• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resiliensi remaja yang orangtuanya bercerai.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Resiliensi remaja yang orangtuanya bercerai."

Copied!
208
0
0

Teks penuh

(1)

Patricia NIM: 129114110

Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma

ABSTRAKSI

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran resiliensi remaja yang orangtuanya bercerai. Adapun pertanyaan penelitian yang diajukan adalah “Bagaimana resiliensi remaja yang mengalami perceraian orangtua?”. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif dengan pendekatan analisis isi terarah. Informan dalam penelitian ini adalah tiga remaja berusia 10 sampai 22 tahun yang mengalami perceraian orangtua. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur. Validitas hasil penelitian ini didapatkan dengan meminta external auditor, dalam hal ini dosen untuk mereview keseluruhan penelitian serta peneliti mengklarifikasi bias yang mungkin dibawa peneliti ke dalam penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga informan mengalami dampak perceraian orangtua, namun dapat dikatakan sebagai remaja yang resilien karena memiliki sumber pembentukan resiliensi I Have, I Am dan I Can yang saling menopang dan berinteraksi. Sumber I Have meliputi adanya sumber dukungan figur lekat, sumber ekonomi dan akses layanan kesehatan tercukupi serta memiliki dorongan untuk mandiri. Sumber I Am meliputi gambaran diri positif, penuh harapan dan keinginan serta sikap dalam berelasi dengan orang lain. Sedangkan sumber I Can meliputi kemampuan memahami perasaan dan mengatasi masalah dengan berbagai cara.

(2)

THE RESILIENCE OF ADOLESCENTS WHO EXPERIENCE PARENTAL DIVORCE

Patricia

Faculty of Psychology, Sanata Dharma

ABSTRACT

This study aimed to provide an overview of the resilience of adolescents who have experience parental divorce in his life. The research question posed is “How is the resilience of adolescents who experience parental divorce?’. The method used is qualitative method with direct content analysis approach. Participants in this study were three adolescents aged 10 to 20 years who experienced parental divorce. Data were collected by semi-structured interview method. The validity of these results obtained with a request for an external auditor, in this case the lecturer to review the entire study and researcher to clarify bias that might be taken by the researcher in this study. The results showed that all three participants experienced the impact of parental divorce, but they can be categorized as resilient teenager because they have a source of resilience formation “I

Have” includes the source of attached figure support, economic resource and access to adequate health services and having the urge to be independent. The source “I Am” includes a positive self-image, full of hope and the desire, also the attitude in relationships with others. While the source “I Can” includes the ability to understand the feelings and to solve problems in different ways.

(3)

RESILIENSI REMAJA

YANG ORANGTUANYA BERCERAI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh: Patricia NIM: 129114110

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

iv

MOTTO

The hardest part of anything in life is thinking about it. Create the causes and the results come all by themselves.

(Ajahn Brahm)

Tetaplah berusaha, berani mencoba dan bersabarlah dengan proses yang sedang dilalui, maka kau akan merasakan kepuasaan ketika mendapatkan hasilnya. So just do it.

(7)
(8)
(9)

vii

RESILIENSI REMAJA YANG ORANGTUANYA

BERCERAI

Oleh:

Patricia

NIM: 129114110

Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma

ABSTRAKSI

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran resiliensi remaja yang orangtuanya bercerai. Adapun pertanyaan penelitian yang diajukan adalah “Bagaimana resiliensi remaja yang mengalami perceraian orangtua?”. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif dengan pendekatan analisis isi terarah. Informan dalam penelitian ini adalah tiga remaja berusia 10 sampai 22 tahun yang mengalami perceraian orangtua. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur. Validitas hasil penelitian ini didapatkan dengan meminta external auditor, dalam hal ini dosen untuk mereview keseluruhan penelitian serta peneliti mengklarifikasi bias yang mungkin dibawa peneliti ke dalam penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga informan mengalami dampak perceraian orangtua, namun dapat dikatakan sebagai remaja yang resilien karena memiliki sumber pembentukan resiliensi I Have, I Am dan I Can

yang saling menopang dan berinteraksi. Sumber I Have meliputi adanya sumber dukungan figur lekat, sumber ekonomi dan akses layanan kesehatan tercukupi serta memiliki dorongan untuk mandiri. Sumber I Am meliputi gambaran diri positif, penuh harapan dan keinginan serta sikap dalam berelasi dengan orang lain. Sedangkan sumber I Can meliputi kemampuan memahami perasaan dan mengatasi masalah dengan berbagai cara.

(10)

viii

THE RESILIENCE OF ADOLESCENTS WHO

EXPERIENCE PARENTAL DIVORCE

Patricia

Faculty of Psychology, Sanata Dharma

ABSTRACT

This study aimed to provide an overview of the resilience of adolescents who have experience parental divorce in his life. The research question posed is “How is the resilience of adolescents who experience parental divorce?’. The method used is qualitative method with direct content analysis approach. Participants in this study were three adolescents aged 10 to 20 years who experienced parental divorce. Data were collected by semi-structured interview method. The validity of these results obtained with a request for an external auditor, in this case the lecturer to review the entire study and researcher to clarify bias that might be taken by the researcher in this study. The results showed that all three participants experienced the impact of parental divorce, but they can be categorized as resilient teenager because they have a source of resilience formation “I Have” includes the source of attached figure support, economic resource and access to adequate health services and having the urge to be independent. The source “I Am”

includes a positive self-image, full of hope and the desire, also the attitude in relationships with others. While the source “I Can” includes the ability to understand the feelings and to solve problems in different ways.

(11)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang TriRatna atas berkat dan

kasih-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penyusunan skripsi ini terselesaikan atas bantuan dan dukungan dari berbagai

pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi,

Universitas Sanata Dharma.

2. P. Eddy Suhartanto, M.Si, selaku Kepala Program Studi Fakultas

Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu Sylvia C.M.YM., S.Psi., M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan bimbingan dan arahan, serta memotivasi saya.

4. Bapak Drs. H. Wahyudi, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik yang

telah mendampingi selama proses belajar- mengajar.

5. Seluruh dosen Psikologi yang telah bersedia untuk berbagi ilmu,

pengalaman dan memberikan inspirasi mengenai psikologi maupun hidup.

6. Mama dan kakak tercinta, terima kasih sudah memahami dan selalu

mendukung, sumber semangatku.

7. Keluarga besar yang telah dengan tulus ikhlas mendukung untuk

keberhasilan saya.

8. Sahabat-sahabatku group “Lagi Butuh Teman”, sahabat dari jaman alay

yang selalu memberikan motivasi (Nab, Nop, Mia, Rossy, Gusti, Manda,

Cindy, When”).

9. Sahabatku, Lita yang selalu menyakinkanku, bahwa pasti bisa.

10. Sahabat-sahabatku tersayang group “Menuju S.Psi” sekaligus partner kerja

“P2TKP” dan teman bimbingan, dimana sebagai teman seperjuangan yang

saling mensupport maupun tempat berbagi curahan hati, tempat berdiskusi

dikala proses penyusunan skripsi berlangsung (Bayu, Chopie, Cia, Jejes,

Tiara, Dimas, Dian, Edo, Ivie, Lenny, Ardi, Banya).

11. Partner-partner P2TKP ku yang lain, yang ikut memberikan euforia

(12)

x

12. Bapak Cahya selaku kepala P2TKP yang sangat mendukung kami untuk

tetap memprioritaskan kuliah dan memfasilitasi kami untuk berkembang di

perkuliahan maupun diluar hal tersebut serta mengajarkan nilai-nilai

kehidupan yang baik.

13. Suster Dewi, Mbak Thia, Pak Toni serta bagian dari P2TKP yang lain,

yang juga telah memaklumi dan bersedia mendengarkan berbagai masalah

yang muncul dan berkaitan dengan “skripsi” saat sedang bekerja di kantor

sengaja maupun tidak di sengaja.

14. Sahabat-sahabatku sesama Psikologi (Della, Suci, Erlin, Pras dan yang

tidak dapat kusebutkan satu persatu), maupun teman-teman diluar

Psikologi.

15. Kakak-kakak tercinta di Psikologi yang selalu bersedia bekerjasama

denganku (Kak Ani, Kak Ester, Vico, dll).

16. Para responden yang telah percaya dan bersedia membagi kisah hidupnya

denganku, terima kasih banyak.

17. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, yang

telah membantu dan memberikan dukungan selama ini.

Akhir kata, peneliti menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak

kekurangan. Oleh karena itu, peneliti terbuka kepada setiap kritik dan saran yang

disampaikan demi perkembangan yang lebih baik.

Peneliti,

(13)

xi

DAFTAR ISI

JUDUL ... ..i

PERSETUJUAN ... .ii

PENGESAHAN ... .iii

MOTTO... .iv

KEASLIAN PENELITIAN DAN KARYA ILMIAH ... ..v

PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... .vi

ABSTRAKSI ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ………...ix

DAFTAR ISI………..xi

DAFTAR TABEL ... ..xv

DAFTAR GAMBAR………...xvii

BAB I. PENDAHULUAN……….1

A. Latar Belakang Penelitian.………...1

B. Pertanyaan Penelitian………...6

C. Tujuan Penelitian………....7

D. Manfaat Penelitian………...7

1. Manfaat Teoritis………...7

(14)

xii

BAB II. KAJIAN PUSTAKA………...…..8

A. Resiliensi………...…..8

B. Remaja………...13

C. Perceraian……….15

D. Resiliensi Remaja Yang Orangtuanya Bercerai………...16

E. Pertanyaan Penelitian………...19

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN...20

A. Strategi Penelitian……….20

B. Fokus Penelitian………....20

C. Informan Penelitian………...21

1. Cara Pemilihan Informan………...21

2. Karakteristik Informan………...21

D. Metode Pengumpulan Data………...21

1. Metode Wawancara……….21

E. Metode Analisis Data………24

F. Keabsahan Data……….25

1. Reliabilitas………25

2. Kredibilitas………...25

BAB IV. PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN………27

(15)

xiii

1. Persiapan Penelitian dan Perizinan………..27

2. Pelaksanaan Penelitian……….………28

B. Informan Penelitian……….……..29

1. Data Informan……….29

2. Latar Belakang Informan………...30

C. Analisis Data Penelitian………34

1. Dampak Perceraian………..34

2. Resiliensi………..41

3. Kesimpulan Seluruh Data Penelitian………...62

D. Pembahasan………66

1. Dampak Perceraian Orangtua Bagi Responden………...66

2. Sumber I Have Bagi Responden………..70

3. Sumber I Am Bagi Responden……….73

4. Sumber I Can Bagi Responden………....75

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………78

A. Kesimpulan………78

B. Saran………...79

1. Bagi Remaja Yang Mengalami Perceraian Orangtua...79

2. Bagi Orangtua………...80

3. Bagi Keluarga Besar………80

(16)

xiv

5. Bagi Peneliti Selanjutnya………81

DAFTAR PUSTAKA ………...83

(17)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Panduan Wawancara 1……….………22

Tabel 3.2. Panduan Wawancara 2……….23

Tabel 3.3. Panduan Wawancara 3……….24

Tabel 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian………..28

Tabel 4.2. Data Informan 1………...29

Tabel 4.3. Data Informan 2………...29

Tabel 4.4. Data Informan 3………...29

Tabel 4.5. Gambaran Kondisi Perceraian Orangtua Informan 1………..30

Tabel 4.6. Gambaran Kondisi Perceraian Orangtua Informan 2……...31

Tabel 4.7. Gambaran Kondisi Perceraian Orangtua Informan 3………..………33

Tabel 4.8. Ringkasan Dampak Perceraian Informan 1……….35

Tabel 4.9. Ringkasan Dampak Perceraian Informan 2……….37

Tabel 4.10. Ringkasan Dampak Perceraian Informan 3………...39

Tabel 4.11. Ringkasan Dampak Perceraian Semua Informan………..41

Tabel 4.12. Ringkasan Sumber Resiliensi (1): I Have Informan 1…...42

Tabel 4.13. Ringkasan Sumber Resiliensi (1): I Have Informan 2………..45

Tabel 4.14. Ringkasan Sumber Resiliensi (1): I Have Informan 3…………..…47

Tabel 4.15. Ringkasan Sumber Resiliensi I Have Semua Informan………49

Tabel 4.16. Ringkasan Sumber Resiliensi (2): I Am Informan 1……...50

(18)

xvi

Tabel 4.18. Ringkasan Sumber Resiliensi (2): I Am Informan 3………...53

Tabel 4.19. Ringkasan Sumber I Am Semua Informan………...54

Tabel 4.20. Ringkasan Sumber Resiliensi (3): I Can Informan 1………...55

Tabel 4.21. Ringkasan Sumber Resiliensi (3): I Can Informan 2………...57

Tabel 4.22. Ringkasan Sumber Resiliensi (3): I Can Informan 3………...59

Tabel 4.23. Ringkasan Sumber Resiliensi I Can Semua Informan………...61

(19)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Skema Resiliensi Remaja Yang Orangtuanya Bercerai……..…….18

(20)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

Terdapat tiga saat yang penting, yakni kelahiran, pernikahan, dan

kematian dalam perjalanan hidup manusia. Pernikahan merupakan awal

dari pembentukan keluarga (Setiono, 2011). Dalam pernikahan banyak

terjadi fenomena terkait keretakan dalam sebuah pernikahan, terutama

perceraian. Selama 10 tahun terakhir, di Indonesia angka perceraian

meningkat 165.000 kasus. Bila dibandingkan dengan angka pernikahan

yang mencapai dua juta pasangan setiap tahun, angka kasus perceraian di

Indonesia terbilang paling tinggi di kawasan Asia Pasifik (Umar, 2013).

Berkaitan dengan perceraian, terdapat dampak yang ditimbulkannya.

Dampak dari perceraian bermacam-macam dan kompleks (Buchanan,

2000, dalam Cui, Fincham & Durtschi, 2010). Dampak-dampak tersebut

lebih banyak dialami oleh remaja.

Bagi remaja, perceraian menimbulkan masalah tersendiri (Aseltine,

1996), karena perceraian merupakan kejadian penuh tekanan psikologis

untuk banyak remaja (Kelly & Emery, 2003). Masa remaja merupakan

salah satu tahap perkembangan yang krusial dimana mereka harus

(21)

perkembangannya (periode trial and error) dan terjadinya krisis identitas

meningkat selama tahapan ini (Erikson, 1982, dalam Feist & Feist, 2006).

Remaja yang memiliki pengalaman perceraian orangtua akan rentan

memiliki simptom internalisasi termasuk status kesejahteraan psikologis

seperti perasaan depresi, self-esteem, dan timbulnya pikiran bunuh diri.

Remaja juga menunjukkan perilaku eksternalisasi termasuk agresi pada

orang lain, menggunakan alkohol dan obat-obatan serta perilaku kejahatan

(Rodgers & Rose, 2002). Selain itu, remaja menunjukkan perilaku

eksternalisasi seperti performansi pendidikan yang lebih rendah dan

berisiko dua atau tiga kali lebih memungkinkan untuk keluar dari sekolah

dan berisiko dua kali untuk memiliki anak saat remaja (Kelly & Emery,

2003).

Terkait dengan kasus perceraian, simptom internalisasi dan

perilaku eksternalisasi remaja banyak terjadi pada anak korban perceraian,

seperti yang dinyatakan oleh nara sumber berjenis kelamin perempuan

ketika wawancara di Yogyakarta, pada tanggal 31 Maret 2016:

“Dampak yang paling kerasa ya mulai apa ya, aku rebel banget anaknya, maksudnya bandel. Setiap masalahku pasti selalu berhubungan sama laki-laki, maksudnya kaya aku temenan terus aku dilarang sama mamaku sama A, tapi aku malah makin karena ga ngerasa punya sosok laki-laki tuh loh, ga pernah deket. Mulai suka kabur dari rumah, ngelawan, suka bohong, banyak main sama cowok, suka pacaran tapi ga bener-bener pacaran, maksudnya suka deket-deket cowok. Mulai kenal ngerokok, minum, mabok-mabok kaya gitu tuh, nakal”.

(22)

Dari berita yang didapatkan menyatakan:

Selain kasus-kasus perilaku eksternalisasi remaja, setahun lalu muncullah kasus bunuh diri seorang anak SMP karena orangtuanya bercerai sehingga kurang mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya dan menyebabkan ia merasa tidak berharga (Rizki, 2015).

Berita lain juga menyatakan bahwa:

Dalam satu bulan terakhir ini, kasus kejahatan yang melibatkan remaja terus meningkat di Gunungkidul. Kasus kejahatan tersebut, antara lain aborsi yang dilakukan oleh siswi SMP bersama kekasihnya, pencurian yang melibatkan pelajar serta ditemukannya jenazah perempuan yang diketahui merupakan salah satu siswi korban pembunuhan. Kasus-kasus ini muncul dikarenakan meningkatnya kasus perceraian di Gunungkidul (Maria, 2016).

Perceraian orangtua merupakan kejadian yang membuat remaja

menjadi stres dan dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan psikologis

(Masten, Best & Garmezy, 1991, dalam Chen & George, 2005). Perceraian

juga meningkatkan risiko dalam masalah penyesuaian pada remaja (Kelly

& Emery, 2003). Namun sebagian remaja korban perceraian tidak

memiliki masalah yang signifikan (Steinberg, 2002). Remaja korban

perceraian juga menunjukkan tidak memiliki masalah perilaku dan tidak

mudah acting out (Chen & George, 2005).

Dari berita yang didapatkan menyatakan:

(23)

Nara sumber berjenis kelamin perempuan juga menyatakan

saat wawancara di Yogyakarta, pada tanggal 22 Juni 2016:

Prestasi yang di dapatkan antara lain juara 1 lomba mengarang untuk Presiden.Ssaat mengikuti lomba reporter cilik, karangannya dimuat di koran media Indonesia, juara 1 atau 2 di sekolah serta memiliki rata-rata Ujian Nasional 9,3.

Hal ini tergantung pada daya tahan remaja terhadap perceraian

yang terkait dengan proses, kapasitas atau hasil dari kesuksesan

penyesuaian yang dikenal dengan istilah resiliensi (Masten, Best &

Garmezy, 1991, dalam Chen & George, 2005), yaitu berarti ditentukan

oleh resilien atau resistennya remaja tersebut terhadap stres karena

perceraian orangtua (Luthar, 1991).

Resiliensi adalah faktor kunci dalam kemampuan remaja

menyesuaikan diri terhadap situasi perceraian (Chen & George, 2005).

Remaja korban perceraian yang memiliki karakteristik resilien dapat

berhasil menyesuaikan diri dalam situasi perceraian. Hal ini dikarenakan

adanya keseimbangan antar faktor risiko (dampak-dampak perceraian) dan

faktor protektif (karakteristik remaja) (Steinberg, 2002). Remaja yang

resilien tidak hanya memiliki karakteristik tertentu dalam dirinya, tetapi

juga memiliki faktor protektif lingkungan yang membantu mereka

bertahan dari tekanan yang di alami atau kekuatan yang memaksa mereka

(Masten & Coatsworth, 1998; Rutter, 1983, dalam Rodgers & Rose,

(24)

Selain itu, remaja resilien menunjukkan bahwa mereka memiliki

kemampuan atau kapasitas untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan

dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi

yang tidak menyenangkan (Desmita, 2015). Bila remaja korban perceraian

mampu resilien, mereka juga dapat mengatasi risiko dan kesulitan tanpa

memperoleh dampak negatif yang jelas dari perceraian (Smith & Carlson,

1997). Hal ini karena resiliensi mengacu pada kompetensi yang

dimungkinkan muncul dibawah tekanan yang berkepanjangan, seperti

peristiwa perceraian orangtua (Desmita, 2005). Dengan kata lain, remaja

korban perceraian memiliki karateristik individu yang dapat “bangkit

kembali” setelah kesulitan dan mencapai atau bahkan melampaui tingkat

fungsi sebelumnya (Hawley & De Haan, 1996, dalam Greeff & Merwe,

2004). Pada dasarnya, remaja memiliki kapasitas untuk resilien, yaitu

dapat menghadapi kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan dalam

hidupnya.

Resiliensi dianggap sebagai kekuatan dasar yang menjadi fondasi

dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan

psikologikal seseorang. Tanpa adanya resiliensi, tidak akan ada

keberanian, ketekunan, tidak ada rasionalitas dan tidak ada pengetahuan

yang dalam. Sejumlah riset meyakinkan, bahwa gaya berpikir seseorang

sangat ditentukan oleh resiliensinya, serta resiliensi juga menentukan

(25)

Penelitian Rodgers dan Rose (2002), menguji faktor-faktor dalam

keluarga maupun di luar keluarga yang dapat berkontribusi terhadap

resiliensi pada remaja yang mengalami perubahan situasi di dalam

kehidupan keluarga. Penelitian tersebut juga menyarankan akan lebih

bermanfaat jika penelitian selanjutnya menggunakan perspektif resiliensi

terhadap remaja dari keluarga bercerai atau menikah lagi untuk

memperoleh faktor pembentuk resiliensi yang lebih bervariasi.

Penelitian Luthar (1991) bertujuan untuk menguji variabel yang

dapat mendukung resiliensi, yang memungkinkan anak tetap mampu

bertahan meskipun mengalami pengalaman hidup yang penuh tekanan

dengan menggunakan metode kuantitatif. Penelitian tersebut menggunakan

self-ratings yang memungkinkan terjadinya bias dalam memberikan

peringkat karena terpengaruh baik buruknya pengalaman yang dinilai.

Respon yang didapatkan juga terbatas dalam penelitian tersebut.

Berdasarkan tinjauan kepustakaan, peneliti akan meneliti resiliensi

menggunakan metode penelitian kualitatif wawancara dengan informan

remaja untuk melengkapi kekurangan penelitian sebelumnya.

B. PERTANYAAN PENELITIAN

Pernyataan utama dalam penelitian ini, yaitu:

(26)

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang

resiliensi remaja yang orangtuanya bercerai.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini memiliki beberapa manfaat, yaitu:

1. Manfaat Teoritis.

Dalam bidang psikologi perkembangan dan klinis, penelitian ini

bermanfaat untuk menambah pengetahuan tentang resiliensi remaja

yang mengalami perceraian orangtua.

2. Manfaat Praktis:

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadikan remaja mampu

dan berhasil beradaptasi dengan pengalaman perceraian

orangtuanya.

b. Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran pada praktisi

untuk mengembangkan intervensi atau program bagi klien remaja

(27)

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. RESILIENSI

Resiliensi dapat tercermin dalam cara individu (atau keluarga)

bereaksi terhadap masa sulit atau penuh tekanan. Resiliensi mengacu

dalam karakteristik individu yang dapat “bangkit kembali” setelah

mengalami kesulitan atau situasi traumatis dan mencapai atau bahkan

melampaui tingkat fungsi sebelumnya, sementara yang lain merasa sedang

diterpa dan tidak memiliki kekuatan untuk melawan. (Hawley & De Haan,

1996; Rutter, 1987, dalam Greeff & Merwe, 2004; Chen & George, 2005;

Leimon & McMahon, 2009). Selain itu, resiliensi merupakan sebuah

proses yang terkait dengan kapasitas untuk mencapai keberhasilan adaptasi

setelah mengalami kesulitan, seperti perceraian meskipun menantang atau

mengancam perkembangan psikologis (Masten, Best dan Garmezy, 1991,

dalam Chen & George, 2005; Werner & Smith, 1993, dalam Greeff &

Merwe, 2004). Menurut Werner dan Smith (1992, dalam Wenar & Kerig,

2000), resiliensi adalah keseimbangan antara faktor risiko dan faktor

protektif.

Adapun sumber pembentukan resiliensi ialah faktor protektif/

penahan yang berkontribusi pada resiliensi dalam membantu individu

mengatasi tantangan hidup secara lebih efektif. Baumgardner dan

Crothers (2009) membagi tiga kategori faktor protektif. Pertama, faktor

(28)

masalah yang baik, temperamen dan kepribadian yang easy going dapat

beradaptasi dengan perubahan, gambaran diri yang positif dan efektivitas

pribadi, keoptimisan, kemampuan untuk meregulasi, mengontrol emosi

dan dorongan, bakat individu yang dihargai oleh individu dan oleh

budayanya, serta rasa humor yang sehat. Kedua, faktor protektif dalam

keluarga, antara lain hubungan yang dekat dengan orangtua atau

caregivers,pola asuh yang hangat dan suportif yang menyediakan harapan

dan aturan yang jelas, keluarga yang positif secara emosional dengan

konflik yang sedikit antara orangtua, serta lingkungan rumah yang

terstruktur dan terorganisir, orangtua yang terlibat dalam pendidikan

anaknya, serta orangtua yang memiliki sumber finansial yang adekuat.

Ketiga, faktor dalam komunitas termasuk sekolah yang baik, terlibat

dalam organisasi sosial dengan sekolah dan komunitas, hidup dalam

lingkungan yang terlibat dengan orang-orang yang peduli menangani

masalah dan mempromosikan semangat komunitas serta hidup dalam

lingkungan yang aman dan ketersediaan yang mudah dari kondisi darurat

yang berkompeten dan responsif, kesehatan masyarakat serta pelayanan

sosial.

Menurut Masten, Cutuli, Herbers dan Reed (2009 dalam Snyder,

Lopez & Pedrotti, 2011), faktor protektif untuk pembentukan resiliensi.

Pertama, faktor protektif pada remaja, seperti keterampilan memecahkan

masalah, keterampilan meregulasi diri untuk mengontrol perhatian, hasrat,

(29)

yang mudah beradaptasi pada tahap perkembangan selanjutnya dan

gambaran diri yang positif, self-efficacy, keyakinan serta merasa berarti

dalam hidup, harapan positif dalam hidup, bakat yang dihargai diri sendiri

maupun masyarakat dan diri yang menarik bagi orang lain. Kedua, faktor

protektif dalam keluarga dan hubungan yang dekat, termasuk hubungan

cinta yang positif, hubungan yang dekat dengan individu dewasa yang

kompeten, prososial dan suportif. Selain itu, pola pengasuhan autoritatif

(hangat, terstruktur/ pengawasan dan harapan yang tinggi), suasana

keluarga yang positif dengan konflik yang rendah antara orangtua,

lingkungan rumah yang terorganisir, pendidikan sekunder yang dimiliki

oleh orangtua, orangtua dengan anak yang memiliki faktor protektif dalam

dirinya, orangtua yang terlibat dalam pendidikan anak, sosioekonomi yang

adekuat, terhubung dengan teman sebaya yang prososial, serta relasi

romantis dengan pasangan yang prososial dan memiliki penyesuaian yang

baik. Ketiga, faktor protektif dalam komunitas dan hubungan dengan

organisasi, seperti sekolah yang efektif, terikat dengan organisasi prososial

(sekolah, klub, pramuka), tetangga dengan “efikasi kolektif” yang tinggi,

akses keamanan yang tinggi, pelayanan dalam keadaan darurat yang baik,

dan ketersediaan layanan kesehatan yang baik.

Faktor protektif dibagi menjadi tiga dikarenakan atribut remaja,

iklim maupun sumbernya berada di dalam keluarga dan sistem pendukung

yang ada di lingkungan yang lebih luas (Smith & Carlson, 1997). Hanson

(30)

jenis sumber yang befungsi sebagai tenaga penahan setelah proses

perceraian dan penting untuk pemulihan keluarga. Pertama, sumber

ekonomi termasuk sumber material, seperti penghasilan dan barang milik.

Kedua, sumber pengasuhan termasuk tingginya tingkat keterlibatan

orangtua, disiplin yang konsisten, parameter yang jelas batas-batasnya

berfungsi sebagai contoh bagi anak serta memberikan keamanan. Ketiga,

sumber komunitas termasuk teman, hubungan keluarga dan organisasi

formal yang menyediakan informasi dan dukungan sosial yang mengarah

ke perbaikan fungsi keluarga dan anggota tiap individu.

Selain itu, menurut Grotberg (1995), upaya mengatasi kesulitan serta

mengembangkan resiliensi remaja sangat tergantung pada pemberdayaan

tiga faktor dalam diri remaja yang disebut tiga sumber resiliensi. Pertama,

I have (Aku punya) merupakan sumber resiliensi yang berhubungan

dengan pemaknaan remaja terhadap besarnya dukungan yang diberikan

oleh lingkungan sosial terhadap dirinya. Sumber I have memiliki beberapa

kualitas yang memberikan sumbangan bagi pembentukan resiliensi, yaitu

hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh, struktur dan peraturan

di rumah, model peran, dorongan untuk mandiri serta akses terhadap

layanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan kesejahteraan. Kedua, I am

(Aku ini) merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan

pribadi yang dimiliki oleh remaja, yang terdiri dari perasaan, sikap dan

keyakinan pribadi. Beberapa kualitas pribadi yang mempengaruhi I am ini

(31)

kepedulian pada orang lain, bangga dengan dirinya sendiri,

bertanggungjawab terhadap perilaku sendiri dan menerima

konsekuensinya, percaya diri, optimistik dan penuh harapan. Ketiga, I can

(Aku dapat) adalah sumber resiliensi yang berkaitan dengan apa saja yang

dapat dilakukan oleh remaja sehubungan dengan keterampilan sosial dan

interpersonal yang meliputi keterampilan berkomunikasi, memecahkan

masalah, mengelola perasaan dan impuls, mengukur temperamen sendiri

dan orang lain serta menjalin hubungan yang saling mempercayai.

Resiliensi merupakan kombinasi dari faktor-faktor I have, I am dan I

can. Untuk menjadi resilien, tidak cukup hanya memiliki satu faktor saja,

melainkan harus ditopang oleh faktor-faktor lain. Untuk menumbuhkan

resiliensi remaja, ketiga faktor tersebut harus saling berinteraksi satu sama

lain. Interaksi ketiga faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh kualitas

lingkungan sosial dimana remaja hidup.

Menurut Bernard (1991), individu yang resilien dapat dilihat dari

profilnya. Pertama, individu resilien dapat dilihat dari kompetensi

sosialnya, yaitu memiliki kualitas responsif yang baik, fleksibel, empati

dan peduli, keahlian komunikasi, selera humor, dan perilaku prososial

lainnya. Individu resilien juga memiliki selera humor bahwa mereka

memiliki kemampuan untuk menghasilkan kehidupan yang menyenangkan

dan menemukan cara alternatif untuk melihat segala sesuatunya baik

seperti menertawakan diri sendiri dan situasi yang aneh. Selain itu, dari

(32)

lebih positif dengan orang lain, termasuk pertemanan dengan kawan

sebaya. Kedua, keahlian memecahkan masalah, termasuk kemampuan

berpikir abstrak, reflektif, fleksibel dan mampu mencoba cara pemecahan

secara kognitif maupun sosial. Ketiga, otonomi berkenaan dengan

kemandirian, internal locus of control dan individu yang kuat. Selain itu,

otonomi dikenal sebagai harga diri dan efikasi diri. Otonomi juga

dijelaskan sebagai disiplin diri dan pengendalian terhadap

dorongan-dorongan. Lebih lanjut, otonomi menjelaskan tentang rasa memiliki

identitas diri dan mampu bertindak secara mandiri serta menggunakan

kontrol terhadap lingkungannya. Individu yang resilien juga mampu untuk

memisahkan atau menjauhkan diri dari lingkungan keluarga yang tidak

menjalankan fungsinya dengan baik, yang dikenal dengan istilah the task

of adaptive distancing. Keempat, arti tujuan dan masa depan berhubungan

dengan harapan untuk sehat, tujuan yang terarah, orientasi untuk sukses,

motivasi berprestasi, cita-cita pendidikan, ketekunan, pengharapan, daya

tahan, keyakinan akan masa depan yang cerah, antisipasi, perhatian akan

masa depan, dan koherensi. Hal-hal ini menjadi prediktor yang paling kuat

akan hasil yang positif.

B. REMAJA

Menurut Papalia, Olds dan Feldman (2009), remaja merupakan

individu yang berada pada peralihan masa perkembangan antara masa

(33)

aspek fisik, kognitif dan psikososial yang saling berkaitan. Remaja awal

berkisar 10 sampai 13 tahun, remaja tengah antara 14 sampai 18 tahun dan

remaja akhir antara 19 sampai 22 tahun, sehingga dapat disimpulkan

bahwa remaja berada pada rentang usia 10 hingga 22 tahun (Steinberg,

2002). Menurut Papalia, Olds dan Feldman (2009), dalam aspek fisik,

perubahan struktur otak berkaitan dengan emosi, penilaian, organisasi

perilaku dan kontrol diri serta menjadi penjelas kecenderungan remaja

mengalami ledakan emosi dan melakukan perilaku berisiko bahkan kejam.

Remaja yang lebih matang, seperti orang dewasa, cenderung

menggunakan lobus frontalis yang memungkinkan penilaian yang lebih

akurat dan beralasan. Pada remaja awal, perkembangan otak yang belum

matang dapat membuat perasaan atau emosi mengalahkan akal sehat,

alasan yang memungkinkan remaja untuk membuat pilihan yang tidak

bijaksana, seperti penyalahgunaan alkohol, narkoba dan melakukan

aktivitas seksual berisiko. Sistem kortikal frontal yang belum berkembang

juga terkait dengan motivasi, impulsivitas, dan ketergantungan terhadap

zat yang menjadikan remaja memiliki dorongan terhadap kesenangan,

mencoba berbagai hal baru serta menyebabkan banyak remaja sulit untuk

berfokus pada tujuan jangka panjang.

Dalam aspek psikososial, remaja berada pada tahap pencarian

identitas yang didefinisikan Erikson (dalam Papalia, Olds & Feldman,

2009) sebagai konsepsi koheren diri, terdiri dari tujuan, nilai dan

(34)

Selain aspek fisik dan psikososial terdapat pula aspek kognitif pada

remaja. Dalam aspek kognitif, remaja memasuki tingkat perkembangan

kognitif tertinggi yaitu operasional formal, saat dimana mereka

mengembangkan kapasitas untuk berpikir secara abstrak. Remaja dapat

berpikir tentang hal yang mungkin terjadi, tidak hanya apa yang sedang

terjadi dan membayangkan kemungkinan serta membentuk maupun

menguji dugaan (Piaget dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009). Menurut

David Elkind (1998, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009), remaja yang

tidak matang dalam berpikir memiliki ciri, seperti idealisme dan mudah

mengkritik, memiliki sifat argumentatif, sulit memutuskan sesuatu, tampak

munafik, terlalu berfokus pada pikiran sendiri serta merasa dirinya

istimewa sehingga tidak harus menaati peraturan yang mendasari perilaku

berisiko.

C. PERCERAIAN

Menurut McKenry dan Price (2000, dalam Kertamuda, 2009),

perceraian merupakan suatu rangkaian kejadian terpecahnya keluarga dan

kegagalan dalam pernikahan. Perceraian berpotensi menimbulkan stres

bagi pasangan, anak dan keluarga besar pasangan (Kertamuda, 2009) yang

di mulai sebelum perpisahan fisik dan berlanjut setelahnya (Morrison &

Cherlin 1995 dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009). Dalam perceraian

(35)

Perceraian menimbulkan dampak bagi remaja. Adapun dampak yang

ditimbulkan antara lain masalah sikap dan emosional yang serius. Remaja

yang mengalami perceraian orangtua juga berisiko memiliki performansi

pendidikan yang lebih rendah serta lebih mungkin untuk keluar dari

sekolah (Kelly & Emery, 2003). Selain itu, remaja mudah mengalami

masalah personal, seperti kekacauan dalam bekerja, penahanan atau

berhubungan dengan polisi (Aseltine, 1996). Remaja juga menunjukkan

perilaku eksternalisasi antara lain perilaku agresi pada orang lain,

menggunakan alkohol, obat-obatan, perilaku kejahatan, perilaku antisosial

dan masalah kesahatan. Simptom internalisasi juga dialami oleh remaja

termasuk status kesejahteraan psikologis, seperti perasaan depresi,

self-esteem yang rendah, kecemasan dan timbulnya pikiran bunuh diri

(Rodgers & Rose, 2002; Smith & Carlson, 1997). Rodgers dan Rose

(2002) menambahkan pula bahwa remaja lebih berkonflik dan sedikit

memiliki interaksi yang positif dengan orangtuanya. Steinberg (2002) juga

menyatakan bahwa remaja dari keluarga bercerai rentan melakukan

aktivitas seksual sebelum waktunya.

D. RESILIENSI REMAJA YANG ORANGTUANYA BERCERAI

Remaja sebagai individu yang berada pada masa peralihan dimana

terjadi perubahan besar pada perkembangan aspek fisik, psikososial dan

kognitif. Remaja juga berada pada tahap pencarian identitas diri yang

(36)

bercerai rentan mengalami dampak dari perceraian. Terlebih perceraian

orangtua menimbulkan dampak yang bermacam-macam dan kompleks

pada remaja.

Remaja akan rentan memiliki simptom internalisasi dan

menunjukkan perilaku eksternalisasi. Akan tetapi, sebagian remaja

korban perceraian tidak memiliki masalah yang signifikan. Hal ini

tergantung pada daya tahan remaja terhadap perceraian yang terkait

dengan proses, kapasitas, atau hasil dari kesuksesan penyesuaian yang

dikenal dengan istilah resiliensi.

Remaja yang memiliki sumber-sumber resiliensi dalam diri

maupun lingkungan serta sumber-sumber tersebut saling menopang dan

berinteraksi satu sama lain dapat menyebabkan remaja mampu resilien.

Apabila remaja mampu resilien, mereka dapat mengatasi risiko dan

kesulitan tanpa memperoleh dampak negatif yang jelas dari perceraian.

Adapun sumber pembentukan resiliensi pada remaja antara lain I Have

(Aku punya), I Am (Aku ini), I Can (Aku dapat). Namun, bila remaja

hanya memiliki satu sumber, tidak saling menopang dan berinteraksi,

maka remaja tidak akan resilien. Remaja tersebut tidak mampu

menghadapi, mencegah, meminimalkan bahkan menghilangkan

dampak-dampak perceraian orangtua. Dengan demikian, melalui penelitian ini,

peneliti ingin memberikan gambaran resiliensi remaja yang orangtuanya

(37)

Gambar 2.1. Skema Resiliensi Remaja Yang Orangtuanya Bercerai.

s Perceraian Orangtua

Sumber-sumber resiliensi Dampak perceraian

pada remaja

Simptom internalisasi

Perilaku eksternalisasi

I have I am I can

(38)

E. PERTANYAAN PENELITIAN

(39)

20 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. STRATEGI PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

kualitatif. Menurut Cresswell, kualitatif merupakan metode-metode untuk

mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau

sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan.

Penelitian kualitatif bersifat induktif bertujuan untuk menganalisis data

mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-tema umum, dan menafsirkan

makna data. Selain itu, penelitian kualitatif bertujuan untuk

mengeksplorasi faktor-faktor kompleks yang berada di sekitar fenomena

utama dan menyajikan perspektif-perspektif atau makna-makna yang

beragam dari para informan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah analisis isi terarah. Menurut Hsieh dan Shannon (2005, dalam

Supratiknya, 2015) pendekatan analisis terarah bertujuan memvalidasi

dengan menguji ulang sebuah kerangka teoretis atau bahkan sebuah teori

dalam konteks baru.

B. FOKUS PENELITIAN

Penelitian ini berfokus pada mendeskripsikan resiliensi remaja

yang mengalami perceraian orangtua. Untuk mengetahui hal tersebut,

(40)

yang dialami oleh informan beserta sumber-sumber pembentukan

resiliensi pada informan.

C. INFORMAN PENELITIAN

1. Cara Pemilihan Informan.

Dalam penelitian ini, peneliti membutuhkan informan dengan

karakteristik khusus. Oleh karena itu, peneliti menggunakan strategi

purposeful sampling, yaitu peneliti memilih informan penelitian

berdasarkan karakteristik informan yang dibutuhkan, yang dapat

menginformasikan pemahaman tentang masalah penelitian dan

fenomena pada penelitian ini (Cresswell, 2007).

2. Karakteristik Informan.

Kriteria informan dalam penelitian ini, yaitu informan

mengalami kejadian atau situasi yang sulit, penuh tekanan atau

traumatis dikarenakan perceraian orangtua. Informan dalam penelitian

ini berada pada masa remaja, yaitu berusia 10 sampai 22 tahun.

D. METODE PENGUMPULAN DATA

1. Metode Wawancara

Peneliti menggunakan strategi pengumpulan data wawancara

kualitatif. Peneliti melakukan face-to-face interview, dengan

(41)

wawancara berupa pertanyaan penelitian. Akan tetapi, pada prosesnya

peneliti menyesuaikan pertanyaan yang diajukan dengan informasi

yang diberikan oleh informan. Adapun pedoman wawancara sebagai

berikut:

Tabel 3.1. Panduan Wawancara 1

Tema Panduan Wawancara Kondisi sebelum

perceraian

Bagaimana awal sebelum orangtua

bercerai? (termasuk penyebab

perceraian, kondisi keluarga/konflik,

diri sendiri sebagai anak).

Kondisi saat perceraian Bagaimana ketika terjadi perceraian?

(termasuk saat usia berapa, dampak,

diri sendiri sebagai anak).

Kondisi setelah perceraian Bagaiaman setelah orangtua bercerai?

(termasuk sampai saat ini, kondisi

keluarga, hubungan dengan orangtua,

(42)

Tabel 3.2. Panduan Wawancara 2

Tema Panduan Wawancara Pertanyaan Utama Adaptasi dalam situasi sulit,

traumatis atau penuh tekanan

Bagaimana adaptasi yang anda lalui

dalam situasi sulit, traumatis atau

penuh tekanan saat orangtua

bercerai?

Subpertanyaan-subpertanyaan Bagaimana cara anda menyesuaikan

diri dalam menghadapi situasi

perceraian orangtua anda?

Bagaimana kemampuan anda

berperan dalam penyesuaian diri

dalam menghadapi situasi

perceraian orangtua anda?

Bagaimana akibat yang didapatkan

setelah keseluruhan adaptasi anda

dalam menghadapi situasi

(43)

Tabel 3.3. Panduan Wawancara 3

Panduan Wawancara

Tema Pertanyaan

Sumber resiliensi “I have” 1. Bagaimana hubungan anda dengan

orang-orang di sekitar anda ?

2. Bagaimana fasilitas yang anda

dapatkan?

Sumber resiliensi “I am” 1. Bagaimana anda memandang

diri anda?

2. Bagaimana sikap orang lain

terhadap anda?

Sumber resiliensi “I can” 1. Bagaimana relasi anda dengan

orang lain?

2. Bagaimana anda mengatasi

situasi yang anda alami?

E. METODE ANALISIS DATA

Menurut Creswell (2013) bahwa analisis data kualitatif merupakan

proses yang melibatkan usaha memaknai data berupa teks atau gambar.

Analisis data meliputi proses mempersiapkan data untuk dianalisis,

melakukan analisis-analisis yang berbeda, memperdalam pemahaman akan

data tersebut, menyajikan data, dan membuat interpretasi makna yang

lebih luas akan data tersebut.

Analisis data kualitatif sebagai suatu proses penerapan

langkah-langkah dari yang spesifik hingga yang umum sebagaimana ditunjukkan

sebagai berikut (Cresswell, 2013):

(44)

2. Membaca keseluruhan data.

3. Melakukan koding data.

4. Mendeskripsikan data dengan menggunakan proses coding.

5. Menyajikan kembali deskripsi dan tema-tema dalam narasi atau

laporan kualitatif.

6. Menginterpretasi atau memaknai data.

F. KEABSAHAN DATA

1. Reliabilitas.

Reliabilitas dalam penelitian ini dilihat dari metode yang

dipilih telah mencapai tujuan yang diinginkan serta sejauh mana dan

seintensif apa peneliti mendiskusikan temuan dan analisis dengan

orang lain. Selain itu, peneliti luwes terhadap perubahan strategi dan

desain serta melakukan pencatatan rinci mengenai desain yng

digunakan (Poerwandari, 1998). Peneliti juga memeriksa transkrip

rekaman wawancara untuk memastikan tidak ada kesalahan serius

yang dapat terjadi selama proses transkripsi (Supratiknya, 2015).

2. Kredibilitas.

Peneliti menggunakan beberapa strategi validitas, antara lain

(Cresswell, 2013) :

a. Peneliti menerapkan member checking. Peneliti

(45)

penelitian. Peneliti membawa kembali bagian-bagian dari

hasil penelitian yang sudah diolah, seperti

deskripsi-deskripsi atau tema-tema kepada informan.

b. Peneliti mengajak seorang auditor (external auditor) dalam

hal ini dosen untuk mereview keseluruhan proyek

penelitian. External auditor akan memberi penilaian secara

objektif, mulai dari proses hingga kesimpulan penelitian.

c. Peneliti mengklarifikasi bias yang mungkin dibawa peneliti

ke dalam penelitian. Peneliti melakukan refleksi diri

terhadap kemungkinan munculnya bias dalam penelitian,

seperti pengaruh latar belakang penelitian terhadap

interpretasi. Oleh karena itu, peneliti akan mampu membuat

narasi yang terbuka dan jujur yang akan dirasakan oleh

(46)

27 BAB IV

PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

A. PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN

1. Persiapan Penelitian dan Perizinan.

Dalam penelitian ini, sebagai informan penelitian, digunakan

remaja yang orangtuanya mengalami perceraian dengan menggunakan

purposeful sampling, yaitu informan dipilih sesuai dengan tujuan

penelitian. Peneliti mendapatkan informan dengan bertanya kepada

teman serta peneliti telah mengenal beberapa informan dalam

penelitian ini. Walaupun sebelumnya peneliti tidak mengetahui bahwa

mereka sesuai dengan karakteristik informan yang dibutuhkan.

Peneliti memutuskan mengambil tiga informan saja karena

selama pengambilan data yang dibutuhkan sudah cukup. Hasil

wawancara tiga informan menunjukkan data yang tidak jauh berbeda.

Sebelum penelitian, peneliti meminta kesediaan informan terlebih

dahulu untuk menjadi informan penelitian. Peneliti juga meminta ijin

kepada orangtua dari salah satu informan. Kemudian peneliti mengatur

hari untuk mewawancarai informan. Peneliti juga menyusun panduan

wawancara, menyiapkan informed consent dan alat perekam suara

untuk merekam hasil wawancara selama proses wawancara

(47)

Sebelum wawancara dengan semua informan, peneliti

mengambil data awal pada salah satu informan terlebih dahulu. Untuk

kedua informan tidak dibutuhkan pendekatan yang lama karena

peneliti sudah mengenal informan tersebut. Namun untuk salah satu

informan, peneliti mengunjungi tempat tinggal informan untuk

bertemu dengan informan dan ibu informan guna meminta ijin serta

melakukan pendekatan pada informan tersebut. Kemudian mengatur

jadwal kembali untuk melakukan wawancara.

2. Pelaksanaan Penelitian.

Waktu dan Tempat Penelitian.

Tabel 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian

No Keterangan Informan 1 Informan 2 Informan 3 1 Perizinan kepada

(48)

B. INFORMAN PENELITIAN

1. Data informan.

Tabel 4.2. Data Informan 1

No. Keterangan Informan 1 1 Nama Inisial BIART

2 Usia 21 tahun 3 Jenis Kelamin Perempuan

4 Anak ke- 2 dari 2 bersaudara 5 Jumlah saudara 1

6 Pekerjaan Mahasiswi 7 Usia ibu 50 tahun 8 Usia ayah 50 tahun

9 Pekerjaan ibu Pemilik yayasan 10 Pekerjaan ayah Driver

Tabel 4.3. Data Informan 2

No Keterangan Informan 2 1 Nama Inisial SAEK

2 Usia 12 tahun 3 Jenis Kelamin Perempuan

4 Anak ke- 1 dari 1 bersaudara 5 Jumlah saudara -

6 Pekerjaan Pelajar 7 Usia ibu 29 tahun 8 Usia ayah 33 tahun

9 Pekerjaan ibu Karyawan swasta 10 Pekerjaan ayah Wiraswasta

Tabel 4.4. Data Informan 3

No Keterangan Informan 3 1 Nama Inisial DCC

2 Usia 20 tahun 3 Jenis Kelamin Laki-laki

4 Anak ke- 3 dari 3 bersaudara 5 Jumlah saudara 2

6 Pekerjaan Mahasiswa 7 Usia ibu 55 tahun 8 Usia ayah 58 tahun

(49)

2. Latar Belakang Informan.

a) Informan 1

Tabel 4.5. Gambaran Kondisi Perceraian Orangtua Informan 1

No Keterangan Informan 1 1 Kondisi sebelum perceraian Mengetahui orangtua

berkonflik

2 Penyebab perceraian Ayah jarang pulang karena suka berjudi, mabuk dan main perempuan

3 Masa terjadinya perceraian Saat P1 kelas 2 SD 4 Kondisi setelah perceraian Tinggal bersama ibu dan

nenek

5 Usia orangtua ketika bercerai Saat ibu dan ayah usia 35 tahun

Sebelum perceraian, P1 mengetahui orangtuanya berkonflik

tetapi P1 tidak dibiarkan melihat saat orangtuanya berkonflik.

Orangtua P1 bercerai saat ia berada di kelas 2 SD. Penyebab

orangtuanya bercerai yaitu ayah P1 jarang pulang karena bermain judi,

mabuk-mabukan dan main perempuan.

Setelah perceraian, P1 tinggal bersama ibu dan neneknya. Akan

tetapi, saat SMP, P1 sempat tinggal hanya bersama neneknya. Sesudah

bercerai, tidak ada kerjasama diantara orangtua P1. P1 memiliki

hubungan yang baik dengan ayahnya, hanya ia dilarang oleh ibunya

(50)

ibunya kurang baik karena ibunya overprotektif, namun saat ini sudah

lebih baik. P1 juga tidak dekat dengan kakak laki-lakinya.

P1 juga merasakan adanya perubahan emosi saat SMP sampai

SMA, dimana ia mulai memiliki banyak masalah antara lain

kehilangan figur ayah sehingga ia mencari figur ayah, kabur dari

rumah, melawan orangtua, berbohong dan banyak bergaul dengan

laki-laki. P1 membutuhkan ayahnya dan merasa sedih bila rindu dengan

ayahnya, namun ia tidak diijinkan bertemu dengan ayahnya. P1 juga

merasa sedih ketika melihat orang lain sedang bersama keluarganya.

Selain itu, P1 menyayangkan bahwa perceraian orangtuanya

mengorbankan hal lain. Ia juga merasa sedih karena sering bertengkar

dengan ibunya yang overprotektif semenjak bercerai.

b) Informan 2

Tabel 4.6. Gambaran Kondisi Perceraian Orangtua Informan 2

No Keterangan Informan 2 1 Kondisi sebelum perceraian Tidak mengetahui

kondisi sebelum perceraian

2 Penyebab perceraian Kesulitan ekonomi 3 Masa terjadinya perceraian Saat P2 berusia 4 bulan 4 Kondisi setelah perceraian Tinggal bersama ibu.

Bila ibu bekerja, dititipkan di rumah nenek.

(51)

Orangtua P2 menikah karena hamil diluar nikah. P2 tidak

mengetahui kondisi sebelum perceraian karena masih bayi. Orangtua

P2 bercerai saat ia berusia 4 bulan karena kesulitan ekonomi.

Setelah perceraian, P2 tinggal bersama ibunya. Mulanya ibu P2

kerepotan mengurus sendiri. Apabila ibu P2 bekerja, maka ia dititipkan

di rumah nenek. P2 dekat dengan ibunya, sedangkan ia baru bertemu

kembali dengan ayahnya ketika ia berusia 3 tahun dan saat berada di

kelas 3 SD. Ibu P2 berhubungan baik dengan ayahnya, tetapi ayahnya

kurang memberi materi kepada P2. P2 juga jarang berkomunikasi

dengan ayahnya, meskipun diijinkan oleh ibunya sehingga ia tidak

mendapat kasih sayang ayah. Selain itu, P2 merasa berbeda dengan

(52)

c) Informan 3

Tabel 4.7. Gambaran Kondisi Perceraian Orangtua Informan 3

No Keterangan Informan 3 1 Kondisi sebelum perceraian Mengetahui orangtua

berkonflik

2 Penyebab perceraian Adanya orang ketiga/ perselingkuhan 3 Masa terjadinya perceraian Saat P3 kelas 1 SMP 4 Kondisi setelah perceraian Tinggal bersama ayah

dan kakak kedua, lalu tinggal bersama ibu dan dititipkan dengan bibinya. Saat ini tinggal bersama ibu.

5 Usia orangtua ketika bercerai Saat ibu usia 48 tahun dan ayah usia 50 tahun

Orangtua P3 menikah karena hamil diluar nikah meskipun

berbeda keyakinan. Sebelum perceraian, P3 melihat saat orangtuanya

berkonflik sehingga membuatnya menangis. Orangtua P3 bercerai

karena adanya orang ketiga, tepatnya ibu P3 berselingkuh. Hal ini juga

diperkuat dengan perasaan lelah ibu P3 dalam menyesuaikan diri

dengan sifat keras suaminya. Pada akhirnya, ibu P3 memutuskan untuk

bercerai. Orangtua P3 bercerai saat ia berada di kelas 1 SMP.

Setelah perceraian, mulanya P3 tinggal bersama ayah dan

kakak keduanya. Namun ia pindah dan tinggal bersama ibunya, sejak

(53)

mengalami kesulitan ekonomi. Saat ibunya merantau ke Yogyakarta,

P3 dititipkan pada bibinya di Jakarta. Saat ini, P3 tinggal bersama

ibunya di Yogyakarta serta ayahnya sudah mulai bertanggungjawab

membiayai kuliah P3. Saat P3 dititipkan dengan bibinya, ia tidak

merasakan kehadiran figur ibu dalam masa remajanya, sehingga ia

kurang terurus dan kurang pendampingan dalam hal pendidikan. Ayah

P3 belum mempunyai mendamping lagi, tetapi ibunya sudah memiliki

kekasih.

Hubungan di antara orangtua P3 tidak baik karena saling

menjelek-jelekan satu sama lain di depan P3. P3 diperbolehkan

berkomunikasi dengan ayahnya, namun selama ini, P3 jauh dengan

ayahnya. Ibunya pun memiliki kesibukkan, sehingga membuat dirinya

merasa kesepian dan iri hati melihat orang lain yang dapat berkumpul

bersama keluarganya.

C. ANALISIS DATA PENELITIAN

1. Dampak Perceraian.

Dalam dampak perceraian, akan dijabarkan mengenai dampak dari

(54)

Tabel 4.8. Ringkasan Dampak Perceraian Informan 1

No Dampak perceraian 1 Ingin mendapatkan figur ayah.

2 Perilaku membangkang dan nakal P1.

3 Perilaku suka kabur, melawan, berbohong, bermain dan dekat dengan lelaki.

4 Perceraian berdampak pada relasi, sepertipergaulan yang salah. 5 Perilaku merokok, mabuk-mabukan dan nakal.

6 Suka mempermainkan perasaan lelaki.

Catatan. Cara Membaca (P1, K11) = (Informan 1, Kolom ke bawah

koding verbatim pada lampiran nomor 11).

Berikut beberapa penjelasan ringkasan mengenai dampak

perceraian orangtua yang dialami oleh setiap informan :

Dampak perceraian yang paling dominan terlihat pada

informan 1 yaitu keinginan untuk mendapatkan figur ayah

(nonresident parents). Informan mencari figur ayah dengan cara

berkomunikasi dengan ayahnya. Berikut ini pernyataan informan

terkait hal tersebut:

Setelah aku ngerti loh ternyata aku butuh loh papa.

Makanya aku nyari, suka ngobrol sama papa lewat chatting

walaupun kadang ga dibolehin kan…(P1, K72).

Nah mulai SMP, mulai mandiri tuh, mulai yang nyari-nyari, SMA apalagi. Papa tuh dimana, mulai cari kontaknya papa tapi mama ga ngasih…(P1, K39).

(55)

Informan juga mencari seorang yang dapat menggantikan sosok ayah. Hal ini dikarenakan informan kehilangan figur ayah.

Demikian pernyataan informan:

Mulai banyak, kalo kita anak psikologi sok-sokannya bilang cari figur ayah, kaya gitu. Aku jadi mulai SMP SMA jadi lebih seringnya main sama cowok, aku tuh kaya nyari, aku tuh ga pernah, kaya nyari-nyari gitu loh, gaulnya tuh kebanyakan sama cowok. Kalo pacaran tuh kadang-kadang suka penasaran cowok tuh kaya gimana si (P1, K11).

Kehilangan figur ayah si sebenernya. Aku jadi merasa ga mendapatkan bener-bener sosok ayah gitu loh. Nah aku nyari itu diluar, ya itu aku temenan sama cowok. Kadang-kadang sama, suka ngobrol sama orang yang lebih tua gitu loh…(P1, K68).

Dampak lain yang ditimbulkan yaitu adanya perilaku

eksternalisasi terkait relasi seperti pergaulan yang salah. Demikian

pernyataan informan:

Cuma ga amannya tuh di relasi aja si. Temen tuh aku ga suka milih, karena ga suka milih, aku tuh malah kaya sama siapa aja temenan, jadi salah, gitu (P1, K18).

Perilaku eksternalisasi lain yang dialami informan seperti

perilaku membangkang dan nakal. Hal ini ditunjukkan dari

pernyataan informan:

engg….dampaknya yang paling kerasa ya waktu itu yang tadi kubilang, puncaknya ya SMA, ya SMA mau kuliah lah. SMA sampai awal-awal kuliah lah. Mulai apa ya, aku rebel banget anaknya, maksudnya bandel, bandel banget (P1, K13).

Selain itu perilaku eksternalisasi yang muncul pada

informan yaitu perilaku suka kabur, melawan, berbohong, bermain

(56)

paling aku rasakan ya itu pas SMA mulai banyak masalah. Mulai suka kabur dari rumah, ngelawan, suka.., suka bohong, suka main keluar bilangnya ngerjain tugas tapi main, ya gitulah banyak bohongnya. banyak main sama cowok, suka pacaran tapi ga bener-bener pacaran, maksudnya suka deket-deket cowok aja gitu loh (P1, K16).

Informan juga menunjukkan adanya perilaku eksternalisasi

seperti perilaku merokok, mabuk-mabukan dan nakal. Inilah

pernyataan informan:

Mulai kenal ngerokok, tapi aku kenal ngerokok mulai ngerokok tuh dari kuliah, minum, mabok-mabok kaya gitu tuh, nakal (ketawa) (P1, K18).

Lebih lanjut, informan mencari tahu rasa ingin tahunya

dengan suka mempermainkan perasaan lelaki. Demikian

pernyataan informan yang mendukung hal tersebut:

Aku suka mainin perasaan cowok. Misal buat cowok suka terus di biarin gitu aja (P1, K73).

Tabel 4.9. Ringkasan Dampak Perceraian Informan 2

No Dampak perceraian 1 Tidak merasakan kasih sayang ayah. 2 Ayah kurang memberi materi.

3 Kehadiran dan keterlibatan ayah sedikit.

4 Perasaan berbeda dengan lainnya tentang keberadaan ayah.

Catatan. Cara Membaca (P1, K11) = (Informan 1, Kolom ke bawah

koding verbatim pada lampiran nomor 11).

Berikut beberapa penjelasan ringkasan mengenai dampak

(57)

Dampak perceraian yang dialami oleh informan antara lain

beberapa hal terkait dengan ketidakdekatan informan dengan

nonresident parents, yaitu ayah. Informan merasa berbeda dengan

yang lainnya, seperti pernyataan berikut ini:

Yaa, kok lainnya pada punya ayah aku ga punya ayah sendiri, awalnya gitu (agak ketawa) (P2, K28).

Selain itu, setelah perceraian, kehadiran dan keterlibatan

ayah sedikit dalam hidup informan. Demikian pernyataan

informan:

Baru ketemu papa waktu umur 3 tahun terus kelas 3 SD (P2, K19).

Kadang-kadang papa suka ngechat, ya ngechat gitu. Lagi ngapain, udah makan belum (P2, K18).

Jarang komunikasi sama papa, rasanya biasa aja (P2, K23).

Keterlibatan ayah dalam memberi materi juga kurang.

Inilah pernyataan informan terkait hal tersebut:

....baru ngasih uang berapa kali selama 12 tahun (P2, K9).

… Ya kadang papa kasih tas, kasih sepatu (P2,K31).

Sehingga menyebabkan informan merasa kehilangan,

dalam hal ini tidak merasakan kasih sayang ayah. Berikut

pernyataan yang menunjukkan hal tersebut:

(58)

Tabel 4.10. Ringkasan Dampak Perceraian Informan 3

No Dampak perceraian 1 Perceraian mempengaruhi ekonomi. 2 Kehadiran dan keterlibatan ayah sedikit. 3 Kesepian karena jauh dari orangtua. 4 Kurang pendampingan dalam pendidikan.

5 Tidak ada kehadiran dan keterlibatan ibu di masa perkembangan remaja.

Catatan. Cara Membaca (P1, K11) = (Informan 1, Kolom ke bawah

koding verbatim pada lampiran nomor 11).

Berikut beberapa penjelasan ringkasan mengenai dampak

perceraian orangtua yang dialami oleh setiap informan :

Perceraian memberikan beberapa dampak pada informan,

antara lain penurunan keadaan ekonomi karena kehadiran dan

keterlibatan ayah sedikit, terlebih ibu tidak bekerja diluar rumah,

seperti pernyataan berikut:

Tapi kalo dampaknya paling kerasa si ekonomi si, dampak ekonomi kan, ngerasa susah banget karena awal mama emang ibu rumah tangga. Si papa kan taunya aku ikut mama, jadi mama yang tanggungjawab. Jadi kaya lepas tanggungjawab kalo aku ikut mama gitu. Gak ada biayain masalah sekolah, dll (P3, K7).

(59)

Selain itu, informan merasa kehilangan akan kehadiran dan

keterlibatan ibu di masa perkembangan remaja. Berikut pernyataan

informan:

…..gara-gara aku sampe sekarang tuh pegangan kalo berpegang kalo sama mama tuh dia tuh gak ada pas aku di perkembanganku SMP tuh loh….(P3, K13).

Informan juga merasakan kehilangan yang menimbulkan

perasaan kesepian karena jauh dari orangtua. Demikian pernyataan

informan yang menunjukkan hal tersebut:

…. Habis itu kalo dampak yang jeleknya apa ya. Ya sepi aja si biasanya (ketawa), yang ga, pas lagi pengin sama papa gitu kan, ya sama papa, ga ada dia, dia kan di Kalimantan kan. Kalo pengin sama mama,mama juga sibuk (P3, K8).

….Aku ngeliat orang lain kaya enak banget mereka jalan-jalan sama orangtuanya. Liburan kaya gini kan aku sendiri banget ya, ya lain pada sama keluarganya jalan-jalan, kaya gitu kan (P3, K30).

Lebih lanjut, perceraian berdampak pada akademik

informan seperti kurangnya pendampingan dalam pendidikan.

Inilah pernyataan informan:

(60)

Tabel 4.11. Ringkasan Dampak Perceraian Semua Informan

Dampak Perceraian

Informan 1 Informan 2 Informan 3 1. Ingin perasaan lelaki.

1. Tidak merasakan

Dalam resiliensi akan dijabarkan mengenai sumber-sumber

pembentukan resiliensi pada setiap informan.

(61)

Tabel 4.12 Ringkasan Sumber Resiliensi (1):I Have Informan 1

No I Have

1 Ada kehadiran dan keterlibatan nenek. 2 Lingkungan yang mendukung.

3 Memiliki sumber dukungan antara lain teman, pacar, ibu. 4 Ada peraturan dari ibu dalam bergaul dan beribadah. 5 Dukungan dari pasangan.

6 Mengikuti komunitas yang bermanfaat.

7 Sumber ekonomi dan akses layanan kesehatan terpenuhi. 8 Ada dorongan untuk mandiri.

Catatan. Cara Membaca (P1, K11) = (Informan 1, Kolom ke bawah

koding verbatim pada lampiran nomor 11)

Berikut beberapa penjelasan ringkasan mengenai sumber

resiliensi (1): I Have pada setiap informan :

Informan memiliki sumber dukungan dari adanya kehadiran

dan keterlibatan figur pengganti orangtua yaitu nenek. Berikut ini

ialah pernyataan informan:

….SMP tuh aku merantau, jadi ga tinggal sama orangtuaku, sekolah sendiri terus tinggal diluar kota tuh sendiri, kan sama oma waktu itu, sama nenekku…(P1, K7).

Informan juga memiliki beberapa figur yang menjadi sumber dukungan baginya antara lain dukungan sosial dari teman, pacar serta dukungan orangtua yaitu ibu. Inilah pernyataan informan

(62)

Temen-temen, pacar, hmmm mamaku juga si termasuk sekarang (P1, K37).

Kalau aku, orangtua, mama sama pacar yang mendukungku (P1, K47).

Selain itu, lingkungan memberikan dukungan sosial pada

informan. Demikian pernyataan informan mengenai hal tersebut:

Lingkunganku juga mendukung si, gak ada orang-orang yang, kalo orang-orang bandel pasti ada…(P1, K34).

Jadi yang lebih aku perhatikan, orang-orang di sekitarku, ya produktif. Terus jadi yaudah sama-sama bikin aku produktif juga…(P1, K35).

Orang-orang di sekitarku ga ngerempongin aku. Aku ga ngerasa ribet oleh omongan atau apa-apanya mereka gitu (P1, K36).

Informan mendapat dukungan sosial pula dari pasangan,

seperti pernyataan berikut:

….Tapi karena mungkin lebih sering kontaknya sama pacar, jadi lebih kerasa aja ya dukungan emosionalnya, dukungan fisik terus lebih di temenin secara langsung..(P1, K49).

…Kalau sama pacar ya, sama si intinya lakuin apa yang pengin aku lakuin, selagi bukan.. kesempatan lakuin ya aku lakuin, selalu di dukung si selama itu baik buat kamu (P1, K52).

Lebih lanjut, adanya dukungan orangtua khususnya ibu

yang memberikan beberapa peraturan dalam bergaul dan

beribadah. Berikut pernyataan informan :

Dulu peraturannya yang kaya ga boleh pulang malem lebih dari jam 10, jam 9 jam 10. Ga boleh nginep di rumah temen. Kalo SMP itu kemana-mana harus dianter, kadang ditungguin (P1, K53).

(63)

pacaran juga, aku tuh boleh pacaran mulai dari kuliah...(P1, K54).

…rutinitas kaya ibadah. Tiap pagi harus baca alkitab, sampe sekarang si itu, harus nyempetin…(P1, K54).

Selain memberikan peraturan, ibu informan juga memenuhi

sumber ekonomi dan akses layanan kesehatan untuk informan.

Berikut pernyataan informan terkait hal tersebut:

…aku malah tercukupi banget menurutku. Kalau, semuanya di penuhi si. Dari masalah uang, handphone, transportasi, kesehatan kalau sakit…(P1, K57).

Informan juga mendapat dukungan sosial dengan mengikuti

komunitas yang bermanfaat baginya. Demikian pernyataan

informan:

…dari SMP ikut di gereja… SMA aja ya, aku suka ini, komunitas nyanyi, nyanyi di gereja juga, OSIS ia. Aku ikut kaya komunitas yang buat ikut olimpiade-olimpiade gitu.. Komunitas musik si yang lebih banyak (P1, K69).

…aku ya kaya gitu, pengalihan. Jadi aku jadi lupa sama rasa sedih gitu loh…(P1, K70).

Selanjutnya informan mempunyai dorongan untuk mandiri/

otonomi, seperti pernyataan informan sebagai berikut:

Kalau aku ngerasa udah mandiri malah dari SMP… Tapi kalau masalah lain-lain, bikin tugas…(P1, K58).

…. Nah kaya sekarang, mulai-mulai nyari kecil-kecil, dikit walaupun ga tiap hari, bikin apa-bikin apa. Dulu sempet online, jualan online…(P1, K59).

(64)

Tabel 4.13 Ringkasan Sumber Resiliensi (1):I Have Informan 2

No I Have

1 Ada peran ibu dalam mencari nafkah dan mendidik. 2 Memiliki kedekatan dengan ibu.

3 Ada kerjasama orangtua setelah bercerai. 4 Ada sosok yang dicontoh.

5 Memiliki sumber dukungan antara lain teman, ibu dan keluarga. 6 Ada kehadiran dan keterlibatan keluarga.

7 Ada peraturan dari ibu.

8 Memiliki dorongan untuk mandiri.

9 Sumber ekonomi dan akses layanan kesehatan tercukupi.

Catatan. Cara Membaca (P1, K11) = (Informan 1, Kolom ke bawah

koding verbatim pada lampiran nomor 11)

Berikut beberapa penjelasan ringkasan mengenai sumber

resiliensi (1): I Have pada setiap informan :

Informan memiliki sumber dukungan dari orangtua yaitu

melalui peran ibu yang mencari nafkah maupun mendidiknya.

Berikut pernyataan informan terkait hal tersebut:

…Lama-lama ya bisa, mama juga bisa nyari uang untuk sekolah, bisa ngajarin juga, gitu (P2, K15).

Ya lebih banyak mama sih yang ngasuh…(P2, K31).

Informan juga mendapat dukungan dari orangtua yaitu

terlihat dari kedekatannya dengan figur ibu. Demikian pernyataan

informan:

Gambar

Tabel 4.20.  Ringkasan Sumber Resiliensi (3): I Can  Informan 1……………...55
Gambar 4.1.  Skema Kesimpulan Seluruh Data Penelitian……………................65
Gambar 2.1. Skema Resiliensi Remaja Yang Orangtuanya Bercerai.
Tabel 3.1. Panduan Wawancara 1
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada luka insisi operasi dilakukan infiltrasi anestesi local levobupivakain pada sekitar luka karena sekresi IL-10 akan tetap dipertahankan dibandingkan tanpa

nulis (Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Di- nas Pendidikan: 2010). Dalam mata pelajaran bahasa Jawa, me- nulis termasuk salah satu dari empat standar kompetensi. Sesuai

Jatinangor, 3 Juli 2011 a.n Dekan. Pembantu Dekan

Dalam hal kekuatan pembuktian berdasarkan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Maret 2014 di SMA Negeri 5 Bandar Lampung. Sebagai sampel penelitian adalah siswa kelas XI IPA 1 yang diambil

Skripsi tersebut membahas mengenai permasalahan perlindungan hukum atas hasil penelitian yang dilakukan oleh pengajar pada Perguruan Tinggi menurut regime

Semakin berkurangnya luas lahan pertanian yang digunakan untuk kebutuhan dan diperuntukan kegiatan penduduk maka para petani mau tidak mau akan mempengaruhi luas