• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Derajat Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Retardasi Mental di SLB C "X" di Kota Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Derajat Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Retardasi Mental di SLB C "X" di Kota Bandung."

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

i ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui derajat stres

yang dialami ibu yang memiliki anak retardasi mental di SLB C “X” di Kota

Bandung. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Penelitian ini dilaksanakan dengan sampel ibu yang memiliki anak retardasi mental di SLB C “X” di Kota Bandung. Pemilihan sampel menggunakan metode purposive sampling dan sampel dalam penelitian ini berjumlah 34 orang.

Alat ukur yang digunakan untuk pengambilan data adalah kuesioner yang dibuat oleh peneliti berdasarkan teori tentang stres dari Lazarus dan terdiri dari 19 item.

Perhitungan validitas dengan Spearman’s dengan nilai minimum koefisien korelasi

item valid 0.304 dan nilai maksimum 0.652. Alat ukur ini juga memiliki koefisien realibilitas berdasarkan dimensi 0.596, dalam alat ukur tergolong reliabel.

Hasil penelitian menunjukkan dari 34 responden, terdapat 88.2% yang memiliki derajat stres rendah, dan 11.8% yang memiliki derajat stres tinggi. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah adanya perbedaan derajat stres pada tiap ibu dan setiap ibu mengalami gejala yang berbeda-beda.

Peneliti mengajukan saran agar dilakukan penelitian korelasional atau studi kasus membahas lebih mendalam mengenai derajat stres dan coping stres. Peneliti

(2)

ii ABSTRACT

The purposed of this research is to find out the level of stress for mother with ibu who have children with mental retardation in SLB C "X" in the city of Bandung. This research uses descriptive method. This study was conducted with a sample of mothers of children with mental retardation in SLB C "X" in the city of Bandung. The sample selection using purposive sampling method and sample in this study amounted to 34 people.

Measuring instruments used for data collection was a questionnaire designed by the researchers based on stress theory of Lazarus and consists of 19 items. Calculation of the validity of the Spearman's correlation coefficient with a minimum value of a valid item 0.304 and a maximum value of 0.652. This instrument also has a coefficient of reliability is based on the dimensions of 0.596, in a relatively reliable measuring instrument.

The results showed of 34 respondents, there are 88.2% who have a low degree of stress, and 11.8% have a high degree of stress. The conclusion that can be drawn from this study is the difference in the degree of stress on every mother and every mother experiencing different symptoms.

(3)

iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK………..i

ABSTRACT………..ii

DAFTAR ISI ……….………...….iii DAFTAR TABEL.………..….…ix

DAFTAR BAGAN...……….………..……..x

DAFTAR LAMPIRAN……….……...…xi

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah………..……...….…………..……..…1

1.2. Identifikasi Masalah………...…..……...…...………10

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian………..………..11

1.3.2 Tujuan Penelitian………..11

1.4. Kegunaan Penelitian………..……..……..11

1.4.1 Kegunaan Teoritis………..………...11

1.4.2 Kegunaan Praktis……….…....….…11

1.5. Kerangka Pemikiran………...……….…………..……...12

(4)

iv

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Stres……..……….……….………24

2.1.1. Sumber Stres….………...…...………..……….….….25

2.1.2. Pendekatan terhadap Stres……….………...27

2.1.3. Reaksi terhadap Stres…….……….……….30 2.2. Individu dan Masyarakat………...………...………33

2.2.1. Sumber-Sumber Individu…………...………..……..…..36

2.3. Penilaian Kognitif….………..………..38 2.3.1. Penilaian Primer (Primary Appraisal).…………...……...……39

2.3.2. Penilaian Kembali (Reappraisal)…...………...…..39 2.4. Faktor yang Memengaruhi terhadap Penilaian ( Appraisal )………40

2.5. Retardasi Mental………..………...………..45

2.6. Kriteria Diagnostik……...………...……….46

2.6.1. Karakteristik Retardasi Mental……...…….………..………..47

2.6.2. Ciri-ciri Retardasi Mental……...………...………48

2.7. Orangtua dan Keluarga dengan Anak yang Luar Biasa………...……….49 2.7.1. Derajat dan Tingkatan dari Reaksi Orangtua………...………..49

(5)

v

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian……….………….………..……….….…………..65

3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional……...…….………….…..66

3.2.1. Variabel Penelitian…...66

3.2.2. Definisi Konseptual...…...…………...…….………..66

3.2.3. Definisi Operasional……...…...………..…….………...66

3.3. Alat Ukur…….………...………...67

3.4. Sistem Penilaian ………..…...…….……….…………69

3.5. Data Pribadi dan Data Penunjang…………...………...………...71

3.6. Uji Coba Alat Ukur ………….……..………...72

3.7. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur………....……….72

3.7.1. Validitas Alat Ukur…..……...……...………...…72

3.7.2. Reliabilitas Alat Ukur………....………...…...73

3.8. Populasi ……….…...………74

3.8.1. Populasi Sasaran……...……….………..…..…..74

3.8.2. Teknik Penarikan Sampel………...………...…...…...74

3.9. Teknik Sampling………..……….…..74

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Responden……..…...………..76

4.1.1. Gambaran Responden Berdasarkan Usia….………..………..77

(6)

vi

4.1.3. Gambaran Responden Berdasarkan Pekerjaan………..…………..79

4.1.4. Gambaran Responden Berdasarkan Frekuensi Gangguan Kesehatan, Psikologis, dan Tingkah Laku………...………80

4.1.4.1. Gangguan Kesehatan………80

4.1.4.2. Gangguan Psikologis………81

4.1.4.3. Gangguan Tingkah Laku………..82

4.1.4.4. Gambaran Responden Berdasarkan Tabulasi Silang antara Derajat Stres dengan Kelompok Usia………..83

4.1.4.5. Gambaran Responden Berdasarkan Tabulasi Silang antara Derajat Stres dengan Pendidikan…………..………85

4.1.4.6. Gambaran Responden Berdasarkan Tabulasi Silang antara Derajat Stres dengan Pekerjaan……….86

4.2. Hasil Penelitian……….87

4.3. Pembahasan……….……….90

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan………...……….………..98

(7)

vii

5.2.1. Saran Praktis……….……….99

5.2.2. Saran Teoritis……….……..100

DAFTAR PUSTAKA……….………..…101

(8)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-Kisi Alat Ukur Stres………...…………..…………...…68

Tabel 3.2 Skor Item Derajat Stres………...……….69

Tabel 3.3 Kelompok Derajat Stres………...………70

Tabel 3.4 Kategori Skor Gangguan Kesehatan………...………...…..71

Tabel 3.5 Kategori Skor Gangguan Psikologis dan Tingkah Laku……...……71

Tabel 3.6 Kriteria Validitas……….73

Tabel 3.7 Tingkat Reliabilitas Kriteria dari Guilford (1956)…..………73

Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia………77

Tabel 4.2. Gambaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan………...78

Tabel 4.3. Gambaran Responden Berdasarkan Pekerjaan………...79

Tabel 4.4 Gambaran Responden Berdasarkan Tingkatan Gangguan Kesehatan…….80

Tabel 4.5 Gambaran Responden Berdasarkan Tingkatan Gangguan Psikologis……81

Tabel 4.6 Gambaran Responden Berdasarkan Tingkatan Gangguan Tingkah Laku...82

Tabel 4.7 Gambaran Responden Berdasarkan Tabulasi Silang antara Derajat Stres dengan Kelompok Usia……….………….83

Tabel 4.8 Gambaran Responden Berdasarkan Tabulasi Silang antara Derajat Stres dengan Pendidikan………..85

Tabel 4.9 Gambaran Responden Berdasarkan Tabulasi Silang antara Derajat Stres dengan Pekerjaan……….86

(9)

ix

Tabel 5.1 Tabulasi Silang Derajat Stres dan Gangguan Kesehatan……….…88

Tabel 5.2 Tabulasi Silang Derajat Stres dan Gangguan Psikologis…………...……..89 Tabel 5.3 Tabulasi Silang Derajat Stres dan Gangguan Tingkah Laku………...90

(10)

x

DAFTAR BAGAN

(11)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 – Kisi-Kisi Alat Ukur

Lampiran 2 – Kata Pengantar Kuisioner

Lampiran 3 – Letter of Consent

Lampiran 4 – Identitas Responden

Lampiran 5 – Kuesioner

Lampiran 6 – Tabel Perhitungan

Lampiran 7 – Validitas dan Reliabilitas Kuisioner Stres

Lampiran 8 – Data Pribadi Responden

(12)

1

Universitas Kristen Maranatha

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Anak merupakan anugerah terindah bagi setiap orangtua. Hampir

setiap pasangan yang menikah pasti beranggapan bahwa keluarga mereka belumlah

lengkap jika belum dikaruniai seorang anak. Kehadiran anak membawa

kebahagiaan bagi seluruh keluarga serta sebagai penerus yang diharapkan akan

membawa kebaikan bagi keluarga karena anak merupakan buah cinta yang

senantiasa ditunggu oleh pasangan yang telah menikah, sehingga perkembangan

anak selalu menjadi perhatian istimewa dalam mengasuh dan mendidik anak hingga

dewasa.Anak sebagai amanah dari Tuhan, memiliki harkat dan martabat sebagai

manusia seutuhnya, untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal menjadi

pribadi yang mandiri serta dapat menjadi generasi muda yang berprestasi.Anak

harus mendapat pengasuhan yang baik, dalam pengasuhan itu pemenuhan terhadap

hak-hak anak harus diberikan baik berupa bimbingan, kasih sayang maupun

perlindungan, Tuhan menyerukan kepada hamba-Nya untuk saling berkasih sayang

pada sesama manusia.

Memiliki anak yang normal baik fisik maupun mental adalah harapan bagi

semua orangtua, karena anak merupakan tumpuan harapan yang akan dibanggakan

orangtua. Kecacatan fisik maupun mental dianggap sebagai sebuah kelemahan

(13)

2

Universitas Kristen Maranatha

normal,ada yang mengalami retardasi mental. Retardasi mental ditandai dengan

kondisi yang menunjukkan fungsi intelektual di bawah rata-rata dengan disertai

ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku dan terjadi pada masa perkembangan,

anak tidak dapat mandiri sebagai individu yang mampu melakukan aktivitas sehari-

hari sendiri (motorik), mengalami keterbatasan dalam memahami perilaku sosial dan

perkembangan keterampilan sosial (https://www.academia.edu/)

Pada data pokok Sekolah Luar Biasa di seluruh Indonesia (2013), dilihat dari

kelompok usia sekolah, jumlah penduduk di Indonesia yang menyandang

keterbelakangan mental adalah 62.011 orang, 60% diderita laki-laki dan 40% diderita

oleh perempuan, dari jumlah tersebut anak yang terkena retardasi mental sangat berat

/ profound (IQ < 20) sebanyak 2,5%, anak retardasi mental berat/severe(IQ 20-32)

sebanyak 2,8%, anak retardasi mental sedang / imbisil (IQ 36-51) sebanyak 2,6%, dan

anak retardasi mental ringan/moron/debil (IQ 52-67) sebanyak 3,5% dan 88,6%

disebut anak dungu (IQ 68-85). Kondisi anak retardasi mental akan membawa

pengaruh pada kemampuan anak dan keterlibatan anak untuk berfungsi dalam setting

lingkungan seperti di kehidupan belajar, bermain, bekerja, sosialisasi dan interaksi.

Anak retardasi mentalmengalami perbedaan mencolok terutama dalam proses

penguasaan bahasanya sehinggaakan membuat orangtua kesulitan karena harus

mencari cara khusus untuk membimbing / berkomunikasi dengan anaknya. Kesulitan

di dalam berkomunikasi seringkali menyebabkan anak retardasi mental menafsirkan

(14)

3

Universitas Kristen Maranatha

marah.Selain itu, anak retardasi mental dapat menampilkan sikap menutup diri,

bertindak agresif, atau sebaliknya menampakkan kebimbangan. Sebaliknya, orang

lain akan sulit memahami perasaan dan pikirannya. Hal ini mengakibatkan anak

retardasi mental tidak mampu terlibat secara baik dalam situasi sosialnya, seperti

tidak ikut dalam permainan dengan teman sebaya atau dengan orang lain(Wenar &

Kerig dalam Partiwi 2013).

Dengan adanya hambatan dalam perkembangan sosial ini, mengakibatkan

pula kecenderungan menyendiri serta memiliki sifat egosentris (Somantri,

2007).Reaksi umum yang terjadi pada orang tua pertama kali ketika mengetahui

bahwa memiliki anak yang mengalami retardasi mental adalah merasa kaget,

mengalami goncangan batin, takut, sedih, kecewa, merasa bersalah, menolak atau

marah karena sulit untuk mempercayai kenyataan bahwa anaknya mengalami kondisi

retardasi mental.Kondisi tersebut memicu tekanan dan kesedihan terhadap orangtua,

khususnya ibu sebagai figure terdekat dan umumnya lebih banyak berinteraksi secara

langsung dengan anak.

