SEMINARI MENENGAH SANTO PETRUS CANISIUS
MERTOYUDAN MAGELANG
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Dian Kusumaningtyas
NIM : 999114116 NIRM : 990051121705120113PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
Christ, the source of my strength.
The angels in my meaningful life:
My Lovely Parents, My Brothers,
and Iyo Chubby.
HUBUNGAN ANTARASENSE OF HUMORDAN PENYESUAIAN DIRI SEMINARIS DI ASRAMA
SEMINARI MENENGAH SANTO PETRUS CANISIUS MERTOYUDAN
Dian Kusumaningtyas Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2007
Jenis penelitian ini korelasional dan bertujuan untuk mengetahui hubungan antara sense of humor dan penyesuaian diri seminaris di asrama Seminari Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antarasense of humordan penyesuaian diri seminaris di asrama Seminari Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan. Asumsinya adalah apabila seminaris memiliki sense of humor yang tinggi, maka penyesuaian dirinya akan tinggi pula.
Subjek dalam penelitian ini adalah seminaris Kelas Persiapan Pertama Seminari Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan. Subjek sebanyak 49 orang, dengan usia 15-17 tahun. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala sense of humor yang terdiri dari 56 item sahih dengan reliabilitas skala 0,9418, dan skala penyesuaian diri seminaris di asrama yang terdiri dari 54 item sahih dengan reliabilitas 0,9220.
Berdasarkan hasil analisis data penelitian, diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,429 dengan taraf signifikansi 0,01, dan koefisien determinasi sebesar 0,184. Hal ini berarti hipotesis yang diajukan diterima, dan sense of humor
berperan sebesar 18,4% terhadap penyesuaian diri seminaris di asrama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara
sense of humor dan penyesuaian diri seminaris di asrama Seminari Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan.
CORRELATION BETWEEN SENSE OF HUMOR AND ADJUSTMENT OF SEMINARIANS AT DOMITORY OF SEMINARY
OF SAINT PETRUS CANISIUS MERTOYUDAN
Dian Kusumaningtyas Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2007
This was a correlation study that was aimed to find out correlation between sense of humor and adjustment of seminarians at dormitory of Seminary of Saint Petrus Canisius Mertoyudan. The hypothesis of this research was there was a positive correlation between sense of humor and adjustment of seminarians at dormitory of Seminary of Saint Petrus Canisius Mertoyudan. The underlying assumption was “if seminarians have high sense of humor, then their adjustment at dormitory will be high”.
The subject of this research was the First Preparation Class seminarians of Seminary of Saint Petrus Canisius Mertoyudan. They were 49 seminarians of the age of 15-17 years old. This research applied a scale for sense of humor measure consisted of 56 valid items with reliability score 0,9418, and scale for adjustment of seminarians at dormitory measure consisted of 54 valid items with reliability score 0,9220.
Data analysis of the research was found that the correlation coefficient was 0,429 that was significant at the 0,01 level, and the determinant coefficient was 0,184. It means that the hypothesis was accepted. The result of this research shows that there’s a positive correlation between sense of humor and adjustment of seminarians at dormitory of Seminary of Saint Petrus Canisius Mertoyudan. The result also shows that sense of humor plays a role 18,4% in determining adjustment of seminarians at dormitory.
Puji dan syukur atas berkat Allah Yang Maha Kasih sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi berjudul Hubungan Antara Sense of Humor dan Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama Seminari Santo Petrus Canisius
Mertoyudan. Tugas tersebut merupakan tugas akhir di Fakultas Psikologi.
Keberhasilan ini dapat tercapai berkat bantuan dari berbagai pihak yang dengan
kesungguhan hati telah mengorbankan sebagian waktu dan tenaganya. Oleh
karena itu pada kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada:
1. P. Eddy Suhartono, S. Psi., M. Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi yang
telah berkenan memberikan surat ijin penelitian kepada peneliti.
2. Agnes Indar Etikawati, Psi. M. Si. selaku dosen pembimbing penyusunan
skripsi yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan,
memberi masukan guna kelancaran penulisan skripsi ini.
3. A. Tanti Arini, M. Si. selaku dosen pembimbing akademik atas semangat
dan dorongan pada penulis selama masa studi dan penulisan skripsi,
terutama saat penulis kehilangan semangat.
4. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah
membagikan ilmu selama masa studi, sebagai bekal agar penulis kelak dapat
melangkah lebih jauh.
5. Romo Ant. Gustawan, SJ. selaku Rektor Seminari Menengah Mertoyudan
yang telah memberikan ijin penelitian kepada penulis untuk mengambil data
di seminari
7. Seminaris Medan Pratama angkatan 2006/2007 yang telah bersedia
meluangkan waktu untuk menjadi responden dalam penelitian ini, juga atas
ramah tamah dan keterbukaan pada peneliti.
8. Suster Haryanti, CB. dan Suster Godelieve, CB. yang selalu menyapa dan
menerima dengan terbuka terutama saat penelitian berlangsung.
9. Orang tuaku, Papa Clemens Kristiadi dan Mama Naniek Hariani, yang
memberikan separuh nafasnya untukku, menuangkan kasih dan dukungan
material maupun spiritual selama ini.
10. Keempatbodyguard-ku, Mas Antok, Mas Yoyok, Mas Hari dan Dek Bowo yang selalu mendukung dan memberikan semangat, serta banyak membantu
ketika komputer atauprinterbermasalah.
11. Mas Iyo “Chubby-ku” atas kesetiaan mendukungku dari jauh, menyalakan
semangatku, dan membukakan mataku pada hal-hal baru.
12.My 2nd family CLC-IFO, Bu Magda dan Pak Gun atas doa yang setia mengalir untukku. Ayu dan Adven teman seperjuangan skripsi, “aku nyusul
kalian..” Anna “Emmaus-ku” yang selalu menguatkan di saat beban
merayap di jalan hidup. Sepri yang tidak pernah menolak untuk
mengantarku kemanapun selama penyusunan skripsi. Sanggo, Ika dan Putri,
always cheer up my life, dan Romo Bismoko, Pr. atas bantuan pinjaman buku-buku referensi dan laporan TOP-nya, “you are the best brother in my
13. Romo Agung, SJ yang telah meluangkan waktu untuk berdiskusi membahas
skripsi ini, Frater Didik atas bantuan kroscek item, Suster Irene, FCJ yang
memberi teladan untuk menebar senyum. Suster Okta, CB. yang sudah
mendukung dengan doa. Mbak Nita dan Mas Darto atas hari-hari yang
penuh warna diCampus Ministryterutama selama penulisan skripsi.
14. Mas Muji yang selalu membantu dengan senyum saat praktikum, Mas Doni
yang telah “merelakan” ruang baca menjadi tempat diskusi, Mas Gandung,
Mbak Nanik, dan pak Gi yang dengan tulus melayani kami.
15.The last ’99 soldiers, Rani, Ana, Della, Ika, Vincent “Bemo”, Deny, Meli, Yuyun, Tesa, Asti, Galih, Toni, Marmili, Lina, Obeth dan semua teman
angkatan ’99 atas persahabatan dan kerjasama yang kompak dalam
menyelesaikan PR terakhir ini.
16. Mas Ian ’97 atas masukan dalam penyusunan skripsi, Gina ’98 atas
informasi try out terpakai. Sahabat-sahabat di angkatan 2000, Puti, Indah “Kampret”, Trini, Ama dan Dita untuk keceriaan dan bantuannya selama
masa studi dan penyusunan skripsi, dan Anton ’00 yang turut menjadi
inspirasi untukku berani melangkah.
17. Pendukung setiaku, Mimi yang telah mengenalkanku pada seminari, Agung
‘Igu’ yang merelakan jam kerjanya untuk menemaniku ke seminari, Dessy
‘Ndut’ teman berproses dalam tawa yang telah banyak membantu persiapan
ujian skripsi.
telah menyemangati penulis dalam studi dan rajin bertanya, “gimana skripsinya?”dan meyakinkan bahwa “aku bisa”.
19. Stufidds: Sari, Uli, Fitri, Domi, Debora, Seto yang telah mengenalkanku
pada arti persahabatan sejak SMA.
20. Oriz, Daffi, Teti dan Lote, malaikat-malaikat mungil di sekelilingku yang
selalu menghibur terutama saat skripsi ini terasa sulit untuk dikerjakan.
