ESTETIKA SEMA DALAM TAREKAT SUFI
NAQSYBANDI HAQQANI JAKARTA SEBAGAI
MEDIA PENANAMAN PENDIDIKAN TAUHID
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
Program Studi Pendidikan Seni
Oleh:
Agung Dwi Putra
NIM. 1006925
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENI
SEKOLAH PASCASARJANA
LEMBAR PENGESAHAN
ESTETIKA SEMA DALAM TAREKAT SUFI NAQSYBANDI HAQQANI
JAKARTA SEBAGAI MEDIA PENANAMAN PENDIDIKAN TAUHID
Oleh: Agung Dwi Putra
NIM. 1006925
Disetujui oleh: Pembimbing I
Prof. Dr. H. Adeng Chaedar Alwasilah, M.A NIP. 19530330 198002 1 001
Pembimbing II
Dr. Yuliawan Kasmahidayat, M.Si NIP. 19650724 199302 1 001
Ketua Program Studi Pendidikan Seni Sekolah Pacasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
Bandung
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Estetika Sema dalam
Tarekat Sufi Naqsybandi Haqqani Jakarta sebagai Media Penanaman Pendidikan
Tauhid” beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya
tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai
dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan
ini, saya siap menanggung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila
kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya
saya ini, atau ada klaim dari pihak lainnya terhadap keaslian karya saya ini.
Bandung, Desember 2012 Penyusun
ABSTRAK
Konsep keindahan (estetika) sebagai isu sentral untuk mengungkap kebermaknaan nilai suatu benuk kesenian atau karya seni, tidak bisa dilakukan dengan cara menggeneralisasi. Tarekat Sufi Naqsybandi Haqqani Jakarta memiliki kesenian yang disebut dengan Sema, di mana unsur seni seperti musik dan tari terlibat di dalamnya. Munculnya fenomena kesenian dengan istilah Sema dalam tarekat Sufi Naqsybandi Haqqani Jakarta tentu dapat diasumsikan sebagai transformasi nilai-nilai pendidikan Tauhid berdasarkan konsep estetika Sufisme dalam domain Islam, karena keberadaan tarekat Sufi pada umumnya hanya menawarkan ajaran-ajaran spiritual (pendidikan) dengan tujuan mencapai pemurnian Tauhid. Berdasarkan asumsi tersebut, maka penelitian dengan judul
Estetika Sema dalam Tarekat Sufi Naqsybandi Haqqani Jakarta Sebagai Media Penanaman PendidikanTauhid dibuat. Adanya penelitian ini diharapkan mampu
menambah referensi akademis mengenai konsep estetika, seni dan apresiasi terhadap konteks pendidikan seni.
Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi sebagai pendukungnya. Permasalahan dalam penelitian ini tidak dapat dimaknai melalui pengertian angka-angka, karena konsep merupakan sesuatu yang abstrak (ide atau pandangan) dari peristiwa konkret yang harus ditemukan langsung di dalam benak sang subjek melalui latar alamiah penelitian.
Melalui penelitian ini terungkap bahwa cinta keilahian atau cinta platonik berbasis Tauhid (esoteris) merupakan konsep estetika Sema tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta sebagai manifestasi kesadaran para pelakunya, yang terjaga melalui pelatihan spiritual di dalam tarekat tersebut (tidak berasal dari imajinasi). Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta juga diketahui berperan sebagai media pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai Tauhid melalui simbol-simbol khasnya yang indah (eksoteris) dan bermakna Ketauhidan.
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... i
LEMBAR PERNYATAAN ... ii
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR BAGAN ... x
DAFTAR NOTASI ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 5
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Variabel Penelitian/Definisi Istilah ... 8
E. Tujuan Penelitian ... 14
F. Manfaat Penelitian ... 14
G. Sistematika Penulisan Tesis ... 16
BAB II LANDASAN TEORETIS ... 18
A. Penelitian Terdahulu ... 18
B. Teori-Teori ….…... ... 21
1. Estetika Islam dalam Pandangan al-Faruqi ... 21
2. Keindahan dalam Pandangan al-Ghazali ... 24
5. Sema Tarekat Maulawiyah Menurut Gulen ... 35
6. Simbol dan Estetika Langer ... 39
7. Ritus atau Upacara Religi Menurut Koentjaraningrat ... 44
8. Media Pendidikan ... 46
C. Kedudukan Teori dalam Penelitian ... 49
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 51
a. Sejarah Lahir dan Berkembangnya Tarekat Naqsybandi Haqqani ... 63
b. Silsilah Kepemimpinan Tarekat Naqsybandi Haqqani ... 68
c. Inti Ajaran dalam Tarekat Naqsybandi Haqqani ... 71
d. Masuknya Tarekat Naqsybandi Haqqani ke Indonesia ... 77
e. Istilah Tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta ... 81
2. Wawancara dan Observasi ... 83
a. Suasana Zawiyah dan Para Jemaat ... 105
b. Dokumen (video) Sema Naqsybandi Haqqani Jakarta ... 109
c. Regenerasi Para Pelaku Sema Naqsybandi Haqqani Jakarta .. 111
B. Pembahasan ... 112
1. Data Pra-Lapangan (Pemaknaan dan Temuan) ... 114
2. Data Lapangan (Temuan) ... 126
3. Kode untuk Temuan dalam Kategorisasi Data ... 140
4. Kategorisasi Temuan ... 141
5. Konsep Estetika Sema dalam Tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta ... 146
6. Peran Sema dalam Tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta Sebagai Media Penanaman Pendidikan Tauhid ... 170
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .... ... .176
A. Kesimpulan ... .176
B. Rekomendasi ... .179
DAFTAR PUSTAKA ... .181
LAMPIRAN-LAMPIRAN ... .184
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Seni, sebuah bahasan dalam kehidupan manusia yang tidak akan pernah
tuntas untuk dibahas. Sifatnya yang luas, dalam dan selalu bersinggungan dengan
kehidupan manusia membuat seni tidak dapat didefinisikan secara mutlak. Apa
pun penilaian, batasan serta pemahaman seseorang mengenai seni, maka ia akan
terlebih dahulu dihadapkan dengan persoalan tentang keindahan atau estetis.
Mengenai hal ini, Sutrisno et al., (2005: 5) berpendapat bahwa:
Bicara seni berarti juga bicara keindahan karena keindahan menjadi esensi dari kesenian. Keindahan tentu tidak sesempit hidup. Bayangkan bila kita hidup tanpa pernah mengalami keindahan. Tidak dapat dimungkiri bahwa keindahan yang dialami setiap manusia turut membuat hidup semakin hidup. Pengalaman akan keindahan sangat luas. Belum berarti bahwa suatu pengalaman akan keindahan dapat dialami setiap orang dengan cara yang sama dan dengan penilaian yang sama. Pengalaman akan keindahan---atau yang disebut sebagai pengalaman estetis---menjadi suatu pengalaman yang sifatnya amat pribadi.
Melalui pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa persoalan estetis
(keindahan) merupakan sebuah gerbang untuk membicarakan seni. Pemahaman
tentang estetis sendiri bersifat subjektif sekaligus objektif, karena berhubungan
dengan pengalaman seseorang dalam menerima suatu kenyataan yang disebut
dengan estetis. Tema sentral mengenai persoalan estetis merupakan wilayah
kajian estetika sebagai cabang dari filsafat, yang di dalamnya terkandung
nilai-nilai kebenaran (logika) dan kebaikan (etika). Persoalan seni, terutama yang
dulu sampai dengan sekarang, sejalan dengan fitrah manusia untuk menghargai
dan menerima sesuatu yang indah. Pengalaman estetis merupakan fenomena
subjektif yang dialami seseorang atau sekelompok orang dalam konteks
keberadaannya. Setiap manusia sepakat bahwa alam memuat unsur-unsur estetis
yang dapat dinikmati tanpa pamrih (disinterestedness), tidak semata-mata
diperuntukkan dalam konteks praktis-pragmatis. Keindahan matahari terbit
maupun terbenam dan keindahan bulan pada malam hari yang terlihat penuh atau
pun separuh memang indah bagi setiap orang, tetapi keindahan karya seni justru
terkadang menampilkan sisi getir, buruk, aneh, bising dan tidak natural sebagai
kualitas nilai estetisnya. Unsur-unsur pembentuk nilai estetis dari suatu karya seni
inilah yang menjadi bahasan dalam domain estetika.