Keterbatasan kondisi psikis dan fisik anak retardasi mental akan membuatnya

semakin tergantung pada ibunya. Keterlibatan orang tua sejak usia dini berperan

penting dalam perkembangan anak di masa mendatang, terutama pengaruh dari ibu.

Ibu merupakan seseorang yang aktif terlibat dalam pertumbuhan dan memberikan

kasih sayang bagi anaknya sehingga ibu merupakan figur penting yang tidak dapat

(15)

4

Universitas Kristen Maranatha

banyak ditentukan oleh hubungan antara anak dan orang tua terutama ibunya, lebih-

lebih pada masa perkembangannya (Soemantri, 2007).

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Kumar (2013) orang tua yang

memiliki anak retardasi mental dipastikan lebih mudah mengalami stres psikologis

dibandingkan dengan orang tua dari anak yang normal.Stres diakibatkan karena

banyaknya beban yang ditanggung oleh orang tua dari anak retardasi mental baik

beban secara fisik, psikis dan sosial.Tekanan-tekanan darilingkungan dan masalah-

masalah lainnya mengakibatkan banyaknya beban yang dirasakan ibu sebagai orang

terdekat anak retardasi mental dalam mengasuh anak menimbulkan stres.

Kondisi stres ibu yang memiliki anak retardasi mental akan berdampak pada

pengasuhan ibu pada anaknya. Hal ini sesuai dengan model stres yang dikemukakan

Lazarus (1984) bahwa stres mendorong ke arah tidak berfungsinya pengasuhan

orangtua terhadap anak.Ibu yang tidak bisa menerima kenyataan atas kondisi anaknya

hanya akan terpuruk, bahkan tidak mau melakukan apapun untuk mendukung

perkembangan anaknya, akhirnya ibu hanya berdiam diri dan kondisi

keterbelakangan anak semakin parah.

Berdasarkan penghayatan Ibu, seiring berjalannya waktudengan banyaknya

pengetahuan media pelatihan yang beredar di lingkungan, maka para orang tua dan

masyarakat tidak lagi memandang anak retardasi mental sebagai suatu momok yang

(16)

5

Universitas Kristen Maranatha

terbaik dengan harapan anaknya dapat tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang

berguna bagi masyarakat.

Pendidikan merupakan hal yang penting bagi anak retardasi mental.Sekolah

banyak berperan dalam tumbuh kembang anak, dalam kaitannya dengan bidang

pendidikan, pemerintah maupun yayasan-yayasan menyediakan sekolah khusus yaitu

sekolah luar biasa untuk retardasi mental.Pendidikan khusus pada umumnya dikenal

dengan istilah Sekolah Luar Biasa (SLB) dan terdiri dari beberapa jenis yakni SLB

bagian A untuk anak tuna netra, SLB bagian B untuk anak tuna rungu, SLB bagian C

untuk anak tuna grahita, SLB bagian D untuk anak tuna daksa, SLB bagian E untuk

anak tuna laras, SLB bagian G untuk anak tuna ganda atau yang memiliki cacat

ganda. Salah satu Sekolah Luar Biasa yang mendidik dan mengajari anak-anak yang

memiliki keterbatasan, baik secara fisik ataupun secara psikis di kota Bandung adalah SLB C “X” di Kota Bandung.

SLB C “X” di Kota Bandung adalah salah satu sekolah yang menangani anak-

anak yang tergolong tunagrahita dari tingkat ringan dan sedang di Kota Bandung.SLB

ini menyediakan tingkat pendidikan luar biasa yang lengkap yaitu terdiri dari tingkat

Taman Kanak-Kanak Luar Biasa TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB.Sekolah ini

memiliki visi membentuk siswa didik yang mandiri dan dapat bertahan dalam masyarakat luas. SLB C “X” Bandung memiliki beberapa program pembelajaran dan

(17)

6

Universitas Kristen Maranatha

pramuka.Ekstrakulikuler ini diadakan untuk menambah keterampilan siswa selain keterampilan akademik.Program pembelajaran di SLB C “X” di Kota Bandung ini

dilaksanakan berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).Selain itu, SLB C “X” juga mengadakan kegiatan outingbersama orangtua, yang biasanya

diadakan dua bulan sekali. Kegiatan outing dapat berbentuk jalan bersama di sekitar

kompleks, renang, atau outbond.

Di SLBC “X”, jam masuk sekolah adalah jam 07.00 WIB dan jam pulang

sekolah adalah jam 10.00 WIB, seringkali anak retardasi mental sulit untuk ditinggal

dan tidak bisa diberikan aturan yang ketat sehingga sekolah mengadakan pelatihan

keterampilan bagi para orang tua tersebut agar dapat melatih anaknya.Selain itu,

sekolah juga menawarkan seminar-seminar yang diadakan di luar sekolah, meskipun

terkadang orang tua tidak mau mengikutinya dikarenakan biaya yang cukup

besar.Meskipun para ibu sudah menentukan sekolah yang terbaik bagi anaknya,

namun mereka juga masih harus menghadapi masalah-masalah lainnya.

Berdasarkan wawancara peneliti dengan kepala sekolah SLB C “X”, beliau

merasa jumlah guru untuk bagian retardasi mental masih sangat terbatas, bahkan

kepala sekolah sampai harus ikut turun tangan untuk mengajar.Hal ini terkadang

membuat guru mengalami kesulitan dalam memantau perkembangan anak.Apabila

terdapat salah satu guru yang tidak masuk, maka anak yang ditangani guru tersebut

akan digabungkan dengan kelas guru lain. Hal ini membuat anak yang dipindah

(18)

7

Universitas Kristen Maranatha

sekelas dan guru yang mengajarnya.Anak yang sudah ada di kelas juga terkadang

merasa terganggu dengan keberadaan anak baru di kelasnya tersebut.Menurut kepala

sekolah, proses belajar mengajar di kelas tersebut kurang berjalan dengan lancar.

Jumlah penyandang retardasi mental diperkirakan jauh lebih besar daripada tuna lain di SLB C “X” tersebut. Anak dengan retardasi mental memiliki keterbatasan

dalam fungsi mental dan keterampilan komunikasi, menjaga diri sendiri, dan

keterampilan sosial. Keterbatasan ini akan menyebabkan anak belajar dan

berkembang lebih lambat daripada anak lain yang normal.Mereka membutuhkan

waktu yang lebih lama untuk berbicara, berjalan, dan menjaga kebutuhan

personalnya, seperti memakai baju dan makan.Mereka juga punya masalah belajar di

sekolah. Sebenarnya mereka bisa belajar tetapi itu akan memakan waktu lebih lama.

Ibu yang berasal dari golongan ekonomi atas juga tidak terlepas dari masalah

karena mereka masih perlu menentukan pendidikan yang terbaik bagi anaknya,

menyediakan waktu untuk mengajar anaknya, dan memberi perhatian yang lebih

banyak dibandingkan mengasuh anak pada umumnya. Beban yang dirasakanorang

tua juga dapat terlihat dari hasil wawancara dengan ibu anak retardasi mental di SLB C “X” di kota Bandung bahwa seorang ibu yang melihat anaknya diperlakukan

berbeda oleh lingkungan, seperti tidak diajak bermain atau diejek anak yang sebaya,

merasa sedih atau bahkan merasa bersalah karena sudah membuat anaknya menjadi

(19)

8

Universitas Kristen Maranatha

retardasi mental seringkali membuat ibu anak retardasi mental menjadi marah

terhadap lingkungannya.(sumber : SLB C “X”).

Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti menggunakan teknik

wawancara terhadap 10 orang ibu yang memiliki anak retardasi mentaldi SLB C “X”

di Kota Bandung mengenai kesulitan-kesulitan yang dialami oleh mereka, didapatkan

data sebagai berikut: 70% mereka mengatakan bahwa mereka merasa tidak nyaman

dengan adanya gejala-gejala gangguan kesehatan seperti merasa lelah, masalah pada

tidur. Sedangkan 30% lainnya mengatakan mereka terkadang merasakan gejala-gejala

kesehatan tersebut namun lama-kelamaan mereka dapat menyesuaikan diri mereka

dengan perubahan tersebut.

Selain itu, sebanyak 40% ibu mengatakan bahwa kondisi psikologis mereka

menjadi tidak stabil, mereka menjadi lebih sensitif dan lebih mudah tersinggung, saat

ini ibu semakin tertekan, sering melamun dan merasa sedih, karena ia merasa tidak

dibantu atau didukung secara emosional oleh suami dan kerabat keluarganya yang

lain, sedangkan 60% lainnya mengatakan bahwa mereka masih dapat mengontrol

emosi mereka dan sudah tidak menangis dan marah terus menerus seperti dulu ketika

baru menyadari anaknya menderita retardasi mental. Ibu mengatakan bahwa sebelum

tidur ia dan suaminya selalu membicarakan kemajuan anaknya dalam mengikuti

(20)

9

Universitas Kristen Maranatha

Sedangkan mengenai gangguan tingah laku, 60% ibu mengatakan bahwa

mereka masih dapat menjalin hubungan baik dengan orang-orang di sekitarnya.Hal

ini dikarenakan mereka merasa didukung berupa penghiburan oleh suami dan anak-

anak mereka lainnya dalam menghadapi masalah ini.Mereka juga dibantu secara

finansial untuk biaya terapi dan membantu dalam pelaksanaan terapi.Sedangkan 40%

lainnya semenjak anaknya didiagnosa retardasi mental oleh dokter, ibu merasa selalu

tidak tenang bila pergi ke suatu tempat dan melihat anak-anak lain yang tidak

mengalami gangguan retardasi mental seperti anaknya.

Menurut Lazarus (1984) stres akan muncul apabila usaha yang dilakukan

individu mencapai suatu tujuan mendapatkan hambatan atau kegagalan. Stres tersebut

menimbulkan reaksi pada ibu yang memiliki anak retardasi mental.Ketika mengalami stres, ibu yang memiliki anak retardasi mental di SLB C “X” di Kota Bandung akan

merasa terancam, baik secara psikis yaitu dapat menimbulkan perasaan tertekan,

maupun fisik seperti keterbatasan energi, kebutuhan akan waktu istirahat dan

sebagainya. Adapun peristiwa yang menyebabkan stres tersebut dinamakan stressor,

dan reaksi terhadap peristiwa itu dinamakan respon stres.

Pada 10 orang ibu yang memiliki anak retardasi mental di SLB C “X”

tersebut, dapat diketahui juga bahwa yang menjadi potensial stressor bagi ibu

tersebut adalah kondisi anak yang memiliki retardasi mental.Akibat kondisi ini timbul

beban pikiran dalam diri ibu yang memiliki anak retardasi mental, dan mengancam

(21)

10

Universitas Kristen Maranatha

apabila derajat stres meningkat maka individu akan merasa tidak nyaman dengan

kehidupnnya dan dapat mengakibatkan gangguan fisik, gangguan psikologis, dan

gangguan tingkah laku.

Oleh sebab itu peneliti ingin meneliti mengenai derajat stres pada ibu yang memiliki anak retardasi mental di SLB C “X” di Kota Bandung.Peneliti berharap

dengan adanya penelitian ini, dapat memberikan informasi pada semua pihak

khususnya orangtua dan lingkungan sekolah, agar dapat menyeimbangkan semua

aspek kehidupan agar tidak terjadi stres yang berkepanjangan bagi ibu yang memiliki

anak retardasi mental.

Identifikasi Masalah

Bertitik tolak dari uraian di atas, maka pada penelitian ini ingin diketahui:

sejauh mana derajat stres pada ibu yang memiliki anak retardasi mental di SLB C “X”

di Kota Bandung

Maksud dan Tujuan Penelitian

Adapun maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran mengenai derajat stres pada ibu yang memiliki anak retardasi mental di SLB C “X” di Kota

(22)

11

Universitas Kristen Maranatha

Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran yang

rinci dan mendalam mengenai derajat stres para ibu yang memiliki anak retardasi

mental di SLB C “X” di Kota Bandung

Kegunaan Penelitian

Kegunaan Teoritis:

1. Memberikan sumbangan informasi kepada peneliti lain yang tertarik untuk

meneliti topik serupa dan mendorong dikembangkannya penelitian-

penelitian lain yang berhubungan dengan hal tersebut.

2. Memberikan informasi dalam bidang Psikologi Pendidikan khususnya yang

berkaitan dengan derajat stres pada ibu yang memiliki anak retardasi

mental.

Kegunaan Praktis :

1. Untuk memberikan informasi kepada ibu yang memiliki anak retardasi mental di SLB C “X” di Kota Bandung mengenai derajat stres, sehingga

dapat digunakan sebagai masukan dan diharapkan ibu yang memiliki anak

retardasi mental dapat melihat hal-hal yang dapat dikembangkan dalam

dirinya agar dapat mengurangi derajat stres.

2. Untuk memberikan informasi kepada pihak SLB C “X” di Kota Bandung

(23)

12

Universitas Kristen Maranatha

SLB C “X” di Kota Bandung tersebut, agar dapat digunakan sebagai

masukan untuk dilakukannya pembinaan pada ibu yang memiliki anak retardasi mental di SLB C “X” di Kota Bandung sehingga dapat

mengurangi masalah stres yang dihadapi oleh ibu yang memiliki anak retardasi mental di SLB C “X” di Kota Bandung.

3. Untuk memberikan informasi kepada masyarakat umumnya dan keluarga ibu yang memiliki anak retardasi mental di SLB C “X”di Kota Bandung

khususnya mengenai derajat stres ibu yang memiliki anak retardasi mental,

sehingga dapat memberi masukan untuk mengahdapi dan menrima mereka

agar dapat lebih udah menyesuaikan diri di masyarakat.

Kerangka Pikir

Menurut Lazarus & Folkman (1984), stres adalah hubungan spesifik antara

individu dengan lingkungan yang dinilai individu sebagai tuntutan atau yang melebihi

sumber dayanya dan membahayakan keberadaan atau kesejahteraannya. Stres atau

tidaknya individu, tergantung dari cara individu menilai situasi atau peristiwa yang

dihadapinya dan sumber-sumber daya yang dimilikinya, yang dinamakan penilaian

kognitif (cognitive appraisals). Penilaian kognitif menurut Lazarus (1984),

merupakan suatu proses evaluatif yang menjelaskan terjadinya stres sebagai akibat

dari interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Jadi, walaupun penyebab

(24)

13

Universitas Kristen Maranatha

sama, akan tetapi penghayatan masing-masing ibu yang memiliki anak retardasi mental di SLB C “X” di Kota Bandung tentu berbeda-beda.

Menurut Lazarus dan Folkman (1984) mengajukan dua alasan mengapa

penilaian kognitif merupakan faktor yang penting. Pertama, proses kognitif adalah

proses yang mengantarai terjadinya interaksi antara individu dengan lingkungan

terhadap munculnya reaksi, dalam hal ini yaitu antara ibu yang memiliki anak retardasi mental dengan situasi SLB C “X” di Kota Bandung. Kedua, untuk

mempertahankan diri dan berkembang, ibu yang memiliki anak retardasi mental di

SLB C “X” di Kota Bandung harus membedakan antara situasi mana yang

menyenangkan dan membahayakan bagi mereka. Penilaian kognitif juga melandasi

munculnya respon kognitif dan afektif dari ibu yang memiliki anak retardasi mental di SLB C “X” di Kota Bandung.

Proses penilaian kognitif pada ibu yang memiliki anak retardasi mental di SLB C “X” di Kota Bandung diuraikan dalam tiga tahap yaitu penilaian primer,

penilaian sekunder dan penilaian kembali (Lazarus, 1984). Tahap yang pertama

adalah penilaian primer, penilaian primer ini merupakan suatu proses mental yang

dilakukan ibu berkaitan dengan evaluasi terhadap tuntutan dari situasi SLB C “X” di

Kota Bandung. Dalam hal ini ibu yang memiliki anak retardasi mental melakukan

evaluasi terhadap dirinya apakah tuntutan situasi SLB mempengaruhi dirinya secara

(25)

14

Universitas Kristen Maranatha

Penyebab retardasi mental sendiri adalah kelaianan perkembangan sel-sel otak

selama dalam kandungan, hal ini dapat membuat para orang tua (terutama ibu)

merasa bersalah dan dipersalahkan karena tidak bisa menjaga diri dan kandungannya.

Dengan perilaku anak yang acuh tak acuh hal inilah yang menyebabkan ibu menjadi

stres karena kondisi anaknya yang menderita retardasi mental dirasakan sebagai suatu

ancaman.

Menurut Lazarus (1976), stres merupakan suatu keadaan atau situasi yang

rumit yang dirasakan sebagai keadaan yang menekan dan mengancam individu serta

telah melampaui sumber daya yang dimiliki individu untuk mengatasinya. Gejala-

gejala stres bisa berbentuk gejala fisik, gejala emosional, gejala intelektual dan gejala

interpersonal (Grant Brecth, 2000 dan Agus M.Hardjana, 1994).Gejala fisik yaitu

gejala yang menyerang tubuh atau badan individu; misalnya sakit kepala, pusing,

pening, tidur tidak teratur, kulit gatal-gatal, cepat lelah, tekanan darah naik.Gejala

emosional yaitu gejala pada segi emosi individu; misalnya gelisah atau cemas, sedih,

mudah menangis, mudah marah, gugup, mudah tersinggung.Gejala intelektual yaitu

gejala pada kerja intelek atau pikiran; misalnya sulit berkonsentrasi, sulit membuat

keputusan, mudah lupa, daya ingat menurun, melamun berlebihan, produktivitas kerja

menurun. Gejala interpersonal yaitu gejala yang berhubungan dengan orang lain di

dalam maupun di luar rumah; misalnya mudah mempersalahkan orang lain, suka

mencari-cari kesalahan orang lain, mendiamkan orang lain, kehilangan kepercayaan

(26)

15

Universitas Kristen Maranatha

ini dikarenakan respon setiap individu berbeda-beda dalam menanggapi suatu

stimulus. Apabila individu mengalami stres, segala segi dalam diri pun terkena, hal

ini pun dirasakan oleh para ibu ketika mengetahui bahwa anaknya menderita retardasi

mental. Begitu pula menurut Luthan, sumber-sumber individual yang kurang

adekuat, yang menyangkut sumber-sumber personal serta dukungan dari lingkungan

sosial merupakan salah satu yang mempengaruhi derajat kehebatan stres.

Setiap ibu yang memiliki anak retardasi mental mengalami derajat stres

berbeda.Perbedaan itu disebabkan oleh penilaian kognitif yang terjadi dalam diri tiap-

tiap ibu yang memiliki anak penderita retardasi mental.

Penilaian kognitif adalah cara ibu menilai situasi atau peristiwa yang

dihadapinya dan sumber-sumber daya yang dimilikinya. Penilaian kognitif terdiri atas

tiga aspek, yaitu penilaian primer (primary appraisals), penilaian sekunder

(secondary appraisals) dan penilaian kembali (reappraisals). (Sheridan &

Radmacher, 1992).

Penilaian primer yaitu evaluasi terhadap peristiwa (stressor).Ibu yang

memiliki anak retardasi mental akan menilai suatu peristiwa sebagai tidak

berhubungan (irrelevant) jika peristiwa tersebut dirasakan tidak akan memiliki

pengaruh terhadap kesejahteraan dirinya. Bagi seorang ibu yang memiliki kondisi

anakretardasi mental, mencari sekolah luar biasa yang tepat untuk anaknya

(27)

16

Universitas Kristen Maranatha

ancaman (stressful) kesejahteraan dirinya, maka peristiwa itu dinilai sebagai stressor.

Penilaian sekunder yaitu evaluasi ibu atas sumber-sumber daya yang dimilikinya

yang dapat digunakan untuk mengatasi kondisi anak retardasi mental yang dihadapi,

misalnya dana yang diperlukan untuk menyekolahkan anaknya, waktu untuk

mengasuh anak mereka. Namun bila dana dan waktu yang tersedia tidak mendukung,

hal tersebut akan dapat menjadi peluang terjadinya stres yang tinggi. Dengan kata

lain, penilaian ini digunakan untuk menentukan apa yang dapat atau harus dilakukan

terhadap kondisi anak retardasi metal. Penilaian kembali yaitu menunjukkan

perubahan penilaian yang terjadi karena adanya informasi yang baru, baik yang

bersumber dari lingkungan yang dapat mendukung atau memperkuat tekanan bagi ibu

dan informasi dari reaksi ibu itu.Hal ini dapat berupa informasi mengenai sekolah

luar biasa baru yang lebih baik yang diperoleh dari seminar, teman, dan lain-lain,

informasi tentang terapi-terapi khusus, metode-metode baru yang dapat meningkatkan

kualitas hidup anak retardasi mental.

Penilaian kembali dipengaruhi antara lain oleh dukungan informatif yang

dapat mengubah penilaian ibu, yang berupa saran, nasehat atau cara-cara yang dapat

digunakan dalam menghadapi anaknya yang retardasi mental, maka penilaian kognitif

berperan terhadap derajat stres ibu. Hal ini dikarenakan tinggi rendahnya derajat stres

seseorang ditentukan antara lain oleh persepsi individu tersebut terhadap dukungan

informatif sebagai salah satu bentuk dukungan sosial yang individu dapatkan (Gore,

(28)

17

Universitas Kristen Maranatha

bahwa secara sadar atau tak sadar, individu akan mencari dan mendatangi orang-

orang yang ada di lingkungannya untuk meminta bantuan bila ia menghadapi

masalah. Bahkan dengan adanya orang lain sebagai tempat untuk menangis dapat

membantu menurunkan ketegangan seseorang (Silver & Wortman, 1980).

Sumber daya individu yang meliputi kesehatan dan energi (sumber fisik),

keyakinan yang positif (sumber psikologis), keterampilan untuk memecahkan

masalah dan keterampilan sosial yang adekuat dan efektif (kompetensi), dukungan

sosial, dan sumber-sumber material (Lazarus & Folkman, 1984).Kesehatan dan

energi, merupakan sumber-sumber fisik yang seringkali memengaruhi upaya ibu yang

memiliki anak retarasi mental dalam menangani stresnya. Apabila dalam keadaan

sehat, ibu yang memiliki anak retardasi mental akan lebih mudah untuk memberikan

penilaian yang obyektif terhadap situasi lingkungan, apakah dihayati sebagai stressor

atau sebagai sumber eksternal bagi ibu yang memiliki anak retardasi mental. Bila

mereka dalam keadaan sakit atau lelah, akan memiliki energi yang kurang untuk

dapat melakukan suatu penilaian yang obyektif dan dapat lebih mudah mengalami

reaksi fisiologis yang dapat ditimbulkan apabila ibu yang memiliki anak retardasi

mental mengalami stres.

Keterampilan untuk memecahkan masalah, yaitu kemampuan ibu yang

memiliki anak retardasi mental untuk mencari informasi, menganalisa,

mengidentifikasi masalah, mempertimbangkanya, memilih dan menerapkan rencana

(29)

18

Universitas Kristen Maranatha

memecahkan masalah diperoleh ibu melalui pengalaman, dalam mengasuh anaknya,

dan pengetahuan dari ibu / orangtua lain yang juga memiliki anak retardasi mental

dalam menanggulangi anak-anaknya

Keyakinan yang positif dan sikap optimis pada ibu yang memiliki anak

retardasi mental yaitu iamerasa memiliki pandangan yang positif terhadap

kemampuan diri untuk dapat mengahadapi tuntutan dari situasi lingkungan, yang

merupakan sumber daya psikologi yang penting dalam menanggulangi masalah. Hal

ini akan membangkitkan motivasi ibu yang memiliki anak retardasi mental untuk

terus berupaya mencari alternatif penanggulangan masalah yang tepat.

Keterampilan sosial yang adekuat dan efektif, memudahklan pemecahan

masalah ibu yang memiliki anak retardasi mental bersama dengan ibu-ibu lain yang

memiliki anak retardasi mental.

Guru SLB, keluarga ataupun masyarakat yang memberi kemungkinan untuk

bekerjasama serta memperoleh dukungan dan melalui interaksi sosial yang terjalin

memberi kendali yang baik bagi ibu yang memiliki anak retardasi mental yang

bersangkutan.

Menurut Sidney Cobb (dalam Smet, 1994), individu yang mendapatkan

dukungan sosial percaya bahwa mereka dicintai dan diperhatikan, diakui dan merasa

berharga, mereka juga merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari jaringan sosial,

(30)

19

Universitas Kristen Maranatha

berpengaruh pada proses stres dalam beberapa hal yaitu peristiwa yang menyebabkan

stres (kondisi anak yang menderita retardasi mental), penilaian subyektif terhadap

penyebab stres (penilaian kognitif terhadap kondisi anak yang retardasi mental), dan

atau respon emosi terhadap penyebab stres (timbul dari akibat dukungan emosional),

individu yang mendapatkan dukungan sosial percaya bahwa mereka dicintai dan

diperhatikan, diakui dan merasa berharga, mereka juga merasa bahwa dirinya

merupakan bagian dari jaringan sosial, seperti keluarga atau organisasi lain.

Sumber-sumber material, sumber material dapat berupa uang dan barang

untuk kebutuhan hidup sehari-hari ibu yang memiliki anak retardasi mental. Selain itu

juga dapat berupa fasilitas lain dari SLB ataupun kegiatan penyuluhan maupun

keagamaan yang diselenggarakan pihak SLB untuk membantu menambah informasi

sehingga dapat mendukung terlaksananya penanggulangan secara lebih efektif.

Besar kecilnya derajat stres ibu yang memiliki anak retardasi mental terjadi

apabila stressormelebihi sumber daya yang dimiliki individu. Menurut Sarafino

(1990), yang dapat menjadi stressor bagi individu dalam kehidupannya, dapat timbul

dari individu, keluarga, masyarakat dan lingkungan sosial. Berdasarkan hasil

penilaian kognitif ibu yang memiliki anak retardasi mental mengenai situasi yang

dihayati sebagai stressor (diperoleh dari survey awal), yaitu individu (dalam

hubungannya dengan pemenuhan tugas perkembangan), keluarga (penilaian ibu yang

memiliki anak retarardasi mental terhadap dukungan dan sikap keluarga), masyarakat

(31)

20

Universitas Kristen Maranatha

karena keadaan anak retardasi mental), dan lingkungan sosial (dalam kaitannya mengenai lingkungan di SLB C “X”). Hal ini dihayati sebagai stressoroleh ibu yang

memiliki anak retardasi mental karena keadaan anak retardasi mental merupakan hal

yang baru dan membawa perubahan sosial (social change). Menurut Lazarus (1984),

social change dapat menimbulkan stres pada individu karena dapat menimbulkan

tuntutan-tuntutan baru yang sulit untuk dapat diprediksi atau dikenali, menciptakan

perasaan asing atau ancaman-ancaman baru.

Sumber stres dapat diperoleh dari keluarga.Keluarga merupakan sumber sosial

(social resources) bagi ibu yang memiliki anak retardasi mental. Menurut Lazarus

(1984). Social resources dapat menyangga (buffer) stres, dengan menerima dukungan

sosial (perceived social support) menunjuk pada interaksi yang terjadi dalam

hubungan sosial, khususnya yang secara subyektif dievaluasi sebagai dukungan.

Individu akan beradaptasi lebih baik apabila mereka menerima atau percaya bahwa

mereka akan menerima dukungan sosial ketika dibutuhkan dengan secara rutin

(Lazarus, 1984). Bagi ibu yang memiliki anak retardasi mental keluarga dapat

memberikan dukungan secara moral, memberikan pemahaman akan perbuatan yang

dilakukan ibu yang memiliki anak retardasi mental, dan dapat memberikan

kemudahan kepada ibu yang memiliki anak retardasi mental dalam usahanya

mengatasi stres yang dialami anak retardasi mental.

Faktor terakhir yang menjadi sumber stres menurut Sarafino (1990) adalah

(32)

21

Universitas Kristen Maranatha

anak retardasi mental baik penilaian ibu terhadap kondisi anak retardasi mental,

keadaan fisik, hubungan dengan guru dan peraturan, hubungan dengan sesama ibu

yang memiliki anak retardasi mental, kegiatan yang dilakukan ibu yang memiliki

anak retardasi mental, dihayati sebagai stressoroleh ibu yang memiliki anak retardasi

mental. Hal ini terjadi karena ibu yang memiliki anak retardasi mental, baru

menghadapi hal ini dan memerlukan adaptasi pada keadaan anak retardasi mental.

Sumber daya yang dimiliki ibu yang memiliki anak retardasi mental terbatas dalam

mengahadapi tuntutan lingkungan, hal ini terjadi karena ibu yang memiliki anak

retardasi mental memerlukan penyesuaian terhadap kegiatan, peraturan, hubungan

dengan teman, kondisi fisik anak retardasi mental, hal tersebut belum pernah ibu yang

memiliki anak retardasi mental hadapi sebelumnya.

Oleh karena stres dapat menganggu dan mengancam keseimbangan baik

secara psikis maupun sosial maka individu harus bertindak mengatasi tekanan dan

tuntutan-tuntutan yang ada guna tercapainya kembali keseimbangan.

(33)

22

SLB “X” di Kota Bandung terhadap

(34)

23

Universitas Kristen Maranatha

Asumsi Penelitian

- Ibu yang memiliki anak retardasi mental akan menghadapi dengan

sumber-sumber potensial yang dapat memunculkan stres (stressor)

- Ibu-ibu yang memiliki anak retardasi mental perlu meredakan stres

- Derajat stres yang dimiliki ibu yang memiliki anak retardasi mental

berbeda-beda dipengaruhi pula oleh perbedaan tiap-tiap individual

tergantung dari penilaian kognitifnya

- Stres dapat terjadi pada ibu yang memiliki anak retardasi mental karena

adanya tuntutan dari situasi yang melampaui sumber daya ibu yang

memiliki anak retardasi mental untuk memenuhi tuntutan tersebut.

- Penilaian kognitif ibu yang memiliki anak retardasi mental terhadap

stressor, menentukan tinggi atau rendahnya derajat stres pada ibu yang

memiliki anak retardasi mental.

(35)

96

Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat stres, yang diperoleh

melalui pengumpulan data terhadap ibu yang memiliki anak retardasi mental di SLB C “X” di Kota Bandung yang berjumlah 34 orang, maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa:

 Derajat stres ibu yang memiliki anak retardasi mental di SLB C “X” di Kota

Bandung sebagian besar berada pada derajat yang tergolong rendah, dan

memiliki tingkatan yang rendah pula pada gangguan kesehatan, gangguan

psikologis dan gangguan tingkah laku

 Ibu yang memiliki anak retardasi mental di SLB C “X” di Kota Bandung

memiliki derajat stres yang rendah

Saran

Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya,

banyak ditemukan kekurangan dan keterbatasan. Maka peneliti mengajukan beberapa

(36)

97

Universitas Kristen Maranatha

Saran Praktis

Berdasarkan hasil penelitian ini maka paneliti dapat memberikan saran guna

laksana, yaitu:

 Memberi informasi bagi ibu yang memiliki anak retardasi mental yang

berkaitan dengan situasi-situasi yang menjadi stressor dan mengenai

bagaimana penilaian kognitif ibu yang memiliki anak retardasi mental

terhadap tuntutan dari situasi lingkungan dan sumber daya yang dimiliki ibu

yang memiliki anak retardasi mental, berperan terhadap tinggi atau rendahnya

derajat stres yang dialami oleh ibu yang memiliki anak retardasi mental,

sehingga ibu yang memiliki anak retardasi mental dapat meningkatkan

sumber daya yang dimiliki agar dapat mengurangi derajat stresnya.

 Memberi informasi pada pihak Sekolah Luar Biasa C “X” Bandung, agar

mengadakan pelatihan mengenai coping stres yang dapat membantu ibu untuk

mengatasi stres yang dialami, khususnya ibu dengan derajat stres tinggi.

Saran Teoritis

 Bila akan dilakukan penelitian lanjutan mengenai derajat stres pada ibu yang

memiliki anak retardasi mental, dapat penelitian dilakukan penelitian

korelasional atau studi kasus membahas lebih mendalam mengenai stres dan

(37)

98

Universitas Kristen Maranatha  Peneliti berikutnya dapat meneliti lebih jauh mengenai alat ukur yang akan

digunakan dan lebih teliti dalam membaca hasil pengukuran.

 Dapat diteliti lebih jauh mengenai metoda yang sesuai dengan kondisi

(38)

101

Daftar Pustaka

Anggita, Bernadette. 2014. Studi Deskriptif MengenaiI Derajat Self – Compassion Pada Ibu Yang Memiliki Anak Tunagrahita di SLB – C “X” Kota Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Agus M. Hardjana. 1994. Stres tanpa Distres, Seni Mengelola Stres. Yogyakarta : Kanisius, hal. 103.

Aryani, Cindy. 2010. Studi Deskriptif Mengenai Derajat Stress Pada Siswa

Akselerasi SMA “ X “ Di Kota Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas

Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Brecht, G. 2000. Mengenal Diri dan Menanggulangi Stres. Jakarta : PT. Prenhallindo.

Duvall, Evelyn Millis. 1977. Marriage and Family Development. Philadelphia :J. B. Lippincott Company, 5th Edition.

Gore. 1984. Kebijakan Tata Ruang. Hal 163. Jakarta.

Guilford, J.P. 1965. Fundamental Statistic in Psychology and Education. Tokyo; McGraw-Hill Kogakusha Company Ltd.

Halim, Budiman. 2009. Kontribusi Protectie Factors Terhadap Resiliensi Ibu Yang

MemilikiI Anak Berkebutuhan Khusus Di Kota Bandung. Skripsi. Bandung:

Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Hamid S. Attamimi. 1993 .Hukum Tentang Peraturan Perundang-undangan dan

Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan). Diucapkan dalam Pidato

Purna Bakti Guru Besar Tetap Fakultas UI. Depok.

Kasl, Stanislav & Sidney Cobb. 1966. Health Behavior, Illness Behavior and Sick

Role Behavior. Dalam Archives of Environmental Health, 12: 246-266.

Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi .7 nd ed, Vol. 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2008 : 860-1.

(39)

102

Lazarus, Richard S. 1976. Paterns of Adjusment. Tokyo: McGraw-Hill, Kogakusha, Ltd.

______. 1984. Stress, Appraisal, and Coping.USA: Springer Verlag.

Lazarus, S. & Folkman, R.S. 1986. Stress, appraisal, and coping. Springer: New York.

Luthans, Fred. 2006. Perilaku Organisasi, (Alih Bahasa V.A Yuwono, dkk),Edisi

Bahasa Indonesi. Yogyakarta: ANDI.

.Moh. Nazir. (1998). Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Pratiwi. 2009. Studi Deskriptif Mengenai Derajat Stres Pada Orang Dengan

HIV/AIDS Karena Napza Suntik Usia 20-30 Tahun Di Yayasan „X‟ Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Santrock, J.W. 2010. Remaja (Edisi Kesebelas). Jakarta: Erlangga

Sarafino, Edward P. 1990. Health Psychology. Singapore: John Willey & Sons. Sheridan, C. L., & Radmacher, S. A. 1992. Health psychology: Challenging the

biomedical model. Singapore: John Wiley and Sons, Inc

Silver, R.L, & Wortman, C.B. 1980. Coping with Underirable Life Events In J.

_____. 2013. Developmental Psychopathology: From Infancy Through Adolescense

Fifth Edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

Yarman, Adira. 2010. Kontribusi Family Protective Factors Terhadap Resiliency

Pada Ibu Yang Memiliki Anak Retardasi Mental Di SPLB “X” Bandung.

(40)

103

Daftar Rujukan

BPS. 2010. Data Pokok Sekolah Luar Biasa di Seluruh Indonesia.

Supatri, Ayu. 2014. PENGARUH ORANGTUA YANG MEMILIKI ANAK

RETARDASI MENTAL.

Gambar

Tabel 5.3 Tabulasi Silang Derajat Stres dan Gangguan Tingkah Laku……………...90

Referensi

Dokumen terkait

[r]

This thesis is aimed at describing the translation method and meaning equivalence used by the translator to translated the selected data in the song lyric “Let It Go” to

(keuntungan tanpa resiko) muncul. Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan pasar menjadi efisien. Pasar efisien dapat terjadi karena peristiwa-peristiwa sebagai berikut

dalam selembar kertas, l paragraf tentang konsep karya ujian praktek hari ini, dan teori Nirmana apa saja yang terdapatdaram kmyaanda.. lfrha$wa yang tidakmengumpulkan tugas

Penelitian tentang jual beli hewan ternak yang terjadi di Muntilan kabupaten Magelang adalah ditujukan kepada penjual pembeli dan makelar hewan ternak yang ada di pasar

rouxii asal Ragi Gedang merupakan kapang yang memiliki kemampuan tertinggi mereduksi aflatoksin sebesar 99,7% sedangkan isolat khamir adalah Saccharomyces sp.. Isolat kapang

tunjangan yang dilaksanakan didinas tersebut dengan mata kuliah kerja praktek/magang sebagai pengimplikasian teori yang telah didapatkan diperkulihan dan menuangkan kedalam

Dengan batasan kenaikan tarif yang dapat diterima oleh konsumen dari hasil observasi melalui prinsip WTP yaitu sebesar 5%, diharapkan manajemen rumah makan saji mampu menyediakan