HALAMAN 1
Latar Belakang
K
ehadiran Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) telah membuka babak baru bagi sistem politik dan tatanan demokrasi Aceh. Melalui instrumen hukum ini penguatan kapasitas politik lokal mulai mendapat tempat sekaligus mengh-adirkan beragam terobosan dalam sistem demokrasi Indonesia, seperti Calon Independen dan Partai Politik Lokal. Namun dibalik serangkaian terobosan yang dihadirkan UUPA dalam hal pembangunan politik dan demokrasi di Aceh, ternyata kemudian dalam perjalanan ditemukan sejumlah problematika yang mengarah kepada benturan regulasi atau dualisme hukum dalam Pemilu antara UUPA dan UU Pemilu yang berlaku secara nasional.Pada Pilkada Langsung yang pertama kali diadakan di Aceh Desember 2006, belum ditemukan konflik regulasi terkait pelak -sanaan hajatan demokrasi. Pilkada ini bisa dikatakan sebagai Pilkada Langsung Aceh yang paling sukses ditinjau dari min-imnya konflik yang berkaitan dengan regulasi. Istilah ini baru populer pada pelaksanaan tahapan Pilkada Langsung Aceh yang kedua. Dimana Pilkada langsung yang kedua kali ini sempat molor dan tertunda selama setahun (harusnya dilaksanakan di tahun 2011, bukan 2012) ekses adanya perbedaan tafsir atas ayat ayat politik dalam UUPA. Dari sini kemudian istilah konflik regulasi -atau istilah lain- dualisme regulasi, mengemuka. Tercatat Aceh sempat mengalami beberapa kali konflik regulasi dalam bidang penyelenggaraan Pemilu sehingga menyebabkan terganggunya proses demokrasi di aras lokal. Sebut saja semisal Konflik Regulasi terkait Pasal 256 UUPA yang mengatur ketentu -an Calon Independen di Aceh pada Pilkada 2012, konflik regula -si Kouta caleg 120 persen pada Pileg 2014, dan dualisme hukum mengenai kewenangan perekrutan Bawaslu Aceh oleh Bawaslu Pusat atau DPRA pada Pileg 2014.
ANALISIS
SITUASI
Tim Jaringan Survey Inisiatif
(JSI)
Pro Kontra Tafsir Regulasi
Penyelenggaraan Pilkada Aceh
(Kajian Potensi Konflik Dualisme Regulasi pada Pemilihan Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah Aceh Tahun 2017)
Edisi . 02 / Tahun I/ Desember 2015
DAFTAR ISI
2
POTENSI KONFLIK DUALISME REGULASI PILKADA ACEH 20172
SYARAT DUKUNGAN CALON5
SIMULASI PENGHITUNGAN JUMLAH DUKUNGAN CALON PERSEORANGAN7
KONFLIK PERAN & FUNGSI BAWASLU ACEH10
SYARAT PENGUNDURAN DIRI BAGI ANGGOTA LEGISLATIF DALAM PILKADAB
ila tidak ada aral melintang, Aceh akan melaksanakan Pilkada pada semester kedua yaitu tahun 2017. Provinsi Aceh tidak bisa mengikuti Pilkada serentak pada tahun 2015 atau semester pertama kare -na masa jabatan gubernur dan wakil gubernur Aceh serta jabatan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota di Aceh baru akan berakhir pada Juni 2017. Tahapan Pilkadanya sendiri diperkirakan akan dimulai pada tahun 2016 mendatang.Berkaca dari pengalaman penyelenggaraan Pemilu sebelumnya, diperlukan analisa menda-lam terhadap UUPA , Qanun Aceh dan regulasi yang mengatur tentang Pilkada serentak
lain-nya agar konflik regulasi seperti ketika Pilkada
2012 dan Pileg 2014 tidak terulang kembali
pada Penyelenggaraan Pilkada tahun 2017 di Provinsi Aceh. Pembahasan dalam Analisis Situasi (ANSIS) ini akan mengulas perihal po
-tensi konflik regulasi /dualisme hukum dalam
Penyelenggaraan Pilkada Aceh yang akan datang.