HALAMAN JUDUL………i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……….ii
HALAMAN PENGESAHAN………iii
HALAMAN MOTTO……….iv
HALAMAN PERSEMBAHAN………..v
ABSTRAK………..vi
ABSTRACT………...vii
KATA PENGANTAR………..viii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………xii
DAFTAR ISI………...xiii
DAFTAR TABEL………...xviii
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang………...……….….1
B. Rumusan Masalah………...…7
C. Tujuan Penelitian……….7
D. Manfaat Penelitian………...7
BAB II: LANDASAN TEORI A. Remaja 1. Pengertian Remaja………...…9
2. Karakteristik Remaja………11
B. Seminaris di Asrama Seminari Menengah Mertoyudan 1. Pengertian Seminaris……….………...…….13
a. Tujuan Pembinaan di Seminari Menengah Mertoyudan……….…17
b. Fokus Pembinaan Kelas Persiapan Pertama………....18
c. Asrama Seminari Menengah Mertoyudan………...…21
C. Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian Diri………...25
2. Karakteristik Penyesuaian Diri yang Baik………27
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri………...35
4. Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama Seminari Menengah Mertoyudan………...….…40
D. Sense of Humor 1. Pengertian Humor……….42
2. Jenis Humor………..45
3. Manfaat Humor……….46
4. PengertianSense of Humor………...49
5. DimensiSense of Humor………...51
E. Hubungan AntaraSense of Humordan Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama Seminari Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan……….52
F. Hipotesis Penelitian………..…..56
G. Skema Hubungan AntaraSense of Humordan Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama Seminari Menengah
A. Jenis Penelitian………..……….58
B. Variabel Penelitian………….………58
C. Definisi Operasional 1. Sense of Humor………...………..59
2. Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama……….…………60
D. Subjek Penelitian………....…....62
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data 1. SkalaSense of Humor………...…63
2. Skala Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama………...…65
F. Uji Kelayakan Alat Ukur 1. Validitas Alat Ukur………..….67
2. Seleksi Item ……….………….…68
3. Reliabilitas Alat Ukur…………..………...68
G. Analisis Data………...69
BAB IV: LAPORAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Orientasi Kancah………70
B. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian………....72
C. Hasil Seleksi Item dan Uji Reliabilitas Skala……….…73
D. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Data………..77
2. Uji Asumsi
3. Uji Hipotesis..………..……….81
E. Pembahasan………...…….82
BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan………...….90
B. Saran………...…90
DAFTAR PUSTAKA………...92
LAMPIRAN I: Acara Seminari……….96
LAMPIRAN II: Skala Penelitian………...99
LAMPIRAN III: Data Penelitian A. SkalaSense of Humor………...100
B. Skala Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama………...112
LAMPIRAN IV: Hasil Uji Reliabilitas Alat Ukur A. Reliabilitas Skala Uji CobaSense of Humor………126
B. Reliabilitas SkalaSense of Humor………....128
C. Reliabilitas Skala Uji Coba Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama..………130
D. Reliabilitas Skala Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama…...………132
B. Uji Linearitas………135
C. Uji Korelasi………….………..137
LAMPIRAN VI: Surat Keterangan Penelitian………...………..138
Tabel 1:Blue PrintSkalaSense of Humor………...64
Tabel 2: Distribusi Item SkalaSense of Humor………...65
Tabel 3:Blue PrintSkala Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama……...66
Tabel 4: Distribusi Item Skala Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama…...67
Tabel 5: Hasil Seleksi Item SkalaSense of Humor………...75
Tabel 6: Hasil Seleksi Item Skala Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama…...76
Tabel 7: Deskripsi Data Penelitian………...78
Tabel 8: Hasil Uji Normalitas………...80
A. Latar Belakang
Remaja adalah individu yang sedang berada dalam masa peralihan antara
masa kanak-kanak ke masa dewasa. Selama masa peralihan ini remaja
mengalami berbagai perubahan, mulai dari perubahan fisik, emosi, sosial,
kognitif, moral, minat, kepribadian, dan seksualitas. Menurut Winkel (1991),
peralihan dari masa kanak-kanak yang penuh ketergantungan ke masa remaja
yang bebas dan merdeka ini dapat berakibat remaja mulai mengalami
gejala-gejala seperti sering melamun, mudah tersinggung, mudah gelisah, sering
berontak terhadap orang tua dan kurang percaya diri. Itulah sebabnya masa
remaja disebut sebagai periode “badai dan tekanan” (Hurlock, 1990).
Remaja dituntut untuk mengubah pola perilaku dan sikap dari masa
kanak-kanak dan menyesuaikannya dengan nilai-nilai dan harapan sosial baru.
Mereka harus belajar melihat dari sudut pandang orang lain, belajar
mengingkari kesenangan diri sendiri, menangguhkan hal-hal yang
menyenangkan dan mendahulukan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab
(Gunarsa dalam Pralina, 2004). Ini merupakan tugas perkembangan bagi
remaja yang tidak mudah. Mereka harus menyesuaikan diri dengan
tuntutan-tuntutan dari lingkungan seiring perubahan yang terjadi di dalam diri mereka.
Menurut Blos (dalam Calhoun dan Acocella, 1990) perkembangan masa
remaja pada hakekatnya adalah usaha penyesuaian diri, yaitu usaha aktif
mengatasi tekanan dan mencari jalan keluar dari berbagai masalah.
Kematangan menjadi penting dalam penyesuaian diri. Remaja yang lebih
matang akan lebih mampu mengatasi tekanan dan mencari jalan keluar dari
berbagai masalah. Remaja yang kurang matang akan mengalami kesulitan.
Kesulitan yang dihadapi ini dapat membuat lingkungan berpandangan bahwa
individu tersebut tidak mampu menjalankan peran dewasa dengan baik. Hal
ini akan menimbulkan rasa rendah diri pada diri remaja (Hurlock, 1990) yang
akhirnya menjadi pertanda buruk yang menyebabkan remaja mengalami
kesulitan dalam penyesuaian diri. Remaja yang mengalami kesulitan dalam
penyesuaian diri terhadap lingkungan atau orang lain menunjukkan ciri-ciri;
suka menonjolkan diri, menipu, suka bermusuhan, egois, merendahkan orang
lain, berprasangka buruk, dan sebagainya (dalamdarulnuman.com, 1991). Penyesuaian diri mutlak diperlukan oleh siapapun terutama mereka yang
masuk dalam lingkungan baru. Dalam kehidupan remaja, seiring perubahan
yang mereka alami, mereka juga mengalami peralihan ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi yaitu sekolah menengah.
Sekolah sebagai tempat pembinaan bagi siswa tentu memiliki tujuan
yang mengarahkan seluruh dinamika yang berjalan di dalamnya. Ada
sekolah-sekolah yang didirikan dengan tujuan tertentu, salah satunya adalah Seminari
Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan. Sekolah yang setingkat SMA
ini didirikan sebagai lembaga pembinaan bagi para remaja yang merasa
Pendampingan bagi para siswa diatur sedemikian rupa agar mereka
merasa terbantu untuk mengembangkan pribadi dan panggilannya secara
bertahap dan seimbang, baik dalam sanctitas (kesucian), sanitas (kesehatan) dan scientia (pengetahuan) (Mahamboro, 2002). Aktifitas-aktifitas yang termasuk dalam bidang sanctitas adalah perayaan liturgis-sakramental (rekonsiliasi, ekaristi, dll.), bacaan rohani, Kelompok Kitab Suci (KKS), doa
sadhana, bimbingan rohani, dan sebagainya. Dalam bidang sanitas,
diantaranya olah raga dan pembinaan kepribadian. Dalam bidang scientia,
diantaranya studi, kelompok ilmiah, sidang akademi (latihanpublic speaking), dan hari ilmiah. Di sinilah letak kekhasan Seminari sebagai tempat pendidikan
para calon imam. Pendampingan yang diberikan tidak hanya dari segi
intelektual tetapi juga turut mengolah sisi rohani lebih dalam agar seminaris
dapat berproses dalam rangka menanggapi panggilan imamat yang mereka
miliki. Siswa yang belajar di sebuah Seminari disebut seminaris. Seminaris
dibina selama empat tahun di Seminari Menengah. Dalam penelitian ini yang
menjadi subjek penelitian adalah seminaris yang duduk di tahun pertama
pembinaan, yaitu seminaris Kelas Persiapan Pertama (KPP).
Sebagai remaja lulusan Sekolah Menengah Pertama, tidak mudah bagi
seminaris KPP untuk menyesuaikan diri dengan dinamika hidup yang jauh
berbeda, yang bercorak khas calon imam. Menurut Hurlock (1955),
penyesuaian diri terhadap lingkungan baru pada remaja secara khusus terasa
sulit karena dua alasan berikut: (1) remaja diharapkan menyesuaikan diri
telah terbentuk dengan baik pada diri remaja dari penyesuaian diri terhadap
lingkungan kanak-kanak membiasakan untuk berpikir dan berperilaku
kekanak-kanakan.
Salah satu lingkungan pembinaan di Seminari adalah asrama. Di asrama
mereka harus menyesuaikan diri terhadap beberapa hal berikut: (1) lingkungan
fisik. Mereka perlu mengenal lingkungan fisik Seminari agar perasaan betah
dapat tumbuh sehingga proses pembinaan dapat berjalan baik; (2)
pribadi-pribadi yang ada di lingkungan Seminari, yaitu teman-teman baru, guru baru,
pamong asrama, para pastor, frater atau suster pembina. Mereka datang dari
latar belakang yang berbeda-beda dengan sifat dan kebiasaan yang berbeda
pula; (3) pola hidup atau rutinitas harian. Semua itu tentu berbeda dengan pola
hidup yang sebelumnya mereka jalani di rumah dan di sekolah lama.
