• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. Landasan Teori

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2. Landasan Teori"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

Landasan Teori

2.1. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) 2.1.1. Pengertian dan Faktor Pembelajaran Kooperatif

Menurut Kagan (1992,1:4), pembelajaran kooperatif adalah suatu pembelajaran dimana pembelajar belajar dan bekerja dalam kelompok kecil atau kelompok besar secara kolaboratif dan setiap pembelajar ikut serta secara aktif dalam memberikan kontribusi terhadap masing-masing kelompoknya. Kawano (2012:54) mengungkapkan bahwa tujuan yang utama dari pembelajaran kooperatif adalah untuk memberikan kepada para pembelajar pengetahuan, konsep, kemampuan, dan pemahaman tentang materi yang akan mereka pelajari. Pembelajaran kooperatif juga merupakan media yang digunakan khusus untuk memberi dan merangsang motivasi para pembelajar untuk saling bekerja sama dalam proses pembelajaran.

Matthew (2006: 279-281) menekankan bahwa dalam pembelajaran kooperatif para pembelajar ikut secara aktif berpatisipasi dalam kegiatan pembelajaran. Pembelajaran kooperatif juga mendorong adanya kerja sama untuk meningkatkan dan melatih potensi para pembelajar yang tidak mungkin dapat dicapai apabila pembelajaran dilakukan secara individual.

Untuk mencapai hasil yang maksimal, Jacobs, Power, & Loh dalam Matthew (2006:279) menyatakan bahwa delapan faktor penting dalam model pembelajaran kooperatif harus diterapkan. Kedelapan faktor ini saling mendukung antara yang satu dengan yang lainnya dalam menjamin suksesnya

(2)

pembelajaran kooperatif yang dilakukan di dalam kelas. Delapan faktor tersebut adalah :

1. Cooperation as a Value (kooperasi sebagai sesuatu yang dihargai)

Kooperasi secara umum sangat dihargai dan penting dalam komunitas kerja dan masyarakat. Sebagai seorang pengajar, kita harus menanamkan prinsip kooperatif kepada para pembelajar.

2. Heterogeneous Grouping (pengelompokan heterogen)

Pengelompokan secara heterogen berasal dari anggapan dasar bahwa semakin banyaknya perbedaan antara para pembelajar akan meningkatkan kesempatan belajar. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan kemampuan, ketertarikan, motivasi, dan latar belakang keluarga dari masing masing pembelajar.

3. Positive Interdependence (saling ketergantungan positif)

Unsur ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif ada tanggung jawab yang harus dilakukan dalam kelompok. Pertama adalah tanggung jawab dalam mempelajari bahan dan materi yang diberikan kepada kelompok. Kedua adalah tanggung jawab dalam menjamin semua anggota kelompok secara individual dapat mempelajari dan memahami bahan yang telah diberikan. Positive interdependence juga dapat meningkatkan motivasi pembelajar secara individual.

(3)

4. Individual Accountability (tanggung jawab perseorangan)

Tanggung jawab ini akan muncul jika dilakukan pengukuran terhadap keberhasilan kelompok. Tujuan pembelajaran kooperatif adalah membentuk semua anggota kelompok menjadi pribadi yang kuat. Tanggung jawab setiap individu adalah kunci untuk menjamin suksesnya semua anggota yang mengikuti proses kegiatan belajar bersama. Dalam arti lain, setelah mengikuti kelompok belajar bersama, anggota kelompok harus dapat menyelesaikan tugas yang sama.

5. Simultaneous Interaction (interaksi promotif)

Unsur ini dianggap penting karena dapat menghasilkan hubungan saling ketergantungan secara positif dalam kegiatan pembelajaran. Ciri– ciri interaksi promotif adalah saling membantu secara efektif, saling memberikan informasi dan sarana yang diperlukan, memproses informasi bersama secara lebih efisien, saling membantu dalam mengembangkan pendapat, meningkatkan kemampuan, dan pengetahuan terhadap masalah yang dihadapi, dan saling memotivasi untuk memperoleh keberhasilan bersama.

6. Equal Participation (semua ikut berpartisipasi)

Unsur ini masih memiliki hubungan dengan simultaneous interaction. Setiap pembelajar diharapkan dapat ikut serta secara aktif berpatisipasi dalam pembelajaran tanpa memandang adanya perbedaan kemampuan dan status sosial.

