• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMATANGAN OOSIT KUCING SECARA IN VITRO SETELAH PRESERVASI OVARIUM. Kartini Eriani 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PEMATANGAN OOSIT KUCING SECARA IN VITRO SETELAH PRESERVASI OVARIUM. Kartini Eriani 1"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PEMATANGAN OOSIT KUCING SECARA IN VITRO SETELAH PRESERVASI OVARIUM

Kartini Eriani

1

(Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Syiah Kuala)

ABSTRACT

Oocytes from ovary may be the last chance to ensure preservation of genetic material after injury or death of a valuable animal. The ability to mature and fertilize oocytes of endangered species may allow us to sustain genetic and global biodiversity. The aims of this study were to observe the effect of preservation times of ovary followed the potential of successfully development of embryos after in vitro maturation (IVM). Ovary was preserved immediately in phosphate buffer saline at 4 C for 24 and 48 hours. The observation on oocytes quality and viability after preservation were identified through arceto orcein staining after maturation. The oocytes biological fuction was evaluated using in vitro culture technique for the maturation and fertilization rate in CR1aa medium culture. The percentage of oocytes that remained at the metaphase-II from preserved ovary for 24 and 48 hours were 29.4% and 21.9% respectively. In conclusion, that preservation of ovary at 4C in PBS can be used to in vitro maturation.

Key words : gamet, preservation, maturation, oocyte

PENDAHULUAN

Reproduksi sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu spesies karena setiap individu mempunyai jangka waktu kehidupan terbatas dan hanya dengan reproduksi kelangsungan spesies dapat terjaga. Namun pada beberapa spesies tertentu khususnya hewan liar ada kendala berupa gangguan alam atau akibat campur tangan manusia yang menyebabkan terganggunya reproduksi hewan tersebut. Hal ini menyebabkan populasi hewan tersebut semakin berkurang bahkan dikuatirkan suatu saat akan punah. Salah satu spesies yang dianggap hampir punah adalah dari famili felidae, baik big felids (Panthera) maupun small felids (Felis).

Di Indonesia ada beberapa kucing liar yang diduga keberadaannya hampir punah seperti Panthera tigris sumatrensis (harimau Sumatra), Felis mormorata (kucing kuwuk), Felis temminckii (kucing emas), Pardofelis nebulosa (harimau dahan), Prionailurus planiceps (kucing dampak), Felis bengalensis (kucing batu) (Unit Manajemen Leuser). Khusus harimau Sumatra merupakan satwa langka yang dikatagorikan Critically Endangered (CR) dan dilindungi oleh pemerintah. Data dari Direktorat Jenderal Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan (1994) menunjukkan bahwa populasi harimau Sumatra pada tahun 1970 mencapai 1000 ekor sedangkan pada tahun 1987 menurun hingga tinggal 660 ekor. Harimau Sumatra masuk daftar Appendix I yaitu kategori hewan yang dilarang untuk diperdagangkan menurut CITES (Convension on International Trade in Endangered Species) tahun 1975 dan juga termasuk dalam daftar merah yaitu hewan-hewan yang terancam kepunahan menurut IUCN (International Unit for Conservation of Nature and Natural Resources) badan internasional di bawah pengawasan PBB. Sedangkan dua subspecies lain sudah punah yaitu harimau Jawa (Panthera tigris sundaica) dan harimau Bali (Panthera tigris bali). Pope (2000) mengatakan lebih dari 36 spesies kucing liar diklasifikasikan terancam punah.

Terjadinya kematian hewan langka di daerah yang jauh dari laboratorium, menyebabkan sumber material genetik tidak dapat diselamatkan. Dalam upaya penyelamatan material genetik, preservasi merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan. Teknik ini mudah dilakukan karena hanya membutuhkan larutan fisiologis seperti NaCl fisiologis atau phosphat buffer saline (PBS) yang dipertahankan pada suhu 4-5 C. Pada percobaan ini dilakukan preservasi ovarium di dalam larutan PBS dengan maksud untuk mengetahui kemampuan adaptasi ovarium dalam mempertahankan daya hidup oosit. Diharapkan kerusakan yang disebabkan oleh kendala jarak dan waktu dapat diminimalkan.

1Corresponding author: Kartini24@yahoo.com

(2)

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Embriologi dan Laboratorium Anatomi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi FKH-IPB. Penelitian menggunakan testis dan ovarium kucing berusia 2–3 tahun, dengan berat 2-3.5 Kg. Pengambilan ovarium melalui bedah ovariektomi di Laboratorium Bedah, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi FKH IPB.

1. Preservasi Ovarium dan Koleksi Oosit

Ovarium dipreservasi dalam medium PBS dan disimpan di dalam refrigerator bersuhu 4C.

Setelah dipreservasi selama 24 dan 48 jam, dilakukan koleksi oosit dengan slicing, yaitu menyayat bagian korteks ovarium dengan silet di dalam cawan petri yang berisi mPBS. Jumlah dan kualitas oosit diamati di bawah mikroskop inverted.

Kriteria penilaian kualitas oosit ditentukan berdasarkan penilaian visual dari kekompakan dan banyaknya sel granulosa serta keadaan homogenisitas sitoplasma seperti yang dilakukan Carolan et al.

(1994). Oosit kualitas A memiliki sitoplasma homogen dan dikelilingi 5-10 lapis sel granulosa yang utuh. Oosit kualitas B memiliki sitoplasma homogen dan dikeliling 3-5 lapis sel granulosa. Oosit kualitas C sitoplasmanya homogen dan sel kumulus yang tipis (1-2 lapis). Sedangkan oosit kualitas D sitoplasmanya homogen dan tanpa kumulus.

2. Pematangan Oosit secara In Vitro

Oosit hasil koleksi dari ovarium preservasi (24 dan 48 jam) dicuci 3 kali dengan menggunakan medium CR1aa (Rosenkrans dan First 1994), yang ditambah dengan fetal bovine serum (FBS) 10% (v/v), bovine serum albumin (BSA) 0.03%, follicle stimulating hormone (FSH) 10 g/ml, luteinizing hormone (LH) 20 g/ml, estradiol 1 g/ml dan antibiotik (10,000IU penisilin/ml dan 10 mg streptomisin/ml). 15 oosit kualitas A-B dimasukkan di dalam 50 l medium tetes CR1aa dan ditutup dengan mineral oil. Oosit dikultur dalam inkubator CO2 5% pada suhu 37 C selama 24 jam.

Pengamatan tingkat kematangan inti oosit diwarnai dengan aceto orcein (Djuwita et al. 1995).

Penilaian status inti setelah pematangan adalah: GV (germinal vesicle) sebagai oosit belum matang; GVBD (germinal vesicle break down) serta metafase-I sebagai oosit yang sedang mengalami pematangan dan Metafase-II (Mt-II) sebagai oosit matang. Tingkat pematangan oosit dihitung dari jumlah oosit yang mencapai Metafase-II per jumlah oosit yang dimatangkan.

3. Fertilisasi Oosit secara In Vitro

Oosit hasil pematangan secara in vitro, selanjutnya difertilisasi dengan menggunakan spermatozoa hasil koleksi dari duktus deferens. Suspensi spermatozoa yang diperoleh dari duktus deferens dimasukkan ke dalam vial dan disentrifugasi dengan kecepatan 500 g selama 5 menit dalam medium CR1aa yang ditambah caffeine 2.5 mM, heparin 36 l dan antibiotik. Motilitas spermatozoa yang digunakan untuk FIV diseleksi dengan swim-up (Younglai et al. 2001). Konsentrasi akhir spermatozoa yang digunakan untuk FIV adalah 2x106 spermatozoa/ml. Larutan suspensi yang mengandung spermatozoa tersebut dibuat medium tetes sebanyak 100 l dan ditutupi dengan mineral oil. Medium tetes diisi dengan 15 oosit hasil pematangan dan dikultur dalam inkubator CO2 5% pada suhu 37 C. Setelah dikultur selama 18 jam, oosit di fiksasi dan diwarnai dengan aceto orcein.

Tingkat fertilisasi diamati dengan melihat jumlah pronukles (PN). Untuk melihat tingkat perkembangan embrio, oosit dipindahkan dari media fertilisasi dan selanjutnya dikultur dalam medium CR1aa sampai hari ke 4 dan diamati tingkat perkembangan embrio.

Analisa Data

Semua data dianalisa dengan Rancangan Acak Lengkap, masing-masing dengan tiga ulangan dan selanjutnya dianalisa dengan Analisis Varian. Data hasil pengamatan berupa persentase tingkat kematangan, fertilisasi dan persentase perkembangan embrio jika ada perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji Tukey-Kramer HSD (Steel dan Torrie 1991).

(3)

HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Oosit

Berdasarkan pengamatan morfologi, persentase oosit yang berkualitas baik (A-B) per ovarium yang terkoleksi setelah preservasi 24 dan 48 jam dibandingkan kontrol (0 jam) adalah masing-masing 63.2%, 60.6% dan 71.0% (Tabel 1). Berdasarkan uji statistik, lamanya waktu penyimpanan ovarium tidak berbeda nyata (P >0.05) terhadap kualitas oosit yang diperoleh dari kucing betina donor. Namun demikian berdasarkan nilai persentase, terlihat ada penurunan kualitas oosit yang dikoleksi dari 0 sampai 24 jam waktu preservasi sebesar 7.8%;. dan dari 0 sampai 48 jam waktu penyimpanan adalah 10.4%. Demikian juga nilai persentase oosit yang degenerasi pada oosit yang dikoleksi dengan waktu penyimpanan 0, 24 dan 48 jam berturut-turut yaitu 3.9%, 5.7% dan 9.1%. Namun secara keseluruhan menunjukkan bahwa preservasi ovarium pada suhu 4 C masih dapat mempertahankan kualitas oosit yang memenuhi standar untuk dimatangkan, namun untuk proses pematangan inti setelah dimaturasi, lama waktu preservasi harus dievaluasi kembali apakah waktu penyimpanan pada suhu 4 C dapat mempengaruhi tingkat kematangan inti. Menurut Karja et al. (2002) penyimpanan ovarium pada suhu 38 C selama 1-6 jam dapat menyebabkan terjadi pematangan inti (tahap Metafase-II) secara spontan yang terjadi di dalam folikel (3.7%). Sedangkan penyimpanan pada suhu rendah, hal tersebut tidak terjadi. Suhu yang rendah bahkan dapat menghambat atau meminimalkan proses metabolisme sel. Menurut Lehninger (1982) penurunan suhu dapat memperlambat gerak termal molekul dan memungkinkan pertemuan antara enzim dengan substrat untuk membentuk komplek diminimalkan sehingga enzim tidak dapat bekerja secara optimal untuk melaksanakan reaksi metabolisme. Oleh sebab itu, perlakuan penyimpanan pada suhu 4 C di dalam lemari es akan memperlambat metabolisme di dalam sel dan dengan sendirinya akan menghambat proses pematangan inti.

Tabel 1 Ukuran folikel dan kualitas oosit setelah preservasi ovarium Preservasi  ovari  Folikel (ukuran)  oosit

Kualitas oosit (%) ovari (jam) 2 mm 2-4 mm 4m

m

CL A – B

C - D Deg

Kontrol 4 23a 11a - 5a 76 54 (71.0)a 19 (25.0)a 3 (3.9)a 24 6 30a 22a 3a 2b 87 55 (63.2)a 27 (31.0)a 5 (5.7)a 48 6 38a 17a - - 165 100 (60.6)a 50 (30.3)a 15 (9.1)a Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

(Tukey-Kramer HSD). Deg = degenerasi, CL = corpus luteum.

Oosit yang mengalami degenerasi selama preservasi 24 dan 48 jam pada suhu 4 C adalah 5.7% dan 9.1%. Oosit yang mengalami degenerasi ditandai dengan sitoplasma yang tidak homogen dan berwarna pucat. Inti mengecil dan berwarna hitam gelap. Ini dapat terjadi karena suhu rendah dapat mempengaruhi stabilitas membran sel. Namun demikian persentase degenerasi ini tergolong kecil karena media yang digunakan untuk preservasi adalah Phosphat Buffer Saline yang dapat mempertahankan pH fisiologis (7.2 – 7.6) sehingga oosit yang berkualitas baik (A - B) masih dapat ditemukan sampai 48 jam waktu preservasi. Menurut Ganong (1998) penyimpanan dalam larutan fisiologis dapat mencegah proses autolisis (degradasi) karena larutan fisiologis memiliki tekanan osmotik sejati yang bersifat isotonis. Sehingga ovarium yang disimpan dalam larutan fisiologis ini mampu mempertahankan osmolalitas dengan tidak adanya perpindahan netto partikel yang aktif secara osmosis dalam larutan menuju sel atau sebaliknya. Rall (1987) menambahkan bahwa larutan fisiologis dapat mengurangi kerusakan sel akibat tekanan osmotik intra dan ekstra sel yang tidak seimbang.

Tingkat Pematangan Oosit

Pematangan oosit secara in vitro memerlukan kondisi lingkungan yang sama dengan kondisi lingkungan in vivo, dimana oosit harus mengalami pematangan sitoplasma dan inti secara bersamaan.

Sel-sel kumulus berperan dalam mengatur aktivitas oosit. Beberapa peneliti mengatakan bahwa

(4)

ekspansi kumulus berhubungan erat dengan tingkat pematangan oosit. Menurut Suzuki et al. (1994) sel-sel kumulus, zona pelusida dan membran vitelin oosit mengalami beberapa perubahan bersamaan dengan proses pematangan inti dan sitoplasma yang berfungsi untuk mencapai tingkat fertilisasi yang normal.

Data Tabel 3 menunjukkan waktu preservasi ovarium mempengaruhi tingkat kematangan inti setelah oosit dimatangkan secara in vitro selama 24 jam. Tingkat kematangan oosit yang mencapai Metafase-II dari ovarium yang dipreservasi 24 dan 48 jam berturut-turut adalah 29.4% (30/102) dan 21.9% (20/91). Berdasarkan uji statistik hasil tersebut sangat berbeda nyata (P <0.05) dengan kontrol yaitu 50.0% (30/60). Ini menunjukkan bahwa waktu preservasi pada suhu 4 C dapat mempengaruhi kondisi lingkungan di dalam ovarium yang akhirnya dapat mempengaruhi pembentukan spindle meiotic saat oosit dimatangkan, namun tidak mempengaruhi kondensasi kromosom (Gambar 4 A).

Menurut Wu et al. (1999) pemaparan oosit pada suhu yang rendah dapat mempengaruhi pembentukan mikrotubul kromosom. Walaupun pembentukan mikrotubulnya terjadi tapi bentuk spindle-nya abnormal. Persentase oosit yang mati pada sapi akibat suhu yang rendah dilaporkan 3.5% pada suhu 24 C dan 11.6% pada suhu 0 C.

Tabel 3 Persentase tingkat kematangan oosit setelah preservasi ovarium

Preservasi  Tingkat kematangan oosit (%)

ovari (jam) oosit  GV  GVBD  Mt-I  Mt-II  GV-block Kontrol 60 5(8.3)b 8(13.3)a 17(28.3)a 30(50.0)a 0 (0)a

24 102 16(15.7)a 31(30.4)a 18(17.6)b 30(29.4)b 7(6.86)a 48 91 19(20.9)a 21(23.0)a 28(30.7)a 20(21.9)b 3(3.30)a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

(Tukey-Kramer HSD). GV = germinal vesicle, GVBD = germinal vesicle break down, Mt = Metafase Persentase tingkat penurunan kematangan inti adalah 20.59% dan 28.1% masing-masing untuk 24 dan 48 jam jangka waktu preservasi. Penurunan ini mungkin disebabkan adanya gangguan pada pelepasan badan kutub (polar bodi/Pb). Lebih jauh Wu et al. (1999) menguraikan kegagalan oosit mencapai pematangan tahap Metafase-II karena adanya gangguan pembentukan kumparan meiotik yang akhirnya dapat menghambat pelepasan badan kutub. Ini menunjukkan bahwa kumparan meiotic sangat sensitive terhadap suhu rendah. Ada indikasi hal ini pula yang menyebabkan adanya GV (germinal vesicle) block pada hasil pematangan dari oosit yang dikoleksi dari ovarium yang dipreservasi 24 dan 48 jam sebesar 6.86% dan 3.30% dibandingkan dari ovarium kontrol (0%).

Menurut Le Gal (1996) GV block adalah oosit pada tahap GV yang tidak mampu melanjutkan meiosis sampai tahap Metafase-II dengan warna ooplasma terang dan tidak terdapatnya ruang antar membran plasma dengan zona pelusida yang menunjukkan terdapatnya kebocoran pada membran plasma (lisis). Sedangkan hasil pengamatan dengan pewarnaan aceto orcein terlihat seperti gumpalan hitam yang besar di dalam sitoplasma oosit.

Gambar 3 Oosit kucing yang telah mengalami pematangan selama 24 jam, ditunjukkan dari terjadinya ekspansi sel-sel granulosa (kepala panah). Bar = 50 m

(5)

Diketahui bahwa hanya pada Metafase-I dan Metafase-II, oosit mempunyai pengaturan spindle mikrotubul yang sempurna. Suhu dingin dapat menyebabkan pengaruh terpada pengaturan mikrotubul pada pematangan oosit tahap Metafase-II pada sapi dan manusia (Bernard et al. 1992;

Vincent dan Johnson 1992). Akibat pendinginan (suhu rendah) menurut Web et al. (1986) diacu dalam Wu et al. (1999) dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi dan hilangnya pusat pengatur mikrotubul. Wu et al. (1999) juga mengatakan pada tahap germinal vesicle (GV) oosit tidak mengandung spindle mikrotubul. Ketika oosit matang, kromosom mulai berkondensasi dan mikrotubul menjadi terkoordinisasi. Pembentukan spindle dikontrol oleh beberapa faktor yaitu maturation promoting factor (MPF) dan mitogen-activated protein kinase (MAPK). Pada penelitian Wu et al. (1999) dapat disimpulkan bahwa penyimpanan pada suhu 0 dan 4 C, secara langsung tidak melibatkan spindle mikrotubul, tetapi mempengaruhi pembentukan spindle meiotic selanjutnya dan pelepasan badan kutub. Ini menunjukkan bahwa suhu rendah dapat merusak faktor kunci pengatur seperti MPF, MAPK atau faktor lainnya yang mempengaruhi pengaturan mikrotubul.

Pada penelitian ini, ovarium yang telah dipreservasi pada suhu 4 C selama 24 dan 48 jam masih diperoleh perkembangang inti oosit yang mencapai tahap Metafase-II diduga karena setelah oosit dikoleksi dan selanjutnya dimatangkan secara in vitro, kumparan meiotik dari mikrotubulus tersusun kembali sehingga oosit tetap dapat melanjutkan pembelahan meiosis. Richardson dan Park (1992) mengatakan proses pendinginan pada suhu 20 C atau 4 C dapat mengakibatkan depolimerisasi mikrotubul, namun demikian kumparan mampu terakit kembali (reversible) jika oosit sapi diinkubasi pada suhu 37 C selama 60 menit, meskipun potensi terjadinya anomali genetik akibat kesalahan dalam pergerakan kromosom dapat terjadi dan masih merupakan perhatian utama.

Hasil penelitian ini hamper sama seperti yang diperoleh oleh Menurut Wolfe and Wildt (1996) dan Wood et al. (1997). Menurut Wolfe and Wildt (1996) oosit kucing terlihat unik dalam kemampuannya mempertahankan viabilitas oosit yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan pada suhu rendah selama 24 jam. Oosit masih mampu mencapai Metafase-II (51%) setelah dimatangkan secara in vitro. Namun walau menurut Wood et al. (1997) kemampuan oosit untuk matang dan membelah menurun 25% ketika ovarium disimpan pada suhu dingin selama 48 jam. Untuk selanjutnya perlu dilakukan evaluasi integritas DNA pada oosit yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan pada suhu dingin.

Gambar 4 Morfologi oosit kucing pada A) tahap Metafase-I dan B) tahap Metafase-II yang ditunjukkan dengan adanya badan kutub (panah). Kepala panah menunjukkan kromosom pada Metafase. Bar = 20 m.

Hal yang dapat juga dipertimbangkan adalah data dari penelitian Otoi et al. (2001) yang menunjukkan ada hubungan yang kuat antara diameter dengan kemampuan meiotik inti oosit kucing yang disimpan pada suhu 4 C (77.7%) dibandingkan dengan ovarium yang disimpan pada suhu 38

C (89.2%) selama 24 jam preservasi. Khususnya pada oosit yang disimpan pada suhu 4 C pencapaian Metafase-II akan menurun bersamaan dengan penurunan diameter oosit. Fenomena ini dapat dikaitkan dengan data pengamatan histologi ovarium yang dipreservasi. Dari data tersebut dapat disimpulkan ada kecenderungan penurunan kualitas oosit pada folikel yang berdiameter kecil (primordial, primer dan sekunder). Menurut Wood et al. (1997 ) walaupun suhu 4 C dapat menghambat perubahan taphonomic ovarium, namun degradasi DNA pada sel-sel granulosa terjadi

A B

(6)

setelah 12 jam penyimpanan (Jewgenow et al. 1997). Hubungan metabolisme antara oosit dan sel-sel granulosa sangat berperan selama pematangan oosit, karena sel-sel granulosa mentransfer molekul kecil seperti energi subsrat, nukleotida dan asan amino pada oosit. Jewgenow et al. (1997) mengatakan bahwa degradasi sel-sel granulosa mengawali hilangnya kompetensi perkembangan oosit dan akhirnya mati. Frekuensi degenerasi oosit yang dipreservasi pada suhu 4 C menurun seiring dengan penurunan diameter oosit. Tingginya frekuensi degenerasi oosit yang dipreservasi pada suhu 4 C mungkin akibat dari degenerasi sel-sel granulosa selama penyimpanan pada suhu dingin dan tingginya sensivitas oosit yang berdiameter kecil terhadap suhu rendah.

Pada Gambar 3 terlihat pertumbuhan sel-sel granulosa yang menyebar luas dan melekat pada cawan petri setelah diinkubasi selama 24 jam. Ini sebagai indikator media kultur yang digunakan dapat mendukung perkembangan sel granulosa yang berhubungan juga dengan suplay nutrisi untuk oosit agar mendukung proses maturasi in vitro untuk terjadinya perkembangan inti oosit.

Pertumbuhan sel-sel granulosa yang ekspans dapat diasumsikan terjadinya pelepasan senyawa- senyawa metabolik yang dapat dimanfaatkan oleh oosit. Sehingga nutrisi yang dibutuhkan oleh oosit dapat terpenuhi.

KESIMPULAN

1. Kualitas oosit yang dikoleksi dari ovarium menurun seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan pada suhu 4C.

2. Preservasi ovarium pada suhu 4C selama 48 jam di dalam larutan PBS dapat mempertahankan fungsi biologi oosit untuk melanjutkan meiosis sampai tahap Metafase-II dalam medium kultur in vitro .

3. Preservasi ovarium pada suhu 4C selama 48 jam di dalam larutan PBS dapat mempertahankan fungsi biologi oosit dan memenuhi syarat digunakan dalam FIV.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Drh. Yuhara Sukra, drh. Arief Boediono, Ph.D, Dr. Drh. Ita Djuwita, M.Phil, Sony Heru Sumarsono, Ph.D yang banyak memberi masukan dan arahan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 1994. Indonesian Sumatra Tiger Conservation Strategy Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation. Jakarta.

Carolan C, Monaghan P, Gallagher M, Gordon I. 1994. Effect of recovery method on yield of bovine oocytes per ovary and their developmental competence after maturation,fertilization and culture in vitro. Theriogenology 41: 1061-1068.

Djuwita I. 2001. Kajian Morfologis dan Fungsi Biologis Oosit Domba Setelah Kriopreservasi dengan Metode Vitrifikasi. Disertasi. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Djuwita I, Rusyiyantono Y, Muhamad K, Purwantara B, Sukra Y. 1998. Pengaruh serum homolog dan heterolog terhadap proses pematangan dan pembuahan in vitro. Media Veteriner 3 (1):

17-22.

Farstad W. 2000. Current state in biotechnology in Canine and Feline reproduction. Anim. Reprod.

Sci. 60 (61): 375-387.

Ganong WF. 1998. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed. 17. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran.

Johnson MH, Everitt BJ. 1995. Essential Reproduction 4 Ed. Blackwell Science. Oxford. pp. 152- 158

Johnston LA, O’Brien SJ, Wildt DE. 1989. In vitro maturation and fertilization of domestic cat follicular oocytes. Gamete Res. 24: 343-356.

Lehninger. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Ahli bahasa: Maggy Thenawidjaja. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Pope CE. 2000. Embryo technology in conservation efforts for endangered felids. Theriogenology.

53: 163-174.

(7)

Risopatron J, Sinches R, Spulveda N, Pena P, Villagram E, Miska W. 1996.

Migration/sedimentation sperm selection method use in bovine in vitro fertilization comparison with washing/centrifugation. Theriogenology.46: 65-73.

Rosenkrans CF, First NL. 1994. Effect of free amino acids and vitamin on cleavage and development rate of bovine zygotes in vitro. Anim Sci. 72: 434-437.

Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan Dasar Statistik. Edisi kedua. Gramedia, Jakarta.

Wolfe BA, Wildt DE. 1996. Development to blastocyst of domectic cat oocytes matured and fertilized in vitro after prolonged cold stronge. Reprod Fertil. 106: 135-141.

Wood TC, Richard J, Montali, David E, Wildt. 1997. Follicle-oocytes atresia and temporal taphonomy in cold-storedd domestic cat ovaries. Mol Rep Dev. 46: 190-200.

Wu G, Simerly C, Zoran S, Funte LR, Schatten G. 1996. Mikrotubule and cromatin configuration during fertilization and early development in rhesus monkeys, and regulation by intracellular calcium ions. Biol Reprod. 55: 269-271.

Younglai EV, Holt D, Brown P, Jurisicova A, Casper RF. 2001. Sperm swim-up techniques and DNA fragmentation. Hum. Reprod. 16 (9): 1950-1953.

Referensi

Dokumen terkait

Lembaga pendidikan yang tidak menempatkan Tauhid sebagai ajaran utama, berarti pendidikan tersebut telah melakukan dosa besar terhadap anak didiknya, sebab bagi

Hal yang harus diperhatikan oleh perusahaan adalah untuk mengetahui penyebab terjadinya siklus kenaikan dan penurunan konsumen, jika produk dan harga tidak diperhatikan

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul: Pengaruh Brand KFC Terhadap Kepuasan Konsumen Muslim Di Mega Town Square (METOS) Palangka Raya Kalimantan Tengah

Rainbow pao menjadi pilihan makanan ringan untuk disantap yang mampu menunda rasa lapar untuk sementara waktu dengan cita rasa yang menarik karena kulit bakpao terdiri dari

memiliki aktivitas sebagai antibakteri baik terhadap Salmonella typhii maupun Shigella dysenteriae , yang ditandai dengan tidak terbentuknya zona bening di sekitar

syringae menggunakan kit deteksi yang dibuat (larutan aktif dan kertas detektor) maka dilakukan uji sensitifitas deteksi larutan aktif. Pengujian dilakukan dengan cara

Data tersebut diperoleh dari alat ukur yang diisi langsung oleh subjek melalui skala bullying, secure attachment dengan orang tua, dan kontrol dirig. Metode

Begitu pula dengan program talent show The Voice Indonesia yang mempunyai tujuan yang sama dengan menjalankan strategis untuk seorang penata kameranya dalam teknik pengambilan