Keadaan terpisah dari keluarga, terutama ibu juga menjadi sumber
tekanan bagi seminaris. Bila sebelum masuk Seminari berbagai tugas rumah
tangga seperti mencuci, menyetrika dan membersihkan ruangan dilakukan
oleh ibu atau pembantu, di asrama Seminari semua harus dikerjakan sendiri.
Sulit meninggalkan kebiasaan lama dalam bersikap dan berperilaku untuk
kemudian membentuk kebiasaan baru dalam sikap dan pola perilaku baru
yang sesuai dengan keadaan di Seminari. Hal ini mengakibatkan tekanan
emosional yang seringkali muncul dalam bentuk gejala gangguan fisik seperti
sakit perut, sakit kepala, dan gangguan pencernaan.
Berbagai tekanan yang dialami mendorong individu untuk menggunakan
tersebut. Tetapi bagi mereka yang dapat menyesuaikan diri dengan baik,
tekanan yang dihadapi diatasi dengan mencari sumber permasalahannya untuk
dicari penyelesaiannya. Mekanisme penanggulangan adalah perilaku dan
pikiran yang merupakan perlakuan secara langsung terhadap penyebab
ketegangan (Haber dan Runyon, 1984).
Salah satu mekanisme penanggulangan itu adalah humor. Wolfenstein
(dalam Suprana, 1993) memandang peranan humor dalam proses tumbuh
kembang manusia dari masa bayi sampai mati sebagai elemen penyesuaian
diri terhadap gerak perubahan lingkungan hidupnya. Hal ini berarti humor
memiliki peranan penting yang membantu individu mengatasi ketegangan
yang muncul selama masa penyesuaian diri.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Burgoyne, Cole, dan Hickman
(2003) membuktikan bahwa ada hubungan positif yang substansial antara
kemampuan coping dengan menggunakan humor dan penyesuaian pribadi-emosional pada mahasiswa angkatan baru di Southwestern Evangelical
Christian University. Penelitian tersebut menggambarkan bahwa tekanan,
kecemasan, dan ketidakpastian tidak dapat terelakkan dalam kehidupan di
perguruan tinggi. Penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan humor
adalah penting untuk mengatasi stres dan kecemasan yang berkaitan dengan
“kekakuan” dalam kehidupan di perguruan tinggi serta untuk mendorong
kemajuan dalam usaha akademis.
Penelitian yang senada dilakukan oleh Yee Kooi Lam dan Abdul Halim
penelitian ini dibuktikan bahwa humor memiliki efek yang dapat mengurangi
tekanan yang dirasakan dalam hidup dan kemurungan pada siswa baik
laki-laki maupun perempuan. Hasil analisis lebih lanjut dari penelitian tersebut
menunjukkan bahwa individu yang memiliki sense of humor yang tinggi memiliki tingkat depresi yang lebih ringan dibandingkan mereka yang
memiliki tingkatsense of humorrendah pada tingkat stres yang sama.
Keadaan yang dialami seminaris selama proses pembinaan di Seminari
tak jauh berbeda dengan kehidupan di perguruan tinggi seperti dalam
penelitian di atas. Tekanan, kecemasan dan ketidakpastian seringkali muncul.
Dengan memiliki kepekaan terhadap humor akan memudahkan mereka dalam
memandang pemasalahan dan mencari jalan keluarnya. Dengan sense of humor, seminaris dapat merasakan, mengamati, mengungkapkan kelucuan dan tertawa dalam situasi yang tidak menyenangkan. Humor juga menjadi
“pelumas” dalam pergaulan karena mengurangi ketegangan antar pribadi,
stres, dan membantu menumbuhkan perasaan positif dan mengajarkan
individu menjaga perspektif terhadap peristiwa-peristiwa yang menantang
dalam hidup (Sultanoff, 1999). Dengan demikian mereka yang memilikisense of humor yang tinggi akan lebih mudah mengembangkan kemampuan mengatasi masalah selama penyesuaian diri.
Dari uraian di atas, tampak bahwa proses penyesuaian diri merupakan
tantangan bagi seminaris KPP selama pembinaan di Seminari. Banyak faktor
yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri seminaris di asrama Seminari,
meneliti lebih jauh peranan humor dalam kehidupan seminaris terutama dalam
proses penyesuaian dirinya di asrama.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah
dalam penelitian ini, yaitu:
Apakah ada hubungan yang signifikan antara sense of humor dan penyesuaian diri seminaris di asrama Seminari Menengah Santo Petrus
Canisius Mertoyudan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui adanya hubungan yang
signifikan antara sense of humor dan penyesuaian diri seminaris di asrama Seminari Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi bidang ilmu psikologi,
terutama psikologi sosial dan psikologi kepribadian berkenaan dengan
2. Manfaat praktis
a. Bagi seminaris:
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi seminaris
berkaitan dengan penyesuaian diri terhadap pembinaan selama
menjalani pendidikan di tahun pertama sekolah.
b. Bagi formator di Seminari:
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi para formator
di Seminari terutama tentang hubungan antara sense of humor dan penyesuaian diri seminaris di asrama Seminari selama menjalani
pendidikan di tahun pertama sekolah.
c. Bagi pembaca umum:
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada pembaca
tentang hubungan antara sense of humor dan penyesuaian diri seminaris di asrama Seminari selama menjalani pendidikan di tahun
A. Remaja
1. Pengertian Remaja
Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata Latin adolescere
yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Kedewasaan ini
tidak hanya berarti kematangan fisik tetapi terutama kematangan
sosial-psikologis.
Menurut Alexander A. Schneiders (1951), pengertian remaja
mengacu pada periode dalam kehidupan dimana individu di satu sisi
“terikat” oleh masa kanak-kanak dan di sisi lain oleh kedewasaan atau
kematangan. Oleh karena itu masa remaja disebut sebagai masa transisi,
suatu masa ketika individu bukan lagi anak-anak, tetapi belum dewasa. Masa
remaja juga disebut sebagai periode perkembangan yang berlangsung terus
menerus yang ditandai oleh perubahan dan pertumbuhan dalam segala aspek
kepribadian. Menurut Schneiders (1960) perubahan status menuju
kedewasaan berarti kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab. Hal-hal
tersebut menyebabkan munculnya kekhawatiran tambahan dalam kehidupan
remaja.
Dadang Sulaeman (1995) memandang masa remaja sebagai suatu
masa dimana individu dalam proses pertumbuhannya, terutama fisik, telah
mencapai kematangan. Pada masa ini remaja memiliki kesempatan yang
sebesar-besarnya dan sebaik-baiknya untuk mengalami hal-hal yang baru
serta menemukan sumber-sumber baru dari kekuatan-kekuatan, bakat-bakat
serta kemampuan yang ada dalam dirinya.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO (World Health Organization) (dalam Sarwono, 2005) terdapat tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Menurut WHO, remaja adalah suatu masa
ketika: (1) individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan
tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan
seksual; (2) individu mengalami perkembangan psikologis dan pola
identifikasi dari kanak-kanak ke dewasa; (3) terjadi peralihan dari
ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif
lebih mandiri.
Ditinjau dari berbagai permasalahan yang dihadapi seputar
kehidupan remaja, para ahli menyimpulkan batasan usia pada remaja. Di
Indonesia sendiri batasan usia remaja berada pada rentang usia 11 hingga 24
tahun dan belum menikah (Sarwono, 2005), sedangkan menurut Gunarsa
dan Gunarsa (1981), remaja adalah individu yang berusia antara 12 sampai
22 tahun.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa remaja adalah
individu berusia antara 11 sampai 22 tahun yang berada pada suatu masa
transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dimana individu mengalami
berbagai perubahan dalam segala aspek kepribadian, termasuk peralihan
mengakibatkan munculnya kekhawatiran pada diri remaja. Pada masa ini
remaja berkesempatan untuk menemukan sumber-sumber kekuatan dan
mengembangkan bakat serta kemampuannya.
2. Karakteristik Remaja
Selama masa transisi, remaja menunjukkan karakteristik yang
tampak dari perkembangannya dalam berbagai aspek. Karakteristik tersebut
dipaparkan oleh Herdiansiska dan Wardhani (2000) sebagai berikut:
a. Perkembangan kepribadian (konsep diri)
Konsep diri merupakan semua perasaan dan pemikiran seseorang
mengenai dirinya sendiri, meliputi kemampuan, karakter diri, sikap,trait
dan tujuan hidup, kebutuhan dan penampilan diri. Gambaran pribadi
remaja terhadap dirinya meliputi:
(1) Penilaian pribadi.
Berisi pandangan dirinya terhadap pengendalian keinginan dan
dorongan-dorongan dalam diri; suasana hati yang sedang dialami
yang akan mempengaruhi konsep dirinya yang positif atau negatif;
bayangan subjektif terhadap kondisi tubuhnya.
(2) Penilaian sosial.