Dari hasil analisa dan kajian Tim Jaringan
Sur-vei Inisiatif (JSI) setidaknya terdapat 3 (tiga) po
-tensi konflik regulasi/ dualisme hukum dalam pelaksanaan Pilkada Aceh Tahun 2017. Tiga
potensi tersebut antara lain :
1. Syarat Dukungan Calon Perseorangan berdasarkan Jumlah Penduduk atau DPT pada
Pelaksanaan Pilkada Aceh tahun 2017.
2. Peran dan kewenangan Bawaslu Aceh terhadap Panwaslih Kabupaten/Kota di Aceh.
3. Syarat Pengunduran diri bagi Anggota DPRA/DPRK yang hendak mencalonkan diri
menjadi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Berikut pembahasan masing masing poin dia-tas
Syarat Dukungan Calon
Pertama, Terkait perihal Syarat dukungan Calon Perseorangan berdasarkan Jumlah Penduduk atau DPT pada Pelaksanaan Pilkada
Aceh tahun 2017.
Sebelumnya Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 60/PUU-XIII/2015 tang
-gal 29 September 2015 menjatuhkan putusan
dalam perkara Pengujian Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 ten -tang Penetapan Peraturan Pemerintah Peng-ganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indo
-nesia Tahun 1945.
MK mengubah aturan persyaratan pencalonan
kepala daerah bagi calon perseorangan.
Per-mohonan uji materi ini diajukan oleh Fadjroel Rachman, Saut Mangatas dan Victor Santoso. Menurut pemohon, undang-undang yang men -gatur persyaratan calon tunggal telah mem-persempit peluang pemohon untuk dicalonkan
dalam pilkada. Secara spesifik, kerugian hak
konstitusinal terjadi atas kepastian hukum, per-lakuan yang sama, dan hak yang sama dalam memeroleh jabatan dalam pemerintahan.Yang diuji materi ialah Pasal 41 ayat (1) dan (2). Bunyi pasal tersebut ialah sebagai berikut :
POTENSI KONFLIK DUALISME REGULASI PILKADA ACEH 2017
Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2015 1. Calon perseorangan dapat mendaftarkan
diri sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur jika memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
• Provinsi dengan jumlah penduduk sam
-pai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen);
HALAMAN 3 Mahkamah dalam keputusannya mengatur bahwa
syarat dukungan calon perseorangan harus meng-gunakan jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) dalam pemilu sebelumnya, bukan jumlah kes-eluruhan masyarakat di suatu daerah.
Menurut MK, persentase syarat dukungan tidak dapat didasarkan pada jumlah penduduk, karena tidak semua penduduk punya hak pilih. Keterpilihan kepala daerah bukan ditentukan jumlah penduduk keseluru-han, tapi yang sudah punya hak pilih. Selain itu, meski tidak bisa dikatakan diskriminatif, Pasal 41 ayat (1) dan (2) dinilai menghambat seseorang memperoleh hak yang sama dalam pemerintahan.
Persyaratan perseorangan berbeda dengan syarat calon yag didukung parpol, di mana syarat pencalonan ditentukan melalui perolehan suara berdasarkan daftar pemilih tetap. Dengan demikian, bunyi pasal tersebut harus dimaknai jumlah penduduk yang sudah memi-liki hak suara yang tetap. Meski demikian, putusan tersebut tidak berlaku pada pilkada serentak 2015 yang tahapannya telah berjalan. Putusan tersebut mulai berlaku pada pilkada serentak gelombang kedua, pada 2017.
Selengkapnya Amar Putusan MK Nomor 60/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa point dan substansi sebagai berikut :
ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. II/ TAHUN 2015
• Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen);
• Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen);
• Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan
• jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kabupaten/kota di Provinsi dimaksud.
2. Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, jika memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
• Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen);
• Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai den
-gan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen); • Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan
1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen);
• Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah persen); dan
• Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
Putusan Mahkamah Konstitusi Pasal 41 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d adalah :
• Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak di-maknai bahwa perhitungan persentase dukungan bagi calon perseorangan yang hendak mendaftarkan diri sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur didasarkan atas jumlah penduduk yang telah mem-punyai hak pilih sebagaimana dimuat dalam daftar calon pemilih tetap di daerah yang bersangkutan pada Pemilihan Umum sebelumnya
• Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak di-maknai bahwa perhitungan persentase dukungan bagi calon perseorangan yang hendak mendaftarkan diri sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur didasarkan atas jumlah penduduk yang telah mem-punyai hak pilih sebagaimana dimuat dalam daftar calon pemilih tetap di daerah yang bersangkutan pada Pemilihan Umum sebelumnya
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota
Putusan Mahkamah Konstitusi Pasal 41 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d adalah :
• Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa perhitungan persentase dukungan bagi calon perseorangan yang hendak mendaftarkan diri sebagai sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota didasarkan atas jumlah penduduk yang telah mempunyai hak pilih sebagaimana dimuat dalam daftar calon pemilih tetap di daerah yang bersangkutan pada Pemilihan Umum sebelumnya
• Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa perhitungan persentase dukungan bagi calon perseorangan yang hendak mendaftarkan diri sebagai sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota didasarkan atas jumlah penduduk yang telah mempunyai hak pilih sebagaimana dimuat dalam daftar calon pemilih tetap di daerah yang bersangkutan pada Pemilihan Umum sebelumnya
Dengan demikian dari putusan MK diatas jelas
bahwa basis pengumpulan dukungan bagi
calon perseorangan pada Pilkada tahun 2017
adalah menggunakan basis persentase DPT Pemilu terakhir (Pilpres 2014) tidak lagi meng-gunakan ketentuan persentese dari Jumlah Penduduk yang dinilai memberatkan dan
diskri-mintif oleh MK.
Namun terkait dengan Putusan MK tersebut, terdapat Potensi konflik regulasi bagi pelaksa
-naan Pilkada Aceh Tahun 2017. Hal demikian
karena pengaturan persyaratan dukungan bagi calon perseorangan dalam UUPA masih meng-gunakan basis Persentase Jumlah penduduk.
Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 68
ayat (1) UUPA, dimana disebutkan :
“Selain syarat-syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 67 ayat (2), calon perseorangan
harus memperoleh dukungan
sekurang-kurang-nya 3% (tiga persen) dari jumlah
pen-duduk y
ang tersebar di sekurang-kurangnya50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/ kota untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur
dan 50% (lima puluh persen) dari jumlah
keca-matan untuk pemilihan bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota.”
HALAMAN 5 Ditinjau dari segi dampak bagi Calon perseorangan pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, dari hasil analisa perhitungan ternyata persyaratan dukungan bagi calon perseorangan dengan menggunakan basis persentase jumlah penduduk dalam UUPA, lebih berat daripada persyaratan sebagaimana Putusan MK Nomor 60/PUU-XIII/2015 yang mensyaratkan dukungan melalui basis DPT Pemilu terakhir.
Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh menetapkan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Provinsi Aceh (23 kabupaten/kota) pada Pemilu Tahun 2014 sebanyak 3.337.545 jiwa, dengan suara sah Pilpres Tahun 2014 se-banyak 2.002.599 suara. Sedangkan Jumlah Penduduk di Provinsi Aceh berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2014 yang dilakukan BPS Aceh sebanyak 4.906.835 jiwa (BPS dalam Angka 2015).
Apabila Calon perseorangan pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh menggunakan UUPA maka 3 % dari Jumlah penduduk Aceh adalah 147.205 pemilih. sedangkan apabila menggunakan mekanisme basis dukungan DPT Pemilu terakhir sebagaimana Putusan MK Nomor 60/PUU-XIII/2015 calon perseorangan hanya cukup mengumpulkan dukungan sebanyak 100.126 pemilih. Artinya terdapat perbedaan selisih suara yang sangat signifikan sebesar 47.079 pemilih antara ketentuan UUPA yang menggunakan basis dukungan Jumlah Penduduk dengan Putusan MK Nomor 60/PUU-XIII/2015 yang memerintahkan menggunakan Basis DPT Pemilu terakhir .
ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. II/ TAHUN 2015
SIMULASI PENGHITUNGAN JUMLAH DUKUNGAN CALON
PERSEORANGAN
Persentase dukungan Berdasarkan Jumlah Penduduk
ProvinsiAceh Jumlah Jalur Partai Politik
Perseorangan 3% dari jumlah penduduk Catatan 15%
Kursi Suara Sah15% Jumlah
Penduduk 4.906.835Jiwa 12 Kursi 300.389 = 3%Jumlah Penduduk
147.205 Antara Calon
Perseorangan
dengan Partai Politik hanya selisih 2 % (dua persen) namun perseorangan harus mengumpulkan sendiri dukungan, sedang calon Partai Politik tidak perlu bersusah payah karena dibiayai negara dalam Pileg
Suara Sah 2.002.599
Total Kursi 81 Kursi
Persentase dukungan Berdasarkan Jumlah DPT Pemilu Terakhir
ProvinsiAceh Jumlah Jalur Partai Politik
Perseorangan 3% dari jumlah DPT Catatan 15%
Kursi Suara Sah15% Jumlah DPT 3.337.545
Pemilih 12 Kursi 300.389 = 3%JumlahDPT 100.126 Terdapat selisih jumlah Dukungan sebanyak 47.079 dukungan pemilih dibanding menggunakan mekanisme basis persentase jumlah penduduk Suara Sah 2.002.599
Total Kursi 81 Kursi
SIMULASI PENGHITUNGAN JUMLAH DUKUNGAN CALON
PERSEORANGAN
Persentase dukungan Berdasarkan Jumlah Penduduk
Provinsi
Aceh Jumlah Jalur Partai Politik
Perseorangan 3% dari jumlah penduduk Catatan 15%
Kursi Suara Sah15% Jumlah
Penduduk 4.906.835Jiwa 12 Kursi 300.389 = 3%Jumlah Penduduk
147.205 Antara Calon
Perseorangan
dengan Partai Politik hanya selisih 2 % (dua persen) namun perseorangan harus mengumpulkan sendiri dukungan, sedang calon Partai Politik tidak perlu bersusah payah karena dibiayai negara dalam Pileg
Suara Sah 2.002.599
Total Kursi 81 Kursi
Persentase dukungan Berdasarkan Jumlah DPT Pemilu Terakhir
Provinsi
Aceh Jumlah Jalur Partai Politik
Perseorangan 3% dari jumlah DPT Catatan 15%
Kursi Suara Sah15% Jumlah DPT 3.337.545
Pemilih 12 Kursi 300.389 = 3%JumlahDPT 100.126 Terdapat selisih jumlah Dukungan sebanyak 47.079 dukungan pemilih dibanding menggunakan mekanisme basis persentase jumlah penduduk Suara Sah 2.002.599
Total Kursi 81 Kursi
Keterangan : Suara Sah yang digunakan dalam simulasi ialah suara sah dalam Pilpres 2014 di
Disisi lain Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan perkara Nomor 35/PUU-VIII/2010 Mah -kamah dengan tegas menyatakan bahwa Calon perseorangan tidaklah termasuk dalam satu kekhususan Aceh.
Mahkamah dalam perkara Nomor 35/PUU-VIII/2010 menyatakan :
,
“....calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil
kepa-la daerah tidak termasuk didakepa-lam keistimewaan Pemerintah Aceh menurut
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh”
dengan demikian dapat diambil konklusi bahwa persyaratan dukungan melalui persentase ke-seluruhan jumlah penduduk sebagaimana tercantum dalam Pasal 68 ayat (1) UUPA bukanlah merupakan bagian dari kekhususan Aceh sehingga pasal ini sangat dimungkinkan untuk
dilaku-kan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Pasal 68 ayat (1) UUPA berpotensi memicu konflik reg
-ulasi dalam tahapan pencalonan Pilkada Aceh tahun 2017 dikarenakan memiliki muatan materi yang bertentangan dengan Putusan MK Nomor 60/PUU-XIII/2015 .
Materi dalam UUPA memuat ketentuan dukungan berdasarkan persentase jumlah penduduk sedangkan MK sudah membatalkan materi yang sama dalam UU No. 8 Tahun 2015, dan memu
-tuskan Pilkada setelah tahun 2015 bagi calon perseorangan harus menggunakan basis dukungan
HALAMAN 7
Kedua, Terkait Peran dan kewenangan Bawas-lu Aceh terhadap Panwaslih Kabupaten/Kota di
Aceh, Regulasi yang berpotensi menimbulkan
perdebatan hukum dan multitafsir diantaranya kewenangan Bawaslu Aceh dalam
melaku-kan fungsi pengawasan dan
evaluasi terhadap Panwaslih
Kabupaten/Kota di Aceh.