Agama sebagai sistem kepercayaan manusia memiliki perhatian khusus
terhadap konsep estetis yang mendasari bentuk-bentuk keseniannya. Setiap agama
memiliki ritual-ritual tertentu yang dapat disebut sebagai kesenian ritual atau
bentuk kesenian yang mewakili identitas agamanya. Hal ini dikarenakan setiap
agama memiliki keyakinan bahwa sistem kepercayaannya (ajaran-ajaran dalam
agamanya) bersifat holistis dan tentunya mencakup tiga wilayah dalam kehidupan
manusia seperti logika, etika, juga estetika melalui perspektif ajaran agama
masing-masing. Maka dari itu, terdapat istilah filsafat (logika) agama, etika dalam
agama dan seni keagamaan (sakral, tidak sekuler).
Islam sebagai salah satu agama monoteisme di dunia membahas tiga aspek
penting dalam kehidupan manusia (logika, etika, estetika) berlandaskan
segala sesuatunya berasal dari Tuhan yang maha berkuasa dan berkehendak secara
absolut yaitu Allah Swt. Logika dalam Islam adalah pencarian esensi kebenaran
yang bersumber dari doktrin pemurnian Tauhid. Etika Islam adalah etika yang
berlandaskan ketauhidan dan penerapannya dijabarkan dalam aturan-aturan syariat
agama yang bersifat vertikal (diperuntukkan bagi manusia kepada Tuhannya) dan
horizontal (diperuntukkan bagi manusia kepada mahluk-mahluk lain disekitarnya
termasuk alam). Estetika Islam dan seni Islami, juga berlandaskan ketauhidan dan
pada penerapannya berdasarkan rambu-rambu syariat Islam dalam konteks
tertentu atau bersifat situasional, tidak hanya mengatas namakan seni.
Seni dalam Islam atau estetika Islam secara khusus, lebih dominan dibahas
dan diaplikasikan dalam domain Tasawuf atau Sufisme Islam. Realitas ini dapat
terjadi karena banyaknya kontribusi karya seni yang terlahir dari Ulama-ulama
Tasawuf dan para Sufi. Ditambah lagi, pembelaan terhadap status halal suatu
bentuk kesenian yang juga banyak dilakukan oleh Ulama-ulama Tasawuf dan para
Sufi, seperti di antaranya oleh al-Ghazali bersaudara dan Jalaluddin Rumi.
Implementasi ajaran dalam Sufisme Islam memiliki nilai-nilai estetis dan
edukatif yang bersifat esoteris sekaligus eksoteris. Sifatnya yang esoteris karena
berhubungan dengan Tuhan secara langsung, dan hanya dapat dirasakan atau
diketahui oleh seorang Sufi atau manusia yang mengamalkan ajaran Sufisme
dalam hidupnya. Sedangkan sifatnya yang eksoteris, karena pada kenyataannya
siapa pun berhak mengamalkan ajaran Sufisme dalam hidupnya tetapi belum tentu
Mengenai hakikat pemurnian Tauhid yang dilakukan oleh para Sufi sebagai
implementasi ajaran yang dapat dipandang memuat nilai-nilai estetis dan edukatif,
Muhaya (2003: v) menjelaskan bahwa:
Bagi para Sufi pemurnian Tauhid yang dimaksud menuntut dua hal. Pertama, persaksian tersebut pengesaan terhadap Allah dalam segala hal, terutama dalam Dia sebagai Zat yang dicinta satu-satunya. Sebab, menurut al-Ghazali bahwa yang disebut Tuhan adalah sesuatu yang dihamba, dan setiap yang dihamba adalah yang dicinta dan setiap yang dicinta adalah yang dituju (al-maqshud). Ini berarti bahwa syahadat Tauhid menuntut pentauhidan dalam hal penghambaan, pencintaan, dan tempat tujuan hanya kepada Allah saja. Sebab, al-maqshud wa al-mahbud wa al-ma’bud yang semestinya hanyalah Allah, bukan idola-idola yang lain. Oleh karena itu seorang Sufi berusaha menegasikan tujuan, kecintaan dan pengabdiannya hanya kepada Allah. Kedua, setelah menegasikan kecenderungan tersebut selanjutnya para Sufi menginternalisasikan Allah sebagai satu-satunya yang dituju, dicinta dan diabdi.
Untuk mencapai pemurnian Tauhid seorang Sufi atau para “pencari” pada
umumnya bertarekat, yang berarti mengikuti ajaran para guru-guru sebelumnya
dan pada hakikatnya bersumber dari Nabi Muhammad Saw. Istilah tarekat sendiri
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2010 (versi offline oleh: Setiawan)
diartikan sebagai jalan menuju kebenaran dan persekutuan para penuntut ilmu
Tasawuf. Secara etimologis, istilah tarekat berasal dari suku kata bahasa Arab
thariqh yang berarti jalan, dan thariqah yang berarti jalan spiritual, sedangkan
bentuk jamaknya disebut dengan thuruq (Nasr, 2010: 17). Tarekat Sufi selalu
memiliki nama sebagai identitasnya, dan nama tersebut berasal dari Syekh pendiri
atau seorang Syekh penerus dari tarekat yang dianutnya. Dalam implementasi
ajarannya, tarekat-tarekat Sufi memiliki berbagai macam cara atau metode untuk
mencapai inti ajarannya dan salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan
Di Jakarta, muncul satu tarekat Sufi yang menamakan dirinya tarekat
Naqsybandi Haqqani dan dalam ajarannya mengintegrasikan bentuk-bentuk
kesenian seperti tari dan musik. Fenomena tersebut membuat tarekat ini terkesan
unik bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi mereka yang berada di wilayah
Jakarta. Implementasi ajaran tarekat Naqsybandi Haqqani dengan melibatkan
bentuk-bentuk kesenian tersebut, sempat menjadi perhatian media massa sehingga
diliput oleh beberapa stasiun televisi swasta nasional seperti RCTI, Tv One, Trans
Tv dan bahkan oleh salah satu televisi nasional Turki. Fenomena kesenian yang
muncul (tari dan musik) dalam ajaran tarekat Naqsybandi Haqqani merupakan
satu kesatuan wujud praktik ritual yang disebut dengan Sema. Sema pada mulanya
diperkenalkan dan dipopulerkan oleh tarekat Sufi Maulawiyah asal Turki
(Turki=Mevlevi) yang memang menjadi ciri khas atau inti dari ajaran tarekat
Mulawiyah tersebut.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Pada tahap pra-lapangan melalui observasi awal yang peneliti lakukan,
diperoleh informasi bahwa Sema diketahui sebagai manifestasi dari salah satu
bentuk zikir yang diterapkan oleh tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta dalam
ajarannya. Zikir yang berarti mengingat Allah Swt sepanjang waktu, merupakan
salah satu bentuk ibadah yang hukumnya menjadi wajib untuk dilaksanakan oleh
setiap ajaran Sufisme Islam, selain menjalankan lima rukun Islam, yakni:
bersyahadat, shalat lima waktu, berzakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan
Hati merupakan wahana kesadaran yang terdiri dari berbagai macam
lapisan. Dengan cara berzikir secara terus menerus, maka dipercaya dapat
menembus berbagai lapisan hati dan terciptalah keadaan jernihnya hati. Sehingga
hati yang bersih dan jernih dapat menjadi ruang untuk mengungkap
rahasia-rahasia yang bersifat esoteris (Tebba, 2007: 80). Sara Sviri dalam Tebba (2007:
79) mengungkapkan lebih lanjut mengenai zikir, bahwa:
Zikir merupakan praktik sekaligus keadaan esoteris. Sebagai keadaan esoteris zikir mengandung paradoks, karena sekalipun zikir berarti ingat, tetapi pengalaman puncak yang dituju praktik zikir merupakan lupa segalanya kecuali Allah. Dalam keadaan segenap perhatian tercurah kepada menyebut nama Allah, segalanya hilang dari orbit persepsi dan imajinasi.