Berisi evaluasi terhadap bagaimana remaja menerima penilaian
lingkungan sosial terhadap dirinya. Penilaian positif lingkungan
Konsep diri merupakan bagian penting dari kepribadian. Remaja
yang mempunyai konsep diri yang positif lebih berpeluang menampilkan
tingkah laku yang produktif. Pandangan lingkungan terhadap remaja
akan mempengaruhi penerimaan terhadap dirinya sendiri. Dengan
demikian remaja yang memiliki konsep diri yang positif juga akan lebih
mudah melakukan penyesuaian diri.
b. Perkembangan identitas diri
Remaja mencari jati dirinya dengan mempertanyakan siapa
dirinya dan yang juga penting adalah menemukan dalam konteks
kelompok mana ia bisa tampil dan menjadi sesuatu. Remaja akan tertarik
melakukan berbagai aktivitas dan hal-hal baru. Dari kegiatan yang
dilakukan, remaja menemukan kelebihan atau bakat-bakat yang ada
dalam dirinya.
c. Perkembangan sosial
Remaja memiliki keinginan untuk mandiri. Hal ini ditunjukkan
dengan mulai melepaskan diri dari orang tua dan menjadikan kelompok
sebaya(peer-group)sebagai panutan dalam berperilaku. Penerimaan dari kelompok sebaya merupakan sesuatu yang sangat penting bagi remaja,
sehingga penyesuaian diri dengan kelompok, misalnya penyesuaian
dalam selera berpakaian, cara berbicara dan berperilaku sosial lainnya
menjadi penting. Meskipun memiliki keinginan untuk mandiri namun
mereka tetap bergantung pada orang tua dalam beberapa hal, seperti
d. Perkembangan emosi
Remaja mengalami emosi yang mudah bergejolak, mudah
tersinggung dan merasa kurang percaya diri. Berbagai penyesuaian yang
harus dilakukan dalam kehidupan sosial sangat mempengaruhi kondisi
emosi remaja. Remaja dikatakan mampu memberikan respon positif
terhadap frustasinya bila mampu merumuskan tujuan dan aspirasi yang
cenderung tidak realistis. Kemampuan mengekspresikan perasaan adalah
penting.
e. Perkembangan kognitif
Sesuai tahap perkembangan kognitif Piaget, remaja berada pada
tahap Operasional Formal. Remaja cenderung kritis dalam
mempertanyakan sesuatu. Rasa ingin tahunya sangat kuat sehingga
merasa butuh untuk melakukan eksplorasi terhadap hal-hal di sekitarnya.
Dalam menghadapi masalah mereka dituntut untuk mampu
mempertimbangkan segala kemungkinan dalam menyelesaikan masalah
dan memandang masalah dari berbagai sudut pandang. Mereka juga
dituntut untuk bertanggung jawab terhadap masalah yang dihadapi.
B. Seminaris di Asrama Seminari Menengah Mertoyudan 1. Pengertian Seminaris
Seminaris adalah remaja yang sedang menjalani pendidikan calon
imam di Seminari. Dalam buku Pedoman Pembinaan Calon Imam di
adalah remaja yang datang dari lingkungan yang beraneka ragam dan
bercita-cita menjadi imam sesuai dengan persepsinya.
Dalam buku pedoman tersebut dijelaskan lebih lanjut bahwa
seminaris adalah remaja lulusan Sekolah Menengah Pertama dengan usia
rata-rata 15 sampai 17 tahun. Sebagai remaja mereka berada dalam proses
menuju kematangan fisik dan seksual dengan segala konsekuensi sosial dan
psikologisnya. Bila proses ini berjalan dengan baik tanpa ada masalah yang
berarti, mungkin remaja yang bersangkutan tidak akan mengalami banyak
kesulitan dalam perkembangannya.
2. Karakteristik Seminaris
Seminaris mengalami perkembangan sebagaimana remaja lainnya.
Menurut Driyanto (2001), secara sosial teman sebaya memiliki pengaruh
yang besar dalam menentukan pedoman atau pola dalam berperilaku dan
bersikap. Pengaruh teman sebaya dirasakan lebih besar dari pada pengaruh
orang tua. Apalagi bila sebagai remaja individu tidak memiliki orang dewasa
yang dapat dipercaya dan dapat menerima apa adanya.
Secara psikologis mereka berada dalam proses pencarian jati diri
sehingga cenderung untuk mempertanyakan nilai-nilai, aturan-aturan dan
otoritas lingkungannya sebelum dapat menerimanya dengan mantap. Sikap
mempertanyakan berbagai hal ini hendaknya dilihat sebagai sesuatu yang
Lingkungan tempat seminaris dibesarkan perlu mendapat perhatian
dalam usaha memahami para seminaris karena lingkungan tersebut
mempengaruhi perkembangan seminaris sebagai individu (Hadisiswoyo,
dkk., 2004). Lingkungan akan mengikuti perubahan. Perubahan yang dapat
turut mempengaruhi pertumbuhan kepribadian seminaris diantaranya
sebagai berikut:
a. Perkembangan teknologi informasi yang pesat telah memungkinkan
terjadinya pemaparan lebih banyak informasi yang mempromosikan
sikap konsumtif dan hedonistik. Oleh karena itu adalah wajar bila
kecenderungan ini juga terlihat pada diri dan kehidupan para remaja.
b. Perkembangan ekonomi yang pesat telah memperbanyak pilihan yang
ditawarkan kepada masyarakat, termasuk remaja. Dalam situasi yang
demikian, ada kecenderungan untuk takut membuat komitmen jangka
panjang karena hal ini berarti dapat menghilangkan kesempatan mencoba
pilihan lain yang kelihatan menarik juga.
c. Semakin banyak keluarga yang di dalamnya suami dan istri sama-sama
bekerja. Hal ini mengakibatkan waktu yang diberikan orang tua untuk
mendidik anak-anak semakin sedikit. Namun demikian, pengamatan di
lapangan menunjukkan bahwa kekurangan waktu ini dapat diimbangi
dengan kualitas relasi antara orang tua dengan anak.
Dalam buku Pedoman Pembinaan Calon Imam di Indonesia Bagian
diterima menjalani pembinaan di Seminari Menengah harus memiliki
karakteristik sebagai berikut:
a. Memiliki kemampuan untuk mengikuti pelajaran tingkat Sekolah
Menengah Atas.
b. Perkembangan psikologis, emosi dan sosial relatif sehat yang dapat
dilihat dari indikator berikut:
(1) Tidak memiliki rasa rendah diri atau percaya diri yang berlebihan.
(2) Mempunyai kegiatan lain di luar hal-hal yang berlangsung terkait
dengan tugas sekolah.
(3) Memiliki beberapa teman dekat yang kepadanya ia dapat
mengung-kapkan isi hati secara terbuka.
(4) Memiliki relasi yang baik dengan orang tua atau orang dewasa lain
yang dekat dengannya.
(5) Dapat mengatur waktu dan prioritas dalam menjalankan tugas
sehari-hari. Dalam hal ini pendapat guru yang mengenal calon dapat
merupakan masukan yang berharga.
(6) Sebagai seorang calon imam yang fungsi utamanya adalah melayani
umat yang sangat beragam, beberapa indikator yang dapat
membantu adalah:
(a) Dapat berteman dengan siapapun tanpa membedakan agama,
suku bangsa, ras, status ekonomi, status sosial, kepandaian atau
(b) Memperhatikan kebutuhan orang lain, suka membantu, dan rela
mengalah untuk hal-hal yang lebih penting.
(c) Bersedia mengerjakan tugas apa saja, baik yang bergengsi
maupun yang sederhana.
(d) Sebagai seorang calon imam yang baginya Allah merupakan
sumber kekuatan dalam melaksanakan tugas-tugasnya,
beberapa indikator yang dapat membantu yaitu:
(i) Memiliki relasi yang personal dan komunal dengan Allah.
(ii) Memiliki kebiasaan berdoa yang relatif teratur.
(iii) Walaupun secara umum sebagai seorang remaja pernah
mengabaikan perayaan ekaristi mingguan, ia tidak pernah
mengabaikan hal tersebut dalam jangka waktu yang lama.
(iv) Tidak menutup diri terhadap kegiatan atau hal-hal yang
bersifat spiritual.
3. Pembinaan di Seminari Menengah Mertoyudan
a. Tujuan pembinaan di Seminari Menengah Mertoyudan
Dalam Pedoman Dasar Seminari Menengah Santo Petrus
Canisius Mertoyudan (2004) ditegaskan bahwa posisi Seminari
Menengah sebagai tempat pendidikan calon imam dan tempat
membangun gereja setempat. Di atas posisi tersebut, tujuan pembinaan
di Seminari Menengah Mertoyudan ditetapkan sebagai berikut
(1) Mendampingi seminaris dalam mengolah hidup rohani, panggilan,
kegerejaan, dan kemasyarakatan, agar mampu mengambil
keputusan sesuai dengan panggilan hidupnya.
(2) Mendampingi seminaris untuk mengembangkan diri menjadi
pribadi yang sehat secara fisik maupun psikis, dewasa secara
manusiawi maupun kristiani, sehingga seminaris memiliki
kesiapsiagaan menghadapi panggilan Tuhan.
