dipupuk dan ditumbuhkembangkan hidup berkomunitas. Sikap-sikap

yang memungkinkan hidup berkomunitas antara lain: sikap terbuka,

penuh perhatian terhadap sesama, memiliki kepedulian sosial, murah hati

dalam membantu dan melayani sesama. Seminaris juga belajar untuk taat

pada hirarki Gereja. Di lain pihak perlu diwaspadai dan dihindarkan

sikap-sikap yang mengganggu hidup berkomunitas seperti egosentrisme,

eksklusivisme, mencari rasa aman (nesting), kecenderungan (trend)ikut mode anak muda yang tidak sesuai untuk calon imam (Hadisiswoyo

dkk., 2004). Dengan pengolahan sikap-sikap tersebut, seminaris menjadi

terbiasa untuk tidak hanya mementingkan kepentingannya sendiri karena

menyadari bahwa hidup asrama merupakan salah satu bentuk latihan

untuk menyiapkan diri guna memasuki persaudaran sakramental para

imam dalam keuskupan (Driyanto, 2001).

Dalam buku Pedoman Pembinaan Calon Imam di Indonesia

Bagian Seminari Menengah (Driyanto, 2001), lebih lanjut dijelaskan

bahwa dalam hidup bersama perlu diusahakan agar seminaris memiliki

keseimbangan antara hidup individual dan sosial. Pembinaan sikap sosial

perlu disaturagakan dengan pembinaan sikap-sikap pribadi seperti

kemandirian, tanggung jawab, percaya diri, dan berani mengambil

keputusan. Tegangan antara pembinaan sikap-sikap sosial dengan

pengembangan sikap-sikap pribadi merupakan tantangan bagi pembina

(41)

Hidup bersama dalam asrama membutuhkan suasana yang

mendukung pertumbuhan kepribadian dan perkembangan bakat

kepemimpinan. Dalam komunitas itulah seminaris membiasakan diri

untuk mengembangkan rasa sosial. Dengan demikian ia menyiapkan diri

untuk menjadi orang yang sanggup memperhatikan dan melayani

kepentingan sesama (Driyanto, 2001).

Salah satu ungkapan sikap sosial dan tanggung jawab ialah tata

tertib. Tata tertib tidak diadakan untuk membatasi kebebasan para

seminaris, tetapi untuk membantu mereka menciptakan suasana hidup

bersama yang baik (Driyanto, 2001). Suasana itu akan menunjang

perkembangan pribadi, pertumbuhan hidup rohani, dan pertumbuhan

panggilan. Oleh karena itu para seminaris hendaknya didorong, kalau

perlu dengan tegas, untuk menaati aturan-aturan. Namun perlu

diperhatikan latar belakang dan tingkat perkembangan seminaris, yang

dalam kenyataannya mempengaruhi penghayatan tata tertib. Hal ini

perlu mendapat perhatian agar dapat membantu seminaris menyesuaikan

diri dengan cara hidup di Seminari yang sering berbeda dengan cara

hidup keluarga.

Pada sisi lain kehidupan asrama juga diharapkan menempa

seminaris menjadi manusia yang mandiri dan bertanggung jawab

sehingga di kemudian hari, sebagai imam, ia mampu melayani umat

dengan penuh tanggung jawab. Dengan demikian bila ia kelak

(42)

keputusan sendiri, dan sedapat mungkin sanggup memecahkan

persoalannya. Sikap mandiri itu perlu disertai sikap terbuka, mau dan

mampu mendengarkan rekan-rekannya.

Pembinaan seminaris di lingkungan asrama dilaksanakan melalui

program-program yang dirancang dengan seksama dan memadukan

segala segi seperti kematangan afeksi dan emosi, hidup rohani dan doa,

sikap tidak pamrih dan kemandirian. Pembinaan secara pribadi

merupakan cara yang paling baik. Namun pembinaan melalui kelompok

kecil berguna juga, lebih-lebih untuk mengenal seminaris dalam

pergaulan dengan rekan-rekannya. Pembinaan pribadi mengajak

seminaris untuk mengenal kecakapan dan bakat-bakatnya, kemudian

mengembangkan serta mewujudkannya. Untuk itu sarana dan

kemudahan sebagai penunjang pembinaan di asrama harus memadai

tetapi tidak berlebihan (Driyanto, 2001).

Pendampingan dan pengaturan hidup bersama di asrama dibuat

sebijaksana mungkin, agar seminaris dapat mengolahsanctitas, sanitas,

dan scientia secara intensif dan optimal. Asrama dapat menjadi lingkungan yang meningkatkan intelektualitas karena di asrama dapat

terbentuk tradisi dan suasana yang mendukung. Acara-acara studi yang

jelas dan teratur membantu seminaris menemukan sikap belajar yang

tepat dan mengerjakan pekerjaan rumah yang mendukung usaha sekolah

(43)

C. Penyesuaian Diri

1. Pengertian Penyesuaian Diri

Dalam hidup selalu ada perubahan dan perubahan selalu menuntut

individu untuk dapat menyeimbangkan apa yang ada dalam dirinya dengan

tuntutan yang ada dalam perubahan tersebut. Upaya dan proses yang dilalui

individu untuk mencapai keseimbangan ini disebut penyesuaian diri.

Menurut Schneiders (1960), penyesuaian diri adalah kemampuan

aktivitas mental dan tingkah laku seseorang dalam menghadapi

tuntutan-tuntutan, baik dari dalam diri sendiri maupun lingkungannya. Dengan

demikian ketika individu dihadapkan pada perubahan ia tidak hanya

menerima perubahan itu secara pasif tetapi perlu berpikir dan mengambil

tindakan yang tepat untuk mengatasi perubahan-perubahan yang ada.

Penyesuaian diri tidak hanya melibatkan segi kognitif individu tetapi

juga motivasi dan emosi dalam mengikuti proses penyesuaian diri. Seperti

yang diungkapkan oleh Lazarus (1976) bahwa penyesuaian diri bukan

semata-mata aktivitas intelektual problem solving namun juga menemukan karakteristik perubahan yang terjadi sehingga dapat melakukan penyesuaian

yang tepat. Penyesuaian diri juga melibatkan kendali emosi yang kuat,

seperti marah, takut, cemas, dan malu. Lazarus memberi penekanan pada

pentingnya perjuangan individu untuk menghadapi lingkungan fisik dan

sosialnya.

Proses penyesuaian diri adalah proses yang rumit karena cara

(44)

dengan tuntutan yang lain. Konflik dapat muncul karena dua kebutuhan

internal yang sangat berbeda, atau kebutuhan internal yang berlawanan

dengan kebutuhan eksternal.

Individu dapat dikatakan baik penyesuaiannya apabila ia mampu

memecahkan konflik-konflik yang dihadapinya sehingga tidak

mempengaruhi kehidupannya (Hilgard, 1962). Konflik dapat diatasi tanpa

menimbulkan masalah baru. Menurut Page (dalam Pralina, 2004), bila

individu dapat melepaskan diri dari hambatan-hambatan ketidakenakan

sehingga didapatkan suatu keseimbangan pribadi maka dapat dikatakan

tujuan penyesuaian dirinya tercapai.

Menurut Gunarsa (1995), ada dua kelompok penyesuaian diri yaitu:

(1) Adaptif, yang dikenal dengan istilah adaptasi. Merupakan bentuk penyesuaian diri yang lebih bersifat badani. Artinya perubahan-perubahan

dalam proses badani untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan;

(2) Adjustif, yaitu suatu bentuk penyesuaian yang lain dimana tersangkut kehidupan psikis. Oleh karena berkaitan dengan kehidupan psikis dalam

penyesuaian yang adjustif ini maka dengan sendirinya penyesuaian ini

berhubungan dengan tingkah laku. Penyesuaian ini adalah penyesuaian

tingkah laku terhadap lingkungan dimana terdapat aturan-aturan atau

norma-norma.

Penyesuaian diri merupakan proses yang akan berlangsung terus

menerus sepanjang kehidupan karena situasi hidup akan terus berubah

(45)

Tohary (dalam Prihartanti, 1992) bahwa penyesuaian diri merupakan proses

dinamis terus-menerus yang bertujuan mengubah perilaku, untuk

mendapatkan hubungan yang lebih baik, serta keserasian dan keseimbangan

antara dirinya dengan lingkungan.

Menurut Walgito (1997), kemampuan berinteraksi yang baik dengan

lingkungan luar akan mempermudah individu dalam mengenali,

mengidentifikasi, mengerti, dan memahami setiap permasalahan yang dapat

digunakan dalam penyesuaian dirinya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian

diri adalah kemampuan aktivitas mental individu yang dilakukan secara

terus menerus baik secara fisik maupun psikis, untuk menyesuaikan dengan

lingkungan fisik, serta menyeimbangkan dirinya dengan tuntutan-tuntutan

baik dari diri sendiri maupun dari lingkungan fisik dan sosial tanpa

menimbulkan masalah baru.

2. Karakteristik Penyesuaian Diri yang Baik

Haber dan Runyon (1984) memaparkan karakteristik penyesuaian

diri yang baik yaitu:

a. Persepsi yang akurat terhadap realitas

Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik membuat

tujuan yang realistis yang dapat dicapai secara aktif. Terkadang

keterbatasan dan kesempatan dari lingkungan mengharuskan individu

(46)

memodifikasi tujuan adalah proses yang berlangsung terus menerus

sepanjang kehidupan. Salah satu aspek terpenting dari keakuratan

persepsi terhadap realitas adalah kemampuan mengenali konsekuensi

dari setiap tindakan dan dapat berperilaku secara tepat. Bila individu

dapat memandang dirinya secara apa adanya kemungkinan besar

penyesuaian dirinya berhasil sesuai dengan kenyataan dalam situasi.

b. Kemampuan mengatasi stres dan kecemasan

Menetapkan tujuan jangka panjang yang realistis membantu

individu menghadapi stres, frustasi dan kecemasan yang sering terjadi.

Proses yang mereka jalani untuk mencapai tujuan dijalani sesuai dengan

keadaan atau kemampuan diri.

c. Self-imageyang positif

Salah satu karakteristik penyesuaian diri yang baik adalah

memiliki pandangan yang positif terhadap diri sendiri namun tetap

menyadari kelemahan diri sendiri dengan baik seperti mengenali

kelebihan diri sendiri.

d. Kemampuan mengekspresikan perasaan

Individu yang dapat menyesuaikan diri dengan baik mampu

merasakan dan mengekspresikan berbagai perasaan dan emosi secara

realistis dan terkontrol. Individu dapat mengenali perasaan yang sedang

(47)

e. Hubungan interpersonal yang baik

Individu yang dapat menyesuaikan diri dengan baik dapat

mencapai level kedekatan yang tepat dalam relasi sosialnya, merasa

mampu dan nyaman dalam berinteraksi dengan orang lain. Kedekatan

individu dengan setiap orang dapat berbeda-beda tergantung jenis

hubungan antara mereka. Individu dapat menyadari bahwa hidup yang

dijalani tidak selalu berjalan lancar.

Menurut Lazarus (1961), individu yang berpenyesuaian diri baik

memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Merasa nyaman secara psikologis

Individu merasa nyaman secara psikologis. Artinya ia tidak

mengalami depresi, kecemasan kronis ataupun akut, pikiran-pikiran

bersalah yang obsesif, serta ketakutan akan penyakit dan kematian.

b. Dapat bekerja secara efisisen

Individu dapat berfungsi dengan baik, secara intelektual maupun

kemampuan. Dapat bekerja secara konsisten sesuai kemampuannya.

Dalam dunia pendidikan, siswa yang tidak dapat menyesuaikan diri

dengan baik dapat mengalami kesulitan belajar dan kegagalan di

sekolah, dan juga dalam relasi sosialnya.

c. Tidak mengalami ketegangan fisiologis

Individu tidak mengalami gangguan psikosomatis sebagai akibat

(48)

kehilangan nafsu makan, diare dalam jangka waktu cukup lama dan

gangguan pencernaan, serta sulit tidur.

d. Berperilaku yang dapat diterima secara sosial

Individu mendapat penerimaan sosial dari lingkungan karena ia

berperilaku sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku dalam

masyarakat.

Schneiders (1964) merumuskan karakteristik individu yang dapat

menyesuaikan diri dengan baik, yaitu:

a. Tidak memiliki emosi yang berlebihan

Individu memiliki kontrol emosi dan ketenangan sehingga dapat

menghadapi masalah secara cerdas dan dapat menentukan berbagai

solusi atas permasalahan yang dihadapi.

b. Tidak ada mekanisme pertahanan diri

Pendekatan langsung terhadap masalah lebih mengindikasikan

respon yang normal daripada penyelesaian masalah melalui mekanisme

pertahanan diri yang tidak disertai tindakan nyata untuk merubah

kondisi.

c. Tidak ada frustasi personal

Individu yang mengalami frustasi ditandai dengan perasaan tak

berdaya dan tanpa harapan, maka akan menjadi sulit untuk

mengorganisasi kemampuan berpikir, perasaan, motivasi dan tingkah

(49)

d. Memiliki pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri

Individu yang memiliki penyesuaian normal memiliki

kemampuan berpikir dan melakukan pertimbangan terhadap masalah

atau konflik, serta kemampuan mengorganisasi pikiran, tingkah laku dan

perasaan untuk memecahkan masalah dalam kondisi sulit sekalipun.

e. Kemampuan untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman masa lalu

Penyesuaian yang normal merupakan proses belajar

berkesinambungan yang dapat dilihat dari perkembangan individu

sebagai hasil dari kemampuannya mengatasi konflik dan stres. Di dalam

proses belajar individu dapat menggunakan pengalamannya maupun

pengalaman orang lain. Individu dapat menganalisa faktor-faktor yang

dapat membantu atau mengganggu penyesuaiannya.

f. Bersikap realistis dan objektif

Sikap realistis dan objektif bersumber dari belajar, pengalaman,

pemikiran yang rasional, kemampuan menilai situasi, masalah atau

keterbatasan individu sebagaimana kenyataan sebenarnya.

Selanjutnya Mu’tadin (2002) menyatakan bahwa penyesuaian

diri memiliki dua aspek, yaitu:

a. Penyesuaian pribadi

Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan:

(1) Kesadaran akan dirinya, mengenali kelebihan dan kekurangannya,

serta mampu bertindak objektif sesuai dengan kondisi dirinya

(50)

(2) Memiliki kemampuan untuk menerima dirinya sendiri sehingga

tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan

sekitarnya.

(3) Tidak memiliki rasa benci, lari dari kenyataan atau tanggung jawab,

dongkol, kecewa, tidak percaya pada kondisi dirinya sendiri

sehingga kehidupan kejiwaannya ditandai dengan tidak adanya

goncangan atau kecemasan yang menyertai rasa bersalah, cemas,

tidak puas, rasa kurang dan keluhan terhadap nasib yang dialami.

b. Penyesuaian sosial

Keberhasilan penyesuaian sosial ditandai dengan:

(1) Kemampuan untuk menyerap dan mempelajari berbagai informasi,

budaya dan adat istiadat yang ada.

(2) Adanya eksistensi atau karya yang diberikan untuk memperkaya

komunitas (masyarakat).

(3) Adanya kemauan untuk mematuhi norma-norma dan peraturan

sosial kemasyarakatan. Dalam proses penyesuaian sosial ini,

individu berkenalan dengan kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan

tersebut lalu mematuhinya sehingga menjadi bagian dari

pembentukan jiwa sosial pada dirinya dan menjadi pola tingkah

laku kelompok.

(4) Adanya usaha untuk mengendalikan kehidupan pribadi dari segi

(51)

disukai dan diterima oleh masyarakat, serta menolak dan menjauhi

hal-hal yang tidak diterima oleh masyarakatnya.

Berdasarkan karakteristik penyesuaian diri yang baik, yang

dikemukakan oleh Haber dan Runyon (1984), Schneiders (1964), dan

Lazarus (1961), serta aspek penyesuaian diri yang baik yang dikemukakan

oleh Mu’tadin (2002), penyesuaian diri didukung oleh aspek yang berasal

dari diri individu dan dari lingkungan. Dari uraian tersebut dapat

disimpulkan bahwa penyesuaian diri yang baik memiliki delapan

karakteristik, yaitu:

a. Mampu mengendalikan emosi

Penyesuaian diri yang baik ditandai dengan kemampuan

mengenali dan mengekspresikan perasaan yang sedang dialami, serta

mampu mengendalikan emosinya terutama saat menghadapi masalah.

Individu memiliki toleransi yang baik terhadap stres dan tidak dikuasai

oleh emosi yang berlebihan seperti kemarahan, rasa tidak berdaya atau

tanpa harapan.

b. Bersikap realistis dan objektif

Mampu bersikap realistis, menerima kelebihan dan kekurangan

dirinya apa adanya. Dengan mampu bersikap realistis, individu dapat

menetapkan tujuan realistis yang secara aktif dapat dikejarnya, dan

apabila terdapat keterbatasan kesempatan dari lingkungan individu dapat

merubah atau memodifikasi tujuan tersebut. Individu dapat membedakan

(52)

dan penilaian yang wajar tentang harga diri dan kedudukan, dapat

menyadari kelebihan dan kekurangan serta menghargai kelebihan dan

kekurangan orang lain.

c. Pendekatan langsung terhadap permasalahan

Dalam menghadapi masalah, melakukan pendekatan langsung

terhadap permasalahan dengan pemilihan strategi pemecahan secara

tepat melalui mekanisme penanggulangan dan tidak didominasi

mekanisme pertahanan diri. Ada tindakan nyata yang dilakukan untuk

merubah kondisi.

d. Tidak mengalami ketegangan fisiologis

Individu tidak mengalami gangguan psikosomatis sebagai akibat

dari tekanan psikis yang dialami. Simptom psikosomatis dapat berupa

kehilangan nafsu makan, diare dalam jangka waktu cukup lama dan

gangguan pencernaan.

e. Tidak mengalami kesulitan belajar

Individu dapat berfungsi dengan baik secara intelektual maupun

kemampuan. Siswa yang dapat menyesuaikan diri dengan baik tidak

mengalami kesulitan dalam belajar dan tidak mengalami kegagalan di

sekolah.

f. Kemampuan untuk belajar dari pengalaman

Individu belajar dari pengalaman diri sendiri maupun

pengalaman orang lain dalam mengatasi konflik dan stres. Ia mampu

(53)

dapat membantu atau mengganggu penyesuaiannya. Ia mampu

mengorganisasi pikiran, perasaan dan tingkah laku untuk menyelesaikan

masalah.

g. Hubungan interpersonal yang baik

Individu yang dapat menyesuaikan diri dengan baik memiliki

hubungan interpersonal yang baik. Ia merasa mampu dan nyaman dalam

berinteraksi dengan orang lain, dan dapat menempatkan diri secara tepat

dalam berhubungan dengan orang lain sesuai dengan level kedekatan

yang dimiliki dengan masing-masing pribadi.

h. Patuh pada norma dan aturan yang berlaku

Individu memiliki kemampuan untuk menyerap dan mempelajari

berbagai informasi, budaya dan adat istiadat yang ada, serta ada

kemauan untuk mematuhi norma dan peraturan sosial kemasyarakatan

sehingga mampu mengenal kaidah-kaidah dan peraturan yang berlaku

dalam lingkungan sosialnya. Ada usaha dari individu untuk

mengendalikan kehidupan pribadi dari segi penerimaan dan kerelaannya

terhadap beberapa pola perilaku yang disukai dan diterima oleh

masyarakat, serta menolak dan menjauhi hal-hal yang tidak diterima oleh

masyarakatnya.

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri dapat terjadi karena ada faktor-faktor

(54)

seseorang adalah hasil dari latihan-latihan atau pelajaran-pelajaran yang

telah dilakukan baik sengaja atau tidak sengaja (Gunarsa, 1995). Menurut

Gunarsa (1995), penyesuaian diri dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:

a. Sifat yang dibawa sejak lahir

Suatu kenyataan bahwa dimana terdapat kesukaran-kesukaran

dalam penyesuaian, karena sikap yang pemalu, pendiam, tidak banyak

bicara, sukar mengemukakan pendapat, dan lain sebagainya, maka

disebabkan oleh sifat dasarnya yang demikian. Melalui proses belajar

sifat-sifat ini dapat berubah.

b. Penyesuaian diri dan kebutuhan-kebutuhan pribadi

Cara memperlihatkan perilaku atas dasar kebutuhan yang secara

relatif sama akan berbeda-beda pada masing-masing orang. Hal ini

antara lain disebabkan oleh persepsi seseorang terhadap kebutuhannya,

dan karena itu mempengaruhi caranya menyesuaikan diri.

c. Pola pembentukan kebiasaan

Dalam perkembangannya, seorang anak menuntut lingkungan

untuk membantu memenuhi kebutuhannya. Ini mengakibatkan suatu

hubungan antara keinginan dan kepuasan. Setiap keinginan harus

memperoleh kepuasan seketika seolah-olah sulit untuk menunda

keinginannya itu. Ada pula anak yang takaran kepuasannya tidak pernah

terpenuhi dan menuntut terus. Semua ini menuntut kebijakan dan

(55)

dan kepuasan. Pembentukan kebiasaan menyesuaikan diri adalah faktor

dari luar yang dapat ditanamkan pada anak.

Menurut Schneiders (1964), faktor-faktor yang mempengaruhi

penyesuaian diri individu adalah:

a. Kondisi fisik

Kondisi fisik mencakup faktor hereditas, fungsi sistem saraf,

kelenjar otot, kesehatan dan penyakit.

b. Perkembangan dan kematangan intelektual, sosial, moral, dan emosional

Perkembangan dan kematangan merupakan kondisi utama yang

mengarahkan individu pada pencapaian penyesuaian diri ketika individu

yang bersangkutan melampaui suatu tahap perkembangan menuju tahap

perkembangan berikutnya. Faktor tersebut antara lain dipengaruhi oleh

tingkat pendidikan dan kondisi lingkungan sosial.

c. Faktor psikologis yang mencakup pengalaman, belajar, pembiasaan,

kemampuan mengarahkan diri, frustasi dan konflik

Pengalaman tertentu dapat memberi pengaruh yang besar dalam

diri individu. Seperti pengalaman traumatis atau pengalaman yang

memiliki kesan positif bagi individu.

d. Kondisi lingkungan, khususnya rumah, keluarga, sekolah

Keluarga memegang peranan penting dalam membentuk

penyesuaian diri individu. Ada beberapa karakteristik dalam kehidupan

keluarga yang mempengaruhi penyesuaian diri, seperti struktur keluarga,

(56)

muncul di dalamnya. Keluarga dapat menjadi sumber penerimaan atau

bahkan penolakan, identifikasi, dukungan, dan perlindungan. Selain

keluarga sekolah juga turut membentuk berbagai pola penyesuaian diri

yang berpengaruh hingga ke masa pasca sekolah seperti penyesuaian di

tempat kerja, perkawinan maupun kehidupan keagamaan. Disamping

memberikan pengaruh kuat bagi perkembangan intelektual, moral dan

sosial, sekolah juga membentuk minat, belief, sikap dan nilai-nilai yang dianut oleh siswa.

Dalam dunia pendidikan, siswa juga dituntut untuk menyesuaikan

diri dengan keadaan di sekolahnya. Menurut Hurlock (1993), ada dua

kondisi penting untuk mencapai penyesuaian diri yang baik, yaitu:

a. Bimbingan untuk membantu siswa agar menjadi realistis terhadap dirinya

sendiri dan kemampuannya. Sikap realistis ini dapat menghilangkan

kecenderungan menggunakan mekanisme pertahanan diri yang akan

memperburuk penyesuaian pribadi secara sosial.

b. Untuk mencapai tingkat penyesuaian yang membawa kesenangan di

masa kanak-kanak adalah bimbingan dalam belajar bagaimana bersikap

di dalam penerimaan sosial dan kasih sayang dari orang lain. Siswa harus

menyadari bahwa hubungan sosial mereka harus memenuhi pola yang

disetujui secara sosial oleh kelompok bila mereka ingin diterima sebagai

anggota kelompok.

Berdasarkan penjelasan yang dijabarkan di atas, dapat ditarik

(57)

individu terdiri dari faktor internal atau yang berasal dari diri individu

sendiri, dan faktor eksternal atau yang berasal dari lingkungan.

Faktor-faktor tersebut adalah:

a. Faktor internal

(1) Sifat yang dibawa sejak lahir

Sifat dasar yang dimiliki individu merupakan sifat yang diturunkan

dari kedua orang tua kepada individu, seperti pemalu, pendiam atau

tidak banyak bicara, supel atau mudah bergaul, dan sebagainya.

Setiap individu memiliki keunikannya sendiri. Sifat tersebut bisa

mendukung penyesuaian diri tetapi ada juga yang membuat individu

mengalami kesukaran.

(2) Kondisi fisik

Kondisi fisik mencakup faktor hereditas, fungsi sistem syaraf,

kelenjar otot, kesehatan dan penyakit. Kondisi fisik dapat

mempengaruhi konsep diri individu. Individu yang merasa tubuhnya

kurang sempurna mudah merasa minder dan dapat mempengaruhi

penyesuaian dirinya di lingkungan pergaulan. Begitu pula dengan

individu yang terlahir cacat atau memiliki kelainan penyakit.

(3) Kemampuan belajar

Pengalaman mengajak individu untuk belajar dan membiasakan diri

dengan hal-hal di luar dan di dalam diri. Pengalaman yang

meninggalkan kesan mendalam, baik positif maupun negatif

(58)

b. Faktor eksternal

(1) Kondisi lingkungan, rumah, keluarga, sekolah

Keluarga berperan penting dalam penyesuaian diri individu.

Beberapa karakteristik keluarga yang dapat mempengaruhi

penyesuaian diri adalah struktur keluarga, peran sosial, karakter

anggota keluarga, kohesivitas dan gangguan yang muncul di

dalamnya. Selain keluarga, sekolah juga berpengaruh besar terhadap

penyesuaian diri. Selain mengolah dari segi intelektual, moral dan

sosial, sekolah juga membentuk minat, belief, sikap dan nilai-nilai. Sekolah harus memberikan bimbingan kepada individu dan menjadi

saran untuk menumbuhkan sikap realistis dalam memandang didi

sendiri dan lingkungannya, juga melatih individu dalam hubungan

sosial agar tidak menyimpang dari tuntutan masyarakat.

4. Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama Seminari Menengah Mertoyudan

Penyesuaian diri selalu dibutuhkan bagi siapapun yang berhadapan

dengan perubahan, terutama ketika individu memasuki sebuah lingkungan

baru yang teramat berbeda dari lingkungan asal sebelumnya. Berbagai

penyesuaian dibutuhkan agar individu tersebut dapat merasa nyaman dan

mampu menjalani dinamika di lingkungan baru tersebut.

Seminaris Kelas Persiapan Pertama adalah remaja yang baru saja

(59)

calon imam. Sebagai tempat pembinaan calon imam, tentu keadaan di

Seminari jauh berbeda dengan lingkungan pendidikan di jenjang pendidikan

sebelumnya maupun dengan sekolah-sekolah umum yang setingkat. Di

Seminari, mereka diharuskan tinggal di asrama.

Asrama merupakan salah satu lingkungan pembinaan selama

seminaris menjalani pendidikan di Seminari. Di asrama seminaris harus

belajar mengikuti pola hidup baru yaitu hidup berkomunitas yang serba

teratur. Tata tertib diadakan untuk membantu seminaris menciptakan

suasana hidup yang baik. Belajar menjaga sikap dan perilaku agar sesuai

dengan tata nilai yang berlaku di Seminari, mengatur waktu untuk berbagai

kegiatan yang sangat padat, mandiri dan bertanggung jawab melakukan

berbagai aktivitas pribadi maupun bersama. Pola hidup di Seminari tentu

berbeda dengan pola hidup dalam keluarga. Perubahan pola hidup yang

dialami seminaris Kelas Persiapan Pertama tersebut dapat menimbulkan

tekanan bagi seminaris.

Hidup berkomunitas berarti melibatkan orang lain di dalamnya. Di

asrama, seminaris tinggal dan berproses bersama rekan-rekan sesama

seminaris dan juga staf pembina asrama, yaitu pamong umum, pamong

medan, dan sub-pamong medan yang biasanya adalah imam atau frater.

Masing-masing individu tersebut tentu memiliki sifat dan kecenderungan

yang berbeda satu sama lain. Bukan suatu hal mudah untuk dihadapi.

Terkadang ada sifat-sifat atau kecenderungan rekan seminaris atau pamong

(60)

Hal ini bisa menjadi tegangan atau sumber konflik yang mengganggu

kehidupan pribadi maupun komunitas bila tak segera diatasi.

D. Sense of Humor 1. Pengertian Humor

Humor berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitu “umor” yang berarti cairan. Sejak tahun 400 sebelum masehi, orang Yunani kuno

beranggapan bahwa suasana hati manusia ditentukan oleh empat cairan di

dalam tubuh, yaitu darah (sanguis), menentukan suasana gembira, dahak

(phlegm),menentukan suasana tenang atau dingin, empedu kuning (choler),

menentukan suasana marah, dan empedu hitam (melancholy), menentukan suasana sedih (Suhadi, 1989). Kelebihan salah satu diantaranya dapat

memberikan suasana tertentu atau menyebabkan ketidakseimbangan yang

memerlukan perbaikan untuk menyeimbangkannya. Hal yang dapat

digunakan untuk menyeimbangkannya adalah gelak tawa (Mahmud, dkk.

dalam Pralina, 2004).

Menurut Ogden Tanner (1988), tawa adalah pengerutan serentak

lima belas otot wajah yang disertai dengan pengeluaran nafas yang berbunyi

keras dan seringkali tidak dapat ditahan.

Herbert Spencer pada tahun 1860 (dalam Tanner, 1988) menyatakan

bahwa tertawa adalah suatu mekanisme untuk mengendurkan tegangan

agresi. Ia mengemukakan bahwa energi saraf senantiasa cenderung

Gambar

Tabel 1: Blue Print Skala Sense of Humor
Tabel 2. Distribusi Item Skala Sense of humor
Tabel 3. Blue Print Skala Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama
Tabel 4. Distribusi Item Skala Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama
+5

Referensi

Dokumen terkait

INTRODUCTION.

Catatan : Indikator ini dapat dikembangkan dengan berbagai kegiatan misalnya mencampur warna, melukis cermin, melukis dengan benang, melukis dengan kelereng, melukis marmer,

Untuk bukti fisik laporan penelitian, selain disahkan oleh atasan langsung juga harus diketahui oleh kepala UPTD untuk guru SD dan oleh kepala dinas pendidikan kabupaten/kota

Menurut Judoamidjojo (1982), lapisan subcutis adalah tenunan pengikat longgar yang menghubungkan dermis ( corium ) dengan bagian-bagian lain dari tubuh... Prodi Teknologi

Apakah penambahan asam indol butirat (IBA) ke dalam medium tanam dapat meningkatkan induksi akar dan pertumbuhan pada tunas kelapa normal dan kelapa kopyor (Cocos

Perlu adanya bimbingan yang lebih intensif dari para pembimbing di program studi pendidikan teknologi agroindustri terhadap mahasiswa dalam tahapan pelaksanaan

Bagaimana membuat daftar kata, mencari hit, memanjangkan hit dalam penjajaran dan menentukan signifikansi statistic ke dalam perangkat komputer untuk kemudian diproses dan

Demikian undangan ini disampaikan, atas perhatiannya diucapkan terima kasih. Koba, 23