i
KATA PENGANTAR
Fokus penelitian ini adalah kemampuan kontrol diri perilaku seksual
remaja (siswa) Madrasah Aliyah Negeri Ciparay dan Madrasah Aliyah Swasta Al-Mukhlisin di Kabupaten Bandung dengan mengambil latar konseling di sekolah.
Kemampuan kontrol diri merupakan salah satu pilar kecerdasan moral
yang penting dimiliki oleh manusia. Kemampuan ini mencakup hampir kepada setiap bentuk atau jenis perilaku. Seseorang akan menjadi mulya hidupnya dalam
segala hal apabila ia memiliki kemampuan kontrol diri yang bagus; ia menjadi tidak berlebihan dalam merasakan atau dalam melakukan sesuatu; sebaliknya ia akan mampu mengatur diri, melakukan cara terbaik yang dipandang maslahat dan
terhormat bagi kehidupannya karena tidak tergesa-gesa dalam bertindak, melakukan pertimbangan secara cermat dan mengambil pilihan yang terbaik bagi
kondisi dan masa depan hidupnya.
Dalam situasi kehidupan remaja yang godaan dan tantangannya cukup tinggi, remaja yang memiliki latar kehidupannya sudah bagus, perjalanan dan
perjuangan hidupnya mungkin akan terlewati dengan penuh kemulusan. Penghargaan terhadap waktu, keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan positif, obsesi
pencapaian cita-cita yang jelas serta dukungan keluarga semuanya berlangsung tanpa masalah. Namun apa yang terjadi jika keadaan sebaliknya, kehidupan yang semerawut, penuh dengan ketidakjelasan, dan dalam waktu yang sama terjerumus
dalam pergaulan bebas, maka kondisi itu semakin memperburuk keberadaan remaja, meruksak tatanan sosial, memperburuk citra kehidupan bermoral dan
ii
Menyimak keadaan seperti itu, maka esensi kemampuan kontrol diri dan ikhtiar mengembangkannya pada diri remaja menjadi amat penting. Dalam kultur
masyarakat Indonesia yang religious dan sepadan dengan itu pencapaian cita-cita serta masa depan yang lebih baik sangat dimungkinkan terwujud karena
kemampuannya untuk berkarakter atau memiliki pola pikir dan perilaku sesuai dengan semangat kultur dan falsafah bangsa Indonesia.
Atas dasar itu, penelitian ini mengambil permasalahan: “Apakah model
konseling kognitif-perilaku untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri perilaku seksual remaja?”.
Remaja yang dipilih sebagai subjek penelitian adalah dari kalangan siswa Madrasah Aliyah atau yang sederajat, didasarkan pada asumsi bahwa pada usia ini seiring tugas perkembangan yang harus dijalaninya, mereka dituntut memiliki
kemampuan dan keterampilan dalam mengambil langkah-langkah pengambilan keputusan secara tepat, benar dan juga strategis, yang akan menentukan terhadap
nasib masa depan hidupnya. Mereka dituntut piawai dalam menimbang sesuatu yang didasarkan pada ilmu pengetahuan, wawasan dan kemampuan menggunakan cara berpikir yang melihat sesuatu tidak saja menjanjikan keuntungan dan
kesenangan sesaat tetapi dengan melihat lebih jauh ke depan berdasarkan akibat yang mungkin akan terjadi (consequence of control), dan memutuskan pilihan
iii
Disertasi ini terdiri atas lima bab. Bab I pendahuluan, menyajikan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan, manfaat, asumsi, hipotesis, metode,
lokasi dan sampel penelitian. Bab II tentang kerangka konseptual-teoretis kemampuan kontrol diri perilaku seksual remaja dan pendekatan konseling
kognitif-perilaku. Bab III menyajikan pendekatan, metode, prosedur, pengembangan instrumen pengumpul data, serta analisis data. Bab IV menyajikan hasil penelitian, dan pembahasannya serta analisis peneliti terhadap
temuan-temuan penelitian yang sejenis. Bab V menyajikan kesimpulan dan rekomendasi penelitian.
Demikianlah disertasi ini diajukan dengan harapan semoga dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama bagi ilmu pendidikan dan khususnya bidang bimbingan dan konseling, sehingga
memberikan masukan bagi pengembangan layanan bimbingan dan konseling baik di sekolah maupun luar sekolah/masyarakat.
Bandung, 7 Oktober 2011
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji dan syukur sudah sepatutnya dipersembahkan hanya kepada
Allah Swt. yang telah menganugerahkan banyak sekali ilmu dan kemampuan kepada penulis sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Tentu banyak uluran tangan, bantuan semangat, sumbangsih pikiran yang penulis terima selama
menempuh Program Doktor di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia sampai dengan penyelesaiaan tugas akhir akademik ini. Karenanya,
penulis menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya.
Terima kasih pertama, disampaikan kepada Prof. Dr. H. Syamsu Yusuf LN, M.Pd. sebagai Promotor penulisan disertasi ini. Keluwesan dan kedalaman
ilmunya, keterbukaan dan kesiapan dirinya untuk senantiasa melayani, keshabarannya, serta humor-humor akademisnya yang memungkinkan penulis
menyelami konsep–konsep kontrol diri dan pendekatan konseling kognitif-perilaku yang menjadi fokus masalah pada penelitian ini.
Terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Juntika Nurihsan sebagai
Kopromotor penulisan disertasi ini. Ketekunan dan ketelitiannya dalam mengoreksi tulisan paragraf demi paragraf serta keterpautan antar paragraf,
sejumlah pertanyaan dan kritikannya yang tajam telah memacu penulis untuk lebih maksimal dalam berusaha untuk memperluas wawasan dan untuk tanpa lelah apalagi prustasi dalam menapaki pencapaian cita-cita dan kebenaran. Dorongan
v
Kepada Prof. Dr. Uman Suherman AS, M.Pd. juga disampaikan terima kasih. Beberapa kali beliau bersedia memberikan arahan, koreksi dan saran
perbaikan. Wawasan dan pengetahuannya yang luas mampu menunjukkan kepada penulis beberapa kelemahan yang harus segera diperbaiki, kecermatannya dalam
memberi solusi membuat diri tidak gamang dan merupakan daya dukung yang kuat dalam menuntaskan tugas akhir ini.
Terima kasih juga disampaikan kepada Rektor UPI, Prof. Dr. Sunaryo
Kartadinata, M.Pd. yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan selama menempuh Program Doktor di Sekolah Pascasarjana UPI Bandung.
Kepada Drs. Nurhudaya, M.Pd. selaku pakar dan praktisi pada Divisi Dukungan Sistem UPT LBK UPI, atas kesediaan waktunya, ketelitiannya, kesabaran dan kesungguh-sungguhannya dalam melayani proses diskusi untuk
menyempurnakan instrumen penelitian, juga kepada Dr. Mubyar Agustin, M.Pd., Dr. Ilfiandra dan Dr. Ifah Sarifah selaku pakar bimbingan konseling
kognitif-perilaku yang telah menimbang instrumen penelitian dan dukungannya untuk melanjutkan dalam penelitian.
Kepada para dosen juga disampaikan terima kasih atas bimbingan dan
curahan ilmunya selama menempuh perkuliahan di Sekolah Pascasarjana UPI. Kepada staf administrasi diucapkan terima kasih atas bantuannya selama ini.
vi
Sekolah Pascasarjana UPI. Tanpa izinnya, tidak mungkin penulis dapat menempuh studi di lembaga ini.
Terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. H. Asep Muhyiddin, M.Ag. sebagai Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati yang
telah merekomendasikan penulis untuk menempuh Program Doktor di Sekolah Pascasarjana UPI.
Terima kasih pula disampaikan kepada Kepala Sekolah Madrasah Aliyah
Negeri Ciparay dan Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Swasta Al-Mukhlisin Bojong Soang di Kabupaten Bandung yang telah memberikan izin untuk
melaksanakan penelitian. Ucapan senada juga disampaikan kepada guru-guru yang ditugaskan sebagai guru bimbingan dan konseling/konselor di Madrasah Aliyah atas kerja sama yang baik, maka penelitian ini dapat berjalan lancar. Tidak
kalah pentingnya ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para siswa dan siswi yang menjadi subyek penelitian.
Terima kasih disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Islam Depag RI yang telah memberikan bantuan biaya selama melangsungkan studi di Sekolah Pascasarjana UPI.
Kepada teman-teman seangkatan dari berbagai wilayah perguruan tinggi, sdr. Muskinul Fuad,M.Ag., Sdri Umi Rohmah,M.Ag., Sdr. Asep Solikin, MA,
Sdri. Imas Kania Rahman, Sdr. Isep Zainal Arifin, M.Ag., Lilis Satriah, M.Pd., Sdr. Siti Chadijah, Sdr. Dudi Imanudin, M.Ag., dan yang lainnya atas kesediaannya untuk saling mengingatkan dan saling memotivasi dengan penuh
vii
Juga tidak lupa saya sampaikan rasa terima kasih dan kagum atas kesediaan teman yang cerdas saudara Iir Abdul Harits, sang inspirator, kaya dengan ide-ide brilian,
serta keluasan wawasannya yang selalu up to date, dan sejalan dengan perkembangan pengetahuan terbaru. Hubungan-hubungan dengannya sarat dengan
makna yang dapat diperoleh.
Ke hadapan ibunda Mamah Rusmah yang amat ananda cintai, tak lupa ananda haturkan terima kasih yang tulus dan dalam. Do’a dan kasih sayangnya
yang terus mengalir memotivasi ananda untuk terus berusaha agar dalam hidup ini jangan pernah menyerah untuk menggapai cita-cita dan meraih kesuksesan,
juga kehadapan ayahanda Maknus Saeri (alm.) ananda haturkan terima kasih atas kebaikan, nilai kejuangan dan teladan hidup, semoga ayahanda di alam baqa berada dalam limpahan rahmat dan kasih sayang Allah Swt. Amin.
Akhirnya, penghargaan dan terima kasih yang amat dalam disampaikan kepada istriku tercinta Siti Nurasiah, walau diliputi kesibukan membesarkan tiga
orang anak yang masih balita ia tetap ridha mendukung suami untuk terus mnyelesaikan disertasi ini. Hari-hari bahagia miliknya banyak terkorbankan dan tersia-siakan selama penyelesaian disertasi ini.
Semoga semua budi baik itu diterima sebagai amal sholeh. Amin.
viii
B.Rumusan Masalah Penelitian ... 17
C.Tujuan Penelitian ... 19
BAB II KONSEP TEORETIK KONSELING KOGNITIF-PERILAKU UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONTROL DIRI PERILAKU SEKSUAL REMAJA ... 26
A. Kemampuan Kontrol Diri Perilaku Seksual Remaja ... 26
B. Konseling Kognitif-Perilaku (KKP) ... 60
C. Korelat Kemampuan Kontrol Diri Perilaku Seksual Remaja dengan Konseling Kognitif-Perilaku ... 84
D. Penggunaan KKP untuk Meningkatkan Kemampuan Kontrol Diri Perilaku Seksual Remaja ... 94
E. Penelitian Terdahulu ... 96
BAB III METODE PENELITIAN ... 101
A. Pendekatan, Metode dan Prosedur Penelitian... 101
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 105
C. Pengembangan Instrumen Pengumpul Data ... 114
D. Subjek Penelitian ... 123
ix
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 128
A. Hasil Penelitian ... 128
B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 196
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 249
A. Kesimpulan ... 249
B. Rekomendasi... 253
DAFTAR PUSTAKA ... 256
LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 261
A. Matrik Perkembangan Model Konseling Kognitif-Perilaku untuk Meningkatkan Kemampuan Kontrol Diri Perilaku Seksual Remaja Pasca Uji Validasi dan Lapangan ... 261
B. Program Pelatihan Konseling Kognitif-Perilaku untuk Meningkatkan Kemampuan Kontrol Diri Perilaku Seksual Remaja... 270
C. Panduan Praktis Layanan Konseling Kognitif-Perilaku untuk Meningkatkan Kemampuan Kontrol Diri Perilaku Seksual Remaja... 274
D. Angket Pengukur Kemampuan Kontrol Diri Perilaku Seksual Remaja... 298
E. Data Kuantitatif Hasil Studi Pendahuluan dan Dinamika Kemampuan Kontrol Diri Perilaku Seksual Remaja Pasca Intervensi dengan Model Konseling Kognitif-Perilaku ... 312
F. Bukti Validasi Instrumen dan Rasional Model ... 348
G. Surat Keputusan Direktur Sekolah Pascasarjana UPI tentang Tugas Pembimbing Penulisan Disertasi ... 353
x
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Kisi-Kisi Instrumen Kemampuan Kontrol Diri Perilaku Seksual Remaja
114
Tabel 3.2 Korelasi Skor Butir Soal dengan Skor Butir Total 117
Tabel 3.3 Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi 120 Tabel 3.4 Tafsir Perolehan Skor Instrumen Kemampuan Kontrol Diri
Perilaku Seksual Remaja
122
Tabel 3.5 Deskripsi Uji Model Konseling Kognitif-Perilaku untuk Meningkatkan Kemampuan Kontrol Diri Perilaku Seksual Remaja pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
126
Tabel 4.1 Alasan Utama Dilakukan dan Tidaknya Ciuman 132 Tabel 4.2 Perilaku yang Dipilih Ketika Menghadapi Stimulus Ciuman 133 Tabel 4.3 Alasan Utama Dilakukan dan Tidaknya Pelukan 134
Tabel 4.4 Perilaku yang Dipilih Ketika Menghadapi Stimulus Pelukan 135 Tabel 4.5 Alasan Utama Dilakukan dan Tidaknya Menempelkan Alat
Vital
136
Tabel 4.6 Perilaku yang Dipilih Ketika Menghadapi Stimulus Menempelkan Alat Vital
137
Tabel 4.7 Alasan Utama Dilakukan dan Tidaknya Hubungan Intim 138
Tabel 4.8 Perilaku yang Dipilih Ketika Menghadapi Stimulus Hubungan Intim
139
Tabel 4.9 Alasan Utama Dilakukan dan Tidaknya Masturbasi 140 Tabel 4.10 Alasan Utama Dilakukan dan Tidaknya Hubungan Seksual
dengan Sesama Jenis
141
Tabel 4.11 Perilaku yang Dipilih Ketika Menghadapi Stimulus Hubungan Seksual dengan Sesama Jenis
xi
Tabel 4.12 Perilaku yang Dipilih Ketika Muncul Stimulus Melihat Tayangan Porno
142
Tabel 4.13 Rangkuman Hasil Pengujian Efektivitas Model Konseling Kognitif-Perilaku untuk Meningkatkan Kemampuan Kontrol Diri Perilaku Seksual Remaja (Siswa) MAN Ciparay dan MAS Al-Mukhlisin di Kabupaten Bandung
198
Tabel 4.14 Perbandingan Kemampuan Kontrol Diri Perilaku Seksual Siswa MAN Ciparay dengan MAS Al-Mukhlisin Bojong Soang di Kabupaten Bandung
202
Tabel 4.15 Peningkatan Kadar Kemampuan Kontrol Diri Perilaku Seksual Pasca Intervensi Model Konseling Kognitif-Perilaku
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bagan Proses Kontrol Diri Hasil Adaptasi dari Konsep Manajemen Diri Bryan T. Yates
49
Gambar 3.1: Prosedur Penelitian 103
Gambar 3.2: Langkah-Langkah Konseling Kognitif-Perilaku untuk Meningkatkan Kemampuan Kontrol Diri Perilaku Seksual Remaja
103
Gambar 4.1: Grafik Kemampuan Kontrol Diri Perilaku Seksual Siswa MAN Ciparay dan MAS Al-Mukhlisin Kabupaten Bandung
130
Gambar 4.2 Grafik Kemampuan Siswa Madrasah Aliyah dalam Melakukan Pertimbangan atas Stimulus Seksual
131
Gambar 4.3 Grafik Kemampuan Siswa Madrasah Aliyah dalam Memutuskan Pilihan Perilaku atas Stimulus Seksual
131
Gambar 4.4 Grafik Kemampuan Siswa MAN Ciparay dalam Melakukan Pertimbangan atas Stimulus Seksual
145
Gambar 4.5 Grafik Kemampuan Siswa Ciparay dalam Memutuskan Pilihan Perilaku atas Stimulus Seksual
145
Gambar 4.6 Grafik Kemampuan Siswa MAS Al-Mukhlisin dalam melakukan Pertimbangan atas Stimulus Seksual
153
Gambar 4.7 Grafik Kemampuan Siswa MAS Al-Mukhlisin dalam Memutuskan Pilihan Perilaku atas Stimulus seksual.
153
Gambar 4.8 Realitas Tingkatan Kemampuan Kontrol Diri Perilaku Seksual Siswa MAN Ciparay dan MAS Al-Mukhlisin Kabupaten Bandung
197
Gambar 4.9 Grafik Kemampuan Siswa Madrasah Aliyah dalam Melakukan Pertimbangan atas Stimulus Seksual
200
Gambar 4.10 Grafik Kemampuan Kontrol Diri Perilaku Seksual Siswa MAN Ciparay dan MAS Al-Mukhlisin Kabupaten Bandung Berdasarkan Indikator-indikatorny
200
Gambar 4.11 Grafik Kemampuan Siswa MA dalam Melakukan Pertimbangan
xiii
Gambar 4.12 Grafik Kemampuan Siswa MA dalam Memutuskan Pilihan Perilaku
215
Gambar 4.13 Grafik Kemampuan Kontrol Diri Perilaku Seksual Siswa Madrasah Aliyah menurut Kondisi Siswa yang Berada pada Level Kritis/Berbahaya dan Rawan
215
Gambar 4.14 Grafik Kemampuan Melakukan Pertimbangan Pada Kelompok Kritis
216
Gambar 4.15 Grafik Kemampuan Memutuskan Pilihan Perilaku pada Kelompok Kritis
216
Gambar 4.16 Grafik Kemampuan Melakukan Pertimbangan Pada Kelompok Rawan
216
Gambar 4.17 Grafik Kemampuan Memutuskan Pilihan Perilaku pada Kelompok Rawan
216
Gambar 4.18 Grafik Peningkatan Level Kemampuan Kontrol Diri Perilaku Seksual Siswa Madrasah Aliyah Pasca Intervensi Model Konseling Kognitif- Perilaku dilihat Berdasarkan Hasil Pretes dan Postes
228
Gambar 4.19 Grafik Peningkatan Kemampuan Kontrol Diri Perilaku Seksual Siswa Spesifik pada Kelompok Eksperimen Level Gabungan Kritis dan Rawan
229
Gambar 4.20 Grafik Peningkatan Kemampuan Kontrol Diri Perilaku Seksual Siswa Spesifik pada Kelompok Kontrol Level Gabungan Kritis dan Rawan
1 BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini mengurai rencana penelitian yaitu berkenaan dengan model konseling kognitif-perilaku untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri perilaku seksual remaja. Rencana penelitian diawali dengan latar belakang penelitian,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, asumsi, hipotesis, metode penelitian serta lokasi dan sampel penelitian.
A. Latar Belakang Penelitian
Pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, bertujuan untuk menciptakan
sosok manusia Indonesia yang berkepribadian mulia, yaitu sosok manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, memiliki
kepribadian yang mantap dan mandiri, serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan .
Berdasarkan tujuan pendidikan tersebut, sosok pribadi manusia yang dicita-citakan merupakan pribadi yang utuh, yaitu sosok pribadi yang sehat dan integral baik fisik, psikologis, sosial maupun spiritualnya; sosok pribadi yang
tidak hanya unggul dalam satu kompetensi tertentu tapi rendah dalam kompetensi yang lain; sosok pribadi yang tidak sekedar cerdas secara
spiritual. Sebaliknya kompetensi sosial dan spiritual yang ditopang oleh intelektual yang cerdas.
Implikasinya adalah bahwa setiap penyelenggara pendidikan mulai dari tingkat SD sampai Perguruan Tinggi mendapatkan imperasi agar dalam
pengelolaan, proses pembentukan dan pencapaian tujuan harus sejalan dengan amanat undang-undang tersebut, antara lain pelaksanaan pendidikan harus bersifat antisipatif dan developmental terhadap kebutuhan dasar (basical needs)
para siswa.
Diantara kebutuhan siswa yang perlu diantisipasi dengan tugas
perkembangan sejalan dengan pencapaian tujuan pendidikan nasional antara lain berkaitan dengan keterpeliharaan moralitas seksual siswa. Saat ini tantangan kehidupan siswa semakin berat dan kompleks, dihadapkan dengan
sejumlah perubahan yang terjadi terutama sebagai dampak kemajuan teknologi informasi, jika para siswa tidak memiliki kemampuan atau kesiapan dalam
menghadapi perubahan, dapat berpengaruh terhadap gaya hidup (life style), dan ujung-ujungnya bisa menimbulkan masalah pribadi atau berbagai perilaku penyimpangan termasuk masalah seksual yang akibatnya tujuan pendidikan
yang dicita-citakan menjadi sulit tercapai (Yusuf, 2009: 2).
Tantangan kehidupan yang dimaksud sebagai dampak kemajuan
tekno- logi informasi diantisipasi dengan menyelaraskan tugas perkembangan yaitu kemampuan kendali diri (self-control), dengan kemampuan kendali diri siswa akan mampu berdiri kokoh dalam koridor hidup yang dibenarkan
Penelitian Sri Permata Sari (2003: 109-114) menyebutkan, saat ini telah terjadi pergeseran norma dalam masyarakat. Pergaulan remaja menjadi
lebih longgar dan bebas yang ditunjang oleh perkembangan media massa yang semakin maju baik media cetak maupun elektronik. Akibatnya berbagai
perilaku seksual menyimpang/melanggar norma lingkungan masyarakat dan bahkan hubungan seks sebelum nikah menjadi semakin tumbuh dengan subur. Penggunaan teknologi informasi oleh pihak yang tidak bertanggung
jawab baik berupa televisi, perfilman maupun internet untuk tujuan meruksak moral seperti memperkenalkan budaya pacaran bebas, tayangan-tayangan
porno, adegan-adegan cabul yang kurang senonoh, tayangan-tayangan dan informasi yang merangsang birahi, serta sejumlah menu sajian pemuas syahwat, merupakan faktor yang berkontribusi terhadap rusaknya moralitas
seksual para remaja (Borba, 2001: 5).
Kehebatan pengaruh media itu ibarat cara kerja virus yang sulit
dikendalikan. Virus itu telah memprogram pikiran dan perasaan dan menyebar ke segenap unsur kepribadiannya, membuat remaja mudah putus asa, hamil di luar nikah dan terlibat dalam perkelahian antar geng (Brodie, 2005 :8). Kondisi
ini diperparah dengan minimnya pengasuhan yang tepat, pelatihan spiritual dan keagamaan yang kurang, dukungan komunitas, hubungan orang dewasa yang
Berdasarkan hasil studi pendahuluan tentang kemampuan kontrol diri yang dimiliki siswa, sebab menurut beberapa penelitian kemampuan ini cukup
mampu mengendalikan perilaku seksual siswa. Kemampuan kontrol diri berperan penting dalam menekan perilaku seksual remaja. Perilaku seksual
pada remaja dapat ditekan apabila terdapat kontrol diri yang kuat. Remaja yang memiliki kontrol diri kuat mampu menahan atau mengendalikan dorongan-dorongan seksual yang timbul dari dalam dirinya. Setiap dorongan-dorongan seksual
yang muncul dapat dikendalikan remaja dengan cara mengalihkan pikiran dalam arti tidak memikirkan hal-hal yang dapat semakin mendorong gairah
seksualnya. Selain itu, remaja yang memiliki kontrol diri kuat juga dapat mengalihkan timbulnya dorongan seksual pada kegiatan yang bermanfaat seperti olah raga atau terlibat dalam kegiatan sosial. Banyaknya aktivitas atau
kegiatan yang dilakukan oleh remaja merupakan salah satu faktor yang dapat meminimalkan terjadinya perilaku seksual dalam bentuk apapun
(http://www.skripsi psiko logi.com).
Studi pendahuluan dilakukan terhadap siswa pada dua Madrasah Aliyah di Kabupaten Bandung yaitu MAN Ciparay dan MAS Al-Mukhlisin
Bojong Soang, hasilnya menunjukkan 25% dari total sampel 140 siswa jurusan IPS kelas XI angkatan tahun 2009/2010, memiliki potensi yang cukup tinggi
untuk terjerumus melakukan seks bebas atau menyimpang. 7,1% diantaranya sudah cenderung impulsif dan 17,9% cenderung impulsif namun masih sedikit ada kemangmangan. Potensi penyimpangan itu karena kendali diri perilaku
dengan standar harapan sosial dan keyakinan (nilai agama). Kendali perilaku mereka lebih didominasi oleh dorongan mengutamakan kesenangan dan
perasaan subjektif semata.
Temuan angka 25% dari populasi sampel 140 siswa kelas XI
angkatan 2009 di MAN Ciparay dan MAS Al-Mukhlisin Bojong Soang, level kontrol diri perilaku seksualnya berpotensi terjerumus seksual bebas artinya dalam kondisi kesempatan dan peluang terbuka untuk melakukan seks bebas
mereka cenderung rentan terjerumus melakukannya. Kendati persentase ini tidak menyerupai temuan hasil riset BKKBN yang menyebutkan 63% siswa
SMP dan SMA telah melakukan seks bebas (Tribun-Jakarta,19 Desember 2008), namun bagi sekolah seperti Madrasah Aliyah temuan tersebut bukan saja mereka merekomendasikan tugas kepada guru BK untuk melakukan
pengurangan secara kuantitatif, tetapi justru dengan temuan itu para guru BK harus mampu menghilangkannya, sebab apa jadinya sekolah berbasis Agama,
kalau ternyata siswanya kemudian banyak yang berpotensi untuk terjerumus melakukan perilaku seksual menyimpang.
Rendahnya kemampuan kontrol diri dalam berperilaku seksual
merupakan masalah yang perlu penanganan segera. Sebab berbagai perilaku nakal termasuk seks bebas angkanya akan terus meningkat jika kemampuan
kontrol diri perilaku seksual tidak diajarkan dan ditingkatkan. Hubungan antara perilaku seksual dengan kemampuan kontrol diri sangat signifikan, semakin tinggi kemampuan kontrol diri dimiliki remaja semakin berkurang intensi seks
Secara psikologis. dorongan kecintaan dan hasrat seksual begitu menggelora di usia muda, menurut Kelley (Sarwono, 2010:175),
individu-individu mempelajari respons emosional terhadap isyarat seksual telah berlangsung sejak mereka masih sangat muda, dan respons emosional tersebut
tetap berpengaruh ketika mereka memasuki masa remaja. Hal ini tampak dari rasa ingin tahu yang tinggi dalam masalah seks dan dorongan untuk mendapatkan kasih sayang dari lawan jenis. Dorongan itu melahirkan perilaku
seksual yaitu segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual dengan bentuk yang bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai berkencan,
bercumbu, dan bersenggama. Ketika seseorang memasuki fase remaja terjadilah perubahan fisik yang ditandai dengan berfungsinya organ seks, saat itu remaja menjadi sangat termotivasi untuk berhasil melalui perkembangan
identitas pribadi dan keintiman dengan manusia lain. Dua individu akan saling tertarik dan melanjutkan hubungan mereka dengan status yang populer disebut
pacaran, yaitu proses sayang-sayangan dua manusia lawan jenis, saling mengenal dan memahami, belajar membina hubungan sebagai persiapan sebelum menikah untuk menghindari terjadinya ketidakcocokan dan
permasalahan pada saat sudah menikah. Masing-masing berusaha mengenal kebiasaan, karakter atau sifat, serta reaksi-reaksi terhadap berbagai masalah
Dalam beberapa peristiwa, sebagaimana pendapat para pengamat, budaya pacaran yang berlanjut dengan melakukan hubungan seks bebas itu
terjadi karena salah satunya ditimbulkan oleh persepsi remaja yang membolehkan seks bebas, bahwa ‘pacaran’ merupakan trend budaya, seorang
remaja akan dibuat malu jika ia tidak pacaran. Apabila persepsi remaja tentang dirinya maupun terhadap lingkungannya memberikan pembenaran terhadap perilaku salah yang akan dia turuti, maka perbuatan-perbuatan menyimpang
menjadi mudah dilaksanakan. Dalam teori kognisi seperti dikutip John McLeod (2008: 139), sumber persoalan pada perilaku manusia terletak pada kognisi
yaitu berupa asumsi-asumsi yang keliru tentang sesuatu atau terjadinya distorsi kognitif.
Dalam persepsi remaja, seks bebas adalah trend modern karena gaya
hidup seperti ini banyak terjadi di negara-negara maju. Mereka menerima pergaulan seperti itu sebagai pola dan gaya hidup yang berkembang di
negara-negara maju. Praktek hidup di negara-negara maju seperti barat, membolehkan hubungan seksual sebelum dilangsungkannya pernikahan sepanjang dilakukan atas dasar cinta dan kasih sayang serta tidak melakukan eksploitasi (Santrock,
2003:404).
Selain itu, secara teoretik, menurut Santrock, remaja umumnya terlibat
dalam berbagai perilaku seksual, berkaitan dengan upaya-upaya untuk pembuktian perkembangan identitas diri; belajar menyelami anatomi lawan jenis, menguji kejantanan, menikmati perasaan dominan, pelampiasan
menikmati perasaan berhasil menaklukkan lawan jenis, menyenangkan pasangan, dan mengatasi rasa kesepian (Santrock, 2003: 405).
Remaja juga sering merasionalisasi tingkah laku seksual mereka dengan mengatakan pada diri mereka sendiri bahwa mereka terhanyut cinta.
karena didorong oleh kekasih, mencoba-coba siapa tahu seks adalah cara memperoleh kekasih, keingintahuan, dan keinginan seksual yang tidak berhubungan dengan mencintai dan menyayangi (Santrock,2003: 404).
Jika persepsi diduga kuat berkontribusi terhadap perilaku bebas remaja dan ini juga berarti remaja tidak mampu menghalau pikirannya untuk
membenarkan hasrat seksualnya, benarlah apa yang dikatakan Santrock, bahwa kenakalan remaja dapat digambarkan sebagai kegagalan remaja mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam tingkah laku mereka. Beberapa
anak gagal mengembangkan kontrol yang essensial selama proses pertumbuhan. Mereka gagal membedakan perilaku yang dapat diterima dan
yang tidak dapat diterima, atau mereka sebenarnya sudah mengetahui perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai dalam menggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku
mereka. Salah satu aspek dalam pengembangan kontrol diri yaitu penundaan pemenuhan kebutuhan (delay of gratification) dan standar tingkah laku yang
ditentukan sendiri. Hal ini sering ditemukan pada remaja yang melakukan kenakalan (Mischel & Gilligan dalam Santrock, 2003: 523).
Dalam konteks pergaulan remaja di Indonesia, kegagalan remaja
perilaku yang dapat diterima dan tidak sesuai kultur dan keyakinan masyarakat Indonesia yang religius, atau (2) remaja gagal menggunakan pengetahuan
moral dan keyakinan keagamaannya untuk membimbing mereka dalam berperilaku seksual.
Menurut Logue, ada banyak cara untuk menurunkan impulsivitas perilaku seksual remaja, gejala perilaku ini memiliki kecenderungan menyegerakan kesenangan (immediate pleasure), padahal konsekuensi bernilai
negatif pada jangka panjang di masa yang akan datang misalnya penyakit dan kehamilan yang tidak diinginkan dapat dirasakan sebagai lebih menakutkan. Di
antara cara-cara itu adalah dengan menggunakan kerangka kerja teoritik kontrol diri (a self-control theoretical framework) (Logue, 1995: 126).
Kemampuan kontrol diri menunjuk pada kesadaran dan kemampuan
individu dalam menahan diri dari berbagai stimuli atau rangsang yang dapat mempengaruhi efektivitas seseorang, disebut juga dengan istilah kelola diri
(self-management), pengaturan diri (self-regulation), penguatan diri (self- reinforcement) (Mappiare, 2006:294); mengandung arti kemampuan seseorang
untuk menjadi komando atas perilakunya (baik yang nyata, yang tersembunyi,
emosi atau fisik) dan untuk menahan atau menghalangi, merintangi, serta mencegah impuls-impuls. Dalam keadaan mana pencapaian saat ini
berhadapan dengan pencapaian jangka panjang atau pencapaian jangka panjang yang lebih besar, kontrol diri adalah kemampuan untuk menunda pencapaian saat ini dengan mengupayakan pencapaian lebih besar pada jangka
(Self-control is the ability to be in command of one’s behavior (overt, covert, emotional, of physical) and to restrain or inhibit one’s impulses. In circumstances in which short term gain is pitted against long term loss or long term greater gain, it is ability to opt for the long term outcome) (VandenBos, 2007: 829).
Self-control merupakan kemampuan seseorang untuk menentukan
pilihan di antara pilihan-pilihan, melakukan pertimbangan dari aspek ukuran (size) dan hasil (outcomes) serta akibat-akibat (consequences) baik yang bersifat positif maupun negatif. Kemampun ini merupakan kebalikan dari
perilaku impulsive. Pada self-control gejalanya ditandai dengan memilih pilihan yang memiliki ukuran hasil lebih besar, lebih maslahat, lebih terhormat
(the larger size) dan lebih menangguhkan hasil saat ini (more delay outcome), sedangkan pada perilaku impulsif gejalanya ditandai dengan kebalikan dari self-control yaitu bahwa apa yang dicapai saat ini dengan ukuran lebih kecil
(the smaller size), dan tidak bisa menunda kepuasan atau ingin menyegerakan kesenangan (immediate gratifications/ less delayed outcomnes (Logue, 1995:
9).
Self-control dapat dipandang sebagai sebuah proses melalui mana
seorang individu menjadikan agen prinsip dalam membimbing, mengarahkan,
dan mengatur segi-segi perilakunya yang mungkin pada akhirnya mengarah kepada konsekuensi positif yang diinginkan. Self-control menyajikan sebuah
putusan personal yang datang melalui pertimbangan sadar untuk tujuan mengintegrasikan tindakan yang didesain untuk mencapai hasil yang diinginkan atau tujuan yang ditentukan oleh individu itu sendiri (Lazarus,
Hal ini berarti menurut Lazarus lebih lanjut, kontrol diri berpijak pada pemahaman tentang keseluruhan khazanah pengungkapan diri baik yang positif
maupun negatif sehingga individu menyadari apa yang bisa membangkitkan ekspresi-ekspresi positif maupun negatif di dalam dirinya. Jika individu mampu
menghindari situasi-situasi yang dapat memicu sifat-sifat negatif berarti individu tidak membiarkan diri menyerah pada kecenderungan-kecenderungan untuk bereaksi secara negatif ketika individu menghadapi realitas keras dalam
hidupnya. Dan ini juga berarti bahwa kontrol diri merupakan suatu kecakapan individu dalam kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya serta
kemampuan untuk mengontrol dan mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam melakukan sosialisasi kemampuan untuk mengendalikan perilaku, kecenderungan untuk
menarik perhatian, keinginan untuk mengubah perilaku agar sesuai untuk orang lain, menyenangkan orang lain, selalu konform dengan orang lain, menutup
perasaannya (Lazarus, 1976: 340).
Dunia pendidikan, khususnya di Indonesia sudah saatnya mampu menawarkan solusi bagi penyelamatan nasib para remaja. Para pendidik
khususnya harus mampu membimbing, memberikan petunjuk dan arahan tentang bagaimana berperilaku seksual secara benar; para pendidik harus
Menurut Gunarsa, Guru BP (konselor) di sekolah hendaknya mampu menggunakan pendekatan pemecahan masalah dengan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk berkonsultasi. Guru bimbingan dan penyuluhan, mereka tidak cuma sebagai guru BP, tetapi juga mesti tahu soal
pendidikan seks. Kadang-kadang siswa segan bertanya kepada orang tua, atau pernah bertanya malah dimarahi bapak atau ibunya. Dengan adanya kesempatan berkonsultasi, si anak bisa mengutarakan masalah pribadinya.
Guru BP dapat menjelaskan kepada siswa bahwa melakukan hubungan seks sebelum nikah apapun alasannya tetap melanggar nilai-nilai moral dan agama,
termasuk alasan siswa yang menyebutkan hubungan seks ini akan aman karena menggunakan alat kontrasepsi, tidak akan terjadi kehamilan kalau hanya dilakukan satu kali, menyiasati untuk tidak sampai hamil dengan cara
meloncat-loncat, atau meminum pil anti hamil. Peran guru BP di sekolah dapat menjelaskan atau dengan menunjukkan hal-hal yang boleh dan tidak boleh
dilakukan, batas mereka boleh bermesraan dan apa konsekuensinya kalau batas itu dilanggar. Penjelasan mengenai resiko melakukan hubungan seksual pranikah perlu ditekankan. Umpamanya kehamilan, kemungkinan terinveksi
HIV atau tertular penyakit kelamin kalau bergonta ganti pasangan. Bila terjadi kehamilan dan kandungan terpaksa digugurkan, mereka menghadapi
kemungkinan pendarahan, infeksi kemandulan, bahkan kematian. Belum lagi stress atau rasa berdosa yang bakal dihadapi si anak. Juga perlu diingatkan dengan anak yang mereka lahirkan di luar nikah, mereka juga mesti
bahwa mereka masih belum dewasa, masih harus sekolah, dan lain-lain (Yulia Gunarsa dalam Selamihardja & Yudana, 2008 :4)
Para konselor sekolah harus yakin akan kemampuan dirinya dan perlu berkaca pada pengalaman sukses penerapan konseling oleh pihak lain. Seperti
dikatakan Kenney (Santrock,2003:426), dengan konseling yang diberikan kepada siswa selama beberapa jam perharinya, dan bahkan konseling lebih jauh yang dilakukan pegawai kesehatan setelah jam sekolah, pemutaran film dan
informasi mengenai perencanaan keluarga diperoleh hasil yang positif. Siswa yang berpartisipasi di program ini menunda hubungan seks pertama lebih lama
daripada siswa di kelompok kontrol.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Saldi dan Biran (Rikawati, 2002), menyebutkan, bimbingan seksual yang diberikan kepada kelompok eksperimen
di kalangan siswa SMU PSKD Depok yang berumur antara 14-16 tahun, yaitu dengan cara memberikan pengajaran atau pendidikan yang dapat menolong
muda-mudi menghadapi masalah hidup yang bersumber pada masalah seksual. Kelompok ini memiliki intensi seks yang berbeda jika dibandingkan dengan kelompok kontrol (yang tidak diberikan konseling). Sebelumnya, baik
kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol diberikan pretes secara bersamaan. Setelah selesai kelompok eksperimen diberikan perlakuan berupa
bimbingan seksual dan kelompok kontrol diberikan placebo berupa pengetahuan mengenai diet. Setelah itu diberikan posttest secara bersamaan setelah perlakuan dan Placebo diberikan. Angket yang diberikan yaitu angket
dianalisis dengan menggunakan teknik paiered sample t-test dengan bantuan program komputer SPSS Versi 11.0 for Windows. Berdasarkan data yang
diperoleh hasil pretes dan postes kelompok eksperimen yaitu t = 6,036 dengan signifikansi 0,000 (p<0,01). Berdasarkan nilai tersebut menunjukan adanya
perbedaan yang sangat signifikan intensi seks bebas pada pretes dan postes. Sedangkan pretes dan postes kelompok kontrol yaitu t = -,236 (p>0,05) dengan signifikansi 0,815 yang menunjukan tidak adanya perbedaan intensi seks bebas
pada pretes dan postes.
Para konselor sekolah dengan berkaca pada pengalaman sukses pihak
lain/di tempat lain dapat menggunakan pendekatan konseling yang relevan salah satunya yang dipandang relevan adalah model kognitif-perilaku. Model konseling ini merupakan sebuah model konseling kontemporer (Spiegler&
Guevremont, 2003). Sebagai sebuah model, konseling kognitif-perilaku ini dilukis-jelaskan dalam kerangka teoretik yang utuh, memaparkan deskripsi
praktis bagaimana model ini bekerja (Mappiare, 2006: 211).
Sesuai dengan namanya Konseling Kognitif-Perilaku, model ini digunakan dalam beragam cara untuk menunjukkan konseling perilaku,
konseling kognitif, dan untuk mengacu kepada konseling yang didasarkan pada kombinasi basis penelitian kognitif dan perilaku, dikembangkan melalui
sebuah penggabungan (merging) antara model terapi perilaku dan terapi kognitif (Wikipedia, the free encyclopedia, diakses Mei 2009).
Sejumlah konselor telah banyak menggunakan model ini didasarkan
KKP merupakan sebuah tritmen yang powerful karena menggabungkan keilmiahan, filosofis dan aspek perilaku, pada satu model yang komprehensif
untuk memahami dan mengatasi problem-problem psikologis. Dari aspek keilmiahan, model KKP menghadapkan klien untuk menjadi lebih seperti
saintis. Misalnya, selama KKP, klien mengembangkan kemampuan untuk memperlakukan pikiran-pikirannya sebagai teori dan dugaan tentang realitas yang diuji (hipotesis), dari sekedar sebagai fakta; dari aspek filosofis, KKP
mengakui bahwa orang memegang nilai-nilai dan keyakinan tentang dirinya, dunia dan orang lain. Satu dari tujuan-tujuan KKP adalah untuk menolong
orang mengembangkan fleksibilitas, tidak ekstrim, menolong diri keyakinan yang menolongnya beradaptasi dengan realitas dan mencapai tujuan-tujuannya. sedangkan dari aspek aktif, KKP secara kuat menekankan perilaku. Banyak
teknik KKP melibatkan pengubahan cara berpikir dan merasa dengan memodifikasi cara seseorang berbuat (Rob Willson & Rhena Branch, 2006:
11-12).
Kelebihan lainnya, dari sisi keefektifan, telah banyak problem-problem psikologis yang telah sukses diatasi antara lain: addiction, masalah kemarahan,
kecemasan, body dysmorphic disorder, chronic fatigue syndrome, chronic pain, depresi, gangguan makan, obsessive-compulsive disorder (dorongan, tekanan),
gangguan kepanikan, gangguan kepribadian, fobia, gangguan stress post traumatic, gangguan psychotic, masalah-masalah hubungan dan fobia sosial
(Rob Willson & Rhena Branch, 2006: 10). Model konseling ini juga telah
menunda-nunda pekerjaan atau studi (procrastinations), mengatasi krisis identitas, dan lain-lain.
Model ini memiliki asumsi bahwa variabel kognitif, emosi dan perilaku saling berhubungan secara fungsional. Tritmen bertujuan untuk
mengidenti fikasi dan memodifikasi proses-proses berpikir maladaptif dan perilaku-perilaku problematik konseli melalui restrukturisasi kognitif dan teknik-teknik perilaku untuk mencapai perubahan, Disebut juga modifikasi
perilaku kognitif, cognitive behavioral therapy (VandenBos, 2007: 188). Khususnya untuk seting sekolah, model kognitif-perilaku akan di
anggap sesuai dengan kondisi sekolah yang umumnya padat dengan mata pela jaran, dengan konseling singkat kognitif-perilaku, target perubahan atau perbaikan perilaku dapat diupayakan hanya dengan beberapa sesi saja. Menurut
Curwen (2008: 4) bisa dengan Brief counseling yaitu 3, 5,7 atau hingga 12 sesi konseling, dan bahkan hanya dengan satu sesi konseling.
Berdasarkan sejumlah kelebihan sebagaimana telah disebutkan di atas, peneliti berasumsi pendekatan konseling ini pun akan cukup sukses mengatasi masalah lemahnya kemampuan kontrol diri perilaku seksual pada remaja
khususnya sebagai langkah pencegahan terhadap keterjerumusan pada perilaku seks bebas.
Peluang besarnya kemungkinan penggunaan model ini terlebih karena salah satu metode yang digunakan dalam konseling kognitif-perilaku disebut metode kontrol diri (Safaria, 2004: 89). Metode ini tentu sangat relevan dengan
diri (self recording), evaluasi diri (self evaluations), dan pengukuhan diri (self reinforcement) (Safaria, 2004: 89).
Berdasarkan uraian di atas yang memaparkan urgensi kemampuan kontrol diri khususnya dikaitkan dengan permasalahan fakta kecenderungan
seksual bebas di kalangan remaja yang terus meningkat, serta berbagai pengalaman sukses kegiatan konseling di beberapa tempat dalam mengatasi problem intensi seks bebas dan dimungkinkannya pendekatan konseling yang
relevan karena beberapa karakteristik yang dimilikinya yaitu kognitif-perilaku, maka sebagai bagian dari upaya pengembangan ilmu penting dilakukan
penelitian dengan judul “Model Konseling Kognitif-Perilaku untuk Meningkatkan Kemampuan Kontrol Diri Perilaku Seksual Remaja”.
B. Rumusan Masalah
dihadapkan dengan sejumlah stimulus perilaku seksual, demikian juga dalam memutuskan pilihan perilaku dengan memilih alternatif tindakan sesuai kriteria pilihan terbaik yang seharusnya.
Dinamika kemampuan kontrol diri perilaku seksual dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, selain kematangan usia, kemampuan ini pun dapat berkembang dengan belajar, atau mendapatkan intervensi dari salah satu pendekatan konseling yang relevan yaitu konseling kognitif-perilaku. Apakah model konseling kognitif-perilaku akan efektif untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri perilaku seksual remaja? Untuk membuktikan masalah ini secara empirik perlu dilakukan penelitian antara lain akan dilakukan langkah uji coba di MAN Ciparay dan MAS Al-Mukhlisin Kabupaten Bandung.
Secara rinci pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Seperti apakah profil kemampuan kontrol diri perilaku seksual remaja (siswa) MAN Ciparay dan MAS Al-Mukhlisin di Kabupaten Bandung? 2. Bagaimanakah pelaksanaan bimbingan dan konseling yang ada di sekolah
MAN Ciparay dan MAS Al-Mukhlisin di Kabupaten Bandung dalam mengatasi kecenderungan perilaku seksual bebas?
3. Bagaimanakah model hipotetik konseling kognitif-perilaku untuk meningkat- kan kemampuan kontrol diri perilaku seksual remaja (siswa) MAN Ciparay dan MAS Al-Mukhlisin di Kabupaten Bandung?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan memperoleh rumusan Model konseling
kognitif-perilaku yang memiliki kehandalan dan layak diimplementasikan sebagai strategi memberikan layanan bimbingan dan konseling di sekolah,
khususnya untuk membantu remaja mengembangkan diri menjadi pribadi yang memiliki kemampuan kontrol diri atas dorongan perilaku maladaptif (kecenderungan seks bebas).
Secara empiris tujuan penelitian adalah untuk menguji efektivitas Model Konseling dalam Pendekatan Kognitip-Perilaku (MKKP) untuk
meningkatkan kemampuan kontrol diri perilaku seksual remaja dengan memerinci bagian-bagiannya antara lain:
1. Profil kemampuan kontrol diri perilaku seksual yang dimiliki oleh remaja
(siswa) MAN Ciparay dan MAS Al-Mukhlisin di Kabupaten Bandung, 2. Pelaksanaan bimbingan dan konseling yang ada di sekolah MAN Ciparay
dan MAS Al-Mukhlisin Kabupaten Bandung dalam mengatasi kecenderungan perilaku seksual siswa.
3. Model konseling kognitif-perilaku yang dirumuskan untuk meningkatkan
kemampuan kontrol diri perilaku seksual remaja (siswa) Madrasah Aliyah Negeri Ciparay dan Madrasah Aliyah Swasta Al-Mukhlisin di Kabupaten
Bandung,
4. Efektivitas Model konseling kognitif-perilaku untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri perilaku seksual remaja (siswa) MAN Ciparay dan
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan dalam pengembangan ilmu maupun pelaksanaan bimbingan dan konseling.
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah
konseling pendidikan, khususnya pengetahuan tentang pendekatan bimbingan yang digunakan dalam pembinaan pribadi remaja, yaitu pendekatan konseling kognitif-perilaku.
Disamping itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru tentang penggunaan pendekatan konseling kognitif-perilaku
sebagaimana dirintis dan dikembangkan oleh Albert Ellis, Aaron Beck dan Meichenbaum, untuk kepentingan bimbingan dan konseling. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang masih relatif baru dan masih harus terus
dikembangkan di Indonesia.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini yaitu model konseling kognitif-perilaku (MKKP), diharapkan dapat memperkaya khazanah pendekatan bimbingan dan
konseling yang sudah ada dan sudah biasa dipergunakan. Selain itu, hasil penelitian juga diharapkan dapat memberikan bantuan kepada para guru bimbingan dan konseling dalam melakukan pekerjaannya dengan
E. Asumsi Penelitian
Penelitian ini dilakukan atas dasar beberapa asumsi sebagai berikut: 1. Kemampuan kontrol diri sangat penting dalam mengendalikan
kecenderungan perilaku seks bebas. Dengan kemampuan ini seorang remaja dapat menekan, menahan, mengurangi hasrat seksual bebas yang dialami
nya. Remaja yang memiliki kontrol diri kuat akan mampu menahan atau mengendalikan dorongan-dorongan seksual yang timbul dari dalam dirinya. Setiap dorongan seksual yang muncul dapat dikendalikan remaja dengan
cara mengalihkan pikiran dalam arti tidak memikirkan hal-hal yang dapat semakin mendorong gairah seksualnya (www.skripsipsikologi.com).
2. Kenakalan remaja (termasuk perilaku seksual bebas) timbul karena remaja gagal mengembangkan kontrol atas dirinya (Santrock, 2003: 523).
3. Manusia sebagai pribadi dapat mengendalikan dirinya, mempengaruhi
tingkah laku dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif, mengadakan konsekuensi bagi tingkah lakunya sendiri.
Kemampuan kecerdasan untuk berpikir simbolik menjadi sarana yang kuat untuk menangani lingkungan, misalnya dengan menyimpan pengalaman (dalam ingatan) dalam ujud verbal dan gambaran imajinasi untuk
kepentingan tingkah laku pada masa yang akan datang. Kemampuan untuk menggambarkan secara imajinatif hasil yang diinginkan pada masa yang
akan datang, mengembangkan strategi tingkah laku yang membimbing ke arah tujuan jangka panjang (Alwisol,2009: 284).
4. Pengetahuan manusia tentang baiknya sesuatu mendorong untuk
untuk meninggalkannya. Tidak akan terjadi seseorang berbuat keburukan sedang ia mengetahui akan akibatnya, karena tiap keburukan itu timbul dari
kebodohan (Amin, 1991: 207). Salah satu teknik KKP adalah restrukturisasi kognitif sangat relevan untuk menata ulang proses pikir seseorang, tentunya
dengan memperbaiki cara berpikir dan mengembangkan wawasan konselinya (Spiegler & Guevremont, 2003: 302).
5. Kemampuan kontrol diri remaja dalam berperilaku seksual adalah
kemampuan remaja dalam melakukan dua hal yaitu: pertama, kemampuan melakukan pertimbangan atas rangsangan atau dorongan pemenuhan hasrat
seksual baik rangsangan itu muncul secara internal maupun eksternal, yang didasarkan pada ukuran, hasil dan akibat, dan kedua, kemampuan menentukan pilihan tindakan berdasarkan ukuran terbaik baik dari aspek
hasil maupun akibat (Logue, 1995: 9). Kemampuan ini ditentukan oleh kemampuan kognitifnya yaitu persepsi atau penafsiran seseorang mengenai
stimulus dengan melibatkan pengetahuan dan pengalaman-pengalaman yang dimilikinya, dan termasuk di dalamnya pengetahuan mengenai konsekuensi yang ditimbulkan (Lazarus,1976:340).
6. Kemampuan kontrol diri remaja dapat dikembangkan kadarnya melalui pelatihan/training, dan bahkan dengan konseling kognitif-perilaku. Salah
satu metode/ teknik dari konseling itu sendiri disebut dengan metode kontrol diri memungkinkan melalui konseling ini dikembangkan kemampuan kontrol diri (Safaria, 2004: 89). Daya kontrol diri remaja dapat ditingkatkan
yang menekankan pentingnya membenahi cara berpikir dalam memperbaiki suatu perilaku (Syamsu Yusuf LN & A. Juntika Nurihsan, 2007: 137;
Safaria, 2004: 89).
7. Konseling kognitif-perilaku dengan kejelasan masalah, dan teknik-teknik
untuk mengatasinya, dipandang efektif untuk mengembangkan kemampuan kontrol diri (Ron Willson & Rhena Branch, 2001: 11).
F. Hipotesis Penelitian
Jawaban sementara atas permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan bahwa Model Konseling dengan Pendekatan Kognitif-Perilaku efektif untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri perilaku seksual remaja. Hipotesis
statistiknya dirumuskan antara lain:
Ho = hasil tes kemampuan kontrol diri perilaku seksual remaja sama antara
pretes dan postes
Ha = hasil tes kemampuan kontrol diri perilaku seksual remaja berbeda antara pretes dan postes
Selain itu, hipotesis statistik juga dirumuskan,
Ho = hasil postes kelompok eksperimen sama dengan hasil postes kelompok
kontrol
Ha = hasil postes kelompok eksperimen tidak sama dengan hasil postes kelompok kontrol
Ho = hasil pretes kelompok eksperimen sama dengan hasil pretes kelompok kontrol
Ha = hasil pretes kelompok eksperimen tidak sama dengan hasil pretes kelompok kontrol
Efektivitas model konseling kognitif-perilaku untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri perilaku seksual remaja (siswa) MAN Ciparay dan MAS Al-Mukhlisin dibuktikan dengan penelokan Ho dan menerima Ha,
kecuali pada perbandingan hasil pretes kelompok eksperimen dan pretes kelompok kontrol dengan menerima Ho dan menolak Ha.
G. Metode Penelitian
Sesuai dengan tujuan dan karakteristik masalah penelitian, pendekatan yang dipilih dalam penelitian adalah Research and Development (R & D)
dengan langkah uji coba sebagai bagian dari tahapan pendekatan ini menggunakan metode eksperimen dengan rancangan pretest-posttest group design. Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi observasi,
wawancara dan angket/instrumen yang disusun berdasarkan kisi-kisi instrumen dalam bentuk inventori berskala. Kisi-kisi tersebut dirangkai
H. Lokasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa MAN Ciparay dan
MAS Al-Mukhlisin kelas XI yang berada di Kabupaten Bandung yaitu sebanyak 140 orang, masing-masing 72 orang di MAN Ciparay dan 68 orang
di MAS Al-Mukhlisin. Alasan pengambilan subjek di 2 sekolah ini karena keduanya dianggap representatif untuk menggambarkan realitas remaja (siswa) Madrasah Aliyah. MAN Ciparay posisinya agak jauh dari Kota Bandung, para
siswa dipandang tidak terlampau banyak bergumul dengan budaya kota, atau memiliki ciri keaslian watak remaja yang berada di Kabupaten, sedangkan
MAS Al-Mukhlisin dipilih sebagai subjek penelitian karena posisi sekolah ini berada pada perbatasan Kabupaten dan Kota yaitu di Jl. Bojong Soang dengan karakteristik budaya yang agak mencerminkan kehidupan kota. Kemudian
karena jenis penelitian yang akan dilakukan adalah eksperimen, maka dari sejumlah siswa kelas XI Madrasah Aliyah Negeri Ciparay yang berjumlah 72
orang dan siswa MAS Al-Mukhlisin yang berjumlah 68 orang diambil sampel masing-masing 60 siswa dari MAN Ciparay dan 60 siswa dari MAS Al-Mukhlisin, dan totalnya 120 orang dengan menjaga keseimbangan rasio antara
laki-laki dan perempuan. Pengambilan sampel didasarkan pada hasil studi pendahuluan melalui penyebaran angket untuk diketahui tingkat kemampuan
kontrol diri perilaku seksualnya. Berdasarkan studi pendahuluan tersebut kemudian ditentukan siswa mana yang memadai dimasukkan kepada kelompok eksperimen (KE), dan siswa mana yang cocok untuk dimasukkan ke dalam
101 BAB III
METODE PENELITIAN
Bab ini berisi uraian tentang metode yang dipergunakan dalam penelitian, di dalamnya dibahas antara lain pendekatan dan prosedur penelitian, variabel dan
definisi operasional, pengembangan instrumen pengumpul data, subjek penelitian, desain eksperimen dan analisis data.
A. Pendekatan, Metode dan Prosedur Penelitian
Tujuan akhir penelitian ini adalah tersusunnya model konseling
kognitif-perilaku untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri perilaku seksual remaja. Kerangka isi dan komponen model disusun berdasarkan kajian konsep dan teori tentang kemampuan kontrol diri perilaku seksual, dan konsep
konseling kognitif-perilaku.
Sesuai dengan fokus, permasalahan, dan tujuan penelitian, secara
keseluruhan penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode R & D (Research & Development) atau penelitian dan pengembangan (Sugiyono,2010: 297). Metode ini dipilih karena sifat penelitiannya
longitudinal, yaitu prosesnya bertahap. Selain itu, penelitian ini berusaha
menghasilkan produk pendidikan, khususnya bidang bimbingan dan konseling
hipotetik; (3) validasi rasional model; (4)revisi model; (5) uji coba model; (6) revisi hasil uji coba; (7) diseminasi hasil/implementasi model.
Tahap pertama: studi pendahuluan, dalam studi ini dilakukan pemotretan terhadap kondisi objektif di lapangan, kegiatannya berupa
pengumpulan data tentang (a) kemampuan kontrol diri perilaku seksual remaja, dan (b) realitas pelaksanaan bimbingan dan konseling di Madrasah Aliyah Kabupaten Bandung. Untuk memperoleh data ini, digunakan kuesioner,
wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Selain itu dilakukan juga penelusuran pustaka untuk menemukan kejelasan konsep tentang kemampuan
kontrol diri perilaku seksual remaja, dan layanan konseling kognitif-perilaku. Setelah studi pustaka dan kajian empirik dilakukan, selanjutnya dirumuskan model hipotetik konseling kognitif-perilaku untuk meningkatkan
kemampuan kontrol diri perilaku seksual remaja. Model hipotetik terdiri dari fokus pendekatan konseling kognitif-perilaku, asumsi tentang masalah
lemahnya kemampuan kontrol diri perilaku seksual remaja, teknik konseling kognitif-perilaku, aplikasi konseling kognitif-perilaku dalam meningkatkan kontrol diri perilaku seksual remaja.
Model hipotetik dibuat secara rasional, untuk itu dilakukan uji validasi model melalui kegiatan seminar dan lokakarya. Kegiatan ini dilaksanakan
secara kolaboratif bersama pihak sekolah dan para pakar bimbingan dan konseling. Berdasarkan hasil uji validasi model hipotetik dilakukan revisi.
Model hipotetik yang telah direvisi berdasarkan hasil uji validasi
rencana kegiatan uji lapangan di sekolah, (b) mengimplementasikan atau melaksanakan uji lapangan model, dan (c) merumuskan model akhir bimbingan
dan konseling. /tahapan kegiatan konseling kognitif-perilaku untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri perilaku seksual remaja sebagai berikut:
Gb.3.2 Langkah-langkah konseling kognitif-perilaku untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri perilaku seksual remaja
Identifikasi Perencanaan Pelaksanaan Konseling Uji Efektifitas
Dalam pendekatan R & D memungkinkan dipergunakan metode-metode dan pendekatan lain yang sesuai dengan tahapan R & D, antara lain pendekatan
kualitatif dan kuantitatif, metode partisipatif kolaboratif dan metode eksperimen.
Satu metode memberikan kedalaman yang lebih besar, ketika yang lainnya memberikan keluasan yang lebih besar juga; dengan harapan secara bersama dari yang satunya lagi memberikan hasil atau melakukan yang lebih
baik (Teddlie & Tashakkori, 2003: 16).
Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengkaji dinamika kemampuan
kontrol diri perilaku seksual remaja. Sedangkan pendekatan kualitatif digunakan untuk mengetahui validitas rasional model hipotetik konseling kognitif-perilaku untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri perilaku seksual
remaja.
Metode analisis secara deskriptif dilakukan untuk menjelaskan
fakta-fakta yang terkait dengan substansi penelitian secara sistematis, faktual dan akurat. Dalam hal ini dilakukan untuk menganalisis kemampuan kontrol diri perilaku seksual.
Metode partisipatif kolaboratif digunakan dalam proses uji kelayakan model hipotetik konseling kognitif-perilaku untuk meningkatkan kemampuan
kontrol diri perilaku seksual remaja. Uji kelayakan model dilaksanakan dengan uji rasional, uji keterbacaan, uji kepraktisan, dan uji coba lapangan. Uji rasional melibatkan tiga orang pakar konseling, uji keterbacaan melibatkan lima orang
diskusi terfokus dengan melibatkan para guru BK di MAN Ciparay dan MAS Al-Mukhlisin Kabupaten Bandung.
Metode eksperimen dengan desain pre-test post test control group design, dilaksanakan dalam uji lapangan model hipotetik untuk memperoleh
gambaran tentang efektivitas model konseling kognitif-perilaku dalam meningkatkan kemampuan kontrol diri perilaku seksual remaja dilaksanakan terhadap 120 orang siswa MAN Ciparay dan MAS Al-Mukhlisin Bojong Soang
di Kabupaten Bandung. Model desain eksperimen secara spesifik untuk menyelidiki self-control mengacu kepada model yang dikembangkan Logue,
yaitu desain eksperimen yang dilakukan terhadap manusia. Beberapa subjek (manusia) diberi buklet/draft isian yang menyajikan pilihan-pilihan, dan mereka akan menerima satu di antara pilihan-pilihan itu pada awal dan akhir
eksperimen. (Logue, 2005: 14).
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Penelitian ini melibatkan dua variabel inti: (1) kemampuan kontrol diri
perilaku seksual remaja, dan (2) konseling dalam pendekatan kognitif-perilaku. Kemampuan kontrol diri perilaku seksual remaja sebagai perilaku sasaran yang
dikembangkan (Variabel Terikat), sedangkan konseling dalam pendekatan kognitif-perilaku sebagai strategi untuk mengembangkannya (variabel bebas).
Agar dapat memberikan batasan yang jelas mengenai variabel-
1. Kemampuan Kontrol Diri Perilaku Seksual Remaja
Kemampuan kontrol diri perilaku seksual remaja atau kemampuan kontrol diri yang diaplikasikan dalam konteks perilaku seksual remaja
adalah kemampuan remaja dalam mengarahkan dan mengendalikan dorongan perilaku seksualnya agar sesuai dengan harapan masyarakat dan
agama, tidak melanggar norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat dan juga tidak melanggar ajaran agama. Dorongan seksual yang dimaksud sebagaimana dikatakan oleh Sarwono, mencakup hasrat seksual atau
perasaan tertarik kepada lawan jenis untuk berkencan, bercumbu, berpelukan, berhubungan intim, baik lawan jenis dalam khayalan atau diri
sendiri (Sarwono, 2010: 174), dan termasuk pula dorongan untuk masturbasi, melihat buku atau film cabul, berciuman, berpacaran, dan sebagainya (Sarwono, 2010: 212).
Menurut Logue (1995: 9), kontrol diri (self-control) yaitu kemam- puan yang dimiliki seseorang untuk menentukan pilihan di antara
pilihan-pilihan, melakukan pertimbangan dari aspek ukuran (size) dan hasil (outcomes) serta akibat-akibat (consequences) baik yang bersifat positif maupun negatif. Kemampuan ini merupakan kebalikan dari perilaku
impulsive. Pada self-control gejalanya ini ditandai dengan memilih pilihan
yang memiliki ukuran lebih besar (the larger size) dan lebih menangguhkan hasil saat ini (more delay outcome), sedangkan pada perilaku impulsif
menunda kepuasan atau ingin menyegerakan kesenangan (immediate gratifications/ less delayed outcomnes (Logue, 1995: 9).
Dalam kontrol diri terdapat beberapa unsur yang terlibat, Calhoun (1990: 142) menyebut unsur tersebut meliputi: pilihan bebas, pilihan antara
dua perilaku konflik, yang satu menawarkan pemuasan segera dan yang lainnya menawarkan ganjaran jangka panjang, dan manipulasi stimulasi karena membuat perilaku yang satu kurang mungkin dan perilaku yang
lainnya lebih mungkin. Sementara Bandura (Santrock, 2006: 50) menyebut unsur tersebut adalah: menunda kepuasan (delay of gratification),
pengharapan tentang kondisi di masa yang akan datang (self-efficacy), dan keyakinan akan kemampuan diri (locus of control). Delay of gratification merupakan salah satu cara dari kontrol personal yaitu dengan menunda
kepuasan segera demi mencapai hasil yang diinginkan pada masa yang akan datang; self-efficacy merupakan kepercayaan bahwa orang dapat menguasai
situasi dan menghasilkan outcome yang positif, keyakinan bahwa ia dapat berhasil; sedangkan locus of control mengacu pada bahwa hasil-hasil dari tindakannya tergantung pada apa yang mereka lakukan (internal locus).
Kontrol diri menolong seseorang menahan dorongan-dorongannya (impulses) dan berpikir sebelum bertindak sehingga ia berperilaku benar dan
sedikit membuat pilihan yang samar, yang berpotensi terhadap outcomes yang membahayakan, menyimpan ke samping (menangguhkan) apa-apa yang memberinya hadiah langsung (kepuasan, kenikmatan) dan
gantinya (Borba, 2009: 7); memberikan seseorang kekuatan kehendak untuk mengatakan tidak (the willpower to say no), melakukan apa-apa yang benar
(do what’s right) dan memilih untuk melakukan tindakan yang bermoral (to choose the act morally) (Borba, 2009: 82), yaitu dengan mengatur
pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan, menghentikan tekanan-tekanan dari dalam atau tanpa menghentikannya tetapi melakukan tindakan (mengalihkannya) kepada cara yang ia ketahui dan rasakan sebagai benar (Borba, 2009: 81).
Berdasarkan definisi di atas, kemampuan kontrol diri ditandai oleh dua inti kemampuan: kemampuan menunda keinginan dan
menangguhkannya hingga waktu yang lebih menjanjikan dan lebih membahagiakan (outcomes), serta lebih aman/tidak mendatangkan akibat buruk dan lebih nyaman tanpa bayang-bayang ancaman menakutkan
(consequences).
Dalam perspektif teori kontrol diri yang diperkenalkan Logue, dua
inti kemampuan itu bertumpu pada dua indikator kemampuan kontrol diri yaitu kemampuan mempertimbangkan pilihan-pilihan dan kemampuan memutuskan pilihan. Dengan kemampuan mempertimbangkan seseorang
dapat meninjau, menilai dan menimbang pilihan-pilihan, mana di antara pilihan itu yang dipandang lebih baik (size), lebih aman (consequence) dan
lebih nyaman (outcome), sedangkan dengan memutuskan final action berhasil diwujudkan. Dua indikator kemampuan ini tidak serta merta dimiliki manusia melainkan butuh syarat tertentu yaitu kemampuan kognitif.
pikiran dan bahasa dalam menangguhkan dorongan tindakan, dan untuk mengenalkan alternatif kognisi hingga rangkaian pengaturan diri (Lazarus,
1976:340).
Fungsi kognitif dalam kemampuan mempertimbangkan dan
memutuskan dapat dilukiskan sebagai seseorang dengan melibatkan pengetahuan dan pengalaman-pengalaman yang dimilikinya, dan termasuk di dalamnya pengetahuan mengenai konsekuensi yang ditimbulkan dalam
menghadapi stimulus yang sedang dihadapinya ( Lazarus, 1976:340), atau dalam pandangan lain seperti dikemukakan Kadzin dan juga Hurlock
tentang kemampuan kontrol diri, yaitu seseorang berperilaku sesuai dengan pengetahuannya tentang harapan sosial/standar-standar sosial (Kadzin, 1989:267; semua tingkah laku dapat dikontrol oleh
konsekuensi (dampak yang mengikuti) tingkah laku itu (Alwisol, 2009: 322). Demikian pula harapan-harapan mempunyai dampak yang powerful
pada perilaku (Calhoun & Acocella, 1990:119).
Dengan demikian pengetahuan mutlak diperlukan dalam penggunaan kemampuan kontrol diri yang berkualitas ini. Pengetahuan itu
sekurang-kurangnya pengetahuan tentang etika/moral, sebab pengetahuan ini mengajarkan apa yang baik yang harus dilakukan dan apa yang buruk dan
harus ditinggalkan. Pengetahuan ini dapat membimbing manusia untuk berperilaku secara benar.
Kohlberg menyebutkan adanya tingkatan pengetahuan manusia
standar baik dan buruknya sebuah perilaku sangat bergantung pada perasaannya, jika menurut perasaannya sebuah perilaku menghasilkan
perasaan enak untuk dirinya maka hal itu dipandang baik, termasuk perbuatan menyenangkan orang lain dengan target utamanya adalah
kesenangan sendiri. Kedua, ukuran baik buruk bergeser dari kesenangan menurut dirinya sendiri menjadi ukuran kepantasan menurut penilaian lingkungan, orang lain menjadi acuan moralitasnya, dan ukuran baik buruk
adalah terdapat pada penilaian kelompok. Ketiga, ukuran baik buruk dalam pengertian moral tidak lagi dipahami sebagai penyesuaian dengan
masyarakat melainkan semata-mata mengacu pada prinsip-prinsip objektif. Nilai-nilai diyakini bukan karena diyakini oleh kelompok, melainkan karena ia sendiri yakin (Suseno,2000:157-160).
Berdasarkan standar perilaku moral, kemampuan kontrol diri manusia menjadi dapat diukur. Ada tiga tingkatan kontrol diri: sebatas
mengejar kesenangan (sebagai ukuran kontrol diri terendah) maka konsekuensinya orang tergesa-gesa ingin mewujudkannya (immediate gratification), memperhatikan rambu-rambu sosial (ukuran kontrol diri
sedang) maka konsekuensinya ia harus mampu menahan keinginan walau menyenangkan (delay of gratification and outcomes), dan berpegang teguh
pada keyakinan demi meraih harapan yang lebih menjanjikan (the most size, outcome and consequence) (ukuran kontrol diri tertinggi)