(3) Melaksanakan kegiatan pendidikan dan pembelajaran secara efektif
dan efisien agar kompetensi seminaris berkembang secara optimal
sehingga seminaris memiliki bekal yang memadai untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan imamat berikutnya.
b. Fokus Pembinaan Kelas Persiapan Pertama
Dalam proses pembinaan terhadap masing-masing kelas, ada
beberapa hal pokok yang menjadi fokus di dalamnya sehingga tujuan
pembinaan dapat tercapai secara tepat. Demikian juga dalam pembinaan
bagi seminaris Kelas Persiapan Pertama atau Medan Pratama. Fokus
Pembinaan di Medan Pratama adalah (Hadisiswoyo, dkk., 2004):
(1) Seminaris krasan atau betah dengan tempat baru, teman baru, dan
suasana baru, serta merasakan kebahagiaan sebagai orang yang
terpanggil.
(2) Seminaris memiliki dasar hidup yang suci, sehat, dan tekun dalam
menghayati tradisi hidup rohani, liturgi, devosi, mengembangkan
hidup sehat dan diperkenalkan dengan cara belajar efektif efisien
dalam rangka menumbuhkan budaya belajar.
(3) Seminaris memiliki dasar pengolahan kepribadian dan sosialitas,
untuk itu mereka dibimbing untuk mulai mengolah seksualitas,
mengenal tata nilai dan membina keterbukaan, mengatur hubungan
dengan keluarga, belajar hidup bersama, dan memiliki mekanisme
hidup berkelompok.
(4) Seminaris masuk dalam proses remediasi, yaitu memperdalam dan
meningkatkan pengetahuan yang telah diterima di Sekolah
Menengah Pertama sebagai persiapan ke tingkat berikutnya yaitu
SMA Seminari.
Pembinaan di Seminari Menengah Mertoyudan didasarkan pada
tiga aspek pembinaan yaitu sanctitas, sanitas dan scientia. Atas dasar ketiga aspek tersebut, kegiatan di Seminari disusun.
Dalam aspek sanctitas, seminaris didampingi agar berkembang dalam hidup rohani (Hadisiswoyo, dkk., 2004). Kegiatan dalam aspek
sanctitas dijabarkan dalam 3 hal pokok yaitu: (1) Pembinaan hidup rohani, di antaranya meliputi tradisi doa, kegiatan liturgis, dan kegiatan
bimbingan rohani dan pembinaan kepamongan, retret, rekoleksi, refleksi,
koreksi persaudaraan (fraterna correctio) dan sumbangan rohani. (2) Pembinaan hidup panggilan dimana seminaris dibimbing untuk lebih
tujuan ini pihak Seminari mengikut sertakan keterlibatan orang tua. (3)
Pembinaan hidup menggereja dan memasyarakat, di antaranya
mengembangkan semangat pelayanan dengan pelayanan Pendampingan
Iman Anak, menjalin kerjasama dengan pemeluk agama lain, serta
menumbuhkan jiwa kepemimpinan dan berorganisasi melalui tugas
kebidelan dan tugas lain dalam asrama atau sekolah (OSIS).
Dalam aspek sanitas, kegiatan ditujukan untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani seminaris. Kegiatan dijabarkan dalam 2
hal pokok, yaitu: (1) Pembinaan kesehatan badan melalui makanan
sehat, kegiatan olah raga, kerja tangan (opera) atau membersihkan rumah dan lingkungan, rekreasi dan liburan. (2) Pembinaan kedewasaan
manusiawi yang meliputi, bimbingan untuk mengenal dan menerima
diri, keluarga dan lingkungan yang membesarkannya melalui sejarah
hidup yang kemudian diolah bersama pembimbing rohani dan staf
kepamongan. Mengadakan basis karya, basis wilayah dan basis vertikal
untuk mengembangkan kemampuan berelasi secara sehat, keterbukaan,
kemampuan berdialog, solidaritas, kerjasama, rasa menghargai, dan
keterampilan menyelesaikan konflik. Penghayatan seksualitas dilakukan
dengan memberikan ceramah tentang seksualitas.
Dalam aspek scientia, seminaris dilatih memiliki kedisiplinan berpikir, tradisi membaca dan mengembangkan potensi. Kegiatan dalam
menyelenggarakan ceramah, seminar, diskusi dan sebagainya. (2)
Pengembangan keterampilan, di antaranya pelatihan jurnalistik, sidang
akademi(public speaking)untuk melatih kemampuan berbicara di depan umum secara logis, runtut dan tajam, pengembangan diri dalam bidang
seni dan terampil dalam menggunakan teknologi informasi. (3)
Pengembangan kemampuan berorganisasi, diantaranya melalui OSIS,
kepengurusan sidang akademi, Malam Kreativitas (MK), kebidelan, dan
sebagainya.
c. Asrama Seminari Menengah Mertoyudan
Salah satu lingkungan pembinaan yang berperan besar dalam
pengembangan diri seminaris secara utuh adalah lingkungan asrama.
Sistem pendidikan asrama dipilih karena asrama memuat sisi-sisi positif
yang membawa seminaris pada pengolahan dinamika hidup secara
menyeluruh (Hadisiswoyo, dkk., 2004). Sebagai lingkungan, asrama
mendukung dan melengkapi pengajaran di sekolah. Asrama bukan
sekedar tempat untuk tinggal seminaris, melainkan komunitas yang
menawarkan pelbagai pengalaman hidup bersama, yakni suasana yang
mendukung usaha meraih kematangan dan menyiapkan seminaris agar
mampu menanggapi panggilannya secara bertanggung jawab (Driyanto,
2001).
Salah satu ciri hidup selibat religius adalah hidup berkomunitas.
intensif, dan disesuaikan dengan usia seminaris. Dalam asrama perlu
dipupuk dan ditumbuhkembangkan hidup berkomunitas. Sikap-sikap
yang memungkinkan hidup berkomunitas antara lain: sikap terbuka,
penuh perhatian terhadap sesama, memiliki kepedulian sosial, murah hati
dalam membantu dan melayani sesama. Seminaris juga belajar untuk taat
pada hirarki Gereja. Di lain pihak perlu diwaspadai dan dihindarkan
sikap-sikap yang mengganggu hidup berkomunitas seperti egosentrisme,
eksklusivisme, mencari rasa aman (nesting), kecenderungan (trend)ikut mode anak muda yang tidak sesuai untuk calon imam (Hadisiswoyo
dkk., 2004). Dengan pengolahan sikap-sikap tersebut, seminaris menjadi
terbiasa untuk tidak hanya mementingkan kepentingannya sendiri karena
menyadari bahwa hidup asrama merupakan salah satu bentuk latihan
untuk menyiapkan diri guna memasuki persaudaran sakramental para
imam dalam keuskupan (Driyanto, 2001).
Dalam buku Pedoman Pembinaan Calon Imam di Indonesia
Bagian Seminari Menengah (Driyanto, 2001), lebih lanjut dijelaskan
bahwa dalam hidup bersama perlu diusahakan agar seminaris memiliki
keseimbangan antara hidup individual dan sosial. Pembinaan sikap sosial
perlu disaturagakan dengan pembinaan sikap-sikap pribadi seperti
kemandirian, tanggung jawab, percaya diri, dan berani mengambil
keputusan. Tegangan antara pembinaan sikap-sikap sosial dengan
pengembangan sikap-sikap pribadi merupakan tantangan bagi pembina
Hidup bersama dalam asrama membutuhkan suasana yang
mendukung pertumbuhan kepribadian dan perkembangan bakat
kepemimpinan. Dalam komunitas itulah seminaris membiasakan diri
untuk mengembangkan rasa sosial. Dengan demikian ia menyiapkan diri
untuk menjadi orang yang sanggup memperhatikan dan melayani
kepentingan sesama (Driyanto, 2001).
Salah satu ungkapan sikap sosial dan tanggung jawab ialah tata
tertib. Tata tertib tidak diadakan untuk membatasi kebebasan para
seminaris, tetapi untuk membantu mereka menciptakan suasana hidup
bersama yang baik (Driyanto, 2001). Suasana itu akan menunjang
perkembangan pribadi, pertumbuhan hidup rohani, dan pertumbuhan
panggilan. Oleh karena itu para seminaris hendaknya didorong, kalau
perlu dengan tegas, untuk menaati aturan-aturan. Namun perlu
diperhatikan latar belakang dan tingkat perkembangan seminaris, yang
dalam kenyataannya mempengaruhi penghayatan tata tertib. Hal ini
perlu mendapat perhatian agar dapat membantu seminaris menyesuaikan
diri dengan cara hidup di Seminari yang sering berbeda dengan cara
hidup keluarga.
Pada sisi lain kehidupan asrama juga diharapkan menempa
seminaris menjadi manusia yang mandiri dan bertanggung jawab
sehingga di kemudian hari, sebagai imam, ia mampu melayani umat
dengan penuh tanggung jawab. Dengan demikian bila ia kelak
keputusan sendiri, dan sedapat mungkin sanggup memecahkan
persoalannya. Sikap mandiri itu perlu disertai sikap terbuka, mau dan
mampu mendengarkan rekan-rekannya.
Pembinaan seminaris di lingkungan asrama dilaksanakan melalui
program-program yang dirancang dengan seksama dan memadukan
segala segi seperti kematangan afeksi dan emosi, hidup rohani dan doa,
sikap tidak pamrih dan kemandirian. Pembinaan secara pribadi
merupakan cara yang paling baik. Namun pembinaan melalui kelompok
kecil berguna juga, lebih-lebih untuk mengenal seminaris dalam
pergaulan dengan rekan-rekannya. Pembinaan pribadi mengajak
seminaris untuk mengenal kecakapan dan bakat-bakatnya, kemudian
mengembangkan serta mewujudkannya. Untuk itu sarana dan
kemudahan sebagai penunjang pembinaan di asrama harus memadai
tetapi tidak berlebihan (Driyanto, 2001).
Pendampingan dan pengaturan hidup bersama di asrama dibuat
sebijaksana mungkin, agar seminaris dapat mengolahsanctitas, sanitas,
dan scientia secara intensif dan optimal. Asrama dapat menjadi lingkungan yang meningkatkan intelektualitas karena di asrama dapat
terbentuk tradisi dan suasana yang mendukung. Acara-acara studi yang
jelas dan teratur membantu seminaris menemukan sikap belajar yang
tepat dan mengerjakan pekerjaan rumah yang mendukung usaha sekolah
C. Penyesuaian Diri
1. Pengertian Penyesuaian Diri
Dalam hidup selalu ada perubahan dan perubahan selalu menuntut
individu untuk dapat menyeimbangkan apa yang ada dalam dirinya dengan
tuntutan yang ada dalam perubahan tersebut. Upaya dan proses yang dilalui
individu untuk mencapai keseimbangan ini disebut penyesuaian diri.
Menurut Schneiders (1960), penyesuaian diri adalah kemampuan
aktivitas mental dan tingkah laku seseorang dalam menghadapi
tuntutan-tuntutan, baik dari dalam diri sendiri maupun lingkungannya. Dengan
demikian ketika individu dihadapkan pada perubahan ia tidak hanya
menerima perubahan itu secara pasif tetapi perlu berpikir dan mengambil
tindakan yang tepat untuk mengatasi perubahan-perubahan yang ada.
Penyesuaian diri tidak hanya melibatkan segi kognitif individu tetapi
juga motivasi dan emosi dalam mengikuti proses penyesuaian diri. Seperti
yang diungkapkan oleh Lazarus (1976) bahwa penyesuaian diri bukan
semata-mata aktivitas intelektual problem solving namun juga menemukan karakteristik perubahan yang terjadi sehingga dapat melakukan penyesuaian
yang tepat. Penyesuaian diri juga melibatkan kendali emosi yang kuat,
seperti marah, takut, cemas, dan malu. Lazarus memberi penekanan pada
pentingnya perjuangan individu untuk menghadapi lingkungan fisik dan
sosialnya.
Proses penyesuaian diri adalah proses yang rumit karena cara
dengan tuntutan yang lain. Konflik dapat muncul karena dua kebutuhan
internal yang sangat berbeda, atau kebutuhan internal yang berlawanan
dengan kebutuhan eksternal.
Individu dapat dikatakan baik penyesuaiannya apabila ia mampu
memecahkan konflik-konflik yang dihadapinya sehingga tidak
mempengaruhi kehidupannya (Hilgard, 1962). Konflik dapat diatasi tanpa
menimbulkan masalah baru. Menurut Page (dalam Pralina, 2004), bila
individu dapat melepaskan diri dari hambatan-hambatan ketidakenakan
sehingga didapatkan suatu keseimbangan pribadi maka dapat dikatakan
tujuan penyesuaian dirinya tercapai.
Menurut Gunarsa (1995), ada dua kelompok penyesuaian diri yaitu:
(1) Adaptif, yang dikenal dengan istilah adaptasi. Merupakan bentuk penyesuaian diri yang lebih bersifat badani. Artinya perubahan-perubahan
dalam proses badani untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan;
(2) Adjustif, yaitu suatu bentuk penyesuaian yang lain dimana tersangkut kehidupan psikis. Oleh karena berkaitan dengan kehidupan psikis dalam
penyesuaian yang adjustif ini maka dengan sendirinya penyesuaian ini
berhubungan dengan tingkah laku. Penyesuaian ini adalah penyesuaian
tingkah laku terhadap lingkungan dimana terdapat aturan-aturan atau
norma-norma.
Penyesuaian diri merupakan proses yang akan berlangsung terus
menerus sepanjang kehidupan karena situasi hidup akan terus berubah
Tohary (dalam Prihartanti, 1992) bahwa penyesuaian diri merupakan proses
dinamis terus-menerus yang bertujuan mengubah perilaku, untuk
mendapatkan hubungan yang lebih baik, serta keserasian dan keseimbangan
antara dirinya dengan lingkungan.
Menurut Walgito (1997), kemampuan berinteraksi yang baik dengan
lingkungan luar akan mempermudah individu dalam mengenali,
mengidentifikasi, mengerti, dan memahami setiap permasalahan yang dapat
digunakan dalam penyesuaian dirinya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian
diri adalah kemampuan aktivitas mental individu yang dilakukan secara
terus menerus baik secara fisik maupun psikis, untuk menyesuaikan dengan
lingkungan fisik, serta menyeimbangkan dirinya dengan tuntutan-tuntutan
baik dari diri sendiri maupun dari lingkungan fisik dan sosial tanpa
menimbulkan masalah baru.
2. Karakteristik Penyesuaian Diri yang Baik
Haber dan Runyon (1984) memaparkan karakteristik penyesuaian
diri yang baik yaitu:
a. Persepsi yang akurat terhadap realitas
Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik membuat
tujuan yang realistis yang dapat dicapai secara aktif. Terkadang
keterbatasan dan kesempatan dari lingkungan mengharuskan individu
memodifikasi tujuan adalah proses yang berlangsung terus menerus
sepanjang kehidupan. Salah satu aspek terpenting dari keakuratan
persepsi terhadap realitas adalah kemampuan mengenali konsekuensi
dari setiap tindakan dan dapat berperilaku secara tepat. Bila individu
dapat memandang dirinya secara apa adanya kemungkinan besar
penyesuaian dirinya berhasil sesuai dengan kenyataan dalam situasi.
b. Kemampuan mengatasi stres dan kecemasan
Menetapkan tujuan jangka panjang yang realistis membantu
individu menghadapi stres, frustasi dan kecemasan yang sering terjadi.
Proses yang mereka jalani untuk mencapai tujuan dijalani sesuai dengan
keadaan atau kemampuan diri.
c. Self-imageyang positif
Salah satu karakteristik penyesuaian diri yang baik adalah
memiliki pandangan yang positif terhadap diri sendiri namun tetap
menyadari kelemahan diri sendiri dengan baik seperti mengenali
kelebihan diri sendiri.
d. Kemampuan mengekspresikan perasaan
Individu yang dapat menyesuaikan diri dengan baik mampu
merasakan dan mengekspresikan berbagai perasaan dan emosi secara
realistis dan terkontrol. Individu dapat mengenali perasaan yang sedang
e. Hubungan interpersonal yang baik
Individu yang dapat menyesuaikan diri dengan baik dapat
mencapai level kedekatan yang tepat dalam relasi sosialnya, merasa
mampu dan nyaman dalam berinteraksi dengan orang lain. Kedekatan
individu dengan setiap orang dapat berbeda-beda tergantung jenis
hubungan antara mereka. Individu dapat menyadari bahwa hidup yang
dijalani tidak selalu berjalan lancar.
Menurut Lazarus (1961), individu yang berpenyesuaian diri baik
memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Merasa nyaman secara psikologis
Individu merasa nyaman secara psikologis. Artinya ia tidak
mengalami depresi, kecemasan kronis ataupun akut, pikiran-pikiran
bersalah yang obsesif, serta ketakutan akan penyakit dan kematian.
b. Dapat bekerja secara efisisen
Individu dapat berfungsi dengan baik, secara intelektual maupun
kemampuan. Dapat bekerja secara konsisten sesuai kemampuannya.
Dalam dunia pendidikan, siswa yang tidak dapat menyesuaikan diri
dengan baik dapat mengalami kesulitan belajar dan kegagalan di
sekolah, dan juga dalam relasi sosialnya.
c. Tidak mengalami ketegangan fisiologis
Individu tidak mengalami gangguan psikosomatis sebagai akibat
kehilangan nafsu makan, diare dalam jangka waktu cukup lama dan
gangguan pencernaan, serta sulit tidur.
d. Berperilaku yang dapat diterima secara sosial
Individu mendapat penerimaan sosial dari lingkungan karena ia
berperilaku sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku dalam
masyarakat.
