TUGAS MAKALAH
PENGERTIAN GRASI, AMNESTI, DAN ABOLISI
Dosen Pengampu :
Dr. Rehnalemken Ginting, S.H., M.H.
Disusun Oleh:
Gusti Faza Aliya (E0020211)
Mei Rezky Kurnia Putra (E0020284)
Ratilil Insani Putri (E0020371)
Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
2022
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara Hukum Suatu negara yang menganut sistem pemerintahan berdasarkan hukum, maka hukumlah yang mempunyai supremasi hukum sehingga dalam setiap gerak tindakan pola penguasa serta warga negaranya, baik secara individu maupun secara bersama harus mendapatkan legalisasi hukum. Karena prinsip legalisasi hukum ini adalah merupakan syarat yang hakiki untuk adanya tertib hukum dalam negara. Sehingga secara otomatis dalam negara hukum seperti Indonesia, legalitas harus benar-benar ada dalam setiap tindakan dari alat perlengkapan Negara.
Dalam konstitusi ditegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum (rechtssaat), bukan Negara kekuasaan (maachtssaat). Dalam paham Negara hukum, hukumlah yang memegang komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara.Yang sesungguhnya memimpin dalam penyelenggaraan Negara adalah hukum itu sendiri sesuai dengan prinsip the rule of law, and not of man, yang sejalan dengan pengertian nomocratie, yaitu kekuasaan dijalankan oleh hukum. The rule of law dalam arti materiil bertujuan untuk melindungi warga masyarakat terhadap tindakan yang sewenang-wenang dari penguasa sehingga memungkinkan manusia untuk mendapatkan martabatnya sebagai manusia. Oleh karena itu, inti dari the rule of law dalam arti materiil adalah adanya jaminan bagi warga masyarakat untuk memperoleh keadilan sosial, yaitu suatu keadaan yang dirasakan oleh warga masyarakat penghargaan yang wajar dari golongan lain; sedangkan setiap golongan tidak merasa dirugikan oleh kegiatan golongan lainnya.
Pasal 28D UUD NRI 1945 menyatakan jika tiap manusia berhak diakui, diberikan jaminan, dilindungi dan mendapat kepastian setara juga perilaku di muka hukumnya.
Implementasi di Pasal 28D UUD NRI 1945 tersebut memberi kemungkinan tiap manusia, tak terkecuali para pelaku pidana guna dapat memperoleh tindakan yang adil, baik, dan memperoleh kepastian hukum saat menjalankan proses hukuman yang telah ditempuh.
Mereka mempunyai hak-hak asasinya secara khusus, dan apabila sudah berstatus sebagai terdakwa atau terpidana maka orang tersebut masih memiliki hak-hak sebagaimana aturan yang sudah ada. Orang-orang yang ada sangkut paut dengan sebuah perkara hukum mempunyai hak untuk memproses langkah mencari pembenaran materiil KUHAP yang sudah
memberi aturan perihal wewenang seorang baik kedudukannya yang berstatus tersangka ataupun berstatus terdakwa/terpidana. Hak guna melakukan pembelaan, hak guna segera diperiksa, hak guna memperoleh perbantuan hukum merupakan berbagai wewenang disebutkan di dalam KUHAP.
Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial, dimana presiden memiliki hak hak prerogatif dan memiliki otoritas yang besar dalam pemerintahan. Hak prerogatif secara teoritis dapat diartikan sebagai hak istimewa yang dimiliki lembaga-lembaga tertentu serta bersifat mandiri dan mutlak. Salah satu hak prerogatif yang dimiliki presiden yaitu dalam bidang yudisial. Yang dimana hak ini berkaitan dengan pemberian peringanan pemidanaan berupa grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Pemberian GAAR ini tidak semata-mata diberikan oleh Presiden sebagai Kepala Negara, melainkan dibutuhkan pertimbangan dari anggota DPR maupun MA.
Istilah grasi, amnesti, dan abolisi yang merupakan hak prerogatif Presiden dan juga diatur dalam Pasal 14 UUD NRI 1945 yang menyatakan: “(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung; (2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Kemudian menjadi suatu hal yang menarik untuk dikaji terhadap hak prerogatif presiden ini sebagai suatu pandangan kontekstual yang menghasilkan suatu preskriptif baru sehingga perlu untuk dipahami dasar-dasar mengenai pemberian grasi, amnesti, dan abolisi sebelum menelaah lebih dalam penerapannya dalam hukum positif.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana prosedur pelaksanaan grasi menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 ?
2. Apa pengertian dari Amnesti ? 3. Apa pengertian dari Abolisi?
BAB II PEMBAHASAN
1. Prosedur Grasi dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002
Dalam pengertian secara umum, grasi merupakan suatu pernyataan dari kepala negara yang meniadakan sebagian atau seluruh akibat hukum dari suatu tindak pidana.
Grasi dipandang sebagai hak prerogatif yang hanya dimiliki oleh kepala negara.
Dalam arti sempit, grasi merupakan peniadaan dari pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim bagi seorang terpidana yang telah memiliki suatu kekuatan hukum yang tetap.
Bentuk grasi bukan hanya berupa peniadaan hukuman pidana yang telah diputuskan hakim melainkan dapat berupa;
1. Perubahan dari jenis pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim bagi seorang terpidana, misal perubahan dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup atau menjadi pidana penjara selama-lama nya 20 tahun
2. Pengurangan dari lamanya pidana penjara, pidana tutupan, pidana kurungan atau pidana kurungan sebagai ganti denda atau karena tidak dapat menyerahkan sesuatu benda yang telah dinyatakan sebagai barang sita untuk kepentingan negara seperti yang telah diputuskan oleh hakim
3. Pengurangan dari besarnya uang denda seperti yang telah dijatuhkan putusannya oleh hakim bagi terpidana
Undang-Undang yang mengatur grasi pada saat ini adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, menggantikan keberadaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 yang dibentuk pada masa Republik Indonesia Serikat. Alasan bergantinya UU Nomor 3 Tahun 1950 dengan UU Nomor 2 Tahun 2002 adalah tidak sesuainya sistem ketatanegaraan Indonesia yang berlaku pada saat ini dengan masa Republik Indonesia Serikat. Yaitu berdasarkan Pasal 14 ayat (1) UUD NRI 1945, Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung dan bertujuan menyesuaikan pengaturan pengaturan mengenai grasi dengan substansinya sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum yang berlaku di masyarakat.
Pemberian grasi hanya dapat dilakukan oleh kepala negara yang dibantu pertimbangannya oleh Mahkamah Agung. Grasi oleh Presiden pada dasarnya adalah bukan suatu tindakan hukum, melainkan suatu tindakan non hukum berdasarkan hak prerogatif seorang Kepala Negara. Dengan demikian Grasi bersifat pengampunan
berupa mengurangi pidana (starfverminderend) atau memperingan pidana atau penghapusan pelaksanaan pidana yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Bisa juga Grasi itu ditolak oleh Presiden. Hal-hal yang melatarbelakangi presiden untuk memberikan grasi kepada terpidana adalah seandainya terdapat kekuranglayakan dalam penerapan hukum, maka pemberian grasi dalam hal ini adalah untuk memperbaiki penerapan hukum. Apabila dipandang bahwa terpidana dibutuhkan oleh negara atau terdapat penyesalan yang mendalam di dalam dirinya, maka dalam hal ini grasi diberikan atas kepentingan negara. Yang berhak mendapatkan grasi adalah terpidana, yang dimaksud terpidana dalam Undang-Undang grasi adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh hukum tetap.
Pada putusan yang telah memiliki kekuatan hukum, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi secara individu terhadap presiden, tetapi dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 grasi dapat diajukan oleh terpidana atau kuasa hukumnya, keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana dan dalam hal terpidana dijatuhi hukuman pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan dari terpidana. Pengertian keluarga yang dapat mengajukan permohonan grasi diatur secara tegas dan terbatas yaitu hanya istri, suami, anak kandung, orang tua kandung, atau saudara kandung terpidana.
Jenis putusan yang dapat diajukan permohonan grasi adalah pidana mati, pidana seumur hidup, dan penjara paling rendah 2 tahun. Apabila terpidana tidak menghadiri sidang putusan hakim maka, panitera berkewajiban untuk memberitahukan secara tertulis kepada terpidana untuk mengajukan permohonan grasi, hal ini juga berlaku pada putusan tingkat banding dan kasasi. Permohonan grasi hanya bisa diajukan satu kali kecuali dalam hal antara lain;
1. Terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan grasi tersebut, atau
2. Terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.
Permohonan grasi tidak dapat menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana kecuali dalam hal putusan pidana mati. Pengajuan permohonan grasi diajukan kepada Presiden melalui Ketua Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dan atau terakhir untuk selanjutnya diteruskan kepada Mahkamah Agung. Permohonan yang diajukan terpidana beserta salinannya disampaikan melalui
Kepala Lembaga Pemasyarakatan untuk diteruskan kepada Ketua Pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan dan salinannya, berkas perkara terpidana dikirimkan kepada Mahkamah Agung. Panitera akan membuat akta penolakan permohonan grasi apabila surat permohonan yang telah dibuat terpidana tidak memenuhi persyaratan.
Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002, ditetapkan limit waktu proses penerimaan hingga putusan grasi oleh presiden sebagai berikut;
1. Presiden memberikan putusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung
2. Keputusan oleh Presiden berupa penerimaan atau penolakan grasi
3. Jangka waktu penerimaan atau penolakan grasi oleh presiden paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung.
2. Pengertian Amnesti
Amnesti dalam Bahasa Yunani, yakni amnestia yang berarti pernyataan terhadap orang banyak dalam hal tindak pidana, untuk meniadakan hukum pidana yang timbul dari tindakan pidana tersebut. Amnesti dapat diartikan sebagai pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu. Amnesti yang diberikan untuk banyak orang dapat disebut sebagai amnesti umum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, amnesti merupakan pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu. Amnesti menurut Kamus Hukum yang ditulis oleh Marwan dan Jimmy, ialah pernyataan umum yang diterbitkan melalui atau dengan undang-undang tentang pencabutan semua akibat dari pemidanaan suatu perbuatan pidana tertentu atau suatu kelompok perbuatan pidana.
Amnesti diatur di dalam pasal 14 ayat (1) UUD NRI 1945 serta Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi yang menyatakan bahwa akibat dari pemberian amnesti adalah semua akibat hukum pidana terhadap orang yang diberikan amnesti dihapuskan. Dengan kata lain, sifat kesalahan dari orang yang diberikan amnesti juga hilang. Namun peraturan tentang amnesti masih ada kelemahan yaitu tidak mencantumkan persyaratan yang harus terpenuhi oleh penerima amnesti. Pemberian amnesti akan berdampak terhadap tatanan hukum Indonesia dan
tidak menutup kemungkinan akan banyak ahli hukum memprotes atas pemberian amnesti dalam beberapa kasus, seperti halnya pada kasus kelompok Din Minimi.
Pada umumnya amnesti diberikan tanpa syarat, sehingga dalam pemberiannya, amnesti tidak bisa diberikan secara sembarangan, tetapi harus melalui pertimbangan yang panjang serta adanya jaminan bahwa kelompok tersebut tidak lagi melakukan perbuatan yang merugikan negara. Menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), meskipun amnesti sangat fungsional bagi suatu transisi demokrasi, pemeliharaan perdamaian, dan rekonsiliasi nasional, penerapannya tetap harus memenuhi prasyarat tertentu. Perspektif HAM dan hukum internasional tidak membenarkan pemberian amnesti yang bertentangan dengan prinsip keadilan yang berujung pada impunitas (keadaan tidak dapat dipidana). Berbagai instrumen (hukum HAM dan humaniter) internasional mensyaratkan adanya kewajiban negara untuk melakukan penegakan hukum (obligation to prosecute) terhadap beberapa kejahatan serius.
Amnesti diberikan oleh Presiden dengan mengeluarkan Keputusan Presiden tentang Amnesti setelah mendapatkan pertimbangan dari DPR dan diberikan kepada orang yang:
1. sedang atau telah selesai menjalani pembinaan oleh yang berwajib;
2. sedang diperiksa atau ditahan dalam proses penyelidikan, penyidikan, atau pemeriksaan di depan sidang pengadilan;
3. telah dijatuhi pidana, baik yang belum maupun yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
4. sedang atau telah selesai menjalani pidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan Artinya, pemberian amnesti ini tidak harus mensyaratkan adanya permohonan dari tersangka, terdakwa atau terpidana. Artinya, pada amnesti terdakwa atau terpidana tidak harus mengakui kesalahan atau tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya
3. Pengertian Abolisi
Abolisi berasal dari bahasa Inggris, “abolition”, yang berarti penghapusan atau pembasmian. Menurut istilah abolisi diartikan sebagai peniadaan tuntutan pidana.
Artinya, abolisi merupakan suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara, dimana pengadilan belum menjatuhkan putusan terhadap perkara tersebut. Seorang presiden memberikan abolisi dengan pertimbangan demi
alasan umum mengingat perkara yang menyangkut para tersangka tersebut terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa dikorbankan oleh putusan pengadilan.
Apabila merujuk pada kamus hukum yang ditulis oleh Marwan dan Jimmy, definisinya Abolisi adalah suatu hak untuk menghapuskan seluruh akibat dari penjatuhan putusan pengadilan atau menghapuskan tuntutan pidana kepada seorang terpidana, serta melakukan penghentian apabila putusan tersebut telah dijalankan.
Dasar hukum abolisi adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 14 ayat 2 dan Keppres Nomor 22 tahun 2005, Presiden mempunyai hak memberikan abolisi dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat dan berdasarkan kepentingan umum.
Dan juga Abolisi adalah sebuah keputusan yang sudah di sahkan untuk menghentikan pemeriksaan, pengusutan dan penelitian sebuah kasus atau perkara yang relatif berat, saat pihak pengadilan belum menjatuhkan atau memutuskan atau mengetuk palu atas perkara tersebut, dimana penghentian pemeriksaan tersebut diberikan dengan adanya pertimbangan demi alasan umum karena perkara tersebut berkaitan dengan kepentingan dan urusan negara yang tidak mempunyai kelayakan untuk dikorbankan oleh keputusan pengadilan. Pengertian Abolisi dapat juga diartikan sebagai hak penuh yang dimiliki oleh kepala negara yang berhak untuk melenyapkan, membuang, melupakan sekaligus menghapus hak tuntutan pidana dan menghentikan jika sudah benar benar dilakukan. Abolisi cenderung diberikan pada kasus kejahatan yang tidak kecil tetapi kasus yang relatif besar.
Abolisi meniadakan tuntutan hukum yang sedang berjalan. Proses hukum yang belum selesai dihentikan. Terduga pelaku pidana otomatis diberi kebebasan dan dapat menjalani hidup selanjutnya sebagaimana orang yang merdeka. Abolisi menghapus semua tuntutan hukuman. Kejaksaan yang biasanya memberikan tuntutan berdasarkan berkas perkara dan bukti pidana yang dimiliki dan telah dikumpulkan. Ketika terpidana mendapat mendapat abolisi, semua tuntutan dianggap batal dan tidak ada.
Terpidana hanya dapat dituntut jika ada kasus pidana lain yang melibatkannya.
Abolisi diberikan kepada perorangan tidak selalu berkaitan dengan tindakan politik.
Namun, proses hukum yang terjadi dapat memicu gangguan politik.
Sebenarnya abolisi bukan sebuah pengampunan yang diberikan kepala negara terhadap terpidana kasus kejahatan yang berat, tetapi abolisi memiliki makna sebagai menghentikan sekaligus penghapusan penuntutan hukum terhadap kejahatan seseorang agar tidak lagi kasusnya naik ke permukaan dan menjadi urusan yang
panjang, karena kasus tersebut dapat mengancam keseimbangan, kepentingan negara serta stabilitas pemerintahan yang ada.
BAB III
CONTOH KASUS
A. Pemberian Grasi Kepada Annas Maamun Atas Tindak Pidana Korupsi
Annas Maamun, mantan gubernur Riau periode 2006-2011 dan 2012-2014 menjadi terpidana atas kasus tindak pidana korupsi. Ia mendapatkan dakwaan kumulatif yaitu yang berarti tidak hanya disebabkan oleh satu perkara. Terdapat tiga sebab perkara yang melibatkan Annas Maamun dalam tindak pidana korupsi, antara lain;
1. Annas Maamun menerima suap $166.100 dari Gulat Manurung terkait kepentingan memasukkan area kebun kelapa sawit dengan luas 2.522 Ha yang berada
2. Annas Maamun mendapatkan suap sejumlah 500 juta rupiah dari Edison Marudu melalui Gulat Manurung terkait dengan pengerjaan proyek untuk kepentingan perusahaan Edison Marudut di Provinsi Riau
3. Annas Maamun menerima suap sebesar 3 Miliar Rupiah dari janji 8 Miliar Rupiah dari Surya Darmadi melalui Suheri Terta untuk kepentingan memasukkan lahan milik sejumlah anak perusahaan PT. Darmex Argo yang bergerak dalam bidang perkebunan kelapa sawit dalam revisi usulan perubahan luas Kawasan bukan hutan Provinsi Riau.
Selain itu ia juga terjerat dalam kasus suap lain dengan perannya sebagai pemberi suap terkait pembahasan RADPB Provinsi Riau Tahun Anggaran 2014 dan 2015 kepada anggota DPRD Provinsi Riau.
Terpidana Annas Maamun melayangkan surat permohonan grasi kepada presiden Joko Widodo pada tahun 2019. Yang kemudian permohonan grasi tersebut diterima oleh presiden atas pertimbangan dari MA dan juga Menteri Koordinator Politik Hukum, dan Keamanan, Mahfud M.D. Grasi ini diberikan berupa pengurangan jumlah pidana penjara 7 (tujuh) tahun menjadi 6 (enam) tahun. alasan pemberian grasi kepada Annas Maamun antara lain adalah dikarenakan kondisinya yang sudah tua dan sakit-sakitan. Hal ini disertai dengan surat keterangan dokter yang ia ajukan bersamaan dengan surat permohonan grasi kepada presiden. Yang didalamnya tertulis bahwa ia menderita penyakit PPOK (COPD akut), dyspepsia syndrome (depresi), gastritis (lambung), hernia, dan sesak nafas. Wajar saja apabila kondisi fisik Annas
Maamun melemah dikarenakan usianya yang sudah menginjak 78 tahun pada saat itu.
Hal ini didasarkan pada Pasal 6A Ayat 1 dan 2 UU Nomor 5 Tahun 2010 yaitu demi kepentingan manusia, Menteri Hukum dan HAM berwenang meneliti dan melaksanakan proses pengajuan grasi tersebut. Presiden memberikan grasi tersebut dengan pertimbangan kemanusiaan, yang dimana kondisi kesehatannya yang sudah menurun dan sakit-sakitan.
B. Pemberian Amnesti dan Abolisi Secara Bersamaan Kepada Anggota GAM
GAM atau Gerakan Aceh Merdeka merupakan gerakan pemberontakan masyarakat Aceh dengan tujuan separatisme. Mereka ingin mendirikan negara sendiri dan berpisah dengan NKRI. Gerakan pemberontakan ini sudah muncul sejak tahun 1976 dan memakan korban kurang lebih hingga 15.000 jiwa. GAM sendiri diketuai oleh Hasan Di Tirto yang hampir selama 3 dekade bermukim di Swedia dan berkewarganegaraan Swedia hingga pada 2 Juni 2010 Hasan Di Tirto sah menjadi warga negara Indonesia. Pemerintah dan GAM telah menandatangani nota kesalahpahaman pada 15 Agustus 2005 di Vantaa, Helsinki, Finlandia.
Pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, amnesti dan abolisi secara umum telah diberikan kepada anggota GAM disertai pertimbangan dari anggota DPR menggunakan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2005 tentang Pemberian Amnesti Umum dan Abolisi Kepada Setiap Orang yang Terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka. Keputusan Presiden ini diberikan setelah kesepakatan damai yang ditandatangani oleh pemerintah NKRI di Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Diktum pertama Keputusan Presiden No.22 tahun 2005 menyatakan pemberian amnesti dan abolisi secara umum kepada orang yang terlibat GAM, baik didalam negeri maupun diluar negeri yang;
a. Belum atau menyerahkan diri kepada pihak berwajib
b. Sedang atau selesai menjalani pembinaan oleh pihak berwajib
c. Sedang diperiksa atau ditahan dalam proses penyelidikan, penyidikan, atau pemeriksaan didepan sidang pengadilan
d. Telah dijatuhi pidana, baik yang belum maupun yang telah atau belum berkekuatan hukum tetap
e. Sedang atau telah selesai menjalani pidana di dalam Lembaga pemasyarakatan.
Mereka hanya dicatat dan tidak akan diproses di pengadilan. Mereka tetap menjadi orang bebas. Tentu saja, amnesti dan abolisi ini dibuat dengan persyaratan bahwa GAM menghentikan pemberontakan dan selanjutnya selalu setia kepada NKRI. Tujuan pemberian amnesti dan abolisi dari Pemerintah adalah guna mewujudkan rekonsiliasi nasional untuk memperkokoh kesatuan bangsa, perlindungan, pemenuhan dan pemajuan hak asasi manusia serta untuk mengakhiri konflik secara permanen, perlu menciptakan suasana damai secara menyeluruh di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam Kerangka Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan
Pemberian grasi, amnesti, dan abolisi merupakan hak prerogatif yang dimiliki oleh Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat 1 dan 2 UUD NRI 1945 yang berupa pemberian keringanan maupun penghapusan hukuman pidana terhadap seseorang atau kelompok yang melakukan perbuatan pidana atas dasar pertimbangan tertentu disertai permintaan atas pertimbangan DPR atau MA. Pada dasarnya pemberian grasi mengakibatkan terjadinya peringanan ataupun hapusnya hukuman pidana atas dasar pertimbangan kemanusiaan, namun unsur kesalahan tetap melekat.
Kemudian, pemberian amnesti mengakibatkan hapusnya hukuman pidana dan hapusnya unsur kesalahan. Adapun pemberian abolisi mengakibatkan terjadinya penghapusan terhadap proses hukum yang sedang atau baru akan berlangsung.
B. Saran
Dalam kaitannya dengan fungsi legislasi DPR, maka kebutuhan akan pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemberian amnesti dan abolisi mendesak dilakukan, mengingat saat ini undang-undang yang masih berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi sudah tidak sesuai dengan perubahan politik dan hukum. Undang-undang yang akan dibentuk perlu memberikan kepastian hukum khususnya menyangkut ukuran objektif persyaratan pemberian amnesti.
Selain itu, diharapkan untuk pemberian amnesti terhadap pelaku tindak pidana selain makar harus diatur secara tegas. Pengaturan yang selama ini bukan hanya kekaburan landasan hukum namun ukuran objektif untuk menentukan penerima amnesti tidak jelas. Seyogyanya pemerintah menetapkan arah politik hukum dalam pemberian grasi, amnesti dan abolisi secara jelas baik secara testruktur, sistematis dan komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
P, M. Marwan dan Jimmy. Kamus Hukum. Surabaya: Reality Publisher, 2009.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia YLBHI. 2010. “Panduan Bantuan Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
JURNAL
Iqsandri Rai. Shandy Utama Andrew. 2021. Analisa Hukum Pemberian Grasi Terhadap Terpidana Kasus Korupsi Gubernur Riau Annas Maamun. Jurnal Ensiklopediaku, hal.183-185. Vol.3 No.2.
Suhayati, Monika. 2016. Amnesti Bagi Kelompok Pemberontak Din Minimi. Jurnal Info Singkat Hukum, hal.1-4. Vol.8 No.1.
Sujatmiko. Wibowo, Willy. 2021. Urgensi Pembentukan Regulasi Grasi, Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi. Jurnal Penelitian Hukum De Jure. Vol.21 No.1.
Risal, Chaerul. 2017. Eksistensi Grasi Menurut Prespektif Hukum Pidana. Jurnal Jurisprudentie, hal.99-107. Vol.4 No.2.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002.
Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2005
ARTIKEL
Ramadhan, A. (2019). Grasi Presiden Jokowi Kepada Annas Maamuun Yang Menuai Kritik.
Diakses pada 30 Mei 2022, dari
https://nasional.kompas.com/read/2019/11/27/06305881/grasi-presiden-jokowi- kepada-annas-maamun-yang-menuai-kritik?page=all.