Tentunya Sema dalam hal ini secara tidak langsung memiliki dua
pengertian. Pengertian yang pertama, dapat diartikan sebagai salah satu bentuk
praktik ritual zikir yang diterapkan dalam ajaran tarekat Naqsybandi Haqqani
Jakarta. Pengertian yang kedua, dapat diasumsikan sebagai fenomena seni yang
terbentuk melalui formulasi konsep estetika dalam perspektif tarekat Naqsybandi
Haqqani Jakarta. Label seni yang terlahir dari unsur religiositas dalam praktik
ritual Sema tampaknya tidak mungkin terbantahkan, karena jelas faktanya berada
pada domain Sufisme Islam yang secara eksplisit mengajarkan pemurnian Tauhid.
Satu hal yang perlu diketahui dan menjadi penting mengenai praktik ritual
Sema adalah, konsep estetika seperti apa yang tersirat sehingga Sema sebagai
salah satu bentuk praktik ritual zikir dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta
menjadi sebuah fenomena ritual peribadatan yang bernilai seni (dianggap sebagai
salah satu fenomena seni yang bernilai). Persoalan ini menimbulkan kegelisahan
khususnya mereka yang mengerti akan permasalahan seni (para seniman, pelaku
seni, kitikus seni, apresiator dan pendidik seni) dapat mengetahui dan memiliki
paradigma yang terdapat di dalam konsep estetika Sema. Selain itu, apabila
permasalahan tersebut dapat terjawab melalui penelitian ini, maka bentuk
keseniaan Sufisme (dalam hal ini Sema) boleh dibilang dapat mewakili salah satu
konsep estetika seni yang terdapat di dalam Islam.
C. RUMUSAN MASALAH
Menarik dan perlu dikaji secara komprehensif bagaimana fenomena label
seni dapat lahir melalui ajaran tarekat Sufi yang cenderung bersifat esoteris,
seperti dalam kasus tarekat Sufi Naqsybandi Haqqani Jakarta. Kegelisahan lain
pun timbul karena keberadaan tarekat Sufi pada dasarnya menawarkan
ajaran-ajaran spiritual (pendidikan) dalam kerangka Islam. Maka, munculnya fenomena
seni dalam ajaran tarekat Sufi Naqsybandi Haqqani tentu dapat diasumsikan
sebagai transformasi nilai-nilai pendidikan Tauhid, berdasarkan konsep estetika
Sufisme di dalam domain Islam.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya dan untuk
menghindari permasalahan yang semakin melebar, maka ditempatkan rumusan
masalah dalam suatu penelitian. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana sesungguhnya konsep estetika Sema dalam tarekat Naqsybandi
Haqqani Jakarta?
2. Bagaimana Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta dapat berperan
D. VARIABEL PENELITIAN/DEFINISI ISTILAH
Berkaitan dengan topik penelitian dan rumusan masalah, maka terdapat
beberapa variabel serta definisi istilah yang perlu dijabarkan, di antaranya adalah:
Estetika, Sema, Tarekat Sufi Naqsybandi Haqqani Jakarta, Tauhid dan Media
Pendidikan.
1. Definisi Istilah
a. Estetika
Estetika secara sederhana merupakan cabang dari filsafat. Hal-hal yang
dibahas dalam Estetika adalah berbagai permasalahan mengenai konsep estetis
(keindahan) yang sangat luas. Karena permasalahan estetika termasuk dalam
perenungan para filsuf sejak dulu, dan pada kenyataannya hidup manusia selalu
bersinggungan dengan perihal estetis serta seni, kemudian muncul definisi atau
konsep estetika yang beragam dari masa ke masa. Maka dapat dikatakan bahwa
tidak ada definisi yang mutlak “benar” mengenai konsep estetika.
Filsuf Jerman Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762), adalah orang
yang pertama kali memopulerkan istilah estetika pada tahun 1750-an dengan
bukunya yang berjudul Aesthetica (Gie, 1976: 15). Istilah estetika sendiri oleh
Baumgarten diambil dari bahasa Yunani kuno aistheton, yang berarti kemampuan
melihat melalui pengindraan. Menurut Baumgarten, seni termasuk ke dalam
kategori pengetahuan sensoris, berbeda dengan logika yang menurutnya berada
dalam kategori pengetahuan intelektual. Perbedaan antara estetika dan filsafat seni
alam dan karya seni, sedangkan filsafat seni lebih spesifik mempersoalkan karya
seni, benda seni atau artefak yang disebut dengan seni (Sumardjo, 2000: 25).
Dari berbagai macam definisi tentang estetika, dapat dirinci 11
permasalahan yang menjadi sasaran estetika, seperti yang dirumuskan oleh Gie
(1976: 21) di antaranya adalah:
1.) Keindahan
2.) Keindahan dalam alam dan seni
3.) Keindahan khusus pada seni
4.) Keindahan dan seni
5.) Seni (penciptaan dan kritik seni serta hubungan dan peranan seni)
6.) Citarasa
7.) Ukuran nilai baku
8.) Keindahan dan kejelekan
9.) Nilai non-moral (nilai estetis)
10.) Benda estetis
11.) Pengalaman estetis
b. Sema
Dalam pandangan Gulen (2007: 18), Sema merupakan salah satu inspirasi
yang ditinggalkan oleh seorang Sufi besar bernama Jalaluddin Rumi (1207-1273)
dan merupakan paduan warna tradisi, sejarah, kepercayaan serta budaya Turki.
Sema memiliki makna serta esensi spiritual yang tinggi dan dalam, sehingga Sema
dapat disebut sebagai simbolisme kosmos. Sema dalam bahasa Arab disebut
dijabarkan dengan definisi umum, maka Sema adalah bergeraknya tubuh dengan
gerakan berputar melawan arah jarum jam (counter clock) dengan sukacita, sambil
mendengarkan nada-nada musik atau lantunan selawat, dalam kondisi berzikir.
Dunia Barat terkadang menyebut Sema dengan istilah “The Whirling Dervishes”
atau para Darwis yang berputar.
c. Tarekat Sufi Naqsybandi Haqqani Jakarta
Berdasarkan informasi yang peneliti dapatkan melalui situs yayasan
Haqqani Indonesia dan salah satu pengurusnya, tarekat Sufi Naqsybandi Haqqani
Jakarta adalah salah satu cabang dari tarekat Sufi Naqsybandi Haqqani di dunia.
Tarekat ini dipimpin oleh seorang Syekh atau seorang Ulama bernama
Muhammad Nazim Adil al-Qubrusi al-Haqqani (selanjutnya disebut Syekh Nazim
al-Haqqani) yang lahir di Larnaka, Siprus pada 21 April 1922. Kedatangan tarekat
Naqsybandi Haqqani di Indonesia diperkenalkan oleh Syekh Hisham Kabbani
ar-Rabbani (selanjutnya disebut Syekh Hisham ar-ar-Rabbani), menantu sekaligus
wakil (khalifah) yang diutus langsung oleh Syekh Nazim al-Haqqani.