Schneiders (1964) merumuskan karakteristik individu yang dapat
menyesuaikan diri dengan baik, yaitu:
a. Tidak memiliki emosi yang berlebihan
Individu memiliki kontrol emosi dan ketenangan sehingga dapat
menghadapi masalah secara cerdas dan dapat menentukan berbagai
solusi atas permasalahan yang dihadapi.
b. Tidak ada mekanisme pertahanan diri
Pendekatan langsung terhadap masalah lebih mengindikasikan
respon yang normal daripada penyelesaian masalah melalui mekanisme
pertahanan diri yang tidak disertai tindakan nyata untuk merubah
kondisi.
c. Tidak ada frustasi personal
Individu yang mengalami frustasi ditandai dengan perasaan tak
berdaya dan tanpa harapan, maka akan menjadi sulit untuk
mengorganisasi kemampuan berpikir, perasaan, motivasi dan tingkah
d. Memiliki pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri
Individu yang memiliki penyesuaian normal memiliki
kemampuan berpikir dan melakukan pertimbangan terhadap masalah
atau konflik, serta kemampuan mengorganisasi pikiran, tingkah laku dan
perasaan untuk memecahkan masalah dalam kondisi sulit sekalipun.
e. Kemampuan untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman masa lalu
Penyesuaian yang normal merupakan proses belajar
berkesinambungan yang dapat dilihat dari perkembangan individu
sebagai hasil dari kemampuannya mengatasi konflik dan stres. Di dalam
proses belajar individu dapat menggunakan pengalamannya maupun
pengalaman orang lain. Individu dapat menganalisa faktor-faktor yang
dapat membantu atau mengganggu penyesuaiannya.
f. Bersikap realistis dan objektif
Sikap realistis dan objektif bersumber dari belajar, pengalaman,
pemikiran yang rasional, kemampuan menilai situasi, masalah atau
keterbatasan individu sebagaimana kenyataan sebenarnya.
Selanjutnya Mu’tadin (2002) menyatakan bahwa penyesuaian
diri memiliki dua aspek, yaitu:
a. Penyesuaian pribadi
Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan:
(1) Kesadaran akan dirinya, mengenali kelebihan dan kekurangannya,
serta mampu bertindak objektif sesuai dengan kondisi dirinya
(2) Memiliki kemampuan untuk menerima dirinya sendiri sehingga
tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan
sekitarnya.
(3) Tidak memiliki rasa benci, lari dari kenyataan atau tanggung jawab,
dongkol, kecewa, tidak percaya pada kondisi dirinya sendiri
sehingga kehidupan kejiwaannya ditandai dengan tidak adanya
goncangan atau kecemasan yang menyertai rasa bersalah, cemas,
tidak puas, rasa kurang dan keluhan terhadap nasib yang dialami.
b. Penyesuaian sosial
Keberhasilan penyesuaian sosial ditandai dengan:
(1) Kemampuan untuk menyerap dan mempelajari berbagai informasi,
budaya dan adat istiadat yang ada.
(2) Adanya eksistensi atau karya yang diberikan untuk memperkaya
komunitas (masyarakat).
(3) Adanya kemauan untuk mematuhi norma-norma dan peraturan
sosial kemasyarakatan. Dalam proses penyesuaian sosial ini,
individu berkenalan dengan kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan
tersebut lalu mematuhinya sehingga menjadi bagian dari
pembentukan jiwa sosial pada dirinya dan menjadi pola tingkah
laku kelompok.
(4) Adanya usaha untuk mengendalikan kehidupan pribadi dari segi
disukai dan diterima oleh masyarakat, serta menolak dan menjauhi
hal-hal yang tidak diterima oleh masyarakatnya.
Berdasarkan karakteristik penyesuaian diri yang baik, yang
dikemukakan oleh Haber dan Runyon (1984), Schneiders (1964), dan
Lazarus (1961), serta aspek penyesuaian diri yang baik yang dikemukakan
oleh Mu’tadin (2002), penyesuaian diri didukung oleh aspek yang berasal
dari diri individu dan dari lingkungan. Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa penyesuaian diri yang baik memiliki delapan
karakteristik, yaitu:
a. Mampu mengendalikan emosi
Penyesuaian diri yang baik ditandai dengan kemampuan
mengenali dan mengekspresikan perasaan yang sedang dialami, serta
mampu mengendalikan emosinya terutama saat menghadapi masalah.
Individu memiliki toleransi yang baik terhadap stres dan tidak dikuasai
oleh emosi yang berlebihan seperti kemarahan, rasa tidak berdaya atau
tanpa harapan.
b. Bersikap realistis dan objektif
Mampu bersikap realistis, menerima kelebihan dan kekurangan
dirinya apa adanya. Dengan mampu bersikap realistis, individu dapat
menetapkan tujuan realistis yang secara aktif dapat dikejarnya, dan
apabila terdapat keterbatasan kesempatan dari lingkungan individu dapat
merubah atau memodifikasi tujuan tersebut. Individu dapat membedakan
dan penilaian yang wajar tentang harga diri dan kedudukan, dapat
menyadari kelebihan dan kekurangan serta menghargai kelebihan dan
kekurangan orang lain.
c. Pendekatan langsung terhadap permasalahan
Dalam menghadapi masalah, melakukan pendekatan langsung
terhadap permasalahan dengan pemilihan strategi pemecahan secara
tepat melalui mekanisme penanggulangan dan tidak didominasi
mekanisme pertahanan diri. Ada tindakan nyata yang dilakukan untuk
merubah kondisi.
d. Tidak mengalami ketegangan fisiologis
Individu tidak mengalami gangguan psikosomatis sebagai akibat
dari tekanan psikis yang dialami. Simptom psikosomatis dapat berupa
kehilangan nafsu makan, diare dalam jangka waktu cukup lama dan
gangguan pencernaan.
e. Tidak mengalami kesulitan belajar
Individu dapat berfungsi dengan baik secara intelektual maupun
kemampuan. Siswa yang dapat menyesuaikan diri dengan baik tidak
mengalami kesulitan dalam belajar dan tidak mengalami kegagalan di
sekolah.
f. Kemampuan untuk belajar dari pengalaman
Individu belajar dari pengalaman diri sendiri maupun
pengalaman orang lain dalam mengatasi konflik dan stres. Ia mampu
dapat membantu atau mengganggu penyesuaiannya. Ia mampu
mengorganisasi pikiran, perasaan dan tingkah laku untuk menyelesaikan
masalah.
g. Hubungan interpersonal yang baik
Individu yang dapat menyesuaikan diri dengan baik memiliki
hubungan interpersonal yang baik. Ia merasa mampu dan nyaman dalam
berinteraksi dengan orang lain, dan dapat menempatkan diri secara tepat
dalam berhubungan dengan orang lain sesuai dengan level kedekatan
yang dimiliki dengan masing-masing pribadi.
h. Patuh pada norma dan aturan yang berlaku
Individu memiliki kemampuan untuk menyerap dan mempelajari
berbagai informasi, budaya dan adat istiadat yang ada, serta ada
kemauan untuk mematuhi norma dan peraturan sosial kemasyarakatan
sehingga mampu mengenal kaidah-kaidah dan peraturan yang berlaku
dalam lingkungan sosialnya. Ada usaha dari individu untuk
mengendalikan kehidupan pribadi dari segi penerimaan dan kerelaannya
terhadap beberapa pola perilaku yang disukai dan diterima oleh
masyarakat, serta menolak dan menjauhi hal-hal yang tidak diterima oleh
masyarakatnya.
3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri dapat terjadi karena ada faktor-faktor
seseorang adalah hasil dari latihan-latihan atau pelajaran-pelajaran yang
telah dilakukan baik sengaja atau tidak sengaja (Gunarsa, 1995). Menurut
Gunarsa (1995), penyesuaian diri dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:
a. Sifat yang dibawa sejak lahir
Suatu kenyataan bahwa dimana terdapat kesukaran-kesukaran
dalam penyesuaian, karena sikap yang pemalu, pendiam, tidak banyak
bicara, sukar mengemukakan pendapat, dan lain sebagainya, maka
disebabkan oleh sifat dasarnya yang demikian. Melalui proses belajar
sifat-sifat ini dapat berubah.
b. Penyesuaian diri dan kebutuhan-kebutuhan pribadi
Cara memperlihatkan perilaku atas dasar kebutuhan yang secara
relatif sama akan berbeda-beda pada masing-masing orang. Hal ini
antara lain disebabkan oleh persepsi seseorang terhadap kebutuhannya,
dan karena itu mempengaruhi caranya menyesuaikan diri.
c. Pola pembentukan kebiasaan
Dalam perkembangannya, seorang anak menuntut lingkungan
untuk membantu memenuhi kebutuhannya. Ini mengakibatkan suatu
hubungan antara keinginan dan kepuasan. Setiap keinginan harus
memperoleh kepuasan seketika seolah-olah sulit untuk menunda
keinginannya itu. Ada pula anak yang takaran kepuasannya tidak pernah
terpenuhi dan menuntut terus. Semua ini menuntut kebijakan dan
dan kepuasan. Pembentukan kebiasaan menyesuaikan diri adalah faktor
dari luar yang dapat ditanamkan pada anak.