Diantaranya Pasal 78 dan Pasal 79 Peraturan Badan
Pengawas Pemilihan Umum
Nomor 7 Tahun 2015 Tentang Tata Kerja Dan Pola Hubun -gan Badan Pengawas Pemili-han Umum, Badan Pengawas
Pemilihan Umum Provinsi,
Dan Panitia Pengawas Pemili-han Umum Kabupaten/Kota, Panitia Pengawas Kecamatan, Pengawas Pemilihan Lapa-ngan, Pengawas Pemilihan Umum Luar Negeri Dan Pengawas Tempat Pemungutan Suara.
peran dan fungsi bawaslu aceh
ANALISIS SITUASI (ANSIS) JARINGAN SURVEI INISIATIF VOL. II/ TAHUN 2015
Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2015
Pasal 78
Dalam menyelenggarakan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam, Bawaslu Provinsi melakukan: a. pengawasan pelaksanaan tugas-tugas pengawasan penyelenggaraan Pemilu yang dilakukan oleh Panwaslu
Kabupaten/Kota; dan
b. mengawasi ketaatan anggota Panwaslu Kabupaten/Kota terhadap ketentuan Kode Etik Penyelenggara Pemilu dan peraturan perundang- undangan mengenai Pemilu.
Pasal 79
Dalam menyelenggarakan fungsi evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal, Bawaslu Provinsi melakukan
penilaian pelaksanaan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Panwaslu Kabupaten/Kota dalam UUPA pasal 62 huruf (d)
menjelas-kan bahwa Tugas dan wewenang Panitia Pengawas Pemilihan dilakukan melalui pen-gaturan hubungan koodinasi antara panitia pengawas pada semua tingkatan. Namun
dalam Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2007
tentang Penyelenggaraan Pemilu di Aceh tidak diatur mengenai kewenangan Bawaslu Aceh
dalam hal pengawasan dan evaluasi Panwas -lih Kabupaten Kota.
Tampaknya Perancang aturan Qanun Aceh
Nomor 7 / 2007 melihat kedudukan Panwas -lih Kabupaten Kota bersifat semi otonom seh-ingga antara satu dengan yang lain tidak bisa melakukan fungsi pengawasan karena Pan-waslih tidak dilantik oleh Bawaslu Aceh., oleh karena itu Panwaslih dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tidak bertanggu-ng jawab kepada Bawaslu Aceh.
Satu satunya hubungan kordinasi antara Panswaslih Kabupaten/Kota dengan Bawaslu Aceh adalah berkenaan
dengan penyampaian laporan kepada Bawaslu Aceh terhadap dugaan tindakan yang menganggu tahapan
penyelenggaraan Pilkada. Penyampaian laporan ini diperlukan sebagai dasar pengeluaran rekomendasi oleh Bawaslu Aceh.
Qanun Aceh Nomor 07 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu di Aceh
Pasal 39 ayat (1) huruf f :
Tugas Panwaslu kabupaten/kota adalah menyampaikan laporan kepada Panwaslu Aceh
sebagai dasar untuk pengeluaran rekomendasi Panwaslu Aceh yang berkaitan dengan
adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan
pemilu di kabupaten/kota;
Kedepan aturan dalam Qanun Aceh Nomor 07 tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu di Aceh perlu dilakukan semacam revisi yang memuat aturan dan mekanisme hubungan dan pola tata kerja yang jelas antara Bawaslu Aceh dan Panwaslih Kabupaten/ Kota di Aceh, dalam rangka menghindari perdebatan
dan multitafsir terhadap sejauh mana kewenangan
Bawaslu Aceh dalam hubungannya dengan Panwaslih Kabupaten/Kota.
Apakah hubungan kewenangan Bawaslu Aceh
kepa-da Panwaslih Kabupaten/Kota bersifat asistensi/kor
-dinasi atau memiliki kewenangan fungsi pengawasan
dan evaluasi terhadap kinerja Panwaslih sebagaimana diatur dalam Perbawaslu Nomor 07 Tahun 2015.
Selain itu terdapat potensi konflik regulasi lainnya.
Yaitu berkenaan dengan mekanisme perekrutan Bawaslu Aceh dan Panwaslih Kabupaten/Kota yang agak rumit dibandingkan perekrutan Bawaslu di daer-ah lain oleh Bawaslu Pusat.
Apabila di daerah lain Bawaslu Pusat melakukan me-kanisme perekrutan sekaligus pengangkatan terha-dap Anggota Bawaslu Provinsi dan Kabupaten/Kota. Khusus di Aceh Bawaslu pusat dinilai hanya memiliki kewenangan dalam hal penetapan dan pengangkatan Anggota Bawaslu Aceh dan Panwaslih Kabupaten/ Kota. Sedangkan kewenangan dalam hal penjarin-gan Anggota Bawaslu Aceh dilakukan oleh DPRA dan Panwaslih Kabupaten/Kota dilakukan oleh DPRK setempat.
UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
Kewenangan Pengusulan Pembentukan Panwaslu Aceh
Pasal 23 ayat (1) huruf L :
•
DPRA mempunyai tugas dan wewenang mengusulkan pembentukan KIP Aceh dan
Panitia Pengawas Pemilihan;
Kewenangan Pengusulan Pembentukan Panwaslih Kabupaten/kota
Pasal 24 ayat (1) huruf i :
•
DPRK mempunyai tugas dan wewenang mengusulkan pembentukan KIP kabupaten/kota
HALAMAN 9
Kewenangan Pembentukan dan
Pengangkatan Bawaslu Aceh dan Panwaslih
Kabupaten/Kota
UU No. 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerin-tahan Aceh
• Pasal 60 ayat (1) : Panitia Pengawas
Pemilihan Aceh dan kabupaten/kota
dibentuk oleh panitia pengawas tingkat
nasional dan bersifat ad hoc.
• Pasal 60 ayat (3) : Anggota Panitia
Pen-gawas Pemilihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), masing-masing
sebanyak 5 (lima) orang yang diusulkan
oleh DPRA/DPRK.
Qanun Aceh Nomor 07 Tahun 2007
Ten-tang Penyelenggara Pemilu di Aceh
Bawaslu Aceh
• Pasal 42 ayat (5) : DPRA menetapkan
5 (lima) nama peringkat teratas dari 15
(lima belas) nama calon anggota
Panwas-lu Aceh untuk diusulkan kepada BawasPanwas-lu.
• Pasal 42 ayat (6) : Bawaslu
mengesah-kan 5 (lima) nama calon yang diusulmengesah-kan
oleh DPRA menjadi anggota Panwaslu
Aceh paling lambat 40 (empat puluh) hari
sebelum tahapan pertama penyelenggaran
pemilu dimulai
Panwaslih Kabupaten/kota
• Pasal 43 ayat (5) : DPRK menetapkan
5 (lima) nama peringkat teratas dari 15
(lima belas) nama calon anggota Panwaslu
kabupaten/kota untuk diusulkan kepada
Bawaslu.
• Pasal 43 ayat (6) : Bawaslu
mengesah-kan 5 (lima) nama calon yang diusulmengesah-kan
oleh DPRK menjadi anggota Panwaslu
kabupaten/kota paling lambat 40 (empat
puluh) hari sebelum tahapan pertama
penyelenggaraan pemilu dimulai
Pemberhentian Bawaslu Aceh dan
Panwas-lih Kabupaten/kota
Pasal 46 ayat (1) : Pemberhentian anggota
Panwaslu Aceh dan Panwaslu kabupaten/kota
dilakukan oleh Bawaslu.
Problemnya adalah meski dalam reg-ulasi sudah jelas diatur mekanisme penjaringan dan pengangkatan An-ggota Bawaslu Aceh dan Panwas-lih Kabupaten/Kota namun kerap ketika Pemilu tiba timbul problem ego sektoral antar lembaga terkait mekanisme penjaringan dan pengangkatan tersebut. Hal ini karena dalam UU Pemilu yang berlaku secara nasional mekanisme per-ekrutan Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/ Kota berbeda dengan yang
diatur dalam UUPA. Dalam UU Nasional kewenangan perekrutan dan pengang-katan Bawaslu Provinsi sepenuhnya
merupakan kewenangan Bawaslu Pusat. Sedangkan Panwaslu
Ka-bupaten Kota merupakan hasil seleksi dari Bawaslu Provinsi.
Meski pada tataran Bawaslu Aceh polemik perekrutan tersebut telah diselesaikan sementara pada Pileg 2014 lalu dengan metode win win solution, sebagian direkrut oleh Bawaslu Pusat dan sebagian lagi oleh DPRA. Namun problem kedepan yang tampak nya akan terulang kembali ialah terkait me-kanisme perekrutan Panwaslih Kabupaten/kota.
Akan timbul kembali ego sektoral terkait kewenangan perekrutan terhadap Anggota Panwaslih. Memang perekrutan dilakukan oleh DPRK namun pengangkatannya dilakukan oleh Bawaslu Pusat. Problemnya bagaimana seandainya Bawaslu Pusat menilai hasil seleksi dari DPRK setempat ternyata tidak sesuai dengan kriteria dan penilaian Bawaslu Pusat? Lantas siapa yang akan melantik Panwas-lih Kabupaten/Kota kedepan seandainya Bawaslu Pusat enggan melantik?
UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
• Pasal 73 ayat (4) :
Dalam melaksanakan tugasnya, Bawaslu berwenang membentuk
Bawaslu Provinsi
UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada (Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015)
• Pasal 24 ayat (2) :
Panwas Kabupaten/Kota dibentuk dan ditetapkan oleh Bawaslu
Provinsi.
• Pasal 24 ayat (3) : Penetapan anggota Panwas Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan setelah melalui seleksi oleh Bawaslu Provinsi
SYARAT PENGUNDURAN DIRI BAGI ANGGOTA LEGISLATIF
DALAM PILKADA
Ketiga, Syarat Pengunduran diri bagi Anggota DPRA/DPRK yang hendak mencalonkan diri men-jadi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
berpo-tensi menuai konflik regulasi sebagaimana yang
pernah diulas pada Analisis Situasi (Ansis) Jar-ingan Survei Inisiatif Vol. 1 Tahun 2015 (http:// www.jsithopi.org) .
berkaitan dengan hal tersebut Kemendagri telah mengeluarkan Surat Kawat (Telegram) Nomor : 160/5953/sj pada tanggal 20 Oktober 2015 yang ditujukan kepada Gubernur, Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia. Berikut isi surat kawat tersebut :
HALAMAN 11
Dari surat Kemendagri diatas, konsisten dengan hasil Ansis JSI Vol. 1 Tahun 2015 Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIII/2015 (“Rujukan terhadap Pen-calonan Pelaksanaan Pilkada Aceh”)* akan urgensitas untuk dilakukan Judicial Review (JR) atau peninjauan kembali terkait per-syaratan pemberitahuan bagi calon yang berlatarbelakang anggota DPRA/DPRK kepa-da pimpinan DPRA/DPRK sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 91 Ayat (4) Huruf I UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh kepada Mahkamah Konstitusi.
apabila tidak dilakukan JR, maka calon yang bersangkutan akan dikenakan pembatalan se-bagai calon kepala daerah dan tidak akan dilantik sese-bagai kepala daerah apabila yang bersangku-tan menjadi pemenang dalam Pilkada Aceh Tahun 2017.
Kawat Kemendagri Nomor : 160/5953/sj pada tanggal 20 Oktober 2015
Dalam rangka Pemenuhan Syarat calon dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
KepalDaerah serentak Tahun 2015, dengan hormat disampaikan hal sebagai berikut :
a. di dalam ketentuan Pasal 68 Ayat (1) Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015 ditegaskan
bahwa bagi Calon yang berstatus Anggota DPRD wajib menyampaikan Keputusan
Pe-jabat yang berwenang tentang pemberhentian sebagai Anggota DPRD paling lambat 60
(enam puluh) hari sejak ditetapkan sebagai calon;
b. sehubungan dengan itu, dan dengan memperhatikan batas waktu tersebut diatas,
di-harapkan :
1. Para Gubernur dan Ketua DPRD Provinsi segera memfasilitasi proses pengusulan
pem-berhentian Anggota DPRD Provinsi kepada Menteri Dalam Negeri untuk penetapan
Keputusan Pemberhentian Anggota DPRD Provinsi yang menjadi Calon Kepala Daerah
atau Wakil Kepala Daerah;
2. Para Bupati/Walikota dan Ketua DPRD Kab/Kota segera memfasilitasi Proses
Pengusu-lan Pemberhentian Anggota DPRD Kab/Kota kepada masing masing Gubernur untuk
penetapan Keputusan Pemberhentian Anggota DPRD Kab/Kota yang menjadi Calon
Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah;
c. Keterlambatan Penetapan Keputusan Pemberhentian Anggota DPRD tsb dapat
ber-implikasi terhadap
Pembatalan
yang bersangkutan sebagai Calon Kepala Daerah atau
Calon Wakil Kepala Daerah.
Jaringan Survey Inisiatif
®
Jl. Syiah Kuala, Lr. Nyak Bintang, Gp. Lamdingin, Kec. Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh-23127 Telp. (0651) 6303 146
Web: www.jsithopi.org Email: js.inisiatif@gmail.com
Analisis : Aryos Nivada, MA & Tim JSI
Desain Grafis : Teuku Harist Muzani
rekomendasi jsi
Berdasarkan hasil Analisa Situasi diatas, JSI mer -ekomendasikan kepada pengambil kebijakan dan stakeholder untuk :
1. Melakukan Uji Materi (Judicial Review) terha -dap Pasal 68 ayat (1) UUPA bagi pihak yang merasa dirugikan, dimana dalam pasal terse-but memuat ketentuan dukungan berdasarkan persentase jumlah penduduk sedangkan MK sudah membatalkan materi yang sama dalam UU No. 8 Tahun 2015 melalui Putusan MK No -mor 60/PUU-XIII/2015. MK memutuskan Pilka -da setelah tahun 2015 bagi calon perseoran -gan harus menggunakan basis dukun-gan DPT Pemilu terakhir. Ketentuan persyaratan meng-gunakan basis dukungan data penduduk dalam UUPA lebih memberatkan calon perseorangan dibandingkan menggunakan basis dukungan data DPT pemilu terakhir.
2. Terkait Peran dan kewenangan Bawaslu Aceh terhadap Panwaslih Kabupaten/Kota di Aceh, perlu dilakukan revisi/perubahan terhadap Qanun Aceh Nomor 07 tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu di Aceh dalam rangka memperjelas hubungan dan pola tata kerja yang jelas antara Bawaslu Aceh dan Panwaslih Kabupaten/Kota di Aceh . termasuk memperte-gas fungsi pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja masing masing.
3. Merekomendasikan kepada DPRA untuk: • melakukan legislative review kepada DPR RI un
-tuk mengubah ketentuan dalam pasal pasal 23 ayat (1) huruf l UUPA, semula berbunyi : DPRA mempunyai tugas dan wewenang mengusulkan pembentukan KIP Aceh dan Panitia Pengawas
Pemilihan diubah menjadi : DPRA mempunyai
tugas dan wewenang mengusulkan pembentu
-kan KIP Aceh dan Badan Pengawas Pemilihan
Aceh. Implikasi dari perubahan nama dari Panitia Pengawas Pemilihan menjadi Badan Pengawas Pemilihan Aceh adalah perubahan terhadap semua pasal yang terkait dengan Panitia Pengawas Pemilihan tingkat provinsi dan bersifat tetap. Sedangkan di tingkat Kabupaten/ Kota masih bersifat panitia Pengawas Pemili-han.
• Mempertegas pasal pasal yang terkait dengan kewenangan terhadap rekrutmen dan pen-gangkatan Bawaslu Aceh dan Panwaslu Kabu-paten/kota.
• segera dilakukan revisi/perubahan melalui Legislative Review (LR) atau Judicial Review (JR) /Peninjauan Kembali terkait persyaratan pem-beritahuan bagi calon yang berlatarbelakang anggota DPRA/DPRK kepada pimpinan DPRA/ DPRK sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 91 Ayat (4) Huruf I UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Karena implikasi apabila ayat ini tetap digunakan dalam Pilkada Aceh tahun 2017 mendatang maka calon yang memenangkan Pilkada 2017 yang berlatarbe -lakang anggota DPRA/DPRK yang tidak men -gundurkan diri sebagaimana amanat putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015 dapat dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon kepala daer-ah. Eksesnya calon tersebut meski menjadi pe-menang dalam Pilkada Aceh Tahun 2017 tetap tidak dapat dilantik oleh Kemendagri sebagai Kepala Daerah.[]