• Tidak ada hasil yang ditemukan

unified soil classification system

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "unified soil classification system"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 3

LANDASAN TEORI

3.1 Umum

Dalam pengertian teknik secara umum tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral mineral padat yang tidak tersementasi ( terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan – bahan organik yang telah melapuk ( yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong diantara partikel-partikel padat tersebut. (Das, 1995)

Tanah adalah kumpulan butiran mineral alami (ageregat) yang bisa dipisahkan oleh suatu cara mekanis bila agregat tersebut diaduk dalam air. Sedangkan batuan adalah agregat yang mineralnya satu sama lain diikat oleh gaya-gaya kohesif yang permanen dan kuat, dan tidak bisa dipisahkan dengan cara mekanis sederhana. (Panguriseng, 2018)

Material tanah pada dasarnya terdiri atas dua atau tiga bagian, dalam tanah yang kering maka tanah hanya terdiri dari dua bagian, yaitu butir – butir tanah dan pori-pori udara. Dalam tanah yang jenuh juga terdapat dua bagian, yaitu bagian padat atau butiran dan air pori. Dalam keadaan tidak jenuh, tanah terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian padat (butiran), pori-pori udara, dan air pori.

(Hardiyatmo, 2002).

3.2 Klasifikasi tanah

Sistem klasifiksi tanah adalah suatu sistem pengaturan beberapa jenis tanah yang berbeda - beda tapi mempunyai sifat yang serupa ke dalam kelompok - kelompok dan subkelompok - subkelompok berdasarkan pemakaiannya. (Das, 1995) Klasifikasi dilakukan untuk memudahkan dalam analisa suatu sampel tanah, sehingga dapat mengetahui sifat fisis suatu tanah berdasarkan kelompok- kelompok yang telah ditetapkan. Sistem klasifikasi tanah berdasar pada ukuran partikel yang diperoleh dari analisa saringan dan plastisitas.

Metode klasifikasi yang umumnya dapat digunakan adalah metode USCS (unified soil classification system) dan ASTM ( American society for testing

(2)

and materials). Metode USCS merupakan sistem yang diperkenalkan oleh Casagrande pada tahun 1942 yang digunakan oleh The Army Corps of Engineers selama perang dunia II untuk membuat lapangan terbang. Pada sistem ini tanah dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu tanah berbutir kasar (kerikil dan pasir) jika pada saringan no. 200 persentase lolos kurang dari 50%, dan berbutir halus (lanau/lempung) jika pada saringan 200 persentase lolos lebih dari 50%.

Gambar 3.1 Sistem Klasifikasi Tanah Berdasarkan USCS

(Sumber : Hardiyatmo, 2002) 3.3 Kadar Air

Kadar air merupakan perbandingan antara berat air dan berat butiran padat dalam tanah, yang dinyatakan dalam persen. Kadar air digunakan untuk menyatakan hubungan antar bagian penyusun, yang berada dalam suatu volume material tanah. Nilai kadar air berhubungan dengan pengujian lainya, seperti pada pengujian batas plastis dan batas cair tanah. Untuk menghitung kadar air pada suatu sampel tanah digunakan rumus:

Kadar air = W1-W2

W2-W3

x 100%

Keterangan :

W = kadar air (%)

(3)

W1 = berat cawan dan tanah basah (gram ) W2 = berat cawan dan tanah kering (gram ) W3 = berat cawan (gram )

(W1 – w2) = berat air (gram )

(W2 – w3 ) = berat tanah kering ( partikel padat ) (gram) 3.4 Batas – batas Atterberg (Atterberg Limit)

Plastisitas merupakan kemampuan tanah dalam menyesuaikan perubahan bentuk pada volume yang konstan tanpa adanya retak atau remuk. Kondisi ini bergantung pada kadar air, ketika terlalu tinggi kadar air maka tanah akan berada dalam kondisi cair atau liquid. Terdapat beberapa kondisi yang disebabkan oleh perbedaan kadar air, Atterberg (1911) memberikan cara untuk menggambarkan batas – batas konsistensi dari tanah berbutir halus dengan mempertimbangkan kadar air tanah. Batas batas tersebut adalah batas cair (liquid limit), batas plastis (plastic limit), dan batas susut (shrinkage limit). Batas batas tersebut biasa juga dikenal sebagai (atterberg limit), yang digambarkan dalam diagram berikut :

Gambar 3.2 Atterberg Limit (Sumber : Hardiyatmo, 2002) 3.4.1 Batas cair ( liquid limit)

Batas cair merupakan keadaan ketika kadar air tanah berada pada batas antara keadaan cair dan keadaan plastis. Batas tersebut berdasar pada pengujian Cassagrande (1948), dengan menggunakan cawan berbentuk khusus dengan cara membelah sampel tanah, dengan ketinggian sampel contoh dalam tanah ± 8 mm. dan membelahnya dengan alat grooving tool serta dilakukan ketukan dengan memutar tuas hingga sampel yang terbelah tersebut menyatu.

LL = Wn x (25N)0,121 Atau LL = k.Wn

(4)

Dengan pengertian :

N = jumlah pukulan yang menyebabkan tertutupnya alur pada kadar air tertentu

LL = batas cair terkoreksi untuk tertutupnya alur pada 25 pukulan (%) Wn = kadar air (%)

K = faktor koreksi yang terdapat pada (SNI 1967:2008) 3.4.2 Batas Plastis ( plastic limit )

Batas plastis merupakan keadaan ketika kadar air tanah berada pada batas antara keadaan plastis dan keadaan semi padat. Pada keadaan ini tanah dapat menahan perubahan bentuk, yang dibuktikan dengan membuat sampel tanah dengan diameter 3,2 mm dan mulai retak – retak ketika digulung.

Batas plastis = massa air

massa tanah kering x 100%

Batas cair dan batas plastis merupakan pengujian yang saling berhubungan, karena dari dua pengujian tersebut didapatkan data indeks plastisitas. Indeks plastisitas adalah hasil dari selisih kadar air antara batas cair dan batas plastis.

IP = LL – PL Keterangan:

IP = Indeks Plastisitas (%) LL = Batas Cair (%) PL = Batas Plastis (%) 3.5 Berat jenis Tanah

Berat jenis adalah perbandingan antara berat volume butiran tanah dengan berat volume air, pada volume dan temperatur yang sama. Nilai - nilai berat jenis tanah dapat diketahui dengan menggunakan rumus :

Gs = w2-w1

(w4 -w1 )-(w3-w2) Keterangan :

Gs = Berat jenis

W1 = Berat piknometer kosong (gram)

(5)

W2 = Berat piknometer + contoh tanah kering (gram) W3 = Berat piknometer + contoh tanah + air suling (gram) W4 = Berat piknometer + air suling (gram).

Berat jenis tanah berkisar antara 2,65 sampai 2,75 untuk berat jenis Gs = 2,67 biasanya digunakan untuk tanah – tanah tidak berkohesi atau granuler, dan untuk berat jenis antara 2,68 sampai 2,72 merupakan tanah kohesif yang tidak mengandung bahan organik. Untuk lebih jelasnya dalam tabel 3.2.

Tabel 3.2 Berat jenis tanah (specific gravity)

Macam tanah Berat jenis (Gs)

Kerikil 2,65 – 2,68

Pasir 2,65 – 2,68

Lanau anorganik 2,62 – 2,68

Lempung organik 2,58 – 2,65

Lempung anorganik 2,68 – 2,65

Humus 1,37

Gambut 1,25 – 1,8

( Sumber : Hardiyatmo, 2017) 3.6 Analisa Besar Butir

Ukuran butiran tanah menjadi dasar dalam pemberian nama dan klasifikasi tanah, oleh karena itu perlu dilkukan nya uji analisis besar butir. Analisis besar butir adalah penentuan persentase berat butiran pada satu unit saringan, dengan ukuran diameter lubang tertentu. Berdasarkan butirannya, tanah dibedakan menjadi dua macam ( tanah berbutir kasar dan tanah berbutir halus ) caranya adalah dengan menyaring benda uji menggunakan satu set saringan standar.

(6)

Gambar 3.3 Uji Analisa Besar Butir ( Sumber : Hardiyatmo, 2017) 3.7 Pemadatan Tanah

Pemadatan tanah merupakan suatu proses bertambahnya berat volume kering oleh beban dinamis. Pemadatan dilakukan untuk mendapatkan tanah sesuai dengan kondisi yang diinginkan untuk suatu pekerjaan tertentu. Berkurangnya rongga udara mengakibatkan butiran – butiran tanah merapat satu sama lainya, yang disebabkan oleh beban dinamis. Tingkat kepadatan tanah di ukur dari nilai berat volume keringnya ( Ɣd ), berat volume kering tidak akan berubah dengan kenaikan kadar air. Kadar air pada keadaan berat kering maksimum merupakan kadar air optimum, kadar air ini akan digunakan dalam pengujian California Bearing Ratio (CBR). Hubungan berat volume kering (Ɣd) dengan berat volume basah (Ɣb) dan kadar air (w) dinyatakan dalam persamaan :

Ɣd = Ɣb 1+w 3.8 California Bearing Ratio (CBR)

California Bearing Ratio (CBR) pertama kali dikembangkan oleh california state highway departement, prinsip pengujian ini adalah pengujian dengan melakukan penetrasi kedalam benda uji. Dalam (SNI 1744, 2012) , CBR adalah perbandingan antara tegangan penetrasi suatu lapisan tanah atau perkerasan

(7)

terhadap tegangan penetrasi bahan standar dengan kedalaman dan kecepatan penetrasi yang sama.

Terdapat dua pengujian CBR, yaitu CBR laboratorium rendaman, dan CBR laboratorium tanpa rendaman. Secara umum nilai Laboratorium selalu menghasilkan nilai yang lebih besar dibanding CBR laboratorium rendaman.

Berikut merupakan alat uji CBR laboratorium:

Gambar 3.4 CBR Laboratorium (Sumber : Dokumentasi penulis, 2023) 3.9 Stabilisasi Tanah

Stabilisasi tanah merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki sifat – sifat tanah. Menurut Lambe (1962) dalam Darwis (2017), mendefinisikan stasbilisasi tanah sebagai perubahan dari setiap properti tanah untuk memperbaiki kinerja tekniknya (soil stabiliization as “the alteration of any property of a soil to improve its engineering perfomance”). Dalam pengertian ini Lambe memaknai sifat – sifat tanah (soil property) mencakup sifat mikroskopis dan makroskopis dari massa tanah.

Stabilisasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya adalah dengan menambahkan zat kimia. stabilisasi ini menggunakan zat kimia yang berada pada suatu bahan tertentu yang dapat bereaksi dengan tanah, seperti kandungan silika (SiO2) yang dapat bereaksi dengan tanah sehingga menimbulkan reaksi pozolanic yang dapat meningkatkan kekuatan tanah. Metode stabilisasi tanah dengan bahan kimia dapat diterapkan pada berbagai jenis tanah dan dapat

(8)

digunakan dalam stabilisasi tanah baik untuk pekerjaan jalan baik sebagai lapis pondasi maupun lapis tanah dasar.

3.10 Steel Slag

Steel slag atau terak baja merupakan hasil sisa pembakaran dari proses pembuatan baja. Terak baja terbentuk akibat penambahan kapur untuk mengikat bahan – bahan pengotor dari biji besi, agar diperoleh besi murni. Terak baja memiliki sifat yang keras dan kedap air, bahan ini dapat dimanfaatkan sebagai material timbunan, material beton atau bahan baku semen. Semisal di negara Jepang material ini telah dikembangkan sebagai pupuk tanaman. Berikut merupakan zat yang terkandung dalam terak baja.

Gambar 3.5 Steel Slag (Sumber : Dokumentasi penulis, 2023) Tabel 3.3 Pengujian Komposisi Kimia

Kandungan Komposisi (%)

Al2O3 5,875%

SiO2 12,75%

P2O5 0,65%

MgO 28,29%

MnO 1,51%

CaO 29,245%

FeO 22,945%

TiO2 1,41%

V2O3 0,16%

(Sumber : PT. Krakatau Steel, 2010)

(9)

Dalam SNI 8378:2017 menjelaskan bahwa slag baja dapat digunakan sebagai lapis fondasi bawah, dengan memenuhi persyaratan – persyaratan yang telah ditetapkan, seperti :

a. Slag harus berasal dari limbah pleburan biji besi atau baja, baik baik berupa BF slag, BOF slag, EAF slag maupun IF slag.

b. Pemanfaatan slag untuk menjadi agregat lapis fondasi dan fondasi bawah harus dari hasil produksi industri yang sudah ada izin pengolahan slag dari kementrian yang berwenang di bidang lingkungan hidup.

c. Pengambilan contoh slag untuk pengujian sesuai dengan SNI 6889:2014, Bahan harus ditumpuk maksimum 5 meter, dipisah setiap ukuran, terhindar dari air dan disimpan dengan baik sehingga dapat mencegah segregasi.

Untuk mencegah tercampurnya slag – slag tersebut maka gunakan dinding pemisah.

d. Fraksi slag kasar dan slag halus harus merupakan bahan yang bersih, keras, nonplastis, dan bebas dari bahan yang menurunkan kualitas campuran.

e. Tidak boleh ada penambahan bahan lain ke agregat slag yang mempunyai perbedaan berat jenis lebih dari 0,2.

3.11 Fly Ash

Fly ash atau abu terbang, merupakan limbah padat sisa pembakaran batu bara pada PLTU. Fly ash merupakan material padat yang memilki ukuran butiran yang halus dan berwarna keabu-abuan. Bahan ini sangat dominan digunakan dalam dunia konstruksi sebagai bahan campuran pada beton dan dapat digunakan dalam stabilisasi tanah.

Berdasarkan (SNI 2460: 2014) abu terbang diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Kelas N- pozolan alam mentah atau telah dikalsinasi memenuhi persyaratan yang berlaku untuk kelas N, misalnya beberapa tanah diatome (hasil pelapukan); batu rijang opalan dan serpih.

b. Kelas F – Abu terbang dari batu bara memenuhi persyaratan untuk kelas F, Abu terbang kelas F mempunyai sifat pozolanik.

c. Kelas C – Abu terbang dari batubara memenuhi persyaratan yang berlaku untuk kelas C. abu terbang kelas C memiliki sifat pozalanik dan sementisius.

Kandungan kimia yang terdapat pada fly ash, sesuai SNI 2460:2014 adalah:

(10)

Gambar 3.5 Fly Ash (Sumber : Dokumentasi penulis, 2023) Tabel 3.4 Komposisi Kimia pada Fly Ash

Komposisi Unit Result

SiO2 % 41,96

Al2O3 % 21

Fe2O3 % 16,6

CaO % 11,79

MgO % 3,06

Na2O % 0,57

K2O % 0,66

SO3 % 0,6

MnO2 % 1,64

P205 % 0,53

Ti02 % 0,98

(Sumber : PT. Indonesia Power Unit Jasa Pembangkitan PLTU Banten 3 Lontar )

3.12 Botol Kaca

Kaca merupakan salah satu benda yang sering kita temui dalam kehidupan sehari – hari. Kaca selain dapat digunakan sebagai bahan bangunan atau pun ornamen pada rumah, juga digunakan sebagai wadah minuman berupa botol.

Kaca merupakan salah satu produk indutsri kimia yang dihasilkan dari dekomposisi dan peleburan senyawa alkali dan alkali tanah, pasir dan penyusun lainya.

Menurut (Sepriyanna, 2016) Kekhasan sifat-sifat pada kaca dipengaruhi oleh keunikan silika (SiO2) dan proses pembentukannya. Reaksi yang terjadi dalam pembuatan kaca scara ringkas adalah:

Na2CO3 + a.SiO2 Na2O.aSiO2 + CO2

CaCO3 + b.SiO2 CaO. bSiO2 + CO2

(11)

Na2SO4 + SiO2 + C Na2 . O.cSiO2 + SO + SO2 +CO

Gambar 3.5 Botol Kaca (Sumber : Dokumentasi penulis, 2023)

Tabel 3.5 Komposisi Kimia Pada Kaca Berwarna Komposisi Kaca bening Kaca coklat Kaca hijau

SiO2 72,42 72,21 72,38

Al2O3 1,44 1,37 1,49

TiO2 0,035 0,041 0,04

Cr2O3 0,002 0,026 0,13

Fe2O3 0,07 0,26 0,29

CaO 11,5 11,57 11,26

MgO 0,32 0,46 0,54

Na2O 13,64 13,75 13,52

K2O 0,35 0,2 0,27

SO3 0,21 0,1 0,07

(Sumber : Value-Added Utilisation Of Waste Glass InConcrete Research Journal ) Botol kaca yang digunakan pada penelitian ini berasal dari limbah rumah tangga dan tempat pembuangan akhir (TPA) pada daerah Kp. Buaran PLN, Cikokol Kota Tangerang dengan spesifikasi warna botol, berupa kaca bening .

(12)

Referensi

Dokumen terkait

Tanah adalah material yang terdiri dari butiran mineral-mineral padat yang tidak terikat secara kimia satu sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk

Tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregrat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari

Tanah sebagai material yang terdiri dari agregrat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan- bahan organik yang

Tanah adalah material yang terdiri dari butiran mineral-mineral padat yang tidak terikat secara kimia satu sama yang lain dari bahan-bahan organik yang telah lapuk yang

Tanah merupakan material yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan – bahan organik yang telah

Tanah adalah material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan-bahan

INSTITUT TEKNOLOGI INDONESIA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah adalah material yang terdiri dari agregat butiran mineral-mineral padat yang tidak tersementasi terikat

Tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari butiran mineral padat yang tidak tersementasi satu sama lain, dan terletak di atas lapisan batuan