Menurut Schneiders (1964), faktor-faktor yang mempengaruhi
penyesuaian diri individu adalah:
a. Kondisi fisik
Kondisi fisik mencakup faktor hereditas, fungsi sistem saraf,
kelenjar otot, kesehatan dan penyakit.
b. Perkembangan dan kematangan intelektual, sosial, moral, dan emosional
Perkembangan dan kematangan merupakan kondisi utama yang
mengarahkan individu pada pencapaian penyesuaian diri ketika individu
yang bersangkutan melampaui suatu tahap perkembangan menuju tahap
perkembangan berikutnya. Faktor tersebut antara lain dipengaruhi oleh
tingkat pendidikan dan kondisi lingkungan sosial.
c. Faktor psikologis yang mencakup pengalaman, belajar, pembiasaan,
kemampuan mengarahkan diri, frustasi dan konflik
Pengalaman tertentu dapat memberi pengaruh yang besar dalam
diri individu. Seperti pengalaman traumatis atau pengalaman yang
memiliki kesan positif bagi individu.
d. Kondisi lingkungan, khususnya rumah, keluarga, sekolah
Keluarga memegang peranan penting dalam membentuk
penyesuaian diri individu. Ada beberapa karakteristik dalam kehidupan
keluarga yang mempengaruhi penyesuaian diri, seperti struktur keluarga,
muncul di dalamnya. Keluarga dapat menjadi sumber penerimaan atau
bahkan penolakan, identifikasi, dukungan, dan perlindungan. Selain
keluarga sekolah juga turut membentuk berbagai pola penyesuaian diri
yang berpengaruh hingga ke masa pasca sekolah seperti penyesuaian di
tempat kerja, perkawinan maupun kehidupan keagamaan. Disamping
memberikan pengaruh kuat bagi perkembangan intelektual, moral dan
sosial, sekolah juga membentuk minat, belief, sikap dan nilai-nilai yang dianut oleh siswa.
Dalam dunia pendidikan, siswa juga dituntut untuk menyesuaikan
diri dengan keadaan di sekolahnya. Menurut Hurlock (1993), ada dua
kondisi penting untuk mencapai penyesuaian diri yang baik, yaitu:
a. Bimbingan untuk membantu siswa agar menjadi realistis terhadap dirinya
sendiri dan kemampuannya. Sikap realistis ini dapat menghilangkan
kecenderungan menggunakan mekanisme pertahanan diri yang akan
memperburuk penyesuaian pribadi secara sosial.
b. Untuk mencapai tingkat penyesuaian yang membawa kesenangan di
masa kanak-kanak adalah bimbingan dalam belajar bagaimana bersikap
di dalam penerimaan sosial dan kasih sayang dari orang lain. Siswa harus
menyadari bahwa hubungan sosial mereka harus memenuhi pola yang
disetujui secara sosial oleh kelompok bila mereka ingin diterima sebagai
anggota kelompok.
Berdasarkan penjelasan yang dijabarkan di atas, dapat ditarik
individu terdiri dari faktor internal atau yang berasal dari diri individu
sendiri, dan faktor eksternal atau yang berasal dari lingkungan.
Faktor-faktor tersebut adalah:
a. Faktor internal
(1) Sifat yang dibawa sejak lahir
Sifat dasar yang dimiliki individu merupakan sifat yang diturunkan
dari kedua orang tua kepada individu, seperti pemalu, pendiam atau
tidak banyak bicara, supel atau mudah bergaul, dan sebagainya.
Setiap individu memiliki keunikannya sendiri. Sifat tersebut bisa
mendukung penyesuaian diri tetapi ada juga yang membuat individu
mengalami kesukaran.
(2) Kondisi fisik
Kondisi fisik mencakup faktor hereditas, fungsi sistem syaraf,
kelenjar otot, kesehatan dan penyakit. Kondisi fisik dapat
mempengaruhi konsep diri individu. Individu yang merasa tubuhnya
kurang sempurna mudah merasa minder dan dapat mempengaruhi
penyesuaian dirinya di lingkungan pergaulan. Begitu pula dengan
individu yang terlahir cacat atau memiliki kelainan penyakit.
(3) Kemampuan belajar
Pengalaman mengajak individu untuk belajar dan membiasakan diri
dengan hal-hal di luar dan di dalam diri. Pengalaman yang
meninggalkan kesan mendalam, baik positif maupun negatif
b. Faktor eksternal
(1) Kondisi lingkungan, rumah, keluarga, sekolah
Keluarga berperan penting dalam penyesuaian diri individu.
Beberapa karakteristik keluarga yang dapat mempengaruhi
penyesuaian diri adalah struktur keluarga, peran sosial, karakter
anggota keluarga, kohesivitas dan gangguan yang muncul di
dalamnya. Selain keluarga, sekolah juga berpengaruh besar terhadap
penyesuaian diri. Selain mengolah dari segi intelektual, moral dan
sosial, sekolah juga membentuk minat, belief, sikap dan nilai-nilai. Sekolah harus memberikan bimbingan kepada individu dan menjadi
saran untuk menumbuhkan sikap realistis dalam memandang didi
sendiri dan lingkungannya, juga melatih individu dalam hubungan
sosial agar tidak menyimpang dari tuntutan masyarakat.
4. Penyesuaian Diri Seminaris di Asrama Seminari Menengah Mertoyudan
Penyesuaian diri selalu dibutuhkan bagi siapapun yang berhadapan
dengan perubahan, terutama ketika individu memasuki sebuah lingkungan
baru yang teramat berbeda dari lingkungan asal sebelumnya. Berbagai
penyesuaian dibutuhkan agar individu tersebut dapat merasa nyaman dan
mampu menjalani dinamika di lingkungan baru tersebut.
Seminaris Kelas Persiapan Pertama adalah remaja yang baru saja
calon imam. Sebagai tempat pembinaan calon imam, tentu keadaan di
Seminari jauh berbeda dengan lingkungan pendidikan di jenjang pendidikan
sebelumnya maupun dengan sekolah-sekolah umum yang setingkat. Di
Seminari, mereka diharuskan tinggal di asrama.
Asrama merupakan salah satu lingkungan pembinaan selama
seminaris menjalani pendidikan di Seminari. Di asrama seminaris harus
belajar mengikuti pola hidup baru yaitu hidup berkomunitas yang serba
teratur. Tata tertib diadakan untuk membantu seminaris menciptakan
suasana hidup yang baik. Belajar menjaga sikap dan perilaku agar sesuai
dengan tata nilai yang berlaku di Seminari, mengatur waktu untuk berbagai
kegiatan yang sangat padat, mandiri dan bertanggung jawab melakukan
berbagai aktivitas pribadi maupun bersama. Pola hidup di Seminari tentu
berbeda dengan pola hidup dalam keluarga. Perubahan pola hidup yang
dialami seminaris Kelas Persiapan Pertama tersebut dapat menimbulkan
tekanan bagi seminaris.
Hidup berkomunitas berarti melibatkan orang lain di dalamnya. Di
asrama, seminaris tinggal dan berproses bersama rekan-rekan sesama
seminaris dan juga staf pembina asrama, yaitu pamong umum, pamong
medan, dan sub-pamong medan yang biasanya adalah imam atau frater.
Masing-masing individu tersebut tentu memiliki sifat dan kecenderungan
yang berbeda satu sama lain. Bukan suatu hal mudah untuk dihadapi.
Terkadang ada sifat-sifat atau kecenderungan rekan seminaris atau pamong
Hal ini bisa menjadi tegangan atau sumber konflik yang mengganggu
kehidupan pribadi maupun komunitas bila tak segera diatasi.
D. Sense of Humor 1. Pengertian Humor
Humor berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitu “umor” yang berarti cairan. Sejak tahun 400 sebelum masehi, orang Yunani kuno
beranggapan bahwa suasana hati manusia ditentukan oleh empat cairan di
dalam tubuh, yaitu darah (sanguis), menentukan suasana gembira, dahak
(phlegm),menentukan suasana tenang atau dingin, empedu kuning (choler),
menentukan suasana marah, dan empedu hitam (melancholy), menentukan suasana sedih (Suhadi, 1989). Kelebihan salah satu diantaranya dapat
memberikan suasana tertentu atau menyebabkan ketidakseimbangan yang
memerlukan perbaikan untuk menyeimbangkannya. Hal yang dapat
digunakan untuk menyeimbangkannya adalah gelak tawa (Mahmud, dkk.
dalam Pralina, 2004).
Menurut Ogden Tanner (1988), tawa adalah pengerutan serentak
lima belas otot wajah yang disertai dengan pengeluaran nafas yang berbunyi
keras dan seringkali tidak dapat ditahan.
Herbert Spencer pada tahun 1860 (dalam Tanner, 1988) menyatakan
bahwa tertawa adalah suatu mekanisme untuk mengendurkan tegangan
agresi. Ia mengemukakan bahwa energi saraf senantiasa cenderung