SOSIAL BERSKALA BESAR DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
TESIS
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum (M.H.)
ENO SAMBOLON P2B119006
UNIVERSITAS JAMBI FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
JAMBI
2021
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia, yang belakangan telah dijamin haknya secara konstitusional. Sesungguhnya jaminan konstitusi terhadap hak atas kesehatan telah ada sejak masa Konstitusi Republik Serikat (RIS) 1949 bahwa “Penguasa senantiasa berusaha dengan sunguh-sungguh memajukan kebersihan umum dan kesehatan rakyat”. Setelah bentuk negara serikat kembali ke bentuk negara kesatuan dan berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS), ketentuan Pasal 40 Konstitusi RIS di adopsi ke dalam Pasal 42 UUDS. Sejalan dengan itu, Konstitusi World Health Organization (WHO) 1948 telah menegaskan pula bahwa “memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah suatu hak asasi bagi setiap orang” (the enjoyment of the highest attainable standard of health is one of the fundamental rights of every human being).1
Istilah yang digunakan bukan “human rights”, tetapi “fundamental rights”, yang kalau diterjemahkan langsung ke Bahasa Indonesia menjadi “Hak hak Dasar”. Kemudian pada tahun 2000, melalui Perubahan Kedua Undang- Undang Dasar 1945, kesehatan ditegaskan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dalam Pasal 28H ayat (1) dinyatakan, bahwa: “Setiap orang berhak
1Toar Palilingan, Aspek Hukum Dalam Penanganan Wabah COVID-19, diakses melalui https://manadopost.jawapos.com-penanganan-wabah-covid-19, tanggal akses 20 September 2020.
1
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Masuknya ketentuan tersebut ke dalam Undang-Undang Dasar 1945, menggambarkan perubahan paradigma yang luar biasa. Kesehatan dipandang tidak lagi sekedar urusan pribadi yang terkait dengan nasib atau karunia Tuhan yang tidak ada hubungannya dengan tanggung jawab negara, melainkan suatu hak hukum (legal rights) yang tentunya dijamin oleh negara.2
Untuk menindaklanjuti antisipasi kedaruratan penyakit zoonosis, selain telah ada serangkaian regulasi yang mengatur upaya perlindungan dan pencegahan penyakit menular yaitu:
1) Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273);
3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);
4) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
5) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6236);
6) Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Kedaruratan Bencana pada Kondisi Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 34)
Menindaklanjuti mewabahnya Covid 19, sebagai peraturan pelaksana peraturan perundang-undangan di atas, Pemerintah mengeluarkan 3 (tiga) produk hukum yang berkenaan sebagai respon terhadap upaya
2Ibid.
penanggulangan wabah Covid-19: (1) Keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Darurat Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19); (2) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), dan; (3) Undang- undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Regulasi yang telah diterbitkan ditindaklanjuti dengan adanya kebijakan yang cukup masif yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah, salah satunya kebijakan lockdown yang diterapkan oleh Kota di Papua, Kota Tegal, Kota Solo, dan wilayah desa lainnya. Sedangkan pemerintah pusat hanya menghimbau masyarakat untuk melakukan “social distancing.”3
Menurut Steven Goundor, selaku dokter Spesialis penyakit menular mengungkapkan bahwa: “social distancing merupakan himbauan yang menginstruksikan kepada masyarakat untuk menghindari diri dari adanya kerumunan”. 4 Namun, kini istilah social distancing diganti dengan istilah physical distancing dikarenakan adanya pertimbangan tafsiran yang
3Ibid.
4Dipna Videlia Putsanra, “Apa Itu Social Distancing dan Karantina Diri untuk Cegah Corona”, diakses dari https://tirto.id/apa-itu-social-distancing-dan-karantina-diri-untuk-cegah- corona-eFr9 pada 22 September 2020.
kurang tepat dengan istilah social distancing. Sedangkan, istilah lockdown merupakan pengawasan ketat di seluruh wilayah negara.5
Dalam mekanisme pelaksanaan lockdown biasanya terdapat instruksi secara tegas yang mengahruskan seluruh masyarakat untuk tetap dirumahnya masing-masing. Kebijakan tersebut diterapkan Perancis, malahan jika ada warga yang terpaksa harus meninggalkan rumahnya, mereka harus membuat surat pernyataan yang menegaskan alasan mereka. Bahkan, Italia menerapkan sanksi berupa tiga bulan penjara atau denda sebesar 206 euro atau sekitar 3,5 juta rupiah, sebagai akibat hukum dari adanya lockdown. 6Begitupun dalam pelaksanaan lockdown terdapat instruksi penutupuan fasilitas umum, seperti di Italia, Prancis, Spanyol. Selain itu, guna mendukung pelaksanaan lockdown maka seharusnya kebutuhan dasar seluruh penduduk negara ditanggung oleh Pemerintah.7
Dalam paradigma hukum di Indonesia, social distancing maupun lockdown memiliki landasan hukum berupa Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Kekarantinaan Kesehatan menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 merupakan upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang
5Kompas, “WHO Gunakan Istilah Physical Distancing, Ini Bedanya dengan Social Distancing”, diakses melalui https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/01/061500965/who- gunakan-istilah-physical-distancing-ini-bedanya-dengan-social pada tanggal 22 September 2020.
6Dany Garitjo, dan Ruhaeni Intan, Update, “4 Hukuman bagi Pelanggar Lockdown, dari Denda sampai Penjara”, diakses melalui https://www.suara.com/news/2020/03/22/162039/4- hukuman-bagi-pelanggar-lockdown-dari-denda-sampai-penjara pada tangga; 21 September 2020.
7CNN Indonesia, “Membedah Kebijakan Lockdown di Negara Lain Hadapi Corona”, diaksesmelalui https://www.cnnindonesia.om/internasional/20200318143711-134-484541
/membedah-kebijakan-lockdown-di-negara-lain-hadapi-corona/2 pada tanggal 21 September 2020
berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Pemberlakuan social distancing maupun lockdown sebenarnya merupakan upaya dari adanya Kedaruratan Kesehatan. Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.8 Dalam Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2018 respon dari keadaan darurat kesehatan diantaranya Karantina rumah, Karantina rumah sakit, Karantina Wilayah dan yang kini digagas oleh Presiden adalah Pembatasan sosial berskala besar.
Jika meninjau kepada ketentuan umum dari masing-masing penyelenggaraan dari Kedaruratan Kesehatan, pun disertai dengan peninjauan terhadap beberapa pasal di dalamnya, seperti pada Pasal 15 ayat (2) tersurat bahwa Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan salah satu bentuk tindakan dalam menjalani Karantina Kesehatan. Dalam ketentuan umum, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) merupakan pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Jika meninjau lebih jauh definisi PSBB yang tertuang dalam ketentuan umum memiliki prinsip yang hampir
8Ibid.
sama dengan Physical Distancing, yakni adanya pembatasan kegiatan masyarakat.
Sedangkan, Karantina Wilayah dalam ketentuan umum merupakan pembatasan penduduk dalam suatu wilayah, termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya, yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Pintu Masuk yang dimaksud disini memiliki arti sebagai tempat masuk dan keluarnya segala jenis kendaraan, orang, dan/atau barang, baik berbentuk pelabuhan, bandar udara, maupun pos lintas batas darat negara.
Mekanisme mengenai Karantina Wilayah diatur pada Pasal 54 dan Pasal 55 dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018.
Pasal 54 dijelaskan mengenai mekanisme Karantina Wilayah dalam ayat:
(2) perlunya pemberian garis pada wilayah yang dikarantina, serta wilayah tersebut harus terus dijaga oleh pejabat karantina kesehatan dan pihak kepolisian
(3) anggota masyarakat yang dikarantina tidak diperbolehkan untuk keluar masuk wilayah yang sedang karantina.
Pasal 55 dijelaskan bahwa adanya kewajiban yang harus ditanggung oleh pemerintah guna mendukung pelaksanaan Karantina Wilayah dalam ayat:
(1) kebutuhan hidup dasar selama masa Karantina Wilayah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Kebutuhan hidup dasar tersebut mencakup kebutuhan hidup dasar seseorang dan makanan hewan ternak yang berada dalam wilayah karantina.
(2) tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Wilayah pada ayat (1) dapat melibatkan Pemerintah Daerah.
Berdasarkan mekanisme penyelenggaraan Karantina Wilayah sesuai Pasal 54 dan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 dapat dikemukakan bahwa Karantina Wilayah merupakan nama lain dari kebijakan lockdown.
Bila melihat sejarah perkembangan hak asasi manusia, masalah pelanggaran HAM telah berlangsung sejak dahulunya. Berbagai bentuk kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada umumnya terdiri dari: Pelanggaran Hak- hak Sipil dan Politik, Pelanggaran Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan juga Pelanggaran HAM yang Berat9. Ketiga bentuk pelanggaran HAM ini juga terjadi di Indonesia.
Pelanggaran hak-hak sipil dan politik merupakan pelanggaran yang dilakukan baik oleh individu, kelompok, maupun negara (pelaku) atas hak-hak negatif (negative rights). Hak-hak negatif yang dilanggar meliputi : hak untuk berpikir, hak untuk bebas bergerak, hak berpendapat, dan sebagainya.
Pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan pengabaian atas hak-hak positif (positive rights) yang dimiliki individu maupun kelompok individu manusia. Hak-hak positif yang dimaksud antara lain : hak untuk mendapatkan pekerjaan, hak atas penghidupan yang layak, hak atas pendidikan terutama bagi anak-anak, dan sebagainya10.
Pelanggaran HAM yang berat merupakan pelanggaran terhadap hak- hak manusia yang fundamental (fundamental human rights). Hak-hak fundamental tersebut pada awalnya bersumber pada hak-ahak alamiah (natural
9 Suryadi Radjab,dkk, Pelanggaran HAM dan Kejahatan, PBHI Bekerja Sama Dengan Asia Foundation, Jakarta, 2002.
108Ibid, hlm 15.
rights), yaitu hak-hak yang melekat secara alamiah pada setiap manusia. Hak- hak tersebut meliputi : hak untuk hidup, hak atas keutuhan pribadi, hak untuk tidak diperbudak, dan sebagainya11.
Sejarah bangsa Indonesia mencatat hingga kini telah banyak terjadi berbagai kasus pelanggaran HAM. Beberapa bentuk pelanggaran HAM terhadap anak yang terjadi di Indonesia antara lain: Kasus penganiayaan dan pelecahan seksual terhadap Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA), seperti kasus yang dialami oleh Jumiah (15 tahun) di Jawa Timur dan Dian (15 tahun) di Medan pada tahun 2005. Kedua anak tersebut dirampas hak-haknya dengan tidak diberi makan dan gajinya yang tidak dibayar, dianiaya dan diperkosa oleh majikannya. Bahkan jumiah akhirnya meninggal dunia akibat perlakuan buruk majikannya. Contoh lainnya yaitu kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadapa anak dibawah umur, seperti kasus yang dialami oleh Dasning (14 tahun) di Bali tahun 2005, yang sering mendapat perlakuan kasar dari Bapaknya, terutama dalam bentuk penganiayaan fisik12.
Ditinjau secara integral pada hakekatnya kejahatan-kejahatan dan pelanggaran HAM menimbulkan ketidakharmonisan interaksi sosial dan menghilangkan sense of solidarity. Tidak terkecuali masalah pelanggaran HAM terhadap anak yang berkembang cukup pesat dewasa ini. Hal ini menjadi fenomena tersendiri bagi manusia sampai sekarang.
Berkaitan dengan penanganan Covid 19 dengan penegakan hukum hak asasi manusia dapat dikemukakan bahwa dalam konteks ini, seolah
11 Ibid, hlm 19.
12 Buletin”Wacana HAM”, edisi 7,10, dan 12, 2005.
menunjukkan adanya kesan, upaya mempertentangkan antara ekonomi dengan hak atas kesehatan dan hak hidup yang merupakan hak asasi manusia sebagai dampak Covid-19. Bahkan ada yang menghadap-hadapkan secara diametral, bahwa harus dipilih salah satu, apakah penyelamatan ekonomi atau penyelamatan kesehatan. Argumentasinya, apabila yang diselamatkan ekonomi, maka sangat mungkin penularan Covid-19 menyebar secara luas, namun krisis ekonomi dapat dicegah, sehingga ada anggapan kerugian yang diakibatkan hanya kecil yaitu orang-orang yang tidak kuat daya tahan tubuhnya saja yang akan terdampak (dengan kemungkinan paling fatal meninggal dunia).
Sementara, apabila yang diselamatkan adalah kesehatan, maka mungkin banyak kesehatan dan nyawa terjaga, namun sangat mungkin terjadi krisis ekonomi yang berakibat pada kerugian yang lebih banyak dan bahkan dapat menimbulkan kelaparan, kerusuhan dan gangguan keamanan. Sebaliknya, ada juga pandangan yang mengatakan penyelamatan ekonomi akan percuma tanpa penyelamatan kesehatan terlebih dahulu. Presiden Ghana dalam salah satu pidatonya menyebut, ekonomi dapat dipulihkan, namun nyawa tidak dapat dikembalikan. Upaya mempertentangkan atau mendikotomikan antara ekonomi dan hak asasi manusia (hak kesehatan dan hak hidup) ini yang hendak dianalisis dalam artikel ini.
Berdasarkan persoalan tersebut, dua pertanyaan yang hendak dikaji, pertama, tepatkah dikotomi ekonomi vs hak asasi manusia dalam penanganan Covid-19? Kedua, bagaimana harmonisasi kebijakan kesehatan dan kebijakan
ekonomi sebagai upaya pemenuhan hak asasi manusia dalam penanganan Covid-19?
Selain itu, instrumen hukum yang diterbitkan seiring diterapkannya PSBB masih belum menjadi titik terang akan segala hal yang timbul dari keadaan yang dialami masyarakat saat ini. Seperti kebijakan lain terkait dengan pelaksaan operasional PSBB oleh berbagai kalangan dan hak-hak masyarakat selama PSBB belum tercantum di dalam instrumen hukum tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini menjadi sebuah tesis yang berjudul “Analisis Hukum Kewenangan Pemerintah Pusat Terhadap Penetapan Karantina Wilayah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis dalam hal ini menetapkan perumusan masalah yang timbul dan dibahas dalam tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan hukum kewenangan pemerintah pusat terhadap penetapan karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar?
2. Bagaimana kewenangan pemerintah pusat terhadap penetapan karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar dalam perspektif hak asasi manusia ke masa yang akan datang?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini antara lain:
a. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan hukum pemerintah pusat terhadap penetapan karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana pemerintah pusat dalam penetapan karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar berdasarkan perspektif hak asasi manusia ke masa yang akan datang.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:
a. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis maupun pembaca berkenaan dengan kewenangan pemerintah pusat terhadap penetapan karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar.
b. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran kepada pemerintahan dan pihak-pihak yang berkepentingan tentang kewenangan pemerintah pusat terhadap penetapan karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar dalam perspektif hak asasi manusia ke masa yang akan datang.
D. Kerangka Konseptual
Untuk memberikan gambaran dan mengetahui tentang maksud penulisan tesis ini serta mempermudah pembahasan tesis ini, maka terlebih dahulu penulis akan menguraikan secara singkat apa arti dari beberapa kata judul ini, yaitu:
1. Kewenangan
S.F. Marbun dalam bukunya R.Wiyono mengemukakan, bahwa:
Menurut hukum administrasi, pengertian “kewenangan” (authority, gezag) adalah kekuasaan yang diformalkan, baik terhadap suatu bidang pemerintah tertentu yang berasal dari kekuasaan legislative atau dari kekuasaan pemerintah, sedangkan pengertian “wewenang”
(competence, bevoegdheid), hanyalah mengenai onderdil tertentu atau bidang tertentu saja. Dengan demikian wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan hukum tertentu.13
2. Karantina wilayah
Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan di Indonesia menjelaskan bahwa Karantina Wilayah dalam ketentuan umum merupakan pembatasan penduduk dalam suatu wilayah, termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya, yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Pintu Masuk disini memiliki arti sebagai tempat masuk dan keluarnya segala jenis kendaraan, orang, dan/atau barang, baik berbentuk pelabuhan, bandar udara, maupun pos lintas batas darat negara.
3. Pembatasan sosial berskala besar
Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan di Indonesia menjelaskan bahwa Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan salah satu bentuk tindakan menjalani Karantina Kesehatan. Dalam ketentuan umum, Pembatasan Sosial
13 R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 64.
Berskala Besar (PSBB) merupakan pembatasan kegiatan tertentu dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Jika meninjau lebih jauh definisi PSBB yang tertuang dalam ketentuan umum memiliki prinsip yang hampir sama dengan Physical Distancing, yakni adanya pembatasan kegiatan masyarakat.
4. Hak Asasi Manusia
Menurut Bahder Johan Nasution, yang mengemukakan:
Hak asasi manusia sering dipahami sebagai hak kodrati yang dibawa oleh manusia sejak manusia lahir ke dunia. Pemahaman terhadap hak asasi yang demikian ini merupakan pemahaman yang sangat umum dengan tanpa mempersoalkan asal-usul atau sumber diperolehnya hak tersebut.14
Jadi, berdasarkan pengertian di atas, penulisan ini dimaksudkan untuk membahas kewenangan pemerintah pusat terhadap penetapan karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar dalam perspektif hak asasi manusia.
E. Landasan Teoretis 1. Teori Kewenangan
a. Pengertian Kewenangan
Kewenangan berasal dari kata dasar “wewenang” yang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk memaksakan kehendak.
14 Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, 2011, hal. 129.
Selanjutnya fokus kajian teori kewenangan menurut Salim HS dan Erlies S.N menyebutkan bahwa: “Fokus kajian teori kewenangan adalah berkaitan dengan sumber-sumber kewenangan dari pemerintah dalam melakukan perbuatan hukum, baik dalam hubungannya dengan hukum publik maupun dalam hubungannya dengan hukum privat”.15
Dalam hukum, wewenang sekaligus hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (selfregelen) dan mengelola sendiri (self besturen). Sedangkan, kewajiban mempunyai dua pengertian, yakni horizontal dan vertical. Secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintah sebagaimana mestinya. Wewenang dalam pengertian vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib ikatan pemerintah negara secara keseluruhan.16
Berbeda dengan pendapat S.F. Marbun dalam bukunya R.Wiyono:
Menurut hukum administrasi, pengertian “kewenangan”
(authority, gezag) adalah kekuasaan yang diformalkan, baik terhadap suatu bidang pemerintah tertentu yang berasal dari kekuasaan legislative atau dari kekuasaan pemerintah, sedangkan pengertian “wewenang” (competence, bevoegdheid), hanyalah mengenai onderdil tertentu atau bidang tertentu saja. Dengan demikian wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan hukum tertentu.17
Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Begitu pentingnya kedudukan kewenangan ini, sehingga F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek menyebutnya
15 Salim HS dan Erlies SN, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Cetakan ke -1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 193.
16 Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan Daerah, Edisi revisi, STAIN Press, Purwokerto, 2010, hlm.79.
17 R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 64.
sebagai konsep inti dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, “Het begrip bevoegheid is dan ook een kernbegrip in het staats-en administratief recht”. Kewenangan yang ada di dalamnya terkandung hak dan kewajiban, menurut P. Nicolai adalah sebagai berikut:
Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu (yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbukan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum). Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.18
Sumber dan cara memperoleh wewenang pemerintah bersumber dari undang-undang dasar dan undang-undang. Secara teoritis kewenangan yang bersumber dari peraturan perundangan-undangan tersebut di peroleh melalui 3 (tiga) cara yaitu Atribusi (Attributie), Delegasi (Delegatie), dan Mandat (Mandaat).
Mengenai atribusi, delegasi, dan mandat ini H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut:
1. Atribusi
Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan.
2. Delegasi
Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
3. Mandat
Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.19
Indroharto mengemukakan bahwa
18 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm. 99.
19 Ibid., hlm. 102.
Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu ketentuan dalam perundang-undangan baik yang diadakan oleh original legislator maupun delegated legislator. Dalam Kajian Hukum Administrasi Negara (HAN), mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang organ pemerintahan ini penting karena berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum dalam penggunaan wewenang tersebut, seiring dengan salah satu prinsip dalam negara hukum. Setiap pemberian kewenangan kepada pejabat pemerintahan tertentu, tersirat di dalamnya pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan.20
2. Jenis Kewenangan
Kewenangan dapat dibedakan menurut sumbernya, kepentingannnya, teritoria, ruang lingkupnya, dan menurut urusan pemerintahan.
Berdasarkan sumbernya wewenang dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Wewenang personal, yaitu wewenang yang bersumber pada intelegensi, pengalaman, nilai atau norma, dan kesanggupan untuk memimpin;
b. Wewenang ofisial, yaitu wewenang resmi yang diterima dari wewenang yang berada di atasnya.
Menurut Max Weber dalam Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, membagi kewenangan menjadi empat macam, yang meliputi:
a. wewenang kharismatis, tradisional dan rasional (legal);
b. wewenang resmi dan tidak resmi c. wewenang pribadi dan teritorial; dan d. wewenang terbatas dan menyeluruh.21
20 Ibid, hlm. 105.
21 Salim HS dan Erlies Septiana, Op. Cit., hlm.187.
2. Teori Pembatasan Hak Asasi Manusia
Rujukan yang melatarbelakangi perumusan Bab XA (Hak Asasi Manusia) UUD 1945 adalah Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Hal ini dikemukakan oleh Lukman Hakim Saefuddin dan Patrialis Akbar, mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR (PAH I BP MPR) yang bertugas menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945, pada persidangan resmi di Mahkamah Konstitusi bertanggal 23 Mei 2007.
Ketetapan MPR tersebut kemudian melahirkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semangat keduanya, baik itu Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 maupun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah sama yakni menganut pendirian bahwa hak asasi manusia bukan tanpa batas. Dikatakan pula bahwa semangat yang sama juga terdapat dalam pengaturan tentang hak asasi dalam UUD 1945, yaitu bahwa hak asasi manusia bukanlah sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang. Semangat inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945.
Pembatasan sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J itu mencakup sejak Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945. Oleh karenanya, hal yang perlu ditekankan di sini bahwa hak-hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.22
22 Pan Muhammad Faiz, Pembatasan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Embrio Dan Perkembangan Pembatasan Ham Di Indonesia, diakses melalui https://panmohamadfaiz.com, tanggal akses 11 Januari 2021.
Jika menarik dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, bahwa seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007, maka secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.
Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 ini sejalan pula dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.”
3. Teori Kemanfaatan Hukum
Teori Kemanfaatan (Utilitarianisme Theory) Grand Theory lain yang digunakan adalah Utilitarianisme Theory (teori kemanfaatan) yang diprakarsai oleh Jeremy Bentham (1748-1832)121, (penganut paham positivisme/ legisme dan utilitis)122. Menurutnya hukum adalah perintah penguasa, jadi hukum hanya ada dalam peraturan tertulis yang dibuat oleh para penguasa negara. Tidak ada hukum lain di luar hukum dari penguasa negara tersebut. Ia mengemukakan bahwa dalam pembentukan undang-undang harus dipikirkan bahwa undang-undang itu, ditujukan dengan perwujudan keadilan dan kepentingan bagi setiap individu tanpa pengecualian yang bersifat diskriminatif.
Ia mendefinisikan utility sebagai sifat dalam sembarang benda yang dengannya benda tersebut cenderung menghasilkan kesenangan, kebaikan atau kebahagiaan atau untuk mencegah terjadinya kerusakan, penderitaan atau kejahatan serta ketidakbahagiaan bagi pihak yang kepentingannya dipertimbangkan. Arti Utilitis menyatakan, bahwa tujuan hukum tidak lain adalah bagaimana memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi mayoritas masyarakat. Bagi aliran ini kehadiran hukum adalah untuk memberikan manfaat kepada manusia sebanyak-banyaknya.23
23Achmad Ali, (a), Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis), PT. Toko Gunung Agung, Jakarta, 2002, hlm.267
Teori Jeremy Bentham ini lahir dari karyanya yang berjudul Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Melalui bukunya itu Bentham mengajarkan bahwa diadakannya Negara dan hukum semata-mata hanya demi manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat.
Kala itu ia tidak puas dengan Undang-Undang Dasar Inggris, lalu mendesak agar diadakan perubahan dan perbaikan berdasarkan suatu ide yang revolusioner. Menurut pandangannya, alam telah menempatkan umat manusia di bawah pemerintahan 2 (dua) penguasa, yakni suka dan duka.
Menurut Bentham, alam telah menempatkan manusia di bawah pengaturan dua ”penguasa” yang berdaulat (two sovereign masters), yaitu ”penderitaan” (pain) dan ”kegembiraan” (pleasure).24 Keduanya menunjukkan apa yang dilakukan dan menentukan apa yang harus/
mesti dilakukan. Fakta menyatakan bahwa manusia menginginkan kesenangan dan berharap untuk menghindari penderitaan, digunakan oleh Bentham untuk membuat keputusan bahwa manusia harus mengejar kesenangan. Adanya negara dan hukum, semata-mata hanya demi manfaat sejati yakni kebahagiaan mayoritas rakyat, harus dapat mengakomodir semua pihak sehingga dapat memberikan rasa aman, nyaman.
24 Ibid Hal 23
Sesuai dengan prinsip tersebut di atas, saya sangat tertarik membaca pernyataan yang menyatakan bahwa: keadilan memang salah satu nilai utama, tetapi tetap di samping yang lain-lain, seperti kemanfaatan. Jadi dalam penegakan hukum, perbandingan antara manfaat dengan pengorbanan harus proporsional.
F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif yang merupakan penelitian khas ilmu hukum, yakni:
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian ini adalah yuridis normatif dalam tesis ini akan meneliti, yakni dalam hal:
a. Substansi hukum kewenangan pemerintah pusat terhadap penetapan karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar apakah menimbulkan disharmoni regulasi peraturan perundang-undangan di Indonesia
b. Mengkaji kewenangan pemerintah pusat terhadap penetapan karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar dalam perspektif hak asasi manusia di masa yang akan dating apakah sudah dikemukakan secara jelas dan tegas agar tidak menimbulkan makna yang ambigu dalam penerapannya.
2. Pendekatan Penelitian
Bahder Johan Nasution mengemukakan, bahwa:
Dalam pendekatan ilmu hukum normatif banyak pendekatan yang dapat digunakan baik secara terpisah-pisah berdiri sendiri maupun
secara kolektif sesuai dengan isu atau permasalahan yang dibahas.
Pendekatan tersebut antara lain:
a) Pendekatan undang-undang atau statuta aproach dan sebagian ilmuwan hukum menyebutnya dengan pendekatan yuridis, yaitu penelitian terhadap produk-produk hukum.
b) Pendekatan historis, yaitu penelitian atau pengkajian terhadap perkembangan produk-produk hukum berdasarkan urutan- urutan periodesasi atau kenyataan sejarah yang melatar belakanginya.
c) Pendekatan konseptual, yaitu penelitian terhadap konsep- konsep hukum seperti: sumber hukum, fungsi hukum, lembaga hukum dan sebagainya. Konsep hukum ini berada pada tiga ranah atau tataran sesuai tingkatan ilmu hukum itu sendiri yaitu: tataran ilmu hukum dogmatik konsep hukumnya teknis yuridis, tataran teori hukum konsep hukumnya konsep umum, tataran filsafat hukum konsep hukumnya konsep dasar.
d) Pendekatan komparatif, yaitu penelitian tentang perbandingan hukum baik mengenai perbandingan sistem hukum antar negara, maupun perbandingan produk hukum dan karakter hukum antar waktu dalam suatu negara.
e) Pendekatan politis, yaitu penelitian terhadap pertimbangan- pertimbangan atau kebijakan elite politik dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan dan penegakan berbagai produk hukum.
f) Pendekatan kefilsafatan, yaitu pendekatan mengenai bidang- bidang yang menyangkut dengan obyek kajian filsafat hukum yang meliputi:
a) Ontologi hukum, yaitu mengkaji hakekat hukum seperti hakekat demokrasi, hubungan hukum dengan moral, dan sebagainya.
b) Aksiologi hukum, yaitu mempelajari isi dari nilai seperti nilai kebenaran, nilai keadilan, nilai kebebasan dan sebagainya.
c) Epistemologi hukum, yaitu cara mendapatkan pengetahuan yang benar tentang ilmu hukum.
d) Teleologi hukum, yaitu menentukan isi dan tujuan hukum.
e) Ideologi hukum, yaitu pemahaman secara menyeluruh tentang manusia dan masyarakat.
f) Logika hukum, yaitu mempelajari kaidah-kaidah berpikir secara umum dan argumentasi hukum.
g) Keilmuan hukum, yaitu merupakan meta teori bagi hukum.25
25 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm. 92-93.
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) Pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan Historis (Historical approach), dalam hal ini istilah Perundang-undangan adalah merupakan hal yang di mengerti, dalam kerangka Perundang-undangan diungkapkan beberapa konsep yang perlu penulis jelaskan dalam penulisan tesis ini, yakni kewenangan pemerintah pusat, karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar, hak asasi manusia.
3. Pengumpulan Bahan Hukum.
Jenis bahan-bahan hukum yang penulis gunakan dalam penulisan tesis ini yakni:
a. Bahan Hukum Primer, terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang dibahas, yaitu:
1). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
4) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19),
5) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan
Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
6) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Darurat Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu:
1). Buku-Buku Kalangan Hukum.
2). Jurnal dan Makalah Hukum.
c. Bahan Hukum Tertier, yakni bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu meliputi Black,s Law Dictionary dan Kamus Hukum.
4. Analisis Bahan Hukum.
Dalam hal ini analisis bahan hukum yang penulis gunakan terhadap penulisan tesis ini agar lebih sempurna adalah dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
a. Menginventarisasi semua bahan hukum sesuai masalah yang dibahas.
b. Melakukan sistematisasi bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
c. Menginterprestasikan semua peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dan menilai bahan-bahan hukum yang relevan.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dari pembahasan tesis ini, maka perlu kiranya disusun secara sistematis. Adapun sistematika yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini adalah terdiri dari 5 (lima) bab yang secara garis besarnya diuraikan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang latar belakang masalah yang merupakan titik tolak bagi penulis dalam penulisan tesis ini, selain itu bab ini juga menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka konseptual, landasan teoretis, metode penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan.
BAB II KEWENANGAN DAN HAK ASASI MANUSIA
Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang pengertian kewenangan, tinjauan tentang hak asasi manusia.
BAB III SUBSTANSI HUKUM KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT TERHADAP PENETAPAN KARANTINA WILAYAH DAN PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA BESAR
Merupakan pembahasan mengenai substansi hukum kewenangan pemerintah pusat terhadap penetapan karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar. Bab ini merupakan pembahasan yang khusus mengkaji permasalahan pertama yang terdapat pada bab
pertama dengan menggunakan teori-teori yang ada pada bab kedua guna mendapatkan atau memperoleh kesimpulan pada bab kelima.
BAB IV ANALISIS HUKUM KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT TERHADAP PENETAPAN KARANTINA WILAYAH DAN PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA BESAR DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA PADA MASA YANG AKAN DATANG
Bab ini merupakan pembahasan yang khusus mengkaji permasalahan-permasalahan yang terdapat pada bab pertama sub perumusan masalah kedua dengan menggunakan teori-teori yang ada pada bab kedua. Bab ketiga pembahasan mengenai implikasi hukum terhadap kewenangan pemerintah pusat terhadap penetapan karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar.
BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan ringkasan dari seluruh uraian sebelumnya yang dimuat dalam beberapa kesimpulan dan diakhiri dengan saran yang diharapkan dapat bermanfaat.