commit to user
Effect of N-acetylcysteine Therapy on Microalbuminuria and
CRP Expression Levels in Cyclosporine Induction in Mice
Hipertension and Kidney Department, Internal Medicine
University of Sebelas Maret / General Hospital Moewardi Surakarta
ABSTRACT
Background
Cyclosporine is used to immunosuppressant but trigger ROS cause organ damage. N-Acetyl
Cysteine has antioxidant and anti-inflammatory effects
Research purposes
Analyzing the effect of N-Acetyl Cysteine to decreased levels of microalbuminuria and CRP
levels in Cyclosporine induced in mice.
Research methods
This study was an experimental study with randomization, sample 24 mice were divided into a
control group, a group of cyclosporin 20mg / kg / day orally, and group cyclosporine 20mg / kg /
day of oral and N-Acetyl Cysteine 40mg / kg / day orally for 3 weeks. How to measure
quantitatively assessed, with units of pg / mL. The scale of the data in the form of a ratio. Test
variations or differences in some test mean using ANOVA or F then Post Hoc Test with LSD /
Bonferroni
Research result
Mean ± SD microalbuminuria experiment control group 3.00 ± 2.08 pg / mL; cyclosporine group
5.44 ± 1.14 pg / mL; cyclosporine + NAS group 2.78 ± 0.5 pg / mL. While the average ± SD
CRP experimental control group 276.98 ± 55.01 pg / mL; cyclosporine group 339.16 ± 36.16 pg /
mL; cyclosporine + NAS group 190.90 ± 72.79 pg / mL. Cyclosporine treatment and N-Acetyl
Cysteine compared to cyclosporine had significantly lower levels of microalbuminuria (5.44 ±
1.14 pg / mL vs 2.78 ± 0.05 pg / mL; difference = -2.66 ± 0.64 pg / mL ; p = 0.001).
Administration of cyclosporine and N-Acetyl Cysteine compared to cyclosporine had
significantly lower CRP levels (339.16 ± 36.16 pg / mL vs 190.90 ± 72.79 pg / mL; difference =
-148.26 ± 36.66 pg / mL ; p = 0.001).
Conclusion
N-Acetyl Cysteine therapy can decrease the expression levels of microalbuminuria in the
induction of cyclosporine in mice significantly
Keywords: Cyclosporine, N-Acetyl Cysteine,
Microalbuminuria, CRP
Keywords: Cyclosporine, N-Acetyl Cysteine, Microalbuminuria, CRP
Pendahuluan
Terapi penatalaksanaan transplantasi ginjal seing diikuti penolakan tubuh. Dengan demikian, pengembangan obat imunosupresif merupakan kunci keberhasilan terhadap transplantasi ginjal. Imunosupresif digunakan untuk induksi dan pemeliharaan post transplantasi.(Karamehic dkk, 2006)
commit to user kortikosteroid). Menghindari interaksi
obat-obat adalah bagian utama dari manajemen imunosupresan yang efektif. Siklosporin digunakan untuk imunosupresan pada transplantasi namun Siklosporin ini akan memicu ROS menyebabkan kerusakan organ. (Gaston R, 2001)
N-Asetil Sistein merupakan suatu senyawa yang mengandung tiol dengan efek antioksidan dan antiinflamasi (Cuzzocrea dkk, 2001; Stenvinkel P & Sulliman ME, 2010). Efek antioksidan N-Asetil Sistein dapat terjadi secara langsung melalui interaksi dengan ROS elektrofilik maupun sebagai prekusor glutation (Dekhuijzen, 2004), suatu antioksidan vital yang melindungi sel dari stres oksidatif yang diketahui menurun (Santangelo dan Witko-Sarsat, 2004).
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efek pemberian N-Asetil Sistein terhadap ekspresi CRP di ginjal dan kadar mikoalbuminuria pada mencit induksi siklosporin
Metode Penelitian
Penelitian ini dikerjakan di Kandang Hewan Percobaan Laboratorium Histologis Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret sebagai tempat pemeliharaan hewan dan Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran untuk pemeriksaan ELISA.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, yaitu peneliti memberi suatu perlakuan terhadap mencit sebagai hewan coba. Dipilihnya jenis penelitian ini karena dapat menghasilkan data dengan validitas yang tinggi dan perlakuan dapat diatur oleh peneliti (Zainuddin, 1999).
Mencit sebagai hewan coba diinjeksi secara intraperitoneal dengan Siklosporin dan N-Asetil Sistein. Kemudian diperiksa CRP disamping itu juga dilakukan pemeriksaan mikroalbuminuria setelah periode waktu tertentu yaitu 3 minggu setelah pemberian siklosporin tanpa atau dan dilanjutkan N-Asetil Sistein selama 3 minggu berturut-turut.(Ahmad S dkk, 2006; Khader dkk, 1996)
Jumlah sampel 24 ekor mencit Balb/C Jantan berumur 3-4 bulan dengan berat badan 20-30 gram. Berumur 3-4 bulan. Hewan coba dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok kontrol, perlakuan, dan
perlakuan dengan terapi, masing–masing kelompok 8 ekor. Alokasi hewan coba kedalam tiga kelompok yang homogen dilakukan secara random untuk mempertahankan validitas internal. Sehingga setiap anggota sampel mempunyai kesempatan sama untuk menempati kelompok, baik kelompok kontrol, kelompok ,perlakuan, maupun perlakuan dengan terapi. (Kuntoro, 1994)
Pengukuran awal tidak dilakukan karena dianggap sama untuk semua kelompok yang berasal dari satu populasi, sehingga dapat dikembangkan rancangan eksperimental tanpa adanya pengukuran awal (pretest) tetapi hanya pengukuran akhir (post test) / post-test only
control group design (Zainuddin, 1999).
Variabel bebas meliputi:
Cyclosporine (Cs) dan Cyclosporine (Cs)
dikombinasi dengan N-Asetil Sistein (NAS).Variabel tergantung meliputi CRP dan mikroalbuminuria
Subjek penelitian adalah mencit jantan sub spesies Mus musculus galur Balb/C umur 3-4 bulan, berat badan 20–30 gram, diperoleh dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada. Bahan makanan mencit digunakan pakan mencit standar BR I.
commit to user Alat dan bahan dalam penelitian
ini yaitu untuk pemeriksaan mikroalbumin digunakan alat : pot penampung urin, tabung reaksi dan bahan : urin dan dipstick miroalbuminuria (Chemstrip ® Micral ® dari Roche). Penelitian ini dilakukan dengan memeriksa kadar mikroalbumin yaitu dengan cara di siapkan sampel urin spot pagi hari, kemudian dimasukkan tes strip (Chemstrip ® Micral ® dari Roche) ke dalam urin samapai batas tertentu, dan tunggu selama 1 menit. Diletakkan tes strip di atas tabung selama 30 detik. Dan dibandingkan warnanya dengan warna standar yang ada di tabung tempat tes strip. Bila warna putih berarti negatif, bila warna merah berarti positif. Secara semikuantitatif dibandingkan warna yang positif ini, lalu ditentukan kadarnya sesuai gradasi warna dari 20 – 100 mg/L. (Kresno, 2007)
Data disajikan dalam bentuk
mean ± SD kemudian dianalisis
menggunakan SPSS 17 for windows dengan nilai p < 0,05 dianggap signifikan secara statistik. Untuk mengetahui beda mean antara kelompok kontrol, siklosporin dan N-Asetil Sistein, digunakan uji F Anova bila distribusi data normal dan bila signifikan akan dilanjutkan dengan LSD Post Hoc Test. Sedangkan bila datanya tidak normal digunakan uji Kruskal-Wallis yang akan dilanjutkan dengan Mann whitney.
Hasil Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh terapi N-Asetil Sistein (NAS) terhadap ekspresi Mikroalbuminuria (MAU) dan C-Reactive Protein (CRP) pada mencit nefrotoksik induksi siklosporin.Sebelum sampai pada pengujian hipotesis penelitian itu, terlebih dahulu dilakukan penjelasan deskripsi variable penelitian yaitu Mmikroalbuminuria dan CRP pada mencit sampel yang dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok kontrol, kelompok perlakuan siklosporin, dan kelompok terapi siklosporin dan N-Asetil Sistein.
Penjelasan deskriptif obyek penelitian dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap berkenaan dengan karakteristik obyek yang diteliti. Penelitian ini dilakukan terhadap 24 ekor mencit yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok masing-masing berjumlah 8
ekor mencit sebagai obyek penelitian. Variasi dan perbedaan variabel yang dianalisis dalam ke tiga kelompok sampel itu meliputi mikroalbuminuria dan CRP, masing-masing apakah terpengaruh dengan indusksi siklosporin dan terapi N-Asetil Sistein (NAS) setelah diinduksi siklosporin tersebut.
Variabel-variabel penelitian dalam masing-masing kelompok sampel, setelah dijelaskan secara deskriptifyaitu nilai parameter rata-rata dan standar deviasinya, selanjutnya dilakukan pengujian normalitas atas data-data variablepenelitiantersebut untuk memastikan apakah distribusi data variabel benar-benar berdistribusi normal atau tidak berdistribusi normal. Pengujian normalitas data variabel ini penting untuk menentukan analisis statistik selanjutnya yang akan digunakan untuk menganalisis variabel penelitian mikroalnuminuria dan CRP itu. Uji Normalitas data variable dapat dilakukan dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk
Analisis penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi terjadinya variasi atau perbedaan tiga mean mikroalbuminuria maupun CRP. Variasi atau perbedaan tiga mean mikroalbuminuria yang dimaksud adalah mean mikroalbuminuria pada kelompok kontrol, kelompok perlakuan siklosporin, dan kelompok terapi siklosporin dan NAS. Variasi atau perbedaan tiga mean CRP yang dimaksud adalah mean CRP pada kelompok kontrol, kelompok perlakuan siklosporin, dan kelompok terapi siklosporin dan NAS. Dengan demikian penelitian ini menggunakan analisis statistik beda k mean (dalam hal ini 3 mean) untuk sampel yang independen atau analisis variance atau uji F.
Apabila hasil uji normalitas data variabel-variabel yang diteliti yaitu mikroalbuminuria dan CRP mendapatkan bahwa distribusi data masing-masing variabel untuk masing-masing kelompok sampel adalah berdistribusi normal, maka uji variasi atau perbedaan beberapa mean dapat menggunakan alat uji statistik perametrik yaitu Analysis of Variance
(ANOVA) atau disebut juga Uji F. Dan
commit to user dengan mencari perbedaan 2 mean antar
kelompok sampel untuk masing-masing variabel dengan menggunakan uji lanjutan
ANOVA yaitu Post Hoc Test dengan LSD/
Bonferroni. Namun apabila hasil uji
normalitas data masing-masing variabel menunjukkan bahwa distribusi data untuk masing-masing kelompok sampel adalah berdistribusi tidak normal maka uji variasi atau beda beberapa mean dapat menggunakan uji statistik non parametrik
Kruskal Wallis. Penelusuran lebih lanjut
untuk menguji beda mean antar masing-masing kelompok sampel dapat menggunakan analisis statistik non parametrik Mann-Whitne Variabel penelitian yang diduga dipengaruhi oleh terapi NAS terdiri dari dua variable yaitu variable mikroalbuminuria dan CRP yang masing-masing bersifat kuantitatif dengan skala data rasio. Deskripsi variable mikroalbuminuria dan CRP yang bersifat kuantitatif dibatasi pada pengungkapan nilai statistik rata-rata (mean) dan standar deviasi. Pengujian normalitas data atas variabel penelitian mendapatkan bahwa data-data variabel mikroalbuminuria untuk kelompok control, kelompok perlakuan siklosporin dan kelompok terapi siklosporin dan NAS ketiganyaberdistribusi normal. Sementara untuk data variabel CRP pada kelompok kontrol berdistribusi tidak normal dan pada kelompok perlakuan siklosporin serta kelompok terapi siklosporin dan NAS keduanya berdistribusi normal. Identifikasi normalitas data secara keseluruh untuk masing-masing variabel (tidak per kelompok) baik mikroalbuminuria maupun CRP keduanya berdistribusi normal..
Deskripsi obyek penelitian berdasarkan nilai rata-rata dan standar deviasi variable MAUadalah sebagai berikut:
Tabel 1. Deskripsi dan uji normalitas variabel mikroalbuminuria
Berdasarkan deskripsi variabel mikroalbuminuria di atas, nampak bahwa mencit yang diberikan perlakuan siklosporin memiliki rata-rata mikroalbuminuria lebih tinggi dibandingkan pada kelompok kontrol. Rata-rata mikroalbuminuria pada kelompok terapi siklosporin dan NAS selain lebih rendah dibandingkan dengan kelompok perlakuan siklosporin namun juga menjadi lebih rendah lagi dibandingkan dengan rata-rata pada kelompok kontrol.
Selanjutnya deskripsi obyek penelitian berdasarkan nilai rata-rata dan standar deviasi serta hasil pengujian normalitas data atas variabel CRP memiliki kesimpulan sedikit berbeda dibandingkan variabel mikroalbuminuria. Deskripsi rinci nilai rata-rata dan standar deviasi serta hasil uji normalitas data masing-masing kelompok untuk variabel CRP itu adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Deskripsi dan uji Normalitas variabel CRP
Berdasarkan deskripsi variabel CRP di atas, nampak bahwa mencit yang diberikan perlakuan siklosporin memiliki rata-rata CRP lebih tinggi dibandingkan pada kelompok kontrol. Rata-rata CRP pada kelompok terapi siklosporin dan NAS selain lebih rendah dibandingkan dengan kelompok perlakuan siklosporin juga lebih rendah lagi dibandingkan dengan rata-rata CRP itu pada kelompok kontrol.
Dengan demikian distribusi data variabel mikroalbuminuria dan CRP sudah dideskripsikan secara ringkas dan sudah dilakukan pengujian normalitas data terhadap variabel tersebut dan hasilnya semua distribusi data kedua variabel penelitian itu berdistribusi normal.
commit to user pengujian ANOVA untuk variabel
mikroalbuminuria adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Variasi atau
perbedaan tiga rata-rata variabel mikroalbuminuria menurut kelompok sampel
.
Hasil analisis variasi atau beda 3 rata-rata di atas menunjukkan bahwa perbedaan 3 rata-rata variabel mikroalbuminuria tersebut menghasilkan nilai F hitung = 8,926 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,002 yang berarti beda 3 rata-rata itu signifikan atau meyakinkan pada derajat signifikansi 1 persen (p < 0,01). Hal itu berarti beda rata-rata variabel mikroalbuminuria pada kelompok kontrol, perlakuan siklosporin, dan terapi siklosporin dan NAS benar-benar berbeda secara meyakinkan. Jika dibandingkan dengan rata-rata mikroalbuminuria pada kelompok kontrol, kelompok perlakuan siklosporin memiliki kecenderungan rata-rata mikroalbuminuria lebih tinggi (meningkat), kemudian rata-rata kelompok terapi siklosporin dan NAS memiliki rata-rata lebih rendah atau berarti mikroalbuminuria itu dapat diturunkan lagi dengan pemberian NAS.
Hasil penelusuran beda dua rata-rata variabel mikroalbuminuria antar kelompok sampel dapat dijelaskan dengan tabel sebagai berikut:
Tabel 4.Penelusuran beda dua rata-rata variabel mikroalbuminuria antar kelompok Kontrol, Siklosporin, Siklosporin+NAS
Gambar 1. Perbandingan nilai rata-rata mikroalbuminuria antar kelompok
Hasil analisis beda 2 rata-rata sampel independen menggunakan penelusuran Post Hoc Test Games
Howelldiatas menunjukkan bahwa uji
terhadap variabel mikroalbuminuria antara kelompok Kontrol dan Perlakuan Siklosporin signifikan pada derajat signifikansi sebesar 0,035 persen (p < 0,05). Hal itu dapat dikatakatan bahwa pada mencit kelompok perlakuan siklosporin rata-rata mikroalbuminuria lebih tinggi
(meningkat) secara
meyakinkandibandingkan kelompok kontrol. Setelah diberikan terapi siklosporin dan NAS maka rata-rata variabel mikroalbuminuria lebih rendah (mengalami penurunan) dibandingkan pada kelompok perlakuan siklosporin dengan tingkat signifikansi sebesar 0,001 (p < 0,01). Dengan demikian hipotesis pertama yang
menyatakan bahwa: “Pemberian N-asetilsistein menurunkan mikroalbuminoria
pada mencit nefrotoksik induksi siklosporin”
benar-benar dapat terbukti secara meyakinkan. Kembali lebih rendahnya (penurunan) rata-rata mikroalbuminuria akibat terapi siklosporin dan NAS ternyata lebih rendah dibandingkan rata-rata mikroalbuminuria pada kelompok kontrol, dan perbedaan rata-rata mikroalbuminuria kelompok terapi siklosporin dan NAS ini dengan kelompok kontrol memiliki tingkat signifikansi sebesar p = 0,756 yang berarti tidak signifikan pada derajat signifikansi sebesar 5 persen (p > 0,05).
commit to user berdistribusi normal, maka pengujian
variasi atau beda 3 rata-rata itu juga menggunakan ANOVA atau uji F. Hasil pengujian ANOVA untuk variabel CRP adalah sebagai berikut:
Tabel 5. Variasi atau perbedaan tiga rata-rata variabel CRP menurut kelompok sampel.
Hasil analisis variasi atau beda 3 rata-rata di atas menunjukkan bahwa perbedaan 3 rata-rata variabel CRP tersebut menghasilkan nilai F hitung = 13,814 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,001 yang berarti beda 3 rata-rata itu signifikan atau meyakinkan pada derajat signifikansi 1 persen (p < 0,01). Hal itu berarti beda rata-rata variabel CRP pada kelompok kontrol, perlakuan siklosporin, dan terapi siklosporin dan NAS benar-benar berbeda secara meyakinkan. Jika dibandingkan dengan rata-rata CRP kelompok kontrol, kelompok perlakuan siklosporin memiliki kecenderungan rata-rata CRP lebih tinggi (meningkat), kemudian rata-rata CRP pada kelompok terapi siklosporin dan NAS memiliki rata-rata lebih rendah dibandingkan pada kelompok perlakuan siklosporin atau berarti CRP itu dapat diturunkan lagi dengan pemberian NAS, bahkan penurunanCRP akibat terapi siklosporin + NAS itu menjadi lebih rendah dibandingkan rata-rata pada kelompok kontrol.
Hasil penelusuran beda dua rata-rata variabel CRP antar kelompok sampel dapat dijelaskan dengan tabel sebagai berikut:
Tabel 6. Penelusuran beda dua rata-rata variabel CRP antar kelompok Kontrol, Siklosporin, Siklosporinm+NAS
Keterangan : *) Signifikan pada derajat signifikansi 5 persen.
**) Signifikan pada derajat signifikansi 1 persen.
Gambar.2.
Perbandingan Nilai Rata-rata CRP antar kelompok
Hasil analisis beda 2 rata-rata sampel independen menggunakan penelusuran Post Hoc Test LSD diatas menunjukkan bahwa uji terhadap variabel CRP antara kelompok Kontrol dan Perlakuan Siklosporin memiliki tingkat signifikansi sebesar 0,040 persen (p < 0,05), yang berarti signifikan pada derajat signifikansi sebesar 5 persen. Hal itu dapat diartikan bahwa pada mencit kelompok perlakuan siklosporin rata-rata variabel CRP lebih tinggi (meningkat) dibandingkan pada kelompok kontrol. Setelah diberikan terapi siklosporin dan NAS maka rata-rata variabel CRPlebih rendah (mengalami penurunan) dibandingkan pada kelompok perlakuan siklosporin dengan tingkat signifikansi sebesar 0,001 (p < 0,01). Dengan demikian hipotesis kedua yang menyatakan bahwa:
“Pemberian N-asetilsistein menurunkan
kadarCRP pada mencit nefrotoksik induksi
siklosporin” benar-benar dapat terbukti
commit to user dari rata-rata variabel CRP semula seperti
yang berada pada kelompok kontrol.
Berdasarkan prinsip Ontologi, proses terjadinya kerusakan ginjal dimulai dari pemberian Sikosporin akan menginduksi endotelin, endotelin akan memgaktifkan enzim NADPH yang berada pada mitokondria sehingga membentuk ROS.
Terjadinya kerusakan pada jaringan ginjal bisa dideteksi dari: Tingkat molekuler dengan CRP yang dilakukan pemeriksaan imunobiologik dengan metode imunohistokimia,tingkat klinis (mikroalbuminuria) menggunakan antibodi monoklonal albumin dengan teknik elisa.
Sikosporin sebagai bahan nefrotoksik, bersifat destruktif terhadap sel-sel ginjal. Efek samping tersebut disebabkan oleh ROS yang memiliki reaktifitas sangat tinggi. ROS akan merusak sel-sel tubulus proksimal, endotel, membran basalis, maupun glomerolus. Sel-sel yang rusak akan membentuk debris. Debris akan mengaktifkan makrofag, lewat TLR-4, sehingga makrofag mengekspresikan sitokin-sitokin TNF-α1, TGF-β1, IL-1β, IL-6, dan IL-8 . IL-6 akan merangsang hepatosit untuk mensekresikan hsCRP, CRP akan mengakibatkan disfungsi endotel. Hal ini akan menyebabkan terjadinya aterosklerosis yang lebih progresif(Tamaki et al., 1994; Wang dan Wang, 2001).
Pemberian kombinasi Sikosporin dan Asetil Sistein pada penelitian ini, N-Asetil Sistein berperan sebagai anti ROS, sehingga kerusakan sel (debris) berkurang, akibatnya rangsangan terhadap makrofag lewat TLR-4 berkurang pula. Akibatnya ekspresi IL 6 oleh makrofag juga berkurang, sehingga produksi CRP berkurang pula (Suryohudoyo, 2000; Kupsakova et al.,, 2002; Mayes, 2003; Davila et al., 2004).
Albuminuria merupakan petanda dini (marker) terjadinya disfungsi endotel secara umum meliputi pembuluh darah renal, kardial, maupun serebral. Adanya albuminuria secara mudah dapat dideteksi lewat urin, dengan mengetahui albuminuria yang dimulai dengan mikroalbuminuria, kita menjadi lebih dini mengetahui disfungsi endotel tersebut sehingga prognosisnya lebih baik karena disfungsi endotel tersebut masih reversibel (Bawazier, 2006; Weir, 2007; Loscalzo, 2009).
Pada penelitian ini didapatkan jika dibandingkan dengan rata-rata CRP kelompok kontrol, kelompok perlakuan siklosporin memiliki kecenderungan rata-rata CRP lebih tinggi (meningkat), kemudian rata-rata CRP pada kelompok terapi siklosporin dan NAS memiliki rata-rata lebih rendah dibandingkan pada kelompok perlakuan siklosporin atau berarti CRP itu dapat diturunkan lagi dengan pemberian NAS, bahkan penurunan CRP akibat terapi siklosporin dan NAS itu menjadi lebih rendah dibandingkan rata-rata pada kelompok kontrol.
Siklosporin telah terbukti meningkatkan faktor vasokonstriktor endotelin serta tromboksan selain aktivasi dari sistem rennin angiotensin (RAS). Juga didapatkan pengurangan dalam faktor-faktor vasodilator, prostasiklin, prostaglandin E2, dan NO. Aktivasi RAS oleh Siklosporin adalah dengan dua mekanisme yang merupakan efek langsung pada sel-sel juxtaglomerular (JG) dan secara tidak langsung melalui vasokonstriksi arteri dan mengurangi aliran plasma ginjal. Penurunan yang bermakna dari petanda inflamasi sistemik seperti CRP, homosistein, ADMA, dan IL-6 pernah dilaporkan setelah penambahan pengobatan N-Asetil Sistein (Forsythe P dan Paterson S. 2014)
Pada penelitian efek dari siklosporin pada kerusakan endotelium pada tikus disebutkan bahwa kerusakan oleh karena kerusakan endotel vaskuler juga disebabkan karena aktivasi sistem komplemen yang diinduksi oleh jalur VEGF/DAF dan ROS/CRP (Sinchuan DX, 2012)
commit to user lebih rendah lagi dibandingkan dengan
rata-rata pada kelompok kontrol
Pada penelitian lain disebutkan bahwa kelompok kombinasi Pentoksifilin dan Doksorubisin memperlihatkan penurunan albuminuria, penurunan yang bermakna terlihat pada minggu ke-4, namun pada minggu ke-8 penurunannya kurang bermakna dari pada kelompok yang hanya diberikan Doksorubisin saja. (Purwanto B. 2010)
Albuminuria merupakan petanda dini (marker) terjadinya disfungsi endotel secara umum meliputi pembuluh darah renal, kardial, maupun serebral. Adanya Albuminuria yang secara mudah dapat diteksi lewat urin, dapat menjadi marker disfungsi endotel pembuluh darah di seluruh tubuh. Dengan mengetahui Albuminuria yang dimulai dengan mikro-albuminuria, kita menjadi lebih dini mengetahui disfungsi endotel tersebut sehingga prognosisnya lebih baik karena disfungsi endotel tersebut masih reversibel (Bawazier, 2006; Chen et al., 2003; Weir, 2007; Loscalzo, 2009).
Berdasarkan prinsip aksiologi, secara keseluruhan manfaat hasil penelitian ini adalah kombinasi Siklosporin dan N asetil sistein dapat mencegah kenaikan kadar CRP dan mikroalbuminuria. Pencegahan progresivitas CRP dan mikroalbuminuria tersebut akan berefek mengurangi nefrotoksisitas karena pemberian siklosporin.
Penelitian ini mempunyai keterbatasan yaitu :Penelitian melibatkan subyek penelitian pada mencit, sehingga hasilnya belum dapat diaaplikasikan pada manusia. Pada penelitian ini masih terdapat keterbatasan yaitu penelitian ini hanya pada satu center, perlu dilakukan pada multicenter dengan jumlah sampel yang lebih banyak agar bisa mengurangi bias dan menambah kekuatan penelitian
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil-hasil
penelitian
yang
dilakukan
maka
dapat
diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1
Terapi
N-Asetil
Sistein
dapat
menurunkan
ekspresi
kadar
mikroalbuminuria
yang
di
induksi
siklosporin pada mencit secara bermakna
2
Terapi
N-Asetil
Sistein
dapat
menurunkan ekspresi kadar CRP yang di
induksi siklosporin pada mencit secara
bermakna
Saran
1.
Penelitian melibatkan subyek penelitian
pada mencit, sehingga hasilnya belum
dapat diaaplikasikan pada manusia.
2.
Penelitian ini hanya pada satu center,
perlu
dilakukan
pada
multicenter
dengan jumlah sampel yang lebih
banyak agar bisa mengurangi bias dan
menambah kekuatan penelitian
Daftar Pustaka
Ahmed S, Fath M, Hammad L, Mohamadin A. 2006.Protective effects of caffeic acid phenylethyl ester, a main component of propolis against cyclosporine A induced nephrotoxicity in rats. The Arab Journal of Laboratory Medicine: 3. 1-15
Aguiar-Souto P. 2008. N-Acetylcysteine and Contrast Induced Nephropathy. Clinical Nephrology. 69
Baratawidjaja KG. 2006. Imunologi Dasar. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: 235 – 41.
Baratawidjaja KG, Iris R . 2009. Imunologi Dasar. Edisi VIII. FK Universitas Indonesia
Bawazier LA. 2006. Albuminuri. Buku Ajar Penyakit Dalam: Ed IV. Dept. Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Benhard R, Minatsch M. 2006. Cyclosporine Nephrotoxicity. Toxicologic Pathology. 14(1):73-82
Borrás C, Esteve JM, Viña JR, Sastre J, Viña J, Pallardó FV. 2004. Glutathione regulates telomerase activity in 3T3 fibroblasts. J Biol Chem. 279(33):34332-5.
commit to user Primary and Secondary
Prevention: Systematic Review and Meta-analysis. JAMA. 297 (8): 842–57.
Chen S, Jim B, Ziyadeh FN. 2003. Diabetic nephropathy and transforming growth factor-beta: transforming our view of glomerulosclerosis and fibrosis build-up. Semin Nephrol 23(6):532-43.
Cuzzocrea S, Mazzon E, Dugo L, Serraino I, Ciccolo A, Centorrino T et al. 2001. Protective effects of n-acetylcysteine on lung injury and red blood cell modification induced by carrageenan in the rat. FASEB J. 15(7): 1187-200.
Dekhuijzen R, 2004. Antioxidant properties of N-acetylcysteine: their relevance in relation to chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J, 23: 629–36.
De Zeeuw D, Parving H and Henning RH. 2006. Microalbuminuria as an Early Marker for Cardiovascular Disease. J Am Soc Nephrol 17:2100 – 2105.
Dorland’s. 2002. Illustrated Medical
Dictionary. WB Saunders Company, Philadelpia.
Dewi M. 2013. Pengaruh vitamin C dan N-Asetil Sistein terhadap penurunan kadar Il-6 dan CRP pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani Hemodialisis di RSUD dr Moewardi Surakarta:65
Edward T. 2004. CRP as a mediator of disease. Circulation. 109:11-4
Eroschenko VP. 2000. Di Fiore’s Atlas of
Histology with Functional Correltions. 9 ed. Lippincort Williams & Wilkins Inc., U.S.A. pp 246-251.
Fahr A. 1993. Cyclosporin clinical Pharmacokinetic. Clin Pharmacokinet. 24(6): 472-95 Farmica R, Gavrankapetanovic F, Heljic B,
Karamehic J, Lorber M, Subasic D. 2006. Managament of immunosuppression in kidney post transplantation. Medicinski glasnik. 3(2): 37-42.
Forsythe P, Paterson S. 2014. Ciclosporin 10 years on: indications and efficacy.Bmj.4:13-21
Gaston R. 2001. Maintenance Immunosuppression in the Renal Transplant Recipient:An Overview. American Journal of Kidney Diseases. 38 (6): 25-35. Goumenos DS, Katsoris PG, Kotsantis P,
Papachristou E,
Papadimitropoulos A, Vlachojannis. 2009. Cyclosporine Induce Endothelin-1 mRNA Synthetis and Nitric Oxide Production in Human Proximal Tubular Ephitelial cell Cultures. Bmj.4:372-6
Guntur AH. 2006. SIRS dan SEPSIS (Imunologi, Diagnosis, Penatalaksanaan). Sebelas Maret University Press. Surakarta.
Guntur HA. 2008. SIRS, SEPSIS dan SYOK SEPTIK (Imunologi, Diagnosis dan Penatalaksanaan). Sebelas Maret University Press. Surakarta.
Guyton AC, Hall JE. 1995. Textbook Of Medical Physiology. W B Saunders Co.3:192-5
Hansen JM, Watson WH, Jones DP. 2004. Compartmentation of Nrf-2 Redox Control: Regulation of Cytoplasmic Activation by Glutathione and DNA Binding by Thioredoxin-1. Toxico Sci. 82 (1): 308-17.
Hayakawa H, Ishibashi T, Sekiguchi M. 2003. A novel mechanism for preventing mutations caused by oxidation of guanine nucleotides. EMBO. 4(5): 479-83.
Heloisa M, Shimizu M, Coimbra TM, De Araujo M, Menezez LF, Seguro AC. 2005. N-acetylcysteine attenuates the progression of chronic renal failure. International Society of Nephrology. 2208–17.
Husien M dan Pinple S. 2002. Effect of cyclosporine A at therapuetic and tixic dose on the superluteinized ovaries in BALB/c mice. 24 (5): 1663-8
commit to user Khader A, Morais C, Sobki S, Sulaiman M,
Tariq M. 1999. N -acetylcysteine attenuates cyclosporin-induced nephrotoxicity in rats, Nephrol Dial Transplant.14: 923–929 Kleinman WA, Komninou D, Leutzinger Y,
Colosimo S, Cox J, Lang CA, Richie JP. 2003. Protein glutathiolation in human blood. Biochem Pharmacol. 65(5):741-6.
Koenig W, 2003. C- reactive protein and cardiovascular risk : an update on what is going on in cardiology. Neprhol Dial Transplant , 18 : 1039-1041.
Kresno SB. 2007. Imunologi:Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi keempat. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Kuntoro. 1994. Pengantar Teknik Sampling. Semiloka Metodologi Penelitian dan Statistik. Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya. Kusumawati D. 2004. Bersahabat dengan
hewan coba. Gajah Mada University press. hlm 5-8
Loscalzo J. 2009. Azotemia and Urinary Abnormalitis. In Harison’s Manual
of Medicine. 17th edition. New York, Mc Graw Hill, pp 274-280 Malaponte G. 2002. IL 1b TNF a and IL 6
release from monocytes in haemodialysis patients in relation to dialytic age. Nephrol Dial Transplant. 17: 1964-70.
Marcello M, Suliman M, Silva M, Chinaglia T, Marchioro J, Shirley Y et al. 2010. Effect of oral N Acetylsisteine treatment on plasma inflammatory and oxidative stress markers in peritoneal dialysis patients, a palcebo controlled study. Perit Dial Int. 30(3):336-42 Mayes PA. 2003. Structure and Function of
Lipofilic Vitamin. Harpers Biochemistry. 25th edition. 613 – 622.
Mignotte B, Vayssiere JL. 1998. Mitochondria and Apoptosis. Eur J. Biochem 252:1–15.
Nolin T, Ouseph R, Himmelfarb J, McMenamin M, Ward R. 2010. Multiple dose pharmacokinetic and pharmacodynamics of N-acetylsisteine in patients with end
stage renal disease. Clin J Am Soc Nephrol. 5:172-82
Oikawa S. 2005. Sequence-specific DNA damage by reactive oxygen species: Implications for carcinogenesis and aging. Environ Health Prev Med. 10(2): 65–71. Parsilov. 2003. The Imune Response
Medical Imunology. LANGE.10th edition: 61 – 70.
Purwanto B. 2010. Albuminuria. Sebelas Maret University Press. Surakarta. Raka Widiana IG. 2008.Effect of
polyethersulfone compared to cellulose diacetate dialyzer membrane on serum interleukine-6 and C-reactive protein level in hemodialysis.J Penyakit Dalam.volume 9 Nomor 2,Mei 2008:97-108
Reed JC. 2000. Mechanisme of Apoptosis. American Journal of Pathobiology 157(5).
Robbins and Cotran. 2005. General Pathology. Bassic Pathology Dissease. EGC.I:20-43.
Rong Z, Lamhi RA, Bail, Streb JW. 2004. Thioredoxin 2 Inhibiton to Mitochondria Located ASKI-Mediated Apoptosis in JNK Independent Manner. Cellular Biology. Circulation Research 94: 1483.
San KJ, Su YY, Kyung HC, Dae RC. 2001. α MSH Decrease Apoptosis in Ischemic Acute Renal Failure in Rat Possible Mechanism of This Beneficial Effect. Nephrol Dial Transplant 16:1583–1591.
Santangalo F, Witko-Sarsat VR. 2004. Restoring glutathione as therapeutic strategy in chronic kidney disease. Nephrol Dial Transplant.19: 1951-5.
Sukandar E. 2006. Gagal ginjal dan panduan terapi dialisis. Pusat Informasi Ilmiah, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran UNPAD/ RS. Dr. Hasan Sadikin, Bandung, Hlm 19-39.
commit to user Suryohudoyo P. 2000. Oksidan, anti-oksidan
dan Radikal Bebas. Kapita Selekta. Ilmu Kedokteran Molekuler. CV Agung Seto. Jakarta. Hal 31 – 47. Szmitko PE, Wang CH, Weisel RD. 2003. New
markers of inflammation and endothelial cell activation: Part I Circulation.108(16):1917-23. Thaha M, Pranawa W., Yogiantoro M and
Tomino Y. 2007. Intravenous N-acetylcysteine during hemodialysis reduces asymmetric dimethylarginine level in end-stage renal disease patients. Japan Clinical Nephrology. 68. Voghel G, Thorin-Trescases N, Farhat N,
Mamarbachi AM, Villeneuve L, Fortier A, et al, 2008. Chronic treatment with N-acetyl-cystein delays cellular senescence in endothelial cells isolated from a subgroup of atherosclerotic patients. Mech Ageing Dev. 129(5): 261-70.
Weir MR. 2007. Microalbuminuria and Cardiovascular Disease. Clin J Am Nephrol 2: 581-590.
Zainuddin M. 1999. Metodologi Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya.