• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Wilayah kekuasaan Kesultanan Buton terbagi atas 72 (tujuh puluh dua) kadie (desa). Setiap kadie (desa) memiliki struktur pemerintahan sendiri yang disebut sara kadie. Struktur pemerintahan setiap kadie (desa) ini tidaklah sama antara satu kadie dengan kadie lainnya. Pemimpin dari sara kadie ini disebut dengn parabela. Semua urusan dan permasalahan di kadie merupakan tanggung jawab parabela dan perangkatnya. Sebenarnya jika kita melihat lebih cermat, maka akan nampak bahwa parabela juga merupakan raja di kadienya masing-masing karena dia memiliki otonomi dalam wilayahnya, walaupun terbatas. Jadi kalau Sultan merupakan penguasa atau raja di pemerintahan pusat yang kekuasaannya meliputi seluruh wilayah kerajaan maka parabela merupakan penguasa atau “raja kecil” di wilayah kadienya masing-masing.

Setiap kadie di samping membayar pajak secara langsung ke pemerintahan kesultanan juga mereka harus mampu menjadi kesatria perang bila ada musuh yang menyerang kadienya maupun pusat kerajaan. Untuk tugas pertahanan keamanan ini ada beberapa kadie yang ditugasi secara khusus sebagai ujung tombak dalam mempertahankan wilayah kerajaan dari serangan musuh. Adapun kadie-kadie tersebut dikenal dengan nama “Matana Soromba” (ujung jarum) yang meliputi, Lapandewa, Wabula, Wasilomata (Kecamatan Mawasangka) dan Watumotabe (Kecamatan Kapontori). Keempat kadie ini masyarakatnya merupakan pasukan tempur yang

(2)

gagah berani di zamannya. Dalam sejarah Kadie Lapandewa dan Wabula dipersiapkan untuk menghadapi musuh yang datangnya dari arah Timur, sedangkan Kadie Mawasangka dan Watumotobe dipersiapkan untuk menghadapi musuh yang datangnya dari arah Barat. Di samping itu juga terdapat kadie-kadie yang berfungsi menjadi lumbung padi atau makanan bagi kesultanan. Adanya berbagai peran yang diemban oleh kadie terhadap kerajaan pusat baik sebagai sistem pertahanan maupun dalam pengadaan logistik menjadikan posisi parabela juga penting sebagai orang nomor satu dikadienya. Sehingga semua potensi dan sumberdaya alam yang ada di desa, termasuk pengaturan penggunaan dan pemanfaatan tanah di bawah kekuasaan parabela, diantaranya tanah kaombo. Pada tanah kaombo terdapat 72 kadie dan dijaga serta dipelihara oleh parabela sebagai kawasan hutan kaombo. Istilah tanah kaombo berasal dari kata kaombo yang diartikan peran, lindungi, suaka, awasi, kontrol, karena dalam kawasan tanah tersebut memiliki sumberdaya yang bernilai harganya dan tidak boleh dijadikan sebagai tanah ladang dan tidak boleh di dijadikan sebagai tanah pekuburan.

Komunitas masyarakat adat di Buton di bawah kepemimpinan lokal (local leadership), yang disebut parabela selama ini telah menjaga kawasan tanah kaombo (hutan tutupan) yang merupakan bentuk penyelamatan lingkungan dengan pendekatan budaya sebagai bentuk kearifan lokal. Masyarakat sangat patuh pada perintah parabela karena diyakini bahwa perintah seorang parabela adalah juga merupakan perintah dari leluhur mereka dan selalu diikuti dengan “bala”.

Masyarakat berpendapat bahwa kesejahteraan dan keselamatan serta rezeki yang

(3)

mereka peroleh sangat tergantung dari kemampuan dan kharisma yang dimiliki oleh parabela dalam memimpin negerinya. Hal ini sejalan dengan pendapat Weber (Sparks,2008) bahwa istilah kharisma akan diterapkan pada kualitas tertentu dari kepribadian seseorang berdasarkan atas kebaikan yang dimiliki dan yang membedakan dari orang biasa karena telah dikaruniai kekuatan supranatural, manusia super atau paling tidak dengan kekuatan dan kualitas yang luar biasa. Hal-hal seperti itu tidak dimiliki oleh orang-orang biasa, tetapi dianggap sebagai karunia ilahi atau sebagai teladan, dan atas dasar itu individu yang bersangkutan diperlakukan sebagai pemimpin. Seorang pemimpin harus menjadi panutan masyarakat dan hidup seadanya tanpa harus mengejar materi sehingga kesimbangan hidup dengan alam juga tetap terjaga sebagai sebuah jaringan yang saling membutuhkan. Keadaan tersebut dapat dilihat misalnya bila terjadi gagal panen atau musim paceklik, maka orang yang pertama merasakan lapar adalah parabela. Sebaliknya, jika panen berhasil maka para wargalah yang harus terlebih dahulu dipersilahkan untuk menikmati hasi panen sedangkan parabela akan menikmati setelah warganya.

Sejak kesultanan Buton dinyatakan bubar sekitar tahun 1960an, maka praktis jabatan-jabatan di sarana wolio (pemerintahan pusat) juga hilang dan tergantikan dengan masuknya jabatan-jabatan formal yang merupakan struktur pemerintahan yang baru di Kabupaten Buton. Selanjutnya Pemerintah Orde Baru mengatur pemerintahan desa/marga melalui Undang-Undang (UU) No. 5/1979 tentang pemerintahan desa. Undang-undang ini bertujuan untuk menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa. Undang-undang ini mengatur

(4)

desa dari segi pemerintahannya yang berbeda dengan pemerintahan desa/marga pada awal masa kolonial yang mengatur pemerintahan serta adat-istiadat. Dengan demikian, pemerintahan desa berdasarkan undang-undang ini tidak memiliki hak pengaturan di bidang hak ulayat atau hak wilayah. Istilah desa dimaknai sebagai suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi. Pemeritahan desa tidak memiliki kewenangan yang leluasa dalam mengatur dan mengelola wilayahnya sendiri. Ketergantungan dalam bidang pemerintahan, administrasi dan pembangunaan sangat dirasakan ketika UU No. 5/1979 ini dilaksanakan

Pasca UU No 5 tahun 1979 keberadaan ribuan desa yang seragam di luar Jawa, termasuk kawasan Indonesia Timur (Sulawesi Tenggara), bukanlah desa-desa yang terbentuk oleh proses sosial dan sejarah yang panjang, melainkan desa-desa yang dibentuk secara paksa (imposition) dan seragam oleh negara. Sebelumnya masyarakat lokal tidak mengenal desa dalam pengertian desa teritorial-administratif yang dibentuk oleh pemerintah. Mereka terhimpun dalam perkumpulan komunal yang berbasis parokhial sehingga sering disebut sebagai desa genealogis atau self governing community. Desa semacam ini memiliki hukum adat untuk mengatur dan mengurus sumberdaya lokal secara komunal, tata kuasa yang konsentris untuk melindungi komunitas dan menjalankan hukum adat, serta menjalankan pranata lokal untuk mengatur pergaulan sosial dan perilaku setiap orang. Kehadiran UU No 5 tahun 1979 sering dinilai sebagai bentuk penyeragaman dan jawanisasi yang berupaya mengubah desa genealogis menjadi desa teritorial-administrative, yang

(5)

berposisi sebagai kepanjangan tangan (korporatis) negara untuk menjalankan tugas- tugas administratif dan pelayanan terhadap warga. Pemerintah juga berupaya secara seragam melakukan modernisasi pemerintahan desa yang memiliki tiga fungsi utama yaitu : public regulation (pengaturan), public goods (pelayanan kepada warga) dan empowerment (pengembangan kapasitas dan potensi lokal).

Suaib (2009) mengemukakan diberlakukannya UU otonomi daerah No. 22 Tahun 1999 menjadi titik awal untuk desa jauh lebih kritis secara politik dalam pemerintahan desa. Namun di Kabupaten Buton isu pemekaran desa lebih dominan jika dibandingkan dengan upaya mewujudkan otonomi desa dengan gerakan kembali ke identitas asli dan tuntutan tentang pengakuan negara terhadap adat. Perubahan struktur pemerintahan di desa dari pemerintahan tradisional ke pemerintahan formal serta adanya pemekaran desa di Kabupaten Buton telah menimbulkan konflik antara Parabela Rongi dan perangkatnya yang disebabkan oleh ketidakpatuhan perangkatnya terhadap kepemimpinan parabela serta semakin berkurangnya jumlah parabela di masyarakat yang pada awalnya berjumlah 72 parabela yang aktif telah berkurang menjadi 21 parabela yang aktif (Rahman, 2005). Adapun parabela yang tidak aktif hanya pada tataran nama dan tidak mampu menjalankan peran di masyarakat disebabkan tidak adanya keinginan dari masyarakat untuk mempertahankan keberadaan parabela di masyarakat. Implikasi perubahan struktur pemerintahan di desa dari pemerintahan tradisional ke pemerintahan formal serta adanya pemekaran desa/kelurahan di Kabupaten Buton juga telah menyebabkan terjadinya konflik antara parabela dengan sesama

(6)

parabela yang disebabkan oleh ketidakjelasan batas wilayah dan konflik antara parabela dengan pemerintah formal yang merupakan hasil pemekaran desa yang terjadi di Lapandewa yang bersumber dari persoalan pengelolaan sumber daya alam di desa yang terbatas. Akibat perubahan yang terjadi di desa ini akhirnya telah memporakporandakan eksistensi hak-hak atas penguasaan sumberdaya agraria komunitas adat.

Namun di sisi lain masih ditemukan parabela yang masih mendapat pengakuan di masyarakat. Salah satunya pada Kelurahan Takimpo, di mana parabela menjalankan peran menjaga kawasan Kaombo sebagai salah satu bentuk tindakan penyelamatan hutan yang selama ini dilakukan oleh parabela dalam mengajak masyarakat menjaga hutan kaombo dengan komunikasi dialogis yang dilaksanakan dengan pendekatan komunikasi kelompok yang dijalankan di sebuah tempat pertemuan yang disebut Baruga. La Aisi sebagai Parabela Takimpo Lipuogena mengemukakan bahwa ada 6 lokasi kaombo yang dilindungi dan memiliki fungsi masing-masing. Adapun jenis kawasan Tanah Kambo di Kelurahan Takimpo Lipuogena yakni : Kaombo Bakau, Kaombo Ohusii, Kaombo Yambali, Kambali Ee Mata, Kaombo Labobou, Kaombo Kumbo. Dari 6 hutan kaombo tersebut mempunyai lokasi yang agak berjauhan antara kaombo yang satu dengan kaombo yang lain dan fungsi yang berbeda-beda, seperti : Kaombo Bakau yang berada di pinggir pantai berfungsi mengantisipasi jika terjadi abrasi. Kaombo Ohusii yakni hutan yang didalamnya terdapat tanaman rotan yang berguna untuk bahan anyaman dinding rumah tradisional bagi perempuan dan janda. Kaombo Yambali merupakan hutan

(7)

yang mempunyai berbagai aneka ramuan obat-obat tradisional. Kaombo Ee Mata merupakan hutan yang didalamnya terdapat mata air yang tidak pernah kering meski musim kemarau tiba dan menjadi sumber mata air masyarakat Takimpo dan sekitarnya. Demikian halnya dengan Kaombo Labobou dan Kaombo Kumbo yang sengaja dilindungi karena didalam hutan tersebut juga terdapat mata air.

La Aisi mengatakan, jika ada yang ditemukan mengelolah tanah kaombo tanpa meminta izin terlebih dahulu maka akan diberikan sanksi berupa denda hingga pada sanksi sosial seperti pelaku akan dikucilkan dari wilayah tersebut. Adapun cara menjaga dan memantau kawasan hutan kaombo tersebut yakni dengan melibatkan seluruh masyarakat Kelurahan Takimpo di mana di dalam diri masyarakat telah tertanam rasa memiliki dan bertanggung jawab atas kelangsungan kelestarian hutan kaombo yang menjadi kebutuhan mereka dengan jalan melakukan prinsip-prinsip konservasi, manajemen dan eksploitasi sumberdaya alam berbasis kearifan lokal.

Oleh karena itu jika mereka melihat ada yang melakukan pelanggaran maka mereka akan segera dilaporkan ke sara kadie (perangkat adat) untuk diberikan sanksi sesuai dengan aturan adat yang berlaku.

Seiring dengan perjalanan waktu sikap hidup yang selama ini di junjung tinggi oleh komunitas masyarakat di Buton tak luput dari gempuran modernisasi, sejumlah toleransi dan kompromi terhadap masyarakat luar yang modern telah mereka lakukan, interaksi antar komunitas adat dan non adat tak bisa terelakkan lagi. Hal ini terjadi ketika pranata adat istiadat dikerdilkan oleh nasionalisasi kebijakan pemerintah

(8)

dalam proses pelaksanaan pemerintahan desa yang modern, di mana beberapa desa tradisional yang dipimpin oleh kepala desa dan juga memiliki pranata adat dalam bentuk kelembagaan adat yang dipimpin parabela telah hilang telah berganti menjadi sebuah desa/kelurahan yang modern yang merupakan produk pemerintah pusat dengan satu pemimpin yang disebut dengan kepala desa/lurah. Di sisi lain terdapat desa/kelurahan di Kabupaten Buton yang bersifat dualistik, mempunyai struktur baru pemerintahan desa dan masih tetap menjalankan tradisi dan struktur lama. Perubahan ini juga berpengaruh pada kawasan tanah kaombo di wilayah parabela serta terjadinya pergeseran posisi pemimpin tradisional oleh pemerintahan formal yang menyebabkan keberadaan parabela dalam menjaga kelestarian kawasan hutan kaombo tidak semuanya berdaya seperti sebelum adanya pemerintahan formal.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana kepemimpinan parabela dalam menjaga kelestarian kawasan hutan kaombo bersama dengan kepemimpinan formal desa/kelurahan di Kabupaten Buton”. Untuk menjawab masalah tersebut penulis mengemukakan beberapa pertanyaan penelitian yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian. Secara spesifik pertanyaan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana peran kepemimpinan parabela dalam menjaga kelestarian kawasan hutan kaombo ?

(9)

2. Bagaimana karakteristik kepemimpinan parabela dalam menjaga kelestarian kawasan hutan kaombo ?

3. Bagaimana pemanfaatan komunikasi kelompok pada kepemimpinan parabela dalam menjaga kelestarian kawasan hutan kaombo ?

4. Bagaimana dinamika relasi kepemimpinan parabela dan pemerintah formal (pemerintah desa/kelurahan) dalam menjaga kelestarian kawasan hutan kaombo ?

5. Sejauh mana pengaruh kepemimpinan parabela terhadap sikap masyarakat dalam menjaga kelestarian kawasan hutan kaombo ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis peran kepemimpinan parabela dalam menjaga kelestarian kawasan hutan kaombo.

2. Untuk menganalisis karakteristik kepemimpinan parabela dalam menjaga kelestarian kawasan hutan kaombo.

3. Untuk menganalisis pemanfaatan komunikasi kelompok pada kepemimpinan parabela dalam menjaga kelestarian kawasan hutan kaombo.

4. Untuk menganalisis dinamika relasi kepemimpinan parabela dan pemerintah formal (pemerintah desa/kelurahan) dalam menjaga kelestarian kawasan hutan kaombo.

5. Untuk menganalisis pengaruh kepemimpinan parabela terhadap sikap masyarakat dalam menjaga kelestarian kawasan hutan kaombo.

(10)

1.4 Manfaat Penelitian

1. Untuk pengembangan ilmu pengetahun yang berkaitan dengan kepemimpinan lokal (local leadership) dalam pembangunan dan kelestarian hutan adat di pedesaan.

2. Sebagai salah satu pendekatan dalam memberikan solusi dalam permasalahan kepemimpinan lokal (local leadership) di Indonesia, dan khususnya di Sulawesi Tenggara pada kasus dalam satu wilayah terdapat dua kepemimpinan informal dan formal.

3. Memberikan masukan dan sumbangan pemikiran bagi evaluasi kebijakan yang akan diambil dalam rangka pemberdayaan desa/kelurahan untuk menunjang pembangunan daerah dengan memberdayakan kepemimpinan lokal (local leadership)

4. Hasil penelitian ini nantinya dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi peneliti lainnya dalam bidang Komunikasi Sosial Pembangunan.

1.5 Keaslian Penelitian

Rahman (2005) melakukan penelitian parabela di Buton suatu analisis politik.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan model grounded research.

Penelitian ini dilakukan di Pulau Buton dan sekitarnya dengan melibatkan para informan yang terdiri atas : parabela dan perangkatnya, kepala desa/lurah, tokoh adat, pemuda dan masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : (1). Peran parabela dalam masyarakat Buton menyentuh semua aspek kehidupan masyarakat sehingga ia menjadi tokoh sentral dalam masyarakat. (2). Model kepemimpinan

(11)

parabela merupakan model kepemimpinan yang demokratis sehingga partisipasi masyarakat dalam kepemimpinannya sangat besar sekali. (3). Persepsi sosial yang terbentuk di masyarakat menunjukkan parabela sebagai figur yang suci yang dapat membawa keselamatan dan kesejahteraan bagi mereka.

Arsal (2000) meneliti kepemimpinan parabela dan perubahan sosial di Kecamatan Betoambari Kota Administratif Bau-Bau Propinsi Sulawesi Tenggara (studi tentang pergeseran kepemimpinan tradisional dalam pembangunan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa parabela dengan pengaruhnya yang luas telah mampu memerankan dirinya dalam menyampaikan pesan. Masyarakat sebagai pengikutnya senantiasa mentaati segala sesuatu yang didoktrinkan parabela. Kebijakan parabela dianggapnya sebagai sesuatu yang berasal dari Tuhan, sehingga ketika masyarakat melaksanakan kebijakan parabela tersebut maka masyarakat merasa secara tidak langsung telah menjalankan ajaran Tuhan.

Subanda (2005) meneliti Negara Desa Adat dan Rakyat Dalam Kepemimpinan Lokal Di Bali (Studi Tentang Surveillance dan Dialectic of Control dari perspektif strukturasi). Dualisme kepemimpinan lokal di Bali masih tetap berlaku sampai dengan saat ini. Dengan demikian masyarakat Bali disamping berhadapan dengan kepemimpinan desa dia juga berhadapan dengan kepemimpinan desa adat yang sama-sama mempunyai hak otonom. Subanda menggunakan teori strukturasi sebagai kerangka pemahaman. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian lapangan (Field research) dengan pendekatan eksploratif kualitatif. Tiga poin penting yang diperoleh desa adat dalam rangka meningkatkan posisi tawar dengan pemerintah

(12)

supra-lokal, yaitu : Pertama, adanya dukungan dari pemerintah supra-lokal terhadap berbagai upaya pelestarian dan pemberdayaan desa adat. Kedua, adanya tambahan kewenangan yang diberikan pemerintah supra-lokal terhadap desa adat. Ketiga.

Adanya konsesi ekonomi berupa dukungan fasilitas dan dana oleh pemerintah supra- lokal.

Rejeki (1998) melakukan penelitian Peranan pemimpin lokal dalam meningkatkan dinamika kelompok masyarakat pedesaan (Kasus di Kecamatan Tepus Kabupaten Gunungkidul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Penelitian ini menggunakan metode kasus dengan sifat penelitian adalah eksploratif dan verifikatif yang ditempuh dengan prosedur survai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan pemimpin lokal yang terdiri atas tiga macam tindakan, yaitu : (a). Memperlancar komunikasi kelompok, (b). Meningkatkan motivasi anggota kelompok dan (c). Memberikan fasilitas kelompok yang berhubungan secara nyata/signifikan dengan dinamika kelompok serta adanya hubungan nyata/signifikan antara persepsi anggota kelompok terhadap pemimpin lokal dan karakteristik anggota kelompok.

Penelitian terdahulu mengenai kepemimpinan parabela serta kepemimpinan lokal di Bali dan Yogyakarta telah dikemukakan oleh beberapa peneliti sebelumnya antara lain mengenai : (1). Kedudukan parabela dalam Masyarakat Buton, (2). Model kepemimpinan parabela dan (3). Persepsi masyarakat terhadap parabelanya (Rahman 2005), (4). Kepemimpinan parabela dan perubahan sosial di masyarakat (Arsal, 2000), (5). Cara Negara dan desa adat melakukan surveillance-nya terhadap rakyat (warga desa), (6). Cara rakyat (warga desa) merespon surveillance Negara dan

(13)

surveillance desa adat tersebut atau dengan kata lain dialectic of control yang dilakukan rakyat desa terhadap surveillance Negara dan desa adat tersebut, (7).

Bentuk model susunan pelaku tindakan serta orientasi individu dalam melakukan dialectic of control terhadap kedua surveillance tersebut (Subanda, 2005), (8).

Peranan pemimpin lokal dalam meningkatkan dinamika kelompok dalam pembangunan masyarakat desa (Rejeki,1998). Kedua penelitian mengenai kepemimpinan parabela tersebut belum melihat peran parabela dalam menjaga kelestarian kawasan hutan kaombo dalam pendekatan kearifan lokal. Penelitian kepemimpinan lokal di Bali hanya melihat fenomena hubungan Negara, desa adat, dan rakyat di Bali setelah dilakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah dan tidak melihat peran kepemimpinan lokal dalam menjaga kelestarian lingkungan. Penelitian peran pemimpin lokal di Yogyakarta hanya melihat bagaimana peran seorang pemimpin dalam sebuah kelompok untuk mewujudkan pembangunan pedesaan.

Basrah (2010) meneliti Kearifan Ekologis Tu'Kajang dalam Pengelolaan Hutan Lestari di wilayah Adat Kajang Kabupaten Bulukumba. Penelitian ini difokuskan untuk mengetahui cara orang Kajang (Tu’ Kajang) mengaplikasikan Pasang ri Kajang sebagai satu-satunya pedoman dalam sistem pengelolaan hutan adat lestari mereka. Penelitian ini berkenaan dengan bentuk sistem pengelolaan hutan adat masyarakat adat Kajang, seberapa besar fungsi-fungsi ekologis Pasang ri Kajang di dalam sistem pengelolaan hutan adat, peran pemangku adat di dalam sistem pengelolaan hutan adat, tanggapan masyarakat adat Kajang terhadap sistem

(14)

pengelolaan hutan terpadu dan tendensi konflik dalam sistem pengelolaan hutan adat bisa muncul dipermukaan. Penelitian ini dilakukan dengan memakai pendekatan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa orang Kajang sukses dalam menjaga kelestarian hutan adatnya hingga saat ini artinya bahwa mereka berhasil menggunakan Pasang ri Kajang sebagai pedoman dalam mengelola hutan adatnya.

Disamping itu mereka juga berhasil mengelola hutan adatnya secara non-eksploitasi dengan artian tidak ada pemanfaatan hutan adat selain hutan tebangan. Orang Kajang mampu meningkatkan peran pemangku adatnya dalam menjaga kelestarian hutan adatnya. Persepsi orang Kajang dalam menangggapi sistem pengelolaan hutan adatnya sifatnya beragam, sehingga terjadi konflik horizontal dan vertikal. Selain itu, orang Kajang berhasil menerapkan hukum adatnya terhadap : penebangan kayu (tabbang kajua), pemanenan lebah madu (tunu baniya), pemotongan rotan (tatta uhe’a) dan penangkapan udang (rao doanga). Keempat hal tersebut berkaitan dengan sistem keseimbangan ekosistem hutan di wilayah adat Kajang. Di samping itu ada tiga sanksi adat yang diberlakukan yaitu : pengusiran, pengucilan dan denda materi, yang dijatuhkan pada empat jenis pelanggaran hukum adat di atas.

Konradus (2007) mengkaji Faot Kanaf-Oe Kanaf sebagai Representasi Etos Lingkungan (Kajian Etnoekologi tentang Kearifan Lokal Masyarakat Adat Atoni Pah Meto di Timor Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur) dengan menggunakan metode etnografi dalam menggali dan mengumpulkan data di lapangan serta menggunakan pendekatan interpretivisme simbolik untuk melakukan analisis kualitatif-interpretatif terhadap hakikat keberadaan faot kanaf-oe kanaf. Hasil penelitian ini menunjukkan

(15)

bahwa nilai-nilai luhur yang tidak lain merupakan intisari etos lingkungan atau kearifan ekologis masyarakat adat Atoni Pah Meto yang terkandung dalam Faot Kanaf-oe kanaf adalah nilai religius, nilai ekologis dan nilai persatuan. Implikasi teoritik dari penelitian disertasi ini adalah untuk mendukung teori teks, khususnya pendekatan interpretivisme simbolik yang dipakai untuk memahami dan menjelaskan konsep kebudayaan baik sebagai sistem pengetahuan dan sistem makna (aspek kognitif) maupun sebagai sistem nilai (aspek evaluative) sebagaimana diajukan oleh Clifford Geertz.

Tajibu (2006) meneliti Komunikasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Program Hutan Kemasyarakatan di Kawasan Pegunungan Lompobattang. Populasi penelitian ini sebanyak 823 kepala keluarga (KK) petani yang dipilih dari tiga desa di tiga wilayah kabupaten. Data dikumpulkan dengan teknik kuesioner, wawancara dan observasi. Data di analisis dengan menggunakan analisis kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses komunikasi dalam pengembangan program hutan kemasyarakatan kurang berjalan dengan baik. Hal itu karena kurang didukung oleh elemen-elemen yang tercakup didalamnya, yaitu : Komunikator kurang kredibel, pesan yang disampaikan kurang mengena, media yang digunakan kurang tepat, tanggapan balik dari khalayak yang kurang intensif.

Beberapa penelitian mengenai kearifan lokal yang dikemukakan oleh beberapa peneliti sebelumnya antara lain mengenai : (1). Kearifan Ekologis Tu'Kajang dalam Pengelolaan Hutan Lestari di wilayah Adat Kajang Kabupaten Bulukumba (Basrah, 2010), (2). Cara masyarakat adat Atoni Pah Meto memaknai

(16)

faot kanaf-oe kanaf bagi kehidupannya, (3). Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam faot kanaf-oe kanaf dan maknanya bagi masyarakat adat Atoni Pah Meto dalam berinteraksi dengan lingkungan alam yang ada di sekitarnya (Konradus, 2007), (4). Proses pelaksanaan komunikasi dan pengaruhnya terhadap partisipasi masyarakat dalam pengembangan program hutan kemasyarakatan di kawasan pegunungan lompobattang (Tajibu, 2006). Penelitian terdahulu belum ada yang melihat kearifan lingkungan dari sudut pandang komunikasi kelompok yang dilakukan oleh kepemimpinan Lokal.

Penelitian terdahulu tentang kepemimpinan lokal dan kearifan lokal dalam menjaga kelestarian hutan lebih dominan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, hal ini yang membedakan dengan pendekatan penelitian mixed method yang digunakan dalam penelitian ini yang memadukan metode kualitatif dan kuantitatif. Dalam penelitian ini metode utama yang digunakan adalah metode kualitatif (etnografi) kemudian didukung metode kuantitatif (survei). Untuk Penelitian kualitatif ini dimaksudkan untuk menghasilkan deskripsi etnografis tentang kepemimpinan Parabela dalam mengajak masyarakat untuk menjaga kelestarian hutan Kaombo. Selanjutnya untuk memahami secara mendalam mengenai pengaruh kepemimpinan Parabela terhadap sikap masyarakat dalam menjaga kelestarian kawasan hutan Kaombo dilakukan dengan penggunaan pendekatan survei eksplanatori (kuantitatif) untuk menjelaskan pengaruh antar variabel-variabel penelitian.

(17)

Referensi

Dokumen terkait

Apabila rasio konsistensi (consistency ratio atau CR) sudah memenuhi syarat dibawah 0.10, atau CR < 0.10, maka dilakukan penggabungan pendapat dari setiap

Ringkasnya, meskipun struktur kristal serbuk ferit hasil sintesis telah sama dengan produk komersial, namun sifat-sifat magnetik magnet yang dihasilkan masih belum dapat

Untuk menentukan adanya perbedaan antar perlakuan digunakan uji F, selanjutnya beda nyata antar sampel ditentukan dengan Duncan’s Multiples Range Test (DMRT).

Pendekatan analisis yang digunakan dalam pene- litian ini antara lain analisis bioekonomi dan data envelopment analysis (DEA). Hasil penelitian menunjuk- kan bahwa 1)

Perancangan media promosi ini memiliki tujuan utama, yaitu untuk memperkenalkan pada target market tentang salah satu daya tarik Artotel yaitu Triwulan

Hasil dari penelitian ini adalah terumuskan 5 strategi dan kebijakan IS/IT yang sebaiknya diterapkan di FIT Tel-U berdasarkan pertimbangan 3 hal, pertama kebutuhan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan yaitu data analog gelombang otak dapat digunakan sebagai perintah untuk menghidupkan atau

dengan menggunakan Unity 3D ini tidak hanya mudah dalam menggunakan atau mengerjakan suatu pekerjaaan, tetapi aplikasi Unity 3D ini juga dapat bekerja dengan aplikasi lainnya