(4)

7. Interpersonal Skill (komunikasi antaranggota)

Dalam mencapai tujuan bersama pembelajar harus adalah saling mengenal dan mempercayai, mampu berkomunikasi secara akurat, saling menerima dan saling mendukung, serta dapat mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif.

8. Group Processing (proses dalam kelompok)

Proses mengandung arti menilai. Melalui proses, kelompok dapat diidentifikasi dari urutan atau tahapan kegiatan kelompok. Tujuan proses kelompok adalah untuk meningkatkan efektivitas anggota dalam memberikan kontribusi dalam kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan kelompok. Ada dua tingkat di dalam proses yaitu kelompok kecil dan kelas secara menyeluruh. Kelompok-kelompok kecil yang saling membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok yang terdiri dari tiga pembelajar atau lebih dengan kemampuan yang heterogen. Dalam berkerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah saling berkerja sama dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2.1.2. Struktur dan Model Pembelajaran Kooperatif

Ada banyak struktur pembelajaran kooperatif dan teknik yang tersedia yang dapat digunakan untuk setiap situasi belajar yang berbeda. Sesuai dengan tujuan pembelajaran, setiap pengajar perlu memilih struktur yang akan memberikan pengalaman belajar yang optimal bagi para pembelajar. Jika tujuan pembelajaran adalah untuk mengenal pembelajar lain dan menekankan pada sosialisasi interaksi antara pembelajar, maka teknik team

(5)

building merupakan pilihan yang tepat dalam masalah ini. Apabila

penguasaan dan penggunaan tentang suatu informasi menjadi tujuan dari pembelajaran tersebut, maka salah satu model pembelajaran dari struktur

mastery akan menjadi pilihan yang terbaik. Jika tujuan pembelajaran adalah

untuk melatih para pembelajar untuk memahami konsep-konsep yang ada dalam suatu materi, maka struktur concept development merupakan teknik yang paling cocok untuk digunakan. Struktur multifunctional dapat digunakan untuk mendorong pembelajar untuk saling bersosialisasi, menguasai penguasaan informasi, dan mengembangan konsep.

Kagan (1,1:5) menuliskan di dalam bukunya bahwa dalam setiap kategori pembelajaran kooperatif, terdapat struktur model pembelajaran yang berbeda dan dapat digunakan oleh para pengajar dalam proses belajar mengajar. Team Building (termasuk class building dan communication

building) memiliki tiga struktur model pembelajaran, roundrobin, corners,

and match mine. Mastery juga memiliki tiga struktur, numbered heads

together, color-coded co-op cards, dan pairs check. Concept development

juga mencakup tiga struktur, three-Step Interview, think-pair-share, dan team

word-webbing. Multifunction meliputi lima struktur model pembelajaran, roundtable, inside-outside circle, partners, jigsaw, dan co-op co-op.

2.1.3. Pembelajaran Kooperatif Struktur Mastery

Bloom dalam Spencer (1996:19) menyatakan bahwa mastery learning adalah pembelajaran yang didasarkan pada anggapan bahwa pembelajar akan dapat menguasai suatu materi apabila diberikan waktu yang cukup. Bloom secara lebih lanjut mengungkapkan bahwa penguasaan materi adalah tujuan

(6)

utama dari pembelajaran mastery. Penguasaan pada materi yang dipelajari akan dituntaskan terlebih dahulu sebelum pembelajaran akan materi yang lain dilanjutkan. Kagan (1992,17:1) menekankan bahwa pembelajaran mastery merupakan pembelajaran yang menekankan pada kemampuan mengingat atau memori pada masing masing pembelajar. Setiap pembelajar saling membantu dalam penguasaan akan materi yang akan dipelajari.

2.1.4. Struktur Mastery Model Color Coded Co-op Cards

Langkah pembelajaran Color Coded Co-op Cards berdasarkan petunjuk dari Kagan (1992,17:2) :

1. Pretest

Pretest dilakukan setelah para pembelajar telah menerima materi pembelajaran yang akan diujikan secara keseluruhan.

2. Student Create Color Coded Co-op Cards

Pada tahap ini para pembelajar menentukan set kartu berdasarkan kanji yang tidak mampu ia ingat atau pelajari. Setiap murid dalam tim yang sama harus memakai warna yang berbeda.

1 3 2 6 5 4

(7)

Tim yang berada diseberang meja dapat memakai warna yang sama dengan tim lawan.

3. Student Play The Flash Card Game

Dalam satu kelas, para pembelajar dibagi menjadi 2, 4, atau 6 tim. Dalam satu tim terdiri atas 4-8 orang. Setiap tim saling berhadapan seperti pada bagan diatas dan mulai melakukan pairing terhadap lawan yang ada di seberang meja. Sesi ini terbagi menjadi tiga babak :

a) Maximum Cues

Para pembelajar menyerahkan lima kartu milik mereka kepada pembelajar yang ada di hadapan mereka yang disebut sebagai tutor.

Tutor memperlihatkan dan membacakan soal kepada tutee dan

kemudian membalik kartu serta membacakan jawabannya. Tutee hanya perlu memberikan jawaban berdasarkan memori jangka pendek.

Setelah tutee berhasil mengambil kembali semua kartu yang telah diserahkan kepada tutor, peran antara tutor dan tutee mulai ditukar. Apabila pembelajar 1 adalah tutor pada giliran sebelumnya maka pembelajar tersebut akan berperan sebagai tutee pada giliran yang

Selesai pekerjaan…

(8)

berikutnya. Pembelajar 1 wajib menyerahkan 5 kartu miliknya kepada pembelajar 4 yang berperan sebagai tutor.

b) Few Cues

Setelah melakukan babak pertama, babak kedua langsung dimulai. Prosedur dan langkah-langkah yang harus ditempuh sama seperti babak 1 namun petunjuk dan bantuan yang diberikan oleh

tutor kepada tutee mulai dikurangi. Tutor tidak perlu lagi

membacakan jawaban seperti pada babak pertama. Tutor hanya perlu membacakan soal kepada tutee. Apabila tutee mengalami kesulitan dalam menjawab tutor boleh memberikan sedikit bantuan dengan cara memberikan petunjuk.

c) No Cues

Pada babak ini, prosedur yang dilakukan sama seperti pada babak sebelumnya. Tutor tidak diperbolehkan untuk memberikan bantuan dan tidak perlu membacakan soal kepada tutee. Sama seperti pada tahap-tahap sebelumnya, untuk setiap jawaban yang benar para pembelajar akan mendapatkan kartu yang dia serahkan kepada lawannya sebagai tanda penghargaan bahwa ia telah

Tutor 1 Tutee 4 Tutor 4 Tutee 1 Giliran 1 Giliran 2

(9)

menguasai kanji tersebut. Kanji yang tidak bisa dijawab akan dibawa pada tahap “Repeated Practice On Missed Items”.

4. Practice Test

Test dilakukan dengan cara yang sama seperti permainan yang telah dijelaskan diatas dan dilakukan secara cepat. Dari test ini akan dapat dilihat seberapa banyak kartu yang dapat dikuasai oleh masing-masing pembelajar dan seberapa banyak kartu yang tidak dapat dijawab oleh pembelajar. Sistem dan cara yang digunakan untuk melihat dan memisahkan seberapa banyak bahan yang belum dikuasai oleh pembelajar dapat dilihat pada tahap “Initial Color-Coded

Improvement Scoring”.

5. Initial Color-Coded Improvement Scoring

Penilaian berdasarkan banyaknya kartu yang dapat diambil oleh pembelajar. Setiap kartu yang dapat diambil oleh pembelajar diberi tanda bintang atau tanda lain dengan pen warna. Kartu yang telah diberikan tanda merupakan bukti bahwa tutee berhasil menjawab pertanyaan yang telah diberikan oleh tutor. Jumlah banyaknya kartu yang dapat dijawab oleh pembelajar (kartu yang telah diberikan tanda) akan ditambahkan ke dalam nilai dan skor tim.

Sebagai contoh, apabila pembelajar 1 dapat menebak 15 kartu maka ia berhasil menyumbang nilai sebanyak 15 point untuk timnya dan apabila pembelajar 2 dapat menebak sebanyak 10 kartu maka 10

(10)

point akan ditambahkan ke dalam tim sehingga tim tersebut mendapatkan 25 point.

6. Repeated Practice On Missed Items

Kartu yang tidak bisa dijawab oleh masing masing pembelajar akan dikumpulkan dan permainan akan dimulai lagi dengan menggunakan langkah yang sama pada tahap “Student Play The Flash

Card Game”. Pembelajar dapat menambahkan dan mencampurkan

kartu yang telah ia kuasai ke dalam set kartu kanji yang tidak bisa dia jawab untuk lebih memperdalam kemampuan memori dari pembelajar.

7. Final Test and Final Improvement Scoring

Penilaian dilakukan dengan menggunakan cara yang sama seperti pada tahap “student play the flash card game”. Untuk dapat lebih jelas melihat perbedaan kemampuan antara pembelajar sesudah dan sebelum pretest maka permainan dilakukan hanya sekali tanpa adanya pengulangan. KELOMPOK 1 15 10 12 KELOMPOK 1 TOTAL SKOR : 37

(11)

8. Individual, Team, And Class Recognition

Secara singkat, tahap ini adalah tahap pemberian penghargaan yang dibagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama adalah penghargaan untuk individual yang paling berjasa dalam menyumbang skor paling banyak untuk timnya. Kategori kedua adalah penghargaan untuk tim yang telah berhasil mengumpulkan skor paling banyak. Setiap tim memberikan semangat dan saling berjabat tangan setelah pembelajaran selesai dilakukan. Ketiga adalah penghargaan bagi kelas yang telah berhasil mencapai tujuan dari pembelajaran yang telah dilakukan. Penghargaan bagi kelas berupa ilmu pengetahuan mengenai materi yang telah dikuasai.

9. Reflection

Para pembelajar memerlukan waktu untuk saling berdiskusi mengenai pendapat dan kesan mereka mengenai model permainan Color-Coded Co-op Cards. Untuk mengetahui pendapat dan kesan mereka maka digunakan angket atau wawancara sebagai media perantara dalam menyampaikan kesan dan pendapat mereka mengenai model pembelajaran yang telah digunakan.

(12)

2.2. Tipe Pembelajar

Dalam mempelajari sesuatu setiap pembelajar mempunyai strategi pembelajaran dan cara mereka masing masing dalam memproses informasi yang telah mereka terima. Menurut penjelasan Herod (2004:6), tipe pembelajar dibagi berdasarkan panca indera yang mereka miliki, seperti melihat, mendengar, dan merasakannya secara langsung.Setiap pembelajar lebih sering menggunakan secara dominan salah satu dari panca indera mereka dalam memproses informasi yang mereka terima.

Tipe pembelajar secara dominan umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu: 1. Tipe pembelajar Visual (Visual Learner)

Tipe visual adalah tipe pembelajar yang menggunakan bentuk visual seperti graphic, gambar, dan apa yang mereka lihat secara langung dalam memproses informasi yang mereka terima di dalam pembelajaran. Tipe pembelajar visual cenderung mengkategorikan apa yang telah mereka pelajari dan menuangkan informasi tersebut dalam bentuk tabel.

2. Tipe pembelajar Auditorial (Auditory Learner)

Tipe auditorial adalah tipe pembelajar yang media suara sebagai perantara untuk memproses informasi yang diterima oleh para pembelajar. Tipe pembelajar auditorial lebih cenderung menuangkan informasi yang telah mereka proses dengan cara langsung berkomunikasi dengan menggunakan kata-kata mereka sendiri.

(13)

3. Tipe pembelajar Kinestetik (Kinesthetic Learner)

Tipe pembelajar kinestetik lebih cenderung memproses informasi yang telah mereka terima dengan cara merasakan atau praktek secara langsung. Tipe pembelajar motorik menuangkan informasi yang telah mereka proses dalam bentuk presentasi secara deskriptif.

2.3. Permasalahan dalam Pembelajaran Kanji

Yoshiaki (1993:158) menjelaskan bahwa dalam pembelajaran kanji kita harus menganggap kanji sebagai sebuah “lambang”. Hanya dengan melihat kanji yang ditentukan kita akan mengerti makna dan arti dari kanji tersebut. Kaiser dalam kodansha (1992, xxiii) menuliskan unsur dari penulisan kanji yang terbagi menjadi tiga unsur. Ketiga unsur penulisan kanji adalah bushu (部首), kakusu (画 数), dan kakijun (書き順). Bushu atau radical adalah bagian dasar pada kanji yang dijadikan sebagai dasar pengelompokan kanji dalam kamus. Kakusu atau jumlah coretan adalah banyaknya coretan yang diperlukan dalam membentuk

kanji yang akan ditulis. Kakijun atau urutan penulisan adalah langkah langkah

penulisan dalam kanji secara sistematis.

Dalam mempelajari kanji, pembelajar harus mengingat tarikan, bentuk, dan juga makna dari kanji yang dipelajari. Yoshiaki (1993:158) mengungkapkan bahwa pembelajar selalu menemui kesulitan dalam pembelajaran kanji. Secara lebih lanjut Yoshiaki menjelaskan bahwa ada dua kesulitan yang dihadapi oleh pembelajar dalam mempelajari kanji. Kesulitan pertama adalah jumlah dari kanji yang terlalu banyak untuk dapat dikuasai oleh para pembelajar. Kesulitan yang kedua adalah perbedaan cara membaca dari kanji yang sama.

(14)

Yanagita (2010:16) melakukan penelitian mengenai kesulitan pembelajaran

kanji oleh para pembelajar yang tidak mempunyai latar belakang kanji.

Berdasarkan hasil analisis, pembelajar bahasa Jepang yang hanya mempunyai sedikit pengalaman dan masih dalam tahap awal pembelajaran cenderung mempelajari kanji berdasarkan bentuknya. Sedangkan bagi para pembelajar yang telah lama mempelajari bahasa Jepang cenderung mempelajari kanji dengan cara mengingat makna dari kanji yang akan dipelajari.

Nakanishi (2012:68) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa para pembelajar memerlukan informasi yang lebih mengenai kanji yang akan mereka pelajari. Informasi tersebut berupa kapan, dimana, dan dalam kondisi seperti apa

kanji tersebut dapat digunakan. Penerapan kanji dalam proses pembelajaran yang

berlangsung dalam kelas kanji bukan hanya untuk mempelajari penulisan, tarikan, dan bentuk dari kanji, tetapi pembelajaran akan makna dan penggunaan dari kanji tersebut.

Shimizu dan Green dalam Gamage (2003:8) menuliskan bahwa dalam pembelajaran kanji, hubungan antara pengajar dan pembelajar sangat penting. Hubungan yang dimaksudkan adalah komunikasi antara pengajar dan pembelajar. Selain itu tindakan dan sikap para pembelajar dan strategi pembelajaran yang digunakan dalam mempelajari bahasa asing memberikan pengaruh yang kuat dalam pembelajaran kanji.

Shimizu dan Green (2003:8) menekankan bahwa pembelajaran kanji, terutama dalam pembelajaran second language acquisition (SLA) bagi para pembelajar asing yang menggunakan sistem penulisan alfabet akan menemukan kesulitan dalam mempelajari sistem penulisan kanji yang sangat berbeda dengan sistem penulisan alfabet. Dalam hal ini strategi pembelajaran yang diberikan oleh

(15)

pengajar akan memberikan dampak yang sangat besar bagi usaha para pembelajar dalam mengembangkan pendekatan dan strategi yang akan mereka gunakan dalam mempelajari huruf kanji.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti, hambatan pada kegiatan skrining IMS dengan VCT itu terletak pada sarana prasarana Lapas terkait tidak adanya

Tabel di atas menunjukkan bahwa lulusan ADBI termasuk karyawan yang memiliki kompetensi dalam bernegosiasi dengan baik, hal ini dapat dilihat dari informasi bahwa

Pengaruh penggunaan tongkol jagung dalam complete feed Dan suplementasi undegraded protein terhadap pertambahan bobot Badan dan kualitas daging pada sapi peranakan

Dapat dilihat bahwa di setiap saat, grafik amplitudo sel[1,1] pada simulasi tanpa anomali (warna merah) selalu lebih tinggi daripada grafik simulasi dengan anomali.

Dalam keseimbangan pada film Slepping Beauty, lebih memperlihatkan bagaimana kehidupan raja dan ratu, ketika mereka telah mempunyai seorang anak yang telah lama mereka

Pembuatan minuman fermentasi berbasis rice bran terfermentasi probiotik akan memberikan nilai tambah yang bersifat multifungsional, yakni kandungan senyawa

M engingat populasi burung kakatua di Pulau Komodo banyak ditemukan di lembah-lembah maka penting untuk melakukan penelitian seleksi habitat burung kakatua dengan variasi

3 1.3 Bersyukur atas lingkungan rumah sebagai tempat yang dianugerahkan Allah untuk bertumbuh dan berkembang.. 1.3.1 Mensyukuri atas lingkungan rumah sebagai tempat yang