• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA DALAM PENDIDIKAN JASMANI."

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

Program Studi Pendidikan Olahraga

RISMA 1101230

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG

(2)

Oleh

Risma

S.Si UPI, 2011

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Sekolah Pascasarjana

© Risma 2014

Universitas Pendidikan Indonesia Juli 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,

(3)

Prof. Dr. H. Adang Suherman, M.A NIP: 196306181988031002

Dosen Pembimbing II

Dr. Dikdik Zafar Sidik, M.Pd NIP: 196812181994021001

Diketahui Oleh :

Ketua Program Studi Pendidikan Olahraga Sekolah Pascasarjana UPI

(4)

DAFTAR ISI

1. Cooperative Learning ... 15

2. TGT ... 20

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 62

A. Hasil Penelitian ... 62

(5)

2. Uji Asumsi Statistik ... 64

3. Uji Hipotesis ... 70

B. Pembahasan ... 73

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 84

(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Experimental Factorial Design 2x2 ... .47

Gambar 4.1. Plot Kelompok Pretest Eksperimen Laki-Laki... 65

Gambar 4.2. Plot Kelompok Pretest Eksperimen Perempuan... 66

Gambar 4.3. Plot Kelompok Pretest Konvensional Laki-laki ... 66

Gambar 4.4. Plot Kelompok Pretest Konvensional Perempuan ... 66

Gambar 4.5. Plot Kelompok Posttest Eksperimen Laki-Laki ... 68

Gambar 4.6. Plot Kelompok Posttest Eksperimen Perempuan ... 68

Gambar 4.7. Plot Kelompok Posttest Konvensional Laki-Laki ... 68

Gambar 4.8. Plot Kelompok Posttest Konvensional Perempuan ... 69

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 31

Tabel 3.1. Jumlah Siswa Kelas VII Tahun Ajaran 2013/2014... 46

Tabel 3.2. Rancangan Analisis Faktorial 2x2... 47

Tabel 3.3. Kelompok Belajar Siswa Kelas Eksperimen ... 49

Tabel 3.4. Materi Pembelajaran Kelas Eksperimen dan Konvensional ... 50

Tabel 3.5. Skenario Pembelajaran Kelas Ekperimen & Konvensional ... 50

Tabel 3.6. Kisi-Kisi Instrumen Keterampilan Sosial ... 53

Tabel 3.7. Kisi-Kisi SSRS Angket Siswa ... 55

Tabel 3.8. Hasil Perhitungan Uji Coba Angket ... 57

Tabel 3.9. Hasil Perhitungan Validitas Instrumen K.S ... 58

Tabel 3.10. Analisis Ancaman Terhadap Desain Penelitian Faktorial ... 60

Tabel 4.1. Kelompok Data Penelitian ... 62

Tabel 4.2. Perolehan Rata-Rata dan Standar Deviasi Kelompok Data ... 63

Tabel 4.3. Nilai Rata-Rata Kelompok Data Berdasarkan Desain 2x2 ... 63

Tabel 4.4. Hasil Uji Normalitas Data Kelompok Pretest ... 65

Tabel 4.5. Hasil Uji Normalitas Data Kelompok Posttest ... 67

Tabel 4.6. Hasil Uji Homogenitas Data Pretest ... 69

Tabel 4.7. Hasil Uji Homogenitas Data Posttest ... 70

Tabel 4.8. Hasil Uji ANCOVA Faktorial ... 71

(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Artikel Penelitian ... 90

Lampiran 2 Instrumen Keterampilan Sosial... 120

Lampiran 3 RPP Pembelajaran Koperatif ... 123

Lampiran 4 RPP Pembelajaran Konvensional ... 148

Lampiran 5 Rekap Data Hasil Uji Coba Angket ... 172

Lampiran 6 Hasil Perhitungan Validitas Angket Uji Coba ... 173

Lampiran 7 Hasil Perhitungan Validitas Angket K.S ... 174

Lampiran 8 Rekap Data Skor Kelompok Eksperimen Laki-Laki ... 175

Lampiran 9 Rekap Data Skor Kelompok Eksperimen Perempuan ... 176

Lampiran 10 Rekap Data Skor Kelompok Konvensional Laki-Laki ... 177

Lampiran 11 Rekap Data Skor Kelompok Konvensional Perempuan ... 178

Lampiran 12 Uji Normalitas Data ... 179

Lampiran 13 Uji Homogenitas Data ...` 180

Lampiran 14 Uji ANCOVA Faktorial ... 181

Lampiran 15 Rekap Data Uji ANCOVA Faktorial... 184

Lampiran 16 Dokumentasi Penelitian ... 186

Lampiran 17 Surat Keterangan Penelitian ... 188

(9)

i

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA

DALAM PENDIDIKAN JASMANI

Risma *, Prof. Dr. Adang Suherman, M.A.**, Dr. Dikdik Zafar Sidik, M.Pd ***

Program Studi Pendidikan Olahraga Sekolah Pascasarjana

Universitas Pendidikan Indonesia

Email : imedoank_18@yahoo.co.id

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah model pembelajaran dan jenis kelamin (gender) berpengaruh terhadap keterampilan sosial siswa. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen dengan desain faktorial 2x2. Sampel penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Labschool UPI Tahun Ajaran 2013/2014 yang berjumlah 56 orang terbagi menjadi dua kelompok yakni N=28 sebagai kelas kooperatif (eksperimen) dan N=28 sebagai kelas konvensional sebagai kelompok kontrol. Jumlah pertemuan adalah 8 kali pertemuan dimana satu kali pertemuan adalah 2 x 40 menit. Keterampilan siswa diukur dengan menggunakan instrumen keterampilan sosial yang diadaptasi dari Social Skill Rating Scale yang dikembangkan oleh Gresham, F.M., & Elliott, S.N. (1990). Data yang dikumpulkan ketika pretest dan posttest diolah dengan SPSS 18 menggunakan analisis uji ANCOVA Faktorial. Dari hasil penelitian, didapatkan hasil yakni nilai rata-rata kelompok laki-laki kelas kooperatif (41,90) sedangkan rata-rata kelompok perempuan adalah (42,29). Untuk kelas konvensional (kontrol), nilai rata-rata kelompok laki-laki (37,26) dan untuk kelompok perempuan (35,38). Dari hasil uji ANCOVA Faktorial didapat kesimpulan yakni terdapat pengaruh model pembelajaran terhadap keterampilan sosial siswa dalam pembelajaran pendidikan jasmani, tidak terdapat pengaruh jenis kelamin terhadap keterampilan sosial siswa dalam pembelajaran pendidikan jasmani dan tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan jenis kelamin pada keterampilan sosial siswa.

(10)

ii

THE EFFECT OF LEARNING MODEL AND GENDER TOWARD STUDENT SOCIAL SKILLS IN PHYSICAL EDUCATION

Risma *, Prof. Dr. Adang Suherman, M.A.**, Dr. Dikdik Zafar Sidik, M.Pd ***

Sport Education

School of Postgraduate Studies University Education of Indonesia

Email : imedoank_18@yahoo.co.id

Abstrak

The purposes of the research are to determine the effect of learning model and gender toward student social skills. Research method that used was experimental method, experiment factorial design 2x2. Sample of this research were the Labschool UPI Junior High School student on grade VII in the school year 2013/2014. Samples numbered 56 student divided into two groups, including N = 28 as a cooperative class (experimental) and N = 28 as a conventional class as a control group. The number of meeting 8 times where one session was 2 x 40 minutes. Student skills was measured with social skills instrument which was adopted from Social Skill Rating Scale which was developed by Gresham, F.M., & Elliott, S.N. (1990). The data was collected when pretest and posttest were processed by SPSS 18 using Factorial ANCOVA test analysis. The research showed that the average value of cooperative class of male group (41.90) while the average of female group was (42.29). The average value of conventional class (control) of male group (37,26) and female group (35,38). The conclusion is cooperative learning model has significant effect on student social skills, whereas gender has no significant effect on student social skills. Beside that from the result of this research found that there is no interaction between learning model and gender toward student social skills.

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Menyiapkan siswa menjadi pribadi yang dapat hidup dalam masyarakat merupakan salah satu peranan atau fungsi dari pendidikan formal atau sekolah. Sekolah sebagai salah satu tempat atau wadah yang membekali siswa dengan berbagai keterampilan yang akan membentuk siswa menjadi individu yang siap hidup bersosialisasi dalam lingkungan masyarakat. Pendidikan formal membentuk siswa tidak hanya cerdas secara akal tetapi cerdas secara emosi dan hati serta berkembang secara holistik, karena siswa merupakan kesatuan dari beberapa komponen yakni jasmani dan rohani (Suherman, 2009, hlm. 3). Dalam upaya membentuk pribadi berkarakter tersebut, lingkungan pendidikan formal atau sekolah dikondisikan seperti tatanan kehidupan dalam masyarakat dimana saling menghormati dan saling menghargai menjadi nilai yang harus terus tercermin dan dikembangkan sehingga siswa akan bisa berkembang tidak hanya menjadi individu yang berkarakter, akan tetapi menjadi anggota dari masyarakat yang mampu memberikan peranan dan sumbangsih terhadap kehidupan masyarakat pada umumnya.

Dengan tujuan dan fungsi sekolah atau pendidikan formal yang telah dijelaskan tersebut, sudah seyogyanya pendidikan menjadi sebuah fase penting dalam perkembangan anak karena merupakan proses pembentukan individu secara holistik dan dari proses tersebut diharapkan dapat menghasilkan individu-individu yang berkualitas, bertanggungjawab, menghormati, menghargai dirinya sendiri dan menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat sehingga nilai-nilai sosial masyarakat bisa terjaga dengan sikap saling menghargai dan menghormati sesama.

(12)

diketahui bahwa masalah di kalangan pelajar seperti tawuran, seks bebas dan narkoba mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat bahwa ditemukan 339 kasus tawuran pada tahun 2011. Dari 339 kasus kekerasan antar sesama pelajar SMP dan SMA ditemukan 82 diantaranya meninggal dunia, selebihnya luka berat dan ringan (Komnas Anak, 2011). Hasil lainnya menyatakan bahwa jumlah kasus tawuran antar pelajar pada semester pertama tahun 2012 meningkat dibandingkan dengan kurun waktu yang sama tahun sebelumnya. Direktorat Reserse Narkoba (Ditresnarkoba) Polda Metro Jaya menginformasikan bahwa selama tahun 2012 kasus narkoba yang menimpa kalangan pelajar meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Kasus narkoba di level pendidikan paling banyak terjadi di tingkat SMA dengan jumlah 3.327 kasus pada 2012. Angka tersebut meningkat dari tahun 2011 yang berjumlah 3.187 kasus (Andry, 2012).

Pergaulan remaja yang dimudahkan oleh berbagai akses seperti kemajuan teknologi sering kali disalahgunakan sehingga mengakibatkan pergaulan remaja yang cenderung bebas. Pergaulan bebas di kalangan remaja kerap kali menimbulkan berbagai masalah seperti seks bebas, aborsi dan HIV AIDS. Dari penelitian yang dilakukan oleh BKKBN diketahui bahwa separuh aborsi yang terjadi dilakukan oleh remaja berusia 15-25 tahun. Mengutip hasil penelitian Komnas Anak tahun 2011 diketahui bahwa terdapat 2 juta tindakan aborsi yang dilakukan pada tahun 2008 dan 62 % dari jumlah tersebut dilakukan oleh remaja (Maulana, 2012). Pada penelitian bersama antara Australian National University dan Universitas Indonesia diketahui bahwa dari 3600 responden penelitian sebanyak 20,9% remaja telah hamil di luar nikah. Angka tersebut menggambarkan banyaknya remaja yang melakukan pernikahan dini yang disebabkan kehamilan yang tidak diinginkan yang sebagian besar dikarenakan kegiatan seks bebas di kalangan remaja dan mahasiswa. Begitu pun kasus AIDS yang periode Januari hingga September 2011 sebanyak 1805 kasus (Alimoeso, 2012).

(13)

rasa hormat terhadap orang yang lebih tua serta melakukan aktivitas tidak produktif dan cenderung merugikan masyarakat. Kondisi seperti ini tentunya bukan kondisi yang diinginkan siapapun, oleh karena itu dibutuhkan segera solusi untuk mengatasi permasalahan ini. Jika kita ingin membuat Indonesia menjadi negara yang lebih baik, maka bukanlah hari ini saja yang harus kita persiapkan akan tetapi kita harus menyiapkan generasi muda yang tahun ini berjumlah sebanyak 74 juta menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas.

Pendidikan jasmani sebagai bagian dari program pendidikan secara utuh yang memberikan kontribusi melalui pengalaman gerak terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak (Pangrazi, 2007, hlm. 5) memiliki potensi untuk bisa mengatasi masalah sosial yang sekarang semakin tumbuh dan berkembang. Pendidikan jasmani adalah proses pendidikan yang memberikan kontribusi untuk perkembangan dan kesejahteraan individu secara optimal dengan meningkatkan keterampilan, kebugaran, pengetahuan dan sikap (Bucher & Wuest, 1999). Pendidikan jasmani dapat membantu anak untuk memahami dirinya sebagai sebuah kesatuan antara pikiran dan tubuh, mengembangkan rasa hormat terhadap tubuh mereka dan orang lain, memberikan pemahaman terhadap peranan aktivitas fisik terhadap perkembangan kognitif dan pencapaian mereka dalam bidang akademik (Talbot, 2001, hlm. 39-50). Kekhasan pendidikan jasmani yang bisa mencakup semua aspek perkembangan anak yakni dalam domain kognitif, psikomotor dan afektif, menjadi keunggulan yang tidak dimiliki oleh mata pelajaran lainnya. Lebih luasnya, pendidikan jasmani memberikan keuntungan dalam 5 domain perkembangan anak yakni perkembangan fisik, perkembangan gaya hidup, perkembangan afektif, perkembangan sosial dan perkembangan kognitif (Bailey, 2006, hlm. 397).

(14)

pencapaian prestasi akademik anak. “Learning, memory, concentration, and mood all have a significant bearing on a student’s academic performance, and there is increasing evidence that physical activity enhances each” (Sattelmair & Ratey, 2009, hlm. 365). Senada dengan pernyataan dari Hollingsworth (2009) yang menemukan hubungan antara tingkat partisipasi anak dalam aktivitas fisik dengan gabungan kebugaran, sosial, fisik dan kebugaran keseluruhan dengan prestasi akademik.

Pendidikan jasmani memberikan anak kesempatan untuk berkembang dengan seimbang dan memberi keuntungan tidak hanya aspek fisik tetapi juga pada aspek sosial (Suherman, 2013, hlm. 12) dan membekali anak dengan berbagai keterampilan yang dibutuhkan dalam mempersiapkan dan menjalani kehidupannya sebagai seorang pribadi yang mandiri, salah satunya adalah dalam hal keterampilan sosial.

Banyak penelitian telah membahas mengenai peranan pendidikan jasmani terhadap keterampilan sosial. Karakter pendidikan jasmani yang menimbulkan rasa dan kesadaran untuk menguasai emosi pribadi, mandiri, penyesuaian diri sebagai dasar bagi terbentuknya mental sehat dan kebiasaan hidup sehat di lingkungan masyarakat di mana pun siswa berada, termasuk mendapatkan pengakuan diri sebagai anggota masyarakat yang baik karena kemampuan bersosialisasinya atau keterampilan sosialnya berfungsi secara efektif dalam hubungan antar orang (Budiman, 2009, hlm. 11). Keterampilan sosial merupakan esensi dari penampilan sukses di bidang akademik dan dalam kehidupan (Eldar & Ayvazo, 2009, hlm. 1) dan anak dengan keterampilan sosial yang baik akan bisa menghadapi berbagai tantangan dalam hidupnya dan mampu cepat beradaptasi dengan keadaan serta tidak tergantung pada orang-orang sekitarnya (Jurevicience dkk, 2012, hlm. 42-52). Oleh karena itu keterampilan sosial merupakan salah satu aspek perkembangan yang penting dan tidak bisa dipisahkan dari perkembangan seorang anak.

(15)

pendidikan prasekolah lebih sering menggunakan keterampilan sosial tertentu (seperti ucapan salam, memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama, mengenalkan orang lain dengan menyebutkan namanya, memuji, menjawab pertanyaan, lebih baik berbicara dengan baik daripada menggunakan kekuatan fisik untuk mengungkapkan kemarahannya, berpartispasi dalam kelompok, membuat pembagian kerja dan kerjasama, rekonsiliasi, meminta informasi dan berbagi) daripada anak yang tidak mendapatkan pendidikan prasekolah.

Anak dengan keterampilan sosial yang baik mengalami depresi yang lebih rendah dibandingkan dengan anak berketerampilan sosial rendah (Deniz dkk, 2009, hlm. 881-888). Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan didapat hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara keterampilan sosial anak dengan kemampuan mengatasi masalah, mengatasi stress, kemampuan regulasi emosi, kontrol diri, kepercayaan sosial, mengatasi kecemasan dan kemampuan berkomunikasi dengan lingkungan (Arslan dkk, 2011; Al-Ali dkk, t.t.). Keterampilan sosial yang tinggi akan menjauhkan anak dari berbagai macam masalah sosial yang terjadi belakangan ini. Durmusoglu-Satali dalam penelitiannya menemukan bahwa kekerasan fisik, pelanggaran kriminal, kekerasan seksual, ancaman secara emosi, kekerasan pendidikan, kurangnya aturan dan kurangnya dukungan keluarga memiliki hubungan positif dengan keterampilan sosial yang rendah. Artinya, keterampilan sosial yang rendah berpotensi menimbulkan berbagai macam masalah sosial yang bisa mengganggu perkembangan anak (Durmusoglu-Satali, 2012, hlm. 585-590).

Avsar & Kuter (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa anak perempuan cenderung memiliki nilai keterampilan sosial yang lebih baik dibandingkan dengan anak laki-laki. Dalam penelitian ini digunakan Social Skills Inventory (SSI) sebagai instrumen untuk mengukur keterampilan sosial anak didapat hasil bahwa anak perempuan mendapatkan skor yang lebih tinggi daripada anak laki-laki. Anak perempuan mendapatkan skor yang lebih tinggi dalam semua aspek penilaian (Emotional Expressivity (EE), Emotional Sensitivity (ES), Emotional Control (EC), Social Expressivity (SE), Social Sensitivity (SS)) kecuali

(16)

Namun penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh DR. Majed M Al-Ali yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kecemasan sosial dengan keterampilan sosial pada anak perempuan.

Secara logika peranan pendidikan jasmani bisa membentuk atau meningkatkan keterampilan sosial anak hanya bisa terwujud ketika anak berpartisipasi aktif dalam pendidikan jasmani karena proses pembentukan keterampilan sosial anak terbentuk selama proses pembelajaran pendidikan jasmani. Sederhananya, anak dengan tingkat keterlibatan aktif yang tinggi dalam pembelajaran pendidikan jasmani akan memiliki keterampilan sosial yang lebih baik daripada anak dengan tingkat partipasi yang rendah.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan menyatakan inkonsistensi hasil. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Avsar & Kuter (2007) didapatkan hasil bahwa anak perempuan mendapatkan skor yag lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki. Namun Bailey (2006, hlm. 398) menyatakan bahwa tingkat partisipasi anak perempuan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Dari penelitian yang dilakukan oleh Ryan & Poirier (2012, hlm. 1) didapatkan hasil bahwa rata-rata perempuan 10% lebih sedikit pada setiap kelas pendidikan jasmani di Ontario dan hanya rata- rata 12% yang terdaftar dalam pendidikan jasmani setiap tahunnya. Hal ini diindikasikan terjadi dikarenakan oleh beberapa hal diantaranya adalah kepercayaan diri, motivasi, pemahaman tentang manfaat dari aktivitas fisik, kesempatan untuk melakukan aktivitas fisik, skema penilaian, kompetisi, pembagian kelas, pendekatan pengajaran, dan teman sekelas.

(17)

dibandingkan dengan anak laki-laki jika tingkat partisipasi dan motivasi mereka dalam pendidikan jasmani lebih rendah dibandingkan dengan anak laki-laki? Pendidikan jasmani yang bagaimana dan yang seperti apa yang bisa membentuk atau meningkatkan keterampilan sosial?

Sudrajat (2010, hlm. 163) menyatakan bahwa dalam upaya peningkatan keterampilan sosial pada siswa bisa dilakukan melalui pendekatan terhadap konten pembelajaran dan proses pembelajaran. Hal ini diperkuat oleh Rohmah (2010, hlm. 120) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara proses pembelajaran pendidikan jasmani dengan perilaku sosial siswa. Namun dari kedua penelitian tersebut tidak menjelaskan tentang model pembelajaran pendidikan jasmani yang bagaimana yang berhubungan dengan keterampilan sosial.

Dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani banyak model pembelajaran yang biasa diterapkan salah satu di antaranya adalah model Cooperative Learning. Model Cooperative Learning mulai dikembangkan pada

pertengahan tahun 1970 oleh Robert Slavin. Cooperative Learning merupakan seperangkat pengajaran dimana pengelompokkan siswa, pengaturan waktu dan tugas saling terkait dengan harapan agar semua siswa bisa memberikan kontribusi pada proses belajar dan memberikan hasil yan terbaik seperti yang dijelaskan oleh Metzler (2000, hlm. 221) :

...cooperative learning is not really a model by it self. It is a set of teaching strategies that share key attributes, the most important being the grouping of students into learning teams for set amounts of time or assigment with the expectation that all students will contribute to the learning process and outcomes.

(18)

Dari penelitian-penelitian mengenai Cooperative Learning dalam pendidikan jasmani didapatkan beberapa hasil di antaranya adalah Cooperative Learning meningkatkan motivasi berprestasi pada mahasiswi di China (Wang,

2012). Pada penelitian Wang ini, sampel penelitian yang digunakan adalah mahasiswi sebanyak 67 orang. Kelompok siswa dengan model Cooperative Learning memiliki motivasi berpartisipasi dalam pendidikan jasmani lebih tinggi

dibandingkan dengan kelompok siswa dengan model pembelajaran tradisional (Gulay dkk, 2010, hlm. 87). Pada penelitian ini sampel yang digunakan berjumlah 44 orang perempuan siswa sekolah dasar.

Penelitian lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Goudas & Magotsiou (2009) yang dilakukan pada 114 anak sekolah dasar yang mengungkapkan hasil penelitian yakni keuntungan dari kelas eksperimen dalam hal keterampilan sosial dan kerja dengan kelompok. Lavasani dkk (2011) melakukan penelitian pada 74 orang anak perempuan siswa sekolah dasar dan menemukan bahwa kelompok anak dengan Cooperative Learning menunjukkan hasil positif dalam nilai keterampilan sosial dibandingkan dengan kelompok anak dengan metode tradisional. Namun hasil penelitian Polvi & Telama (2000) yang melakukan penelitian pada 95 orang perempuan siswa sekolah dasar yang pada penelitiannya didapatkan salah satu hasil penelitian yang menyatakan bahwa bekerja bersama-sama dalam kelompok dalam kurun waktu yang lama tidak meningkatkan keterampilan sosial siswa.

Dalam buku Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice (London: Allymand Bacon, 2005) karya Robert Slavin yang diterjemahkan oleh Narulita Yusron, Slavin menyajikan enam metode pembelajaran kooperatif, yaitu (1) Pembelajaran Tim Siswa (Student Team Learning), (2) STAD (Student Teams-Achievement Division), (3) TGT (Teams Games-Tournament), (4) Jingsaw II, (5)

TAI (Team Acceleration Instruction), dan (6) CIRC (Cooperatif Integrated Reading and Communication).

(19)

bertambah pintar sementara yang lainnya semakin tenggelam dalam ketidaktahuan. Model pembelajaran kooperatif Teams Games-Tournament (TGT) telah banyak digunakan dalam berbagai mata pelajaran yang ada, mulai dari matematika, seni, sampai dengan ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan lainnya. Model TGT sesuai digunakan untuk bidang studi yang sudah terdefinisikan dengan jelas seperti matematika, berhitung dan studi terapan (Slavin, 2005, hlm. 12). Hal ini menjadikan penelitian yang membahas mengenai model kooperatif TGT dalam pendidikan jasmani jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan bidang studi lain.

Pada penelitian-penelitian yang sudah dilakukan terungkap hasil bahwa model kooperatif tipe TGT berhubungan dengan hasil belajar siswa. (Nugroho, 2013; Sinaga, 2012). Pada penelitian-penelitian ini, sampel penelitian dibagi menjadi kelompok sampel dan kelompok eksperimen. Kelompok siswa dengan perlakuan (eksperimen), pembelajaran pendidikan jasmani dilakukan dengan model pembelajaran kooperatif.

Pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan, pemilihan sampel dalam populasi berdasarkan pada masalah yang timbul. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Gulay dkk (2010), populasi penelitian adalah siswa kelas IX tahun ajaran 2007-2008. Berdasarkan pada penelitian sebelumnya yang mengindikasikan bahwa skor keterlibatan anak perempuan dalam pendidikan jasmani lebih kecil dibandingkan dengan anak laki-laki, maka sampel penelitian dari Gulay dkk tersebut menggunakan anak perempuan.

(20)

akan memberikan pengaruh pada perkembangan hidup siswa yang akan semakin tumbuh sempurna, bukan hanya pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya saja, melainkan juga keadaan emosi, mental, dan hubungan sosialnya menjadi lebih baik karena mampu berinteraksi melalui sikap dan perilaku yang direstui masyarakat (Lutan dalam Budiman 2009, hlm. 12).

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini memfokuskan permasalahan tersebut dengan judul “Pengaruh Model Pembelajaran Dan Jenis Kelamin Terhadap Keterampilan Sosial Siswa Dalam Pendidikan Jasmani”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pada latar belakang yang telah dijelaskan, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah yakni :

1. Meningkatnya jumlah masalah di kalangan pelajar di antaranya adalah tawuran, seks bebas, narkoba dan lainnya.

2. Inkonsistensi hasil penelitian mengenai keterampilan sosial. Hasil penelitian yang menyatakan bahwa anak perempuan lebih tinggi dibanding dengan anak lali-laki sedangkan penelitian lainnya menyatakan bahwa tingkat partisipasi anak perempuan lebih rendah dibandingkan dengan anak laki-laki.

3. Terbatasnya penelitian mengenai keterampilan sosial dan model pembelajaran cooperative learning dalam pendidikan jasmani. Penelitian dalam keterampilan

sosial masih terbatas dalam hal pemilihan sampel penelitian yang sebagian besar menggunakan anak sekolah dasar.

C. Rumusan Masalah

Secara umum rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah model pembelajaran dan jenis kelamin memberikan pengaruh terhadap keterampilan sosial (social skills) siswa. Untuk itu penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

(21)

2. Apakah terdapat pengaruh jenis kelamin terhadap keterampilan sosial siswa?

3. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelamin terhadap keterampilan sosial ?

D. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh cooperative learning dan jenis kelamin terhadap keterampilan sosial siswa. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah penelitian yakni :

1. Untuk mengetahui dan menguji apakah terdapat pengaruh model pembelajaran terhadap keterampilan sosial siswa.

2. Untuk mengetahui dan menguji apakah terdapat pengaruh jenis kelamin terhadap keterampilan sosial siswa.

3. Untuk mengetahui dan menguji apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelamin terhadap keterampilan sosial.

E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

(22)

2. Manfaat Praktis

1) Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi pengembangan pembelajaran pendidikan jasmani pada anak sesuai dengan tahapan pendidikan dan perkembangan anak.

2) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai wawasan tambahan bagi guru pendidikan jasmani mengenai model pembelajaran yang bisa diterapkan dalam pembelajaran pendidikan jasmani.

3) Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan untuk pengembangan keterampilan sosial anak sesuai dengan tahapan perkembangan dan pendidikan anak.

4) Sebagai media dan proses bagi penulis untuk menambah wawasan mengenai model pembelajaran pendidikan jasmani dan keterampilan sosial.

5) Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi magister yang sedang penulis tempuh yakni di Program Studi Pendidikan Olahraga Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

F. Struktur Organisasi Tesis

Pada tesis ini terdiri dari lima bab dimulai adri BAB I yang berisi pendahuluan, BAB II yang berisi kajian pustaka, BAB III yang berisi tentang metode penelitian, BAB IV yang berisi pembahasan dan BAB V yang berisi kesimpulan dan rekomendasi. Berikut adalah rincian urutan penulisan dari setiap bab.

BAB I tesis berisi mengenai uraian tentang pendahuluan dan merupakan awal dari tesis. Pendahuluan berisi latar belakang penelitian, identifikasi masalah penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan struktur organisasi tesis.

(23)

sebagai landasan teoritis dalam menyusun pertanyaan penelitian, tujuan serta hipotesis penelitian. Dalam penelitian ini, kajian pustaka membahas mengenai cooperative learning, cooperative learning tipe Team Games Tournament (TGT),

keterampilan sosial dan pendidikan jasmani. Kajian pustaka juga berisikan tentang penelitian-penelitian yang telah dilakukan yang relevan dengan penelitian ini. di samping itu, kajian pustaka berisikan tentang kerangka berfikir yang berdasarkan pada konsep-konsep, teori-teori, hukum-hukum, model-model dan rumus-rumus utama serta turunannya yang telah dijelaskan sebelumnya. Dari konsep-konsep, teori-teori, hukum-hukum, model-model dan rumus-rumus utama serta turunannya dan kerangka berfikir yang telah dibuat, maka kajian pustaka ini berujung pada hipotesis penelitian yang dibuat berdasarkan pada kerangka berfikir yang telah dijelaskan sebelumnya.

BAB III berisi penjabaran yang rinci mengenai metode penelitian, yang terdiri dari beberapa komponen seperti : lokasi dan subjek penelitian, metode dan desain penelitian, langkah penelitian, definisi operasional, instrumen penelitian, proses pengembangan instrumen, pengolahan data, dan limitasi penelitian.

BAB IV berisikan tentang hasil penelitian dan pembahasan yang terdiri atas dua hal utama, yakni : a). Pengolahan atau analisis data untuk menghasilkan temuan berkaitan dengan masalah penelitian, pertanyaan penelitian, hipotesis, dan tujuan penelitian. b). Pembahasan atau analisis temuan.

(24)
(25)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. KAJIAN PUSTAKA 1. Cooperative Learning

Model Cooperative Learning mulai dikembangkan pada pertengahan tahun 1970 di Hopkins University oleh Robert E Slavin. Pada awalnya, Slavin menamakan model ini dengan nama Student Team Learning (STL) dan mulai berkembang dan berubah menjadi Cooperative Learning dengan cakupan pembahasan yang lebih luas. Cooperative Learning merupakan seperangkat pengajaran dimana pengelompokkan siswa, pengaturan waktu dan tugas saling terkait dengan harapan agar semua siswa bisa memberikan kontribusi pada proses belajar dan memberikan hasil yang terbaik seperti yang dijelaskan oleh Metzler (2000, hlm. 221) :

...cooperative learning is not really a model by it self. It is a set of teaching strategies that share key attributes, the most important being the grouping of students into learning teams for set amounts of time or assigment with the expectation that all students will contribute to the learning process and outcomes.

Merujuk secara istilah, Cooperative Learning mengacu pada metode pendidikan dimana siswa bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan bersama dan bertanggung jawab sendiri atas pembelajaran mereka sendiri serta bertanggung jawab terhadap orang lain (Gokhale, 1995, dalam Lavasani, Afzali & Afzali, 2011, hlm. 188). Cooperative Learning adalah rencana atau susunan pembelajaran yang mengarah pada pembagian siswa ke dalam kelompok kecil dan heterogen agar bisa bekerja sama untuk mencapai tujuan pembelajaran dan menjalin hubungan kolaboratif di antara anggota kelompok tersebut (Goodwin, 1999, hlm. 29). Juliantine dkk (2013, hlm. 63) menyatakan bahwa

(26)

sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama, siswa yang berbeda latar belakangnya.”

Metzler (2000) menyatakan tiga konsep dasar dari Cooperative Learning yakni :

a. Team reward. Dalam CL, setiap tim diberikan tugas dimana ketika mereka mampu menyelesaikan tugas yang diberikan, mereka akan mendapatkan penghargaan atau hadiah. Bentuk dari hadiah ini bisa berupa pemberian nilai, hak istimewa dan sebagainya.

b. Individual accountability. Bagian lain dari CL adalah bahwa dalam performa semua anggota kelompok merupakan bagian dari penilaian tim. Semua siswa harus memberikan kontribusinya dalam usaha tim dan penting bagi semua anggota tim untuk bisa belajar dan memberikan potensi mereka secara optimal.

c. Equal opportunities. Dalam pembentukan kelompok atau tim, siswa harus dibagi berdasarkan tingkat keterampilan, jenis kelamin, kemampuan kognitif, sehingga tim tersebut terbentuk secara heterogen. Dengan adanya perbedaan dalam kelompok ini, para siswa dituntut untuk bisa mengembangkan keterampilan sosialnya. Keserataan kelompok dalam kemampuan akan meningkatkan iklim kompetisi yang adil dan akan meningkatkan motivasi para siswa.

(27)

satu dengan yang lain merupakan hal penting dan memudahkan mereka mencapai

sukses. Sehingga prinsipnya adalah “It’s not only student must learn to cooperate

but that students must cooperate to learn”.

Dalam Cooperative Learning siswa tidak hanya bertanggung jawab terhadap isi pembelajaran tetapi membantu teman sekelompoknya untuk bisa mengerti terhadap materi (Wang, 2012, hlm. 109). Dalam beberapa literatur dijelaskan bahwa pendekatan dalam cooperative learning bisa dilakukan dalam 4 aspek yakni : (1) konsep/conceptual, (2) struktural/structural, (3) kurikulum/curricular, (4) instruksi kompleks/complex intruction (Goudas & Magotsiou, 2009 ; Wang, 2012). Johnson dkk (1994) dalam Metzler (2000) mengungkapkan bahwa dalam proses pembelajaran dengan metode cooperative learning terdapat lima elemen penting dalam proses pembelajaran yakni :

1) Positive interdependence among students. Siswa harus memahami bahwa semua anggota tim diperlukan bagi seluruh tim untuk mencapai tujuannya. Setiap anggota tim membawa bakat yang unik, pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang dapat membantu tim.

Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain dapat mencapai tujuan mereka (Juliantine dkk, 2013, hlm. 65)

(28)

3) Individual accountability/ personal responsibility. Cooperative learning akan bekerja dengan baik ketika setiap anggota dari kelompok memberikan kontribusi dengan pembagian yang adil. Artinya bukan setiap siswa mendapatkan nilai yang sama akan tetapi semua siswa berpartisipasi dalam proses pembelajaran sesuai dengan kemampuan mereka.

4) Interpersonal and small-groups skills. Ada penekanan pada aspek pemahaman dan percaya terhadap anggota tim, komunikasi yang baik, saling menerima dan mendukung dan resolusi terhadap konflik.

5) Group processing. Untuk lebih menekankan nilai pembelajaran sosial, guru harus secara teratur membuat siswa untuk merefleksikan pengalaman mereka bersama tim. Strategi kunci di sini adalah bahwa guru tidak boleh langsung memberitahu siswa bagaimana mereka harus bersikap dan berinteraksi dengan rekan tim. Pada prosesnya tidak boleh langsung, namun mendorong siswa untuk bisa merefleksikannya.

Desain model pembelajaran kooperatif didasarkan pada konvergensi dari empat teori utama, diantaranya adalah teori motivasi (motivational theory), teori kognitif (cognitive theory), teori pembelajaran sosial (social learning theory), dan teori perilaku (behavioral theory) (Metzler, 2000, hlm. 227).

a. Motivational theory, digunakan untuk menciptakan struktur tim yang membuat mereka menyadari bahwa satu-satunya untuk mencapai tujuan adalah kontribusi dari semua anggotanya. Yang mendorong siswa untuk memberikan yang terbaik, dan berinteraksi dalam kelompok untuk memenuhi tujuan bersama.

b. Cognitive theory, digunakan untuk memberikan tugas-tugas kepada siswa sesuai dengan tahapan perkembangan, yang memberikan jumlah tantangan yang tepat untuk mencapai tujuan tim. Jika terlalu mudah maka tim tidak akan memberikan seluruh potensi mereka. Jika terlalu susah, maka tim akan menjadi frustasi dan menarik dirinya dari tugas.

(29)

dan kemudian membagi dan menjelaskan kepada orang lain, paling sering dengan cara menunjukkan dan menjelaskan kepada mereka.

d. Behavioral theory, Teori perilaku digunakan untuk menyediakan hubungan antara proses pembelajaran kooperatif, siswa pada keterlibatan tugas, dan penghargaan prestasi tim. Tugas yang baik membuat siswa memahami dengan jelas apa keterampilan sosial yang dibutuhkan dalam situasi tertentu, apa tujuan pembelajaran, dan apa konsekuensinya ketika gagal atau berhasil menyelesaikan tugas yang diberikan.

Juliantine dkk (2013, hlm. 70) menyatakan garis besar tujuan pembelajaran kooperatif sebagai berikut :

 Untuk lebih menyiapkan siswa dengan berbagai keterampilan baru agar dapat berpartisipasi dalam dunia yang berubah terus berkembang

 Membentuk kepribadian siswa agar dapat mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain dalam berbagai situasi sosial.

 Mengajak siswa untuk membangun pengetahuan secara aktif karena dalam pembelajaran dengan model kooperatif, siswa tidak hanya menerima pengetahuan dari guru tetapi siswa juga menyusun pengetahuan yang terus menerus sehingga menempatkan siswa sebagai siswa yang aktif.

 Memantapkan interaksi pribadi antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru.

 Mengajak siswa untuk menemukan, membentuk dan mengembangkan pengetahuan.

 Meningkatkan hasil belajar, meningkatkan hubungan antar kelompok, menerima teman yang mengalami kendala akademik, dan meningkatkan harga diri.

Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim dkk (2000) sebagaimana yang dikutip oleh Juliantine dkk (2013, hlm. 71)

(30)

Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping itu, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah dan kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.

 Penerimaan terhadap perbedaan individu

Tujuan lain dari model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.

 Pengembangan keterampilan sosial

Tujuan lainnya adalah mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial penting dimiliki oleh siswa sebab banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.

Dalam buku Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice (London: Allymand Bacon, 2005) karya Robert Slavin yang diterjemahkan oleh Narulita Yusron, Slavin menyajikan enam metode pembelajaran kooperatif, yaitu (1) Pembelajaran Tim Siswa (Student Team Learning), (2) STAD (Student Teams-Achievement Division), (3) TGT (Teams Games-Tournament), (4)

Jingsaw II, (5) TAI (Team Acceleration Instruction), dan (6) CIRC (Cooperatif Integrated Reading and Communication).

2. Cooperative Learning Tipe TGT (Teams Games Tournament)

(31)

(Sinaga, 2012). Model cooperative learning tipe Team Games Tournament (TGT) merupakan model pembelajaran kooperatif yang merupakan tingkat lanjutan dari STAD (Student Team Achievement Devisions). Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Games Tournament) memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks dan menyenangkan.

Di samping itu juga menumbuhkan rasa tanggung jawab, kerja sama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar.

Pada TGT kompetisi terjadi tidak hanya anggota dalam satu kelompok akan tetapi terjadi secara eksternal antar tim. (Slavin, 2005, hlm. 166; Suherman, 2009, hlm. 29). Dalam TGT, setiap anggota kelompok memiliki kesempatan untuk bisa sukses. Slavin (2005) menjelaskan komponen-komponen TGT, antara lain :

1.Presentasi di kelas. Materi yang akan diberikan diperkenalkan dalam presentasi di dalam kelas. Dengan adanya presentasi di kelas, siswa menyadari bahwa mereka harus memberikan perhatian penuh selama presentasi karena akan sangat membantu mereka dalam proses pembelajaran selanjutnya.

2.Tim. Tim terdiri dari lima sampai dengan delapan siswa yang mewakili seluruh bagian kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin, ras dan etnisitas. Fungsi utama dari tim adalah memastikan bahwa semua anggota tim benar-benar belajar dan mempersiapkan anggotanya untuk bisa mengerjakan kuis dengan baik.

3.Game. Game berisikan materi-materi yang sudah disampaikan dalam proses pembelajaran dan dilakukan dengan menggunakan peraturan yang sudah disepakati sebelumnya.

4.Turnamen. Turnamen adalah sebuah struktur di mana game berlangsung. Kompetisi yang seimbang akan memungkinkan para siswa untuk berkontribusi secara maksimal terhadap skor tim mereka jika mereka melakukan yang terbaik.

(32)

Suherman (2009) menjelaskan garis besar langkah model pembelajaran cooperative learning tipe TGT meliputi :

1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran

2. Guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok

3. Masing-masing kelompok/ tim melakukan latihan dan seleksi anggota 4. Melakukan perlombaan antar tim

5. Berlatih dan berlomba dalam tim 6. Berlomba antar tim

7. Penilaian

Selanjutnya, sistem penilaian dilakukan berdasarkan pada jumlah peningkatan skor total hasil tim. Skor yang diperoleh setiap individu dalam tim pada dasarnya merupakan skor tim dengan demikian para siswa akan termotivasi meningkatkan skor individu dalam timnya untuk membawa kemenangan untuk timnya.

Keberhasilan penerapan model TGT dipengaruhi oleh heterogenitasnya anggota dalam suatu kelompok baik dilihat dari level keterampilan, pengalaman, etnik, jenis kelamin, keterampilan berkomunikasi, kepemimpinan, dan keinginan untuk berjuang bagi timnya. Makin heterogen anggota tim makin cenderung mudah melaksanakan penilaian keberhasilan pembelajaran ini (Suherman, 2009, hlm. 30).

3. Keterampilan Sosial

(33)

Keterampilan sosial berkaitan dengan proses interaksi yang baik antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya sehingga tercipta keharmonisan seperti yang dijelaskan oleh Cartledge & Milburn (1992) dan Comb & Slaby (1977) dalam Nopembri (2008, hlm. 47). “Social skills are one’s or society member ability in establishing relationship with others and his problem

solving ability with which a harmonious society can be achieved” dan “The social

skill is the ability to interact with others in a given social context in specific ways

that are socially acceptable or valued at the same time personality beneficial,

mutually beneficial, of beneficial primarily to others”. Selanjutnya, Walker dkk (1995) dalam Nopembri (2008, hlm. 48) yaitu:

a.Social skills are the interpersonal behaviors that permit an individual to interact successfully with others in the environment.

b.Goal-directed, learned behaviors that allow one to interact and function effectively in a variety of contexts.

c. Social skills are an individual’s situation-specific behaviors that others judge as socially appropriate.

Social skills telah banyak didefinisikan oleh beberapa ahli dan peneliti yang

melakukan penelitian mengenai social skills. Berikut adalah beberapa definisi tentang social skills (Lavasani dkk, 2011) :

a. Keterampilan sosial dipelajari dan menerima perilaku yang membawa hubungan interaktif dan memberikan jawaban positif dan menghindari yang negatif.

b. Menurut Morgaun dalam Cartlegde & Kiarie (2001) social skills adalah “Perilaku yang tidak hanya menyediakan kemungkinan untuk memulai dan menjaga hubungan interaktif dan positif dengan orang lain, tetapi juga membawa kemampuan potensial untuk mencapai tujuan dalam hubungan dengan bantuan yang diberikan dari orang lain”.

(34)

d. Keterampilan sosial merupakan seperangkat perilaku terintegrasi dan sesuai dengan tujuan yang dapat dipelajari dan dikendalikan oleh individu.

e. Keterampilan sosial adalah perilaku verbal dan non verbal yang membawa interaksi individu dengan orang lain yang efektif, yang mencakup: berpartisipasi, mengamati dengan bergantian, menjadi kompatibel, memilih, ramah, dan berkomunikasi dengan orang lain. (Gut & Safran, 2002).

Berdasarkan pada definisi-definisi mengenai keterampilan sosial tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan yakni : keterampilan sosial merupakan kemampuan atau perilaku individu untuk berinteraksi dengan orang lain, keterampilan sosial merupakan keterampilan yang dipengaruhi oleh keadaan individu itu sendiri dan faktor lingkungan, keterampilan sosial berperan dalam terciptanya kehidupan bermasyarakat yang harmonis. Oleh karena itu, keterampilan sosial bisa kita definisikan sebagai kemampuan atau perilaku seseorang atau individu dalam proses interaksi dengan orang lain yang dipengaruhi oleh faktor intern dan ekstern (keadaan individu tersebut dan lingkungan) dalam upaya menciptakan kehidupan bermasyarakat yang harmonis.

Keterampilan sosial bagi sebagian besar anak- anak berkembang secara alami sesuai dengan pertumbuhan mereka. Pada umumnya anak-anak mempelajari keterampilan sosial tersebut dari interaksi sehari-hari mereka dengan orang lain. Sebagai sebuah kemampuan yang diperoleh melalui proses belajar, maka perkembangan keterampilan sosial anak tergantung pada berbagai faktor, yaitu kondisi anak sendiri serta pengalaman interaksinya dengan lingkungan sebagai sarana dan media pembelajaran. Secara lebih terinci, faktor-faktor tersebut dapat diuraikan sebagai berikut (Muzaiyin, 2013) :

a. Kondisi anak

(35)

cenderung lebih agresif dan impulsif sehingga sering ditolak oleh teman sebaya. Kedua kondisi ini menyebabkan kesempatan mereka untuk berinteraksi dengan teman sebaya berkurang, padahal interaksi merupakan media yang penting dalam proses belajar keterampilan sosial.

Anak yang mampu bersosialisasi dan mengatur emosi akan memiliki keterampilan sosial yang baik sehingga kompetensi sosialnya juga tinggi. Anak yang kurang mampu bersosialisasi namun mampu mengatur emosi, maka walaupun jaringan sosialnya tidak luas tetapi ia tetap mampu bermain secara konstruktif dan berani bereksplorasi saat bermain sendiri. Sedangkan anak anak yang mampu bersosialisasi namun kurang dapat mengontrol emosi cenderung akan berperilaku agresif dan merusak interaksi anak dengan lingkungan.

Perkembangan keterampilan sosial anak juga dipengaruhi oleh kemampuan sosial kognitifnya yaitu keterampilan memproses semua informasi yang ada dalam proses sosial. Kemampuan ini antara lain kemampuan mengenali isyarat sosial, menginterprestasi isyarat sosial dengan cara yang tepat dan bermakna, mengevaluasi konsekuensi dari beberapa kemungkinan respon serta memilih respon yang akan dilakukan.

b. Usia

Anak yang masih usia pra sekolah masih belum memiliki kemampuan untuk mencerna berbagai macam informasi secara baik dan sulit memahami orang lain. Namun setelah memasuki usia sekolah, anak akan bertahap mendapatkan pemahaman akan peranan orang lain dan mulai berinteraksi dengan orang lain.

c. Interaksi anak dengan lingkungan

(36)

hukuman saat melakukan sesuatu yang tidak pantas menurut orang tua dan teman sebaya.

d. Jenis kelamin

Anak perempuan dan anak laki-laki memiliki perbedaan pola interaksi, hal ini mempengaruhi pula pada keterampilan sosial anak. Dua anak yang usianya sama tetapi berjenis kelamin berbeda, maka keterampilan sosialnya pada aspek aspek tertentu juga berbeda.

e. Keadaan sosial ekonomi

Kondisi perekonomian keluarga akan berdampak pada sosial anak. Anak-anak yang memiliki kondisi sosial ekonomi lebih baik akan memiliki kepercayaan yang baik. Mereka memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan sosialnya pada berbagai kesempatan dan kondisi lingkungan yang berbeda.

f. Pendidikan orang tua

Secara garis besar, pendidikan orang tua berpengaruh terhadap peranan dan pemahaman orang tua terhadap berbagai kondisi tahapan perkembangan anak dan memposisikan diri dalam berbagai kondisi yang dihadapi oleh anak.

g. Jumlah saudara

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa para guru menilai siswa yang mempunyai satu saudara kandung mempunyai keterampilan interpersonal lebih baik dibandingkan yang tidak mempunyai saudara kandung.

h. Pekerjaan orang tua

Hasil penelitian dari Liebling (2004) yang menyatakan bahwa pada kondisi ibu bekerja di luar rumah mengakibatkan waktu bertemu dengan anak akan menjadi berkurang, sehingga ibu tidak bisa maksimal dalam mendidik dan membimbing anak, sehingga akan berpengaruh terhadap keterampilan sosial anak.

(37)

tanggung jawab dan peranan dalam kehidupan sosial, membantu orang lain, dan menentukan mana yang baik dan mana yang buruk (Arslan dkk, 2011, hlm. 282).

Keterampilan sosial mempunyai peran dan kedudukan yang penting dalam setiap perkembangan hidup manusia mulai dari saat anak-anak, remaja, dewasa maupun lanjut usia. Hal ini dikarenakan bahwa keterampilan sosial dibutuhkan untuk menghargai setiap orang yang berperilaku, bekerjasama, mendapatkan pengalaman yang didasarkan pada pengalaman terdahulu, mengetahui tanggungjawab masing-masing individu, dan untuk berkomunikasi dengan orang lain Andersone (2005) dalam Nopembri (2008, hlm. 52). Pada saat anak-anak, keterampilan sosial diperlukan untuk bersosialisasi, baik dengan teman maupun dengan orang yang lebih dewasa. Pada remaja, keterampilan sosial sangat dibutuhkan sebagai penyaring berbagai perilaku-perilaku sosial yang tidak jarang banyak mengandung perilaku yang menyimpang yang sangat beresiko terhadap remaja yang sedang berada dalam masa transisi dengan karakteristik rasa ingin tahu berlebih. Pada orang dewasa, keterampilan sosial dibutuhkan terutama dalam dunia pekerjaan. Sedangkan pada orang lanjut usia, keterampilan sosial dibutuhkan untuk menyikapi berbagai masalah yang sering kali timbul di masa tersebut, baik masalah fisik maupun psikis.

Nopembri (2008, hlm. 56) menyebutkan bahwa kemampuan sosial dibedakan dalam tiga dimensi komunikasi (sensitivity, expressivity, dan monitoring/control) dan dua cara berkomunikasi (verbal (sosial) dan nonverbal

(emosional)). Lebih lanjut Riggio (1986) dalam Edmondson dkk (2007:577) mendefinisikan enam dimensi keterampilan sosial yang independen, yaitu: Social Sensitivity, Emotional Sensitivity, Social Expressivity, Emotional Expressivity,

Social Control, dan Emotional Control. Artinya, kepekaan sosial, kepekaan

emosi, pengungkapan sosial, pengungkapan emosi, kontrol sosial, dan kontrol emosi.

(38)

Nopembri (2008, hlm. 61) menyebutkan bahwa organisasi pembelajaran dan bentuk-bentuk pengajaran sangat penting dalam pembentukan keterampilan sosial, membantu memperagakan situasi sosial yang berbeda dan menggunakan keterampilan dalam berkomunikasi dan bekerja sama. Selanjutnya Nopembri menjelaskan bahwa program pengembangan keterampilan sosial yang efektif terdiri atas dua unsur penting yakni pendekatan pembelajaran sosial/perilaku dan bahasa universal atau seperangkat tahap-tahap yang memfasilitasi belajar perilaku yang baru, yang berdasarkan pada 4 pilar pendidikan yakni: (1) Learning to know, (2) Learning to do, (3) Learning to live together, (4) Learning to be.

Pengembangan keterampilan sosial dapat dilihat dari seberapa besar peran seseorang dalam interaksi sosial. Pengembangan keterampilan sosial yang utama adalah melalui belajar, baik secara formal maupun nonformal. Berbagai pembelajaran yang dilakukan di sekolah harus memberikan kesempatan berkembangnya keterampilan sosial para siswa berdasarkan urutan dan tingkatan perkembangan mereka. Begitu pula dengan situasi sosial masyarakat yang menyediakan berbagai kesempatan pada seseorang untuk berinteraksi dan memperlihatkan keterampilan sosialnya.

Banyak penelitian yang membahas mengenai keterampilan sosial. Hal ini dilandasi dengan pemahaman bahwa keterampilan sosial adalah keterampilan hidup (life skill) dan merupakan esensi dari penampilan sukses baik dalam bidang akdemik maupun dalam kehidupan (Eldar dkk, 2009, hlm. 1). Anak dengan keterampilan sosial yang baik akan bisa menghadapi berbagai tantangan dalam hidupnya dan mampu cepat beradaptasi dengan keadaan serta tidak tergantung pada orang-orang sekitarnya (Jurevicience dkk, 2012, hlm. 42-52). Oleh karena itu keterampilan sosial merupakan salah satu aspek perkembangan yang penting dan tidak bisa dipisahkan dari perkembangan seorang anak.

4. Pendidikan Jasmani

(39)

mencapai tujuan pendidikan sebagai proses menumbuhkembangkan seluruh aspek siswa. Berikut adalah gambaran mengenai pengertian dari pendidikan jasmani yang dikemukan oleh beberapa ahli :

a. Menurut Harsono (1967:2) dalam Budiman (2006, hlm. 27) :

Pendidikan djasmani adalah suatu pendidikan yang berhubungan dengan pertumbuhan, perkembangan dan penyesuaian diri dari individu melalui suatu program yang sistematis dari latihan-latihan djasmaniah yang terpilih, disusun dan diselenggarakan sesuai dengan standard-standar sosial dan hygiene serta ditujukan untuk mencapai hasil-hasil yang bersifat khusus (specific outcomes).

b. Menurut Pangrazi (2007, hlm. 1) “Physical education is a part of the total program that contributed primarily through movement experiences to the total growth and development of all children.” Maksudnya adalah pendidikan jasmani merupakan bagian dari pendidikan secara umum yang memberi sumbangan terhadap pemberian pengalaman gerak untuk pertumbuhan dan perkembangan anak secara menyeluruh.

c. Menurut Wuest & Bucher (1999, hlm. 6) “Physical education is not only concerned with the physical outcomes that accrue from participation in

activities but also with the development of knowledge and attitude conducive to lifelong learning and lifespan participation.” Maksudnya bahwa pendidikan jasmani tidak hanya difokuskan pada keberhasilan jasmani yang bertambah dari keikutsertaannya dalam aktivitas tetapi juga dalam mengembangkan pengetahuan dan sikap yang mendukung terhadap belajar sepanjang hayat.

Berdasarkan pada definisi-definisi yang telah dikemukakan tersebut dapat ditarik kesimpulan yakni pendidikan jasmani adalah bagian dari pendidikan menyeluruh yang menggunakan aktivitas fisik sebagai kegiatan pembelajaran siswa untuk meningkatkan kemampuan fisik dan nilai-nilai fungsional yang mencakup kognitif, afektif, dan sosial termasuk di dalamnya pola hidup sehat. Artinya, pendidikan jasmani mempunyai kelebihan dari pendidikan lainnya karena mencakup semua domain perkembangan anak.

(40)

semata melainkan dengan keadaan emosi, mental dan hubungan sosial yang lebih baik karena mampu berinteraksi melalui sikap dan perilaku yang direstui masyarakat (Budiman, 2006, hlm. 31). Perubahan tersebut akan terbawa ke dalam lingkungan masyarakat tempat tinggal mereka. Namun, peranan pendidikan jasmani dalam mengembangkan potensi siswa secara menyeluruh hanya bisa tercapai jika siswa bisa terlibat secara aktif dalam pendidikan jasmani. Oleh karena itu peranan guru untuk bisa memanfaatkan dan memaksimalkan peranan pendidikan jasmani sangatlah penting. Guru dituntut untuk bisa mengaplikasikan pendidikan jasmani sebagai media untuk mengembangkan anak sebagai suatu kesatuan. Pemahaman yang baik dari guru mengenai berbagai komponen dalam pembelajaran yang saling berkaitan agar tujuan pembelajaran bisa tercapai dengan maksimal. Metzler (2000) menyatakan beberapa komponen penting dalam pengajaran pendidikan jasmani berbasis model yang harus diketahui oleh guru pendidikan jasmani yakni :

a) Learning contexts. Hal ini mengacu pada faktor-faktor yang mempengaruhi

apa dan bagaimana pendidikan jasmani diajarkan dan dipelajari. Metzler menyatakan bahwa terdapat 5 faktor yang termasuk ke dalam learning context yakni lokasi, demografi siswa, administrasi, sumber daya manusia,

sarana dan prasanana.

b) Learners. Guru perlu mengetahui karakteristik dari para siswanya seperti latar

belakang sosial ekonomi, pengalaman dan pengetahuan mereka mengenai pendidikan jasmani. Selain itu, guru juga perlu memahami mengenai domain perkembangan siswa seperti perkembangan kognitif, motorik, afektif, dan motivasi belajar dari siswa.

c) Learning theories. Banyak teori yang berkaitan dengan pembelajaran.

Teori-teori tersebut saling berkaitan satu sama lain. Meztler (2000: 32) menyatakan beberapa teori yang berkaitan dengan pembelajaran seperti: operant conditioning, social cognitive learning- including self efficacy, information

processing, cognitive learning and process- including constructivist learning,

(41)

d) Developmental appropriateness. Semua komponen pembelajaran seperti konten pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan instruksi dalam pembelajaran pendidikan jasmani harus sesuai dengan tahapan perkembangan anak agar bisa mencapai tujuan pendidikan jasmani secara fisik, emosi dan manfaat secara akademik untuk mereka.

e) Learning domains and objectives. Pembelajaran pendidikan jasmani harus mencakup tiga ranah perkembangan anak, yakni perkembangan kognitif, psikomotor dan afektif.

f) Physical education content. Berisikan mengenai segala sesuatu yang akan

diajarkan dan dipelajari seperti cabang olahraga, permainan, kebugaran, dan lain sebagainya.

g) Task analysis and Content progression. Analisis tugas dilakukan untuk

mengidentifikasi komponen-komponen dari keterampilan yang telah dipelajari dan untuk menentukan tujuan atau instruksi pembelajaran selanjutnya.

h) Assessment. Meztler menjelaskan penilaian memiliki tiga tujuan yakni : (1) To describe how much learning has taken place over a given amount of

intructional time, (2) to judge or evaluate the quality of that learning, (3) to

make decisions about how to improve learning based on that gathered

infomation.

i) Social/emotional climate. Setiap kelas pendidikan jasmani memiliki suasana sosial dan emosi tertentu yang menentukan bagaimana atmosfir pembelajaran ketika siswa berinteraksi dengan guru dan teman sekelasnya. Suasana yang nyaman, suportif, lingkungan yang terjaga akan membantu siswa dalam meraih tujuan pembelajarannya.

(42)

k) Curriculum models for physical education. Model kurikulum merupakan rencana-rencana yang komprehensif dan koheren untuk mendisain dan mengimplementasikan seluruh program pendidikan jasmani dalam satu sekolah atau wilayah.

Karakter pendidikan jasmani adalah kegiatan jasmani yang menimbulkan rasa dan kesadaran untuk menguasai emosi pribadi, mandiri, penyesuaian diri sebagai dasar bagi terbentuknya mental sehat dan kebiasaan hidup sehat di lingkungan masyarakat di mana pun siswa berada, termasuk mendapatkan pengakuan diri sebagai anggota masyarakat yang baik karena kemampuan bersosialisasinya. Karakter penjas dapat dilihat dari muatan bahan ajar yang menjadi rujukan guru melakukan proses pembelajaran yang tercantum dalam setiap kurikulum yang ada, mulai dari KTSP, KBK sampai dengan kurikulum terbaru yakni kurikulum 2013.

B. Penelitian Terdahulu Yang Relevan

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu yang Relevan

(43)
(44)

3 Didin Budiman penelitian diperoleh dari pre-test dan post-pre-test kemudian dianalisi dengan uji-t dan ANOVA faktorial 2 X 2. Populasi dan sampel terdiri dari siswa SD kelas IV, V,

 Metode mengajar creative movement melalui

(45)
(46)

Social Skills Level sosial mahasiswa. Dari hasil analisis data diketahui bahwa

anak perempuan

mendapatkan skor yang lebih tinggi daripada anak laki-laki dalam semua aspek (EE, ES, mengukur social skill siswa. Sample yang digunakan berjumlah 57 orang pada kelompok kontrol dan 57 orang pada kelompok eksperimen. Dari hasil analisis data diketahui bahwa pad kelompok eksperimen

“ Effect of  cooperative learning

(47)
(48)

belajar bermain bolavoli dengan model pembelajaran kooperatif tipe TGT lebih baik dibanding hasil belajar bermain bolavoli dengan menggunakan uji t, diketahui hasil bahwa pada kelompok

(49)

Dengan tujuan dan fungsi sekolah atau pendidikan formal yang telah dijelaskan tersebut, sudah seyogyanya pendidikan menjadi sebuah fase penting dalam perkembangan anak karena merupakan proses pembentukan individu secara holistik dan dari proses tersebut diharapkan akan menghasilkan individu-individu yang berkualitas, yang bertanggungjawab, menghormati, menghargai dirinya sendiri dan menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat sehingga nilai-nilai sosial masyarakat bisa terjaga dengan sikap saling menghargai dan menghormati sesama.

Pendidikan jasmani sebagai bagian dari pendidikan menyeluruh memiliki potensi untuk bisa memberikan kontribusi yang maksimal dalam perkembangan anak. Bailey (2006, hlm. 397) mengungkapkan bahwa hasil dari pendidikan jasmani dapat dipahami dalam 5 domain perkembangan anak yakni : (1) fisik, (2) gaya hidup, (3) afektif, (4) sosial, (5) kognitif. Pendidikan jasmani merupakan waktu pembelajaran yang menyenangkan setelah para siswa berkutat dengan pelajaran teori di dalam kelas.

Dalam pembelajaran pendidikan jasmani banyak model pembelajaran yang biasa digunakan salah satunya adalah model cooperative learning. Cooperative learning merupakan model pembelajaran yang menjadikan siswa

(50)

TGT merupakan salah satu metode cooperative learning yang telah dikembangkan oleh Slavin. Pembelajaran kooperatif model TGT (Teams Games Tournament) adalah salah satu model pembelajaran kooperatif yang mudah

diterapkan, melibatkan aktifitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement (Sinaga, 2012). Aktivitas belajar yang di dalamnya berisikan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Games Tournament) memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks dan menyenangkan.

Di samping itu menyenangkan, hal itu juga menumbuhkan rasa tanggung jawab, kerja sama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar. TGT merupakan model cooperative learning yang menekankan pada pembelajaran dalam

kelompok-kelompok. Oleh karena dalam TGT menambahkan dimensi kegembiraan yang diperoleh dari penggunaan permainan dalam pembelajaran, sehingga sebagian besar guru lebih memilih TGT karena faktor menyenangkan dalam pelaksanaan kegiatan pembelajarannya (Slavin, 2005, hlm. 14)

Tujuan dari pendidikan jasmani bisa tercapai dengan maksimal salah satunya ketika anak menyadari peranan dan pentingnya pendidikan jasmani dengan cara partisipasi secara aktif dalam kelas pendidikan jasmani. Tingkat partisipasi siswa banyak dipengaruhi oleh banyak hal seperti di antaranya adalah tingkat motivasi, kepercayaan diri, pemahaman terhadap manfaat dari aktivitas fisik, kesempatan untuk berpartisipasi, kompetisi, dan teman sekelas (Ryan & Poirie, 2012).

(51)

Emotional Expressivity/Pengungkapan emosi, dan Social Control/ Kontrol sosial.

Artinya, anak perempuan mempunyai kelebihan dalam dimensi-dimensi keterampilan sosial tersebut dibandingkan dengan anak laki-laki. Dengan demikian, anak perempuan akan memiliki nilai keterampilan sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki. Di samping itu juga telah dijelaskan sebelumnya bahwa jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dalam perkembangan keterampilan sosial anak (Muzaiyin, 2013). Dari pernyataan-pernyataan tersebut bisa diasumsikan bahwa model selain model pembelajaran, jenis kelamin juga berpengaruh terhadap keterampilan sosial dan terdapat interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelamin terhadap keterampilan sosial.

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan pada kerangka berfikir di atas, maka didapat hipotesis penelitian sebagai berikut :

1. Terdapat pengaruh model pembelajaran terhadap keterampilan sosial siswa.

2. Terdapat pengaruh jenis kelamin terhadap keterampilan sosial siswa. 3. Terdapat interaksi antara model pembelajaran dan jenis kelamin terhadap

(52)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi dan Subjek Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Bandung tepatnya berlokasi di Sekolah Menengah Pertama Laboratorium Percontohan Universitas Pendidikan Indonesia (SMP Labschool UPI). Berikut adalah profil singkat SMP Labschool UPI :

Nama : SMP Labschool Universitas Pendidikan Indonesia Alamat : Jalan Senjaya Guru (dalam Kampus UPI Bandung) Kelurahan : Isola

Kecamatan : Sukasari

Kota : Bandung

Propinsi : Jawa Barat

Kode Pos : 40154

Telp/Faks : (022)2012805

e-mail : smp_labschool@upi.edu

Kepala Sekolah : Drs. H. Mulyana Abdullah, S.Ag

2. Populasi Penelitian

(53)

Tabel 3.1. Jumlah Siswa Kelas VII SMP Labschool UPI Tahun Ajaran 2013/2014

No Kelas Perempuan Laki-Laki Jumlah

1 7A 17 11 28

2 7B 13 15 28

3 7C 13 15 28

4 7D 13 14 27

5 7E 13 14 27

Jumlah 69 69 138

3. Sampel Penelitian

Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti. Berkaitan dengan ini, Sugiyono (2009, hlm. 81) mengemukakan bahwa “sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.” Karena keterbatasan penelitian maka peneliti tidak akan meneliti seluruh populasi oleh karena itu perlu dilakukan pengambilan sampel. Sampel yang dipelajari merupakan kesimpulan yang akan diberlakukan untuk populasi. Untuk itu sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif. Teknik penentuan sampel dilakukan dengan teknik simple random sampling. Dikatakan simple (sederhana) karena pengambilan anggota sampel dan populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi (Sugiyono, 2009, hlm. 82). Dengan menggunakan teknik random sampling ini, setiap anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih.

Gambar

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Tabel 3.1. Jumlah Siswa Kelas VII SMP Labschool UPI Tahun Ajaran
Gambar 3.1. Experimental Factorial Design 2x2 (Fraenkel, 2012:277)
Tabel 3.3.  Rancangan Analisis Faktorial 2x2
+7

Referensi

Dokumen terkait

DINAS PANGAN, PERTANIAN DAN PERIKANAN KABUPATEN WONOSOBO TAHUN ANGGARAN

 merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas individual

Namun pada penelitian ini, algoritma Gale-Shapley tidak ditujukan untuk mencari pasangan pria dan wanita, namun digunakan untuk mencari presidium yang sesuai dengan bidang

Melihat kondisi TK tersebut peneliti berinisiatif untuk merencanakan dan memilih tindakan dalam upaya meningkatkan kemampuan berbicaradi TK Al-Huda secara

Sebuah skripsi yang Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar. ©Rian

Usaha dalam mengatasi masalah tersebut, adalah dengan menerapkan metode Gasing (Gampang, Asyik dan Menyenangkan) untuk meningkatkan kemampuan berhitung siswa seoklah

Collaborative Online Examinations : Impacts on Interaction, Learning, and Student Satisfaction.. Collaborative learning in an online

Dalam sebuah penelitian diperlukan metode yang tepat dan sesuai dengan.. masalah dan tujuan yang akan