Pada 1991, Syekh Hisham ar-Rabbani diperintahkan untuk pindah ke
Amerika Serikat oleh Syekh Nazim al-Haqqani dan mendirikan yayasan tarekat
Naqsybandi di sana. Semenjak itu, Syekh Hisham ar-Rabbani membuka 13 pusat
Sufi di Kanada dan Amerika Serikat. Bermula ketika ada sebagian masyarakat
Indonesia yang mengikuti kajian tarekat Naqsybandi Haqqani di Amerika Serikat,
semenjak itulah muncul keinginan dari Syekh Hisham ar-Rabbani untuk
menyebarkan ajaran tarekat Naqsybandi Haqqani di Indonesia sekaligus membuka
keinginannya tersebut, Syekh Hisham ar-Rabbani berkunjung ke Indonesia pada 5
April 1997 dan mendirikan zawiyah tarekat Naqsybandi Haqqani Indonesia yang
pertama di Jakarta, dan kini penyebarannya hampir terdapat di seluruh bagian
Indonesia. Perlu dijelaskan, bahwa zawiyah adalah tempat berkumpulnya para
Sufi atau para jemaat tarekat untuk mengadakan ibadah secara berjemaat.
Pada akhir tahun 2000, kunjungan selanjutnya dilakukan oleh Syekh
Hisham ar-Rabbani dengan mendirikan yayasan Haqqani Indonesia di Jakarta.
Tujuannya adalah untuk mengorganisir seluruh jemaat tarekat Naqsybandi
Haqqani di Indonesia. Yayasan Haqqani Indonesia adalah sebuah lembaga non
profit yang ditujukan sebagai wadah belajar dan mendalami ajaran Islam yang
dinamis, penuh pesan cinta, damai, saling menghormati dan toleran.
Sejak berdiri hingga sekarang, yayasan Haqqani Indonesia terus aktif dalam
menjalankan kegiatan syiarnya dan berpartisipasi dengan kegiatan para Ulama,
Habaib, tokoh-tokoh pemerintahan dan organisasi masyarakat lainnya termasuk
PBNU, MUI, serta majelis-majelis taklim. Misi mulia yang ditawarkan adalah
semangat untuk meningkatkan pemahaman akan Islam sebagai agama yang penuh
rahmat, serta memperkenalkan lebih dalam dan meningkatkan kecintaan terhadap
Nabi Muhammad Saw sebagai pembawa ajaran yang mulia yaitu Islam. Seluruh
cabang tarekat Naqsybandi Haqqani Indonesia yang berada di bawah naungan
yayasan Haqqani Indonesia, mempunyai komitmen yang tinggi mendukung
program-program pemerintah dalam menciptakan kedamaian dan keharmonisan di
terorisme dan aksi kekerasan, karena hal tersebut bertentangan dengan Islam yang
cinta akan kedamaian.
d. Tauhid
Di dalam Islam, Tauhid merupakan ilmu yang sebaiknya pertama kali harus
dipelajari oleh seorang muslim sebelum ilmu-ilmu lainnya, sebab apabila
seseorang bertauhid maka dorongan ketakwaan kepada Allah Swt dapat terwujud.
Albajuri dan Anwar (1999: 4) mengenai Tauhid mengemukakan bahwa:
Tauhid secara harfiah berarti mengetahui bahwa sesuatu itu satu. Sedangkan menurut istilah, ialah ilmu yang dapat menetapkan akidah (tekad) keagamaan seseorang yang dikasab (dicari) dari dalil-dalilnya yang berdasarkan keyakinan. Dalil-dalil termaksud berdasarkan dalil naqli yaitu, dari Al-Qur’an dan dalil ‘aqli yaitu, hasil penyelidikan akal manusia.
Kedudukan Tauhid sebagai ilmu di dalam Islam sangatlah penting, karena
ilmu-ilmu lainnya merupakan cabang dari Tauhid. Sebagaimana sabda Nabi
Muhammad Saw, diriwayatkan dari Abu Sa’id r.a. yang berbunyi: “Sesungguhnya
Allah Swt tidak mewajibkan sesuatu yang lebih utama dari ilmu Tauhid dan
shalat” (Albajuri dan Anwar, 1993: 4).
e. Media Pendidikan
Menurut AECT (Association for Educational Communication and
Technology), media adalah segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk
menyalurkan pesan dan informasi. Sedikit berbeda dengan NEA (National
Education Association) yang lebih menekankan bahwa media merupakan
perwujudan komunikasi konkret yang dapat dimanipulasi, dilihat, didengar dan
dibaca (Sadiman et al., 2011: 6-7). Apa pun bentuk batasan dan penekanan yang
diperhatikan dari berbagai definisi tersebut adalah persamaannya. Yaitu, media
merupakan segala hal yang dapat digunakan untuk menyalurkan atau
menyampaikan pesan dari pengirim kepada penerima, sehingga apa yang
disampaikan tersebut dapat menstimulus pikiran, perasaan serta perhatian
penerima menuju pembentukan pemahaman.
Pendidikan secara sederhana merupakan usaha sadar dan terencana untuk
membentuk manusia yang berkarakter mulia. Pemahaman ini diperoleh
berdasarkan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS (Sistem
Pendidikan Nasional) pada BAB I (ketentuan umum) Pasal 1 point satu, yang
menjelaskan bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhla mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Melalui dua pemahaman tersebut (media dan pendidikan), maka diperoleh
kesimpulan bahwa media pendidikan merupakan alat bantu atau metodik dan
teknik yang digunakan sebagai perantara komunikasi antara seorang pendidik
kepada peserta didik, dalam rangka mengefektifkan komunikasi dan interaksi di
antara keduanya (pendidik dan peserta didik) saat penyelenggaraan pendidikan
berlangsung. Urgensinya adalah agar tujuan akhir pendidikan dapat tercapai
dengan maksimal, terarah dan tepat sasaran, sehingga mewujudkan
E. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep estetika
Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta yang realitasnya hadir dalam
ajaran- ajarannya.
2. Tujuan Khusus
a. Mengungkap dan mendeskripsikan konsep estetika Sema dalam tarekat
Naqsybandi Haqqani Jakarta.
b. Mengungkap dan mendeskripsikan kedudukan Sema sebagai media
pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai Tauhid dalam tarekat Naqsybandi
Haqqani Jakarta.
F. MANFAAT PENELITIAN
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan berbagai manfaat
yang terutama ditujukan kepada:
1. Peneliti
Penelitian yang dilakukan merupakan salah satu pengalaman paling
berharga dalam hidup peneliti, dan jelas merupakan salah satu upaya untuk
menambah cakrawala pengetahuan mengenai konsep estetika, seni dan
pemahaman Tauhid Islam melalui domain Sufisme yang unik.
2. Pendidik Seni dan Seniman
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sejak dulu Indonesia lebih banyak
Mengetahui konsep estetika, pemahaman seni serta seni sebagai media
penanaman pendidikan spiritual yang diterapkan oleh tarekat Naqsybandi Haqqani
Jakarta diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah referensi sekaligus
penyeimbang pemahaman bagi seorang pendidik dan para seniman mengenai
konsep estetika, seni dan pendidikan seni.
3. Lembaga Pendidikan
Lembaga pendidikan yang dimaksud adalah lembaga pendidikan yang
khusus menerapkan keterampilan dan keilmuan seni, baik itu melalui jalur
lembaga pendidikan formal (Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi)
maupun non formal (Kursusan atau sanggar-sanggar seni).
Ada baiknya apabila konsep-konsep pendidikan yang ditawarkan tersebut
merujuk pada konsep pendidikan seni yang lebih holistis seperti yang dijabarkan
dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta. Artinya, tidak hanya mengajarkan
secara keilmuan (teoretik) dan keterampilan seni (praktik), namun pembobotan
pendidikan yang menitikberatkan pemahaman religius sehingga peserta didik
mengetahui fitrahnya selaku manusia yang harus berbuat apa, berada dimana dan
hendak di arahkan kemana hidupnya. Dengan demikian, melalui pendidikan seni
seseorang akan dapat memandang hidupnya menjadi lebih berarti bagi dirinya,
orang lain di sekitarnya serta alam yang menaunginya.
4. Objek yang diteliti
Konsep estetika, seni dan pendidikan seni yang selama ini diterapkan di
Indonesia lebih cenderung merujuk kepada Dunia Barat karena budaya tulisnya
agama yang bersifat holistis dan universal, ternyata memiliki perhatian terhadap
konsep estetika, seni dan pendidikan seni yang berpegang teguh terhadap
rambu-rambu keagamaan dengan tujuan memberi arti dalam kehidupan manusia.
Diharapkan, penelitian ini dapat menjadi sumbangsih ilmu pengetahuan dan
menjadi hasil penelitian yang terdokumentasikan dengan baik sehingga dapat
menjadi salah satu rujukan penelitian lanjutan.
5. Masyarakat
Mengetahui konsep estetika Sema dalam ajaran tarekat Naqsybandi Haqqani
Jakarta diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat luas khususnya mereka
yang bergerak di bidang seni. Konsep estetika yang ditawarkan ajaran Sufisme
berlandaskan Tauhid tersebut, tentunya memiliki nilai-nilai yang bermanfaat
terutama untuk membangun semangat peribadatan serta kehidupan yang damai.
G. SISTEMATIKA PENULISAN TESIS
1. BAB I Pendahuluan
Bab ini meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah, perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan yang
digunakan dalam tesis.
2. BAB II Kajian Pustaka
Bab ini meliputi kajian-kajian pada penelitian terdahulu, serta teori-teori
atau konsep yang ditempatkan dalam penelitian. Landasan teori lebih difokuskan
pada teori-teori estetika dan keindahan dalam perspektif Tasawuf. Sedangkan
3. BAB III Metodologi Penelitian
Bab ini menjelaskan ihwal penelitian kualitatif dengan menggunakan
pendekatan fenomenologi. Bab ini juga meliputi pembahasan seperti lokasi,
subjek, instrumen, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, serta tahapan
dalam penelitian.
4. BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab ini meliputi pemaparan dan analisis data untuk menghasilkan temuan
pembahasan atau analisis temuan.
5. BAB V Kesimpulan dan Rekomendasi
Bab ini meliputi penafsiran dan pemaknaan peneliti, terhadap hasil analisis
temuan penelitian dalam bentuk kesimpulan penelitian. Implikasi dalam penelitian
berupa rekomendasi yang ditujukan kepada pengguna hasil penelitian yang
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian kualitatif, Moleong (2011:
6) memberikan definisi mengenai penelitian kualitatif berdasarkan sintesis dari
para pakar sebelumnya, menurutnya bahwa:
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena peneliti berupaya
untuk menemukan konsep estetika Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqqani
Jakarta, dan Sema yang diasumsikan berperan sebagai media pendidikan dalam
menanamkan nilai-nilai Tauhid di dalam tarekat tersebut. Permasalahan seperti ini
tidak dapat dimaknai melalui pengertian angka-angka, karena konsep merupakan
sesuatu yang abstrak (ide atau pandangan) dari peristiwa konkret yang harus
ditemukan langsung di dalam benak sang subjek melalui latar alamiah penelitian.
Selanjutnya Alwasilah (2009: 143-144) menjelaskan bahwa terdapat empat
garis besar bagi seorang peneliti untuk mencapai tujuan penelitiannya, dan dalam
pengertian yang khusus harus dilaksanakan oleh seorang peneliti dengan metode
penelitian kualitatif, di antaranya adalah:
3. Mengumpulkan data.
4. Menganalisis data.
Untuk mendukung penggunaan metode penelitian kualitatif berjalan dengan
maksimal, maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan penelitian
fenomenologi. Istilah fenomenologi mengacu pada penelitian terdisiplin tentang
kesadaran dari perspektif pertama seseorang.
Dalam penjelasan yang lain, bahwa pendekatan fenomenologi merupakan
perspektif berpikir yang menekankan pada fokus pengalaman-pengalaman
subjektif manusia dan interpretasi-interpretasi dunia. Maka dalam hal ini, para
fenomenologis ingin memahami bagaimana dunia muncul kepada orang lain
(Moleong, 2011: 15).
Lebih jauh lagi Moleong (2011: 16-17) menjelaskan bahwa:
Analisis fenomenologis berusaha mencari untuk menguraikan ciri-ciri dunianya, seperti apa aturan-aturan yang terorganisasikan, dan apa yang tidak, dan dengan aturan apa objek dan kejadian itu berkaitan.
… Aturan-aturan ini bukanlah sebenarnya ciri-ciri yang berdiri sendiri dari sesuatu ‘dunia objektif’ menurut pendapat para fenomenologis tetapi dibentuk oleh kebermaknaan dan nilai-nilai dalam kesadaran kita yang kita alami sebagai hal yang berdiri sendiri dari kita. Dalam hal ini, fenomenologi mempertentangkan apa yang dinamakan empirisme.
B. TAHAP-TAHAP PENELITIAN
Setidaknya terdapat empat tahapan pokok dalam penelitian ini yang peneliti
jalani, dan tiga di antaranya sesuai dengan tahapan yang dijabarkan oleh Moleong
(2011: 127-148), yaitu:
1. Tahap Pra-Lapangan
a. Menyusun rencana penelitian.
b. Memilih lokasi penelitian.
c. Mengurus perizinan.
d. Menjajaki dan menilai lapangan.
e. Memilih dan memanfaatkan informan (nara sumber).
f. Menyiapkan perlengkapan penelitian.
2. Tahap Pekerjaan Lapangan
a. Memahami latar penelitian dan persiapan diri.
b. Memasuki lapangan.
c. Berperan serta sambil mengumpulkan data.
3. Tahap Analisis Data
Analisis dalam penelitian ini menggunakan metode analisis dalam
pendekatan penelitian fenomenologi. Dimyati (1994) dalam Mudjianto dan Kenda
(2010: 81-82), menjabarkan analisis fenomenologi dengan delapan tahapan,
secara umum di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Membuat kategorisasi antara subjek penelitian dan informan penelitian.
c. Mencari norma atau nilai yang melatarbelakangi perilaku serta tujuan aktor
dalam melakukan tindakan.
d. Melakukan reduksi hasil observasi dan wawancara.
e. Mengelompokkan data.
f. Membuat rumusan proposisi yang terkait dengan prinsip logika sebagai
temuan dalam penelitian.
g. Mengkaji ulang seluruh data yang ada.
h. Melaporkan hasil temuan penelitian.
4. Tahap Penulisan Laporan
Tahapan penulisan laporan meliputi kegiatan penyusunan laporan hasil
penelitian, sesuai saran dan perbaikan dari dosen pembimbing serta para dewan
penguji tesis di lingkungan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
C. LOKASI PENELITIAN
1. Lokasi
Terdapat empat lokasi tarekat Naqsybandi Haqqani di Jakarta yang peneliti
kunjungi. Lokasi pertama adalah yayasan Haqqani Indonesia yang berada di Jl.
Teuku Umar No. 41, Menteng Jakarta Pusat. Lokasi kedua adalah zawiyah
Rabbani Sufi Centre yang berada di Jl. Villa Terusan No. 16, Villa Cinere Mas,
Pondok Cabe Jakarta Selatan. Lokasi ketiga adalah zawiyah Pondok Cabe, yang
beralamat di Jl. Cabe Raya No. 56, Pondok Cabe Jakarta Selatan. Sedangkan
lokasi terakhir adalah zawiyah Rumi Café yang berada di Wisma Iskandarsyah
2. Alasan Pemilihan Lokasi
Lokasi pertama yayasan Haqqani Indonesia, adalah lokasi yang pertama
peneliti kunjungi untuk memperoleh informasi mengenai kegiatan Sema. Melalui
lokasi pertama ini, salah seorang pengurus dari yayasan Haqqani Indonesia
memberikan rekomendasi untuk mendatangi tiga lokasi yang dianggap
representatif untuk membantu keberlangsungan penelitian ini, di antaranya adalah:
a. Zawiyah Rabbani Sufi Centre yang berada di Jl. Villa Terusan No. 16, Villa
Cinere Mas, Pondok Cabe Jakarta Selatan.
b. Zawiyah Pondok Cabe, yang beralamat di Jl. Cabe Raya No. 56, Pondok
Cabe Jakarta Selatan.
c. Zawiyah Rumi Café yang berada di Wisma Iskandarsyah blok B4 Jl.
Iskandarsyah Raya Kavling 12-14, Kebayoran Baru Jakarta Selatan.
Dari ketiga lokasi zawiyah yang disarankan oleh pihak yayasan Haqqani
Indonesia tersebut, hanya satu zawiyah yang tidak menampilkan praktik ritual
Sema dalam kegiatan zikir mingguan rutinnya, yakni zawiyah Pondok Cabe yang
beralamat di Jl. Cabe Raya No. 56, Pondok Cabe Jakarta Selatan, karena
keterbatasan tempat yang tidak memungkinkan untuk melakukan ritual Sema.
Walaupun tidak pernah menampilkan Sema karena faktor keterbatasan
tempat, melalui zawiyah Pondok Cabe ini peneliti mendapatkan informasi penting
ihwal Sema yang dilakukan oleh tarekat Naqsybandi Haqqani di Jakarta.
Informasi ihwal Sema diperoleh melalui Syekh ZFR (inisial), seorang Syekh atau
pemimpin dari zawiyah Pondok Cabe yang sangat ramah dan memberikan banyak
D. SUBJEK PENELITIAN
Subjek dalam penelitian merupakan entitas yang mempengaruhi desain riset,
pengumpulan data dan keputusan analisis data. Selanjutnya (Satori dan Komariah,
2011: 49) menjelaskan bahwa:
Populasi atau sampel dalam penelitian kualitatif lebih tepat disebut dengan sumber data pada situasi sosial (social situation) tertentu, sedangkan yang menjadi subjek penelitiannya adalah benda, hal atau orang yang padanya melekat data tentang objek penelitian. Oleh karena itu, subjek penelitian memiliki kedudukan sentral dalam penelitian, karena data tentang gejala atau masalah yang diteliti berada pada subjek penelitian.
Subjek yang ditempatkan dalam penelitian ini adalah tarekat Naqsybandi
Haqqani Jakarta, beberapa orang pelaku Sema, Syekh dari beberapa lokasi
zawiyah di Jakarta dan beberapa jemaat tarekat Naqsybandi Haqqani dari zawiyah
Rabbani Sufi Centre, Pondok Cabe serta Rumi Café. Melalui mereka (subjek
penelitian), data primer diperoleh kemudian diolah bersama data sekunder untuk
mencapai tujuan penelitian.
Subjek dalam penelitian juga berperan sebagai informan yang memberikan
berbagai informasi atau data selama proses penelitian berlangsung. Informan
dalam penelitian ini terdiri dari beberapa kategori, seperti yang dikemukakan oleh
Hendrarso dalam Suyanto dan Sutinah (2005: 171-172), yaitu:
1. Informan kunci (Key Informan), yaitu mereka yang mengetahui dan
memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian.
2. Informan utama, yaitu mereka yang terlibat secara langsung dalam interaksi
sosial yang diteliti.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan interaksi sosial adalah
keorganisasian yang dilakukan oleh jemaat tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta.
Peran informan kunci (Key informan) dalam penelitian ini berada pada dua orang
Syekh yang masing-masing berasal dari zawiyah Rabbani Sufi Center dan Pondok
Cabe. Peran informan utama berada pada dua orang jemaat dari zawiyah Pondok
Cabe dan Rabbani Sufi Center, sedangkan informan tambahan berada pada empat
orang jemaat tarekat Naqsybandi Haqqani, baik yang terlibat secara langsung
dalam setting ritual Sema, maupun yang tidak.
Pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan secara sengaja sesuai
dengan tujuan penelitian, oleh karena itu tipe yang digunakan adalah purposive
sampling. Purposive sampling merupakan teknik penentuan sampel dengan
pertimbangan tertentu. Ciri-ciri purposive sampling dikemukakan oleh Lincoln
dan Guba (1985) dalam Satori dan Komariah (2011: 53) sebagai berikut:
1. Emergent sampling design; bersifat sementara; sebagai pedoman awal terjun
ke lapangan, setelah di lapangan dapat berubah sesuai dengan keadaan.
2. Serial selection of sample units; menggelinding seperti bola salju (snow
ball); sesuai dengan petunjuk yang didapatkan dari informan-informan yang
telah diwawancarai.
3. Continuous adjustment or ‘focusing; of the sample; siapa yang akan dikejar
sebagai informan baru disesuaikan dengan petunjuk informan sebelumnya
sesuai dengan kebutuhan penelitian.
4. Selection to the point of redundancy; pengembangan informan dilakukan
E. INSTRUMEN PENELITIAN
Instrumen utama dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri,
demikian juga dalam penelitian ini. Konsep peneliti sebagai instrumen penelitian
mengacu pada fitrah manusia yang terlekat dan diberikan oleh Tuhan sebagai
anugerah kepada manusia. Lebih sepesifik lagi, Alwasilah (2009: 191) dalam hal
ini menjelaskan bahwa:
Seperti yang telah dipahami bahwa dalam penelitian kualitatif peneliti adalah sekaligus instrumen. Fasilitas yang melekat padanya adalah sepasang mata, telinga, bibir dan kelisanannya, yakni berkomunikasi. Berbahasa lisan adalah modus komunikasi yang paling alami, mendasar, dan manusiawi; sejak detik ia dilahirkan sampai detik-akhir ia dimatikan. Komunikasi yang baik adalah interaksi yang terencana, dan interviu dilakukan untuk mendapat informasi atau data yang diperlukan sesuai dengan tujuan penelitian.
Lincoln dan Guba (1985) dalam Satori dan Komariah (2011: 62)
mengungkapkan bahwa manusia sebagai instrumen pengumpulan data
memberikan keuntungan, di mana ia dapat bersikap fleksibel dan adaptif, serta
dapat menggunakan keseluruhan alat indra yang dimilikinya untuk memahami
sesuatu. Adapun ciri-ciri peneliti sebagai instrumen penelitian menurut Nasution
(1968) dalam Satori dan Komariah (2011: 63) adalah:
1. Peneliti sebagai alat, peka dan dapat bereaksi terhadap segala stumulus dan
lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi penelitian.
2. Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan
dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus.
3. Tiap situasi merupakan keseluruhan. Tidak ada suatu instrumen berupa tes
4. Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat dipahami
dengan pengetahuan semata. Untuk memahaminya kita perlu sering
merasakannya, menyelaminya berdasarkan pengetahuan kita.
5. Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh. Ia
dapat menafsirkannya, melahirkan hipotesis dengan segera untuk
menentukan arah pengamatan, mengetes hipotesis yang timbul seketika.
6. Hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan
berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan menggunakan
segera untuk memperoleh penegasan, perubahan dan perbaikan.
Selain keunggulan peneliti sebagai instrumen penelitian, maka terdapat juga
instrumen lain selain manusia yang digunakan dalam mendukung penelitian.
Instrumen tersebut berupa catatan lapangan, lembar wawancara, serta catatan hasil
dokumentasi audio/visual selama berada di lapangan dengan menggunakan alat
bantu seperti kamera foto, video recorder atau pun audio recorder.
F. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
observasi, wawancara, pendokumentasian dan melakukan telaah kajian pustaka,
dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Observasi
Terdapat dua jenis observasi yang peneliti gunakan, mengacu pada konsep
Spradley dalam Satori dan Komariah (2011: 115), yakni observasi tidak langsung
dilakukan sebelum peneliti mendatangi lokasi penelitian; seperti mengobservasi
subjek penelitian melalui berita, artikel dan rekaman dokumentasi audio, video,
serta foto-foto yang terdapat di internet. Selanjutnya adalah observasi saat berada
di lapangan dengan dua pendekatan observasi, yaitu:
a. Observasi partisipasi pasif, hadir dalam kegiatan Sema tetapi peneliti tidak
ikut terlibat dalam kegiatan tersebut.
b. Observasi partisipasi moderat, dalam hal ini peneliti mengikuti hanya
sebagian kegiatan dari keseluruhan prosesi Sema yang dilakukan oleh
tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta.
2. Wawancara
Wawancara yang dilakukan bertujuan untuk memperoleh makna yang
rasional, baik yang terstruktur maupun yang tidak terstruktur. Proses wawancara
kemudian di dokumentasikan dalam bentuk catatan-catatan kecil maupun rekaman
audio sehingga dapat meningkatkan nilai dari data yang diperoleh. Wawancara
ditujukan kepada subjek dari penelitian ini, yakni mereka para informan kunci,
informan utama dan informan tambahan.
3. Pendokumentasian
Setiap kegiatan dan momen penting yang relevan dalam penelitian ini di
dokumentasikan dalam bentuk audio, video, foto maupun jenis audio-video. Hal
ini dilakukan guna mendapatkan makna atau informasi, serta dipelajari dan
dianalisis sebagai sumber data utama. Pendokumentasian terkadang dapat berupa
catatan-catatan kecil peneliti saat berada di lapangan, baik ketika sedang
4. Kajian pustaka
Formulasi teoretis terkadang disebut dengan landasan teoretis atau kajian
pustaka (literature review). Kajian pustaka mengimplisitkan kegiatan peneliti
dalam membaca literatur terkait (Alwasilah, 2009: 112).
G. TEKNIK ANALISIS DATA
Untuk mendapatkan makna berbagai informasi dan data perolehan lapangan,
perlu dilakukan analisis serta interpretasi terhadap data-data tersebut. Maka perlu
adanya upaya dalam menganalisis data menggunakan paradigma berpikir
kualitatif (berpikir secara induktif). Berpikir secara induktif memiliki maksud
membandingkan dan mengondisikan antara data hasil perolehan lapangan,
terhadap teori yang ditempatkan dalam penelitian.
Tahap-tahap yang peneliti lakukan untuk menganalisis data dalam penelitian
ini, menggunakan metode analisis dalam pendekatan penelitian fenomenologi.
Merujuk pada delapan tahap analasis fenomenologi menurut Dimyati (1994)
dalam Mudjianto dan Kenda (2010: 81-82), maka dalam penelitian ini delapan
tahapan yang peneliti lakukan adalah sebagai berikut:
1. Mengkategorikan informan penelitian.
2. Menguji keakuratan data dari informan yang satu dengan yang lainnya.
3. Mencari norma atau nilai yang melatarbelakangi perilaku serta tujuan aktor
dalam melakukan tindakan.
4. Melakukan reduksi hasil observasi dan wawancara dengan tahapan sebagai
a. Proses selecting dan focusing dilakukan pada orang yang hendak
diwawancarai dan situasi penelitian. Orang yang diwawancarai terpilih
pada orang yang benar-benar mengetahui secara pasti tentang
seluk-beluk tema penelitian. Situasi penelitian, juga hanya peneliti pilih pada
situasi yang benar-benar menarik dan berkaitan langsung dengan tema
penelitian. Upaya focusing dilakukan pada saat key informan
memberikan informasi yang lepas dari tema penelitian.
b. Simplifying dilakukan untuk penyederhanaan data. Upaya
penyederhanaan dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengurangi
makna dan keakuratan data yang diperoleh.
c. Abstracting ditempuh untuk menggambarkan data secara naratif,
sebagaimana yang ada di lapangan.
d. Transforming dilakukan dengan cara mentransformasikan data
observasi lapangan menjadi kesimpulan catatan lapangan.
5. Mengelompokkan hal-hal serupa kemudian membandingkan kemiripan dan
perbedaannya dengan kaidah atau prinsip-prinsip logika. Kemudian
membuat display data secara sistematik dalam konteks yang utuh.
6. Membuat rumusan proposisi yang terkait dengan prinsip logika, kemudian
mengangkatnya sebagai temuan dalam penelitian.
7. Mengkaji secara berulang-ulang seluruh data yang ada, pengelompokkan
data dan proposisi yang telah dirumuskan.
8. Melaporkan hasil penelitian lengkap dengan temuan baru, berbeda dari
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. KESIMPULAN
Berdasarkan telaah atas teori-teori sebelumnya mengenai estetika di dalam
Islam, dijelaskan bahwa estetika Islam selalu bersifat teosentris dan dibatasi oleh
ajaran-ajaran di dalam Islam sebagai kekhasannya. Penekanan Tauhid sebagai
syarat utama pada setiap implementasi estetis seni di dalam Islam terbukti
membatasi peran manusia sebagai hamba Tuhan dan Tuhan sebagai satu-satunya
yang transenden (berbeda dengan seluruh ciptaan-Nya). Realitas tersebut terbukti
juga berlaku di dalam Sema Naqsybandi Haqqani Jakarta.
Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta diketahui digunakan
sebagai ajaran tambahan atau ritual tambahan yang diadopsi dari tarekat
Maulawiyah asal Turki. Sebagai sebuah ajaran yang kini diterapkan di tarekat
Naqsybandi Haqqani Jakarta, ia memiliki kekhasan tersendiri karena
menampilkan sisi estetis yang tidak dapat dinilai dari ukuran lahiriah semata
(eksoteris). Ia juga memiliki keindahan yang terpancar dari dalam (esoteris)
sebagai salah satu faktor pembentuk utama unsur estetis-nya. Teori simbol dan
estetika Langer diterapkan terhadap temuan-temuan dalam penelitian ini untuk
mengungkap konsep estetika Sema tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta agar tidak
menggeneralisasinya sebagai sebuah kesenian, karena menurut Langer perlu ada
suatu pendekatan dengan cara masing-masing sembari melacak prinsip-prinsip
Keseluruhan temuan yang muncul dalam kategorisasinya menunjukkan
bahwa konsep estetika Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta terbangun
berdasarkan ajaran-ajaran di dalam tarekat Naqsybandi Haqqani yang
mempengaruhi kesadaran para jemaatnya. Ajaran-ajaran tersebut tidak hanya
mempengaruhi perilaku atau sikap, tetapi termanifestasi juga di dalam Sema yang
diadopsi oleh mereka. Sebagai ajaran yang diadopsi, ia mengambil inti sari Sema
asal tarekat Maulawiyah sehingga memiliki ciri tersendiri, hal ini dipercaya sama
sekali tidak bertentangan dengan ajaran Naqsybandi Haqqani karena silsilah
keturunan dan keilmuan yang dimiliki pemimpin Naqsybandi Haqqani ihwal
ajaran tarekat Maulawiyah.
Pada kasus Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqani Jakarta, konsep estetika
di dalamnya tidak berawal dari imajinasi para pelaku Sema sebagai unsur
penciptaannya. Paradoks dengan hal tersebut, ia justru terlahir dari kesadaran
manusia (konsepsi) atas kodratnya terhadap Tuhan, yakni menggapai cinta-Nya.
Karena bentuk kesadaran tersebut sulit didefinisikan (hanya bisa dirasakan bagi
mereka yang mengalaminya) maka implementasinya berwujud perbuatan
mengabstraksikan melalui simbol-simbol tertentu seperti tarian dan kostum, serta
melibatkan unsur-unsur yang menjaga agar kondisi kesadaran tersebut tetap
terjaga, seperti melalui musik dan hadirnya Syekh yang bertanggung jawab, atau
mengingat wajah sang Syekh sebagai penyambung maksud kepada Tuhan sebagai
stimulan. Bentuk kesadaran tersebut (cinta keilahian) dapat dilihat sebagai bentuk
keindahan tersendiri (esoteris), ekuivalen dengan memandang bahwa segala
keterhubungan dengan Tuhan. Bentuk kesadaran tersebut juga membuat mereka
tidak terlalu menghiraukan keindahan bentuk (eksoteris), walaupun pada akhirnya
keindahan bentuk yang dapat tercerap menjadi indah dengan sendirinya karena
merupakan simbol-simbol dari cinta keilahian yang mereka sadari dan rasakan.
Maka secara definitif konsep estetika Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqqani
Jakarta dapat disebut sebagai estetika platonik berbasis Tauhid.
Ajaran-ajaran tarekat Naqsybandi Haqqani pada hakikatnya menggiring
manusia menuju cinta Ilahi dengan mematri Tuhan di dalam hatinya. Dengan
demikian, maka sangat mudah sekali bagi Sema untuk berperan sebagai media
pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai Tauhid kepada para jemaatnya, karena
ajaran-ajaran dalam tarekat Naqsybandi Haqqani sendiri sudah merupakan suatu
bentuk dari media pendidikan Tauhid.
Sebagai salah satu aktivitas manusia dalam mengagungkan cinta terhadap
Tuhan-Nya, Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta dengan sendirinya
berperan sebagai media pendidikan guna menanamkan nilai-nilai Tauhid yang
ditujukan khusus bagi para jemaatnya, dan secara umum bagi siapa pun sebagai
penanggapnya. Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta memiliki makna
Ketauhidan yang terkandung di balik perwujudannya sebagai simbol-simbol seni
dalam ekspresi ritual yang indah. Sadar atau tidak sadar, Sema dalam tarekat
Naqsybandi Haqqani Jakarta secara definitif dapat berperan sebagai media
pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai Tauhid karena sesuai dengan ciri-ciri
B. REKOMENDASI
Rekomendasi dalam penelitian ini ditujukan kepada beberapa pihak, di
antaranya adalah:
1. Seniman dan Akademisi Seni
Bagaimanapun juga, baik seni yang bersumber dari domain religiositas
maupun seni yang berasal dari domain lainnya, memiliki misi untuk memuliakan
manusia dengan caranya tersendiri, seperti halnya pendidikan bertujuan untuk
memberdayakan manusia dan memuliakannya.
Maka, ada baiknya apabila dapat memandang dan mengimplementasikan
seni sebagai alat atau media yang mendukung tercapainya tujuan tersebut, bukan
sebaliknya. Melalui hasil penelitian ini juga kiranya dapat menjadi salah satu
bukti kecil terhadap kedudukan seni sebagai alat untuk memuliakan manusia.
2. Para Pelaku Sema dalam Tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta
Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa formulasi konsep estetika
Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta adalah cinta keilahian atau cinta
platonik berbasis Tauhid, sebagai hal langka terutama terhadap kondisi zaman
yang semakin sekuler seperti saat ini. Hendaknya hal tersebut dipahami, dijaga
dan ditularkan kepada generasi-generasi selanjutnya dalam tarekat Naqsybandi
Haqqani Jakarta.
Menjaganya berarti membiarkannya tetap mekar dan menjaga segala
sesuatunya berada dalam koridor Ketuhanan melalui berbagai macam pelatihan
spiritual, di antara hiruk-pikuknya dorongan duniawi yang semakin kuat menerpa,
3. Bagi Peneliti Lainnya
Penelitian yang dilakukan tentu memiliki keterbatasan dan kekurangan di
sana-sini, maka diharapkan bagi peneliti lainnya yang ingin meneliti ihwal Sema
dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta, atau pun kesenian dalam domain Sufi
lainnya, diharapkan dapat melengkapi analisis atau pendekatan penelitiannya
dengan menggunakan pendekatan agama dan psikologi. Sehingga hasil penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Matius. (2011). Estetika, Pengantar Filsafat Seni. Jakarta: Sanggar luxor.
Alwasilah, A. Chaedar. (2009). Pokoknya Kualitatif, Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Arsyad, Azhar. (1996). Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Berger, Asa Arthur. (2005). Tanda-tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer, Suatu Pengantar Semiotika. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Gie, Liang. (1976). Garis Besar Estetik, Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Penerbit Kaya.
Gulen, M. Fethullah. (2007). Jalaluddin Rumi, SEMA. Bandung: Yudhistira Ghalia Indonesia.
Hamka. (1984). Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hoed, Benny H. (2011). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: komunitas Bambu.
Jalaluddin, Rakhmat. et al. (2000). Kuliah-kuliah Tasawuf. Bandung: Pustaka Hidayah.
Koentjaraningrat. (2007). Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Lutfi, Habib Muhammad. et al. (2009). Kiai, Musik dan Kitab Kuning. Depok: Desantara.
Leaman, Oliver. (2005). Menafsirkan Seni dan Keindahan, Estetika Islam. Bandung: Mizan.
Moleong, Lexy J. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Muhaya, Abdul. (2003). Bersufi Melalui Musik, Sebuah pembelaan Musik Sufi Oleh Ahmad al-Ghazali. Yogyakarta: Gama Media.
Muhmidayeli. (2011). Filsafat Pendidikan. Bandung: PT Refika Aditama.
Nasr, Seyyed Hossein. (2010). The Garden of Truth, Mereguk Sari Tasawuf. Bandung: Mizan.
Poesporodjo. (2004). Hermeneutika. Bandung: Cv Pustaka Setia.
Ramayulis. (2010). Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Sadiman, Arief S. (2011). Media Pendidikan, Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Satori, Djam’an dan Komariah, Aan. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, cv.
Schimmel, Annemarie. (2008). Akulah Angin Engkaulah Api, Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi. Bandung: Mizan.
Sumardjo, Jakob. (2000). Filsafat Seni. Bandung: ITB.
Susantina, Sukatmi. (2004). Nada-nada Radikal, Perbincangan para Filsuf Tentang musik. Yogyakarta: Panta Rhei Offset.
Suhrawardi, Syihabuddin Umar. (1998). ‘Awarif al-Ma’aif, Sebuah Buku Daras Klasik Tasawuf. Bandung: Pustaka Hidayah.
Suyanto, Bagong dan Sutinah. (2005). Metode Penelitian Sosial, Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Prenada Media.
Sutrisno, Mudji. et al. (2005). Teks-teks kunci Estetika, Filsafat Seni. Yogyakarta: Galangpress.
Tebba, Sudirman. (2007). Meditasi Sufistik. Banten: Pustaka Irvan.
Sumber Karya Tulis Ilmiah:
Putra, Agung Dwi. (1998). Musik Sebagai Bagian Spiritual dalam Praktik Ritual Sema. Skripsi S1 pada Sekolah tinggi Musik Bandung: tidak diterbitkan.
Sumber Artikel dalam Jurnal:
Munfarida, Elya. (2005). Formulasi konsep Estetika Seni Islam dalam Perspektif Isma’il Raji al-Faruqi. Jurnal Studi Islam dan budaya (IBD’A), Volume (2, Juli-Desember 2005), 11 Halaman.
Mudjianto, Bambang dan Kenda, N. (2010). Metode Fenomenologi Sebagai Salah Satu Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Komunikologi. 31 Halaman.
Sumber Internet:
Delapan Adab-Adab atau Prinsip Naqsybandi Haqqani. [online]. Tersedia: http://naqshbandi.org/topics/behasu_indonesia/principl.htm. Diakses Pada: 27 Mei 2012.
Inti dari Zikir Khatam Khawajagan Naqsybandi Haqqani. [online]. Tersedia: http://www.naqshbandi.org/dhikr/dhikrin.htm#Short%20Khatam.
Diakses Pada: 27 Mei 2012.
Lima Doktrin Naqsybandi Haqqani dari Bayazid Tayfur al-Bisthami. [online]. Tersedia: http://www.naqshbandi.org/about/afirst.htm. Diakses Pada: 27 Mei 2012.
Perubahan Nama Tarekat Naqsybandi Haqqani dari masa ke masa. [online]. Tersedia: http://www.naqshbandi.org/about/titlesof.htm. Diakses Pada: 27 Mei 2012.
Silsilah Rantai Emas Naqsybandi Haqqani. [online]. Tersedia: http://www.naqshbandi.org/chain/names.htm. Diakses pada: 27 Mei 2012. Situs Resmi Naqsybandi Haqqani. [online]. Tersedia: http://www.naqshbandi.org/.
Diakses Pada: 27 Mei 2012.
Situs Resmi Rumi Café. [online]. Tersedia: http://www.caferumijakarta.com/. Diakses Pada: 27 Mei 2012.
Simbol Kostum Sema Tarekat Maulawiyah. [online]. Tersedia: