• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. penelitian adalah melalui penelitian terdahulu, hal ini menjadikan penulis dapat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. penelitian adalah melalui penelitian terdahulu, hal ini menjadikan penulis dapat"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Penelitian Terdahulu

Salah satu cara yang digunakan sebagai acuan penulis dalam melakukan penelitian adalah melalui penelitian terdahulu, hal ini menjadikan penulis dapat memperkuat teori yang dipergunakan dalam melakukan pengkajian dalam penelitian. Dari penelusuran penelitian terdahulu seorang penulis tidak akan menemukan penelitian dengan judul dan pembahasan yang sama persis dengan apa yang akan dilakukan, akan tetapi penulis dapat menggunakan beberapa penelitian sebagai referensi dalam menambah bahan kajian pada penelitian yang dilakukan. Berikut ini merupakan penelitian terdahulu berupa tiga jurnal yang senada dengan penelitian yang akan dilakukan walau terdapat beberapa perbedaan.

Penelitian sejenis dilakukan Makarim (2017) yang berjudul “Makna novel Harimau! Karya Mochtar Lubis: Analisis Struktural Semiotik”. Hasil penelitian didapatkan adanya tanda pada karakter, latar, dan juga simbolisme. Tanda pada suatu latar memiliki makna dalam kehidupan sosial masyarakat yang terdapat kepercayaan mendalam terkait takhayul. Pada tanda yang terlihat karakter perempuan dan juga karakter pendamar keduanya memiliki arti makna masalah yang terjadi pada diri seseorang. Meski memiliki kajian yang sama yakni semiotika, tetapi dalam penelitian ini memiliki perbedaan dengan yang akan dilaksanakan, perbedaan terletak pada objeknya yakni novel yang ditulis oleh pengarang Sapardi Djoko Damono berjudul Pingkan Melipat Jarak, bagian yang

(2)

akan dianalisis adalah wujud tanda budaya pada masyarakat Jawa dan wujud tanda budaya pada masyarakat Jepang serta persamaan dan perbedaan antara budaya pada masyarakat Jawa dan budaya pada masyarakat Jepang pada novel yang ditulis oleh pengarang Sapardi Djoko Damono berjudul Pingkan Melipat Jarak.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan Wulandari (2018) dengan judul

“Keberfungsian Latar dalam novel Pingkan Melipat Jarak karya Sapardi Djoko Damono: Rancangan Pembelajarannya di SMA”. Hasil dari penelitian: (1) Dalam novel terlihat keberfungsian latar menjadi suatu metafora, atmosfer serta latar netral yang didapat. (2) dari analisis terkait fungsi latar selaras dengan KD. 3.9 yang sudah ditentukan dan juga berdasarkan indikator yang ada, dalam hal ini disimpulkan bahwasanya kegiatan pembelajaran yang relevan merupakan pembelajaran yang ditujukan agar peserta didik mampu melakukan identifikasi serta mendeskripsikan dari latar waktu, latar tempat serta latar sosial yang dipakai penulis dan dapat menetapkan keberfungsian latar sebagai metafora dan sebagai atmosfer. Meskipun memiliki persamaan objeknya yakni novel yang ditulis oleh pengarang Sapardi Djoko Damono berjudul Pingkan Melipat Jarak akan tetapi pada penelitian ini berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan, perbedaanya terletak pada kajiannya, yakni semiotika Roland Barthes yang akan menganalisis wujud tanda budaya pada masyarakat Jawa dan wujud tanda budaya pada masyarakat Jepang serta persamaan dan perbedaan antara budaya pada masyarakat Jawa dan budaya pada masyarakat Jepang pada novel yang ditulis oleh pengarang Sapardi Djoko Damono berjudul Pingkan Melipat Jarak.

(3)

Selanjutnya penelitian yang dilakukan Abdurochman (2016) dengan judul

“Representasi Kebudayaan Jawa dalam Foto Tradisional Wedding karya Hendy Wicaksono Photography: Analisis Semiotika Roland Barthes dalam Foto Pernikahan Adat Jawa”. Hasil penelitian ditemukan bahwa berdasar pada foto karya Hendy Wicaksono Photography mengidentifikasikan budaya Jawa menggunakan versi tampilan budaya Jawa dengan cara pendekatan intensional, konstruktivis dan reflektif. walaupun memiliki kajian yang sama yakni semiotika Roland Barthes tetapi dalam penelitian ini memiliki perbedaan dengan yang akan dilaksanakan, perbedaan terletak pada objeknya yakni novel yang ditulis oleh pengarang Sapardi Djoko Damono berjudul Pingkan Melipat Jarak, bagian yang akan dianalisis adalah wujud tanda budaya pada masyarakat Jawa dan wujud tanda budaya pada masyarakat Jepang serta persamaan dan perbedaan antara budaya pada masyarakat Jawa dan budaya pada masyarakat Jepang pada novel yang ditulis oleh pengarang Sapardi Djoko Damono berjudul Pingkan Melipat Jarak.

Pada pemaparan di atas sudah dijelaskan perbedaan dengan penelitian terdahulu sehingga dapat dilihat penelitian ini memiliki kebaruan terkait fokus masalah yang dikaji, yaitu wujud tanda budaya dari dua Negara yakni Jawa dan Jepang serta persamaan dan perbedaannya antara dua budaya tersebut pada novel yang ditulis oleh pengarang Sapardi Djoko Damono berjudul Pingkan Melipat Jarak, menggunakan teori Semiotika Roland Barthes dimana sebelumnya belum pernah dikaji sehingga dipastikan kebaruannya.

(4)

2.2 Konsep Novel

Abrams dalam (Nurgiyantoro, 2012: 4) menjelaskan, bahwa fiksi sebagai suatu dunia, selain memerlukan cerita, memerlukan tokoh, memerlukan plot serta memerlukan penokohan, dalam fiksi juga memerlukan yang disebut latar. Latar atau juga dikenal sebagai setting sering dianggap sebagai dasar pijakan penulis yang berhubungan dengan waktu, pengertian tempat serta tempat berlangsungnya peristiwa yang ditulis. Brooks (Tarigan, 1991) mengartikan latar sebagai bagian belakang pada fisik, unsur tempat dan ruang pada cerita.

Novel yang ditulis oleh pengarang Sapardi Djoko Damono berjudul Pingkan Melipat Jarak dipilih karena pada novel ini memberikan bahasa puitis

sehingga dapat menarik perhatian, dalam penggambaran setiap tokoh yang memiliki sifat dan karakter berbeda dapat menambah pemahaman serta pengetahuan terkait latar budaya pada masyarakat Jawa dan budaya pada masyarakat Jepang yang diungkapkan dalam setiap halaman pada novel ini.

Menurut Nurgiyantoro (2012: 6), pada bagian awal cerita biasanya berisikan adaptasi, introduksi terkait beragam hal yang nantinya akan diuraikan pada suatu cerita, seperti mengenalkan tokoh, mengenalkan lingkungan, penggambaran terkait keadaan alam, tempat serta suasananya yang saling berhubungan dengan waktu dan yang lainnya, sehingga akan mengarahkan pembaca masuk secara emosional pada cerita yang disajikan. Latar pada suatu cerita dapat diumpamakan sebagai landasan bagi cerita secara jelas dan nyata dalam memberikan sensasi atau kesan yang nyata terhadap pembaca. Latar fisik merupakan pengelompokan dari latar tempat dan waktu (physical setting). Latar

(5)

tidak hanya terbatas pada tempat atau terkait sifat fisik saja, tetapi juga dapat berupa adat kebiasaan, cara hidup, kepercayaan dan nilai yang dianut dan diyakini, sehingga dapat dikatakan sebagai latar spiritual (spiritual setting). Dari penjelasan tersebut latar dapat dibagi menjadi latar tempat, latar sosial dan latar waktu.

Pada novel yang ditulis oleh pengarang Sapardi Djoko Damono berjudul Pingkan Melipat Jarak memiliki Alur, latar, penokohan, tema serta amanat

sebagai berikut: (1) pada novel ini menggunakan alur campuran yang berupa sorot balik, disebabkan karena cerita diawali dari datangnya konflik, kemudian peningkatan konflik, selanjutnya tahap klimaks, dan tahap yang terakhir penyelesaian, (2) pada novel ini pelukisan karakter tokoh, dilakukan secara dramatik, (3) pada novel ini latar tempat yang digunakan secara umum berada pada dua negara, yakni Negara Indonesia dan Negara Jepang, (4) pada novel ini tema yang digunakan ada dua, yakni tema mayor dan tema minor. Pada tema mayornya menceritakan terkait cinta segitiga, adapun tema minor menceritakan kebudayaan lokal antar dua Negara, (5) pada novel ini amanat tidak secara langsung disampaikan kepada para pembaca, dimana terkait cinta tidak selalu harus saling memiliki antara satu dan yang lain, melestarikan budaya lokal yang dimiliki, tidak merasa sombong atas jabatan dan kedudukan yang dimiliki dan yang terakhir diantara makhluk hidup harus saling menghargai antara satu dengan yang lain.

(6)

2.3 Representasi dalam Karya Sastra

Faruk (2012: 19) memaparkan, bahwasanya representasi merupakan komponen dari suatu karya sastra yang mengkombinasikan kekuatan imajinatif dan kekuatan fiktif. Diantara kedua kekuatan ini memiliki kemampuan dalam mempermudah menemukan konstruksi dunia yang sebenarnya terletak di bagian luar dan melewati dunia pengalaman langsung, melewati suatu objek serta perilaku. Sehingga representasi pada lingkup sastra bukan sekedar penggambaran suatu keadaan atau kejadian pada kelompok masyarakat dalam periode waktu tertentu, tetapi lebih memusatkan ke arah pelukisan yang mengandung makna yang dalam bagi kelompok masyarakat serta konteksnya berdasarkan pada proses kreatif penulis tersebut.

Hasfi (2011: 16-17) menyusun dua pengertian terkait representasi yang selaras yakni:

1) Kegiatan merepresentasikan sesuatu merupakan cara seseorang dalam mengadakan, memunculkan, mendeskripsikan imajinasi atau gambaran di dalam pikiran dan meletakan suatu yang dianggap mirip pada suatu objek tertentu dalam indera/benak kita.

2) Merepresentasikan sesuatu merupakan aktivitas mencontohkan, menyimbolkan, menggantikan, serta menempatkan sesuatu. Contohnya:

untuk pemeluk keyakinan Nasrani, Salib merepresentasikan penyaliban serta kepedihan Tuhannya (Yesus).

(7)

Pada bagian ini representasi mengalami pembagian menjadi tiga bagian:

a) Reflective approach menjelaskan bahwasanya bahasa memiliki fungsi layaknya cermin yang dapat menunjukkan makna yang sesungguhnya. Pada periode abad keempat yang berlangsung sebelum masehi, kaum yang berasal dari Yunani menetapkan sebagai istilah mimetik. Contohnya seperti melati yang memiliki makna melati, tidak memiliki kandungan makna lainnya.

b) Intentional approach menjelaskan bahwasanya bahasa dipergunakan untuk mengutarakan makna subjektif dari hasil karya seorang pelukis, seorang penulis, seorang penyair dan lain sebagainya. Konsep Intentional approach memiliki kelemahan, dikarenakan bahasa dianggap sebagai permainan pribadi/privat (private games) akan tetapi pada sudut yang lain mengatakan bahwasanya esensi dari bahasa sebagai alat komunikasi yang didasarkan oleh kode-kode yang sudah dikonversi dalam kehidupan masyarakat bukan hanya sekedar berupa kode personal.

c) Constructionist approach menjelaskan terkait suatu pendekatan yang memanfaatkan komposisi bahasa atau menggunakan yang lainnya dalam menerangkan rancangan diri.

2.4 Hubungan Budaya dan Sastra

Kebudayaan merawat alam lingkungan dengan menggunakan kekuatan pemikiran, dengan media teknologi, yakni mencakup politik dan ekonomi, sementara sastra merawat alam lingkungan dengan menggunakan kekuatan tulisan. Meskipun memiliki perbedaan upaya dan kekuatan yang dilakukan akan

(8)

tetapi budaya dan sastra memiliki hubungan yang erat, hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

2.4.1 Hubungan Budaya dan Sastra

Teeuw (1988: 23) memaparkan sastra berakar dari dasar kata sas (bahasa Sansekerta) yang memiliki arti memberikan instruksi, mengajar, mengarahkan, serta petunjuk. Pada bagian akhir terdapat kata tra berarti sarana, instrumen atau alat. Sehingga, dalam dalam leksikal sastra dapat diartikan sebagai gabungan instrumen dalam mengajar, buku pengajaran atau buku petunjuk yang tepat, seperti kamasastra (percintaan), silpasastra (arsitektur). Pada perkembangannya suatu kata sastra kerap kali ditambahkan dengan imbuhan „su‟, sehingga terbentuklah kata susastra, yang dapat didefinisikan sebagai suatu hasil dari karya atau kreasi yang baik seta indah. Pada suatu teori kontemporer sastra dihubungkan dengan suatu pola kreativitas dan ciri fantasi, yang menjadi ciri khas dari kesusastraan pada setiap satunya. Dapat disimpulkan sastra merupakan bentuk dari kreativitas manusia sehingga menghasilkan karya cipta yang baik dan juga indah untuk dinikmati.

Terdapat sejumlah pengertian terkait kebudayaan. Menurut Taylor dalam (Sardar, 2001: 4) kebudayaan merupakan semua kegiatan yang dilakukan oleh manusia, dimana di dalamnya termasuk suatu yang diyakini, ilmu pengetahuan, seni budaya, hukum yang ditetapkan, moral yang dijaga, adat istiadat serta kebiasaan lain yang dijalani. Pengertian aktual setara dengan Taylor, dan juga menyerahkan andil terhadap kehidupan bermasyarakat. Pemaparan Harris (1999:

19), berkaitan dengan keseluruhan sudut pandang dalam kehidupan manusia yang

(9)

bermasyarakat, dimana didapatkan melalui proses belajar dalam kurun waktu yang panjang, yang termasuk di dalamnya terdapat tingkah laku serta pemikiran.

Koentjaraningrat (1974: 80) memaparkan, bahwasanya kata kebudayaan bersumber dari bahasa Sansekerta buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari istilah buddhi yang memiliki arti “akal”. Dapat disimpulkan budaya merupakan keseluruhan aktivitas dari manusia yang di dalamnya terdapat kepercayaan, pengetahuan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan lainnya, yang tercipta oleh pemikiran atau akal manusia.

Terdapat istilah lain selain kata kebudayaan yang memiliki hubungan erat, yakni istilah “peradaban” bersumber dari kata “adab” dalam bahasa atau istilah Arab. Dalam kebiasaan masyarakat barat, peradaban akrab disebut civilization bersumber kata civitas dan civis yang mengandung makna negara kota dan warga negara. Apabila dilihat dari sisi etimologis peradaban dan kebudayaan merupakan suatu sinonim atau kesamaan makna, antara keduanya mengandung makna terkait keseluruhan hidup bagi manusia yang bermasyarakat. Walau begitu, dalam proses perkembangan pada tahap berikutnya secara umum peradaban didefinisikan sebagai suatu pola kebudayaan yang memiliki posisi atau tingkatan yang tinggi, dimana sejajar dengan disiplin ilmu pengetahuan lain, seperti teknologi, sistem ketatanegaraan, seni dalam bangunan dll (Kustyarini, 2014: 4). Dapat disimpulkan sastra dan juga kebudayaan memiliki bagian wilayah yang selaras atau dapat dikatakan sama, yakni berkaitan dengan kegiatan dari manusia, akan tetapi cara yang digunakan berbeda antara satu dengan yang lain, sastra pada lingkup kreativitas serta imajinasi yang dijadikan sebagai kemampuan emosionalitas,

(10)

kebudayaan mencondongkan diri pada kapasitas akal untuk kapasitas intelektualitas.

Sastra dan kebudayaan apabila dilihat pengertiannya dalam segi etimologis atau dalam segi pragmatis, memiliki hubungan cukup erat. Diantara keduanya terdapat kedudukan pada lingkup kata yang mengarahkan perhatian pada perspektif rohaniah, yang menjadi sarana penjelasan terkait akal dan budi yang dimiliki oleh manusia. Jika dalam proses kedepannya sastra memerlukan pengertian yang lebih sempit, maka diartikan sebagai perilaku manusia dalam struktur yang indah, yang khususnya pada pembentukan yang memanfaatkan bidang bahasa, baik secara lisan atau secara tulisan. Hal tersebut tidak sejalan pada kebudayaan, pada artian kebudayaan masih tetap memiliki lingkup yang luas, bahkan lebih mengarah pada kesempatan agar lebih memiliki keluasan yang diakibatkan adanya kegiatan atau perilaku manusia yang bertambah beragam dan luas. Karena budaya memiliki arti yang luasnya, maka perlu dibedakan antara budaya, peradaban, dan ilmu pengetahuan pada saat menjelaskan hubungan antara sastra dan budaya. Secara garis besar (Koentjaraningrat, 1974: 83) membedakan tiga wujud kebudayaan, antara lain: (a) budaya sebagai kompleks gagasan, nilai, norma, gagasan, dan peraturan, (b) budaya sebagai kompleks pola perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat, dan (c) budaya yang diciptakan oleh manusia dalam bentuk benda.

Sastra memiliki kedekatan yang lebih pada peradaban dibandingkan dengan budaya, karena sastra dianggap sebagai nilai. Sebagai nilai, sastra juga merupakan bagian dari disiplin ilmu pengetahuan. Hubungan tersebut sangat jelas

(11)

bila dikaitkan dengan sastra sebagai disiplin ilmu, sama halnya dengan kritik dan berbagai jenis penilaian terhadap sastra (Huntington, 2003: 37-46). Hubungan tersebut perlu ditelaah untuk tujuan: (1) peran sastra dalam pengembangan budaya, khususnya bidang kajian budaya, dan (2) sejauh mana hubungan yang terjadi dapat meningkatkan kualitas pemahaman tentang budaya. Karya sastra itu sendiri, sebagai umpan balik pengembangan sastra pada tahapan selanjutnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sastra dan budaya, baik secara individu, yaitu

“sastra” dan “budaya”, atau secara keseluruhan selalu dikaitkan dengan nilai positif. Dapat disimpulkan bahwa sastra dan budaya dihasilkan oleh perilaku manusia itu sendiri dan memiliki fungsi untuk meningkatkan kehidupan manusia dalam bermasyarakat.

2.4.2 Antropologi Sastra dan Antropologi Budaya

Hubungan antara antropologi sastra dan antropologi budaya setara dengan hubungan antara kesusastraan dan kebudayaan. Perbedaanya dari segi antropologi sastra unsur-unsur antropologi merupakan bagian unsur-unsur karya sastra, sebagai subordinasi, sedangkan di dalam antropologi budaya keduanya memiliki level yang sama hal ini dikarenakan kebudayaan merupakan perkembangan dari antropologi itu sendiri (Ratna, 2017: 261). Apabila dilihat hierarkis kesusastraan masuk sebagai bagian kesenian, demikian juga kesenian merupakan bagian kebudayaan. Dengan adanya intensitas bahasa, karya sastra pada umumnya selalu dihubungkan dengan kebudayaan, bukan kesenian. Layaknya karya sastra seperti sumber utama kebudayaan. Dapat disimpulkan antropologi sastra dan antropologi budaya sama-sama memperhatikan aspek manusia dan perilakunya, sama-sama

(12)

memiliki daya cipta rasa kritis, sama-sama tidak alergi pada fenomena imajinatif kehidupan, sama-sama terdapat wacana lisan dan sastra lisan, sama-sama banyak interdisipliner yang mengitari antropologi sastra dan antropologi budaya.

2.5 Wujud budaya

Sebagai suatu hasil karya dari manusia, kebudayaan merupakan bentuk kehadiran manusia sebagai makhluk monumental. Sebagai suatu bukti keberadaan manusia, budaya memiliki wujud yang sama dengan figur basis kehadiran manusia, hal ini yang menyebabkan pada setiap golongan masyarakat mempunyai budaya yang mengandung kekhasan nya sendiri-sendiri (Maran, 2013).

Pada sudut pandang cara eksistensi atau cara beradaptasi, manusia merupakan makhluk hidup yang selalu berasumsi, dimana dengan adanya hal tersebut menjadikan manusia melakukan aktivitas atau perilaku sosial sehingga dapat menghasilkan suatu produk dengan berbagai bentuk tertentu. Cara eksistensi pada manusia seperti itu terbentuk dalam wujud kebudayaan ideal, wujud sistem sosial dan wujud kebudayaan fisik. (Elly, 2014) membagi wujud kebudayaan menjadi tiga, yaitu:

2.5.1 Wujud Ideal

Wujud ideal merupakan wujud budaya yang digunakan sebagai tautan dari ide-ide, nilai-nilai, norma-norma peraturan dll. Dalam wujud ideal berusaha menunjukkan wujud ide dalam kebudayaan yang bersifat abstrak, tidak dapat diraba, disentuh atau dipegang seta tidak dapat didokumentasikan dengan foto, video atau alat lainnya, yang berada dalam pikiran manusia selama hidup di dunia.

Budaya ideal juga dapat disebut sebagai tata perilaku, dengan adanya hal ini dapat

(13)

memperlihatkan dalam budaya ideal memiliki keberfungsian sebagai pengendali, pengatur serta memberikan arahan pada aktivitas, perilaku, tindakan serta perbuatan pada masyarakat sebagai aturan sopan santun bermasyarakat.

Adat atau adat istiadat juga dapat mengarah pada kebudayaan ideal. Pada tataran adat memiliki sejumlah susunan, antara lain: sistem norma, sistem nilai budaya, sistem hukum dan juga sistem peraturan yang khusus sifatnya (Elly, 2014). Pada sistem kebudayaan didefinisikan sebagai tingkatan yang sangat abstrak dari tataran adat, pada nilai kebudayaan sendiri berperan dalam menjadi pedoman pada tingkatan paling tinggi untuk perilaku manusia. Pada bagian kedua diduduki sistem norma yang lebih nyata dan juga sistem hukum yang dijalankan berdasarkan sistem norma yang berlaku. Pada bagian terakhir diduduki oleh peraturan yang sifatnya sangat khusus, dimana berkaitan dengan sejumlah aktivitas bermasyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

2.5.2 Sistem Sosial

Wujud budaya digunakan sebagai jalinan kegiatan serta perilaku berpola dari kehidupan manusia yang bermasyarakat. Wujud ini disebut sebagai sistem sosial dikarenakan berhubungan dengan perilaku dan kegiatan berpola dari setiap individu. Pada wujud ini dapat diamati, didokumentasikan dengan foto, video atau alat lainnya karena pada tataran sistem sosial ini terdapat beragam kegiatan serta perilaku, seperti yang melakukan interaksi, saling menjalin hubungan serta membentuk pergaulan antar individu masyarakat (Elly, 2014). Hal ini sangat terlihat jelas dalam bentuk perilaku dan bahasa ketika individu dalam masyarakat saling berinteraksi dalam menjalani kehidupan sehari-hari pada lingkungan

(14)

bermasyarakat. Dapat disimpulkan, sistem sosial ini adalah perwujudan kebudayaan yang sifatnya nyata, pada pola perilaku dan berbahasa dalam bermasyarakat.

2.5.3 Kebudayaan Fisik

Kebudayaan fisik mencakup seluruh benda, barang, materi atau objek fisik yang diciptakan sendiri oleh manusia, seperti bangunan rumah, mesin, gedung perkantoran, jalan raya, jembatan penyeberangan dll. Dengan hal tersebut kebudayaan fisik dapat dikatakan sebagai budaya yang nyata adanya atau akrab disebut sebagai budaya konkret, mudah diamati, dilihat, diraba, diabadikan, dimana bentuknya mulai dari paling kecil sampai yang paling besar. Kebudayaan fisik dapat dikatakan sebagai kegiatan sosial yang dilaksanakan manusia (Elly, 2014).

Dari tiga poin penjabaran tersebut dapat dipahami adanya hubungan bersambutan antara ketiga wujud kebudayaan tersebut. Pada pengaruh timbal baliknya bukan hanya kebudayaan ideal yang mampu memberikan pengaruh pada aktivitas manusia, bukan hanya aktivitas manusia yang mempengaruhi kebudayaan fisik, tetapi kebudayaan ideal dan kegiatan manusia juga dapat dipengaruhi kebudayaan fisik.

1) Wujud Tanda Budaya Jawa

Dalam kebudayaan Jawa terdapat aktivitas budaya seperti upacara dan pola perilaku yang sistematis dimana wujudnya dapat diamati, nyata atau konkret yang dikatakan sebagai sistem sosial berwujud “kelakuan”. Tanda budaya yang berwujud beraneka ragam baik yang diciptakan oleh manusia ataupun akibat

(15)

adanya perilaku yang disebut sebagai “hasil karya dari kelakuan” atau berwujud benda (Syam, 2015).

Budaya Jawa sebagai suatu pandangan dalam memberikan pemahaman terkait masyarakat Jawa mempunyai cara pandangan dalam menjalani kehidupan yang dapat dikatakan matang, hal ini dapat dibuktikan dengan beragam kepercayaan yang diyakini dan dianut oleh masyarakat Jawa, beragam keilmuan atau pengetahuan yang didapat, pola hidup yang sarat akan nilai estetika dan etika yang tertata dengan sangat baik. Salah satu contoh adalah paham kejawen, paham kejawen dijadikan sebagai pandangan hidup yang dapat dijelaskan secara panjang dan lebar, dimana selalu hidup dan terus tumbuh di tengah-tengah kehidupan agama dan kepercayaan yang berkembang setiap periodenya. Dijadikan sebagai suatu paham yang melekat dalam masyarakat, sehingga paham ini memiliki bentuk ajaran yang cukup kokoh, seimbang dan kuat, seperti pada filsafat kosmologi Jawa, yang dapat memelopori lajunya kemajuan teknologi pada periode kemudian hari (Hadiwijono 1967).

Berikut merupakan budaya masyarakat Jawa, khususnya Solo:

a) Petungan dalam artian Jawa adalah wujud dari pemikiran serta pertimbangan yang digunakan sebagai dasar bagi orang Jawa, dimana berkaitan dengan sistem penanggalan (kalender) Jawa (Latif, 2016: 1- 2).

b) Santet dalam artian Jawa yakni suatu perbuatan yang dapat mendatangkan malapetaka bagi seseorang dengan menggunakan media ilmu sihir atau gaib yang dapat merugikan orang lain yang terkena,

(16)

seperti timbulnya penyakit, atau yang parah dapat menyebabkan seseorang meninggal dunia (Baali, 2002: 104).

c) Wiridan dalam budaya Jawa menghasilkan makna mengulang-ulang rapalan atau ucapan seperti pembacaan do‟a yang biasa dilakukan setelah melakukan ibadah sholat bagi umat islam (Fazri, 2018: 32).

d) Maneges dalam artian Jawa menghasilkan makna sebagai permintaan petunjuk (Miftah, 2009).

e) Wetonan dalam artian Jawa menghasilkan makna sebagai hari kelahiran seorang anak dengan pasarannya atau primbonnya (legi, pahing, pon, wage, kliwon) (Aziz, 2020).

f) Ndhuk dalam artian Jawa menghasilkan makna yakni berasal dari kata si gendhuk yang diartikan sebagai panggilan dekat, akrab dan sarat

cinta untuk anak perempuan (Ruriana, 2019: 85).

g) Unting-unting dalam artian Jawa menghasilkan makna anak perempuan tunggal atau semata wayang (Yanti, 2013: 208).

h) Inthuk-inthuk sebagai penggambaran budaya yang terdapat pada masyarakat Jawa menghasilkan makna berupa sesaji yang diperuntukan sebagai menangkal kerewelan bayi dan disuguhkan dalam acara wetonannya (Susanti, 2012: 73).

i) Si Pancer dalam budaya Jawa menghasilkan makna manusia bersaudara empat yang biasa disebut oleh masyarakat Jawa dengan sedulur papat lima pancer. Masyarakat Jawa meyakini bahwasanya

(17)

manusia memiliki empat saudara yakni kakaknya, ketuban dan adik- adiknya yakni ari-ari, darah, dan pusar (Ikhwan, 2019: 1).

j) Cermin antik dalam artian Jawa menghasilkan makna kaca bening, memiliki bentuk unik dan kuno yang memiliki nilai sebagai karya seni dan budaya yang dapat menunjukan bayangan objek yang ditaruh di hadapannya (Mangunwijaya, 2009).

k) Wayang dalam artian Jawa menghasilkan makna yaitu berakar dari istilah Jawa mempunyai kata dasar “yang” dimana memiliki sejumlah ragam vokal diantaranya “reyong” “dhoyang”, “puyeng”, “layang”, mengandung arti: terus bergerak, sukar diam, terlihat samar dan terdengar sayup (Mulyono, 1978: 9-27).

l) Candi dalam artian Jawa menghasilkan makna sebagai konstruksi seni yang dibangun pada masa Hindu-Buddha di Indonesia, yang sampai saat ini masih dapat ditemui (Istanto, 2018: 155).

m) Pagelaran Sasonosumewo dalam artian Jawa menghasilkan makna selaras dengan katanya, Pagelaran Sasonosumewo yang memiliki artian

“tempat yang menghadap raja” (Omar, 2007: 63).

n) Primbon dalam artian Jawa menghasilkan makna buku yang memuat berbagai macam ramalan, perkiraan, perhitungan terkait hari yang dianggap bagus dan hari yang dianggap kurang bagus dalam melakukan hajat atau berbagai kegiatan dan juga memperkirakan terkait karakter kepribadian dan nasib manusia yang dilihat dari

(18)

penamaan, perhitungan kelahiran, serta kekhasan bentuk tubuh (Behrend, 2001: 2).

Menurut Darmoko (2016), pada masyarakat Jawa masyhur dengan beraneka jenis tradisi yang sampai saat ini masih terus dilestarikan. Dalam budaya Jawa yang dianut masyarakat Jawa terdapat beberapa ritual yang berlangsung, dimana ritual tersebut disebut dengan upacara adat, yang hingga sampai saat ini masih terus dijaga kelestariannya.

2) Wujud Tanda Budaya Jepang

Konsep kebudayaan merupakan semua bentuk pengetahuan terkait pola perilaku serta sikap yang selama ini tersimpan dalam diri dan selanjutnya diwariskan dari suatu anggota masyarakat yang berlangsung terus-menerus (Keesing, 2015: 68). Sementara itu menurut Koentjaraningrat (2000), kebudayaan merupakan suatu hasil dari rasa, karsa dan cipta yang dilakukan oleh manusia.

Pada wujud tanda budaya Jepang sendiri terdiri tiga hal antara lain, yang pertama wujud budaya sebagai cangkupan ide-ide, yang kedua adalah wujud budaya sebagai cangkupan aktivitas dan yang terakhir wujud budaya sebagai artefak atau benda yang tercipta dari hasil karya manusia (Honigmann, 2011: 11-12).

Budaya Jepang merupakan keseluruhan kepercayaan, pengetahuan, nilai- nilai yang masih dipegang teguh masyarakat Jepang sebagai makhluk hidup sosial, yang berisi rangkaian-rangkaian serta model sistem pengetahuan makna yang terjalin secara keseluruhan dalam simbol-simbol yang ditransmisikan (penerusan pesan) secara historis (Isnaoen, 2010: 9).

(19)

Berikut merupakan budaya masyarakat Jepang:

a) Mabui dalam artian Jepang menghasilkan makna inti, ruh, atau arwah manusia. Mabui atau "roh", adalah konsep atau kunci yang terdapat dalam agama Ryukyuan (Quietedchaos, 2011).

b) Noro dalam artian Jepang menghasilkan makna pemimpin pendeta perempuan di daerah kepulauan Ryukyu (Khalika, 2018).

c) Mabui-utushi dalam artian Jepang menghasilkan makna kehilangan mabui atau roh dari diri manusia (Maulidya, 2010: 23).

d) Onarigami dalam artian Jepang menghasilkan makna kepercayaan terhadap kaum perempuan yang mempunyai keunggulan spiritual di Okinawa (Hardja, 2017: 5).

e) Sensei dalam artian Jepang menghasilkan makna imbuhan akhir pada suatu kata atau dapat disebut sebagai sufiks, contohnya dalam bahasa Indonesia terdapat imbuhan akhir "-nya", dimana orang Jepang memakainya untuk memanggil orang yang memiliki kedudukan tinggi sehingga mendapat penghormatan dengan gelar tersebut (Amid, 2021).

f) Mabui-gumi dalam artian Jepang menghasilkan makna peristiwa atau upacara untuk mengembalikan mabui (ruh atau arwah manusia) (Quietedchaos, 2011).

g) Yuta dalam artian Jepang dapat menghasilkan makna sebutan bagi golongan dukun perempuan di Okinawa Jepang (Masaharu, 2000).

(20)

h) Samurai dalam artian Jepang menghasilkan makna prajurit Jepang yang hidup di masa Pre-modern, yakni masa pada saat ilmu industri dan teknologi belum berkembang pesat (Clements, 2010: 18-19).

i) Harakiri dalam artian Jepang menghasilkan makna berakar dari bahasa Jepang hara memiliki arti perut, selanjutnya kiri memiliki arti memotong sehingga dapat digabungkan menjadi “bunuh diri dengan merobek perut” (Seward, 1995: 1).

j) Kaminchu dalam artian Jepang dapat menghasilkan makna orang yang mengkhususkan atau memantapkan diri pada praktek religiomagis di Ryukyu, yaitu kegiatan yang berhubungan dengan dunia arwah atau ruh (Hardja, 2017: 8).

k) Origami dalam artian Jepang menghasilkan makna berakar dari istilah Jepang "ori" mempunyai arti lipatan, selanjutnya "kami" mempunyai arti kertas. Origami merupakan seni dalam melipat kertas yang awal mulanya dicetuskan masyarakat Jepang (Karmachela, 2008).

Sudarsih (2018: 81) berpendapat, budaya yang dianut masyarakat Jepang sesuai ajaran moral turun-temurun sesuai kebiasaan-kebiasaan yang positif dan praktis yang terus dijaga.

2.6 Teori Penelitian

Teori adalah himpunan atau kumpulan pengertian, konsep atau penjelasan yang dirangkai dengan terstruktur, sehingga menjadikan teori dapat dipakai sebagai penjelas serta dapat menguraikan peristiwa atau fenomena tertentu.

(21)

2.6.1 Teori Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes dalam (Rokhmansyah, 2014: 4) mengembangkan teori semiotika menjadi dua tingkatan tanda, yang pertama tingkat denotasi dan kedua tingkat konotasi. Pada penelitian yang dilakukan ini masuk pada penelitian semiotika budaya, yang secara spesifik mengkaji sistem tanda yang terdapat pada budaya masyarakat. Roland Barthes memaparkan bahwasanya semiotika merupakan satu metode analisis atau ilmu untuk mengkaji suatu tanda. Barthes membagi dua pengertian semiotika, yaitu denotasi dan konotasi.

Barthes (1974) menjelaskan secara keseluruhan terkait apa yang sering dikatakan sebagai sistem pemaknaan pada tataran kedua di dalam bukunya yang berjudul S/Z, dimana pemaknaan pada tataran kedua terbentuk berdasarkan pada sistem lain yang sebelumnya sudah ada. Salah satu contohnya adalah sastra, dimana memberikan petunjuk paling nyata dari sistem pemaknaan pada tataran kedua yang terbentuk dari bahasa sebagai suatu sistem tahap pertama. Barthes (1972) memaparkan dalam sistem kedua ini disebut sebagai konotasi, yang dijelaskan di dalam bukunya yang berjudul Mythologies secara terang-terangan dia membedakan denotasi dengan konotasi, dimana denotasi merupakan sistem pemaknaan pada tataran pertama.

Konotasi bukan sekedar makna tambahan, akan tetapi memiliki bagian denotasi yang menjadi landasan kehadirannya (Budiman, 2010: 254). Inilah sumbangsih Roland Barthes yang sangat bernilai bagi penyempurnaan semiotika Ferdinand de Saussure, dimana semiotika Ferdinand de Saussure hanya berhenti pada tataran denotasi atau tingkat penandaan pertama. Dalam bukunya Roland

(22)

Barthes membahas terkait medan pemaknaan konotasi yang mungkin saja menjadikan seseorang dapat berbicara mengenai metafora serta gaya bahasa kiasan lain yang hanya memiliki makna apabila dipahami pada tataran konotasi atau tingkat penandaan kedua. Lebih dari itu, teori tanda Roland Barthes juga menjadikan orang-orang dapat melaksanakan pembacaan semiotika pada karya prosa, seperti novel dan cerita-cerita pendek lainnya yang selama ini sulit untuk ditelaah dari perspektif atau sudut pandang semiotika.

2.6.1.1 Denotasi

Denotasi merupakan tingkatan penggambaran secara harfiah terhadap suatu makna yang telah disetujui semua kelompok masyarakat. Roland Barthes dalam (Wibowo, 2013: 7) menjelaskan denotasi merupakan suatu yang telah mengalami penggambaran oleh tanda pada suatu objek tertentu. Dalam pandangan Roland Barthes denotasi menjadi tataran pertama, dimana memiliki makna yang sifatnya tertutup. Pada tataran denotasi memiliki kemampuan dalam menghasilkan makna secara langsung, secara pasti dan secara eksplisit. Denotasi adalah makna yang paling benar, dimana mengarah pada realitas dan kebenaran, yang telah disetujui bersama-sama secara sosial.

Bagan 1

Pemetaan Denotasi oleh Roland Barthes

Denotasi

Denotasi merupakan sistem signifikasi (pemaknaan) tahap pertama

Denotasi menggunakan makna dari tanda sebagai definisi secar literal yang nyata.

(23)

Roland Barthes(dalam Sobur, 2013: 69)

Dari bagan di atas denotasi dalam pandangan Barthes merupakan signifikasi (pemaknaan) tahap pertama. Denotasi merupakan makna yang paling nyata dan dipastikan akan kebenarannya yang disepakati bersama secara sosial, sehingga tataran denotasi dapat dikatakan menghasilkan makna yang pasti dan tidak diragukan kebenarannya.

Istilah “orders of signification”. First order signification digunakan Roland Barthes pada tataran denotasi. Barthes melalui model ini mencoba memaparkan mengenai signifikasi tahap awal yang merupakan jalinan hubungan suatu tanda dengan suatu dasar eksternal, dimana Barthes menyebutnya sebagai denotasi yang merupakan makna paling konkret dari suatu tanda atau (sign) (Wibowo, 2013: 22). Secara umum pengertian denotasi dianggap sebagai makna asli, makna nyata, makna sesungguhnya atau makna harfiah, bahkan terkadang dicampurkan pada acuan referensi yang ada. Dalam tahapan signifikasi yang dilakukan secara tradisional disebut sebagai denotasi, ini biasanya mengarah pada penggunaan bahasa dengan arti yang sama dengan apa yang terucap. Dapat disimpulkan makna denotasi merupakan penggambaran suatu objek, dimana makna denotasi sering dianggap sebagai makna asli, makna paling dasar, atau makna pusat. Makna denotasi merupakan makna pada suatu kata atau bisa juga pada kelompok kata yang berlandaskan pada penentuan secara sederhana pada sesuatu yang terdapat pada bagian luar bahasa atau yang berlandaskan pada kaidah tertentu yang memiliki bersifat objektif.

(24)

2.6.1.2 Konotasi

Roland Barthes menggunakan istilah second order signification pada konotasi. Konotasi merupakan makna yang terbentuk dari adanya jalinan antara signifier dan budaya yang dilakukan secara luas, dimana terdiri dari suatu

kepercayaan, perilaku, kerangka kerja dan ideologi yang dianut pada suatu kelompok sosial. Roland Barthes dalam (Wibowo, 2013: 24) menjelaskan, konotasi merupakan istilah yang dipakai dalam memperlihatkan signifikasi tataran kedua. Inilah yang memberikan penggambaran terkait terjadinya interaksi saat suatu tanda berjumpa dengan emosi, reaksi atau perasaan dari pembaca dan juga dengan nilai pada budaya. Pada konotasi mengandung makna subjektif atau dapat dikatakan paling tidak mengandung makan yang intersubjektif (Abdullah, 2018:

22). Dapat disimpulkan, konotasi merupakan suatu yang digambarkan tanda terhadap suatu objek dan dianggap sebagai makna tambahan. Makna konotasi merupakan aspek makna sebuah kata atau juga kelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang dihasilkan pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca).

Bagan 2

Pemetaan Konotasi oleh Roland Barthes

Roland Barthes(dalam Sobur, 2013: 69) Konotasi

Konotasi merupakan sistem signifikasi (pemaknaan) tahap kedua.

Konotasi menggunakan makna yang mengarah pada kondisi sosial budaya dan

asosiasi personal.

(25)

Dari bagan di atas konotasi dalam pandangan Barthes merupakan signifikasi (pemaknaan) tahap kedua, dapat dikatakan makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif yang berhubungan dengan isi tanda kerja, di mana menggunakan makna yang mengarah pada kondisi sosial budaya dan asosiasi personal dalam masyarakat.

Berbeda dengan denotasi yang dapat dikatakan sebagai makna objektif, sedangkan subjektif dan bervariasi merupakan makna dari konotasi (Vera, 2014:

26). Konotasi memiliki kesamaan dengan operasi ideologi, yang dikatakan sebagai “mitos” dimana memiliki fungsi dalam memberikan nilai dan berusaha dalam mengungkapkan kekuasaan yang berlaku pada suatu periode tertentu hal ini terdapat dalam konsep kerangka berpikir Roland Barthes. Pada “mitos” memiliki tanda, penanda dan pertanda sebagai bentuk tiga dimensi yang melekat pada mitos. Mitos merupakan satu kesatuan sistem pemaknaan tataran atau tahapan kedua. Dapat dikatakan sebuah pertanda dapat memiliki beberapa penanda di dalam mitos, karena sebagai suatu sistem yang unik mitos dibentuk oleh rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya (Budiman, 2001: 28). Dapat disimpulkan konotasi merupakan makna yang paling tidak intersubjektif atau paling subjektif yang berhubungan dengan isi, tanda kerja melalui mitos. Mitos sendiri merupakan lapisan makna dan pertanda yang paling dalam.

2.6.2 Semiotika dalam Kajian Budaya

Sistem pemaknaan merupakan anggapan yang sering disematkan pada semiotik dalam kajian budaya (signifying system) (Danesi, 1999: 23). Menurut pendapat Eco (1979: 67-70) konvensi merupakan suatu prinsip dalam kehidupan

(26)

berkebudayaan yang menghasilkan suatu makna tanda, sedangkan interpretant (merupakan komponen/bagian terakhir dalam proses semiosis). Semiotik memberikan kedudukan atau tempat yang sentral kepada tanda pada saat menghubungkan suatu tanda dengan kebudayaan. Apabila dalam penelitian yang diteliti itu teks, maka teks itu yang digunakan, dilihat dan dipakai sebagai tanda.

Manusia dan lingkup sosio histori kultural yang dimiliki tidak secara khusus diperlihatkan, difokuskan atau ditonjolkan dalam analisis semiotik pada saat tanda itu mengalami proses pemaknaan. Dapat disimpulkan semiotika berusaha menghubungkan antara tanda dengan kebudayaan, dimana makna tanda merupakan hasil suatu konvensi, suatu prinsip dalam kehidupan berkebudayaan, sehingga dalam pandangan semiotik melihat kebudayaan sebagai suatu sistem pemaknaan.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menggunakan metode analisis isi yang umumnya untuk melihat isi media yang tersurat meliputi perhatian media terhadap isu, tokoh atau lembaga, kelengkapan

Pemanfaatan energi matahari tersebut direalisasikan dalam bentuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya dengan pengembangan listrik tenaga surya yang berbasis kepada efek

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Daerah Nomor 09 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan (Lembaran Daerah Kabupaten Nganjuk Tahun 2011 Nomor

Hal ini disebabkan karena banyak fakta-fakta di lapangan yang memunculkan berbagai macam bentuk mainan(toys) dan permainan(game) yang berasal dari luar negeri yang

M embaca merupakan salah satu kemampuan dasar yang perlu di miliki siswa untuk dapat memasuki dunia belajar. Keberhasilan membaca pada siswa sekolah dasar ikut

Taha (2014) meneliti “The Disco ursal Arabic Coordinating Conjuntion WA (And)” dalam penelitian Taha meneliti tentang fungsi konjungsi koordinatif “WA” dan yang

Adapun hasil- hasil dari penelitian terdahulu yang dijadikan perbandingan tidak lepas dari topik penelitian mengenai Analisis Implementasi Corporate Social

Dalam memperhitungkan unsur-unsur ke dalam produksi terdapat dua pendekatan yaitu full costing dan variabel costing.Full costing merupakan metode pententuan (HPP) yang