Patricia NIM: 129114110
Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma
ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran resiliensi remaja yang orangtuanya bercerai. Adapun pertanyaan penelitian yang diajukan adalah “Bagaimana resiliensi remaja yang mengalami perceraian orangtua?”. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif dengan pendekatan analisis isi terarah. Informan dalam penelitian ini adalah tiga remaja berusia 10 sampai 22 tahun yang mengalami perceraian orangtua. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur. Validitas hasil penelitian ini didapatkan dengan meminta external auditor, dalam hal ini dosen untuk mereview keseluruhan penelitian serta peneliti mengklarifikasi bias yang mungkin dibawa peneliti ke dalam penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga informan mengalami dampak perceraian orangtua, namun dapat dikatakan sebagai remaja yang resilien karena memiliki sumber pembentukan resiliensi I Have, I Am dan I Can yang saling menopang dan berinteraksi. Sumber I Have meliputi adanya sumber dukungan figur lekat, sumber ekonomi dan akses layanan kesehatan tercukupi serta memiliki dorongan untuk mandiri. Sumber I Am meliputi gambaran diri positif, penuh harapan dan keinginan serta sikap dalam berelasi dengan orang lain. Sedangkan sumber I Can meliputi kemampuan memahami perasaan dan mengatasi masalah dengan berbagai cara.
THE RESILIENCE OF ADOLESCENTS WHO EXPERIENCE PARENTAL DIVORCE
Patricia
Faculty of Psychology, Sanata Dharma
ABSTRACT
This study aimed to provide an overview of the resilience of adolescents who have experience parental divorce in his life. The research question posed is “How is the resilience of adolescents who experience parental divorce?’. The method used is qualitative method with direct content analysis approach. Participants in this study were three adolescents aged 10 to 20 years who experienced parental divorce. Data were collected by semi-structured interview method. The validity of these results obtained with a request for an external auditor, in this case the lecturer to review the entire study and researcher to clarify bias that might be taken by the researcher in this study. The results showed that all three participants experienced the impact of parental divorce, but they can be categorized as resilient teenager because they have a source of resilience formation “I
Have” includes the source of attached figure support, economic resource and access to adequate health services and having the urge to be independent. The source “I Am” includes a positive self-image, full of hope and the desire, also the attitude in relationships with others. While the source “I Can” includes the ability to understand the feelings and to solve problems in different ways.
RESILIENSI REMAJA
YANG ORANGTUANYA BERCERAI
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh: Patricia NIM: 129114110
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
MOTTO
The hardest part of anything in life is thinking about it. Create the causes and the results come all by themselves.
(Ajahn Brahm)
Tetaplah berusaha, berani mencoba dan bersabarlah dengan proses yang sedang dilalui, maka kau akan merasakan kepuasaan ketika mendapatkan hasilnya. So just do it.
vii
RESILIENSI REMAJA YANG ORANGTUANYA
BERCERAI
Oleh:
Patricia
NIM: 129114110Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma
ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran resiliensi remaja yang orangtuanya bercerai. Adapun pertanyaan penelitian yang diajukan adalah “Bagaimana resiliensi remaja yang mengalami perceraian orangtua?”. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif dengan pendekatan analisis isi terarah. Informan dalam penelitian ini adalah tiga remaja berusia 10 sampai 22 tahun yang mengalami perceraian orangtua. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur. Validitas hasil penelitian ini didapatkan dengan meminta external auditor, dalam hal ini dosen untuk mereview keseluruhan penelitian serta peneliti mengklarifikasi bias yang mungkin dibawa peneliti ke dalam penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga informan mengalami dampak perceraian orangtua, namun dapat dikatakan sebagai remaja yang resilien karena memiliki sumber pembentukan resiliensi I Have, I Am dan I Can
yang saling menopang dan berinteraksi. Sumber I Have meliputi adanya sumber dukungan figur lekat, sumber ekonomi dan akses layanan kesehatan tercukupi serta memiliki dorongan untuk mandiri. Sumber I Am meliputi gambaran diri positif, penuh harapan dan keinginan serta sikap dalam berelasi dengan orang lain. Sedangkan sumber I Can meliputi kemampuan memahami perasaan dan mengatasi masalah dengan berbagai cara.
viii
THE RESILIENCE OF ADOLESCENTS WHO
EXPERIENCE PARENTAL DIVORCE
Patricia
Faculty of Psychology, Sanata Dharma
ABSTRACT
This study aimed to provide an overview of the resilience of adolescents who have experience parental divorce in his life. The research question posed is “How is the resilience of adolescents who experience parental divorce?’. The method used is qualitative method with direct content analysis approach. Participants in this study were three adolescents aged 10 to 20 years who experienced parental divorce. Data were collected by semi-structured interview method. The validity of these results obtained with a request for an external auditor, in this case the lecturer to review the entire study and researcher to clarify bias that might be taken by the researcher in this study. The results showed that all three participants experienced the impact of parental divorce, but they can be categorized as resilient teenager because they have a source of resilience formation “I Have” includes the source of attached figure support, economic resource and access to adequate health services and having the urge to be independent. The source “I Am”
includes a positive self-image, full of hope and the desire, also the attitude in relationships with others. While the source “I Can” includes the ability to understand the feelings and to solve problems in different ways.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang TriRatna atas berkat dan
kasih-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penyusunan skripsi ini terselesaikan atas bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi,
Universitas Sanata Dharma.
2. P. Eddy Suhartanto, M.Si, selaku Kepala Program Studi Fakultas
Psikologi, Universitas Sanata Dharma.
3. Ibu Sylvia C.M.YM., S.Psi., M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan arahan, serta memotivasi saya.
4. Bapak Drs. H. Wahyudi, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik yang
telah mendampingi selama proses belajar- mengajar.
5. Seluruh dosen Psikologi yang telah bersedia untuk berbagi ilmu,
pengalaman dan memberikan inspirasi mengenai psikologi maupun hidup.
6. Mama dan kakak tercinta, terima kasih sudah memahami dan selalu
mendukung, sumber semangatku.
7. Keluarga besar yang telah dengan tulus ikhlas mendukung untuk
keberhasilan saya.
8. Sahabat-sahabatku group “Lagi Butuh Teman”, sahabat dari jaman alay
yang selalu memberikan motivasi (Nab, Nop, Mia, Rossy, Gusti, Manda,
Cindy, When”).
9. Sahabatku, Lita yang selalu menyakinkanku, bahwa pasti bisa.
10. Sahabat-sahabatku tersayang group “Menuju S.Psi” sekaligus partner kerja
“P2TKP” dan teman bimbingan, dimana sebagai teman seperjuangan yang
saling mensupport maupun tempat berbagi curahan hati, tempat berdiskusi
dikala proses penyusunan skripsi berlangsung (Bayu, Chopie, Cia, Jejes,
Tiara, Dimas, Dian, Edo, Ivie, Lenny, Ardi, Banya).
11. Partner-partner P2TKP ku yang lain, yang ikut memberikan euforia
x
12. Bapak Cahya selaku kepala P2TKP yang sangat mendukung kami untuk
tetap memprioritaskan kuliah dan memfasilitasi kami untuk berkembang di
perkuliahan maupun diluar hal tersebut serta mengajarkan nilai-nilai
kehidupan yang baik.
13. Suster Dewi, Mbak Thia, Pak Toni serta bagian dari P2TKP yang lain,
yang juga telah memaklumi dan bersedia mendengarkan berbagai masalah
yang muncul dan berkaitan dengan “skripsi” saat sedang bekerja di kantor
sengaja maupun tidak di sengaja.
14. Sahabat-sahabatku sesama Psikologi (Della, Suci, Erlin, Pras dan yang
tidak dapat kusebutkan satu persatu), maupun teman-teman diluar
Psikologi.
15. Kakak-kakak tercinta di Psikologi yang selalu bersedia bekerjasama
denganku (Kak Ani, Kak Ester, Vico, dll).
16. Para responden yang telah percaya dan bersedia membagi kisah hidupnya
denganku, terima kasih banyak.
17. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, yang
telah membantu dan memberikan dukungan selama ini.
Akhir kata, peneliti menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu, peneliti terbuka kepada setiap kritik dan saran yang
disampaikan demi perkembangan yang lebih baik.
Peneliti,
xi
DAFTAR ISI
JUDUL ... ..i
PERSETUJUAN ... .ii
PENGESAHAN ... .iii
MOTTO... .iv
KEASLIAN PENELITIAN DAN KARYA ILMIAH ... ..v
PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... .vi
ABSTRAKSI ... vii
ABSTRACT ... viii
KATA PENGANTAR ………...ix
DAFTAR ISI………..xi
DAFTAR TABEL ... ..xv
DAFTAR GAMBAR………...xvii
BAB I. PENDAHULUAN……….1
A. Latar Belakang Penelitian.………...1
B. Pertanyaan Penelitian………...6
C. Tujuan Penelitian………....7
D. Manfaat Penelitian………...7
1. Manfaat Teoritis………...7
xii
BAB II. KAJIAN PUSTAKA………...…..8
A. Resiliensi………...…..8
B. Remaja………...13
C. Perceraian……….15
D. Resiliensi Remaja Yang Orangtuanya Bercerai………...16
E. Pertanyaan Penelitian………...19
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN...20
A. Strategi Penelitian……….20
B. Fokus Penelitian………....20
C. Informan Penelitian………...21
1. Cara Pemilihan Informan………...21
2. Karakteristik Informan………...21
D. Metode Pengumpulan Data………...21
1. Metode Wawancara……….21
E. Metode Analisis Data………24
F. Keabsahan Data……….25
1. Reliabilitas………25
2. Kredibilitas………...25
BAB IV. PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN………27
xiii
1. Persiapan Penelitian dan Perizinan………..27
2. Pelaksanaan Penelitian……….………28
B. Informan Penelitian……….……..29
1. Data Informan……….29
2. Latar Belakang Informan………...30
C. Analisis Data Penelitian………34
1. Dampak Perceraian………..34
2. Resiliensi………..41
3. Kesimpulan Seluruh Data Penelitian………...62
D. Pembahasan………66
1. Dampak Perceraian Orangtua Bagi Responden………...66
2. Sumber I Have Bagi Responden………..70
3. Sumber I Am Bagi Responden……….73
4. Sumber I Can Bagi Responden………....75
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………78
A. Kesimpulan………78
B. Saran………...79
1. Bagi Remaja Yang Mengalami Perceraian Orangtua...79
2. Bagi Orangtua………...80
3. Bagi Keluarga Besar………80
xiv
5. Bagi Peneliti Selanjutnya………81
DAFTAR PUSTAKA ………...83
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Panduan Wawancara 1……….………22
Tabel 3.2. Panduan Wawancara 2……….23
Tabel 3.3. Panduan Wawancara 3……….24
Tabel 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian………..28
Tabel 4.2. Data Informan 1………...29
Tabel 4.3. Data Informan 2………...29
Tabel 4.4. Data Informan 3………...29
Tabel 4.5. Gambaran Kondisi Perceraian Orangtua Informan 1………..30
Tabel 4.6. Gambaran Kondisi Perceraian Orangtua Informan 2……...31
Tabel 4.7. Gambaran Kondisi Perceraian Orangtua Informan 3………..………33
Tabel 4.8. Ringkasan Dampak Perceraian Informan 1……….35
Tabel 4.9. Ringkasan Dampak Perceraian Informan 2……….37
Tabel 4.10. Ringkasan Dampak Perceraian Informan 3………...39
Tabel 4.11. Ringkasan Dampak Perceraian Semua Informan………..41
Tabel 4.12. Ringkasan Sumber Resiliensi (1): I Have Informan 1…...42
Tabel 4.13. Ringkasan Sumber Resiliensi (1): I Have Informan 2………..45
Tabel 4.14. Ringkasan Sumber Resiliensi (1): I Have Informan 3…………..…47
Tabel 4.15. Ringkasan Sumber Resiliensi I Have Semua Informan………49
Tabel 4.16. Ringkasan Sumber Resiliensi (2): I Am Informan 1……...50
xvi
Tabel 4.18. Ringkasan Sumber Resiliensi (2): I Am Informan 3………...53
Tabel 4.19. Ringkasan Sumber I Am Semua Informan………...54
Tabel 4.20. Ringkasan Sumber Resiliensi (3): I Can Informan 1………...55
Tabel 4.21. Ringkasan Sumber Resiliensi (3): I Can Informan 2………...57
Tabel 4.22. Ringkasan Sumber Resiliensi (3): I Can Informan 3………...59
Tabel 4.23. Ringkasan Sumber Resiliensi I Can Semua Informan………...61
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Skema Resiliensi Remaja Yang Orangtuanya Bercerai……..…….18
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PENELITIAN
Terdapat tiga saat yang penting, yakni kelahiran, pernikahan, dan
kematian dalam perjalanan hidup manusia. Pernikahan merupakan awal
dari pembentukan keluarga (Setiono, 2011). Dalam pernikahan banyak
terjadi fenomena terkait keretakan dalam sebuah pernikahan, terutama
perceraian. Selama 10 tahun terakhir, di Indonesia angka perceraian
meningkat 165.000 kasus. Bila dibandingkan dengan angka pernikahan
yang mencapai dua juta pasangan setiap tahun, angka kasus perceraian di
Indonesia terbilang paling tinggi di kawasan Asia Pasifik (Umar, 2013).
Berkaitan dengan perceraian, terdapat dampak yang ditimbulkannya.
Dampak dari perceraian bermacam-macam dan kompleks (Buchanan,
2000, dalam Cui, Fincham & Durtschi, 2010). Dampak-dampak tersebut
lebih banyak dialami oleh remaja.
Bagi remaja, perceraian menimbulkan masalah tersendiri (Aseltine,
1996), karena perceraian merupakan kejadian penuh tekanan psikologis
untuk banyak remaja (Kelly & Emery, 2003). Masa remaja merupakan
salah satu tahap perkembangan yang krusial dimana mereka harus
perkembangannya (periode trial and error) dan terjadinya krisis identitas
meningkat selama tahapan ini (Erikson, 1982, dalam Feist & Feist, 2006).
Remaja yang memiliki pengalaman perceraian orangtua akan rentan
memiliki simptom internalisasi termasuk status kesejahteraan psikologis
seperti perasaan depresi, self-esteem, dan timbulnya pikiran bunuh diri.
Remaja juga menunjukkan perilaku eksternalisasi termasuk agresi pada
orang lain, menggunakan alkohol dan obat-obatan serta perilaku kejahatan
(Rodgers & Rose, 2002). Selain itu, remaja menunjukkan perilaku
eksternalisasi seperti performansi pendidikan yang lebih rendah dan
berisiko dua atau tiga kali lebih memungkinkan untuk keluar dari sekolah
dan berisiko dua kali untuk memiliki anak saat remaja (Kelly & Emery,
2003).
Terkait dengan kasus perceraian, simptom internalisasi dan
perilaku eksternalisasi remaja banyak terjadi pada anak korban perceraian,
seperti yang dinyatakan oleh nara sumber berjenis kelamin perempuan
ketika wawancara di Yogyakarta, pada tanggal 31 Maret 2016:
“Dampak yang paling kerasa ya mulai apa ya, aku rebel banget anaknya, maksudnya bandel. Setiap masalahku pasti selalu berhubungan sama laki-laki, maksudnya kaya aku temenan terus aku dilarang sama mamaku sama A, tapi aku malah makin karena ga ngerasa punya sosok laki-laki tuh loh, ga pernah deket. Mulai suka kabur dari rumah, ngelawan, suka bohong, banyak main sama cowok, suka pacaran tapi ga bener-bener pacaran, maksudnya suka deket-deket cowok. Mulai kenal ngerokok, minum, mabok-mabok kaya gitu tuh, nakal”.
Dari berita yang didapatkan menyatakan:
Selain kasus-kasus perilaku eksternalisasi remaja, setahun lalu muncullah kasus bunuh diri seorang anak SMP karena orangtuanya bercerai sehingga kurang mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya dan menyebabkan ia merasa tidak berharga (Rizki, 2015).
Berita lain juga menyatakan bahwa:
Dalam satu bulan terakhir ini, kasus kejahatan yang melibatkan remaja terus meningkat di Gunungkidul. Kasus kejahatan tersebut, antara lain aborsi yang dilakukan oleh siswi SMP bersama kekasihnya, pencurian yang melibatkan pelajar serta ditemukannya jenazah perempuan yang diketahui merupakan salah satu siswi korban pembunuhan. Kasus-kasus ini muncul dikarenakan meningkatnya kasus perceraian di Gunungkidul (Maria, 2016).
Perceraian orangtua merupakan kejadian yang membuat remaja
menjadi stres dan dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan psikologis
(Masten, Best & Garmezy, 1991, dalam Chen & George, 2005). Perceraian
juga meningkatkan risiko dalam masalah penyesuaian pada remaja (Kelly
& Emery, 2003). Namun sebagian remaja korban perceraian tidak
memiliki masalah yang signifikan (Steinberg, 2002). Remaja korban
perceraian juga menunjukkan tidak memiliki masalah perilaku dan tidak
mudah acting out (Chen & George, 2005).
Dari berita yang didapatkan menyatakan:
Nara sumber berjenis kelamin perempuan juga menyatakan
saat wawancara di Yogyakarta, pada tanggal 22 Juni 2016:
Prestasi yang di dapatkan antara lain juara 1 lomba mengarang untuk Presiden.Ssaat mengikuti lomba reporter cilik, karangannya dimuat di koran media Indonesia, juara 1 atau 2 di sekolah serta memiliki rata-rata Ujian Nasional 9,3.
Hal ini tergantung pada daya tahan remaja terhadap perceraian
yang terkait dengan proses, kapasitas atau hasil dari kesuksesan
penyesuaian yang dikenal dengan istilah resiliensi (Masten, Best &
Garmezy, 1991, dalam Chen & George, 2005), yaitu berarti ditentukan
oleh resilien atau resistennya remaja tersebut terhadap stres karena
perceraian orangtua (Luthar, 1991).
Resiliensi adalah faktor kunci dalam kemampuan remaja
menyesuaikan diri terhadap situasi perceraian (Chen & George, 2005).
Remaja korban perceraian yang memiliki karakteristik resilien dapat
berhasil menyesuaikan diri dalam situasi perceraian. Hal ini dikarenakan
adanya keseimbangan antar faktor risiko (dampak-dampak perceraian) dan
faktor protektif (karakteristik remaja) (Steinberg, 2002). Remaja yang
resilien tidak hanya memiliki karakteristik tertentu dalam dirinya, tetapi
juga memiliki faktor protektif lingkungan yang membantu mereka
bertahan dari tekanan yang di alami atau kekuatan yang memaksa mereka
(Masten & Coatsworth, 1998; Rutter, 1983, dalam Rodgers & Rose,
Selain itu, remaja resilien menunjukkan bahwa mereka memiliki
kemampuan atau kapasitas untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan
dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi
yang tidak menyenangkan (Desmita, 2015). Bila remaja korban perceraian
mampu resilien, mereka juga dapat mengatasi risiko dan kesulitan tanpa
memperoleh dampak negatif yang jelas dari perceraian (Smith & Carlson,
1997). Hal ini karena resiliensi mengacu pada kompetensi yang
dimungkinkan muncul dibawah tekanan yang berkepanjangan, seperti
peristiwa perceraian orangtua (Desmita, 2005). Dengan kata lain, remaja
korban perceraian memiliki karateristik individu yang dapat “bangkit
kembali” setelah kesulitan dan mencapai atau bahkan melampaui tingkat
fungsi sebelumnya (Hawley & De Haan, 1996, dalam Greeff & Merwe,
2004). Pada dasarnya, remaja memiliki kapasitas untuk resilien, yaitu
dapat menghadapi kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan dalam
hidupnya.
Resiliensi dianggap sebagai kekuatan dasar yang menjadi fondasi
dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan
psikologikal seseorang. Tanpa adanya resiliensi, tidak akan ada
keberanian, ketekunan, tidak ada rasionalitas dan tidak ada pengetahuan
yang dalam. Sejumlah riset meyakinkan, bahwa gaya berpikir seseorang
sangat ditentukan oleh resiliensinya, serta resiliensi juga menentukan
Penelitian Rodgers dan Rose (2002), menguji faktor-faktor dalam
keluarga maupun di luar keluarga yang dapat berkontribusi terhadap
resiliensi pada remaja yang mengalami perubahan situasi di dalam
kehidupan keluarga. Penelitian tersebut juga menyarankan akan lebih
bermanfaat jika penelitian selanjutnya menggunakan perspektif resiliensi
terhadap remaja dari keluarga bercerai atau menikah lagi untuk
memperoleh faktor pembentuk resiliensi yang lebih bervariasi.
Penelitian Luthar (1991) bertujuan untuk menguji variabel yang
dapat mendukung resiliensi, yang memungkinkan anak tetap mampu
bertahan meskipun mengalami pengalaman hidup yang penuh tekanan
dengan menggunakan metode kuantitatif. Penelitian tersebut menggunakan
self-ratings yang memungkinkan terjadinya bias dalam memberikan
peringkat karena terpengaruh baik buruknya pengalaman yang dinilai.
Respon yang didapatkan juga terbatas dalam penelitian tersebut.
Berdasarkan tinjauan kepustakaan, peneliti akan meneliti resiliensi
menggunakan metode penelitian kualitatif wawancara dengan informan
remaja untuk melengkapi kekurangan penelitian sebelumnya.
B. PERTANYAAN PENELITIAN
Pernyataan utama dalam penelitian ini, yaitu:
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang
resiliensi remaja yang orangtuanya bercerai.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini memiliki beberapa manfaat, yaitu:
1. Manfaat Teoritis.
Dalam bidang psikologi perkembangan dan klinis, penelitian ini
bermanfaat untuk menambah pengetahuan tentang resiliensi remaja
yang mengalami perceraian orangtua.
2. Manfaat Praktis:
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadikan remaja mampu
dan berhasil beradaptasi dengan pengalaman perceraian
orangtuanya.
b. Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran pada praktisi
untuk mengembangkan intervensi atau program bagi klien remaja
8 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. RESILIENSI
Resiliensi dapat tercermin dalam cara individu (atau keluarga)
bereaksi terhadap masa sulit atau penuh tekanan. Resiliensi mengacu
dalam karakteristik individu yang dapat “bangkit kembali” setelah
mengalami kesulitan atau situasi traumatis dan mencapai atau bahkan
melampaui tingkat fungsi sebelumnya, sementara yang lain merasa sedang
diterpa dan tidak memiliki kekuatan untuk melawan. (Hawley & De Haan,
1996; Rutter, 1987, dalam Greeff & Merwe, 2004; Chen & George, 2005;
Leimon & McMahon, 2009). Selain itu, resiliensi merupakan sebuah
proses yang terkait dengan kapasitas untuk mencapai keberhasilan adaptasi
setelah mengalami kesulitan, seperti perceraian meskipun menantang atau
mengancam perkembangan psikologis (Masten, Best dan Garmezy, 1991,
dalam Chen & George, 2005; Werner & Smith, 1993, dalam Greeff &
Merwe, 2004). Menurut Werner dan Smith (1992, dalam Wenar & Kerig,
2000), resiliensi adalah keseimbangan antara faktor risiko dan faktor
protektif.
Adapun sumber pembentukan resiliensi ialah faktor protektif/
penahan yang berkontribusi pada resiliensi dalam membantu individu
mengatasi tantangan hidup secara lebih efektif. Baumgardner dan
Crothers (2009) membagi tiga kategori faktor protektif. Pertama, faktor
masalah yang baik, temperamen dan kepribadian yang easy going dapat
beradaptasi dengan perubahan, gambaran diri yang positif dan efektivitas
pribadi, keoptimisan, kemampuan untuk meregulasi, mengontrol emosi
dan dorongan, bakat individu yang dihargai oleh individu dan oleh
budayanya, serta rasa humor yang sehat. Kedua, faktor protektif dalam
keluarga, antara lain hubungan yang dekat dengan orangtua atau
caregivers,pola asuh yang hangat dan suportif yang menyediakan harapan
dan aturan yang jelas, keluarga yang positif secara emosional dengan
konflik yang sedikit antara orangtua, serta lingkungan rumah yang
terstruktur dan terorganisir, orangtua yang terlibat dalam pendidikan
anaknya, serta orangtua yang memiliki sumber finansial yang adekuat.
Ketiga, faktor dalam komunitas termasuk sekolah yang baik, terlibat
dalam organisasi sosial dengan sekolah dan komunitas, hidup dalam
lingkungan yang terlibat dengan orang-orang yang peduli menangani
masalah dan mempromosikan semangat komunitas serta hidup dalam
lingkungan yang aman dan ketersediaan yang mudah dari kondisi darurat
yang berkompeten dan responsif, kesehatan masyarakat serta pelayanan
sosial.
Menurut Masten, Cutuli, Herbers dan Reed (2009 dalam Snyder,
Lopez & Pedrotti, 2011), faktor protektif untuk pembentukan resiliensi.
Pertama, faktor protektif pada remaja, seperti keterampilan memecahkan
masalah, keterampilan meregulasi diri untuk mengontrol perhatian, hasrat,
yang mudah beradaptasi pada tahap perkembangan selanjutnya dan
gambaran diri yang positif, self-efficacy, keyakinan serta merasa berarti
dalam hidup, harapan positif dalam hidup, bakat yang dihargai diri sendiri
maupun masyarakat dan diri yang menarik bagi orang lain. Kedua, faktor
protektif dalam keluarga dan hubungan yang dekat, termasuk hubungan
cinta yang positif, hubungan yang dekat dengan individu dewasa yang
kompeten, prososial dan suportif. Selain itu, pola pengasuhan autoritatif
(hangat, terstruktur/ pengawasan dan harapan yang tinggi), suasana
keluarga yang positif dengan konflik yang rendah antara orangtua,
lingkungan rumah yang terorganisir, pendidikan sekunder yang dimiliki
oleh orangtua, orangtua dengan anak yang memiliki faktor protektif dalam
dirinya, orangtua yang terlibat dalam pendidikan anak, sosioekonomi yang
adekuat, terhubung dengan teman sebaya yang prososial, serta relasi
romantis dengan pasangan yang prososial dan memiliki penyesuaian yang
baik. Ketiga, faktor protektif dalam komunitas dan hubungan dengan
organisasi, seperti sekolah yang efektif, terikat dengan organisasi prososial
(sekolah, klub, pramuka), tetangga dengan “efikasi kolektif” yang tinggi,
akses keamanan yang tinggi, pelayanan dalam keadaan darurat yang baik,
dan ketersediaan layanan kesehatan yang baik.
Faktor protektif dibagi menjadi tiga dikarenakan atribut remaja,
iklim maupun sumbernya berada di dalam keluarga dan sistem pendukung
yang ada di lingkungan yang lebih luas (Smith & Carlson, 1997). Hanson
jenis sumber yang befungsi sebagai tenaga penahan setelah proses
perceraian dan penting untuk pemulihan keluarga. Pertama, sumber
ekonomi termasuk sumber material, seperti penghasilan dan barang milik.
Kedua, sumber pengasuhan termasuk tingginya tingkat keterlibatan
orangtua, disiplin yang konsisten, parameter yang jelas batas-batasnya
berfungsi sebagai contoh bagi anak serta memberikan keamanan. Ketiga,
sumber komunitas termasuk teman, hubungan keluarga dan organisasi
formal yang menyediakan informasi dan dukungan sosial yang mengarah
ke perbaikan fungsi keluarga dan anggota tiap individu.
Selain itu, menurut Grotberg (1995), upaya mengatasi kesulitan serta
mengembangkan resiliensi remaja sangat tergantung pada pemberdayaan
tiga faktor dalam diri remaja yang disebut tiga sumber resiliensi. Pertama,
I have (Aku punya) merupakan sumber resiliensi yang berhubungan
dengan pemaknaan remaja terhadap besarnya dukungan yang diberikan
oleh lingkungan sosial terhadap dirinya. Sumber I have memiliki beberapa
kualitas yang memberikan sumbangan bagi pembentukan resiliensi, yaitu
hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh, struktur dan peraturan
di rumah, model peran, dorongan untuk mandiri serta akses terhadap
layanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan kesejahteraan. Kedua, I am
(Aku ini) merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan
pribadi yang dimiliki oleh remaja, yang terdiri dari perasaan, sikap dan
keyakinan pribadi. Beberapa kualitas pribadi yang mempengaruhi I am ini
kepedulian pada orang lain, bangga dengan dirinya sendiri,
bertanggungjawab terhadap perilaku sendiri dan menerima
konsekuensinya, percaya diri, optimistik dan penuh harapan. Ketiga, I can
(Aku dapat) adalah sumber resiliensi yang berkaitan dengan apa saja yang
dapat dilakukan oleh remaja sehubungan dengan keterampilan sosial dan
interpersonal yang meliputi keterampilan berkomunikasi, memecahkan
masalah, mengelola perasaan dan impuls, mengukur temperamen sendiri
dan orang lain serta menjalin hubungan yang saling mempercayai.
Resiliensi merupakan kombinasi dari faktor-faktor I have, I am dan I
can. Untuk menjadi resilien, tidak cukup hanya memiliki satu faktor saja,
melainkan harus ditopang oleh faktor-faktor lain. Untuk menumbuhkan
resiliensi remaja, ketiga faktor tersebut harus saling berinteraksi satu sama
lain. Interaksi ketiga faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh kualitas
lingkungan sosial dimana remaja hidup.
Menurut Bernard (1991), individu yang resilien dapat dilihat dari
profilnya. Pertama, individu resilien dapat dilihat dari kompetensi
sosialnya, yaitu memiliki kualitas responsif yang baik, fleksibel, empati
dan peduli, keahlian komunikasi, selera humor, dan perilaku prososial
lainnya. Individu resilien juga memiliki selera humor bahwa mereka
memiliki kemampuan untuk menghasilkan kehidupan yang menyenangkan
dan menemukan cara alternatif untuk melihat segala sesuatunya baik
seperti menertawakan diri sendiri dan situasi yang aneh. Selain itu, dari
lebih positif dengan orang lain, termasuk pertemanan dengan kawan
sebaya. Kedua, keahlian memecahkan masalah, termasuk kemampuan
berpikir abstrak, reflektif, fleksibel dan mampu mencoba cara pemecahan
secara kognitif maupun sosial. Ketiga, otonomi berkenaan dengan
kemandirian, internal locus of control dan individu yang kuat. Selain itu,
otonomi dikenal sebagai harga diri dan efikasi diri. Otonomi juga
dijelaskan sebagai disiplin diri dan pengendalian terhadap
dorongan-dorongan. Lebih lanjut, otonomi menjelaskan tentang rasa memiliki
identitas diri dan mampu bertindak secara mandiri serta menggunakan
kontrol terhadap lingkungannya. Individu yang resilien juga mampu untuk
memisahkan atau menjauhkan diri dari lingkungan keluarga yang tidak
menjalankan fungsinya dengan baik, yang dikenal dengan istilah the task
of adaptive distancing. Keempat, arti tujuan dan masa depan berhubungan
dengan harapan untuk sehat, tujuan yang terarah, orientasi untuk sukses,
motivasi berprestasi, cita-cita pendidikan, ketekunan, pengharapan, daya
tahan, keyakinan akan masa depan yang cerah, antisipasi, perhatian akan
masa depan, dan koherensi. Hal-hal ini menjadi prediktor yang paling kuat
akan hasil yang positif.
B. REMAJA
Menurut Papalia, Olds dan Feldman (2009), remaja merupakan
individu yang berada pada peralihan masa perkembangan antara masa
aspek fisik, kognitif dan psikososial yang saling berkaitan. Remaja awal
berkisar 10 sampai 13 tahun, remaja tengah antara 14 sampai 18 tahun dan
remaja akhir antara 19 sampai 22 tahun, sehingga dapat disimpulkan
bahwa remaja berada pada rentang usia 10 hingga 22 tahun (Steinberg,
2002). Menurut Papalia, Olds dan Feldman (2009), dalam aspek fisik,
perubahan struktur otak berkaitan dengan emosi, penilaian, organisasi
perilaku dan kontrol diri serta menjadi penjelas kecenderungan remaja
mengalami ledakan emosi dan melakukan perilaku berisiko bahkan kejam.
Remaja yang lebih matang, seperti orang dewasa, cenderung
menggunakan lobus frontalis yang memungkinkan penilaian yang lebih
akurat dan beralasan. Pada remaja awal, perkembangan otak yang belum
matang dapat membuat perasaan atau emosi mengalahkan akal sehat,
alasan yang memungkinkan remaja untuk membuat pilihan yang tidak
bijaksana, seperti penyalahgunaan alkohol, narkoba dan melakukan
aktivitas seksual berisiko. Sistem kortikal frontal yang belum berkembang
juga terkait dengan motivasi, impulsivitas, dan ketergantungan terhadap
zat yang menjadikan remaja memiliki dorongan terhadap kesenangan,
mencoba berbagai hal baru serta menyebabkan banyak remaja sulit untuk
berfokus pada tujuan jangka panjang.
Dalam aspek psikososial, remaja berada pada tahap pencarian
identitas yang didefinisikan Erikson (dalam Papalia, Olds & Feldman,
2009) sebagai konsepsi koheren diri, terdiri dari tujuan, nilai dan
Selain aspek fisik dan psikososial terdapat pula aspek kognitif pada
remaja. Dalam aspek kognitif, remaja memasuki tingkat perkembangan
kognitif tertinggi yaitu operasional formal, saat dimana mereka
mengembangkan kapasitas untuk berpikir secara abstrak. Remaja dapat
berpikir tentang hal yang mungkin terjadi, tidak hanya apa yang sedang
terjadi dan membayangkan kemungkinan serta membentuk maupun
menguji dugaan (Piaget dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009). Menurut
David Elkind (1998, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009), remaja yang
tidak matang dalam berpikir memiliki ciri, seperti idealisme dan mudah
mengkritik, memiliki sifat argumentatif, sulit memutuskan sesuatu, tampak
munafik, terlalu berfokus pada pikiran sendiri serta merasa dirinya
istimewa sehingga tidak harus menaati peraturan yang mendasari perilaku
berisiko.
C. PERCERAIAN
Menurut McKenry dan Price (2000, dalam Kertamuda, 2009),
perceraian merupakan suatu rangkaian kejadian terpecahnya keluarga dan
kegagalan dalam pernikahan. Perceraian berpotensi menimbulkan stres
bagi pasangan, anak dan keluarga besar pasangan (Kertamuda, 2009) yang
di mulai sebelum perpisahan fisik dan berlanjut setelahnya (Morrison &
Cherlin 1995 dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009). Dalam perceraian
Perceraian menimbulkan dampak bagi remaja. Adapun dampak yang
ditimbulkan antara lain masalah sikap dan emosional yang serius. Remaja
yang mengalami perceraian orangtua juga berisiko memiliki performansi
pendidikan yang lebih rendah serta lebih mungkin untuk keluar dari
sekolah (Kelly & Emery, 2003). Selain itu, remaja mudah mengalami
masalah personal, seperti kekacauan dalam bekerja, penahanan atau
berhubungan dengan polisi (Aseltine, 1996). Remaja juga menunjukkan
perilaku eksternalisasi antara lain perilaku agresi pada orang lain,
menggunakan alkohol, obat-obatan, perilaku kejahatan, perilaku antisosial
dan masalah kesahatan. Simptom internalisasi juga dialami oleh remaja
termasuk status kesejahteraan psikologis, seperti perasaan depresi,
self-esteem yang rendah, kecemasan dan timbulnya pikiran bunuh diri
(Rodgers & Rose, 2002; Smith & Carlson, 1997). Rodgers dan Rose
(2002) menambahkan pula bahwa remaja lebih berkonflik dan sedikit
memiliki interaksi yang positif dengan orangtuanya. Steinberg (2002) juga
menyatakan bahwa remaja dari keluarga bercerai rentan melakukan
aktivitas seksual sebelum waktunya.
D. RESILIENSI REMAJA YANG ORANGTUANYA BERCERAI
Remaja sebagai individu yang berada pada masa peralihan dimana
terjadi perubahan besar pada perkembangan aspek fisik, psikososial dan
kognitif. Remaja juga berada pada tahap pencarian identitas diri yang
bercerai rentan mengalami dampak dari perceraian. Terlebih perceraian
orangtua menimbulkan dampak yang bermacam-macam dan kompleks
pada remaja.
Remaja akan rentan memiliki simptom internalisasi dan
menunjukkan perilaku eksternalisasi. Akan tetapi, sebagian remaja
korban perceraian tidak memiliki masalah yang signifikan. Hal ini
tergantung pada daya tahan remaja terhadap perceraian yang terkait
dengan proses, kapasitas, atau hasil dari kesuksesan penyesuaian yang
dikenal dengan istilah resiliensi.
Remaja yang memiliki sumber-sumber resiliensi dalam diri
maupun lingkungan serta sumber-sumber tersebut saling menopang dan
berinteraksi satu sama lain dapat menyebabkan remaja mampu resilien.
Apabila remaja mampu resilien, mereka dapat mengatasi risiko dan
kesulitan tanpa memperoleh dampak negatif yang jelas dari perceraian.
Adapun sumber pembentukan resiliensi pada remaja antara lain I Have
(Aku punya), I Am (Aku ini), I Can (Aku dapat). Namun, bila remaja
hanya memiliki satu sumber, tidak saling menopang dan berinteraksi,
maka remaja tidak akan resilien. Remaja tersebut tidak mampu
menghadapi, mencegah, meminimalkan bahkan menghilangkan
dampak-dampak perceraian orangtua. Dengan demikian, melalui penelitian ini,
peneliti ingin memberikan gambaran resiliensi remaja yang orangtuanya
Gambar 2.1. Skema Resiliensi Remaja Yang Orangtuanya Bercerai.
s Perceraian Orangtua
Sumber-sumber resiliensi Dampak perceraian
pada remaja
Simptom internalisasi
Perilaku eksternalisasi
I have I am I can
E. PERTANYAAN PENELITIAN
20 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. STRATEGI PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif. Menurut Cresswell, kualitatif merupakan metode-metode untuk
mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau
sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan.
Penelitian kualitatif bersifat induktif bertujuan untuk menganalisis data
mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-tema umum, dan menafsirkan
makna data. Selain itu, penelitian kualitatif bertujuan untuk
mengeksplorasi faktor-faktor kompleks yang berada di sekitar fenomena
utama dan menyajikan perspektif-perspektif atau makna-makna yang
beragam dari para informan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah analisis isi terarah. Menurut Hsieh dan Shannon (2005, dalam
Supratiknya, 2015) pendekatan analisis terarah bertujuan memvalidasi
dengan menguji ulang sebuah kerangka teoretis atau bahkan sebuah teori
dalam konteks baru.
B. FOKUS PENELITIAN
Penelitian ini berfokus pada mendeskripsikan resiliensi remaja
yang mengalami perceraian orangtua. Untuk mengetahui hal tersebut,
yang dialami oleh informan beserta sumber-sumber pembentukan
resiliensi pada informan.
C. INFORMAN PENELITIAN
1. Cara Pemilihan Informan.
Dalam penelitian ini, peneliti membutuhkan informan dengan
karakteristik khusus. Oleh karena itu, peneliti menggunakan strategi
purposeful sampling, yaitu peneliti memilih informan penelitian
berdasarkan karakteristik informan yang dibutuhkan, yang dapat
menginformasikan pemahaman tentang masalah penelitian dan
fenomena pada penelitian ini (Cresswell, 2007).
2. Karakteristik Informan.
Kriteria informan dalam penelitian ini, yaitu informan
mengalami kejadian atau situasi yang sulit, penuh tekanan atau
traumatis dikarenakan perceraian orangtua. Informan dalam penelitian
ini berada pada masa remaja, yaitu berusia 10 sampai 22 tahun.
D. METODE PENGUMPULAN DATA
1. Metode Wawancara
Peneliti menggunakan strategi pengumpulan data wawancara
kualitatif. Peneliti melakukan face-to-face interview, dengan
wawancara berupa pertanyaan penelitian. Akan tetapi, pada prosesnya
peneliti menyesuaikan pertanyaan yang diajukan dengan informasi
yang diberikan oleh informan. Adapun pedoman wawancara sebagai
berikut:
Tabel 3.1. Panduan Wawancara 1
Tema Panduan Wawancara Kondisi sebelum
perceraian
Bagaimana awal sebelum orangtua
bercerai? (termasuk penyebab
perceraian, kondisi keluarga/konflik,
diri sendiri sebagai anak).
Kondisi saat perceraian Bagaimana ketika terjadi perceraian?
(termasuk saat usia berapa, dampak,
diri sendiri sebagai anak).
Kondisi setelah perceraian Bagaiaman setelah orangtua bercerai?
(termasuk sampai saat ini, kondisi
keluarga, hubungan dengan orangtua,
Tabel 3.2. Panduan Wawancara 2
Tema Panduan Wawancara Pertanyaan Utama Adaptasi dalam situasi sulit,
traumatis atau penuh tekanan
Bagaimana adaptasi yang anda lalui
dalam situasi sulit, traumatis atau
penuh tekanan saat orangtua
bercerai?
Subpertanyaan-subpertanyaan Bagaimana cara anda menyesuaikan
diri dalam menghadapi situasi
perceraian orangtua anda?
Bagaimana kemampuan anda
berperan dalam penyesuaian diri
dalam menghadapi situasi
perceraian orangtua anda?
Bagaimana akibat yang didapatkan
setelah keseluruhan adaptasi anda
dalam menghadapi situasi
Tabel 3.3. Panduan Wawancara 3
Panduan Wawancara
Tema Pertanyaan
Sumber resiliensi “I have” 1. Bagaimana hubungan anda dengan
orang-orang di sekitar anda ?
2. Bagaimana fasilitas yang anda
dapatkan?
Sumber resiliensi “I am” 1. Bagaimana anda memandang
diri anda?
2. Bagaimana sikap orang lain
terhadap anda?
Sumber resiliensi “I can” 1. Bagaimana relasi anda dengan
orang lain?
2. Bagaimana anda mengatasi
situasi yang anda alami?
E. METODE ANALISIS DATA
Menurut Creswell (2013) bahwa analisis data kualitatif merupakan
proses yang melibatkan usaha memaknai data berupa teks atau gambar.
Analisis data meliputi proses mempersiapkan data untuk dianalisis,
melakukan analisis-analisis yang berbeda, memperdalam pemahaman akan
data tersebut, menyajikan data, dan membuat interpretasi makna yang
lebih luas akan data tersebut.
Analisis data kualitatif sebagai suatu proses penerapan
langkah-langkah dari yang spesifik hingga yang umum sebagaimana ditunjukkan
sebagai berikut (Cresswell, 2013):
2. Membaca keseluruhan data.
3. Melakukan koding data.
4. Mendeskripsikan data dengan menggunakan proses coding.
5. Menyajikan kembali deskripsi dan tema-tema dalam narasi atau
laporan kualitatif.
6. Menginterpretasi atau memaknai data.
F. KEABSAHAN DATA
1. Reliabilitas.
Reliabilitas dalam penelitian ini dilihat dari metode yang
dipilih telah mencapai tujuan yang diinginkan serta sejauh mana dan
seintensif apa peneliti mendiskusikan temuan dan analisis dengan
orang lain. Selain itu, peneliti luwes terhadap perubahan strategi dan
desain serta melakukan pencatatan rinci mengenai desain yng
digunakan (Poerwandari, 1998). Peneliti juga memeriksa transkrip
rekaman wawancara untuk memastikan tidak ada kesalahan serius
yang dapat terjadi selama proses transkripsi (Supratiknya, 2015).
2. Kredibilitas.
Peneliti menggunakan beberapa strategi validitas, antara lain
(Cresswell, 2013) :
a. Peneliti menerapkan member checking. Peneliti
penelitian. Peneliti membawa kembali bagian-bagian dari
hasil penelitian yang sudah diolah, seperti
deskripsi-deskripsi atau tema-tema kepada informan.
b. Peneliti mengajak seorang auditor (external auditor) dalam
hal ini dosen untuk mereview keseluruhan proyek
penelitian. External auditor akan memberi penilaian secara
objektif, mulai dari proses hingga kesimpulan penelitian.
c. Peneliti mengklarifikasi bias yang mungkin dibawa peneliti
ke dalam penelitian. Peneliti melakukan refleksi diri
terhadap kemungkinan munculnya bias dalam penelitian,
seperti pengaruh latar belakang penelitian terhadap
interpretasi. Oleh karena itu, peneliti akan mampu membuat
narasi yang terbuka dan jujur yang akan dirasakan oleh
27 BAB IV
PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN
A. PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN
1. Persiapan Penelitian dan Perizinan.
Dalam penelitian ini, sebagai informan penelitian, digunakan
remaja yang orangtuanya mengalami perceraian dengan menggunakan
purposeful sampling, yaitu informan dipilih sesuai dengan tujuan
penelitian. Peneliti mendapatkan informan dengan bertanya kepada
teman serta peneliti telah mengenal beberapa informan dalam
penelitian ini. Walaupun sebelumnya peneliti tidak mengetahui bahwa
mereka sesuai dengan karakteristik informan yang dibutuhkan.
Peneliti memutuskan mengambil tiga informan saja karena
selama pengambilan data yang dibutuhkan sudah cukup. Hasil
wawancara tiga informan menunjukkan data yang tidak jauh berbeda.
Sebelum penelitian, peneliti meminta kesediaan informan terlebih
dahulu untuk menjadi informan penelitian. Peneliti juga meminta ijin
kepada orangtua dari salah satu informan. Kemudian peneliti mengatur
hari untuk mewawancarai informan. Peneliti juga menyusun panduan
wawancara, menyiapkan informed consent dan alat perekam suara
untuk merekam hasil wawancara selama proses wawancara
Sebelum wawancara dengan semua informan, peneliti
mengambil data awal pada salah satu informan terlebih dahulu. Untuk
kedua informan tidak dibutuhkan pendekatan yang lama karena
peneliti sudah mengenal informan tersebut. Namun untuk salah satu
informan, peneliti mengunjungi tempat tinggal informan untuk
bertemu dengan informan dan ibu informan guna meminta ijin serta
melakukan pendekatan pada informan tersebut. Kemudian mengatur
jadwal kembali untuk melakukan wawancara.
2. Pelaksanaan Penelitian.
Waktu dan Tempat Penelitian.
Tabel 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian
No Keterangan Informan 1 Informan 2 Informan 3 1 Perizinan kepada
B. INFORMAN PENELITIAN
1. Data informan.
Tabel 4.2. Data Informan 1
No. Keterangan Informan 1 1 Nama Inisial BIART
2 Usia 21 tahun 3 Jenis Kelamin Perempuan
4 Anak ke- 2 dari 2 bersaudara 5 Jumlah saudara 1
6 Pekerjaan Mahasiswi 7 Usia ibu 50 tahun 8 Usia ayah 50 tahun
9 Pekerjaan ibu Pemilik yayasan 10 Pekerjaan ayah Driver
Tabel 4.3. Data Informan 2
No Keterangan Informan 2 1 Nama Inisial SAEK
2 Usia 12 tahun 3 Jenis Kelamin Perempuan
4 Anak ke- 1 dari 1 bersaudara 5 Jumlah saudara -
6 Pekerjaan Pelajar 7 Usia ibu 29 tahun 8 Usia ayah 33 tahun
9 Pekerjaan ibu Karyawan swasta 10 Pekerjaan ayah Wiraswasta
Tabel 4.4. Data Informan 3
No Keterangan Informan 3 1 Nama Inisial DCC
2 Usia 20 tahun 3 Jenis Kelamin Laki-laki
4 Anak ke- 3 dari 3 bersaudara 5 Jumlah saudara 2
6 Pekerjaan Mahasiswa 7 Usia ibu 55 tahun 8 Usia ayah 58 tahun
2. Latar Belakang Informan.
a) Informan 1
Tabel 4.5. Gambaran Kondisi Perceraian Orangtua Informan 1
No Keterangan Informan 1 1 Kondisi sebelum perceraian Mengetahui orangtua
berkonflik
2 Penyebab perceraian Ayah jarang pulang karena suka berjudi, mabuk dan main perempuan
3 Masa terjadinya perceraian Saat P1 kelas 2 SD 4 Kondisi setelah perceraian Tinggal bersama ibu dan
nenek
5 Usia orangtua ketika bercerai Saat ibu dan ayah usia 35 tahun
Sebelum perceraian, P1 mengetahui orangtuanya berkonflik
tetapi P1 tidak dibiarkan melihat saat orangtuanya berkonflik.
Orangtua P1 bercerai saat ia berada di kelas 2 SD. Penyebab
orangtuanya bercerai yaitu ayah P1 jarang pulang karena bermain judi,
mabuk-mabukan dan main perempuan.
Setelah perceraian, P1 tinggal bersama ibu dan neneknya. Akan
tetapi, saat SMP, P1 sempat tinggal hanya bersama neneknya. Sesudah
bercerai, tidak ada kerjasama diantara orangtua P1. P1 memiliki
hubungan yang baik dengan ayahnya, hanya ia dilarang oleh ibunya
ibunya kurang baik karena ibunya overprotektif, namun saat ini sudah
lebih baik. P1 juga tidak dekat dengan kakak laki-lakinya.
P1 juga merasakan adanya perubahan emosi saat SMP sampai
SMA, dimana ia mulai memiliki banyak masalah antara lain
kehilangan figur ayah sehingga ia mencari figur ayah, kabur dari
rumah, melawan orangtua, berbohong dan banyak bergaul dengan
laki-laki. P1 membutuhkan ayahnya dan merasa sedih bila rindu dengan
ayahnya, namun ia tidak diijinkan bertemu dengan ayahnya. P1 juga
merasa sedih ketika melihat orang lain sedang bersama keluarganya.
Selain itu, P1 menyayangkan bahwa perceraian orangtuanya
mengorbankan hal lain. Ia juga merasa sedih karena sering bertengkar
dengan ibunya yang overprotektif semenjak bercerai.
b) Informan 2
Tabel 4.6. Gambaran Kondisi Perceraian Orangtua Informan 2
No Keterangan Informan 2 1 Kondisi sebelum perceraian Tidak mengetahui
kondisi sebelum perceraian
2 Penyebab perceraian Kesulitan ekonomi 3 Masa terjadinya perceraian Saat P2 berusia 4 bulan 4 Kondisi setelah perceraian Tinggal bersama ibu.
Bila ibu bekerja, dititipkan di rumah nenek.
Orangtua P2 menikah karena hamil diluar nikah. P2 tidak
mengetahui kondisi sebelum perceraian karena masih bayi. Orangtua
P2 bercerai saat ia berusia 4 bulan karena kesulitan ekonomi.
Setelah perceraian, P2 tinggal bersama ibunya. Mulanya ibu P2
kerepotan mengurus sendiri. Apabila ibu P2 bekerja, maka ia dititipkan
di rumah nenek. P2 dekat dengan ibunya, sedangkan ia baru bertemu
kembali dengan ayahnya ketika ia berusia 3 tahun dan saat berada di
kelas 3 SD. Ibu P2 berhubungan baik dengan ayahnya, tetapi ayahnya
kurang memberi materi kepada P2. P2 juga jarang berkomunikasi
dengan ayahnya, meskipun diijinkan oleh ibunya sehingga ia tidak
mendapat kasih sayang ayah. Selain itu, P2 merasa berbeda dengan
c) Informan 3
Tabel 4.7. Gambaran Kondisi Perceraian Orangtua Informan 3
No Keterangan Informan 3 1 Kondisi sebelum perceraian Mengetahui orangtua
berkonflik
2 Penyebab perceraian Adanya orang ketiga/ perselingkuhan 3 Masa terjadinya perceraian Saat P3 kelas 1 SMP 4 Kondisi setelah perceraian Tinggal bersama ayah
dan kakak kedua, lalu tinggal bersama ibu dan dititipkan dengan bibinya. Saat ini tinggal bersama ibu.
5 Usia orangtua ketika bercerai Saat ibu usia 48 tahun dan ayah usia 50 tahun
Orangtua P3 menikah karena hamil diluar nikah meskipun
berbeda keyakinan. Sebelum perceraian, P3 melihat saat orangtuanya
berkonflik sehingga membuatnya menangis. Orangtua P3 bercerai
karena adanya orang ketiga, tepatnya ibu P3 berselingkuh. Hal ini juga
diperkuat dengan perasaan lelah ibu P3 dalam menyesuaikan diri
dengan sifat keras suaminya. Pada akhirnya, ibu P3 memutuskan untuk
bercerai. Orangtua P3 bercerai saat ia berada di kelas 1 SMP.
Setelah perceraian, mulanya P3 tinggal bersama ayah dan
kakak keduanya. Namun ia pindah dan tinggal bersama ibunya, sejak
mengalami kesulitan ekonomi. Saat ibunya merantau ke Yogyakarta,
P3 dititipkan pada bibinya di Jakarta. Saat ini, P3 tinggal bersama
ibunya di Yogyakarta serta ayahnya sudah mulai bertanggungjawab
membiayai kuliah P3. Saat P3 dititipkan dengan bibinya, ia tidak
merasakan kehadiran figur ibu dalam masa remajanya, sehingga ia
kurang terurus dan kurang pendampingan dalam hal pendidikan. Ayah
P3 belum mempunyai mendamping lagi, tetapi ibunya sudah memiliki
kekasih.
Hubungan di antara orangtua P3 tidak baik karena saling
menjelek-jelekan satu sama lain di depan P3. P3 diperbolehkan
berkomunikasi dengan ayahnya, namun selama ini, P3 jauh dengan
ayahnya. Ibunya pun memiliki kesibukkan, sehingga membuat dirinya
merasa kesepian dan iri hati melihat orang lain yang dapat berkumpul
bersama keluarganya.
C. ANALISIS DATA PENELITIAN
1. Dampak Perceraian.
Dalam dampak perceraian, akan dijabarkan mengenai dampak dari
Tabel 4.8. Ringkasan Dampak Perceraian Informan 1
No Dampak perceraian 1 Ingin mendapatkan figur ayah.
2 Perilaku membangkang dan nakal P1.
3 Perilaku suka kabur, melawan, berbohong, bermain dan dekat dengan lelaki.
4 Perceraian berdampak pada relasi, sepertipergaulan yang salah. 5 Perilaku merokok, mabuk-mabukan dan nakal.
6 Suka mempermainkan perasaan lelaki.
Catatan. Cara Membaca (P1, K11) = (Informan 1, Kolom ke bawah
koding verbatim pada lampiran nomor 11).
Berikut beberapa penjelasan ringkasan mengenai dampak
perceraian orangtua yang dialami oleh setiap informan :
Dampak perceraian yang paling dominan terlihat pada
informan 1 yaitu keinginan untuk mendapatkan figur ayah
(nonresident parents). Informan mencari figur ayah dengan cara
berkomunikasi dengan ayahnya. Berikut ini pernyataan informan
terkait hal tersebut:
Setelah aku ngerti loh ternyata aku butuh loh papa.
Makanya aku nyari, suka ngobrol sama papa lewat chatting
walaupun kadang ga dibolehin kan…(P1, K72).
Nah mulai SMP, mulai mandiri tuh, mulai yang nyari-nyari, SMA apalagi. Papa tuh dimana, mulai cari kontaknya papa tapi mama ga ngasih…(P1, K39).
Informan juga mencari seorang yang dapat menggantikan sosok ayah. Hal ini dikarenakan informan kehilangan figur ayah.
Demikian pernyataan informan:
Mulai banyak, kalo kita anak psikologi sok-sokannya bilang cari figur ayah, kaya gitu. Aku jadi mulai SMP SMA jadi lebih seringnya main sama cowok, aku tuh kaya nyari, aku tuh ga pernah, kaya nyari-nyari gitu loh, gaulnya tuh kebanyakan sama cowok. Kalo pacaran tuh kadang-kadang suka penasaran cowok tuh kaya gimana si (P1, K11).
Kehilangan figur ayah si sebenernya. Aku jadi merasa ga mendapatkan bener-bener sosok ayah gitu loh. Nah aku nyari itu diluar, ya itu aku temenan sama cowok. Kadang-kadang sama, suka ngobrol sama orang yang lebih tua gitu loh…(P1, K68).
Dampak lain yang ditimbulkan yaitu adanya perilaku
eksternalisasi terkait relasi seperti pergaulan yang salah. Demikian
pernyataan informan:
Cuma ga amannya tuh di relasi aja si. Temen tuh aku ga suka milih, karena ga suka milih, aku tuh malah kaya sama siapa aja temenan, jadi salah, gitu (P1, K18).
Perilaku eksternalisasi lain yang dialami informan seperti
perilaku membangkang dan nakal. Hal ini ditunjukkan dari
pernyataan informan:
engg….dampaknya yang paling kerasa ya waktu itu yang tadi kubilang, puncaknya ya SMA, ya SMA mau kuliah lah. SMA sampai awal-awal kuliah lah. Mulai apa ya, aku rebel banget anaknya, maksudnya bandel, bandel banget (P1, K13).
Selain itu perilaku eksternalisasi yang muncul pada
informan yaitu perilaku suka kabur, melawan, berbohong, bermain
paling aku rasakan ya itu pas SMA mulai banyak masalah. Mulai suka kabur dari rumah, ngelawan, suka.., suka bohong, suka main keluar bilangnya ngerjain tugas tapi main, ya gitulah banyak bohongnya. banyak main sama cowok, suka pacaran tapi ga bener-bener pacaran, maksudnya suka deket-deket cowok aja gitu loh (P1, K16).
Informan juga menunjukkan adanya perilaku eksternalisasi
seperti perilaku merokok, mabuk-mabukan dan nakal. Inilah
pernyataan informan:
Mulai kenal ngerokok, tapi aku kenal ngerokok mulai ngerokok tuh dari kuliah, minum, mabok-mabok kaya gitu tuh, nakal (ketawa) (P1, K18).
Lebih lanjut, informan mencari tahu rasa ingin tahunya
dengan suka mempermainkan perasaan lelaki. Demikian
pernyataan informan yang mendukung hal tersebut:
Aku suka mainin perasaan cowok. Misal buat cowok suka terus di biarin gitu aja (P1, K73).
Tabel 4.9. Ringkasan Dampak Perceraian Informan 2
No Dampak perceraian 1 Tidak merasakan kasih sayang ayah. 2 Ayah kurang memberi materi.
3 Kehadiran dan keterlibatan ayah sedikit.
4 Perasaan berbeda dengan lainnya tentang keberadaan ayah.
Catatan. Cara Membaca (P1, K11) = (Informan 1, Kolom ke bawah
koding verbatim pada lampiran nomor 11).
Berikut beberapa penjelasan ringkasan mengenai dampak
Dampak perceraian yang dialami oleh informan antara lain
beberapa hal terkait dengan ketidakdekatan informan dengan
nonresident parents, yaitu ayah. Informan merasa berbeda dengan
yang lainnya, seperti pernyataan berikut ini:
Yaa, kok lainnya pada punya ayah aku ga punya ayah sendiri, awalnya gitu (agak ketawa) (P2, K28).
Selain itu, setelah perceraian, kehadiran dan keterlibatan
ayah sedikit dalam hidup informan. Demikian pernyataan
informan:
Baru ketemu papa waktu umur 3 tahun terus kelas 3 SD (P2, K19).
Kadang-kadang papa suka ngechat, ya ngechat gitu. Lagi ngapain, udah makan belum (P2, K18).
Jarang komunikasi sama papa, rasanya biasa aja (P2, K23).
Keterlibatan ayah dalam memberi materi juga kurang.
Inilah pernyataan informan terkait hal tersebut:
....baru ngasih uang berapa kali selama 12 tahun (P2, K9).
… Ya kadang papa kasih tas, kasih sepatu (P2,K31).
Sehingga menyebabkan informan merasa kehilangan,
dalam hal ini tidak merasakan kasih sayang ayah. Berikut
pernyataan yang menunjukkan hal tersebut:
Tabel 4.10. Ringkasan Dampak Perceraian Informan 3
No Dampak perceraian 1 Perceraian mempengaruhi ekonomi. 2 Kehadiran dan keterlibatan ayah sedikit. 3 Kesepian karena jauh dari orangtua. 4 Kurang pendampingan dalam pendidikan.
5 Tidak ada kehadiran dan keterlibatan ibu di masa perkembangan remaja.
Catatan. Cara Membaca (P1, K11) = (Informan 1, Kolom ke bawah
koding verbatim pada lampiran nomor 11).
Berikut beberapa penjelasan ringkasan mengenai dampak
perceraian orangtua yang dialami oleh setiap informan :
Perceraian memberikan beberapa dampak pada informan,
antara lain penurunan keadaan ekonomi karena kehadiran dan
keterlibatan ayah sedikit, terlebih ibu tidak bekerja diluar rumah,
seperti pernyataan berikut:
Tapi kalo dampaknya paling kerasa si ekonomi si, dampak ekonomi kan, ngerasa susah banget karena awal mama emang ibu rumah tangga. Si papa kan taunya aku ikut mama, jadi mama yang tanggungjawab. Jadi kaya lepas tanggungjawab kalo aku ikut mama gitu. Gak ada biayain masalah sekolah, dll (P3, K7).
Selain itu, informan merasa kehilangan akan kehadiran dan
keterlibatan ibu di masa perkembangan remaja. Berikut pernyataan
informan:
…..gara-gara aku sampe sekarang tuh pegangan kalo berpegang kalo sama mama tuh dia tuh gak ada pas aku di perkembanganku SMP tuh loh….(P3, K13).
Informan juga merasakan kehilangan yang menimbulkan
perasaan kesepian karena jauh dari orangtua. Demikian pernyataan
informan yang menunjukkan hal tersebut:
…. Habis itu kalo dampak yang jeleknya apa ya. Ya sepi aja si biasanya (ketawa), yang ga, pas lagi pengin sama papa gitu kan, ya sama papa, ga ada dia, dia kan di Kalimantan kan. Kalo pengin sama mama,mama juga sibuk (P3, K8).
….Aku ngeliat orang lain kaya enak banget mereka jalan-jalan sama orangtuanya. Liburan kaya gini kan aku sendiri banget ya, ya lain pada sama keluarganya jalan-jalan, kaya gitu kan (P3, K30).
Lebih lanjut, perceraian berdampak pada akademik
informan seperti kurangnya pendampingan dalam pendidikan.
Inilah pernyataan informan:
Tabel 4.11. Ringkasan Dampak Perceraian Semua Informan
Dampak Perceraian
Informan 1 Informan 2 Informan 3 1. Ingin perasaan lelaki.
1. Tidak merasakan
Dalam resiliensi akan dijabarkan mengenai sumber-sumber
pembentukan resiliensi pada setiap informan.
Tabel 4.12 Ringkasan Sumber Resiliensi (1):I Have Informan 1
No I Have
1 Ada kehadiran dan keterlibatan nenek. 2 Lingkungan yang mendukung.
3 Memiliki sumber dukungan antara lain teman, pacar, ibu. 4 Ada peraturan dari ibu dalam bergaul dan beribadah. 5 Dukungan dari pasangan.
6 Mengikuti komunitas yang bermanfaat.
7 Sumber ekonomi dan akses layanan kesehatan terpenuhi. 8 Ada dorongan untuk mandiri.
Catatan. Cara Membaca (P1, K11) = (Informan 1, Kolom ke bawah
koding verbatim pada lampiran nomor 11)
Berikut beberapa penjelasan ringkasan mengenai sumber
resiliensi (1): I Have pada setiap informan :
Informan memiliki sumber dukungan dari adanya kehadiran
dan keterlibatan figur pengganti orangtua yaitu nenek. Berikut ini
ialah pernyataan informan:
….SMP tuh aku merantau, jadi ga tinggal sama orangtuaku, sekolah sendiri terus tinggal diluar kota tuh sendiri, kan sama oma waktu itu, sama nenekku…(P1, K7).
Informan juga memiliki beberapa figur yang menjadi sumber dukungan baginya antara lain dukungan sosial dari teman, pacar serta dukungan orangtua yaitu ibu. Inilah pernyataan informan
Temen-temen, pacar, hmmm mamaku juga si termasuk sekarang (P1, K37).
Kalau aku, orangtua, mama sama pacar yang mendukungku (P1, K47).
Selain itu, lingkungan memberikan dukungan sosial pada
informan. Demikian pernyataan informan mengenai hal tersebut:
Lingkunganku juga mendukung si, gak ada orang-orang yang, kalo orang-orang bandel pasti ada…(P1, K34).
Jadi yang lebih aku perhatikan, orang-orang di sekitarku, ya produktif. Terus jadi yaudah sama-sama bikin aku produktif juga…(P1, K35).
Orang-orang di sekitarku ga ngerempongin aku. Aku ga ngerasa ribet oleh omongan atau apa-apanya mereka gitu (P1, K36).
Informan mendapat dukungan sosial pula dari pasangan,
seperti pernyataan berikut:
….Tapi karena mungkin lebih sering kontaknya sama pacar, jadi lebih kerasa aja ya dukungan emosionalnya, dukungan fisik terus lebih di temenin secara langsung..(P1, K49).
…Kalau sama pacar ya, sama si intinya lakuin apa yang pengin aku lakuin, selagi bukan.. kesempatan lakuin ya aku lakuin, selalu di dukung si selama itu baik buat kamu (P1, K52).
Lebih lanjut, adanya dukungan orangtua khususnya ibu
yang memberikan beberapa peraturan dalam bergaul dan
beribadah. Berikut pernyataan informan :
Dulu peraturannya yang kaya ga boleh pulang malem lebih dari jam 10, jam 9 jam 10. Ga boleh nginep di rumah temen. Kalo SMP itu kemana-mana harus dianter, kadang ditungguin (P1, K53).
pacaran juga, aku tuh boleh pacaran mulai dari kuliah...(P1, K54).
…rutinitas kaya ibadah. Tiap pagi harus baca alkitab, sampe sekarang si itu, harus nyempetin…(P1, K54).
Selain memberikan peraturan, ibu informan juga memenuhi
sumber ekonomi dan akses layanan kesehatan untuk informan.
Berikut pernyataan informan terkait hal tersebut:
…aku malah tercukupi banget menurutku. Kalau, semuanya di penuhi si. Dari masalah uang, handphone, transportasi, kesehatan kalau sakit…(P1, K57).
Informan juga mendapat dukungan sosial dengan mengikuti
komunitas yang bermanfaat baginya. Demikian pernyataan
informan:
…dari SMP ikut di gereja… SMA aja ya, aku suka ini, komunitas nyanyi, nyanyi di gereja juga, OSIS ia. Aku ikut kaya komunitas yang buat ikut olimpiade-olimpiade gitu.. Komunitas musik si yang lebih banyak (P1, K69).
…aku ya kaya gitu, pengalihan. Jadi aku jadi lupa sama rasa sedih gitu loh…(P1, K70).
Selanjutnya informan mempunyai dorongan untuk mandiri/
otonomi, seperti pernyataan informan sebagai berikut:
Kalau aku ngerasa udah mandiri malah dari SMP… Tapi kalau masalah lain-lain, bikin tugas…(P1, K58).
…. Nah kaya sekarang, mulai-mulai nyari kecil-kecil, dikit walaupun ga tiap hari, bikin apa-bikin apa. Dulu sempet online, jualan online…(P1, K59).
Tabel 4.13 Ringkasan Sumber Resiliensi (1):I Have Informan 2
No I Have
1 Ada peran ibu dalam mencari nafkah dan mendidik. 2 Memiliki kedekatan dengan ibu.
3 Ada kerjasama orangtua setelah bercerai. 4 Ada sosok yang dicontoh.
5 Memiliki sumber dukungan antara lain teman, ibu dan keluarga. 6 Ada kehadiran dan keterlibatan keluarga.
7 Ada peraturan dari ibu.
8 Memiliki dorongan untuk mandiri.
9 Sumber ekonomi dan akses layanan kesehatan tercukupi.
Catatan. Cara Membaca (P1, K11) = (Informan 1, Kolom ke bawah
koding verbatim pada lampiran nomor 11)
Berikut beberapa penjelasan ringkasan mengenai sumber
resiliensi (1): I Have pada setiap informan :
Informan memiliki sumber dukungan dari orangtua yaitu
melalui peran ibu yang mencari nafkah maupun mendidiknya.
Berikut pernyataan informan terkait hal tersebut:
…Lama-lama ya bisa, mama juga bisa nyari uang untuk sekolah, bisa ngajarin juga, gitu (P2, K15).
Ya lebih banyak mama sih yang ngasuh…(P2, K31).
Informan juga mendapat dukungan dari orangtua yaitu
terlihat dari kedekatannya dengan figur ibu. Demikian pernyataan
informan: