• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskiptif Terhadap Resiliency Pada Ibu Dengan Anak Tuna Grahita di SLB "X" Kota Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskiptif Terhadap Resiliency Pada Ibu Dengan Anak Tuna Grahita di SLB "X" Kota Bandung."

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

untuk mengetahui gambaraan resiliency pada ibu yang memiliki anak tuna grahita di SLB “X” kota Bandung. Manfaat yang diharapkan Ibu diharapkan dapat menerima keadaan anaknya yang tuna grahita dan bertahan untuk tetap membasarkan dan merawat anak.

Dasar teori yang digunakan adalah teori resiliency dari Bonnie Benard, dimana resiliency merupakan kemampuan individu untuk dapat beradaptasi dengan baik di tengah situasi yang menekan dan banyak halangan dan rintangan.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik penarikan sampel yaitu purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini yaitu pada ibu yang memiliki anak tuna grahita di SLB “X” kota Bandung. Penelitian ini menggunakan alat ukur kuesioner resiliency yang disusun oleh peneliti berdasarkan teori resiliency dari Bonnie Benard. Berdasarkan pengolahan data statistik melalui uji validitas menggunakan Spearman dan uji reliabilitas menggunakan teknik Alpha Cronbach diperoleh 49 item yang diterima, dengan validitas berkisar antara -0,054 – 0,821 dan reliabilitas 0,646.

Berdasarkan pengolahan data terhadap 30 responden, diketahui 36,7% responden memiliki resiliency yang tinggi, 26,7% responden memiliki resiliency yang rendah dan sisanya memiliki resiliency yang cenderung tinggi, sedang, cenderung rendah. Responden dengan resiliency tinggi akan menunjukkan kekuatan juga dalam empat aspek personal strengths, responden dengan resiliency rendah memiliki aspek yang rendah dalam keempat personal strengths dan responden dengan resiliency yang cenderung tinggi, sedang, cenderung rendah memiliki beberapa aspek yang bervariasi dalam personal strengths.

(2)

this research is to know learn the descripton resiliency in women who have mentally retarded children in special schools "X" Bandung. The expected benefits she expected to endure and accept that their children, so that mothers can have a strong belief in the state and future of their children.

Basic theory used is the theory of resiliency from Bonnie Benard, which view resiliency as the ability of individuals to be able to adapt well in the midst of stressful situations and a lot of obstacles and hurdles.

The method used is descriptive method with purposive sampling technique, the samples in this study is the mothers of mentally retarded children in special schools "X" Bandung. This study used a questionnaire, to measure resiliency as modified by the researcher based on resiliency theory from Bonnie Benard. Based on statistical data processing by using the Spearman test validity and reliability test using Cronbach Alpha obtained received 49 items, with validity ranging from -0.054 - 0.821 and the item’s 0.646 reliability.

Based on the data processing of the 30 respondents, is it was found then 36.7% of respondents have a high resiliency, 26.7% of respondents have a low resiliency. Respondents with high resiliency show their strength in four aspects of personal strengths, respondents with low resiliency show their weak in four aspects of personal strengths.

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I – PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 14

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian ... 14

1.3.1. Maksud Penelitian ... 14

1.3.2. Tujuan Penelitian ... 14

1.4. Kegunaan Penelitian ... 15

1.4.1. Kegunaan Teoritis ... 15

1.4.2. Kegunaan Praktis... 15

1.5. Kerangka Pikir ... 16

1.6. Asumsi Penelitian ... 29

BAB II – TINJAUAN PUSTAKA ... 30

2.1. Resuliency ... 30

2.1.1. Definisi Resuliency ... 31

(4)

2.2.1. Pengertian Anak Tunagrahita ... 51

2.2.2. Perkembangan fisik, kognitif, bahasa anak Tunagrahita ... 52

2.3. Klasifikasi Anak Tunagrahita ... 53

2.4. Developmental Course and Adult Out Comes ... 54

2.5.Dampak Ketunagrahitaan Pada Ibu ... 56

2.6. SLB “X” ... 59

BAB III – METODOLOGI PENELITIAN ... 62

3.1. Rancangan Penelitian dan Prosedur Penelitian ... 62

3.1.1. Bagan Prosedur Penelitian ... 62

3.2. Bagan Prosedur Penelitian ... 62

3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 63

3.3.1 Variabel Penelitian ... 63

3.3.2 Definisi Operasional ... 63

3.4. Alat ukur ... 67

3.4.1. Alat Ukur Resiliency... 67

3.4.1.1 Prosedur Pengisian ... 68

3.4.1.2 Sistem Penilaian ... 68

3.4.2. Data Pribadi dan Data Penunjang ... 69

3.4.3. Validitas dan Reliabilitas ... 70

(5)

3.5.2. Karakteristik Sampel ... 72

3.5.3. Teknik Penarikan Sampel ... 72

3.6. Teknik Analisis Data ... 72

BAB IV – HASIL DAN PEMBAHASAN ... 74

4.1. Gambaran Responden ... 74

4.1.1. Persentase Responden Berdasarkan Usia ... 74

4.1.2. Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan ... 75

4.1.3. Persentase Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 75

4.2. Gambaran Hasil Penelitian ... 76

4.2.1. Hasil Penelitian ... 76

4.2.2. Protective Factor ... 77

4.3. Pembahasan ... 79

BAB V – KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

5.1. Kesimpulan ... 87

5.2. Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 90

DAFTAR RUJUKAN ... 91

(6)

Tabel 4.1.1. Gambaran Responden Berdasarkan Usia ... 74

Tabel 4.1.2. Gambaran Responden Berdasarkan Pendidikan ... 75

Tabel 4.1.3. Gambaran Responden Berdasrakan Pekerjaan ... 75

Tabel 4.2.1. Persentase Aspek-aspek Resiliency ... 76

Tabel 4.2.2.1. Caring Relationship In Family ... 77

Tabel 4.2.2.2. Caring Relationship In Community ... 77

Tabel 4.2.2.3. High Expectation In Family ... 77

Tabel 4.2.2.4. High Expectation In Community ... 78

Tabel 4.2.2.5. Opportunities For Participation And Contribution In Family ... 78

(7)
(8)

Lampiran 2 : Kerangka Wawancara Data Penunjang Lampiran 3 Kisi-kisi Alat Ukur Resiliency

Lampiran 4 : Data Mentah Skor Kuesioner Lampiran 5 : Validitas Alat Ukur Resiliency Lampiran 6 : Reliabilitas Alat Ukur Resiliency Lampiran 7 : Skor Aspek-Aspek Resiliency Lampiran 8 : Skor Data Penunjang

Lampiran 9 : Data Pribadi

Lampiran 10 : Persentase Aspek-Aspek Resiliency Lampiran 11 : Persentase Protective Factor

Lampiran 12 : Data Mentah Skor Aspek Resiliency, data penunjang dan data pribadi

(9)

1.1 Latar Belakang Masalah

Semua orangtua berharap dapat melahirkan anak dengan selamat dan

mendapatkan anak yang sehat jasmani dan rohani. Kehadiran anak dapat

membawa kebahagiaan bagi seluruh keluarga serta sebagai penerus yang

diharapkan akan membawa kebaikan bagi keluarga. Memiliki anak yang normal

baik fisik maupun mental adalah harapan bagi semua orangtua. Pada

kenyataannya sebagian kecil anak terlahir dengan keadaan kurang sempurna atau

memiliki kecacatan fisik, mental maupun emosi, dimana anak-anak ini sering

disebut anak berkebutuhan khusus.

Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang

berbeda dengan anak pada umumnya yang merujuk pada ketidakmampuan

mental, emosi atau fisik. Adapun yang termasuk kedalam anak berkebutuhan

khusus adalah tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, tuna daksa, tuna laras,

kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan

kesehatan. Anak tuna grahita adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan

dan keterbelakangan perkembangan mental di bawah rata-rata sedemikian rupa

sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun

sosial, dan karenanya memerlukan layanan pendidikan khusus. Ada beberapa

penyebab anak tuna grahita yaitu keturunan (genetik), faktor lingkungan, genetik,

(10)

Menurut Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2006, dari

222.192.572 penduduk Indonesia, sebanyak 0,7% atau 2.810.212 jiwa adalah anak

berkebutuhan khusus, 601.947 anak (21,42%) diantaranya adalah anak usia

sekolah (5-18 tahun). Populasi anak tuna grahita menempati angka paling besar

dibanding jumlah anak berkebutuhan khusus lainnya. (puskom.depkes.go.id,

diakses Januari 2010).

Ketika pertama kali orangtua mengetahui bahwa buah hati anak mereka

menyandang tuna grahita, tidak sedikit orangtua yang merasa tidak dapat

menerima kenyataan serta tidak siap untuk membesarkan dan membimbing

anaknya. Tatkala diberitahukan diagnosis tentang keadaan anaknya, biasanya

orangtua akan memberikan reaksi terkejut, dan sulit menerima kenyataan ini.

Tidak diherankan bila orangtua merasa tertekan, malu, sedih, depresi, dan

membayangkan sulitnya merawat serta membesarkan anak berkubutuhan khusus.

Ibu dengan anak yang berketerbatasan dilaporkan memiliki beban sosial yang

tinggi khususnya anak yang memiliki keterbatasan dalam perkembangannya

(Journal of Developmental and Physical Disabilities, June 2002).

Seorang ibu memiliki tugas sebagai seorang istri yaitu mengatur rumah

tangga, berkomunikasi dua arah dengan suami, bersama dengan suami memenuhi

kewajiban financial. Saat memiliki anak peran dan tanggung jawab menjadi

bertambah karena ibu harus menyesuaikan diri dengan tuntutan baru untuk

merawat bayi, bertanggung jawab menjadi orangtua dan harus menjaga hubungan

dengan suami (Duval,1977). Peran seorang ibu yang memiliki anak tuna grahita

(11)

mengalami hambatan dalam perkembangan fisik, kognitif, bahasa, emosi, dan

penyesuaian sosial.

Ibu mempunyai peranan yang sangat penting dalam merawat anaknya,

yaitu harus mendampingi anak terus-menerus dalam kegiatan sehari-harinya yang

sederhana untuk diri anaknya seperti dalam ibu harus mengenakan pakaian pada

anaknya, dimana anak nya dalam mengajarkan mengancingkan pun ibu harus

terus mengingatkan anaknya, saat membersihkan diri seperti mandi, buang air

besar, buang air kecil ibu pun harus terus membantu anaknya, selain makan dan

minum pun terkadang harus diingatkan bahkan harus selalu menyuapinya. Ketika

anaknya pergi sekolah pun ibu harus selalu mengantarkan anaknya dan ada

beberapa ibu harus selalu menunggui anaknya disekolah. Anak tuna grahita juga

memiliki masalah emosional dan perilaku, dimana ibu harus bersabar dan

menahan malu seperti ketika anaknya sedang kesal dan marah karena ditempat

umum anak tersebut kadang bisa berteriak-teriak, menangis, melempar barang

bahkan memukul ibu. Selain itu karena anaknya memiliki keterbatasan

intelegensi, ibu harus dengan sabar dan berulang-ulang dalam mengajari anaknya

pelbagai pelajaran disekolah.

Para ibu yang mempunyai anak tuna grahita hendaknya memiliki

pengetahuan dan pemahaman terhadap kondisi anaknya, sehingga dapat bertindak

dengan cara yang tepat saat membesarkan dan mendidik anaknya. Pengetahuan

dalam mendidik anak berkebutuhan khusus ini bertujuan untuk meningkatkan

kemampuan dan keterampilan anaknya, agar anak dapat mandiri dalam menjalani

(12)

yang dapat dilakukan ibu dengan anak tuna grahita dalam meningkatkan

kemampuan dan keterampilan anaknya sehingga optimal sesuai dengan

potensinya. Ibu juga dapat membawa anaknya untuk terapi sesuai dengan anjuran

dokter atau psikolog, serta menyekolahkan anak-anak di sekolah khusus. Ibu

dengan anak tuna grahita berhak dan perlu memasukan putra-putrinya ke bangku

sekolah khusus bagi anak berkebutuhan khusus atau dikenal sebagai sekolah

pendidikan luar biasa.

Pendidikan Luar Biasa atau Pendidikan Khusus merupakan sarana

pendukung yang sangat tepat untuk membina kemampuan yang masih ada pada

peserta didik yang mengalami hambatan atau kelainan, kekurangan segi fisik,

mental, intelektual, emosi, sosial, sehingga menghasilkan kemandirian yang

bermanfaat baik bagi anak berkebutuhan khusus ini, keluarga dan juga masyarakat

sekitarnya. Pendidikan Luar Biasa atau Pendidikan Khusus dibagi kedalam enam

bagian yaitu, SLB bagian A untuk tuna netra, SLB bagian B untuk tuna rungu,

SLB bagian C untuk tuna grahita, SLB bagian D untuk tuna daksa, SLB bagian E

untuk tuna laras dan SLB bagian G untuk cacat ganda (www.pkplk-plb.org,

diakses Januari 2010). Menurut Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang

sistem pendidikan nasional pasal 8 ayat (1) dinyatakan bahwa warga negara yang

memiliki kelainan fisik dan atau mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa

(Darmawati Arief, 17 Mei 2008).

Pelayanan pendidikan terutama kepada anak luar biasa usia sekolah

merupakan salah satu unsur penting yang sangat menunjang keberhasilan

(13)

kemampuannya. Anak tuna grahitapun membutuhkan layanan pendidikan secara

khusus yakni disesuaikan dengan kemampuan anak tersebut. Pada kenyataannya

tidak semua anak bisa mendapatkan kesempatan mendapatkan pendidikan untuk

mengembangkan potensinya.

Menurut data Sekolah Luar Biasa tahun 2006/2007 jumlah peserta dididik

penyandang anak berkebutuhan khusus yang mengenyam pendidikan baru

mencapai 27,35% atau 87.801 anak. Dari jumlah itu populasi anak tuna grahita

menempati urutan paling besar yaitu 66.610 anak dibanding jumlah anak

berkebutuhan khusus lainnya. Sekitar 57% dari jumlah itu adalah anak tuna

grahita ringan dan sedang (puskom.depkes.go.id, diakses Januari 2010).

Menurut Sutji Somantri, MM.,MPd, (2006) penyebab jumlah anak tuna

grahita yang belum tersentuh pendidikan masih tinggi, antara lain karena

orangtua cenderung menyembunyikan keberadaan anaknya yang tuna grahita di

rumah, sehingga tidak memedulikan lagi pendidikan anaknya. Orangtua masih

menerapkan paradigma lama yaitu menyekolahkan anak tuna grahita kurang

menguntungkan jika dipandang dari aspek ekonomi. Kondisi ekonomi orangtua

yang rendah menjadikannya tidak mampu lagi membiayai sekolah anaknya.

Keluarga dengan kondisi ekonomi rendah itu memutuskan hanya memprioritaskan

untuk membiayai kelangsungan hidup anaknya yang tuna grahita. Alasan lainnya,

belum tersedianya SLB di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia, dan disisi lain

anak tuna grahita tertentu memerlukan pendampingan orangtuanya di sekolah.

Keberadaan anak tuna grahita belum dapat diterima sepenuhnya bila

(14)

anak normal masih memiliki ketakutan bahwa perilaku anak tuna grahita itu

menular kepada anaknya. Upaya pemenuhan hak azasi anak berkebutuhan khusus

untuk mengenyam pendidikan belum dilakukan secara maksimal, termasuk belum

optimalnya sosialisasi pentingnya pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di

seluruh pelosok desa dan kecamatan di Tanah Air. Biaya pendidikan bagi siswa

anak berkebutuhan khusus relatif lebih tinggi dibanding dengan biaya pendidikan

untuk siswa biasa (Sutji Somantri, MM., MPd, 2006).

Sebagian besar penyandang tuna grahita di Indonesia adalah masyarakat

yang secara financial kurang mampu. Sedangkan, untuk terapinya membutuhkan

biaya yang cukup besar. Menurut Zainal Arifin, anggota Badan Pengurus

Orangtua Tuna grahita Indonesia (POTI), pada tahun 2000 jumlah penyandang

cacat di Indonesia lebih dari enam juta jiwa, di antaranya adalah tuna grahita.

Hampir 70 persen tuna-grahita berasal dari kalangan tidak mampu. Mengingat

ketidakmampuan ekonomi, banyak keluarga membiarkan anaknya tumbuh tanpa

perawatan dan tanpa terapi yang optimal, bahkan dibiarkan hidup tidak seperti

manusia lain. Banyak keluarga belum memahami bagaimana merawat anak tuna

grahita. Masih banyak orangtua dan keluarga yang menyembunyikan anak-anak

tersebut (www.kompas.com, Agustus 2006).

Dari fakta yang telah dipaparkan di atas dapat dilihat masih banyak anak

tuna grahita yang tidak tergali potensinya karena tidak mendapat pendidikan

sebagaimana seharusnya. Banyak hal yang melatarbelakangi para orangtua tidak

memiliki kesempatan untuk menyekolahkan putra-putrinya yang tuna grahita

(15)

anggapan bahwa menyekolahkan anak tuna grahita kurang menguntungkan

dipandang dari aspek ekonomi, kondisi ekonomi orangtuanya yang rendah dan

selain itu anak tuna grahita belum sepenuhnya dapat diterima di masyarakat. Ada

juga para orangtua dari ekonomi menengah ke bawah yang mengupayakan

pendidikan bagi putra-putrinya yang mengalami tuna grahita, agar mendapatkan

pendidikan sesuai dengan kebutuhan anaknya untuk mengembangkan

keterampilannya. Seperti halnya para orangtua yang menyekolahkan

putra-putrinya di SLB “X” Kota Bandung.

SLB “X” Kota Bandung merupakan salah satu lembaga pendidikan yang

melayani pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Dengan layanan pendidikan

yang diberikan diharapkan dapat mengoptimalkan kemampuan anak berkebutuhan

khusus, meliputi pengetahuan, keterampilan/keahlian sebagai bekal anak dimasa

datang yang dilandasi oleh keimanan, ketakwaan, berbudi pekerti luhur,

kepribadian mandiri, tangguh, cerdas, terampil, berdisiplin tinggi, sehat jasmani

dan rohani yang memungkinkan mereka berkembang sesuai dengan

kemampuannya masing-masing, karena mereka juga mempunyai hak yang sama

untuk mendapatkan dan memperoleh pendidikan sesuai dengan bunyi UUD 1945

pasal 31.

SLB “X” Kota Bandung berdiri pada tahun 2005 dan mendapat izin

operasional dari DISDIK-PPTSP Provinsi Jawa Barat pada tahun 2007 Tanggal

12 Desember 2007. Jenjang Pendidikan SLB “X” Kota Bandung mulai dari

TKLB, SDLB, SMPLB, SMLB dan kelas keterampilan. Saat ini SLB “X” Kota

(16)

pengajar 8 (delapan) orang yang terdiri dari 4 (empat) orang guru PNS dan 4

(empat) orang guru sukarelawan. Anak tuna grahita pada sekolah ini memiliki IQ

40-70 menurut DSM IV-TR termasuk dalam tingkatan mild dan moderate.

Salah seorang pengajar di SLB “X” Kota Bandung yang diwawancarai

peneliti menyatakan, orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah ini

sebagian besar berlatar belakang ekonomi menengah ke bawah, pekerjaan

orangtua kebanyakan adalah wiraswasta, pegawai swasta, dan buruh. Pendidikan

orangtua rata-rata lulusan Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama,

meski ada beberapa diantaranya berpendidikan Perguruan Tinggi. Informasi lain

yang didapatkan dari pengajar adalah para ibu terlihat memerhatikan anaknya, ibu

sering bertanya pada pihak sekolah mengenai kemajuan anaknya.

Berdasarkan wawancara dengan enam orang ibu yang memiliki anak tuna

grahita di SLB “X” kota Bandung, diperoleh informasi bahwa ada kesulitan

tersendiri dalam merawat anaknya, yaitu terkadang ibu merasakan kelelahan

karena anaknya sulit diatur dan tidak dapat melakukan aktivitas sehari-harinya

sendiri. Anak tuna grahita membutuhkan perhatian yang lebih besar dibandingkan

anak-anak normal. Terkadang ada ketakutan tersendiri membayangkan masa

depan anaknya jika ibu sudah tidak ada. Masalah ekonomi juga sering menjadi

hambatan, karena orangtua harus mengeluarkan biaya lebih untuk terapi atau

konsultasi anaknya ke Psikolog. Demi anaknya para ibu tetap berusaha agar

putra-putrinya mendapatkan pendidikan, yaitu dengan menyekolahkan nya di SLB “X”

agar dapat membekali anaknya dengan pengetahuan dan keterampilan untuk

(17)

Kesulitan-kesulitan atau keadaan menekan (adversity) yang dialami ibu

dengan anak tunagrahita membawa seorang ibu dalam keadaan stressful. Untuk

dapat beradaptasi pada situasi menekan tepatnya saat membesarkan anak tuna

grahita, disaat harus menjalankan perannya sebagai istri dan ibu dari

anak-anaknya, maka ibu yang memiliki anak tuna grahita perlu memiliki resiliency.

Menurut Bennard (2004), resiliency merupakan kemampuan individu

untuk dapat beradaptasi dengan baik di tengah situasi yang menekan dan banyak

halangan dan rintangan. Resiliency disebut sebagai personal strength, yang

termanifestasi kedalam empat aspek, yaitu: pertama social competence yaitu

kemampuan dan tingkah laku yang diperlukan untuk membangun relasi yang

positif dan kedekatan terhadap lingkungannya, kedua problem solving skills yaitu

kemampuan merencanakan alternatif solusi dalam menghadapi masalah, ketiga

autonomy yaitu kemampuan untuk bertindak dengan mandiri dan dapat

mengendalikan diri serta lingkungan, keempat sense of purpose and bright future

yaitu merupakan kemampuan untuk mengarahkan dan memotivasi diri pada

tujuan yang lebih baik di masa depan.

Menurut hasil wawancara dengan enam ibu yang memiliki anak tuna

grahita di SLB “X” Kota Bandung, memiliki kecurigaan ada sesuatu yang salah

dengan anak mereka, di saat mereka melihat anaknya mengalami keterlambatan

perkembangan. Keenam ibu menyadari anaknya memiliki keterlamabatan dalam

hal perkembangan motorik dan komunikasi pada saat usia anak mereka satu

sampai empat tahun. Saat mereka menyadari keterlambatan tersebut, mereka

(18)

penjelasan bahwa anak mereka mengalami hambatan dan keterbelakangan

perkembangan mental dan kemampuan intelektual di bawah rata-rata.

Respon pertama kelima ibu saat mendengar penjelasan tersebut terkejut,

sedih, bingung, marah, serta tidak percaya, hal tersebut terjadi beberapa minggu

sampai akhirnya ibu bisa menerima kenyataan tersebut. Satu ibu lainnya

walaupun ia mengaku sangat sedih tetapi ia langsung menerima keadaan anak

dengan lapang dada dan bertanya pada dokter apa yang harus dilakukan,

perawatan apa yang harus disediakan. Setelah mengetahui keadaan anak yang

sebenarnya, keenam ibu memberitahukan keadaan anaknya pada suaminya.

Keempat ibu mengakui bahwa saat pertama kali mendengarkan penjelasan

mengenai anaknya, suami mereka terkejut, sedih dan menolak keberadaan anak,

namun setelah beberapa bulan mereka mampu menerima keberadaan anak. Kedua

ibu lainnya menceritakan bahwa suami mereka sedih tetapi dapat menerima

keadaan tersebut. Selain pada suami mereka juga menceritakan keadaan anak nya

pada anggota keluarga mereka, kelima ibu mengakui bahwa keluarga mereka

menerima dan memberikan dukungan pada ibu, namun satu ibu lainnya

menceritakan bahwa keluarga tidak dapat menerima keadaan anaknya.

Sebanyak 66,7% ibu mampu menjalin relasi dengan orang di sekitar

seperti teman, tetangga, guru dan membuat lingkungannya menunjukkan

penerimaan dengan memberikan dukungan terhadap ibu. Para ibu juga dapat

menceritakan kesulitan dalam mengurus anaknya pada keluarga, sesama ibu yang

memiliki anak tuna grahita dan para guru. Sebanyak 33,3% ibu dengan anak tuna

(19)

lingkungan sekitarnya karena merasa malu memiliki anak tuna grahita, mereka

cenderung menutup diri dari lingkungan sekitar. Mereka juga tidak pernah

bertukar pikiran atau menceritakan permasalahan yang dihadapi.

Sebanyak 50% ibu membuat rencana dalam membesarkan anak tuna

grahita, dengan menerima kejadian tersebut dan mencari jalan keluar agar

anaknya dapat hidup mandiri disaat anaknya dewasa nanti. Salah satu usahanya

yaitu dengan menyekolahkan anaknya di SLB “X” Kota Bandung, dengan

harapan sekolah dapat membekali anaknya berbagai macam keterampilan.

Kebanyakan dari para ibu memiliki masalah ekonomi namun hal tersebut tidak

menjadi hambatan dalam menyekolahkan anaknya, mereka mencari sekolah yang

sesuai dengan keadaan ekonominya serta disukai anaknya dan akhirnya mendapat

sekolah SLB “X”, dimana biaya sekolah tersebut dirasakan lebih terjangkau

dibandingkan SLB lainnya. selain itu untuk mengatasi biaya terapi, mereka

mencari terapi dengan biaya terjangkau. Disaat para ibu menghadapi

permasalahan yang terjadi pada anaknya, mereka biasanya meminta bantuan pihak

keluarga dan sesama ibu yang memiliki anak tuna grahita. Sebanyak 50% ibu

tidak memiliki rencana untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan

permasalahan yang dapat terjadi pada masa depan anaknya dan hanya bisa pasrah

menerima keadaan anaknya yang dianggap sudah menjadi keadaan yang tidak

dapat diubah lagi. Mereka juga tidak berusaha untuk mencari alternatif solusi pada

saat membutuhkan biaya yang cukup tinggi dalam menjalani terapi anaknya yang

dianjurkan oleh rumah sakit dan tidak melakukan usaha untuk meminta bantuan

(20)

Sebanyak 50% ibu yang memiliki anak tuna grahita di SLB “X” Kota

Bandung memiliki penilaian diri yang positif walaupun anaknya memiliki

keterbatasan. Dalam membesarkan anaknya ibu memusatkan perhatiannya dan

memiliki motivasi agar anaknya menjadi seorang yang memiliki kelebihan dalam

suatu keterampilan tertentu, yang akan menjadi bekal untuk masa depan anaknya.

Upaya yang dilakukan ibu yaitu dengan selalu mencari informasi, serta melatih

anaknya belajar dirumah baik itu dalam hal akademik, maupun untuk

meningkatkan keterampilan dan prestasi anaknya. Ibu yang memiliki anak tuna

grahita dapat mengubah kemarahan dan kesedihan, dalam menghadapi

permasalahan anak sehari-hari yang dipandang lucu dapat diubah menjadi bahan

tertawaan para ibu karena dilihat dari sudut pandang yang positif. Sebanyak 50%

ibu yang memiliki anak tuna grahita di SLB “X” kurang memiliki penilaian diri

yang positif karena memiliki anak yang tuna grahita dan masih belum bisa

menerima kenyataan dalam memiliki anak tuna grahita. Mereka merasa malu dan

sedih ketika anaknya dipandang aneh oleh orang lain. Bahkan mereka tidak

berusaha untuk mencari informasi lain untuk meningkatkan keterampilan anaknya

seperti mencari terapi dan mengajarkan anaknya dirumah.

Sebanyak 66,7% ibu yang memiliki anak tuna grahita di SLB “X” Kota

Bandung berusaha untuk selalu optimis dan memiliki harapan agar anaknya bisa

memiliki kehidupan normal yaitu dapat bersekolah, bekerja dan menikah. Salah

satu tujuan yang ingin dicapai Ibu yang memiliki anak tuna grahita yaitu anaknya

dapat mandiri dan berkembang secara optimal sesuai potensi yang dimiliki

(21)

depan anaknya. Keyakinan agama membuat mereka yakin bahwa anak adalah

titipan Tuhan, dan masalah kekurangan yang dimiliki anak membuat para ibu

yakin bahwa Tuhan memiliki suatu rencana lain yang berharga yang mereka tidak

tahu.

Sebanyak 33,3% ibu yang memiliki anak tuna grahita di SLB “X” merasa

tidak memiliki tujuan dan rencana terhadap masa depan anaknya, karena mereka

merasa takut untuk membayangkan masa depan anaknya. Selain itu mereka

kurang memiliki keyakinan dan harapan yang positif tentang masa depan anaknya

dan mereka hanya bisa berdoa untuk memasrahkan semuanya pada Tuhan.

Faktor yang mendukung perkembangan resiliency disebut sebagai

protective factor meliputi caring relationship, high expectation, dan opportunities

to participation and contribution. Caring Relationship; Lingkungan yang

menyajikan caring relationship berarti memberi dukungan penuh kasih sayang

yang tulus, kepedulian mau saling mendengarkan. High Expectations merupakan

harapan yang jelas, positif dan mengkomunikasikan kepercayaan yang mendalam

dari orang lain kepada individu dalam membangun resiliency serta membangun

kepercayaan dan memberikan tantangan kepada individu. Opportunities to

Participation and Contribution; Merupakan kesempatan yang diberikan

lingkungan kepada individu untuk memberikan kontribusi dan partsipasi untuk

mengikuti suatu kegiatan.

Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, ibu yang memiliki anak

yang bersekolah di SLB “X” memperlihatkan respon berbeda-beda dalam

(22)

menunjukkan para ibu memiliki adanya resiliency yang berbeda-beda. Melihat

pentingnya resiliency bagi ibu yang memiliki anak tuna grahita peneliti tertarik

untuk meneliti Resiliency ibu yang memiliki anak tuna grahita yang bersekolah di

SLB “X” kota Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Ingin mengetahui sepertiapakah resiliency ibu yang memiliki anak tuna

grahita di SLB “X” Kota Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai

resiliency pada ibu dengan anak tuna grahita di SLB “X” Kota Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran yang lebih

spesifik mengenai resiliency berdasarkan aspek-aspek social competence,

problem solving skills, autonomy, dan sense of purpose pada ibu yang

(23)

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoretis

1) Memberikan masukan informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih

lanjut mengenai resiliency, khususnya tentang ibu yang memiliki anak tuna

grahita di SLB “X” Kota Bandung.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1) Memberikan informasi kepada ibu yang memiliki anak tuna grahita di SLB

“X” Kota Bandung mengenai resiliency untuk menjadi masukan dalam

membantu ibu untuk beradaptasi di lingkungan keluarga, sekolah, komunitas

dan dapat memberikan dukungan kepada orang tua lain yang memiliki anak

tuna grahita.

2) Memberikan informasi kepada para pengajar tuna grahita di SLB “X” Kota

Bandung mengenai resiliency pada ibu yang memiliki anak tuna grahita di

SLB “X” Kota Bandung, dalam rangka membantu para ibu untuk beradaptasi

di lingkungan, baik lingkungan keluarga, sekolah, dan komunitas.

3) Memberikan informasi kepada pihak keluarga mengenai resiliency pada ibu

yang memiliki anak tuna grahita di SLB “X” Kota Bandung, mengenai

pentingnya perhatian, dukungan, serta pemberian kesempatan pada ibu yang

memiliki anak tuna grahita di SLB “X” Kota Bandung untuk merawat

(24)

1.5 Kerangka Pikir

Tuna grahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang

mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata dan ketidakcakapan dalam

interaksi sosial. Anak tuna grahita atau dikenal juga dengan istilah terbelakang

mental karena keterbatasan kecerdasannya mengakibatkan dirinya sukar untuk

mengikuti program pendidikan di sekolah biasa secara klasikal, oleh karena itu

anak terbelakang mental membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yang

disesuaikan dengan kemampuan anak tersebut. Anak tuna grahita yang memiliki

kemampuan intelektual di bawah rata-rata, akan menyulitkannya untuk

mempelajari informasi, keterampilan-keterampilan menyesuaikan diri dengan

masalah-masalah, situasi-situasi kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa

lalu, berpikir abstrak, kreatif, dapat menilai secara kritis, menghindari

kesalahan-kesalahan, mengatasi kesulitan dan kemampuan untuk merencanakan masa depan.

Anak tuna grahita juga memiliki keterbatasan sosial seperti mengurus diri sendiri

dimasyarakat, oleh karena itu mereka memerlukan bantuan. (Somantri,

2006:103-119)

DSM IV-TR membagi tingkat keparahannya ke dalam empat tingkatan

yaitu, mild, moderate, severe dan profound. Mild memiliki IQ level 55-70, dimana

memperlihatkan sedikit keterlambatan dalam perkembangan selama masa

preschool, biasanya tidak teridentifikasi sampai memasuki sekolah dasar,

memiliki masalah akademik dan perilaku. Moderate memiliki IQ level 40-54,

dimana memiliki gangguan intelektual dan adaptif yang lebih dari mild. Biasanya

(25)

mencapai developmental milestones. Pada sekolah dasar kelas awal menggunakan

kombinasi awal single words dengan gestures, dan keterampilan motorik dan self

care nya serupa dengan usia 2-3 tahun.

Severe memiliki IQ level 25-39, dimana sebagian besar individu

mengalami satu atau lebih penyebab organik, seperti genetic defect (cacat

bawaan). Dapat diidentifikasi pada usia sangat muda karena terdapat substansial

delays (keterlambatan substansial) dalam perkembangan dan terdapat karakteristik

fisik dan keanehan yang terlihat. Mereka juga memiliki masalah dalam

kemampuan fisik dan masalah kesehatan. Membutuhkan bantuan selama

hidupnya, namun masih dapat dilatih untuk membaca tanda-tanda penting.

Profound memiliki IQ level dibawah 20 atau 25, dimana dapat diidentifikasi pada

bayi karena memiliki keterlambatan substansial dalam perkembangan dan terdapat

anomali biolgis seperti wajah yang tidak simetris. Membutuhkan perawatan dan

pendampingan semasa hidupnya. Anak tuna grahita pada sekolah ini memiliki IQ

40-70 menurut DSM IV-TR termasuk dalam tingkatan mild dan moderate.

Orang yang paling menanggung beban akibat ketunagrahitaan adalah

orangtua dan keluarga anak tersebut, khususnya ibu. Saat yang kritis adalah ketika

seorang ibu pertama kali menyadari bahwa anaknya tidak sama seperti anak

lainnya. Perasaan dan tingkah laku ibu itu berbeda-beda seperti: perasaan

melindungi anak secara berlebihan, perasaan bersalah melahirkan anak

berkelainan, kehilangan kepercayaan memiliki anak yang normal, terkejut dan

kehilangan kepercayaan diri, mereka bingung dan malu (Somantri,

(26)

Ketika pertama kali orangtua mengetahui bahwa buah hati anak mereka

menyandang tuna grahita, tidak sedikit orangtua yang merasa tidak dapat

menerima kenyataan serta tidak siap untuk membesarkan dan membimbing

anaknya. Tatkala diberitahukan diagnosis tentang keadaan anaknya, biasanya

orangtua akan memberikan reaksi terkejut, dan sulit menerima kenyataan ini.

Tidak diherankan bila orangtua merasa tidak percaya, tertekan, malu, sedih,

kecewa, merasa bersalah, menolak, depresi, dan membayangkan sulitnya merawat

serta membesarkan anak. Ibu dengan anak yang berketerbatasan dilaporkan

memiliki beban sosial yang tinggi khususnya anak yang memiliki keterbatasan

dalam perkembangannya (Journal of Developmental and Physical Disabilities,

June 2002).

Peran seorang ibu yang memiliki anak tuna grahita menjadi lebih berat

mengingat dalam kehidupan sehari-hari anak tuna grahita mengalami hambatan

dalam perkembangan fisik, kognitif, bahasa, emosi, dan penyesuaian sosial. Ibu

mempunyai peranan yang sangat penting dalam merawat anaknya, yaitu harus

mendampingi anak terus-menerus dalam kegiatan sehari-harinya seperti makan,

minum, berpakaian dan membersihkan diri. Selain itu karena anaknya memiliki

keterbatasan intelegensi, ibu harus dengan sabar dan berulang-ulang dalam

mengajari anaknya pelbagai keterampilan menolong diri sendiri. Selain itu

penolakan dari lingkungan mengenai keberadaan anak dan masalah ekonomi

karena harus menyediakan uang lebih banyak karena perlu pendidikan dan terapi

(27)

Proses membesarkan dan mendidik anak tuna grahita membuat para ibu

berada dalam situasi yang menekan (adversity). Untuk dapat membesarkan dan

mendidik anak tuna grahita perlu memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri

secara positif, mampu bangkit kembali untuk mengatasi masalah hidupnya dan

berfungsi secara baik sebagai seorang ibu ditengah situasi yang menekan.

Kemampuan ibu yang memiliki anak tuna grahita untuk menyesuaikan diri secara

positif dan mampu beradaptasi secara baik di tengah situasi yang menekan,

banyak halangan, dan rintangan (adversity) disebut sebagai resiliency.

Resiliency pada ibu dengan anak tuna grahita di SLB “X” di Kota Bandung

dapat dilihat dari empat aspek yang dapat diukur dalam personal strength.

Personal strength adalah karakteristik individual yang dihubungkan dengan

perkembangan yang sehat dan keberhasilan yang sehat serta keberhasilan hidup.

Personal strength tersebut dapat menimbulkan resiliency, manifestasi empat

aspek personal strength tersebut adalah social competence, problem solving skills,

autonomy dan sense of purpose and bright future (Bennard, 2004).

Sense of purpose and bright future, fokus terhadap masa depan yang

positif dan kuat secara konsisten. Sense of purpose and bright future dibangun

oleh berbagai kemampuan yaitu goal direction, achievement motivation and

educational aspiration, optimism and hope, dan faith, spirituality and sense of

meaning(Benard, 2004).

Sense of purpose and bright future yaitu kemampuan ibu yang memiliki

anak tuna grahita untuk fokus dan konsisten terhadap masa depan anaknya, yang

(28)

yaitu kemampuan ibu yang memiliki anak tuna grahita untuk mengarahkan diri

pada tujuan agar anaknya dapat memiliki pendidikan, serta mandiri dan

berkembang secara optimal sesuai dengan potensinya. Optimism and hope yaitu

keyakinan dan harapan yang positif ibu yang memiliki anak tuna grahita tentang

masa depan anaknya. Faith, spirituality, and sense of meaning yaitu keyakinan

agama (spiritualitas) ibu yang memiliki anak tuna grahita membuat mereka

memperoleh kekuatan dan memberi makna pada hidup nya dalam membesarkan

anak tuna grahita.

Ibu yang memiliki anak tuna grahita dengan kemampuan sense of purpose

and bright future yang tinggi, mampu untuk fokus dan konsisten terhadap masa

depan anaknya, sehingga ia dapat mengarahkan diri pada tujuan serta memiliki

keyakinan yang diperoleh dari agama dan harapan yang positif agar anaknya dapat

mandiri dan berkembang secara optimal sesuai dengan potensinya. Ibu yang

memiliki anak tuna grahita dengan kemampuan Sense of purpose and bright

future yang rendah, kurang mampu untuk fokus dan konsisten terhadap masa

depan anaknya, sehingga ia kurang dapat mengarahkan diri pada tujuan serta

kurang adanya keyakinan yang diperoleh dari agama dan kurangnya harapan yang

positif agar anaknya dapat mandiri dan berkembang secara optimal sesuai dengan

potensinya.

Autonomy, melibatkan kemampuan untuk bertindak dengan mandiri dan

untuk merasakan suatu sense of control atas lingkungan. Adapun yang termasuk

di dalam autonomy adalah positive identity, internal locus of control and

(29)

Autonomy yaitu kemampuan Ibu yang memiliki anak tuna grahita untuk

dapat bertanggung jawab terhadap tugas pribadinya sebagai ibu. Kemampuan ini

mencakup, positive identity yaitu kemampuan ibu yang memiliki anak tuna

grahita untuk memiliki penilaian diri yang positif dan tetap percaya diri walaupun

memiliki anak yang mempunyai keterbatasan. Internal locus of control and

initiative yaitu kemampuan untuk memahami, mengendalikan diri dalam

menjalani hidup, serta bertanggung jawab atas tugasnya, dan mampu untuk

memotivasi diri dalam memfokuskan perhatiannya untuk mencapai tujuan.

Self-efficacy and mastery yaitukemampuan ibu yang memiliki anak tunagrahita dalam

memiliki keyakinan bahwa ia mampu dan kompeten dalam membesarakan anak

tuna grahita. Humor yaitu kemampuan ibu yang memiliki anak tuna grahita untuk

mengubah kemarahan dan kesedihan, dalam menghadapi permasalahan anak

sehari-hari yang dipandang lucu, sehingga dapat diubah menjadi kegembiraan

para ibu karena dilihat dari sudut pandang yang positif.

Ibu yang memiliki anak tuna grahita dengan kemampuan Autonomy yang

tinggi, ia mampu bertanggung jawab terhadap tugas pribadinya sebagai ibu untuk

menghindarkan anaknya terhadap penilaian negatif dari orang lain, dan terhadap

diri sendiri untuk memiliki penilaian diri yang positif. Ia juga memiliki keyakinan

untuk bangkit kembali dari perasaan sedihnya serta memandang pengalaman ini

secara positif dan dapat mengubah kemarahan dan kesedihan menjadi

kegembiraan. Selain itu juga ibu dapat mengendalikan diri dalam menjalani hidup,

dan mampu untuk memotivasi diri dalam memfokuskan perhatiannya untuk

(30)

Ibu dengan anak tuna grahita dengan kemampuan Autonomy yang rendah,

ia kurang mampu bertanggung jawab terhadap tugas pribadinya sebagai ibu. Ibu

juga kurang memiliki penilaian diri yang positif dan ini dipandang sebagai

pengalaman yang negatif. Ia juga kurang mampu untuk bangkit kembali dari

perasaan sedihnya, dan mengubah kesedihannya itu menjadi kegembiraan. Ibu

juga kurang dapat mengendalikan diri dalam menjalani hidup, dan kurang mampu

untuk memotivasi diri dalam memfokuskan perhatiannya untuk mencapai tujuan.

Problem solving skills, dibangun oleh beberapa kemampuan, yaitu

kemampuan planning, flexibility, resourcefulnes (Benard, 2004). Kemampuan ini

mencakup, planning yaitu kemampuan ibu yang memiliki anak tuna grahita dalam

merencanakan masa depan anak nya. Flexibility yaitu kemampuan ibu yang

memiliki anak tuna grahita dalam melihat alternatif dan berusaha mencoba solusi

alternatif lain dalam menghadapi suatu masalah. Resourcefulnes yaitu merupakan

kemampuan ibu yang memiliki anak tuna grahita untuk mencari bantuan dalam

menghadapi masalah.

Ibu yang memiliki anak tunagrahita dengan kemampuan problem solving

skills yang tinggi, saat menghadapi kenyataan memiliki anak tuna grahita ia akan

mampu memahami makna dibalik kenyataan yang dihadapinya, serta melakukan

perencanaan untuk berusaha mencari alternatif solusi dan mencari bantuan dalam

menghadapi masalahnya. Ibu yang memiliki anak tuna grahita dengan

kemampuan Problem solving skills yang rendah, saat menghadapi masalah ia

(31)

dapat melakukan perencanaan untuk berusaha mencari alternatif solusi dan kurang

dapat berusaha mencari bantuan dalam menghadapi masalahnya.

Social competence, merupakan kemampuan sosial ibu yang memiliki anak

tuna grahita untuk dapat membangun suatu relasi dengan orang disekitarnya.

Social competence ini mencakup responsiveness, communication, emphaty and

caring dan Compassion, altruism, forgiveness. Responsiveness yaitu kemampuan

ibu untuk mendatangkan adanya respon positif dari orang disekitarnya.

Communication yaitu kemampuan ibu yang memiliki anak tuna grahita untuk

berkomunikasi dalam menyatakan pendapat atau keinginannya kepada orang lain

tanpa menyinggung perasaan. Emphaty and caring yaitu kemampuan Ibu yang

memiliki anak tuna grahita untuk berempati dan memberikan perhatian kepada

anaknya ketika mengalami masalah. Compassion, altruism, forgiveness yaitu

kemampuan ibu yang memiliki anak tuna grahita untuk peduli dan membantu

mengurangi kesulitan anaknya sesuai dengan yang dibutuhkan anaknya, serta

mampu memaafkan diri dan orang lain yang menyakitinya.

Ibu yang memiliki anak tuna grahita, dengan kemampuan social

competence yang tinggi, akan mampu membangun suatu relasi dengan orang

disekitarnya, yaitu misalnya dapat berkomunikasi untuk menyatakan pendapatnya

kepada orang lain tanpa menyinggung perasaan serta dapat menceritakan

permasalahan dalam membesarkan anak tuna grahita yang dihadapinya, sehingga

menimbulkan adanya respon positif dari orang disekitarnya. Mereka juga dapat

(32)

orang lain sesuai dengan yang dibutuhkan orang tersebut, serta mampu

memaafkan orang lain yang menyakitinya.

Ibu yang memiliki anak tuna grahita, dengan kemampuan social

competence yang rendah, ia kurang mampu membangun suatu relasi dengan orang

disekitarnya, dimana misalnya dalam menyatakan pendapatnya kepada orang lain

ia dapat menyinggung perasaan, serta kurang dapat menceritakan permasalahan

yang dihadapinya. Mereka kurang dapat berempati, peduli, memberikan perhatian

dan tidak peduli untuk membantu mengurangi kesulitan orang lain sesuai dengan

yang dibutuhkan orang tersebut, serta kurang mampu memaafkan orang lain yang

menyakitinya.

Perkembangan resiliency terbentuk dari pengaruh protective factor.

Resiliency yang dimiliki pada ibu berbeda-beda, terkait dengan adanya faktor

yang mendukung dan memfasilitasi terbentuknya resiliency yang disebut dengan

protective factor. Protective factor yang meliputi caring relationship, high

expectations, opportunities to participation and contribution yang diberikan oleh

keluarga dan komunitas ibu yang memiliki anak tuna grahita. Kekuatan universal

dari ketiga protective factors berhubungan langsung untuk memenuhi basic

human needs. Ini merupakan perkembangan yang dibawa sejak lahir bahwa

individu secara alami termotivasi untuk memenuhi kebutuhan mereka akan

love/belonging (kebutuhan untuk dicintai), power and respect (kebutuhan untuk

merasa mandiri), mastery and challenge (kebutuhan untuk merasa mampu), dan

meaning (kebutuhan untuk menemukan makna dalam hidup). Selanjutnya, setelah

(33)

resilience individu dalam hal social competence, problem solving skill, autonomy,

sense of purpose and bright future (Bennard, 2004).

Caring Relationship adalah dukungan penuh kasih sayang yang tulus yang

disertai oleh kepercayaan dan kepedulian untuk mau saling mendengarkan.

Caring Relationship dalam keluarga dapat ditunjukan hubungan yang dekat

dengan suami, anak dan saudara misalnya saja dalam situasi yang penuh tekanan

dan halangan bagi ibu yang memiliki anak tuna grahita, keluarga berperan penting

dalam memberikan dukungan, suasana rumah yang harmonis. Dengan terjalinnya

komunikasi yang baik antara anggota keluarga dapat membina kehangatan, kasih

sayang dan perhatian. Caring Relationship dalam komunitas ditunjukan dukungan

dan perhatian, serta sebagai tempat untuk bertukar pikiran serta berbagi

pengalaman yang didapatkan dari sesama ibu yang memiliki anak tuna grahita dan

para guru yang mengajar. Hal ini memungkinkan secara alami untuk memenuhi

need for love/belonging, maka secara alami dapat memfasilitasi serta

meningkatkan social competence dan problem solving skills.

High Expectations merupakan harapan yang jelas, positif dan adanya

kepercayaan dari orang lain kepada ibu yang memiliki anak tuna grahita. High

Expectations yang didapatkan dari keluarga yaitu adanya harapan dari keluarga

melalui penerimaan, cinta dan dukungan kepada ibu yang memiliki anak tuna

grahita, sehingga mereka termotivasi dalam menjalani kehidupannya dan

membantu dalam menghadapi situasi yang menekan. High Expectations yang

didapatkan dari komunitas didapat dari sesama ibu yang memiliki anak tuna

(34)

membesarkan anak tuna grahita. Hal ini memungkinkan untuk secara alami

memenuhi need for meaning dan need for challenge/masstery maka secara alami

dapat memfasilitasi serta meningkatkan autonomy dan sense of purpose and

bright future.

Opportunities to participate and contribution yaitu lingkungan

memberikan kesempatan kepada ibu dengan anak tuna grahita untuk memberikan

kontribusi dan partsipasi untuk mengikuti suatu kegiatan. Opportunities for

participation or contribution dalam keluarga, dengan memberikan kesempatan

kepada ibu yang memiliki anak tuna grahita untuk bertanggung jawab, mengambil

keputusan, dan mengatasi permasalahannya sendiri. Opportunities to participation

and contribution dalam komunitas dengan memberikan kesempatan pada ibu

dengan anak tuna grahita untuk berperan dalam melakukan kegiatan-kegiatan

seperti memberikan kesempatan pada setiap ibu dengan anak tuna grahita untuk

merencanakan dan melakukan suatu kegiatan yang membangun kekeluargaan di

SLB “X”. Hal ini memungkinkan untuk secara alami memenuhi need for

power/respect, need for meaning dan need for challenge/masstery maka secara

alami dapat memfasilitasi serta meningkatkan sense of purpose and bright future

dan problem solving skills.

Ibu yang memiliki anak tuna grahita di SLB “X” di Kota Bandung

dikatakan memiliki resiliency yang tinggi apabila memiliki motivasi yang tinggi

untuk memperbaiki keadaannya, memiliki optimisme, dan harapan akan masa

depannya (sense of purpose and bright future). Ibu yang memiliki anak tuna

(35)

dapat melakukan sesuatu yang benar dan dapat menerima kondisi diri apa adanya

(Autonomy). Ibu mampu mengetahui apa yang harus dilakukan apabila terjadi

masalah, mengungkapkan masalah tersebut kepada keluarga dan teman saat

menghadapi masalah yang tidak dapat diselesaikan sendiri, dan berusaha mencari

solusi alternatif yang lain (problem solving) dan mampu berkomunikasi dan

menjalin relasi sosial dengan percaya diri terhadap orang-orang disekitar mereka,

seperti suami, keluarga, teman dan masyarakat (social competence).

Sebaliknya jika Ibu yang memiliki anak tuna grahita di SLB “X” di Kota

Bandung dikatakan memiliki resiliency yang rendah ibu kurang memiliki motivasi

yang tinggi untuk memperbaiki keadaannya, kurang memiliki optimisme dan

harapan akan masa depannya (sense of purpose and bright future). Ibu kurang

dapat bangkit kembali, kurang memiliki perasaan bahwa mereka dapat melakukan

sesuatu yang benar dan kurang dapat menerima kondisi diri apa adanya

(Autonomy). Ibu kurang mampu mengetahui apa yang harus dilakukan apabila

terjadi masalah, tidak mengungkapkan masalah tersebut kepada keluarga dan

teman saat menghadapi masalah yang tidak dapat diselesaikan sendiri, dan tidak

berusaha mencari solusi alternatif yang lain (problem solving). Ibu kurang mampu

berkomunikasi dan menjalin relasi sosial dengan percaya diri terhadap

orang-orang disekitar mereka, seperti suami, keluarga, teman dan masyarakat (social

(36)
(37)

1.6 Asumsi

 Ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB “X” Kota Bandung memiliki derajat

resiliency yang berbeda-beda.

 Ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB “X” Kota Bandung yang memiliki

derajat resiliency yang tinggi akan mampu menyesuaikan diri di tengah situasi

yang menekan, terlihat melalui aspek social competence, problem solving,

autonomy, dan sense of purpose and bright future yang tinggi.

 Ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB “X” Kota Bandung yang memiliki

derajat resiliency yang rendah akan kurang mampu menyesuaikan diri di tengah

situasi yang menekan, terlihat melalui aspek social competence, problem solving,

(38)

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data yang telah dilakukan terhadap 30 ibu

yang memiliki anak tuna grahita di SLB “X” kota Bandung, maka dapat

disimpulkan bahwa :

1) Sebesar 36,7% ibu yang memiliki anak tuna grahita di SLB “X” kota Bandung

memiliki resiliency yang tinggi. Ibu dapat bertahan dan beradaptasi dalam

membesarkan serta merawat anaknya yang tuna grahita. Ibu yang memiliki

resiliency yang tinggi, akan menunjukkan social competence, problem solving

skills, autonomy, dan sense of purpose and bright future yang tinggi.

2) Sebesar 26,7% ibu yang memiliki anak tuna grahita di SLB “X” kota Bandung

memiliki resiliency yang rendah. Ibu kurang dapat bertahan dan beradaptasi

dalam membesarkan serta merawat anaknya yang tuna grahita. Ibu dengan

resiliency yang rendah, akan menunjukkan social competence, problem solving

skills, autonomy, dan sense of purpose and bright future yang rendah.

3) Ibu dengan resiliency yang cenderung tinggi, cenderung rendah, dan sedang,

umumnya akan menunjukkan social competence, problem solving skills,

autonomy, dan sense of purpose and bright future yang bervariasi.

4) Dalam penelitian ini, peran protective factor tidak menunjukkan

kecenderungan pengaruh yang signifikan terhadap resiliency pada ibu yang

(39)

5.2. Saran

Dari hasil penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, banyak

ditemukan kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu peneliti mengajukan

beberapa saran, yaitu :

1) Penelitian Lanjutan

Apabila akan dilakukan penelitian lanjutan mengenai resiliency pada ibu

yang memiliki anak tuna grahita di SLB kota Bandung, dapat disarankan

meneliti pengaruh protective factor terhadap resiliency. Selain itu, dapat juga

disarankan untuk melakukan penelitian kualitatif.

Kekurangan yang dapat menjadi saran bagi penelitian lanjutan adalah,

dalam data pribadi dapat ditambahkan status marital karena kemungkinan ada

perbedaan antara ibu yang membesarkan anak dengan status ibu yang tunggal

(single parent) dengan ibu yang berstatus memiliki suami, selain itu juga

ditambahkan gender dan budaya karena kemungkinan ada perbedaan kebiasaan

dalam merawat dan membesarkan anak pada budaya yang berbeda. Pada

peneliti lain juga bisa disarankan untuk meneliti mengenai resiliency pada ibu

yang memiliki anak tuna grahita pada budaya yang berbeda, karena dalam

penelitian ini mayoritas ibu dari budaya sunda.

Dalam menentukan karakteristik sampel disarankan untuk menggunakan

landasan teori dan dapat ditambahkan pembatasan usia anak tuna grahita.

Sebaiknya sebelum menurunkan dan mengaplikasikan item pada data utama

dan data penunjang peneliti harus memahami konsep teori dengan benar, dan

(40)

Selain itu dalam pengambilan data diharuskan menggunakan informed consent

tertulis yang sesuai dengan kode etik.

Kesulitan yang ditemukan peniliti yaitu dalam pengambilan data dimana

peniliti harus mencari sebanyak mungkin sampel yang sesuai tidak hanya

mencari dan menunggu disekolah, tetapi juga harus mendatangi setiap rumah

sampel yang memungkinkan untuk dilakukan pengambilan data.

2) Guna Laksana

Dapat disarankan untuk bekerja sama dengan pihak SLB “X”, untuk

mengadakan suatu program pelatihan, guna meningkatkan resiliency pada ibu

yang memiliki anak tuna grahita di SLB “X” kota Bandung. Khususnya

ditujukan pada ibu yang memiliki resiliency yang rendah dan tidak optimal. Ibu

diharapkan dapat bertahan dan menerima keadaan anaknya, sehingga ibu dapat

memiliki keyakinan yang kuat terhadap masa depan ibu dan anaknya, dengan

memelihara harapan optimis selama dengan pandangan yang realistis. Ibu juga

merawat anaknya dengan memperhatikan penyesuaian atau kehidupan sosial,

kesehatan, pendidikan, serta berusaha mencari informasi dan mengatasi

(41)

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association, 2000, Diagnostic And Statistical Manual Of

Mental Disorder, Fourth Edition, Text revision, DSM-IV-TR: Washington

DC.

Benard, Bonnie. 2004. Resiliency; what we have learned. San Fransisco : WestED.

Duvall, Evelyn Millis. 1977. 5th edition. Marriage and Family Development. Philadelphia: J. B. Lippincot Co.

Friedenberg, L. 1995. PsychologicalTesting : design, Analysis, and Use.

Massachussets: Allyn & Bacon.

Guilford, J. P. 1956. Fundamental Statistic in Psychology and Education (3rd Ed.). Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha Company.Ltd

Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Grasindo

Heiman. 2002. Journal of Developmental and Physical Disabilities, Vol 14, No.2. Plenum Publishing Corporation.

Kumar, Ranjit. 1999. Research Methodolgy. London : RAGE Publications

Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Siegel, Sidney. 1992. Statistik non-parametrik untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

(42)

DAFTAR RUJUKAN

Arief, Darmawati. 17 Mei 2008. Pendidikan Luar Biasa. (Online). (http://www.pkplk-plb.org).

Arifin, Zainal. 2006. Jumlah Penyandang Cacat di Indonesia. Bandung: Kompas. (Online). (www.kompas.com).

Direktorat PSLB. 2006/2007. Statistik Sekolah Luar Biasa. (Online). (puskom.depkes.go.id, diakses januari 2010).

FP-UKM. 2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi : III. Bandung.

Natasha, Tessa. 2010. Suatu Studi Deskriptif mengenai Derajat Resiliency Pada Wanita Korban KDRT di lembaga UPT P2TP2A Kota Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Pusat Data dan Informasi. 2006. Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial RI. (Online). (puskom.depkes.go.id, diakses januari 2010).

Wikipedia. 2010. Anak berkebutuhan khusus. (Online). (http;wikipedia.com).

Yunita, Rahma. 2010. Studi Deskriptif Tentang Derajat Resiliency Pada

Narapidana perempuan di Lembaga Permasyarakatan “X” Bandung.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan ibu dengan anak tunagrahita di SLB – C “X” Bandung yang memiliki derajat self – kindness yang rendah bersikap menilai, menghakimi, dan mengkritik diri

Dapat ditegaskan lagi bahwa materi pelajaran yang disampaikan melalui kegiatan ekstra kurikuler tari untuk anak-anak tuna grahita ringan di SLB C Widya Bhakti Semarang pada dasarnya

terhadap munculnya reaksi, dalam hal ini yaitu antara ibu yang memiliki anak retardasi mental dengan situasi SLB C “X” di Kota Bandung. Kedua,

Selain itu, ibu yang memiliki anak tunagrahita diharapkan untuk mampu mengetahui apa yang harus dilakukan apabila terjadi masalah seperti pada saat nenek, bibi,

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat depresi pada ibu dengan anak tuna grahita menggunakan alat Beck Depression Inventory di Sekolah Luar Biasa

Orang tua anak penyandang tuna grahita yang lebih terbuka dan bisa menerima keterbatasan anaknya sangat mendukung proses akseptabiltas masyarakat terhadap kehadiran

Dalam pembelajaran Agama Islam dikembangkan berbagai metode dalam mendidik anak didik, mendidik anak tuna grahita di perlukan metode yang di gunakan secara khusus

Penelitian ini memperoleh kesimpulan: 1 Pola asuh yang digunakan orang tua dalam mendukung bina diri anak tuna grahita di SLB PGRI Genteng terdapat 2 pola asuh, yaitu pola asuh